Pro dan Kontra Sebutan Pancasila sebagai
PRO DAN KONTRA SEBUTAN PANCASILA SEBAGAI SALAH
SATU PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
SERTA STRATEGI INOVATIF PENYEBARANNYA
Manik Sukoco*
Abdul Gafur**
*Prodi PPKn Program Pascasarjana UNY, E-mail: [email protected]
**Dosen Pengampu Prodi PPKn Program Pascasarjana UNY,
Jalan Colombo No.1 Yogyakarta 55281, E-mail: [email protected]
Diskusi tentang Pancasila mungkin dianggap membosankan bagi
sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia. Sejak runtuhnya
kekuasaan rezim otoriter pada pertengahan Mei 1998, Pancasila tidak lagi
populer dalam kehidupan masyarakat. Istilah pilar kebangsaan muncul
setelah pengesahan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Pada
akhir tahun 2011, dan sepanjang tahun 2012, sosialisasi mengenai Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara mulai dilakukan. Pada bulan Maret
2013, diskusi mengenai Pancasila semakin marak terdengar. Salah satu
penyebabnya adalah pengukuhan gelar kehormatan doctor honoris causa
dari Universitas Trisakti kepada Mantan Ketua MPR RI, Alm. Taufiq
Kiemas atas jasanya telah melahirkan gagasan sosialisasi 4 pilar
kebangsaan Indonesia, yakni: 1) Pancasila, 2) Bhineka Tunggal Ika, 3) UUD
1945, dan 4) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lebih lanjut,
Taufiq Kiemas berpendapat bahwa 4 pilar bangsa harus dijabarkan dan
menjiwai semua peraturan perundangan, institusi pendidikan, pertahanan
serta semua sendi kehidupan bernegara. Namun, jika ditelaah lebih lanjut,
ternyata istilah empat pilar kebangsaan dan kenegaraan tersebut kurang
tepat jika ditinjau secara mandalam, baik dari sisi historis, yuridis, maupun
ilmiah.
A. Awal Kemunculan
Landasan hukum dipakainya istilah “Empat Pilar Berbangsa dan
Bernegara” adalah disahkannya UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik. Pada Pasal 34 ayat (3b) dicantumkan bahwa Pancasila merupakan
pilar berbangsa dan bernegara. Sebutan itu berangkat dari makna harfiah
pilar sebagai tiang penguat atau penyangga. Apabila pilar ini tidak kokoh
atau rapuh, maka akan berakibat robohnya bangunan yang disangganya.
Demikian pula halnya dengan bangunan negara-bangsa, membutuhkan
pilar yang merupakan tiang penyangga yang kokoh, agar rakyat yang
mendiami akan merasa nyaman, aman, tenteram, dan sejahtera, terhindar
dari segala macam gangguan dan bencana. Jadi “Empat Pilar Kebangsaan”
dimaknai MPR sebagai empat tiang penguat atau penyangga untuk
menjaga keutuhan berkehidupan kebangsaan Indonesia. Gagasan ini lalu
gencar disosialisasikan sejak tahun 2011 oleh MPR. MPR menilai bahwa
sosialisasi ini sangat efektif guna menanamkan kembali nilai-nilai luhur
yang perlu dijadikan acuan dan pedoman bagi setiap warga negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun dalam perjalanannya, sebutan Pancasila sebagai salah satu
pilar berkehidupan, berbangsa, dan bernegara ternyata menuai pro dan
kontra baik dari masyarakat, maupun dari kalangan akademisi. Banyak
pemberitaan di media cetak maupun elektronik yang mengulas mengenai
pendapat masyarakat dan akademisi mengenai sosialisasi 4 pilar berbangsa
dan bernegara yang dilakukan oleh MPR.
