Agar lebih jelas, bentuk dari DAS Ciliwung bagian hulu dapat dilihat pada
Lampiran 1, 2, 3, dan 4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh satuan kerja
BALITKLIMAT 2005
terhadap kondisi
bentuk lahan dari DAS Ciliwung bagian hulu ini, maka diperlukan adanya pengelolaan yang
tepat dan berkelanjutan, khususnya dalam penggunaan
lahan. Karena
jika tidak
dilakukan pengelolaan yang tepat, akan berdampak pada bahaya banjir dan terjadinya
kekeringan, karena DAS Ciliwung bagian hulu tidak mampu menyerap, menyimpan dan
mendistribusikan air hujan yang jatuh di atasnya pada saat musim penghujan yang akan
menyebabkan banjir dan kekeringan pada musim kemarau. Hal ini dibuktikan dengan
adanya kejadian banjir yang menimpa kota Jakarta pada tahun 1996, 2002, 2004, dan
2005.
2.2 Neraca Air
Menurut Sostrodarsono
dan Takeda
2003, hubungan antara aliran ke dalam in flow dan keluar out flow di suatu daerah
aliran dalam periode tertentu dan terjadi di dalam siklus hidrologi dinamakan dengan
neraca air water balance. Menurut Leo 2009, neraca air dapat dianalisis secara
kuantitatif di dalam siklus hidrologi dengan dua
pendekatan yang
berbeda, yaitu
pendekatan sederhana
dan kompleks.
Pendekatan sederhana berdasarkan pada persamaan
kontinuitas, dimana
bentuk persamaannya sebagai berikut:
Inflow = Outflow ± Storage Pendekatan kompleks pada dasarnya
adalah sama dengan pendekatan sederhana, tapi yang membedakan diantara keduanya
adalah pendekatan kompleks akan mengkaji lebih jauh bentuk dari neraca air. Pendekatan
sederhana cenderung memperhatikan aliran masuk dan keluar serta cadangan air, tetapi
tidak memperhatikan proses yang terjadi di antara keduanya, sehingga jika dipandang
berdasarkan konsep mekanistik pendekatan ini kurang sempurna. Pada pendekatan kompleks
dijelaskan mekanisme atau proses yang meliputi berbagai transfer air yang terjadi di
antara masukan dan keluaran. Masukan meliputi presipitasi, sedangkan keluaran
meliputi dua keluaran utama, yaitu evaporasi dan limpasan. Bentuk pendekatan kompleks
sebagai berikut:
P – Q + ET ± L = S
Dimana, P
: Presipitasi total Q
: Total limpasan ET : Total evaporasi dan transpirasi
L : Bocoran leakage air yang keluar dari
sistem atau bocoran air yang masuk ke dalam sistem
S : Perubahan cadangan air dalam sistem
Menurut Sosrodarsono dan Takeda 1977, presipitasi merupakan uap yang mengalami
proses kondensasi dan jatuh ke permukaan tanah dalam rangkain siklus hidrologi.
Sedangkan aliran permukaan atau limpasan dipengaruhi oleh besar kecilnya intensitas
curah
hujan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi
limpasan adalah
faktor meteorologis curah hujan dan faktor fisik
DAS. Menurut Wiersum 1979, pengaruh hutan terhadap limpasan adalah total limpasan
dapat berkurang dengan adanya hutan, karena evapotranspirasi meningkat.
Menurut Handoko
1995, evapotranspirasi merupakan ukuran total
kehilangan air penguapan untuk suatu luasan lahan
melalui proses
evaporasi dari
permukaan tanahair dan proses transpirasi dari permukaan tanaman. Tanah memiliki
sejumlah pori-pori yang dapat menyerap air, dimana selanjutnya akan di transpirasikan
oleh
tumbuhan atau
hilang sebagai
penguapan. Menurut
Wiersum 1979,
evapotranspirasi sangat penting dalam siklus hidrologi,
karena di
daerah kering
evapotranspirasi terjadi 100 , sedangkan di daerah lembab sebesar 50 . Wiersum juga
mengemukakan bahwa di Pulau Jawa yang rata-rata curah hujan tahunan sebesar 2400
mmtahun, menyebabkan terjadinya proses kehilangan air sebesar 1200 mmtahun akibat
evapotranspirasi.
