Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

(1)

PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN

NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

I

IW

WA

AN

N

H

HE

ER

RM

MA

A

WA

W

AN

N

NIM. 070200437

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN

NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

I

IW

WA

AN

N

H

HE

ER

RM

MA

A

WA

W

AN

N

NIM. 070200437

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum NIP: 195703261986011001 Pembimbing I

Liza Erwina, SH, M.Hum NIP: 196110241989032002

Pembimbing II

Dr. Marlina, SH, M.Hum NIP: 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan judul “Pelanggaran Kode Etik Profesi

Kepolisian Negara Republik Indonesia”.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mencapai Gelar Sarjana pada Fakultas Hukum USU jurusan Hukum Pidana.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis dapatkan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis mohon maaf atas segala kekurangan.

Penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa ada bantuan dan kerjasama dari pihak lain. Oleh karena itu kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mambantu dan mendorong terwujudnya skripsi ini.

Segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih khusussnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH.MH.DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M HAMDAN, SH.M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum


(4)

6. Ibu Liza Erwina, SH.M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana dan juga selaku dosen pembimbing I yang telah banyak membantu memberikan arahan dan masukan bagi penulis.

7. Ibu Dr. Marlina, SH.M.Hum, sebagai dosen pembimbing II Departemen Hukum Pidana yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan, masukan dan nasehat bagi penulis. 8. Bapak dan Ibu Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan kritik.

9. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 10. Kepada sahabat-sahabatku angkatan 2007 yang selanjutnya penulis harapkan persahabatan ini

tidak akan berakhir sampai akhir usia kita.

Akhir kata, penulis berharap semoga hasil pemikiran yang tertuang dalam skripsi ini dapat bermanfaat sebagaimana diharapkan. Amin.

Hormat Saya


(5)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI……….... iii

ABSTRAK ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Metode Penelitian ... 6

F. Tinjauan Pustaka ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II : BENTUK PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN ... 22

A. Aturan Hukum Kode Etik Profesi Kepolisian ... 22

B. Pengertian Hukum Disiplin ... 31

C. Bentuk Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian... 37

D. Penegakan Kode Etik Profesi ... 45

BAB III : PENYELESAIAN PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN ... 49

A. Tindakan-Tindakan Kepolisian Yang Dikategorikan Sebagai Pelanggaran Kode Etik Etika Profesi Kepolisian ... 49

B. Pelaksanaan Teknis Penanganan Anggota Polri Yang Melakukan Tindak Pidana Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian ... 51


(6)

C. Proses Penyelesaian Terhadap Anggota Polri Yang Melakukan

Pelanggaran Kode Etik Kepolisian ... 63

D. Sanksi-Sanksi Yang Diberikan Kepada Anggita Polri Yang Melakukan Pelanggaran Kode Etik Kepolisian ... 68

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 75


(7)

ABSTRAK

PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Polisi adalah aparat penegaka hukum. Tetapi dalam kenyataan yang terjadi ada sebagian anggota itu bertindak sebaliknya dan tidak sesuai dengan etika profesi kepolisian. Atau dalam arti kata ada sebagai polisi melakukan pelanggaran terhadap kode etik profesi kepolisian. Pelanggaran ataupun perbuatan pidana anggita kepolisian yang tidak sesuai dengan kode etik profesi kepolisian ini tentunya berakibat hukum.

Metode penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini adalah metode analisis yuridis normatif. Dimana pembahasan yang akan dilakukan adalah sekitar tentangbentuk-bentuk pelanggaran kode etik profesi Kepolisian dan penyelesaian pelanggaran kode etik profesi kepolisian yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana. Metode analisis yuridis normatif penelitian ini mengetengahkan pembahasan dengan penelahaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terhadap permasalahan yang pertama dapat dijelaskan bentuk-bentuk pelanggaran kode etik profesi Kepolisian adalah bertutur kata kasar dan bernada kemarahan, menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas, bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat, mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan, menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat, melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan; melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak dibawah umur dan merendahkan harkat martabat manusia.

Permasalahan kedua dapat diberikan jawaban bahwa penyelesaian pelanggaran kode etik profesi kepolisian yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana maka baginya akan diproses terlebih dahulu dalam sidang disiplin dikarenakan adanya dead line atau batas waktu pelaksanaan sidang disiplin yakni maksimal 30 (tiga puluh) hari seperti dalam Pasal 19 Keputusan Kapolri No. Pol Kep/44/IX/2004. Setelah Pelaksanaan sidang disiplin selesai maka akan dilaksanakan sidang di lingkup peradilan umum sesuai dengan Pasal 2 PP NO. 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi Anggota Kepolisian RI.


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat selalu seiring dengan semakin tumbuh dan berkembangnya segala aspek kebutuhan, termasuk dari segi kebutuhan akan kenyamanan dan keamanan. Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya tuntutan akan penegakan supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi dan transparansi yang telah melahirkan paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab bagi pihak-pihak yang terkait dengan penegakan hukum yang dalam hal ini khususnya adalah para aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Saat ini Kepolisian Negara Republik Indonesia dibebani harapan oleh masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang harus semakin meningkat dan berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya.

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) belakangan ini terus diuji citranya akibat diterpa berbagai kasus-kasus seperti penyuapan, korupsi, Ham dan berbagai kasus pidana lainnya. Kasus terus bermunculan seperti tidak ada habisnya. Belum tuntas satu kasus, muncul kasus baru. Tapi saat ini opini masyarakat yang berkembang bahwa menganggap terkesan seolah setiap anggota Polri kebal hukum karena banyaknya kasus yang melibatkan polisi “menguap” sebelum sampai di persidangan. Masyarakat pasti masih mengingat


(9)

kasus dugaan korupsi proyek pengadaan jaringan radio dan alat komunikasi sebesar Rp 60,2 miliar atas laporan Blora Center. Kasus itu tidak terdengar lagi. Selanjutnya ada kasus tentang rekening 15 oknum perwira Polri yang ditemukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang diduga tidak wajar pun juga belum ketahuan hasilnya. Dana tidak wajar itu diduga diperoleh karena menyalahgunakan kewenangan saat menduduki jabatan “basah”. Kasus yang juga ramai digunjingkan publik adalah pelepasan kapal penyelundup bahan bakar minyak (BBM) di Jawa Timur. Dalam kasus ini, Kasat Polairud Polda Jatim, Kombes Toni Suhartono, dicopot dari jabatannya karena melepas kapal itu, yang katanya atas perintah Inspektur

Pengawasan Umum (Irwasum) Polri, Komjen Polisi Binarto.1

Kasus lain yang tidak kalah menghebohkan adalah dugaan suap dalam penyidikan pembobolan dana Bank Negara Indonesia (BNI) yang disebut-sebut melibatkan mantan Kepala Polri, Jenderal Da'i Bachtiar. Kasus ini bermula saat Adrian Herling Waworuntu, pembobol BNI sebesar Rp 1,3 triliun, ditangguhkan penahanannya oleh penyidik Polri. Saat penangguhan penahanan itulah Adrian kabur ke Amerika Serikat, sekitar Oktober 2004. Kasus tersebut juga melibatkan mantan Direktorat Reserse Ekonomi Khusus, Brigjen Samuel Ismoko, yang telah diproses dan dikenakan penahanan. Memang Adrian telah dijatuhi pidana penjara seumur hidup, tetapi misteri di balik pelariannya

1

Anton Tabah, “Meragukan Netralitas Poliis”,


(10)

menyisakan persoalan yang terus disoroti publik.2

2

Ibid.

Setiap personel penegak hukum pasti diikat oleh aturan atau undang-undang sebagai acuan dalam bertindak. Aturan-aturan yang mengikat Polri diantaranya adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 Tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Akan tetapi banyaknya aturan yang mengikat Polri tersebut tidak menjamin tumbuhnya jiwa profesional dalam diri sebagian anggotanya.