B. Pendapat Pro
MPR adalah pendukung terbesar dari kampanye “Empat Pilar
Berbangsa dan Bernegara”. Hal ini dikarenakan paska reformasi, Pancasila
menjadi tidak populer bahkan dilupakan urgensinya dalam kehidupan
masyarakat. Terjadinya krisis multi-dimensi di berbagai wilayah Indonesia
juga menuntut dilakukannya revitalisasi nilai-nilai Pancasila. MPR
memandang perlunya kampanye dan pengenalan kembali Pancasila kepada
generasi muda, supaya mereka dapat mengetahui kedudukan Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ditinjau dari aspek yuridis,
sosialisasi empat pilar kebangsaan ini merupakan tindak lanjut dari
Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan
Kesatuan Nasional dan kondisi bangsa Indonesia pada saat itu, yaitu: a)
Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa tidak lagi dijadikan sumber
etika dalam berbangsa dan bernegara oleh sebagian masyarakat. Hal itu
kemudian melahirkan krisis akhlak dan moral yang berupa ketidakadilan,
pelanggaran hukum, dan pelanggaran HAM, b) Konflik sosial budaya telah
terjadi karena kemajemukan suku, kebudayaan, dan agama yang tidak
dikelola dengan baik dan adil oleh pemerintah maupun masyarakat, c)
Penegakan hukum tidak berjalan dengan baik dan pelaksanaannya telah
diselewengkan sedemikian rupa, sehingga bertentangan dengan prinsip
keadilan, yaitu persamaan hak warga negara di hadapan hukum, d)
Perilaku ekonomi yang berlangsung diwarnai dengan praktek KKN (kolusi,
korupsi, nepotisme), serta kurangnya keberpihakan pada kelompok usaha
kecil dan menengah, e) Sistem politik tidak berjalan dengan baik, sehingga
belum dapat melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah, mampu
memberikan teladan, dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, f)
Peralihan kekuasaan yang sering menimbulkan konflik, pertumpahan
darah, dan dendam antara kelompok masyarakat karena proses demokrasi
yang tidak berjalan dengan baik, g) Aparat pemerintah sering mengabaikan
proses demokrasi sehingga rakyat tidak dapat menyalurkan aspirasi
politiknya. Hal ini menimbulkan gejolak politik lalu bermuara pada gerakan
masyarakat yang menuntut kebebasan, kesetaraan, dan keadilan, h)
Penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibat dari lemahnya fungsi
pengawasan oleh internal pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat,
serta terbatasnya pengawasan oleh masyarakat dan media massa pada
masa lampau, telah menjadikan transparansi dan pertanggungjawaban
pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan
bertanggungjawab tidak terlaksana. Akibatnya, kepercayaan masyarakat
kepada penyelenggara negara menjadi berkurang, i) Globalisasi dalam
kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat memberikan
keuntungan bagi bangsa Indonesia, tetapi jika tidak diwaspadai, dapat
memberi dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa, j) Kurangnya
pemahaman, penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai
yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan keterkaitannya satu sama
lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
C. Pendapat Kontra
Pendapat Kontra akan sebutan Pancasila sebagai salah satu pilar
berkehidupan berbangsa dan bernegara datang terutama dari kalangan
akademisi. Prof. Sujito, yang merupakan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
menolak pendapat tersebut dengan 4 alasan yaitu: 1) Pancasila seharusnya
dipandang sebagai way of life atau pandangan hidup bangsa Indonesia
bukan sebagai tiang penyangga negara. 2) Pancasila dimaknai sebagai
dasar negara yang kemudian oleh Bung Karno disebut sebagai
philosofische grondslag bagi Negara Indonesia, 3) Pancasila merupakan
ideologi negara, bukan merupakan pilar kebangsaan, dan 4) Pancasila
dipandang sebagai paradigma ilmu. Dalam berbagai kedudukan fungsi dan
maknanya itu, Pancasila harus diamalkan sebagai satu kesatuan secara
simultan, tidak boleh dipecah-pecah, apalagi diganti istilah dan kedudukan
maknanya menjadi pilar. Prof. Sujito juga mengutip pendapat pakar politik
Edward Silen bahwa syarat pertama dan utama agar kehidupan bernegara
mantap, stabil, dan dinamis yaitu bila suatu bangsa sudah memiliki
pemahaman dan kesepakatan tentang sistem nilainya. Sistem nilai yang
dianut Indonesia adalah Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila tidak bisa
digoyang-goyang dengan berbagai macam cara baik dari sisi istilah,
predikat, kedudukan, fungsi, dan maknanya. Apabila pemahaman Pancasila
masih rancu, kacau, chaos, dasar negara disamakan dengan pilar, dan
penggunaan istilah pilar dikatakan tidak bermasalah, maka bangsa ini
berada di ambang kehancuran.
Guru Besar Filsafat UGM, Prof. Kaelan, menolak sebutan Pancasila
sebagai salah satu pilar berkehidupan berbangsa dan bernegara
berdasarkan 4 alasan yaitu: 1) Pada UU No. 2 Tahun 2011 Pasal 1 ayat (1)
ditegaskan Pancasila sebagai dasar negara, adapun pada Pasal 34 ayat
(3b), Pancasila dicantumkan sebagai pilar berbangsa dan bernegara. Hal
ini mengandung arti bahwa UU No. 22 Tahun 2011 tersebut cacat secara
hukum (memiliki ketidakonsistenan dan ketidakkoherenan). Jika Pancasila
diletakkan sebagai pilar negara, maka akan memiliki konsekuensi yaitu
mengacaukan sistem penormaan hukum di Indonesia, 2) Pasca reformasi,
nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat negara dihilangkan dari kancah
kehidupan kenegaraan dan Kebangsaan sehingga bangsa Indonesia
kehilangan ideologi dan pandangan filosofis dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Oleh karena itu, munculnya istilah Pancasila sebagai pilar
akan merusak sistem pengetahuan tentang Pancasila, 3) ketidaktahuan
tentang Pancasila sebagai dasar filsafat negara dengan kehadiran
terminologi Pancasila sebagai pilar kebangsaan akan mengacaukan
pengetahuan tentang Pancasila. 4) Program MPR tentang pemasyarakatan
dan pembudayaan Pancasila sangat mulia dan masyarakat harus
mendukungnya. Namun, istilah Pancasila sebagai pilar kebangsaan
tidaklah tepat dan perlu dikoreksi.
Prof. Jawahir Thontowi, Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas
Islam Indonesia juga menolak sebutan Pancasila sebagai salah satu pilar
berkehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan 3 alasan yaitu: 1)
Penggunaan empat pilar kebangsaan yang saat ini sedang diupayakan
untuk disosialisasikan dengan merujuk pada Pasal 34 ayat (3b) UU No. 2
Tahun 2011 merupakan suatu keputusan politik yang tidak memiliki
sumber yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara historis, yuridis,
maupun ilmiah. Sehingga, pro kontra yang timbul dalam masyarakat dan
bangsa Indonesia terkait dengan 4 pilar kebangsaan yang mensejajarkan
atau menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan tidak
menemukan kebenaran secara de facto dan de jure, 2) Secara kualitatif
keberadaan Pasal 34 ayat (3b) telah melanggar konstitusi, mengingat
secara faktual pelanggaran yang terjadi justru karena bertentangan
dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Mengacu pada argumentasi
sejarah hukum perjanjian dan hukum kebiasaan internasional, khususnya
terkait dengan pacta sunt servanda dan asas good faith dalam hukum
kebiasaan, termasuk juga keberadaan UUD, menunjukkan bukti bahwa
norma hukum 4 pilar kebangsaan tidak memiliki derajat dan kualitas
sebanding. Jika ditinjau secara filosofis, kedudukan Pancasila sebagai pilar
kebangsaan sangat lemah untuk dipertahankan dan jelas menimbulkan
ketidakpastian hukum baik dalam arti kognitif, afektif, dan juga
psikomotorik bagi keberadaan Pancasila sebagai dasar negara di Indonesia,
3) Ketidakpastian hukum sebagai akibat pertentangan serius antara Pasal
34 ayat (3b) dengan Pembukaan UUD 1945 khususnya alinea keempat,
kerugian konstitusional, potensial, dan material tanpa ada keraguan sedikit
pun (beyond reasonable doubt) telah terlihat gamblang dan jelas, sehingga
dengan asas iktikad baik Pemerintah, MPR, DPR, DPD, serta pihak-pihak
pendukung tidak selayaknya mempertahankan metode pendidikan politik
melalui 4 pilar kebangsaan tanpa dukungan dan kajian akademis mendalam
dan komprehensif.
Selain maraknya pemberitaan di media cetak maupun elektronik,
protes dan unjuk rasa juga beberapa kali terjadi mengenai perlunya koreksi
akan sebutan Pancasila sebagai salah satu pilar berbangsa dan bernegara.
Di berbagai daerah terjadi gejolak protes terhadap MPR, salah satunya di
Lampung pada November 2012, di PBNU pusat pada bulan Agustus 2013,
di Semarang oleh BEM IAIN Wali Songo, di UNDIP Semarang. Lalu juga di
Riau, Surakarta, Surabaya, Malang, Bali, dan Yogyakarta. Beberapa
seminar terkait juga diselenggarakan sebagai respon dari sosialisasi MPR
mengenai 4 pilar kebangsaan, diantaranya Kongres Pancasila IV, 1 Juni
2012, Kongres Pancasila V di UGM, 1 Juni 2013, dan Sarasehan Nasional
dalam rangka Dies Natalis ke-50 Fakultas Geografi UGM, 31 Agustus 2013
di Fakultas Geografi UGM Yogyakarta. Lebih lanjut diajukanlah Perkara No.
100/PUU-XI/2013 Perihal Pengujian UU No. 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik terhadap UUD
1945 melalui MK.
D. Kelanjutan Sebutan Pancasila sebagai Salah Satu Pilar
Berbangsa dan Bernegara
Setelah masyarakat melakukan gugatan Perkara No. 100/PUUXI/2013 Perihal Pengujian UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik terhadap UUD 1945 melalui
MK, maka MK pada tanggal 3 April 2014, mengeluarkan putusan untuk
membatalkan istilah Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Namun dalam
prakteknya, MPR ternyata tidak dapat meninggalkan warisan dari
pimpinan MPR sebelumnya, Taufik Kiemas, mengenai penggunaan istilah
“empat pilar”. Frase tersebut dianggap sudah cukup menjadi merk dalam
rangka sosialisasi Pancasila, UUD Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika.
Untuk itu, pada pertengahan Februari 2015, Pimpinan MPR
melakukan konsultasi dengan pimpinan MK untuk menegaskan kembali
aspek legalitas dari kegiatan sosialisasi empat pilar yang diselenggarakan
oleh MPR. Kemudian, MPR menempuh jalan tengah. MPR akan tetap
menghormati putusan MK mengenai pelarangan penggunaan istilah
"Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara". Sebagai konsekuensinya, Badan
Sosialisasi Empat Pilar MPR RI tidak diperkenankan lagi mempergunakan
istilah "Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara", namun
menggantinya dengan istilah "Sosialisasi Empat Pilar MPR RI".
E. Pendapat Penulis
Dalam hal ini penulis tidak setuju mengenai sebutan Pancasila
sebagai salah satu pilar berbangsa dan bernegara. Jika ditinjau dari aspek
yuridis, penulis sepakat dengan teori yang ditulis oleh Maria Farida Indrati
dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia dimana, “Keseluruhan sistem
norma hukum Negara Republik Indonesia merupakan suatu sistem yang
berjenjang, dimulai dari staat fundamental norm (Pancasila), kemudian
disusul dengan verfassungsnorm (UUD 1945), lalu grundgesetz norm
(ketetapan MPR), serta gesetz norm (Undang-Undang). Konsekuensinya,
Pancasila merupakan sumber dan dasar bagi pembentukkan pasal-pasal
dalam
verfassungsnorm.
Sedangkan
aturan
yang
ada
dalam
verfassungsnorm merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan aturanaturan grundgesetz norm, dan juga sekaligus merupakan sumber dan dasar
bagi pembentukan gesetz norm. Dalam kedudukan dan fungsi Pancasila
sebagai dasar Negara Republik Indonesia, pada hakikatnya merupakan
sumber dan asas kerohanian bagi sistem peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Apabila menganalisis UU No. 2 Tahun 2011 Pasal 1 ayat (1),
disana disebutkan bahwa Pancasila merupakan dasar negara. Namun pada
Pasal 34 ayat (3b) disebutkan kedudukan Pancasila sebagai
pilar
berbangsa dan bernegara. Berdasarkan teori sistem norma hukum, bisa
disimpulkan bahwa ada kekacauan penormaan hukum di dalam UU No. 2
Tahun 2011 yaitu di antara staat fundamental norm dengan gesetz norm.
Manakala
di
dalam
peraturan
perundang-undangan
terdapat
ketidakserasian atau ketidakkonsistenan, apalagi dengan Pancasila sebagai
sumbernya, maka hal ini akan menyebabkan inkonstitusionalitas dan
ketidaklegalan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika norma hukum
tersebut batal demi hukum.
Adapun jika ditinjau dari sisi historis, konsensus mengenai Pancasila
sebagai staat fundamental norm terjadi tatkala Pancasila disepakati pada
tanggal 22 Juni 1945. Jika kesepakatan itu runtuh, maka runtuh pula
legitimasi kekuasaan negara dan juga tidak ditutup kemungkinan akan
terjadi suatu chaos, perang sipil, atau bahkan suatu revolusi. Hal ini
pernah terjadi 1789 di Perancis, kemudian di Amerika 1776, di Rusia pada
tahun 1917, demikian pula di Uni Soviet, dan Yugoslavia.
Jika ditinjau dari segi filosofis, dalam rangka menjamin kebersamaan
dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara, diperlukan
perumusan tentang tujuan, cita-cita bersama yang terumuskan di dalam
filsafat dasar negara, yaitu Pancasila. Kedudukan Pancasila sebagai
philosofische grondslag merupakan harga mati. Oleh karena itu, perubahan
Pancasila, baik dari sisi istilah, predikat, kedudukan, fungsi, dan maknanya
tidak diperbolehkan.
F. Strategi Inovatif Penyebarluasan Empat Pilar MPR RI
Ada beberapa pendekatan yang saat ini digunakan untuk
menyebarluaskan empat pilar MPR RI. Keempat pendekatan tersebut yaitu:
1) Pendekatan kultural, dengan memperkenalkan tentang budaya dan
kearifan lokal kepada generasi muda. Hal ini dibutuhkan agar
pembangunan oleh generasi muda di masa depan tetap mengedepankan
norma
dan
budaya
bangsa.
Pembangunan
dilakukan
dengan
memperhatikan potensi dan kekayaan budaya daerah tanpa menghilangkan
adat istiadat yang berlaku; 2) Pendekatan edukatif, dengan mendidik
generasi muda melalui wadah-wadah yang tepat seperti kegiatan Pramuka;
3) Pendekatan hukum, dengan menindak tegas tindakan kekerasan atau
pelanggaran norma; 4) Pendekatan struktural, dengan mengajak berbagai
lapisan struktur sekolah, masyarakat, dan pemerintah untuk bekerjasama
mengurai benang kusut budaya korupsi, kerusuhan sosial dan konflik
horizontal, lemahnya taraf hidup masyarakat, minimnya akses akan
pendidikan dan kesehatan, juga berbagai belitan persoalan lainnya.