Evapotranspirasi di-
pengaruhi oleh penutupan lahan berupa hutan, dimana pengaruhnya terhadap turbulensi
angin, iklim mikro, absorbsi radiasi, intersepsi curah hujan, dan sistem perakaran. Dengan
adanya hutan maka turbulensi angin menjadi lebih besar, absorbsi radiasi meningkat,
intersepsi curah hujan banyak, dan sistem perakaran lebih besar. Dengan demikian,
evapotranspirasi menjadi meningkat.
2.3 Pengaruh Perubahan
Penggunaan Lahan
dan Masukan
terhadap Komponen Neraca Air
Tata guna lahan land use secara sederhana dapat diartikan sebagai penggunaan
suatu lahan untuk berbagai keperluan. Perubahan atau perkembangan penggunaan
lahan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor alami iklim, topografi, tanah atau
bencana alam dan faktor manusia berupa aktivitas manusia. Perubahan tata guna lahan
tersebut dapat mempengaruhi keseimbangan hidrologis dari suatu DAS. Untuk mengatasi
hal
tersebut, maka
dibutuhkan teknik
pengelolaan yang membutuhkan informasi dari komponen neraca air. Menurut Mather
1978, pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap aliran sungai dapat dievaluasi
berdasarkan hasil analisis neraca air. Lettau pada tahun 1969 menggunakan model
evapoklimatonomi
dalam mengatasi
hal tersebut.
2.4 Model Evapoklimatonomi
Lettau memperkenalkan
istilah ‘klimatonomi’ yang berasal dari kata
climatonomy Lettau 1969. Menurut Bey 2010, klimatonomi dapat diartikan sebagai
ilmu yang menjelaskan dua hal penting yaitu tentang perbedaan iklim yang terjadi menurut
ruang dan waktu berdasarkan hukum radiasi, konveksi dan konduksi serta dapat mensintesis
iklim secara lokal dan regional dengan menggunakan model numerik berdasarkan
prinsip konversi energi dan massa. Model ini telah dikembangkan untuk daerah tropik oleh
Lettau dan Baradas 1973 di DAS Mabacan, Filipina serta Lettau et al. 1979 di sungai
Amazon.
Di Indonesia
model ini
dikembangkan oleh Bey 1981 di Pulau Krakatau, Bey et al. 1990 di sub DAS
Konto, DAS Brantas, Jawa Timur, dan Irsal Las 1992 yang merumuskan neraca air dan
menduga potensi lengas tanah di Kabupaten Sikka dan Enda Nusa Tenggara Timur.
Model klimatonomi terdiri atas 3 sub- model yaitu:
Sub-model shortwave climatonomy; time series radiasi extra-atmosphere pada suatu
lintang geografi yang akan menghasilkan respon berupa time series energi matahari
yang diserap oleh permukaan aktif.
Sub-model evapoklimatonomi; time series radiasi
matahari yang diserap oleh permukaan aktif dan curah hujan sebagai
masukan yang akan menghasilkan respon berupa lengas tanah.
Sub-model termoklimatonomi; time series energi matahari yang dikurangi dengan
panas laten
evapotranspirasi akan
menghasilkan suhu permukaan. Model
evapoklimatonomi merupakan
pendekatan numerik dari siklus hidrologi yang mencerminkan
cadangan lengas
tanah, limpasan, dan evapotranspirasi sebagai akibat
gaya gravitasi dan energi surya terhadap curah hujan
yang diintersepsi
pada suatu
permukaan. Dalam model ini yang digunakan sebagai masukan adalah curah hujan P,
sedangkan keluarannya
adalah proses
penghilangan air dari permukaan aktif yaitu berupa limpasan N dan evapotranspirasi E.
Selisih diantara curah hujan dengan limpasan dan evapotranspirasi disebut sebagai lengas
tanah m. Dalam hal ini, yang menjadi masukan hanya curah hujan, selain itu
kandungan air tersimpan storage dinyatakan sebagai turunan pertama dari lengas tanah
terhadap waktu dmdt.
Dalam penelitian ini, nilai curah hujan, limpasan dan evapotranpirasi dinyatakan
dalam satuan mmbulan, sedangkan lengas tanah dinyatakan dalam milimeter mm. Air
hujan yang jatuh pada suatu wilayah dan pada bulan tertentu, akan hilang sebagian karena
proses deplesi yaitu gabungan komponen N dan E, sisanya akan disimpan di dalam tanah
sebagai lengas tanah. Jumlah air yang hilang pada bulan tertentu, tidak hanya melibatkan
air hujan yang jatuh pada bulan tersebut, tapi juga melibatkan hujan pada bulan-bulan
sebelumnya Laimeheriwa 1994.
III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian