GAMBARAN DARAH AYAM PETELUR FASE GROWER (7--10 MINGGU) PADA KEPADATAN KANDANG BERBEDA

(1)

ABSTRAK

GAMBARAN DARAH AYAM PETELUR FASE GROWER

(7--10 MINGGU) PADA KEPADATAN KANDANG BERBEDA

Oleh

DEWI WIJAYANTI

Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Untuk itu, diperlukan sumber protein hewani yang mudah diperoleh dan harganya terjangkau, seperti telur ayam ras. Produksi telur yang tinggi pada ayam fase layer dapat dicapai apabila manajemen pemeliharaan fase grower dilaksanakan dengan baik. Salah satu manajemen pemeliharaan penting dalam mencapai target pertumbuhan optimal dan

keseragaman yang tinggi pada fase grower adalah kepadatan kandang. Kepadatan kandang yang terlalu tinggi akan memengaruhi kenyamanan ternak, menurunkan ketersediaan oksigen, menyebabkan suhu di dalam kandang juga tinggi,

selanjutnya memengaruhi sistem peredaran darah, dan akhirnya memengaruhi gambaran darah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran darah (jumlah eritrosit, jumlah leukosit, dan kadar hemoglobin) ayam petelur fase grower dengan

kepadatan kandang yang berbeda dan mengetahui kepadatan kandang yang terbaik terhadap gambaran darah ayam petelur fase grower. Penelitian ini telah dilakukan pada April 2014 dengan menggunakan 210 ekor ayam petelur fase grower umur 7--10 Minggu di kandang ayam petelur Varia Agung Jaya dan Balai Veteriner Lampung. Perlakuan disusun dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri atas empat perlakuan dan lima ulangan. Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam pada taraf nyata 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan kandang 6, 9, 12, dan 15 ekor m-2 berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap gambaran darah (jumlah eritrosit 1,04 sampai 2,74 x 106 mm-3, jumlah leukosit 27,96 sampai 52,52 x 103 mm-3, dan kadar hemoglobin 6,40 sampai 8,20 g/dl).

Kata kunci : ayam petelur fase grower, kepadatan kandang, jumlah eritrosit, jumlah leukosit, kadar hemoglobin


(2)

(3)

(4)

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rejo Binangun pada 02 Juli 1992, sebagai putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Legiono dan Ibu Harmi. Penulis

menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Pertiwi Kota Raman pada tahun 1998; Sekolah Dasar Negeri 1 Kota Raman pada tahun 2004; Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Raman Utara pada tahun 2007; Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Raman Utara pada tahun 2010.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN pada 2010. Pada Januari sampai Februari 2013 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pekon Sri Rahayu, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Pringsewu. Pada Juli sampai Agustus 2013 penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di PT. Great Giant Livestock (GGL) Lampung Tengah.


(6)

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,

dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk

bagimu; Allah mengetahui, sedang

kamu tidak mengetahui”

(QS. Al Baqarah:216)

Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,

sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”

(QS. Al-Insyiroh: 5-6)

Tuntutlah ilmu, sesungguhnya menuntut ilmu adalah

pendekatan diri kepada Allah Azza wajalla, dan

mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya

adalah sodaqoh. Sesungguhnya ilmu pengetahuan

menempatkan orangnya, dalam kedudukan terhormat dan

mulia (tinggi). Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi

ahlinya di dunia dan di akhirat

(HR. Ar-rabii')

Lakukanlah yang terbaik untuk orang-orang yang Anda sayangi

dan cintai


(7)

Alhamdulillah hirobbil alamin

Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan kasih

sayang-Mu telah memberikanku kekuatan, membekaliku dengan ilmu serta

memperkenalkanku dengan cinta. Atas karunia, keridhoan, serta kemudahan

yang Engkau berikan akhirnya skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan.

Serta tidak lupa shalawat serta salam kepada Rasulullah Muhammad SAW

sang kekasih Allah pemberi syafaat di hari akhir dan suri tauladan yang terbaik

bagi manusia.

Kupersembahkan karya sederhana ini kepada orang yang sangat kukasihi dan

kusayangi

Ayah dan Ibu tercinta

yang senantiasa ada saat suka maupun duka, selalu setia mendampingi saat ku

lemah tak berdaya, selalu memberikan yang terbaik dan memanjatkan doa

kepada putrimu tercinta dalam setiap sujudnya. Terima kasih untuk semuanya.

adik-adikku tersayang

yang selalu memberikan keceriaan dan mewarnai hidupku

untuk para dosen

Terima kasih banyak untuk semua ilmu, didikan dan pengalaman yang sangat

berarti yang telah diberikan,

do’a dan dukungan selama

Aku menuntut ilmu

Untuk seluruh keluarga ku, sahabat, serta almamater tercinta

yang selalu ku banggakan

Terakhir, untuk seseorang yang telah ditakdirkan untukku yang tertuliskan di

lauhul mahfudz dan masih dalam misteri yang dijanjikan Ilahi entah siapapun


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat, hidayah, dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul Gambaran Darah Ayam Petelur Fase Grower (7--10 Minggu) pada Kepadatan Kandang

Berbeda. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Sarjana (S-1) pada Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini tidak dapat berjalan dengan baik tanpa dukungan, bantuan, dan bimbingan dari beberapa pihak. Maka melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

1. Bapak drh. Madi Hartono, M.P.--selaku Pembimbing Utama--atas ketulusan hati, kesabarannya dalam membimbing penulis, dan saran yang telah diberikan sehingga penulis dapat memperbaiki kesalahan dan kekurangan dalam skripsi ini;

2. Ibu Dr. Ir. Riyanti, M.P.--selaku Pembimbing Anggota-- atas kebaikan, saran, dan bantuannya dalam penyusunan skripsi;

3. Ibu Sri Surhayati, S.Pt, M.P.--selaku Pembahas dan Sekretaris Jurusan Peternakan--atas kritikan, saran, dan bimbingannya dalam pengoreksian skripsi;


(9)

4. Ibu Dian Septinova, S.Pt., M.T.A.--selaku Pembimbing Akademik--atas bimbingan, motivasi, dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama masa studi;

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S.--selaku Ketua Jurusan Peternakan--atas persetujuan, segala saran, arahan, dan bimbingan yang diberikan kepada penulis selama masa studi;

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S.--selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung--atas izin yang telah diberikan;

7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Peternakan yang dengan ikhlas memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama menjadi mahasiswa;

8. Bapak, Ibu, adik-adikku, beserta keluarga besarku--atas semua kasih sayang, nasehat, dukungan, dan do'a tulus yang selalu tercurah tiada henti bagi penulis;

9. Bapak Sutanto dan keluarga atas segala kebaikan dan izin yang telah diberikan kepada penulis untuk penelitian;

10.Dwi, Rosa (satu tim penelitian), Afrizal, Agung, Aini, Ajrul, Amrina, Andri, Anung, Awari, Ayyub, Cheldra, Dewa, Dian, Edo, Etha, Fajar, Fandi, Fara, Fauzan, Febi, Gaby, Heru, Ilmia, Imam, Irma, Janu, Jefri, Kunaifi, Miranti, Nani, Nano, Niko, Nurma, Oto, Owi, Rahmadhanil, Rahmat, Rangga, Repi, Repki, Rizki, Rohmat, Sekar, Sherly, Silvia, Tiwi, Tri, Yuli, Widi, dan seluruh kakak tingkat hingga 2009, adik-adik angkatan 2011, 2012, 2013, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas doa, motivasi, dan bantuannya.


(10)

Ada begitu banyak nama yang ingin kutuliskan, tetapi halaman ini terlalu kecil untuk menuliskan semua kebaikan kalian. Semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis, mungkin tidak dapat Penulis balas dengan baik secara langsung. Semoga semua yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dan rahmat dari Allah SWT.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang dan semoga karya ini dapat bermanfaat. Amin.

Bandar Lampung, Mei 2014 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Kegunaan Penelitian... 3

D. Kerangka Pemikiran ... 4

E. Hipotesis ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Kepadatan Ayam Petelur Fase Grower ... 8

B. Darah ... 10

1. Gambaran umum ... 10

2. Komponen-komponen darah ... 12

a. Eritrosit ... 12

b. Hemoglobin ... 13

c. Leukosit ... 14

III. BAHAN DAN METODE ... 18


(12)

xii

B. Bahan Penelitian... 18

1. Ayam ... 18

2. Ransum ... 18

3. Air minum ... 19

4. Vaksin dan vitamin ... 19

5. Alkohol 70%, larutan Hayem, larutan Turk, dan HCl 0,1 N ... 19

C. Alat Penelitian ... 20

D. Metode Penelitian... 21

1. Rancangan perlakuan ... 21

2. Analisis data ... 21

E. Pelaksanaan Penelitian ... 21

1. Persiapan kandang ... 21

2. Kegiatan penelitian... 22

3. Tahap koleksi data... 23

a. Eritrosit ... 23

b. Leukosit ... 24

c. Hemoglobin ... 24

F. Peubah yang Diamati ... 25

1. Jumlah eritrosit ... 25

2. Jumlah leukosit... 26

3. Kadar hemoglobin darah ... 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.. ... 27

A. Pengaruh Kepadatan Kandang terhadap Jumlah Eritrosit.. ... 27 1. Pengaruh kepadatan kandang terhadap jumlah eritrosit


(13)

xiii

ayam petelur fase grower umur 7 minggu ... 28

2. Pengaruh kepadatan kandang terhadap jumlah eritrosit ayam petelur fase grower umur 10 minggu ... 29

B. Pengaruh Kepadatan Kandang terhadap Jumlah Leukosit ... 33

1. Pengaruh kepadatan kandang terhadap jumlah leukosit ayam petelur fase grower umur 7 minggu ... 34

2. Pengaruh kepadatan kandang terhadap jumlah leukosit ayam petelur fase grower umur 10 minggu ... 36

C. Pengaruh Kepadatan Kandang terhadap Kadar Hemoglobin.... 38

1. Pengaruh kepadatan kandang terhadap kadar hemoglobin ayam petelur fase grower umur 7 minggu ... 38

2. Pengaruh kepadatan kandang terhadap kadar hemoglobin ayam petelur fase grower umur 10 minggu ... 40

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kandungan nutrisi konsentrat ... 19 2. Kandungan nutrisi ransum buatan peternak ... 19 3. Rata-rata jumlah eritrosit ayam petelur fase grower

umur 7 minggu ... 28 4. Rata-rata jumlah eritrosit ayam petelur fase grower

umur 10 minggu ... 30 5. Rata-rata jumlah leukosit ayam petelur fase grower

umur 7 minggu ... 34 6. Rata-rata jumlah leukosit ayam petelur fase grower

umur 10 minggu ... 37 7. Rata-rata kadar hemoglobin ayam petelur fase grower

umur 7 minggu ... 38 8. Rata-rata kadar hemoglobin ayam petelur fase grower

umur 10 minggu ... 40 9. Perhitungan analisis ragam total eritrosit ayam petelur

fase grower umur 7 minggu ... 50 10. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap total eritrosit

ayam petelur fase grower umur 7 minggu ... 51 11. Perhitungan analisis ragam total eritrosit ayam petelur

fase grower umur 10 minggu ... 52 12. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap total eritrosit

ayam petelur fase grower umur 10 minggu ... 53 13. Perhitungan analisis ragam total leukosit ayam petelur

fase grower umur 7 minggu hasil transformasi


(15)

xv 14. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap total leukosit

ayam petelur fase grower umur 7 minggu ... 55 15. Perhitungan analisis ragam total leukosit ayam petelur

fase grower umur 10 minggu ... 56 16. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap total leukosit

ayam petelur fase grower umur 10 minggu ... 57 17. Perhitungan analisis ragam kadar hemoglobin ayam petelur

fase grower umur 7 minggu ... 58 18. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar

hemoglobin ayam petelur fase grower umur 7 minggu ... 59 19. Perhitungan analisis ragam kadar hemoglobin ayam petelur

fase grower umur 10 minggu ... 60 20. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar

hemoglobin ayam petelur fase grower umur 10 minggu ... 61 21. Pola suhu dan kelembapan harian kandang penelitian ... 62 22. Rata-ratasuhu dan kelembapan pada kepadatan kandang

6 ekor m-2 selama penelitian ... 63 23. Rata-ratasuhu dan kelembapan pada kepadatan kandang

9 ekor m-2 selama penelitian ... 64 24. Rata-ratasuhu dan kelembapan pada kepadatan kandang

12 ekor m-2 selama penelitian ... 65 25. Rata-ratasuhu dan kelembapan pada kepadatan kandang

15 ekor m-2 selama penelitian ... 66 26. Rata-rata konsumsi ransum ayam petelur fase grower

umur 10 minggu ... 67 27. Rata-rata frekuensi nafas ayam petelur fase grower


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Leukosit ... 15

2. Haemocytometer ... 25

3. Haemometer ... 26


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan telur terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Untuk memenuhi permintaan tersebut, diperlukan sumber protein hewani yang mudah diperoleh dan harganya terjangkau. Sumber protein yang memenuhi kriteria tersebut adalah telur ayam ras.

Produksi telur yang tinggi pada ayam fase layer dapat dicapai apabila manajemen pemeliharaan fase grower dilaksanakan dengan baik. Pemeliharaan fase grower

berkaitan dengan kontrol pertumbuhan dan keseragaman, kemudian akan berpengaruh terhadap reproduksi dan produksi pada fase layer.

Salah satu manajemen pemeliharaan penting dalam mencapai target pertumbuhan optimal dan keseragaman yang tinggi pada fase grower adalah kepadatan

kandang. Kepadatan kandang yang terlalu tinggi akan menurunkan ketersediaan oksigen, meningkatkan amoniak, dan meningkatkan kanibalisme. Kepadatan kandang yang tinggi memengaruhi kenyamanan ternak dan menyebabkan suhu di dalam kandang juga tinggi, sehingga suhu tubuh ayam tinggi. Tingginya suhu


(18)

2 tubuh ayam dapat mengganggu fungsi fisiologis dari organ peredaran darah seperti jantung dan organ lainnya.

Gambaran darah akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan fisiologisnya. Perubahan fisiologis dapat disebabkan faktor internal seperti pertambahan umur, status gizi, latihan, kesehatan, stres, siklus estrus, suhu tubuh, serta faktor eksternal, misalnya akibat infeksi kuman dan perubahan suhu

lingkungan. Gambaran darah ayam dapat digunakan untuk mengetahui status kesehatan ayam (Guyton dan Hall, 2010).

Hasil penelitian Nurharitrika (2010), menunjukkan bahwa kepadatan kandang 10, 12, 14, dan 16 ekor m-2 berbeda tidak nyata terhadap total eritrosit ayam jantan tipe medium umur 7 minggu. Pada pemeliharaan broiler sudah didapatkan kepadatan kandang yang ideal, yaitu 8--9 ekor m-2di dataran rendah (Rasyaf, 2010).

Kepadatan ayam petelur pada kandang grower adalah 6--8 ekor m-2 (Astuti, dkk., 2010). Daya tampung kandang per ekor per meter persegi untuk masa grower

dengan full litter adalah 8--10 ekor (Rahardi dan Hartono, 2000). Standar

kepadatan ayam yang ideal adalah 15 kg m-2 atau setara dengan 12--14 ekor ayam petelur grower (pullet) setiap meter persegi. Kepadatan yang berlebih akan menyebabkan pertumbuhan ayam terhambat (kerdil) karena terjadi persaingan untuk mendapatkan ransum, air minum, maupun oksigen (Fadillah dan Fatkhuroji, 2013).


(19)

3 Kenyataan di lapangan, penggunaan kepadatan kandang pada ayam petelur fase

grower yang digunakan oleh peternak masih beragam. Keberagaman kepadatan

kandang akan memengaruhi gambaran darah sehingga dapat mengganggu pertumbuhan ayam. Oleh karena itu, penting dilakukan penelitian kepadatan kandang 6, 9, 12, dan 15 ekor m-2 terhadap gambaran darah ayam petelur fase

grower.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk

1. mengetahui gambaran darah (jumlah eritrosit, jumlah leukosit, dan kadar hemoglobin) ayam petelur fase grower dengan kepadatan kandang yang berbeda;

2. mengetahui pengaruh kepadatan kandang yang terbaik terhadap gambaran darah ayam petelur fase grower.

C. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang penggunaan kepadatan kandang yang terbaik pada pemeliharaan ayam petelur fase grower, khususnya terhadap gambaran darah (jumlah eritrosit, jumlah leukosit, dan kadar hemoglobin) dan sebagai bahan pertimbangan peternak dalam menentukan kepadatan kandang yang terbaik dalam upaya peningkatan produksi pada fase


(20)

4

D. Kerangka Pemikiran

Kondisi fisiologis ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik menyumbang 30 % dan faktor lingkungan menyumbang 70 % (Aksi Agraris Kanisius, 2003). Faktor genetik biasanya bawaan dari induknya, sedangkan fakor lingkungan berasal dari suhu, temperatur, pakan, dan keadaan lingkungan kandang (Listyowati, 2004).

Kandang yang digunakan untuk pemeliharaan ayam petelur fase starter yaitu kandang postal , fase grower menggunakan kandang panggung, dan fase layer

menggunakan kandang battery atau cage. Faktor lingkungan yang memengaruhi pertumbuhan ayam petelur adalah manajemen perkandangan.

Kepadatan kandang yang tinggi akan menyebabkan konsumsi ransum berkurang, pertumbuhan terhambat, meningkatnya persentase kematian dan kanibalisme, dan menambah kebutuhan oksigen (Rasyaf, 2001). Kepadatan kandang yang terlalu tinggi akan memengaruhi kenyamanan ternak, menyebabkan suhu dan

kelembaban di dalam kandang tinggi (Guyton dan Hall, 2010). Suhu kandang yang tinggi juga membuat suhu tubuh ayam tinggi. Tingginya suhu tubuh ayam dapat mengganggu fungsi fisiologis organ peredaran darah seperti jantung dan organ lainnya.

Kandang panggung mempunyai ventilasi yang berfungsi lebih baik karena udara bisa masuk dari bawah dan samping kandang (Fadillah, 2004). Oleh karena itu, sirkulasi di dalam kandang menjadi lebih baik, akibatnya temperatur di dalam


(21)

5 kandang relatif lebih rendah dan ayam merasa lebih nyaman, sehingga kepadatan kandang dapat ditingkatkan agar lebih efisien.

Tingginya kelembaban menyebabkan udara berhenti bergerak yang

mengakibatkan kadar amoniak tinggi karena feses banyak mengandung air. Berat jenis amoniak lebih besar daripada berat jenis oksigen dan udara yang

mengakibatkan oksigen naik ke udara dan amoniak tinggal di sekitar ayam, selanjutnya ayam bersin-bersin dan akhirnya mengganggu fungsi fisiologis dari organ pernafasan seperti adanya luka pada selaput pernafasan. Gambaran darah akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan fisiologisnya (Guyton dan Hall, 2010). Perubahan dalam gambaran darah dapat terlihat dari jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan jumlah leukosit.

Eritrosit merupakan sel darah merah yang membawa hemoglobin dalam sirkulasi. Menurut Suprijatna (2008), jumlah eritrosit dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Selain itu, jumlah eritrosit juga dipengaruhi oleh aktivitas individu, nutrisi, ketinggian tempat, dan suhu lingkungan (Guyton dan Hall, 2010).

Fungsi utama eritrosit adalah untuk membawa hemoglobin dalam sirkulasi darah untuk membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan nutrien untuk diedarkan ke jaringan tubuh, sisa-sisa hasil metabolisme yang disekresikan ke ginjal, serta kelancaran sirkulasi darah. Hemoglobin dalam eritrosit merupakan buffer yang baik untuk mempertahankan keseimbangan keseluruhan darah (Guyton dan Hall, 2010).


(22)

6 Hemoglobin merupakan petunjuk kecukupan oksigen. Hemoglobin berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru dan dalam peredaran darah untuk dibawa ke jaringan, serta membawa karbon dioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru (Guyton dan Hall, 2010). Kadar hemoglobin dipengaruhi oleh kadar oksigen dan jumlah eritrosit, sehingga ada kecenderungan jika jumlah eritrosit rendah, maka kadar hemoglobin akan rendah dan jika oksigen (faktor ketinggian tempat) dalam darah rendah, maka tubuh terangsang meningkatkan produksi eritrosit dan hemoglobin (Schalm, 2010).

Rendahnya kadar hemoglobin dan jumlah eritrosit menyebabkan timbulnya anemia. Anemia akan mengganggu suplai oksigen yang dibutuhkan jaringan, viskositas darah turun, karena kosentrasi hemoglobin dan eritrosit yang rendah, sehingga aliran darah lebih cepat. Kondisi ini tentunya mengganggu aktivitas metabolisme tubuh (Schalm, 2010).

Leukosit atau sering disebut dengan sel darah putih merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh yang dapat bergerak. Dari diferensiasi leukosit, dapat diketahui status ketahanan ternak terhadap penyakit (Schalm, 2010).

Hasil penelitian Sara (2013) memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah eritrosit ayam ras petelur pada tingkat produksi yang berbeda adalah 2,18 T/l. Hasil penelitian Marlina (2011), menunjukkan bahwa jumlah eritrosit antara 2,73 dan 2,92 x 106 mm-3, jumlah leukosit antara 189,33 dan 234,76 x 103 mm-3, serta kadar hemoglobin antara 7,18 dan 8,33 g % pada ayam jantan tipe medium umur 7 minggu. Hasil penelitian Nurharitrika (2010), kepadatan kandang 10, 12, 14, dan 16 ekor m-2 menunjukkan bahwa perlakuan berbeda tidak nyata terhadap total


(23)

7 eritrosit ayam jantan tipe medium umur 7 minggu yang dipelihara di kandang postal.

Penggunaan kepadatan kandang pada ayam petelur fase grower yang digunakan oleh peternak masih beragam. Keberagaman kepadatan kandang akan

memengaruhi gambaran darah sehingga dapat mengganggu pertumbuhan ayam karena terjadi persaingan untuk mendapatkan ransum, air minum, maupun oksigen (Fadillah dan Fatkhuroji, 2013). Oleh karena itu, dilakukan penelitian dengan kepadatan 6, 9, 12, dan 15 ekor m-2 ayam petelur fase grower untuk mengetahui pengaruhnya terhadap gambaran darah.

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah

1. terdapat pengaruh kepadatan kandang yang berbeda terhadap gambaran darah (jumlah eritrosit, jumlah leukosit, dan kadar hemoglobin) ayam petelur fase grower;

2. terdapat kepadatan kandang yang terbaik terhadap gambaran darah (jumlah eritrosit, jumlah leukosit, dan kadar hemoglobin) ayam petelur fase grower.


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepadatan Ayam Petelur Fase Grower

Ayam petelur adalah ayam yang efisien sebagai penghasil telur (Wiharto, 2002). Keberhasilan pengelolaan usaha ayam ras petelur sangat ditentukan oleh sifat genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan

kelancaran usaha pemasaran hasil produksi (Amrullah, 2003). Berdasarkan fase pemeliharaannya, pemeliharaan ayam petelur dibagi menjadi tiga, yaitu fase

starter (umur 1 hari--6 minggu), fase grower pertumbuhan (umur 6--18 minggu),

dan fase layer (umur 18 minggu--afkir) (Banong, 2012).

Fase grower pada ayam petelur, terbagi ke dalam dua kelompok umur yaitu umur 7--12 minggu dan umur 13--18 minggu yang disebut dengan fase developer

(Fadillah dan Fatkhuroji, 2013). Pada fase grower kontrol pertumbuhan dan keseragaman perlu dilakukan, hal ini berhubungan dengan sistem reproduksi dan produksi ayam tersebut.

Fase grower secara fisik tidak mengalami perubahan yang berarti, perubahan hanya dari ukuran tubuhnya yang semakin bertambah dan bulu yang semakin lengkap serta kelamin sekunder yang mulai nampak (Rasyaf, 2005). Hal yang mulai dominan pada fase grower yaitu pembentukan otot-otot tulang yang akan


(25)

9 membentuk frame dari ayam layer. Selain itu, pada fase grower sistem produksi ayam mulai tumbuh dan sistem hormon reproduksi mulai berkembang dengan baik. Berkaitan dengan berkembangnya sistem reproduksi ada faktor yang harus diperhatikan yaitu faktor ransum dan cahaya, karena kegagalan dalam

memperhatikan keduanya akan berakibat fatal terhadap produksi dimasa bertelur kelak (Parista, 2013).