SATU PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
SERTA STRATEGI INOVATIF PENYEBARANNYA
Manik Sukoco*
Abdul Gafur**
*Prodi PPKn Program Pascasarjana UNY, E-mail: [email protected]
**Dosen Pengampu Prodi PPKn Program Pascasarjana UNY,
Jalan Colombo No.1 Yogyakarta 55281, E-mail: [email protected]
Diskusi tentang Pancasila mungkin dianggap membosankan bagi
sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia. Sejak runtuhnya
kekuasaan rezim otoriter pada pertengahan Mei 1998, Pancasila tidak lagi
populer dalam kehidupan masyarakat. Istilah pilar kebangsaan muncul
setelah pengesahan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Pada
akhir tahun 2011, dan sepanjang tahun 2012, sosialisasi mengenai Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara mulai dilakukan. Pada bulan Maret
2013, diskusi mengenai Pancasila semakin marak terdengar. Salah satu
penyebabnya adalah pengukuhan gelar kehormatan doctor honoris causa
dari Universitas Trisakti kepada Mantan Ketua MPR RI, Alm. Taufiq
Kiemas atas jasanya telah melahirkan gagasan sosialisasi 4 pilar
kebangsaan Indonesia, yakni: 1) Pancasila, 2) Bhineka Tunggal Ika, 3) UUD
1945, dan 4) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lebih lanjut,
Taufiq Kiemas berpendapat bahwa 4 pilar bangsa harus dijabarkan dan
menjiwai semua peraturan perundangan, institusi pendidikan, pertahanan
serta semua sendi kehidupan bernegara. Namun, jika ditelaah lebih lanjut,
ternyata istilah empat pilar kebangsaan dan kenegaraan tersebut kurang
tepat jika ditinjau secara mandalam, baik dari sisi historis, yuridis, maupun
ilmiah.
A. Awal Kemunculan
Landasan hukum dipakainya istilah “Empat Pilar Berbangsa dan
Bernegara” adalah disahkannya UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik. Pada Pasal 34 ayat (3b) dicantumkan bahwa Pancasila merupakan
pilar berbangsa dan bernegara. Sebutan itu berangkat dari makna harfiah
pilar sebagai tiang penguat atau penyangga. Apabila pilar ini tidak kokoh
atau rapuh, maka akan berakibat robohnya bangunan yang disangganya.
Demikian pula halnya dengan bangunan negara-bangsa, membutuhkan
pilar yang merupakan tiang penyangga yang kokoh, agar rakyat yang
mendiami akan merasa nyaman, aman, tenteram, dan sejahtera, terhindar
dari segala macam gangguan dan bencana. Jadi “Empat Pilar Kebangsaan”
dimaknai MPR sebagai empat tiang penguat atau penyangga untuk
menjaga keutuhan berkehidupan kebangsaan Indonesia. Gagasan ini lalu
gencar disosialisasikan sejak tahun 2011 oleh MPR. MPR menilai bahwa
sosialisasi ini sangat efektif guna menanamkan kembali nilai-nilai luhur
yang perlu dijadikan acuan dan pedoman bagi setiap warga negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun dalam perjalanannya, sebutan Pancasila sebagai salah satu
pilar berkehidupan, berbangsa, dan bernegara ternyata menuai pro dan
kontra baik dari masyarakat, maupun dari kalangan akademisi. Banyak
pemberitaan di media cetak maupun elektronik yang mengulas mengenai
pendapat masyarakat dan akademisi mengenai sosialisasi 4 pilar berbangsa
dan bernegara yang dilakukan oleh MPR.