Dewasa ini banyak terjadi hal-hal yang merupakan bentuk pelanggaran kode etik profesi kepolisian. Dimana di satu sisi polisi diharapkan sebagai penegak hukum tetapi sebaliknya polisi melakukan pelanggaran terhadap profesi etika kepolisian sendiri,

Hal ini dapat dilihat dari sikap dengan 'gaya hidup mewah sebagian b pejabat Polri yang jelas-jelas tidak sebanding dengan gaji dan tunjangan resmi yang diterima setiap bulan. Sebuah fenomena yang amat kontroversi dengan kehidupan sederhana sebagian besar aparat kepolisian yang berpangkat menengah dan rendahan, terlebih yang tidak menduduki jabatan penting. Padahal cukup banyak anggota Polri yang baik, jujur, dan berotak cemerlang tetapi tidak mendapat kesempatan menduduki jabatan penting.


(11)

Berkaca dari berbagai kasus yang timbul, seharusnya Polri perlu memulai langkah baru dengan menghindarkan diri dari kesan menerapkan asas imunitas untuk melindungi sesama anggota korps dalam berbagai penyelewengan. Selama ini Polri sering dituding melindungi anggotanya yang tidak serius menangani kasus-kasus korupsi, ham, illegal logging, narkoba, perjudian, dan lainnya. Keanehan proses hukum kasus-kasus berskala besar yang menjadi perhatian publik di tubuh Polri, bukan lagi sekadar menyangkut oknum, melainkan Polri sebagai institusi. Untuk itu, Kepala Polri harus memulai ''tradisi baru'' untuk memihak dan menghargai anggota Polri yang bekerja sungguh-sungguh, jujur, dan berotak cemerlang.

Masyarakat sebenarnya berharap agar pengungkapan berbagai kasus yang menimpa anggota atau petinggi Polri, tidak hanya seperti selama ini. Bila tidak lagi dikontrol publik atau pers, kasusnya akan “menguap”. Pengungkapan untuk kasus-kasus besar terkesan melambat, bahkan hilang begitu saja, manakala suatu kasus terbentur pada polisi berpangkat tinggi. Berkaca pada pengalaman sebelumnya, masih minim keseriusan untuk betul-betul mengungkap berbagai kasus dan penyelewengan di tubuh Polri. Sinyalemen yang berkembang adanya semangat membela institusi (esprit de corps) yang terkesan sebagai ''kultur'' belum bisa dihilangkan sama sekali. Padahal, kultur

tersebut merugikan reputasi Polri sebagai institusi penegak hukum.3

3

Marwan Mas, Menyoroti Korupsi Korps Baju Coklat, Makalah Dosen Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar, 9 Nopember 2005, hal. 3.


(12)

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut maka pembahasan dalam skripsi yang berjudul “Pelanggaran

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia” akan dibatasi pada rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk-bentuk pelanggaran kode etik profesi Kepolisian ?

2. Bagaimana penyelesaian pelanggaran kode etik profesi kepolisian yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimanakah bentuk-bentuk pelanggaran kode etik Kepolisian ?

2. Untuk mengetahui penyelesaian pelanggaran kode etik profesi kepolisian yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagia bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran kode etik profesi kepolisian.

2. Secara praktis.

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi lembaga hukum, institusi pemerintah dan penegak hukum.


(13)

b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan penegakan dan pengembangan hukum terhadap kode etik

c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang hukum pidana, khususnya yag berkaitan dengan pelanggaran kode etik kepolisian.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis adalah penelitian terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundangan yang berlaku khususnya tentang Hukum Kepolisian. Sedangkan pendekatan normatif adalah pendekatan yang hanyalah menggunakan data sekunder dengan penyusunan kerangka secara konsepsionil.

2. Data dan Sumber data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari 3 bahan hukum, yakni :

a. Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang menjadi

acuan pokok.4

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang

Peraturan Hukum Pidana (KUHP).

Dalam hal ini yang digunakan adalah :


(14)

Hukum Acara Pidana.

3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

4) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

5) Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

6) Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis

Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

7) Keputusan Presiden No. 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.

8) Keputusan Presiden No. 89 Tahun 2003 tentang Kedudukan

Kepolisian Negara Republik Indonesia.

9) Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 Tanggal 1 Juli 2006 tentang

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

10)Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol

Kep/44/IX/2004 tentang tata cara sidang disiplin bagi anggota kepolisian RI

11)Keputusan Kapolri No.Pol.Kep/35/VIII/2004 Tanggal 9 Agustus

Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Tata Cara Pelaksanaan

4


(15)

Pemberhentian Sementara Dari Jabatan Dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia

b. Bahan hukum sekunder adalah Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa

literatur-literatur.5 Sumber bahan hukum yang dipergunakan adalah buku-buku:

jurnal hasil penelitian dan makalah-makalah di bidang hukum kepolisian

3. Metode Pengumpulan Data

Penulisan ini dilakukan dengan studi pustaka yaitu dengan cara membaca buku-buku, peraturan perundangan yang terkait dan mempelajari literatur-literatur yang selanjutnya diolah dan dirumuskan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang disajikan.

4. Analisis Data

Analisa bahan hukum dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode analisa kualitatif, dalam hal ini mengkaji secara mendalam bahan hukum yang ada kemudian digabungkan dengan bahan hukum yang lain, dan dipadu dengan teori yang mendukung kemudian ditarik kesimpulan

guna menjawab permasalahan yang ada.6

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini terdiri dari:

5

Ibid.

6


(16)

1. Pelanggaran Kode Etik

Keberhasilan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan melindungi, mengayomi serta melayani masyarakat, selain ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan teknis kepolisian yang tinggi sangat ditentukan pula oleh perilaku terpuji setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di tengah masyarakat. Guna mewujudkan sifat kepribadian tersebut, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya senantiasa terpanggil untuk menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin pada sikap dan perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang.

Pengertian Kode etik profesi Polri disebutkan secara jalas dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri yang menyebutkan bahwa : “Kode etik profesi Polri adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri.”

Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika


(17)

profesi kepolisian terdiri dari :

a. Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

b. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.

c. Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perumusan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memuat norma perilaku dan moral lahir dari kesepakatan bersama serta dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga dapat menjadi pendorong semangat dan rambu-rambu nurani setiap anggota untuk pemuliaan profesi Kepolisian guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan organisasi pembina profesi Kepolisian yang berwenang membentuk Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia di semua tingkat organisasi yang selanjutnya berfungsi untuk menilai


(18)

dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota terhadap ketentuan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam prakteknya tidak setiap kode etik kepolisian akan dijalankan dengan baik oleh setiap anggota kepolisian. Banyak dari mereka melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik. Untuk pengertian pelanggaran sendiri diatur dalam Pasal 1 ayat 12 PP No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan mengenai Pelanggaran yakni: Perbuatan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia karena melanggar sumpah/janji anggota, sumpah/janji jabatan, peraturan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Jadi pelanggaran kode etik merupakan ketidaksesuaian setiap perbuatan dari anggota Polri terhadap norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri.

2. Pengertian Tindak Pidana

Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan unsur yang terpenting dalam hukum pidana. Sedangkan Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana. Hukum pidana sendiri adalah hukum yang mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana


(19)

diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.7

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata yakni straf, baar, feit, yang mana straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum, sedang perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Dari definisi tersebut ditarik suatu pengertian bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma yang baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum.

8

Tindak pidana atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Hal ini sebagaimana pendapat

Apabila diartikan, maka kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat dan boleh, sedangkan kata feit memang untuk diterjemahkan dengan perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan/ diisyaratkan adanya suatu gerakan atau perbuatan aktif tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (pasal 362 KUHP) atau merusak (pasal 406 KUHP), sedangkan perbuatan pasif artinya suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun yang oleh karenanya, dengan demikian seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (pasal 304 KUHP).