Produktivitas ayam petelur yang optimal dipengaruhi banyak faktor, salah satunya yaitu keseragaman ayam. Keseragaman yang baik dapat diartikan ayam dalam satu populasi memiliki kesamaan. Kondisi ini menjadi syarat penting agar produksi telur atau henday bisa mencapai puncak dan bisa bertahan lama secara serempak. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keseragaman ayam yaitu kepadatan kandang. Kandang yang terlalu padat akan meningkatkan kompetisi dalam mendapatkan ransum, air minum, maupun oksigen. Kompetisi ini akan memunculkan ayam yang kalah dan menang sehingga pertumbuhannya menjadi tidak seragam (Fadillah dan Fatkhuroji, 2013).

Kepadatan kandang yang terlalu tinggi akan menyebabkan suhu dan kelembaban yang tinggi, sehingga akan mengganggu fungsi fisiologis tubuh ayam dan

menyebabkan mortalitas pada ternak akibat adanya kompetisi dalam mendapatkan ransum, air minum, maupun oksigen (Rasyaf, 2005). Selain itu, tingkat kepadatan kandang yang tinggi dapat menurunkan konsumsi ransum dan nilai konversi ransum yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ternak (Rasyaf, 2001). Kepadatan kandang yang optimal untuk ternak dipengaruhi oleh suhu dalam kandang. Semakin tinggi suhu dalam kandang, kepadatan kandang yang optimal


(26)

10 semakin rendah, sebaliknya apabila suhu di dalam kandang semakin rendah, kepadatan kandang yang optimal semakin tinggi (Rasyaf, 2005).

Kepadatan ayam petelur pada kandang grower adalah 6--8 ekor m-2 (Astuti, dkk., 2010). Daya tampung kandang per ekor per meter persegi untuk masa grower

dengan full litter adalah 8--10 ekor (Rahardi dan Hartono, 2000). Standar

kepadatan ayam yang ideal adalah 15 kg m-2 atau setara dengan 12--14 ekor ayam petelur grower (pullet) m-2 nya. Kepadatan yang berlebih akan menyebabkan pertumbuhan ayam terhambat (kerdil) karena terjadi persaingan untuk

mendapatkan ransum, air minum maupun oksigen (Fadillah dan Fatkhuroji, 2013). Hasil penelitian Nurharitrika (2010), menunjukkan bahwa kepadatan kandang 16 ekor m-2 ayam jantan tipe medium umur 7 minggu masih dapat digunakan.

Kandang panggung mempunyai ventilasi yang berfungsi lebih baik karena udara bisa masuk dari bawah dan samping kandang. Oleh karena itu, sirkulasi di dalam kandang menjadi lebih baik, akibatnya temperatur di dalam kandang relatif lebih rendah dan ayam merasa lebih nyaman (Fadillah, 2004).

B. Darah

1. Gambaran umum

Darah didefinisikan sebagai komponen penting yang berperan dalam proses-proses fisiologis dalam tubuh yang mengalir melalui pembuluh darah dan sistem kardiovaskuler. Darah merupakan cairan yang berfungsi membawa dan


(27)

11 mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme dari sel kembali ke jantung untuk dibuang melalui paru-paru dan ginjal, dan sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri (Adriani, dkk., 2010).

Darah tersusun atas sel darah (eritrosit, leukosit, dan trombosit) yang bersirkulasi dalam cairan yang disebut plasma (Meyer dan Harvey, 2004). Sekitar 55% dari volume darah yang beredar merupakan cairan dan sisanya 45% merupakan benda-benda darah (Ganong, 2008). Cairan tersebut merupakan komponen plasma yang terdiri dari air, elektrolit, metabolit, zat makanan, protein, hormon, serta benda-benda darah merupakan komponen sel yang terdiri dari eritrosit, leukosit, dan trombosit.

Darah memenuhi sekitar 12% dari bobot badan dari anak ayam yang baru menetas dan sekitar 6--8% pada ayam dewasa (Bell dan Weaver, 2002). Dalam keadaan normal, volume darah yang beredar  8 % dari berat badan dan dari volume itu kira-kira 55 % nya adalah plasma. Darah berfungsi sebagai alat pengangkut sari makanan dan menyebarkannya ke seluruh tubuh seperti glukosa, asam amino, asam lemak, beberapa lipid, dan sebagai alat pengangkut hasil oksidasi untuk dibuang melalui alat eksresi, seperti karbondioksida, asam laktat, buangan

bernitrogen dari metabolisme protein dan panas (Cunningham, 2002). Selain itu, darah juga memiliki berbagai fungsi seperti:

a. alat pengangkut air dan menyebarkannya ke seluruh tubuh; b. alat pengangkut oksigen dan menyebarkannya ke seluruh tubuh; c. alat pengukur getah hormon dari kelenjar buntu;


(28)

12 e. mengatur keseimbangan asam basa tubuh; serta

f. menjaga temperatur tubuh (Adriani, dkk., 2010).

Darah dapat dijadikan sebagai indikasi adanya gangguan fisiologi dalam tubuh ternak karena darah berperan sebagai media homeostasis (Jayanti, 2011). Perubahan fisiologis tubuh dapat mengakibatkan gambaran darah juga berubah. Perubahan fisiologis ini dapat disebabkan secara internal dan eksternal.

Perubahan secara internal dapat berupa pertambahan umur, status gizi, kesehatan, stres, siklus estrus, dan suhu tubuh. Sementara itu, perubahan secara eksternal dapat disebabkan oleh infeksi dan perubahan suhu lingkungan (Guyton dan Hall, 2010).

2. Komponen-Komponen Darah a. Eritrosit

Eritrosit merupakan sel darah merah yang membawa hemoglobin dalam sirkulasi. Eritrosit pada unggas intinya terletak ditengah dan berbentuk oval. Sel ini

berbentuk bikonkaf yang dibentuk di sumsum tulang belakang (Ganong, 2008). Eritrosit terdiri dari air (65%), hemoglobin (33%), dan sisanya terdiri dari sel stroma, lemak, mineral, vitamin, bahan organik lainnya, dan ion K (Kusumawati, 2004). Fungsi utama eritrosit adalah untuk membawa hemoglobin dalam sirkulasi darah untuk membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan, membawa nutrien untuk diedarkan ke jaringan tubuh, membawa sisa-sisa hasil metabolisme yang disekresikan ke ginjal, serta kelancaran sirkulasi darah.

Pembentukan eritrosit berproses pada masa embrional unggas dalam kantung telur. Setelah perkembangan embrio, pembentukan terjadi di limpa dan sumsum


(29)

13 tulang (Guyton dan Hall, 2010). Proses pembentukan eritrosit membutuhkan bahan seperti zat besi, vitamin B12, asam folat, vitamin B6 (piridoksin), protein,

dan faktor lain (Fauci, dkk.,2008). Pemberian unsur Cu dan Fe dengan rasio tertentu mampu meningkatkan status hematologis dan pertumbuhan ayam (Praseno, 2005).

Jumlah eritrosit dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin (Suprijatna, 2008). Selain itu, jumlah eritrosit juga dipengaruhi oleh aktivitas individu, nutrisi, ketinggian tempat, dan suhu lingkungan (Guyton dan Hall, 2010). Kadar normal sel eritrosit ayam berkisar antara 2,0--3,2 juta mm-3 (Guyton, 1996).

b. Hemoglobin

Hemoglobin adalah senyawa yang berasal dari ikatan komplek antar protein dan Fe yang menimbulkan warna merah pada darah. Sintesis asam asetat dan glycine

menghasilkan porphyrin. Porphyrin yang berkombinasi dengan besi

menghasilkan satu molekul heme. Jika empat molekul heme dikombinasikan dengan molekul globin maka terbentuk hemoglobin (Rastogi, 2007).

Hemoglobin dalam eritrosit merupakan buffer yang baik untuk mempertahankan keseimbangan keseluruhan darah (Guyton dan Hall, 2010). Hemoglobin

merupakan petunjuk kecukupan oksigen dan berfungsi sebagai pengangkut

oksigen dari paru-paru dan dalam peredaran darah untuk dibawa ke jaringan, serta membawa karbon dioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru (Guyton dan Hall, 2010).


