Estetisasi Amir Hamzah Terhadap Gerakan Kebangsaan

Halaman 32 ❏ Ikhwanuddin Nasution

Estetisasi Amir Hamzah terhadap Gerakan Kebangsaan

ESTETISASI AMIR HAMZAH TERHADAP GERAKAN KEBANGSAAN
Ikhwanuddin Nasution
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstract Amir Hamzah’s estheticism to nationality movement began from the mind conflicts that felt from external world. He contemplated inward and then realized it in masterpiece forms, such as poem and prose. From the form, the masterpieces of Amir Hamzah were still tied with compatibility esthetics, but from the contents they showed the existence of stress esthetics.
Key words: compatibility, stress, and anxiety

1. PENDAHULUAN
Amir Hamzah yang dikenal sebagai Raja Penyair Pujangga Baru dilahirkan di Langkat, 28 Pebruari 1911, seorang bangsawan yang hidup di lingkungan kesultanan. Amir Hamzah juga seorang terpelajar, mula-mula ia sekolah di HIS Tanjung Pura, kemudian pindah ke Medan masuk Mulo, ketika kelas dua pindah ke Jakarta dan setelah tamat dari Mulo, ia masuk AMS bagian sastra Timur di Surakarta sampai tamat, baru kemudian masuk Sekolah Tinggi Hukum sampai mencapai sarjana muda, ia tidak melanjutkannya. Amir Hamzah kembali ke Tanjung Pura karena panggilan keluarga untuk bekerja di kesultanan Langkat dan menikah. Pada saat terjadi pergolakan revolusi di Sumatera Utara (saat itu Sumatera Timur), 1946, Amir Hamzah bersama beberapa keluarganya diculik dan dibunuh.
Amir Hamzah sangat berperan dalam perkembangan sastra Indonesia, ia termasuk bagian dari Angkatan Pujangag Baru (Angkatan ’33). Teeuw (1980:123) mengatakan bahwa faktor bahasa amat penting untuk menjelaskan peranan utama yang dimainkan oleh orang-orang Sumatera –terutama orang Minangkabau– dalam perkembangan sastra Indonesia sebelum perang, bahasa mereka paling dekat dengan bahasa Melayu dalam bentuknya yang akan berkembang menjadi bahasa Indonesia. Namun, di antara orang Sumatera itu, Amir Hamzahlah orang Melayu sejati. Amir Hamzah dipupuk dan diasuh dalam suasana kesusastraan dan kebudayaan Melayu. Tentu saja, bahasa yang dikenalnya sejak kecil itu merupakan suatu inspirasi bagi Amir Hamzah.
Akan tetapi, Amir Hamzah bukanlah orang Melayu yang murni dalam arti kata bahwa kehidupan dan kebudayaannya tidak pernah

disentuh oleh pengaruh-pengaruh asing. Malahan, hampir semua puisinya ditulis jauh dari alam Melayu, yakni di Jawa, ketika ia tinggal dan belajar di sana dan sebagai seorang Indonesia muda, bukan sebagai orang Melayu. Kala itu, ia memainkan peranan aktif dalam kumpulan Pujangga Baru. Pada dasarnya, ia lebih banyak memperoleh pendidikan Barat, walaupun ia pernah mendapat didikan pada aliran Timur di AMS. Bahkan kumpulan puisinya Buah Rindu dipersembahkannya “Ke bawah Paduka IndonesiaRaya”.
Bahasa yang lama dan bentuk-bentuk puisi lama medapat jiwa baru dalam tangan Amir Hamzah. Ia tidak menghindarikan bentuk syair tetapi di tanggannya bentuk itu mendapat isi yang sesungguhnya. Kata-kata dalam puisi-puisinya bukan saja berirama, tetapi juga mempunyai makna yang dalam (Hooykaas 1951:45). Simorangkir-Simanjuntak (1961:87) mengatakan bahwa penyair besar ini menempatkan kata-kata Malayu lama dalam bentuk, bunyi, dan irama yang amat bagus, sehingga untaian kata-katanya itu masuk meresap ke dalam kalbu, tetapi sebagai barang yang murni-mulia, puisi-puisinya tidak dapat diukur dengan ukuran sehari-hari. Oleh karena itulah Jassin (1955:19) mengatakan bahwa tidak banyak orang yang dapat merasakan kedalaman puisi-puisi Amir Hamzah. Sebab selain bahasanya yang sulit, yang menambah kelamnya puisi-puisinya itu, juga karena perbandinganperbandingan yang tidak biasa.
2. KEBIMBANGAN ESTETIKA
Estetika dalam perkembangan sastra di Indonesia telah mengalami pergeseran-pergeseran paradigma, mulai dari estetika keselarasan, estetika


LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA

Volume III No. 1 April Tahun 2007

❏ Ikhwanuddin Nasution

Halaman 33
Estetisasi Amir Hamzah terhadap Gerakan Kebangsaan

pertentangan (ketegangan menurut istilah Teeuw), sampai pada estetika posmodernisme dan estetika feminisme pada sastra kontemporer saat ini. Menurut Saryono (2006) dan Teeuw (1988) Estetika keselarasan terdapat pada sastra lama Indonesia seperti sastra Jawa dan Melayu.
Saryono (2006:37) mengatakan bahwa dalam estetika keselarasan terkandung pengertian yang estetis harus selaras dan serasi dengan “segala hal” yang terepresentasikan dalam karya sastra dan yang terepresentasikan itu harus diselaraskan dengan etik, filosofi, dan religius (selaras secara vertikal) pada satu pihak dan pada pihak lain diselaraskan dengan segala aktivitas eksistensial manusia (selaras secara horizontal) yang terepresentasikan ke dalam karya sastra. Teeuw (1988:356) mengatakan bahwa estetika saat itu tidak bersifat otonom, fungsi seni diabdikan pada fungsi agama; lewat seni (sastra) manusia diperhadapkan dengan keagungan ciptaan Tuhan dan dia akan menghilangkan dia (atau kehilangan diri) dalam keagungan pesona itu, seperti terlihat dalam sastra Melayu lama atau manusia seniman lewat seni mencoba menjangkau persatuan dengan Dewa yang akhirnya membawa kehampaan multak dan kehilangan dari rantai eksistensi manusia, seperti terlihat pada sastra Jawa Kuno.
Pada sastra modern Indonesia didominasi oleh estetika pertentangan (ketegangan menurut istilah Teeuw). Estetika ini berkeyakinan bahwa ketegangan dan kebaruan merupakan sifat dasar atau ciri pokok estetika sehingga “kebagusan” atau bobot sastra diukur dari kemampuannya menampilkan dan menimbulkan ketegangan dan kebaruan. Estetika pertentangan ini ada pada masa modernisasi dan mencapai kemapanan dan kedominannya pada dasawarsa kedua abad ke-20 (Saryono 2006: 3–5).
Namun, menurut Sarjono (2001:127–129) sastra modern Indonesia lahir dari patahan yang keras dengan masa silam dan dengan hamparan masyarakat awam bangsa Indonesia. Pada awal kelahiran sastra modern Indonesia tidaklah melahirkan bentuk sastrawi yang kukuh. Karyakarya yang lahir dari simpati yang memadai pada tradisi yang justru melahirkan karya yang memiliki kualitas sastrawi yang kukuh. Puisi-puisi Sutan Takdir Alisyahbana tidaklah sekukuh kualitas puisi-puisi Amir Hamzah. Sementara novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli secara sastrawi tidak sekukuh novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis. Di sisi lain, Layar Terkembang Sutan Takdir Alisyahbana pun tidak semantap kualitas sastrawi novel Belenggu karya Armjin Pane. Sekalipun demikian, karya yang secara isi mengusung patahan dan tantangan keras terhadap tradisi ternyata lebih populer dan memasyarakat

dibanding karya yang bersimpati dan mencoba

memberi harga pada kehangatan tradisi. Salah

Asuhan jelas kalah populer dibanding Sitti


Nurbaya atau Layar Terkembang lebih diterima

publik ketimbang Belenggu.