7

C.S.T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hal.257.

8

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bag. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 67.


(20)

Moeljatno yang menyatakan9

Kemudian menurut Simons merumuskan tindak pidana “sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah sengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.”

:

Bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang

ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

J.E. Jonkers memberi rumusan tentang tindak pidana, bahwa tindak pidana adalah “Perbuatan yang melanggar hukum (wedderechttelijk) yang berhubung dengan kesengajaan atau kesalahan yang dapat dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”

Sedangkan menurut H.J. Van Schravendijk merumuskan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum, maksudnya adalah “kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan.”

10

Dari empat rumusan tersebut menunjukkan bahwa didalam membicarakan perihal tindak pidana selalu diidentikkan bahwa didalamnya telah ada orang yang melakukan dan oleh karenanya ada orang-orang yang dipidana, memandang tindak pidana semata-mata pada perbuatan dan akibat

9


(21)

yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah dilakukan/ terjadi, baru melihat pada orangnya, jika orang itu mempunyai kemampuan bertanggung jawab dan karenanya perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya, dengan demikian maka kepadanya dijatuhi pidana.

Dalam hukum pidana, pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan terhadap perbuatan pidana (dader) jika melakukan perbuatan kejahatan atau pelanggaran atas delik. Menurut Smidt menyatakan sebagai berikut :

Kejahatan adalah perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht atau sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, sedangkan pelanggaran yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.11

Dalam buku Hukum Pidana edisi I karya Sudarto, disebutkan ada dua golongan yang memandang mengenai pemidanaan yakni pandangan monistis dan dualistis. Bagi golongan yang berpandangan monistis seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedang bagi yang berpandangan dualistis/ dualisme sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat.

Orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dipidana jika memenuhi semua unsur yang terdapat dalam pertanggungjawaban pidana. Sedangkan jika orang tersebut tidak memenuhi salah satu unsur-unsur mengenai pertanggungjawaban pidana maka tidak dapat dipidana dari segala tuntutan hukum.

12

Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah13

1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana. :

2. Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab. 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan.

10

Ibid.

11

Moeljatno, 1993, Asas-AsasHukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, hal.71.

12

Sudarto,1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, hal 45.

13


(22)

4. Tidak adanya alasan pemaaf.

Adapun penjelasan dari point unsur-unsur pertanggung jawaban pidana di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana.

Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan melawan hukum atau wederrechtelijkheid sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan, maka menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer dalam hal ini harus dilepas dari segala tuntutan (onslag van recht-vervolging). Menurut Vos, perbuatan yang bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan.14

Sifat melawan hukum dari tindak pidana yang terdapat dalam KUHP merumuskan delik tersebut secara tertulis dan tidak tertulis. Jika rumusan delik tidak mencantumkan adanya sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana, maka unsur delik tersebut dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika pelaku perbuatan dapat membuktikan tidak adanya sifat melawan hukum tersebut.

15

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur yang diwajibkan guna memenuhi suatu pertanggungjawaban perbuatan pidana. Yang menjadi dasar adanya kemampuan bertanggung jawab menurut adalah

2. Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab.

16

E.Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.

:

F.Kemampuan untuk melakukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

14

Ibid., hal. 134.

15

Ibid.,

16


(23)

Sedangkan batasan mengenai perbuatan pidana yang dianggap tidak mampu bertanggungjawab menurut KUHP adalah :

“Kurang sempurnanya akan atau adanya sakit yang berubah akalnya” (pasal 44 ayat (1) KUHP)

Dengan dasar adanya ketentuan KUHP diatas, maka pembuat perbuatan pidana tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan perbuatan pidana.

3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan.

Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan merupakan bagian dari unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang dipergunakan dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakatnya dapat tercela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakan padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan yang sedemikian itu.

Sedangkan menurut Simons, kesalahan adalah : “Keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukannya sedemikian rupa, hingga orang itu dapat tercela karena perbuatannya itu.”

Bentuk perbuatan manusia yang dianggap mempunyai kesalahan mengandung dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). Menurut Willems dan Werens, yang dimaksud perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Sedangkan bentuk dari kesengajaan menurut teori ini terdiri dari tiga corak, yaitu 17

H.Kesengajaan sebagai maksud (Dolus Derictus)

:

I.Kesengajaan sebagai kepastian, keharusan.

J.Kesengajaan sebagai kemungkinan (Dolus Eventualis).


(24)

diduga-duganya akan timbul akibat. Kealpaan yang harus terjadi menurut Van Hamel harus mengandung dua syarat yaitu18

a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan dalam hukum. :

b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana menurut hukum.

Sedangkan kata kesalahan pada kealpaan pengertiannya sekurang-kurangnya terdiri dari tiga komponen, yaitu19

a. Pembuat membuat lain daripada seharusnya ia berbuat menurut hukum terrtulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum.

:

b. Selanjutnya pembuat laku berbuat sembrono, lalai, kurang berpikir, lengah.

c. Akhirnya pembuat dapat dicela, yang berarti bahwa ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berpikir, dan lengah.

4. Tidak adanya alasan pemaaf

Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan perbuatan pidana dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alasan pemaaf. Yang dimaksud alasan pemaaf menurut teori hukum adalah alasan yang menghapuskan kesalahan. Kalau ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf), maka masih ada perbuatan pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana (tidak dapat dipertanggungjawabkan).20

Alasan-alasan tidak dapat dipidanakannya seseorang atau alasan-alasan tidak dipidananya seseorang adalah

Dampak yang terjadi dengan adanya alasan pemaaf yang terjadi pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut tetaplah merupakan perbuatan yang melawan hukum, akan tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipidana karena tidak ada kesalahan.

21

1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak dalam orang itu :

17

Ibid.

18

Ibid., hal. 170.

19

Schafmeister, 1995, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, hal. 112.

20

Moeljatno, Op.Cit., hal.137.

21


(25)

(inwendig), misalnya hilangnya akal, dll.

2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar orang itu (uitwendig), misalnya adanya kealpaan, dll.

Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut :

1. Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu. 2. Pasal 48 mengenai daya memaksa

3. Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa

4. Pasal 51 ayat 2 mengenai melaksanakan peritah jabatan yang tidak sah.

Jika memenuhi salah satu dari ketentuan tersebut diatas, maka perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana akan tetapi harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum atau tidak dimintai pertanggungjawaban pidana.

G. Sistematika Penulisan

Adapun Sistematika Penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini pada dasarnya membahas tentang: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka serta Sistematika Penulisan.

BAB II : BENTUK PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN

Bab kedua ini membahas tentang: Aturan Hukum Kode Etik Profesi Kepolisian, Pengertian Hukum Disiplin, Bentuk Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian serta Penegakan Kode Etik Profesi.


(26)

BAB III : PENYELESAIAN PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN

Bab ini membahas tentang: Tindakan-Tindakan Kepolisian Yang Dikategorikan Sebagai Pelanggaran Kode Etik Etika Profesi Kepolisian, Melakukan Tindak Pidana Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian, Pelaksanaan Teknis Penanganan Anggota Polri Yang, Proses Penyelesaian Terhadap Anggota Polri Yang Melakukan Pelanggaran Kode Etik Kepolisian serta Sanksi-Sanksi Yang Diberikan Kepada Anggita Polri Yang Melakukan Pelanggaran Kode Etik Kepolisian.

BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran


(27)

BAB II

BENTUK PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI

KEPOLISIAN

A. Aturan Hukum Kode Etik Profesi Kepolisian

Keberhasilan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan melindungi, mengayomi serta melayani masyarakat, selain ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan teknis kepolisian yang tinggi sangat ditentukan oleh perilaku terpuji setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di tengah masyarakat.

Guna mewujudkan sifat kepribadian tersebut, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya senantiasa terpanggil untuk menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin pada sikap dan perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang.

Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan keNegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolsiian Negara Republik Indonesia.

Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan


(28)

dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.

Etika keNegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia mengikat secara moral, sikap dan perilaku setiap anggota Polri.

Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dipertanggung-jawabkan di hadapan Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolsiian Negara Republik Indonesia guna pemuliaan profesi kepolisian.

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat berlaku juga pada semua organisasi yang menjalankan fungsi Kepolisian di Indonesia.

1. Etika Pengabdian

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menunjukkan sikap pengabdiannya


(29)

berperilaku :

a. Menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri dari dalam hati nuraninya

kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b. Menjalankan tugas keNegaraan dan kemasyarakatan dengan niat murni

karea kehendak Yang Maha Kuasa sebagai wujud nyata amal ibadahnya.

c. Menghormati acara keagamaan dan bentuk-bentuk ibadah yang

diselenggarakan masyarakat dengan menjaga keamanan dan kekhidmatan pelaksanaannya.

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia berbakti kepada nusa dan bangsa sebagai wujud pengabdian tertinggi dengan:

a. Mendahulukan kehormatan bangsa Indonesia dalam kehidupannya.

b. Menjunjung tinggi lambang-lambang kehormatan bangsa Indonesia.

c. Menampilkan jati diri bangsa Indonesia yang terpuji dalam semua keadaan

dan seluruh waktu.

d. Rela berkorban jiwa dan raga untuk bangsa Indonesia.

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas memlihara keamanan dan ketertiban umum selalu menunjukkan sikap perilaku dengan :

a. Meletakkan kepentingan Negara, bangsa, masyarakat dan kemanusiaan

diatas kepentingan pribadinya.

b. Tidak menuntut perlakuan yang lebih tinggi dibandingkan degan perlakuan

terhadap semua warga Negara dan masyarakat.


(30)

menjauhkan sekuat tenaga dari kerusakan dan penurunan nilai guna atas tindakan yang diambil dalam pelaksanaan tugas.

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas menegakan hukum wajib memelihara perilaku terpercaya dengan :

a. Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.

b. Tidak memihak.

c. Tidak melakukan pertemuan di luar ruang pemeriksaan dengan pihak-pihak

yang terkait dengan perkara.

d. Tidak mempublikasikan nama terang tersangka dan saksi.

e. Tidak mempublikasikan tatacara, taktik dan teknik penyidikan.

f. Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan

sengaja menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan dan ketergantungan pada pihak-pihak yang terkait dengan perkara.

g. Menunjukkan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada dalam

penguasaannya karena terkait dengan penyelesaian perkara.

h. Menunjukkan penghargaan dan kerja sama dengan sesama pejabat Negara

dalam sistem peradilan pidana.

i. Dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan tentang

perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua pihak yang terkait dengan perkara pidana yang dimaksud, sehingga diperoleh kejelasan tentang penyelesaiannya.

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat senantiasa :


(31)

a. Memberikan pelayanan terbaik.

b. Menyelamatkan jiwa seseorang pada kesempatan pertama.

c. Mengutamakan kemuahan dan tidak mempersulit.

d. Bersikap hormat kepada siapapun dan tidak menunjukkan sikap

congkak/arogan karena kekuasaan.

e. Tidak membeda-bedakan cara pelayanan kepada semua orang.

f. Tidak mengenal waktu istirahat selama 24 jam, atau tidak mengenal hari

libur.

g. Tidak membebani biaya, kecuali diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

h. Tidak boleh menolak permintaan pertolongan bantuan dari masyarakat

dengan alasan bukan wilayah hukumnya atau karena kekurangan alat dan orang.

i. Tidak mengeluarkan kata-kata atau melakukan gerakan-gerakan anggota

tubuhnya yang mengisyaratkan meminta imbalan atas batuan Polisi yang telah diberikan kepada masyarakat.

j. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menggunakan

kewenangannya senantiasa berdasarkan pada Norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan dan nilai-nilai kemanusiaan.

k. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa memegang

teguh rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah kedinasan perlu dirahasiakan.


(32)

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa :

a. Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan.

b. Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas.

c. Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat.

d. Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan.

e. Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat.

f. Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan.

g. Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan

anak-anak dibawah umum.

h. Merendahkan harkat dan martabat manusia.

2. Etika Kelembagaan

Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjunjung tinggi institusinya dengan menempatkan kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadi.

a. Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia memegang teguh

garis komando, mematuhi jenjang kewenangan, dan bertindak disiplin berdasarkan aturan dan tata cara yang berlaku.

b. Setiap atasan tidak dibenarkan memberikan perintah yang bertentangan

dengan norma hukum yang berlaku dan wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan perintah yang diberikan kepada anggota bawahannya.


(33)

c. Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dibenarkan menolak perintah atasan yang melanggar norma hukum dan untuk itu anggota tersebut mendapatkan perlinungan hukum.

d. Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan

perintah kedinasan tidak dibenarkan melampaui batas kewenangannya dan wajib menyampaikan pertanggungjawaban tugasnya kepada atasan langsunnya.

e. Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan

tugas dan wewenangnya tidak boleh terpengaruh oleh istri, anak dan orang-orang lain yang masih terkait hubungan keluarga atau pihak lain yang tidak ada hubungannya dengan kedinasan.

f. Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menampilkan sikap

kepemimpinan melalui keteladanan, keadilan, ketulusan dan kewibawaan serta melaksanakan keputusan pimpinan yang dibangun melalui tata cara yang berlaku guna tercapainya tujuan organisasi.

g. Dalam proses pengambilan keputusan boleh berbeda pendapat sebelum

diputuskan pimpinan dan setelah diputuskan semua anggota harus tundak pada keputusan tersebut.

h. Keputusan pimpinan diambil setelah mendengar semua pendapat dari

unsur-unsur yang terkait, bawahan dan teman sejawat sederajat, kecuali dalam situasi yang mendesak.

Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menjaga kehormatan melalui penampilan seragam dan atau atribut, tanda,


(34)

pangkat jabatan dan tanda kewenangan Polri sebagai lambang kewibawaan hukum, yang mencerminkan tanggung jawab serta kewajibannya kepada institusi dan masyarakat.

Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menampilkan rasa setiakawan dengan sesama anggota sebagai ikatan batin yang tulus atas dasar kesadaran bersama akan tanggug jawabnya sebagai salah satu ... keutuhan bangsa Indonesia, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kehormatan sebagai berikut :

a. Menyadari sepenuhnya sebagi perbuatan tercela apabila meninggalkan

kawan yang terluka atau meninggal dunia dalam tugas sedangkan keadaan memungkinkan untuk memberi pertolongan.

b. Merupakan ketelaanan bagi seorang atasan untuk membantu kesulitan

bawahannya.

c. Merupakan kewajiban moral bagi seorang bawahan untuk menunjukkan

rasa hormat dengan tulus kepada atasannya.

d. Menyadari sepenuhnya bahwa seorang atasan akan lebih terhormat apabila

menunjukkan sikap menghargai yang sepada kepada bawahannya.

e. Merupakan sikap terhomat bagi anggota Polri baik yang masih dalam dinas

aktif maupun purnawirawan untuk menghadiri pemaaman jenazah anggota Polri lainnya yang meninggal karena gugur dalam tugas ataupun meninggal karena sebab apapun, dimana kehadiran dalam pemakaman tersebut dengan menggunakan atribut kehormatan dan tataran penghormatan yang setinggi-tingginya.


(35)

f. Selalu terpanggil untuk memberikan bantuan kepada anggota Polri dan purnawirawan Polri yang menghadapi suatu kesulitan dimana dia berada saat itu, serta bantuan dan perhatian yang sama sedapat mungkin juga diberikan kepada keluarga anggota Polri yang mengalami kesulitan serupa dengan memperhatikan batas kemampuan yang dimilikinya.

g. Merupakan sikap terhormat apabila mampu menahan diri untuk tidak

menyampaikan dan menyebarkan rahasia pribadi, kejelekan teman atau keadaan didalam lingkungan Polri kepada orang lain yang bukan anggota Polri.