(30)

14 Kadar hemoglobin dipengaruhi oleh kadar oksigen dan jumlah eritrosit, sehingga ada kecenderungan jika jumlah eritrosit rendah, maka kadar hemoglobin akan rendah dan jika oksigen dalam darah rendah, maka tubuh terangsang

meningkatkan produksi eritrosit dan hemoglobin (Schalm, 2010). Adanya inti dalam eritrosit unggas menyebabkan kadar hemoglobinnya menjadi lebih rendah dari mamalia. Kadar hemoglobin normal pada ayam yaitu 7--13 g/dl (Schalm, dkk., 1986).

c. Leukosit

Leukosit atau sering disebut dengan sel darah putih merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh yang dapat bergerak. Leukosit berfungsi dalam proses

fagositosis dan menyediakan kekebalan terhadap antigen spesifik (Guyton dan Hall, 2010).

Leukosit sebagian dibentuk di sumsum tulang belakang (granulosit dan monosit serta sebagian limfosit) dan sebagian lagi dibentuk di jaringan limfa (limfosit dan sel plasma). Setelah pembentukan, leukosit masuk ke dalam peredaran darah dan menuju ke bagian tubuh dimana leukosit dibutuhkan (Guyton dan Hall, 2010). Morfologi leukosit sangat beragam antar spesies unggas. Keragaman ini dapat dilihat dari penampakan morfologi granula, warna eosinofil, dan bentuk granula heterofil pada setiap spesies unggas. Melalui identifikasi deferensiasi leukosit, dapat diketahui status ketahanan ternak terhadap penyakit. Benda darah leukosit, yaitu berupa heterofil dan limfosit, juga dapat dijadikan indikator stres pada unggas (Schalm, 2010). Pada ayam, jumlah leukosit normal berkisar antara 16--40 ribu mm-3 (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).


(31)

15

Gambar 1. Leukosit

Jumlah leukosit sangat tergantung pada umur, jenis kelamin, stres, penyakit, dan pemberian pakan atau obat tertentu. Leukosit akan bekerja bersama-sama melalui dua cara untuk mencegah penyakit yaitu (1) dengan benar-benar merusak bahan yang menyerbu melalui proses fagositosis dan (2) dengan membentuk antibodi dan limfosit yang peka, salah satu atau keduanya dapat menghancurkan atau membuat penyerbu tidak aktif (Guyton dan Hall, 2010).

Berdasarkan ada tidaknya granula leukosit dibagi menjadi dua, yaitu leukosit granuler dan leukosit agranuler. Leukosit granuler terdiri atas heterofil, eosinofil dan basofil. Leukosit agranuler terdiri atas limfosit dan monosit. Heterofil merupakan bagian terbesar dari granulosit unggas (Schlam, 2010). Fungsi utama dari heterofil adalah penghancur bahan berbagai produk bakteri, berbagai produk yang dilepaskan oleh sel rusak, dan produk reaksi kekebalan (Day dan Schultz, 2010).

Heterofil berfungsi dalam merespon adanya infeksi dan mampu ke luar dari pembuluh darah menuju daerah infeksi untuk menghancurkan benda asing dan membersihkan sisa jaringan yang rusak. Heterofil bekerja secara cepat sehingga


(32)

16 dikenal sebagai first line defense, yaitu sistem pertahanan pertama. Heterofil juga mampu melakukan pinositosis selain fagositosis. Kombinasi antara fagositosis dan pinositosis dalam heterofil disebut endositosis (Day dan Schultz, 2010).

Eosinofil adalah granulosit polimorfonuklear-eosinofilik dengan ukuran yang hampir sama dengan heterofil. Jumlah eosinofil dalam aliran darah berkisar antara 2--8 % dari jumlah leukosit. Eosinofil ini berperan aktif dalam memerangi bakteri, mengatur pelepasan zat kimia saat pertempuran, dan membuang sisa-sisa sel yang rusak (Azhar, 2009).

Basofil adalah leukosit yang jumlahnya paling rendah sekitar 0,5--1,5% dari seluruh leukosit dalam aliran darah. Basofil memiliki reseptor immunoglobulin E (IgE) dan immunoglobulin G (IgG) yang menyebabkan degranulasi dan

membangkitkan reaksi hipersensitif dengan sekresi yang bersifat vasoaktif (Dharmawan, 2002).

Limfosit merupakan jenis leukosit unggul pada darah unggas, termasuk ayam petelur (Schalm, 2010). Limfosit dibentuk di jaringan limfoid seperti limfa, tonsil, timus, dan bursa fabricius. Peningkatan limfosit antara lain disebabkan terjadinya penurunan heterofil (sifatnya relatif), leukimia limfositik, inflamasi kronis (infeksi bakteri, virus, fungi, dan protozoa), pengeluaran epinefrin,

defesiensi korkostreoid (hypoadrenokorticism), dan neoplasia (Dharmawan, 2002; Jackson, 2007).

Peningkatan nilai leukosit dari jumlah normal menandakan terjadinya infeksi sedangkan penurunan leukosit menandakan depresi sumsum tulang yang


(33)

17 diakibatkan oleh infeksi viral atau reaksi toksik terhadap agen kimia (Rastogi, 2007).

Monosit merupakan leukosit yang terbesar yang berdiameter 15--20 μm dan jumlahnya 3--9 % dari seluruh sel darah putih (Dharmawan, 2002). Monosit berperan sebagai prekusor untuk makrofag yang akan mencerna dan membaca antigen (Samuelson, 2007).


(34)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di kandang ayam petelur Varia Agung Jaya Farm, Desa Varia Agung, Kecamatan Seputih Mataram, Kabupaten

Lampung Tengah. Pengujian terhadap jumlah eritrosit, jumlah leukosit, dan kadar hemoglobin dilaksanakan di Laboratorium Patologi Balai Veteriner Lampung, Jln. Untung Suropati No. 2, Kelurahan Labuhanratu, Kecamatan Labuhanratu, Bandar Lampung.

B. Bahan Penelitian

1. Ayam

Ayam yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam petelur tipe medium strain Isa brown umur 7--10 minggu sebanyak 210 ekor dengan rata-rata bobot awal 576,00 ± 19,58 g/ekor dan koefisien keragaman sebesar 3,40%.

2. Ransum

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsentrat dan ransumyang dibuat sendiri oleh peternak. Kandungan nutrisi ransum disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.


(35)

19 Tabel 1. Kandungan nutrisi konsentrat

Nutrisi Kandungan

Kadar air maksimum 12%

Protein kasar minimum 30%

Lemak kasar minimum 3%

Serat kasar minimum 8%

Abu maksimum 15%

Zaolene 420 ppm

Enramycin 15--30 ppm

Colistin 15--45 ppm

Sumber: PT. Cargiil Indonesia, 2013

Tabel 2. Kandungan nutrisi ransum buatan peternak

Nutrisi Kandungan (%)

Kadar Air 10,95

Protein kasar 11,63

Lemak kasar 6,09

Serat kasar 4,69

Abu 6,93

Sumber: Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung (2014)

3. Air minum

Air minum yang digunakan pada penelitian ini berasal dari air sumur bor yang diberikan secara ad libitum.

4. Vaksin dan vitamin

Vaksin yang diberikan adalah Caprivac® ND IB PV (suntik) dan Volvac® ND IB MLV (air minum), sedangkan vitamin yang diberikan adalah Farm-O-San Perfexsol-L® dan Farm-O-San Orange®.

5. Alkohol 70%, larutan Hayem, larutan Turk, dan HCl 0,1 N

Alkohol digunakan untuk desinfeksi kulit bagian sayap ayam petelur fase grower


(36)

20 sebagai pengencer darah dan melisiskan leukosit serta trombosit sehingga

memudahkan perhitungan jumlah eritrosit. Larutan Turk digunakan untuk mengencerkan darah dan melisiskan eritrosit. HCl 0,1 N digunakan untuk memberikan pH asam dalam penentuan kadar hemoglobin.

C. Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. bambu untuk membuat sekat pada kandang panggung; 2. tempat ransum gantung (hanging feeder) sebanyak 20 buah; 3. tempat air minum berbentuk tabung sebanyak 20 buah;

4. timbangan kapasitas 5 kg untuk menimbang ayam dan ransum;

5. thermohigrometer 4 buah untuk mengukur suhu dan kelembaban kandang;

6. alat-alat kebersihan; 7. kapas;

8. spuit 1 cc;

9. tabung darah yang mengandung Ethylen-Diamine-Tetraacetic-Acid (EDTA); 10. termos es untuk menyimpan sampel darah;

11. peralatan untuk menghitung jumlah eritrosit, leukosit, dan kadar hemoglobin

(haemocytometer, mikroskop Nikon Eclipse E200, tisu, counter number, dan

haemometer);


(37)

21

D. Metode Penelitian

1. Rancangan perlakuan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri atas empat perlakuan, setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali. Keempat perlakuan tersebut adalah

R1 : Kepadatan 6 ekor m-2 R2 : Kepadatan 9 ekor m-2 R3 : Kepadatan 12 ekor m-2 R4 : Kepadatan 15 ekor m-2

2. Analisis Data

Data yang dihasilkan dianalisis ragam pada taraf nyata 5% (Steel dan Torrie, 1993).

E. Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan kandang

Tahap awal yang dilakukan adalah :

a. pembuatan petak kandang penelitian ayam petelur fase grower sebanyak 20 petak dengan ukuran 1 x 1 x 1,3 m;

b. mencuci peralatan kandang hanging feeder dan tempat air minum; c. mengapur dinding, tiang, dan lantai kandang;


(38)

22 d. setelah kapur mengering, dilakukan pemasangan kandang sesuai dengan

petak kandang penelitian (Gambar 4) dan dilakukan penyemprotan kandang dengan desinfektan.

2. Kegiatan penelitian

Menimbang ayam petelur fase starter umur 7 minggu untuk mengetahui bobot tubuh pada awal fase grower sebanyak 210 ekor dengan rata-rata bobot awal 576,00 ± 19,58 g/ekor dan koefisien keragaman sebesar 3,40%. Selanjutnya, secara acak 210 ekor ayam petelur fase grower dengan bobot tubuh hampir seragam ditempatkan pada petak kandang penelitian sesuai dengan pengacakan perlakuan dan ulangan (Gambar 4). Satu petak kandang berisi 6, 9, 12, dan 15 ekor ayam petelur fase grower strain Isa Brown umur 7--10 minggu.

Pemberian ransum dilakukan 2 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00 dan 14.00 WIB dan air minum diberikan secara ad libitum. Suhu dan kelembaban diukur setiap hari, yaitu pada pukul 06.00; 13.00; dan 18.00 WIB. Suhu dan kelembaban kandang diukur menggunakan thermohigrometer yang diletakkan pada bagian dinding kandang.

Program vaksinasi yang dilakukan yaitu ND IB saat ayam berumur 60 hari melalui suntik di bawah kulit (subcutan). Vitamin yang diberikan yaitu Farm-O-San Perfexsol-L® sampai ayam berumur 65 hari dan Farm-O-San Orange® saat ayam berumur 66 hari sampai 71 hari.


(39)

23

3. Tahap koleksi data

Pengamatan dilakukan terhadap gambaran darah ayam petelur fase grower yang berumur 7 dan 10 minggu pada kepadatan kandang berbeda meliputi jumlah eritrosit, jumlah leukosit, dan kadar hemoglobin dengan jumlah sampel sebanyak satu ekor ayam petak kandang penelitian. Darah diambil sebanyak ± 1 ml pada

vena brachialis, kemudian dimasukkan ke dalam tabung darah yang mengandung

EDTA untuk menghindari pembekuan darah dan dihomogenkan dengan gerakan membentuk angka 8, kemudian diletakkan dalam termos es sampai dilakukan analisis. Hasil sampel darah yang diambil langsung dibawa ke Balai Veteriner Lampung untuk dianalisis jumlah eritrosit, jumlah leukosit, dan kadar

hemoglobin.

a. Eritrosit

Sampel darah yang akan dianalisis diambil menggunakan pipet eritrosit sampai batas 0,5. Ujung pipet terlebih dahulu dibersihkan dengan tisu kemudian menghisap larutan Hayem sampai batas 101. Kedua ujung pipet ditutup dengan ibu jari dan jari telunjuk kanan, kemudian isi pipet dikocok dengan gerakan membentuk angka 8. Setelah homogen, cairan yang tidak terkocok pada ujung pipet dibuang dengan menempelkan pipet ke kertas tisu. Sebelum diteteskan ke dalam kamar hitung, kamar hitung dibersihkan terlebih dahulu.

Selanjutnya, memasukkan setetes darah ke dalam kamar hitung, kemudian ditutup dengan gelas penutup, lalu dilakukan penghitungan jumlah eritrosit di bawah mikroskop. Penghitungan eritrosit dalam kamar hitung Neubauer, yang


(40)

24 kanan atas dan kiri atas, satu kotak pojok kanan bawah dan kiri bawah, serta satu kotak di tengah (Dharmawan, 2002).

b. Leukosit

Sampel darah yang akan dianalisis diambil menggunakan pipet leukosit sampai batas 0,5. Ujung pipet terlebih dahulu dibersihkan dengan tisu kemudian menghisap larutan Turk sampai batas 11. Kedua ujung pipet ditutup dengan ibu jari dan jari telunjuk kanan, kemudian isi pipet dikocok dengan gerakan

membentuk angka 8. Setelah homogen, cairan yang tidak terkocok pada ujung pipet dibuang dengan menempelkan pipet ke kertas tisu sebanyak lima tetes. Sebelum diteteskan ke dalam kamar hitung, kamar hitung dibersihkan terlebih dahulu.

Selanjutnya, memasukkan setetes darah ke dalam kamar hitung, kemudian ditutup dengan gelas penutup, lalu dilakukan penghitungan jumlah leukosit di bawah mikroskop. Penghitungan eritrosit dalam kamar hitung Neubauer pada 4 kotak yang besar, yaitu pojok kanan atas dan kanan bawah serta kiri atas dan kiri bawah (Dharmawan, 2002).

c. Hemoglobin

Metode yang digunakan adalah metode sahli. Sampel darah dihisap dengan pipet sahli sampai batas 0,02 ml. Kemudian, sampel darah dimasukkan ke dalam tabung sahli dan diletakkan antara kedua bagian standar warna dalam alat

hemoglobinometer. Selanjutnya, menambahkan HCl 0,1 N sampai angka 2 pada tabung sahli dan homogenkan. Setelah itu, larutan tersebut ditetesi dengan


(41)

25 aquades sedikit demi sedikit sambil diaduk, sampai warna larutan sama dengan warna standar hemoglobinometer (Dharmawan, 2002).

E. Peubah yang Diamati

Peubah yang akan diamati dalam penelitian ini adalah:

1. Jumlah eritrosit

Jumlah eritrosit mm-3 dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Jumlah eritrosit mm-3 = E x 400/80 x 200/0,1 atau = E x 10000

Keterangan:

E : Jumlah eritrosit yang terhitung 400 : jumlah seluruh bilik kecil

80 : Jumlah bilik kecil dari ke lima bilik 200 : Pengenceran

0,1 : Volume bilik-bilik kecil ( 1 mm x 1 mm x 1 mm) (Dharmawan, 2002).


(42)

26

2. Jumlah leukosit

Jumlah leukosit mm-3 dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Jumlah leukosit mm-3 = L x 20 x 10/4 atau

= L x 50 Keterangan:

L : Jumlah leukosit yang terhitung 20 : Pengenceran

10 : Dalamnya kotak (0,1 mm)

4 : Jumlah kotak dalam mm3 (Dharmawan, 2002).

3. Kadar hemoglobin darah

Nilai hemoglobin diketahui dengan membaca tinggi permukaan pada tabung sahli, dilihat dari skala jalur 95%, yang menunjukkan jumlah hemoglobin dalam gram per 100 ml darah atau dengan kata lain membandingkan larutan dalam tabung pengencer dengan warna larutan standar (Dharmawan, 2002).


(43)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat diambil simpulan bahwa

1. kepadatan kandang 6, 9, 12, dan 15 ekor m-2 berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah eritrosit (1,04 sampai 2,74 x 106 mm-3), jumlah leukosit (27,96 sampai 52,52 x 103 mm-3), dan kadar hemoglobin (6,40 sampai 8,20 g/dl);

2. belum diperoleh kepadatan kandang terbaik terhadap gambaran darah ayam petelur fase grower.