Pencitraan modernitas dan perlawanan

terhadap tradisi itu dalam beberapa karya sastra

hanya terlihat sebagai ide, bukan pengalaman dari

sastrawannya. Hal itu menimbulkan karya-karya

sastra yang lebih mementingkan pesan daripada

estetika pengungkapannya. Karya sastra yang

demikian biasanya disebut sastra bertendens,

misalnya terlihat pada karya-karya Sutan Takdir


Alisyahbana. Akan tetapi, sastra bukanlah muatan

ide belaka, ada unsur-unsur lain yang harus

diperhatikan, terutama adanya gugusan estetika

tempat ide diolah dan diungkapkan.

Gairah pemberontakan dan kualitas

estetika dalam pengungkapkannya muncul dalam

paduan yang kukuh pada karya-karya Chairil

Anwar. Di satu sisi karya-karyanya unggul secara

estetika dan di sisi lain bersesuaian pula dengan

cakrawala harapan masyarakat Indonesia yang


tengah mengalami pemberontakan. Puisi-puisi

Chairil Anwar merupakan semangat keakuan yang

“meradang menerjang.”

Pada puisi-puisi Chairil inilah estetika

pertentangan menjadi kekuatan yang telah

meninggalkan tradisi estetika keselarasan, bahkan

estetika keselarasan menjadi terpingkirkan.

Kekuatan estetika puisi-puisi Chairil Anwar itu

menjadi ikutan para penyair berikutnya, meskipun

ada usaha para penyair untuk kembali mengusung


estetika

tradisi

(keselarasan)

dan

menggabungkannya dengan diskursus modernitas,

seperti terlihat pada Rendra, Goenawan Mohamad,

Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M.,

yang melahirkan estetika “puisi-puisi suasana”

(menurut istilah Dami N. Toda 1984). Namun

tidak terlihat pertentangan keras dengan estetika


pertentangan yang dibawakan oleh Chairil Anwar.

Pemberontakan terhadap estetika puisi-puisi

Chairil Anwar dilakukan dengan keras oleh

Sutardji Calzoum Bachri. Pergulatannya dengan

estetika perpuisian Barat tidak menghalanginya

mengambil langkah ekstrim kembali ke puitika

mantra dari kampung halamannya di Riau.

Berbeda dengan pandangan Lombard

(2005:189–191) tentang pergulatan estetika dalam

sastra modern Indonesia. Lombard mengatakan


bahwa ada kebimbangan untuk menempatkan

estetika Barat (modern) dalam hampir semua

kegiatan seni di Indonesia, termasuk sastra. Di

awal pertumbuhan sastra modern Indonesia, yakni

periode 1920-an dan 1930-an, para sastrawan,

yang pada umumnya berasal dari Sumatera;