3. Etika Kenegaraan

Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia siap sedia menjaga keutuhan wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasaran Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, memelihara persatuan dan kesatuan kebhinekaan bangsa dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjaga jarak yang sama dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik taktis, serta tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik golongan tertentu.

Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa berpegang teguh pada konstitusi dalam menyikapi perkembangan situasi yang membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.


(36)

Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjaga keamanan Presiden Republik Indonesia dan menghormati serta menjalankan segala kebijakannya sesuai dengan jiwa konstitusi maupun hukum yang berlaku demi keselamatan Negara dan keutuhan bangsa.

B. Pengertian Hukum Disiplin

Suatu organisasi selalu mempunyai aturan intern dalam rangka meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya organisasi maupun kebersamaan, kehormatan dan kredibilitas organisasi tersebut serta untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai tujuan, peranan, fungsi, wewenang dan tanggung jawab institusi tersebut.

Organisasi yang baik bukanlah segerombolan orang yang berkumpul dan bebas bertindak semaunya, organisasi harus punya aturan tata tertib perilaku bekerja, bertindak, maupun bergaul antar anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan bergaul dengan masyarakat lingkungan organisasi tersebut. Namun juga ikatan aturan tersebut janganlah memasung inovasi dan kreatifitas anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lalu membuat organisasi tersebut statis tidak berkembang.

Organisasi yang baik dan kuat adalah organisasi yang punya aturan tata tertib intern yang baik dan kuat pula. Aturan tersebut dapat berbentuk peraturan disiplin, kode etik, maupun kode jabatan. Peraturan ini adalah tentang disiplin, namun disadari bahwa sulit memisahkan secara tegas antara berbagai aturan intern tesebut, selalu ada warna abu- abu, selalu ada sisi terang dan sisi gelap, akan selalu ada tumpang tindih antara berbagai aturan, namun harus diminimalkan hal-hal yang tumpang tindih tersebut.

Disiplin adalah kehormatan, kehormatan sangat erat kaitannya dengan kredibilitas dan komitmen, disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kehormatan sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menunjukkan kredibilitas dan komitmen sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, karenanya pembuatan peraturan disiplin


(37)

bertujuan untuk meningkatkan dan memelihara kredibilitas dan komitmen yang teguh. Dalam hal ini kredibilitas dan komitmen anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah sebagai pejabat negara yang diberi tugas dan kewenangan selaku pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, penegak hukum dan pemelihara keamanan.22

Dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara, dan Pemerintah. Sikap mengutamakan

Komitmen berbeda dengan loyalitas, loyalitas cendrung mengarah ke loyalitas mutlak dan berujung pada kecendrungan penguasa/pimpinan untuk menyalahgunakan loyalitas tersebut (abuse

of power). Oleh karena itu pelaksanaan disiplin itu harus didasarkan pada persetujuan/kesadaran

daripada rasa takut, dan didasarkan kepada komitmen daripada loyalitas. Dewasa ini tidak ada batas yang jelas antara kehidupan pribadi dan kehidupan dipekerjaan, apalagi tuntutan masyarakat akan peranan Kepolisian Negara Republik Indonesia pada semua kegiatan masyarakat, sangat besar dan tidak mengenal waktu. Kegiatan Polisi, khususnya karena hal itu merupakan identitas dua puluh empat jam terus menerus. Seorang anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sedang tidak bertugas, tetap dianggap sebagai sosok polisi yang selalu siap memberikan perlindungan kepada masyarakat. Karena itu peraturan ini juga mengatur tata kehidupan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku pribadi dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan situasi ketatanegaraan yang menyebabkan peraturan disiplin yang dipergunakan selama ini tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan, maka dibuatnya Peraturan Disiplin bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tetap menekankan akan pentingnya pemajuan dan

penghormatan akan hak asasi manusia adalah mutlak adanya.

Untuk membina anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam suasana kerja yang penuh dengan konflik, ketegangan dan ketidakpastian, serta membina pula karakter dan kultur baru sesuai tuntutan reformasi, antara lain diperlukan adanya Peraturan Disiplin yang memuat pokok-pokok kewajiban, larangan dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati, atau larangan dilanggar.

22


(38)

kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan serta menghindari segala sesuatu yang dapat merugikan kepentingan negara harus benar-benar ditanamkan dalam jiwa setiap anggota kepolisian.

Sikap lainnya yang harus ditanamkan adalah sikap menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta dengan sekuat tenaga untuk menyimpan rahasia negara dan/atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya.

Dalam kehidupan bermasyarakat pun setiap anggota kepolisian harus tetap hormat-menghormati antar pemeluk agama dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat pada khususnya.

Setiap anggota kepolisian juga tidak boleh tinggal diam, ia harus melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan dan/atau merugikan negara/ pemerintah.

Diatur dalam Pasal 4 PP No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai kewajiban dalam pelaksanaan tugas yakni :

a. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat.

b. memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/atau pengaduan masyarakat.

c. menaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab. e memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

f. menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. g. bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya. h. membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas.

i. memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya. j. mendorong semangat bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerja. k. memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan karier;

Kepolisian Republik Indonesia


(39)

l. menaati perintah kedinasan yang sah dari atasan yang berwenang. m. menaati ketentuan jam kerja.

n. menggunakan dan memelihara barang milik dinas dengan sebaik-baiknya. o. menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik.

Kemudian menurut pasal 5 dan 6 PP No. 2 Tahun 2003, disebutkan bahwa dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:

Pasal 5 :

a. melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. melakukan kegiatan politik praktis.

c. mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

d. bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara.

e. bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi.

f. memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya.

g. bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan. h. menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang. i. menjadi perantara/makelar perkara.

j. menelantarkan keluarga.

Pasal 6

Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang: a. membocorkan rahasia operasi kepolisian.

b. meninggalkan wilayah tugas tanpa izin pimpinan. c. menghindarkan tanggung jawab dinas.

d. menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.

e. menguasai barang milik dinas yang bukan diperuntukkan baginya. f. mengontrakkan/menyewakan rumah dinas.


(40)

h. mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak berhak. i. menggunakan barang bukti untuk kepentingan pribadi. j. berpihak dalam perkara pidana yang sedang ditangani. k. memanipulasi perkara.

l. membuat opini negatif tentang rekan sekerja, pimpinan, dan/atau kesatuan.

m. mengurusi, mensponsori, dan/atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

n. mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah arah kebenaran materil perkara.

o. melakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya.

p. melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani.

q. menyalahgunakan wewenang.

r. menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan. s. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan.

t. menyalahgunakan barang, uang, atau surat berharga milik dinas.

u. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, meminjamkan, atau menghilangkan barang, dokumen, atau surat berharga milik dinas secara tidak sah. v. memasuki tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Kepolisian Negara

Republik Indonesia, kecuali karena tugasnya.

w. melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apa pun untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain.

x. memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin.