B. SARAN

Peternak masih dapat menggunakan kepadatan kandang sampai 15 ekor m-2 pada ayam petelur fase grower di kandang panggung sampai umur 10 minggu dengan syarat kandungan protein ransum harus diperhatikan sesuai standar.


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, L., E. Hernawan, K.A. Kamil, dan A. Mushawwir. 2010. Fisiologi Ternak. Widya Padjajaran. Bandung

Aksi Agraris Kanisius. 2003. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan Ke-18. Kanisius. Jakarta

Amrullah, I.K. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi. Bogor

Anderson, S.P. dan M.W. Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. EGC. Jakarta

Astuti, D.A., E. Sugiharto, R. Fadilah, E. Parwanto, A. Wahid, dan Alfa. 2010. Petunjuk Praktis Beternak Ayam Ras Petelur, Itik, dan Puyuh. PT. Patriot Intan. Jakarta

Azhar, M. 2009. Fisiologi III dan IV.

http://manusiaplanet.blogspot.com/2009/12/fisiologi-iii-dan-iv.html. Diakses 3 Maret 2014

Banong, S. 2012. Manajemen Industri Ayam Ras Petelur. Masagena Press. Makassar

Bell, D.D. and W.D. Weaver. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production. 5th Edition. Spinger Science Bussiness Media, Inc., Spring Street. New York

Cunningham, J.G. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. W.B. Saunders Company. USA

Day, M.J. dan R.D. Schultz. 2010. Veterinary Immunology: Principles and Practice. Manson Publishing. London

Dharmawan, N.S. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner (Hematologi Klinik). Cetakan III. Pelawa Sari. Denpasar


(45)

44 Dukes, H. 1995. The Physiology of Domestic Animal. Comstock Publishing

Associated. New York

Effendi, Z. 1983. Peranan Leukosit sebagai Anti Inflamasi Alergi dalam Tubuh. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Fadillah, R. 2004. Ayam Broiler Komersial. Cetakan ke-2. Agromedia Pustaka. Jakarta

--- dan Fatkhuroji. 2013. Memaksimalkan Produksi Ayam Ras Petelur. Agromedia Pustaka. Jakarta

Fauci, A.S., E. Braunwald, D.L. Kasper, S.L. Hauser, D.L. Longo, J.L. Jameson, and J. Loscalzo. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Edition (Harrison's Principles of Internal Medicine (Single Vol.)). The McGraw-Hill Companies, Inc. USA

Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Terjemahan: B. Srigandono dan P. Koen. UGM Press. Yogyakarta

Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physicology). Edisi 22. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta Geraert, P.A., J.C.F. Padhilha, and S. Guillaumin. 1996. Metabolic and

endocrine changes by chronic heat exposure in broiler chickens: biological and endocrinological variables. Br. J. Nutr.75: 205--216

Gustira, D.E. 2014. Pengaruh Kepadatan Kandang terhadap Peforma Produksi Ayam Petelur pada Fase Awal Grower. Belum Publikasi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Guyton, A.C. 1996. Buku Ajar Fisiologi. Edisi ke-7. Alih bahasa, Tengadi. EGC. Jakarta

--- dan J.E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th Edition. EGC. Jakarta

---. 2010. Textbook of Medical Physiology. 12th Edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia

Hartlova, H., J. Blaha, M. Koubkova, J. Draslarova, and A. Fucikova. 2002. Influence of heat stress on the metabolic response in broiler chickens. Scientia Agriculturae Bohemica, 33 (4): 145--149

Imelda, R. 2014. Respon Fisiologis Ayam Petelur Fase Grower terhadap Kepadatan Kandang yang Berbeda. Belum Publikasi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung


(46)

45 Jackson, M.L. 2007. Veterinary Clinical Pathology: An Introduction. Blackwell

Publishing. USA

Jayanti, A. M. 2011. Pengaruh Konsumsi Protein dan Mineral Besi (Fe) terhadap Profil Darah Puyuh yang Diberi Tepung Daun Katuk dan Murbei dalam Pakan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Gadjah Mada Press.

Yogyakarta

Lien, R.J., J.B. Hess, S.R. Mckee, S.F. Bilgili, and J.C. Townsend. 2007. Effect of light intensity and photoperiodon live performane,

heterophilto-lymphocyte ratio, and processing yields of broilers. Poult. Sci. 86: 1287--1293

Listyowati, E. 2004. Tata Laksana Budidaya Puyuh Secara Komersil. Penebar Swadaya. Jakarta

Marlina. 2011. Gambaran Darah Ayam Jantan Tipe Medium pada Kandang Panggung dengan Kepadatan yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Meyer, D.J. and J.W. Harvey. 2004. Veterinary Laboratory Madicine:

Interpretation and Diagnosis. 3rd Edition. W.B. Saunders Company. USA Nurharitrika, A. 2010. Pengaruh Kepadatan Kandang terhadap Respon Fisiologis

Ayam Jantan Tipe Medium. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar lampung

Parista, E. 2013. Periode Ayam Layer.

http://etikafarista.blogspot.com/2013/11/periode-ayam-layer.html.

Diposkan oleh Etika Parista 4 November 2013. Diakses 16 Desember 2013 Piliang, W.G. dan S. Djojosoebagio. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume II. IPB

Press. Bogor

Post, J., J.M.J. Rebel, and A.A.H.M. Terhuurne. 2003. Physiological effect of elevated plasma corticosterone, concentrations in broiler chickens, an alternative means by which to assess the physiological affects of stress. Poult. Sci. 82: 1313--1318

Praseno, K. 2005. Respon eritrosit terhadap perlakuan mikromineral cu, fe dan zn pada ayam (gallus gallus domesticus). J. Indo. Trop. Anim. Agric. 30 (3): 179--185

Puvadolpirod, S. and J.P. Thaxton. 2000. Model of physiological stress in chickens and dosimetry of adenocorticotropin. Poult. Sci. 79: 370--376


(47)

46 Rahardi, F. dan R. Hartono. 2000. Agribisnis Peternakan. Penebar Swadaya.

Jakarta

Rastogi, S.C. 2007. Essentials of Animal Physiology. Wiley Eastern Limited. New Delhi

Rasyaf, M. 2001. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Cetakan Ke-10. Penebar Swadaya. Jakarta

---. 2005. Panduan Beternak Ayam Petelur. Penebar Swadaya. Jakarta ---. 2010. Manajemen Peternakan Ayam Broiler. Penebar Swadaya.

Jakarta

Samuelson, D.A. 2007. Text Book of Veterinary Histology. W.B. Saunders Company. Philadelphia

Sara, U. 2013. Status Hematologis dan Biokimia Darah Ayam Ras Petelur pada Tingkat Produksi yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar

Schalm, O.W., N.C. Jain, and E.J. Carol. 1986. Veterinary Haematology. 4th Edition. Lea and Febiger. Philadelphia

---. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. 6th Edition. Editor Weiss, D.J. dan K.J. Wardrop. Wiley-Blackwell. Iowa USA

Shibata, T., M. Kawatana, K. Mitoma, and T. Nikki. 2007. Identification of heat stable proteinin the fatty livers of thyroidectomized chickens. J. Poult. Sci. 44: 182--188

Smith, J.B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press. Jakarta

SNI 01-3928-2006. 2006. Pakan Ayam Ras Petelur Dara ( Layer Grower). Badan Standar Nasional. Jakarta

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Suprijatna, E. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta Tizard, I.R. 2000. An Introduction to Veterinary Immunology. W.B. Saunders


(48)

47 Virden, W.S., M.S. Lilburn, J.P. Thaxton, A. Corzo, D. Hoehler, and M.T. Kidd.

2007. The effect of corticosterone-induced stress on amino acid digestibility in ross broilers. Poult. Sci. 86: 338--342

Wiharto. 2002. Petunjuk Beternak Ayam. Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya. Malang

Yunianto, V.D., K. Kayashi, S. Kaneda, A. Ohtsuka, and Y. Tomika. 1997. Effect of environmental temperature on muschule protein turnover and heat production in tube-fed broiler chickens. Br. J. Nutr. 77: 897--909


(1)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat diambil simpulan bahwa

1. kepadatan kandang 6, 9, 12, dan 15 ekor m-2 berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah eritrosit (1,04 sampai 2,74 x 106 mm-3), jumlah leukosit (27,96 sampai 52,52 x 103 mm-3), dan kadar hemoglobin (6,40 sampai 8,20 g/dl);

2. belum diperoleh kepadatan kandang terbaik terhadap gambaran darah ayam petelur fase grower.