berusaha memutuskan hubungan dengan bentuk-

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA

Volume III No. 1 April Tahun 2007

Halaman 34 ❏ Ikhwanuddin Nasution


Estetisasi Amir Hamzah terhadap Gerakan Kebangsaan

bentuk lama sastra Melayu, seperti pantun, syair, dan hikayat dan menerima bentuk-bentuk sastra dari Barat, seperti soneta, roman, dan drama (umumnya lima babak). Tahun 1942, dengan kedatangan Jepang, menandai suatu keterputusan dengan Barat, karena larangan penggunaan bahasa Belanda dan tahun 1945 dialog dengan Barat tersambung kembali meskipun bentuknya lain, yakni para sastrawan mengembangkan bentuk cerita pendek (cerpen), seperti cerpen-cerpen Idrus. Sementara dari bentuk puisi sudah semakin bebas, seperti puisi-puisi Charil Anwar.
Selanjutnya Lombard menjelaskan bahwa periode 1950–1965 merupakan periode yang rumit, karena pengertian Barat sudah semakin kabur, menghalus dan akhirnya terbelah menjadi dua pandangan yang berhadapan dan saling menjatuhkan. Kedua pandangan itu adalah pandangan “seni untuk seni” yang merupakan proestetika Barat dan mengusung “budaya universal” yang didukung oleh Seniman Gelanggang Merdeka dan kemudian kelompok “Manifes Kebudayaan”, sedangkan pandangan lainnya adalah “seni untuk rakyat” yang didukung oleh Lekra, yang menginginkan agar bentuk-bentuk budaya lama (termasuk estetika) dapat dikaji ulang dan segi-segi positifnya dapat dimanfaatkan. Kelompok ini mengharapkan kebangkitan suatu “realisme kreatif”. Kemudian pada periode atau Angkatan ’66, estetika Barat kembali digalakkan, namun kecenderungan ke arah realisme tidak hilang, seperti terlihat pada karya Ajib Rosidi, N.H. Dini, dan Ramadhan K.H. Akan tetapi, bentuk fantasi, imajinasi tetap terlihat seperti pada karya-karya Iwan Simatupang, Rendra, Putu Wijaya, Ki Panjikusmin, dan Danarto.
Namun, Lombard menegaskan bahwa peranan dan pengaruh sastra modern Indonesia terhadap masyarakat sangat sedikit, sehingga apa yang diinginkan dan dicita-citakan oleh para sastrawan itu tidak tercapai. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia masih sangat sedikit minatnya untuk membaca karya-karya sastra, tidak seperti di Eropa (Barat). Setiap orang Eropa terdidik dan sedikit banyak dituntut untuk mengetahui karya-karya sastra kontemporer dari sastrawan-sastrawan mereka, sedangkan di Indonesia, orang terdidik tidak merasa malu mengatakan bahwa ia belum pernah membaca karya Sutan Takdir Alisyahbana atau karya-karya sastra kontemporer Indonesia. Sementara masyarakat Indonesia masih lebih banyak yang menikmati bentuk-bentuk sastra lokal yang membina estetika keselarasan, seperti di daerahdaerah Jawa, Bali, dan Sumatera. Hal itu justru membuat adanya kebimbangan dalam estetika.

Apa yang diungkapkan Lombard hanya pada periode awal dan peralihan kekuasaan, tetapi pada periode-periode selanjutnya estetika pertentangan justru semakin kuat dipengaruhi oleh estetika Barat. Apalagi keadaan itu diperkuat oleh birokrat pemerintahan Orde Baru yang mendirikan TIM dan membentuk DKJ. TIM menjadi pusat kegiatan kesenian dan budaya. Estetika pertentangan semakin kuat dan menjadikan satusatunya ukuran keberhasilan sebuah karya seni (sastra).
Dari beberapa pandangan di atas jelas bahwa pada Angkatan Pujangga Baru, meskipun modernisme sudah terlihat dengan estetikanya, tetapi pengaruh dari estetika keselarasan (tradisi) masih juga terasa. Walaupun estetika keselarasan itu telah dikemas sedemikian rupa agar dapat disesuaikan dengan modernisme. Hal itu terasa benar pada puisi-puisi Amir Hamzah yang secara kualitas lebih kukuh dari puisi-puisi Sutan Takdir Alisyahbana.
3. PUISI KEBANGSAAN
Angkatan Pujangga Baru atau Angkatan ’33 dikenal sebagai suatu angkatan dalam sastra Indonesia yang secara tematis telah memperjuangkan kehidupan kebangsaan (Indonesia) dengan tema-tema yang universal (mengindonesia). Tema-tema itu dipengaruhi paham modernisme dalam tatanan kemasyarakatan dan kebudayaan. Pada masa ini berkembang keinginan kaum cendikiawan untuk membentuk kebudayaan baru Indonesia.
Sutan Takdir Alisyabana (STA), salah satu pelopor Angkatan Pujangga Baru menginginkan agar kebudayaan baru itu berorientasi ke kebudayaan Barat. Pernyataan STA itu menimbulkan polemik yang berkepanjangan dan tidak berkesudahan. STA berpolemik dengan Sanusi Pane, dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantoro, dan lain-lain yang merupakan kaum cendikiawan, budayawan, dan sastrawan saat itu.
Pada angkatan ini puisi-puisi kebangsaan pun muncul dengan corak yang menunjukkan rasa kebangsaan yang masih tarap cita-cita. Namun dalam kehidupan bersastra para sastrawan Angkatan Pujangga Baru ini aktif dalam pergerakan perjuangan kebangsaan dengan menunjukkan estetika kesastraannya masingmasing. Perkumpulan Pujangga Baru merupakan wadah untuk mengumpulkan para seniman, sastrawan, budayawan, dan cendikiawan yang berasal dari berbagai daerah di wilayah Indonesia.
Mereka menerbitkan sebuah majalah, yakni Pujangga Baru, yang pada penerbitan perdananya memberi penjelasan-penjelasan tentang kepentingan sastra dalam perjuangan