C. Bentuk Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian

Adapun bentuk pelanggaran kode etik profesi kepolisian meliputi:

1. Bertutur kata Kasar dan bernada kemarahan


(41)

society). Struktur sosial dilihat sebagai produk dari interaksi. Interaksi dapat terjadi melalui bahasa, sehingga bahasa menjadi pembentuk struktur sosial. Struktur sosial merupakan produk interaksi, karena bahasa dan simbol

direproduksi, dipelihara serta diubah dalam penggunaannnya.23

Oleh karena itu penggunaan penggunaan kata-kata yang kasar dan

bernada kemarahan merupakan pelanggaran kode etik karena akibat dari penggunaan bahasa yang tidak terpuji itu kini masyarakat dan pihak aparatur kepolisian mudah sekali bermusuhan, melakukan tindak anarkis, merusak, dan lain sebagainya. Singkat kata, negeri ini sangat rentan dan rawan dengan konflik-konflik, friksi-friksi, perkelahian, pembunuhan, dan perusakan yang tak berkesudahan. Adanya kode etik berupa pelarangan penggunaan kata-kata yang kasar oleh anggota kepolisian diharapkan akan memberikan dampak positif pada hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusiaan dan menampilkan sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan warga

dalam rangka mewujudkan kondisi yang menunjang kelancaran

Tutur kata menunjukkan cerminan pribadi seseorang. Karakter, watak,

atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun, sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang kasar, penuh hujat, makian, mendiskreditkan, provokasi, atau ejekan, akan mencitrakan pribadi yang tak berbudi.

23

Onong Uchbana Effendi, 1993, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 53.


(42)

penyelenggaraan fungsi kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

2. Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas

Penyimpangan prosedur tugas kepolisian biasa disebut dengan

maladministration. Pengertian lebih jelas mengenai maladministration adalah suatu tindakan atau perilaku administrasi oleh penyelenggara administrasi negara (pejabat publik) dalam proses pemberian pelayanan umum secara menyimpang dan bertentangan dengan kaidah atau norma hukum yang berlaku atau melakukan penyalahgunaan wewenang yang atas tindakan tersebut menimbulkan kerugian dan ketidakadilan bagi masyarakat, dengan kata lain melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan administrasi. Sikap-sikap maladministration antara lain:

a. Persekongkolan

b. Penggelapan barang bukti

c. Pemalsuan

d. Menerima imbalan yang tidak seharusnya

e. Melakukan tindakan kolusi, dan sebagainya.24

Oleh karena itu setiap anggota kepolisian hendaknya menghindarkan

diri dari tindakan-tindakan maladministration yang merupakan suatu pelanggaran kode etik karena bisa merugikan masyarakat dan mempermalukan korps kepolisian sebagai abdi masyarakat.

24

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, 1995, Pengantar Hukum Administras, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 2.


(43)

3. Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat.

Empati silang antara anggota Polri dan masyarakat memprasyaratkan

para pihak untuk saling memahami keberadaan, kedudukan, tugas, dan kewenangan Polri. Baik selaku aparat penegak hukum, maupun sebagai aparat ketertiban umum dan keamanan negara. Prasyarat ini mustahil dapat diwujudkan, jika (secara kelembagaan dan individual) Polri tidak mengambil prakarsa (mendahului) menjalin hubungan yang akrab dengan sebanyak mungkin segmen publik. Keakraban hubungan polisi dan masyarakat, tidak hanya diperlukan di tengah situasi konflik , tetapi juga dalam setiap situasi normal. Sangat mustahil pula hubungan yang sinergis semacam ini dapat diwujudkan jika dalam hal ini pihak kepolisian selalu berusaha mencari-cari kesalahan masyarakat demi melegalkan setiap aksinya agar kesalahan tidak

diarahkan pada pihak kepolisian.25

4. Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan.

Sehingga berdasarkan hal ini pelarangan mengenai tindakan

mencari-cari kesalahan dari masyarakat diatur secara tegas dalam kode etik kepolisian.

Polisi merupakan abdi masyarakat dan merupakan pengayom

masyarakat dan dalam pelaksanaan tugasnya diharapkan agar tidak mempersulit dan membebani masyarakat khususnya dalam menangani proses penyelidikan. Karena ternyata dalam prakteknya banyak keluhan dari warga yang

25

Ali, “Mencegah Kekerasan Polisi – Masyarakat”,


(44)

mengeluhkan tentang proses hukum yang dilakukan polisi. Polisi harus memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Untuk itu, diharapkan agar seluruh jajaran kepolisian di Indonesia dapat meningkatkan kinerja dan pelayanan. Terutama terkait penyelidikan kasus hukum di tengah masyarakat.

Sehingga oleh karenanya tindakan mempersulit masyarakat yang

membutuhkan pertolongan terutama mengenai proses penyelidikan merupakan pelanggaran kode etik.

5. Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat.

Sebagai ujung tombak dalam menciptakan keamanan dan ketertiban

masyarakat, Polri harus mampu beradaptasi dengan segala perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kepolisian merupakan cerminan dari tuntutan dan harapan masyarakat akan adanya rasa aman, keamanan, ketertiban dan ketentraman, yang mendukung produktifitas yang mensejahterakan warga masyarakat. Di samping itu sebagai pribadi dapat dijadikan panutan masyarakat dan mampu membangun simpati dan kemitraan dengan masyarakat. Polri dalam hal ini harus membangun interaksi sosial yang erat dan mesra dengan masyarakat, yaitu keberadaannya menjadi simbol persahabatan antara warga masyarakat dengan polisi dengan mengedepankan dan memahami kebutuhan adanya rasa aman warga masyarakat. Keamanan dan ketentraman yang diidamkan oleh masyarakat tidak akan tercipta dan bahkan akan terjadi keresahan jika ada anggota kepolisian yang bertindak sebagai


(45)

ujung tombak memberikan informasi yang menyesatkan pada masyarakat.

6. Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan.

Martabat wanita merupakan sesuatu yang wajib dijunjung tinggi sehingga setiap petugas Polri dalam penangan kasus yang berkaitan dengan wanita perlu diberi suatu rambu-rambu agar tidak menimbulkan persangkaan/penilaian yang merugikan kehormatan profesi, seperti contoh antara lain dalam melakukan pemeriksaan terhadap wanita sangat tidak etis apabila dilakukan hanya oleh seorang petugas apalagi petugas pria.

7. Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan

anak-anak dibawah umur.

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan, diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Menurut penjelasan Pasal 13 ayat 1 huruf c Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan tindakan penelantaran


(46)

yakni misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya. Lebih detail mengenai larangan penelantaran anak yakni disebutkan dalam pasal 59 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang jika disimpulkan bahwa pemerintah harus memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah sehingga tidak terjadi penelantaran terhadap anak.

Oleh karena itulah tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak dibawah umur yang dilakukan oleh anggota kepolisian merupakan suatu pelanggaran terhadap kode etik.

8. Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia

Manusia memiliki hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Selain itu hak asasi manusia juga merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya


(47)

yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia. 26

1) Setiap orang bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan

sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan

Negara sendiri sebenarnya menjunjung tinggi adanya pelaksanaan penegakan HAM demi menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi :

Pasal 2

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi dan ditegakkan demi peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagian, kecerdasan serta keadilan.

Pasal 3

2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan

perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum

3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan

dasar menusia tanpa diskriminasi.

Dalam prakteknya tidak seluruh anggota kepolisian dapat menjalankan kode etik dan profesionalisme kerja yang tinggi. Sebagai suatu gambaran penulis akan menyajikan kasus posisi mengenai bagaimana penyelewengan dari kode etik profesi kepolisian yang mengakibatkan perusakan citra polisi.

26

Ahmad Kamil, 2004, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi., Jakarta: Prenada Media, hal.495.


(48)

Adapun contoh kasusnya yang dikutip dari harian Kompas tanggal 11 Maret

2008 adalah sebagai berikut27

Dari contoh kasus tersebut dapat diketahui bahwa aggota kepolisian :

SEMARANG, KOMPAS - Briptu SP (26), oknum polisi anggota Samapta Kepolisian Resor Semarang, yang diduga memperkosa tahanan wanita berinisial SM (26), akan dijerat dua sanksi berupa pidana dan pelanggaran kode etik profesi. Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang Komisaris Besar Mashudi menyampaikan hal tersebut di Markas Polwiltabes, Senin (10/3).

Mashudi juga menyatakan bahwa Tersangka pasti akan diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Menurut Masjhudi, SP telah melakukan penyalahgunaan wewenang dalam menjaga tahanan wanita. Seharusnya, sebagai petugas jaga, oknum kepolisian tersebut mengamankan tahanan. Bukannya malah melakukan tindakan seperti itu, ucapnya.