B. SARAN

Peternak masih dapat menggunakan kepadatan kandang sampai 15 ekor m-2 pada ayam petelur fase grower di kandang panggung sampai umur 10 minggu dengan syarat kandungan protein ransum harus diperhatikan sesuai standar.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, L., E. Hernawan, K.A. Kamil, dan A. Mushawwir. 2010. Fisiologi Ternak. Widya Padjajaran. Bandung

Aksi Agraris Kanisius. 2003. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan Ke-18. Kanisius. Jakarta

Amrullah, I.K. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi. Bogor

Anderson, S.P. dan M.W. Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. EGC. Jakarta

Astuti, D.A., E. Sugiharto, R. Fadilah, E. Parwanto, A. Wahid, dan Alfa. 2010. Petunjuk Praktis Beternak Ayam Ras Petelur, Itik, dan Puyuh. PT. Patriot Intan. Jakarta

Azhar, M. 2009. Fisiologi III dan IV.

http://manusiaplanet.blogspot.com/2009/12/fisiologi-iii-dan-iv.html. Diakses 3 Maret 2014

Banong, S. 2012. Manajemen Industri Ayam Ras Petelur. Masagena Press. Makassar

Bell, D.D. and W.D. Weaver. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production. 5th Edition. Spinger Science Bussiness Media, Inc., Spring Street. New York

Cunningham, J.G. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. W.B. Saunders Company. USA

Day, M.J. dan R.D. Schultz. 2010. Veterinary Immunology: Principles and Practice. Manson Publishing. London

Dharmawan, N.S. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner (Hematologi Klinik). Cetakan III. Pelawa Sari. Denpasar


(3)

44 Dukes, H. 1995. The Physiology of Domestic Animal. Comstock Publishing

Associated. New York

Effendi, Z. 1983. Peranan Leukosit sebagai Anti Inflamasi Alergi dalam Tubuh. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Fadillah, R. 2004. Ayam Broiler Komersial. Cetakan ke-2. Agromedia Pustaka. Jakarta

--- dan Fatkhuroji. 2013. Memaksimalkan Produksi Ayam Ras Petelur. Agromedia Pustaka. Jakarta

Fauci, A.S., E. Braunwald, D.L. Kasper, S.L. Hauser, D.L. Longo, J.L. Jameson, and J. Loscalzo. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Edition (Harrison's Principles of Internal Medicine (Single Vol.)). The McGraw-Hill Companies, Inc. USA

Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Terjemahan: B. Srigandono dan P. Koen. UGM Press. Yogyakarta

Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physicology). Edisi 22. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta Geraert, P.A., J.C.F. Padhilha, and S. Guillaumin. 1996. Metabolic and

endocrine changes by chronic heat exposure in broiler chickens: biological and endocrinological variables. Br. J. Nutr.75: 205--216

Gustira, D.E. 2014. Pengaruh Kepadatan Kandang terhadap Peforma Produksi Ayam Petelur pada Fase Awal Grower. Belum Publikasi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Guyton, A.C. 1996. Buku Ajar Fisiologi. Edisi ke-7. Alih bahasa, Tengadi. EGC. Jakarta

--- dan J.E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th Edition. EGC. Jakarta

---. 2010. Textbook of Medical Physiology. 12th Edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia

Hartlova, H., J. Blaha, M. Koubkova, J. Draslarova, and A. Fucikova. 2002. Influence of heat stress on the metabolic response in broiler chickens. Scientia Agriculturae Bohemica, 33 (4): 145--149

Imelda, R. 2014. Respon Fisiologis Ayam Petelur Fase Grower terhadap Kepadatan Kandang yang Berbeda. Belum Publikasi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung


(4)

Jackson, M.L. 2007. Veterinary Clinical Pathology: An Introduction. Blackwell Publishing. USA

Jayanti, A. M. 2011. Pengaruh Konsumsi Protein dan Mineral Besi (Fe) terhadap Profil Darah Puyuh yang Diberi Tepung Daun Katuk dan Murbei dalam Pakan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Gadjah Mada Press.

Yogyakarta

Lien, R.J., J.B. Hess, S.R. Mckee, S.F. Bilgili, and J.C. Townsend. 2007. Effect of light intensity and photoperiodon live performane,

heterophilto-lymphocyte ratio, and processing yields of broilers. Poult. Sci. 86: 1287--1293

Listyowati, E. 2004. Tata Laksana Budidaya Puyuh Secara Komersil. Penebar Swadaya. Jakarta

Marlina. 2011. Gambaran Darah Ayam Jantan Tipe Medium pada Kandang Panggung dengan Kepadatan yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Meyer, D.J. and J.W. Harvey. 2004. Veterinary Laboratory Madicine:

Interpretation and Diagnosis. 3rd Edition. W.B. Saunders Company. USA Nurharitrika, A. 2010. Pengaruh Kepadatan Kandang terhadap Respon Fisiologis

Ayam Jantan Tipe Medium. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar lampung

Parista, E. 2013. Periode Ayam Layer.

http://etikafarista.blogspot.com/2013/11/periode-ayam-layer.html.

Diposkan oleh Etika Parista 4 November 2013. Diakses 16 Desember 2013 Piliang, W.G. dan S. Djojosoebagio. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume II. IPB

Press. Bogor

Post, J., J.M.J. Rebel, and A.A.H.M. Terhuurne. 2003. Physiological effect of elevated plasma corticosterone, concentrations in broiler chickens, an alternative means by which to assess the physiological affects of stress. Poult. Sci. 82: 1313--1318

Praseno, K. 2005. Respon eritrosit terhadap perlakuan mikromineral cu, fe dan zn pada ayam (gallus gallus domesticus). J. Indo. Trop. Anim. Agric. 30 (3): 179--185

Puvadolpirod, S. and J.P. Thaxton. 2000. Model of physiological stress in chickens and dosimetry of adenocorticotropin. Poult. Sci. 79: 370--376


(5)

46 Rahardi, F. dan R. Hartono. 2000. Agribisnis Peternakan. Penebar Swadaya.

Jakarta

Rastogi, S.C. 2007. Essentials of Animal Physiology. Wiley Eastern Limited. New Delhi

Rasyaf, M. 2001. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Cetakan Ke-10. Penebar Swadaya. Jakarta

---. 2005. Panduan Beternak Ayam Petelur. Penebar Swadaya. Jakarta ---. 2010. Manajemen Peternakan Ayam Broiler. Penebar Swadaya.

Jakarta

Samuelson, D.A. 2007. Text Book of Veterinary Histology. W.B. Saunders Company. Philadelphia

Sara, U. 2013. Status Hematologis dan Biokimia Darah Ayam Ras Petelur pada Tingkat Produksi yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar

Schalm, O.W., N.C. Jain, and E.J. Carol. 1986. Veterinary Haematology. 4th Edition. Lea and Febiger. Philadelphia

---. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. 6th Edition. Editor Weiss, D.J. dan K.J. Wardrop. Wiley-Blackwell. Iowa USA

Shibata, T., M. Kawatana, K. Mitoma, and T. Nikki. 2007. Identification of heat stable proteinin the fatty livers of thyroidectomized chickens. J. Poult. Sci. 44: 182--188

Smith, J.B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press. Jakarta

SNI 01-3928-2006. 2006. Pakan Ayam Ras Petelur Dara ( Layer Grower). Badan Standar Nasional. Jakarta

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Suprijatna, E. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta Tizard, I.R. 2000. An Introduction to Veterinary Immunology. W.B. Saunders


(6)

Virden, W.S., M.S. Lilburn, J.P. Thaxton, A. Corzo, D. Hoehler, and M.T. Kidd. 2007. The effect of corticosterone-induced stress on amino acid digestibility in ross broilers. Poult. Sci. 86: 338--342

Wiharto. 2002. Petunjuk Beternak Ayam. Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya. Malang

Yunianto, V.D., K. Kayashi, S. Kaneda, A. Ohtsuka, and Y. Tomika. 1997. Effect of environmental temperature on muschule protein turnover and heat production in tube-fed broiler chickens. Br. J. Nutr. 77: 897--909