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA

Volume III No. 1 April Tahun 2007

❏ Ikhwanuddin Nasution


Halaman 35
Estetisasi Amir Hamzah terhadap Gerakan Kebangsaan

kebangsaan, di antaranya berbunyi, “Dalam zaman kebangunan sekarang ini pun kesusastraan bangsa kita mempunyai tanggungan dan kewajiban yang luhur. Ia menjelmakan semangat baru yang memenuhi masyarakat kita. Ia harus menyampaikan berita kebenaran yang terbayang-bayang dalam hati segala bangsa Indonesia yang yakin akan tibanya masa kebenaran itu” (Rosidi, 1976:35).
4. ESTETISASI AMIR HAMZAH
Amir Hamzah yang turut dalam Angkatan Pujangga Baru itu tidak terlepas dari apa yang mereka cita-citakan meskipun karya-karya Amir Hamzah tidak secara eksplisit menggambarkan pergerakan perjuangan kebangsaan itu. Pengamat sastra cenderung mengatakan puisi-pusi Amir Hamzah sebagai puisi religius, mistik, romantik, dan cinta-kasih.
Amir Hamzah melukiskan perasaan kudus dan masuk ke dalam pengalaman mistik, bukan saja bunyi bahasa yang beragam, tetapi perbedaan makna yang tipis dari kata-kata yang bersinonim dapat ditangkap olehnya untuk digunakan sebagai pilihan kata yang tepat dalam puisi-puisinya. Amir Hamzah tidak hanya memuji Tuhan tetapi secara halus menceritakan setiap jalur perasaan dan kepercayaannya dengan menunjukkan pengalaman batinnya (Salleh, 1988: 9 dan 60). Jassin (1955:19) mengatakan bahwa kebanyakan puisi Amir Hamzah menyanyikan cinta yang tiada sampai, tetapi di dalamnya terasa perasaan keagamaan yang tawakkal, karena penderitaan jiwanyalah yang mendekatkannya kepada Tuhan.
Namun, terkadang Amir Hamzah juga terlihat kecewa karena kehilangan harapan, patah hati, putus cinta dengan menunjukkan keinginannya untuk menginggalkan dunia ini.
Datanglah engkau wahai maut Lepaskan aku dari nestapa Engkau lagi tempatku berpaut Di waktu ini gelap gulita
(Buah Rindu II)
Puisi ini juga dapat diasosiasikan sebagai puisi yang secara estetis indah, namun gambaran maut yang diangan-angankan Amir Hamzah menunjukkan ketidaknyamanan suasana hatinya.
Dari segi estetika hampir seluruh puisi Amir Hamzah menunjukkan kebimbangan estetika, sebagaimana gambaran Lombard tentang estetika pada Angkatan 20 dan ’33. Ada kebimbangan para seniman untuk meninggalkan estetika keselarasan untuk masuk pada estetika ketegangan (modern), sehingga beberapa seniman justru memadukan estetika keselarasan dengan estetika modern (pengaruh Barat) dalam sastra