Polisi juga masih memeriksa urine dan darah tersangka. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk menjawab dugaan tersangka memperkosa korban dalam pengaruh alkohol. Hasilnya hingga hari ini belum bisa diketahui, ujar Masjhudi. Selain diperiksa darah dan urine, SP diperiksa kondisi kejiwaannya.

Pemeriksaan itu dilakukan Unit Psikologi Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Menurut Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah Syahroni, pemeriksaan tersebut untuk mengetahui SP yang sudah beristri tersebut hingga tega memperkosa seorang tahanan wanita. Sifa dari Koalisi Perempuan Indonesia Jawa Tengah mengatakan pemerkosaan terhadap tahanan wanita oleh oknum polisi adalah pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut dia, sangat ironis jika aparat penegak hukum justru melanggar hukum. Walaupun seorang tahanan, ia tidak bisa disewenang-wenangkan seperti itu. Hak-haknya harus tetap dihormati, ujarnya saat dihubungi lewat telepon. Seorang polisi, lanjut Sifa, tidak diperbolehkan berbuat sewenang- wenang terhadap tahanan sekalipun. Ia menilai, kekerasan pada perempuan seperti apa yang dilakukan SP adalah bentuk kultur patriarki di masyarakat Indonesia yang masih kuat.

Tersangka diduga memperkosa SM di ruang tahanan wanita Polres Semarang Selatan, Jumat (7/3), sekitar pukul 04.30. Saat itu, SP bertugas sebagai penjaga tahanan wanita. Di dalam tahanan tersebut, selain SM terdapat tiga tahanan wanita lainnya. Menurut Masjhudi, saat pemerkosaan, tiga tahanan wanita tersebut diminta pindah ke sel tahanan yang lain. SP ditahan dan diperiksa berdasarkan laporan SM kepada petugas Polres Semarang Selatan.

27


(49)

tersebut telah melakukan pelanggaran kode etik profesi berupa perbuatan yang merendahkan martabat perempuan. Apa yang dilakukan oknum kepolisian tersebut akan berdampak buruk bagi korps kesatuannya. Oleh karena itu oknum tersebut harus ditindak berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

D. Penegakan Kode Etik Profesi

Setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dikenakan sanksi moral, berupa :

a. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela.

b. Kewajiban pelanggar untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf

secara terbatas ataupun secara terbuka.

c. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi.

d. Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi

Kepolisian.

Pemeriksaan atas pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dan 18, diatur lebih lanjut dengan Tata Cara Sidang Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Seorang petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas di tengah-tengah masyarakat, harus mampu mengambil keputusan berdasarkan

Selasa 11 Maret 2008.


(50)

penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum atau bila diperkirakan akan timbul bahaya bagi ketertiban dan keamanan umum.

Profesionalisme kinerja akan menjadi sangat baik apabila dalam menjalankan tugas dan wewenangnya setiap anggota polisi menjalankan apa yang disebut dengan etika profesi. Etika sendiri merupakan suatu pengetahuan tentang kehendak manusia yang berhubungan dengan keputusan yang benar dan salah dalam tindak perbuatan manusia. Sebab, benar salahnya perbuatan manusia berhubungan dengan prinsip-prinsip yang mendasari nilai-nilai hubungan antar manusia. Etika akan selalu menjawab pertanyaan tentang

nilai-nilai manakah yang paling pantas diperhatikan.28

28

Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum (Norma-norma Bagi Penegak Hukum), Yogyakarta: Kanisius, hal.11.

Dalam menentukan mana nilai yang pantas atau tidak akan terjadi suatu permasalahan yakni adanya kekhawatiran bahwa si petugas tersebut akan bertindak sewenang-wenang dan sangat tergantung kepada kemampuan subyektif dari si petugas tersebut. Untuk itu, dalam ilmu hukum kepolisian dikenal beberapa persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang petugas kepolisian akan mengambil suatu tindakan. Hal yang paling menentukan kualitas suatu tindakan adalah kemampuan dan pengalaman petugas kepolisian untuk mengambil tindakan tersebut, yaitu:

1. Tindakan harus “benar-benar diperlukan (noodzakelijk, notwendig) atau asas keperluan.


(51)

2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian (zakelijk, sachlich).

3. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhawatirkan. Dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan (zweckmassig, doelmatig).

4. Asas keseimbangan (evenredig). Dalam mengambil tindakan, harus senantiasa dijaga keseimbangan antara sifat (keras lunaknya) tindakan atau sarana yang dipergunakan dengan besar kecilnya suatu gangguan atau berat

ringannya suatu obyek yang harus ditindak.29

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan

Namun kenyataan di lapangan, masih terdapat beberapa oknum polisi yang masih melakukan tindakan yang sungguh membuat prihatin. Pada saat ribuan petugas polisi bekerja keras melayani kebutuhan masyarakat, para oknum itu justru mencoreng nama baik instansinya di mata rakyat. Pelanggaran terhadap nilai-nilai kode etik oleh petugas kepolisian merupakan hal yang kerap terjadi. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran kode etik oleh Anggota Kepolisian Republik Indonesia diatur dalam Pasal 7 Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun isi dari pasal tersebut adalah :

29


(52)

profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa : a. Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan.

b. Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas. c. Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat.

d. Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan.

e. Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat.

f. Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan.

g. Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan

anak-anak dibawah umur.


(53)

BAB III

PENYELESAIAN PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN

A. Tindakan-Tindakan Kepolisian Yang Dikategorikan Sebagai Pelanggaran Kode Etik Etika Profesi Kepolisian

Dari keberadaan PP No. 2 Tahun 2003 maka dapat disebutkantindakan-tindakan kepolisian yang dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik etika profesi kepolisian meliputi :

a. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat

negara, pemerintah, atau kepolisian negara Republik Indonesia,

b. Melakukan kegiatan politik praktis,

c. Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam

persatuan dan kesatuan bangsa,

d. Bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja

dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara,

e. Bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk

mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi kepolisian negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi,

f. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada

dalam ruang lingkup kekuasaannya,


(54)

g. Bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi dan tempat hiburan,

h. Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang,

i. Menjadi perantara/makelar perkara,

j. Menelantarkan keluarga.

Selain melanggar ketentuan disiplin di atas pelanggaran kode etik profesi kepolisian juga meliputi:

a. Membocorkan rahasia operasi kepolisian,

b. Meninggalkan wilayah tugas tanpa izin pimpinan,

c. Menghindarkan tanggung jawab dinas,

d. Menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi,

e. Menguasai barang milik dinas yang bukan diperuntukkan baginya,

f. Mengontrakkan/menyewakan rumah dinas,

g. Menguasai rumah dinas lebih dari satu unit,

h. Mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak berhak,

i. Menggunakan barang bukti untuk kepentingan pribadi,

j. Berpihak dalam perkara pidana yang sedang ditangani,

k. Memanipulasi perkara,

l. Membuat opini negatif tentang rekan sekerja, pimpinan dan/atau kesatuan,

m. Mengurusi, mensponsori dan / atau mempengaruhi petugas dengan pangkat

dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,


(55)

n. Mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah arah kebenaran materiil perkara,

o. Melakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya,

p. Melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau

mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani,

q. Menyalahgunakan wewenang,

r. Menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan,

s. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan,

t. Menyalahgunakan barang, uang atau surat berharga milik dinas,

u. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, meminjamkan,

atau menghilangkan barang, dokumen, atau surat berharga milik dinas secara tidak sah,

v. Memasuki tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia, kecuali karena tugasnya,

w. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun untuk kepentingan

pribadi, golongan atau pihak lain,

x. Memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas kepolisian

negara Republik Indonesia.

B. Pelaksanaan Teknis Penanganan Anggota Polri Yang Melakukan Tindak Pidana Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian


(56)

norma hukum adalah merupakan ketentuan tentang apa yang seyogyanya atau seharusnya dilakukan (gebod) dan perbuatan apa yang dilarang. Kaidah hukum pada hakekatnya merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana seharunya atau seyogyanya seseorang bertingkah laku. Sehingga kaidah hukum bersifat umum dan pasif artinya berlaku bagi setiap orang dan

berfungsi apabila dipatuhi, diberi sanksi dan ditegakkan.30

30

Sadjijo, 2008, Polri Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Laksbang, hal.11.

Dalam suatu organisasi selalu mempunyai aturan intern dalam rangka meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya organisasi maupun kebersamaan, kehormatan dan kredibilitas organisasi tersebut serta untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai tujuan, peranan, fungsi, wewenang dan tanggung jawab institusi tersebut. Organisasi yang baik bukanlah segerombolan orang yang berkumpul dan bebas bertindak semaunya, organisasi harus punya aturan tata tertib perilaku bekerja, bertindak, maupun bergaul antar anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan bergaul dengan masyarakat lingkungan organisasi tersebut. Namun juga ikatan aturan bukan berfungsi sebagai pemasung inovasi dan kreatifitas anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lalu membuat organisasi tersebut statis tidak berkembang. Organisasi yang baik dan kuat adalah organisasi yang punya aturan tata tertib intern yang baik dan kuat pula. Setiap aturan pasti harus ditaati dan dijalankan oleh tiap-tiap institusi yang terkait oleh peraturan tersebut.


(57)

Dalam kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, Kepolisian RI mempunyai aturan kode etik yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar oleh setiap anggotanya. Terhadap setiap pelanggaran kode etik belum tentu merupakan tindak Pidana, akan tetapi setiap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Polri pasti merupakan pelanggaran kode etik seperti halnya yang telah dicontohkan diatas pada kasus di Semarang. Penanganan untuk setiap pelanggaran tersebut berbeda. Apabila kasus yang terjadi terkait hanya pelanggaran kode etik, maka menurut Pasal 14 ayat 1 Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Polri. Pemeriksaan dalam Sidang Kode Etik adalah sebagai upaya untuk membuktikan dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, yang didasari oleh proses putusan sidang yang cermat dan dilakukan secara adil dengan memberikan hak kepada terperiksa untuk menyampaikan pembelaan secukupnya atas tuduhan telah

melanggar kode etik.31

Mengacu pada PP No. 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi Anggota Kepolisian RI tersebut, maka untuk penanganan bagi anggota Polri yang melakukan tindak pidana adalah

Sebelum diundang-undangkannya UU No. 2 Tahun 2002 apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anggota kepolisian penyelesaiannya diselesaikan lewat jalur pengadilan militer dikarenakan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer masih mengaturnya.

31


(1)

Jika ada anggota Polri yang melakukan pelanggaran kode etik dan berdasarkan bukti permulaan yang cukup ia diduga melakukan tindak pidana, maka setelah sidang disiplin selesai dilaksanakan, selanjutnya untuk tindak pidananya ia akan diadili dalam lingkup peradilan umum seperti disebutkan dalam pasal-pasal berikut :

1) Pasal 29 ayat 1 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia : “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum.”

2) Pasal 2 PP NO. 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi Anggota Kepolisian RI yang menyebutkan bahwa : “Proses Peradilan Pidana bagi anggota kepolisian negara Republik Indonesia secara umum dilakukan menurut hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum”.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka penulis menyimpulkan :

1. Bentuk-bentuk pelanggaran kode etik profesi Kepolisian adalah bertutur kata kasar dan bernada kemarahan, menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas, bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat, mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan, menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat, melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan; melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak dibawah umur dan merendahkan harkat martabat manusia.

2. Penyelesaian pelanggaran kode etik profesi kepolisian yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana maka baginya akan diproses terlebih dahulu dalam sidang disiplin dikarenakan adanya dead line atau batas waktu pelaksanaan sidang disiplin yakni maksimal 30 (tiga puluh) hari seperti dalam Pasal 19 Keputusan Kapolri No. Pol Kep/44/IX/2004. Setelah Pelaksanaan sidang disiplin selesai maka akan dilaksanakan sidang di lingkup peradilan umum sesuai dengan Pasal 2 PP NO. 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi Anggota Kepolisian RI.


(3)

B. Saran

Sebagai rekomendasi penulis dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum, maka penulis menyarankan sebagai berikut :

1. Hendaknya Kepolisian tetap memegang komitmen untuk menegakkan supremasi hukum dengan tidak adanya diskriminasi dengan menerapkan prinsip siapapun anggota yang bersalah akan diproses sesuai hukum yang berlaku dan berdasarkan mekanisme yang ada dimana pihak kepolisian tidak akan menutup-nutupi anggotanya yang yang bersalah dan publik harus tahu apa adanya atas kasus yang terjadi di tubuh kepolisian tersebut.

2. Hendaknya dalam setiap pembinaan bagi setiap anggota Polri, lebih banyak ditekankan mengenai sikap moral dan perilaku yang sesuai dengan kode etik. Hal tersebut dikarenakan kepolisian merupakan institusi yang paling dekat dengan masyarakat dimana setiap tindakannya akan selalu dinilai langsung oleh masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Ahmad Kamil, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi.,Prenada Media, Jakarta, 2004.

Amintang, KUHAP Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudinsi dan Ilmu Pengetahuan Pidana,Liberty, Yogyakarta

Anton Tabah, Membangun Polri yang Kuat, Mitra Hardhasuma, Jakarta, 2001. Bibit Samad Irianto, Pemikiran Menuju Polri yang Profesional,Mandiri,

Berwibawa dan Dicintai Rakyat, Restu Agung, Jakarta, 2006.

Marwan Mas, Menyoroti Korupsi Korps Baju Coklat, Makalah Dosen Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar, 9 Nopember 2005.

Moeljatno, Asas-asasHukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Moh. Nasir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1999.

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, Pengantar Hukum Administras.,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995.

Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan ReformasiPolisi), Laksbang Mediatama, Surabaya, 2007.

Onong Uchbana Effendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Sadjijo, Polri Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Laksbang, Yogyakarta, 2008.

Sadjijono, Mengenal Hukum Kepolisian Perspektif Kedudukan dan Hubungan dalam Hukum Administrasi, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2008.

Sudikno Mertokusuma, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1999.


(5)

Sumaryono, Etika Profesi Hukum (Norma-norma Bagi Penegak Hukum), Kanisius, Yogyakarta, 1995.

Suryawama M Sastra, Meningkatkan Kontrol Terhadap Polri Dalam Masa Transisi, Seminar Police Accountability in Democratic Transitions, Jakarta 3 September 2007.

Wasis SP, Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, 2002.

Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

B. Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP).

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Keputusan Presiden No. 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Keputusan Presiden No. 89 Tahun 2003 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 Tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia


(6)

Kep/44/IX/2004 tentang tata cara sidang disiplin bagi anggota kepolisian RI

Keputusan Kapolri No.Pol.Kep/35/VIII/2004 Tanggal 9 Agustus Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Tata Cara Pelaksanaan Pemberhentian Sementara Dari Jabatan Dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia

C. Artikel Ilmiah

Ali, Mencegah Kekerasan Polisi – Masyarakat, www. Suara Merdeka.com, Kamis 23 Maret 2006.

Anton Tabah, Meragukan Netralitas Polisi, Suara Pembaruan.com, 08 Agustus 2007.

Adr, Kapolri Meminta Jajarannya Tidak Mempersulit Masyarakat, www. metrotvnews.com, Rabu 6 Pebruari 2008.

Kompas, Oknum Polisi Perkosa Tahanan (Tersangka Diperiksa Kondisi Kejiwaannya), Selasa 11 Maret 2008.