Indonesia. Hal inilah yang terlihat pada puisi-puisi Amir Hamzah yang masih kental dengan keterikatan terhadap etika, filosofi, dan keagamaan (religius), namun suasana itu digambarkan Amir Hamzah dengan mempertanyakan keberadaan ikatan-ikatan itu. Dapat dilihat pada, misalnya pada puisi “Padamu Jua”
....... Satu kekasihku Aku manusia Rindu rasa Rindu rupa ........ Engkau cemburu Engkau ganas Mangsa aku dalam cakarmu Bertukar tangkap dengan lepas
Ikatan keagamaan menentukan agar manusia tidak mempertanyakan tentang keberadaan Tuhan dan filosofi Islam tidak memperbolehkan umatnya untuk mencari di mana Tuhan. Akan tetapi, Amir Hamzah lewat puisinya itu memberontak atas ikatan-ikatan itu dengan melalui estetika ketegangan (modern) yang dipengaruhi paham-paham humanisme dan rasionalisme Barat. Dengan demikian apakah puisi itu masih bersifat religiositas? Atau apakah puisi itu sebuah perjuangan untuk mencari “ketidakbaharuan” Tuhan? Oleh karena paham humanisme menuntut agar segala sesuatu bertolak dari segi manusia dan rasionalisme bertumpu pada rasio, di mana segala sesuatunya diukur dengan akal, maka Amir Hamzah merasa dituntut untuk mengetahui keberadaan Tuhannya. Perjuangan untuk mengenal Tuhan itu diteruskannya pada puisi “Hanya Satu”.
....... Aduh kekasihku Padaku semuanya tiada berguna Hanya satu kutunggu hasrat Merasa dikau dekat rapat Serupa Musa di puncak Tursina
Perjuangan kebangsaan yang seharusnya dikumandangkan oleh Amir Hamzah sebagaimana teman-teman seangkatannya tidak diperlihatkannya dengan eksplisit lewat estetisasi karya-karyanya. Namun, bukan berarti Amir Hamzah tidak sama sekali memperjuangkan pergerakan kebangsaan yang dicita-citakan kelompoknya itu. Beberapa puisinya terutama yang termuat dalam Buah Rindu menunjukkan hal tersebut, bahkan kumpulan puisi itu dipersembahkannya pada Indonesia-Raya. Meskipun awalnya, Amir Hamzah memperlihatkan

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA


Volume III No. 1 April Tahun 2007

Halaman 36 ❏ Ikhwanuddin Nasution

Estetisasi Amir Hamzah terhadap Gerakan Kebangsaan

kecintaannya akan tanah airnya, Sumatera, seperti terlihat pada puisi “Tinggallah”, ia berkata:
Tinggallah tuan, tinggallah bunda Tanah airku Sumatera raya Anakda berangkat ke pulau Jawa Memungut bunga suntingan kepala Pantai cermin rumbu melambai Selamat tinggal pada anakda Rasakan ibu serta handai Mengantarkan beta ke pangkalan kita.
Judul puisi itu adalah “Tinggallah” menunjukkan bagaimana Amir Hamzah akan meninggalkan tanah airnya, Sumatera menuju perjuangan cita-cita kebangsaan Indonesia Raya. Kalimat “mengantarkan beta ke pangkalan kita” dapat ditafsirkan bahwa Amir Hamzah telah menuju suatu cita-cita besar yakni Indonesia. Kata “pangkalan kita” jika dikaitkan dengan perjuangan gerakan kebangsaan merupakan kata kunci yang menyatakan cita-cita tersebut.
Pada puisi “Buah Rindu”, I,II,III, dan IV telihat adanya rangkaian (penyatukan) estetika keselarasan dengan ketegangan. Satu sisi puisipuisi itu masih dalam bentuk pantun dan syair, tetapi pada sisi isi memperlihatkan ketegukan hatinya untuk tetap pada perjuangan cita-cita kebangsaan (modernisme) meskipun harus meninggalkan bunda, ibu, handai taulan, kekasih yang selalu dirindukan, bahkan Amir Hamzah siap untuk mempertaruhkan nyawanya.
Tinggallah tuan, tinggallah nyawa Tinggal juita tajuk mahkota Kanda lalu menghadap dewata Bertelut di bawah cerpu Maulana
(Buah Rindu III)
Anak busurnya kanda gantungi Dengan seroja suntingan hauri Badannya dewa kanda lengkapi Dengan busur sedia di jari
(Buah Rindu IV)
Meskipun Amir Hamzah pasrah untuk berjuang tetapi kerinduan hatinya tetaplah diperlihatkannya sebagai manusia biasa.
Hatiku rindu bukan kepalang Dendam beralik berulang-ulang Air mata bercucuran selang-menyelang Mengenang adik kekasih abang
(Buah Rindu III)
Kerinduannya itu dititipkannya pada “awan” untuk disampaikan pada kekasihnya yang jauh.


Tuan aduhai mega berarak Yang meliputi dewangga raya Berhentilah tuan di atas teratak Anak Langkat musyafir lata
Sesaat sekejap mata beta berpesan Padamu tuan aduhai awan Arah manatah tuan berjalan Di negeri manatah tuan bertahan?
Sampaikan rinduku pada adinda Bisikkan rayuanku pada juita Liputi lututnya muda kencana Serupa beta memeluk dia.
(Buah Rindu II)
Sampai akhirnya Amir Hamzah bertanya mengapa dirinya dilahirkan pada situasi dan kondisi bangsa yang sedang bergolak untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsanya.
Bunda waktu melahirkan beta Pada subuh kembang cempaka Adakah ibu menaruh sangka Bahwa begini peminta anakda?
(Buah Rindu)
Ada kata Bunda dan ibu yang digunakan Amir Hamzah pada puisi itu, yang sebenarnya bersinonim, tetapi sebagai penyair tentu saja dapat membedakan makna dari kedua kata tersebut. Kata-kata itu dapat juga ditafsirkan sebagai ibunya sendiri atau tanah air, Indonesia-Raya. Atau bunda untuk ibunya sendiri dan ibu untuk ibu pertiwi (tanah air, Indonesia).
Amir Hamzah juga menunjukkan bagaimana perjuangan gerakan kebangsaan itu dengan mencontohkan tokoh Hang Tuah yang dikagumi dalam kesusastraan Melayu lama. Hang Tuah yang merupakan tokoh Melayu yang gagah berani, yang siap berkorban demi tuannya, Sultan Melaka, yang dilukiskan dalam sebuah naskah Melayu lama. Amir Hamzah menghidupkan kembali kisah perjuangannya yang gemilang itu dalam puisi “Hang Tuah”
Bayu berpuput alun digulung Bayu direbut buih dibubung Selat Melaka ombaknya memecah Pukul-memukul belah-membelah
Bahtera ditepuk buritan dilanda Penjajah dihantuk haluan ditunda Camar terbang riuh suara Alkamar hilang menyelam segera Armada Perenggi lari bersusun Melaka negeri hendak diruntun

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA

Volume III No. 1 April Tahun 2007

❏ Ikhwanuddin Nasution

Halaman 37
Estetisasi Amir Hamzah terhadap Gerakan Kebangsaan

Di samping bentuk puisi, Amir Hamzah juga menggambarkan tokoh-tokoh Melayu dalam prosanya, seperti “Abdullah” yang menggambarkan tentang Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, “Sultan Ala’uddin Rajat Syah”, dan “Raja Kecil”. Kisah-kisah itu diangkat kembali oleh Amir Hamzah dari naskah-naskah atau kitab-kitab Melayu lama.
Kisah-kisah lain yang ada pada prosa Amir Hamzah menunjukkan keragaman pengetahuannya tentang dunia di luar Sumatera (Melayu) dan Jawa. Misalnya cerita “Nyoman” menunjukan hubungannya dengan Bali yang dikagumi orang banyak, tempat wisata yang terkenal di mancanegara. Dengan sangat estetis Amir Hamzah menggambarkannya sebagai berikut.

Estetisasi Amir Hamzah terhadap gerakan kebangsaan bermula dari konflik-koflik batin yang dirasakannya dari dunia luar dikontemplasikannya dalam batinnya dan kemudian diwujudkannya dalam bentuk-bentuk karya, baik puisi maupun prosa. Meskipun perwujudannya kurang jelas dan terlalu mengambang, yang barangkali merupakan keraguan Amir Hamzah akan situasi dan kondisi masa itu.
L.K. Bohang melihat dalam diri Amir Hamzah ada “suara kesangsian” yang bersahutsahutan. Ajib Rosidi mengatakan “hati yang ragu”. Banyak sekali “ gelombang dua berimbang” dalam hidup penyair ini. Banyak sekali suara-suara dua kutub dalam hatinya, yang merupakan tema dasar dari karya-karya liriknya yang paling murni (Mohamad, 1981:58).

“segala mereka yang mendatangi negerimu, melihat dikau dengan mata penuh gembira, aku juga, tetapi dalam hatiku-kecil tumbuh bunga semerbak-harum, yang engkau mataharinya, arah ke mana ia menghala, condong-rebah, menyembah-serah. Senyummu, sinau selisih seri, merah bersaing putih, menghimbau daku menggiring dikau.”
Mohamad (1981:59) menggambarkan bahwa Amir Hamzah tentulah bukan sekadar “bujang Melayu” dan “Anak Langkat Musyafir Lata”, walaupun Amir Hamzah sendiri menyebut dirinya seperti itu. Namun pada dirinya, sebagaimana juga pada penulis-penulis angkatan ’30-an, telah tumbuh kesetiaan baru. Kesetianan baru itulah yang disebut dengan nasionalisme, yang tentu saja bukan penjelmaan alam pikiran abad yang silam di Indonesia.
Namun, Amir Hamzah tentu saja tidak mudah untuk meninggalkan masa silam, terlihat dari riwayat hidupnya yang dibesarkan pada alam Melayu baik dari segi kesusastraannya maupun kebudayaannya. Ia tidak seperti STA yang dengan mudah bisa memberi kata putus terhadap apa yang disebutnya “masa yang silam” seraya menolak untuk menganggap zaman baru “zaman Indonesia’ sebagai sambungan atau terusan dari masa silam itu.
Pada masa (1930-an) itu terlihat adanya dua corak dalam kesusastraan (kebudayaan umumnya) yakni Timur dan Barat dan tentu saja dimungkinkan adanya sintesa dari keduanya. Di tengah-tengah konflik-konflik antara Timur dan Barat itulah Amir Hmzah berada, terjadinya Polemik Kebudayaan, meskipun Amir Hamzah tidak mengambil bagian dalam polemik itu, tetapi dalam dirinya terjadi polemik batin.

5. SIMPULAN
Estetisasi Amir Hamzah terhadap pergerakan kebangsaan diwujudkannya dalam karya-karyanya, meskipun tidak secara eksplisit, tetapi secara dalam dapat ditelusuri bahwa beberapa puisi dan prosanya mengarah pada pergerakan kebangsaan tersebut. Apalagi dikaitkan dengan cita-cita Angkatan Pujangga Baru, di mana Amir Hamzah menjadi salah satu pendiri dan pelopor angkatan tersebut.
Amir Hamzah telah melakukan sintesa antara estetika keselarasan dengan estetika ketegangan (modern) sebagai estetika dari karyakaryanya. Pada bentuk karyanya masih terlihat adanya estetika keselarasan, tetapi pada isi ia telah masuk pada estetika modern (Barat).
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Amir. 1982. Esai dan Prosa. Jakarta: Dian Rakyat.
Hamzah, Amir. 1996. Buah Rindu. Jakarta: Dian Rakyat.
Hamzah, Amir. 1996. Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat.
Hooykaas, C. 1951. Perintis Sastra. Djakarta: J.O. Wolters–Groningen.
Jassin, H.B. 1955. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay. Djakarta: Gunung Agung.
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA

Volume III No. 1 April Tahun 2007

Halaman 38 ❏ Ikhwanuddin Nasution

Estetisasi Amir Hamzah terhadap Gerakan Kebangsaan

Mohamad, Goenawan. 1981. Seks, Sastra, Kita. Simorangkir-Simandjuntak, B. 1961. Kesusasteraan

Jakarta: Sinar Harapan.

Indonesia. Djakarta: Pembangunan.

Salleh, Muhammad Haji. 1988. Pengalaman Puisi. Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Ende-

Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Flores: Nusa Indah.

Sarjono, Agus R. 2001. Sastra dalam Empat Orde. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:

Yogyakarta: Bentang Budaya.

Pustaka Jaya.

Saryono, Djoko. 2006. Pergumulan Estetika Sastra di Indonesia. Malang: Pustaka Kayutangan.

Toda, Dami N. 1984. Hamba-hamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan.

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA

Volume III No. 1 April Tahun 2007