B. Pendapat Pro
MPR adalah pendukung terbesar dari kampanye “Empat Pilar
Berbangsa dan Bernegara”. Hal ini dikarenakan paska reformasi, Pancasila
menjadi tidak populer bahkan dilupakan urgensinya dalam kehidupan
masyarakat. Terjadinya krisis multi-dimensi di berbagai wilayah Indonesia
juga menuntut dilakukannya revitalisasi nilai-nilai Pancasila. MPR
memandang perlunya kampanye dan pengenalan kembali Pancasila kepada
generasi muda, supaya mereka dapat mengetahui kedudukan Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ditinjau dari aspek yuridis,
sosialisasi empat pilar kebangsaan ini merupakan tindak lanjut dari
Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan
Kesatuan Nasional dan kondisi bangsa Indonesia pada saat itu, yaitu: a)
Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa tidak lagi dijadikan sumber
etika dalam berbangsa dan bernegara oleh sebagian masyarakat. Hal itu
kemudian melahirkan krisis akhlak dan moral yang berupa ketidakadilan,
pelanggaran hukum, dan pelanggaran HAM, b) Konflik sosial budaya telah
terjadi karena kemajemukan suku, kebudayaan, dan agama yang tidak
dikelola dengan baik dan adil oleh pemerintah maupun masyarakat, c)
Penegakan hukum tidak berjalan dengan baik dan pelaksanaannya telah
diselewengkan sedemikian rupa, sehingga bertentangan dengan prinsip
keadilan, yaitu persamaan hak warga negara di hadapan hukum, d)
Perilaku ekonomi yang berlangsung diwarnai dengan praktek KKN (kolusi,
korupsi, nepotisme), serta kurangnya keberpihakan pada kelompok usaha
kecil dan menengah, e) Sistem politik tidak berjalan dengan baik, sehingga
belum dapat melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah, mampu
memberikan teladan, dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, f)
Peralihan kekuasaan yang sering menimbulkan konflik, pertumpahan
darah, dan dendam antara kelompok masyarakat karena proses demokrasi
yang tidak berjalan dengan baik, g) Aparat pemerintah sering mengabaikan
proses demokrasi sehingga rakyat tidak dapat menyalurkan aspirasi
politiknya. Hal ini menimbulkan gejolak politik lalu bermuara pada gerakan
masyarakat yang menuntut kebebasan, kesetaraan, dan keadilan, h)
Penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibat dari lemahnya fungsi
pengawasan oleh internal pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat,
serta terbatasnya pengawasan oleh masyarakat dan media massa pada
masa lampau, telah menjadikan transparansi dan pertanggungjawaban
pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan
bertanggungjawab tidak terlaksana. Akibatnya, kepercayaan masyarakat
kepada penyelenggara negara menjadi berkurang, i) Globalisasi dalam
kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat memberikan
keuntungan bagi bangsa Indonesia, tetapi jika tidak diwaspadai, dapat
memberi dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa, j) Kurangnya
pemahaman, penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai
yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan keterkaitannya satu sama
lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
C. Pendapat Kontra
Pendapat Kontra akan sebutan Pancasila sebagai salah satu pilar
berkehidupan berbangsa dan bernegara datang terutama dari kalangan
akademisi. Prof. Sujito, yang merupakan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
menolak pendapat tersebut dengan 4 alasan yaitu: 1) Pancasila seharusnya
dipandang sebagai way of life atau pandangan hidup bangsa Indonesia
bukan sebagai tiang penyangga negara. 2) Pancasila dimaknai sebagai
dasar negara yang kemudian oleh Bung Karno disebut sebagai
philosofische grondslag bagi Negara Indonesia, 3) Pancasila merupakan
ideologi negara, bukan merupakan pilar kebangsaan, dan 4) Pancasila
dipandang sebagai paradigma ilmu. Dalam berbagai kedudukan fungsi dan
maknanya itu, Pancasila harus diamalkan sebagai satu kesatuan secara
simultan, tidak boleh dipecah-pecah, apalagi diganti istilah dan kedudukan
maknanya menjadi pilar. Prof. Sujito juga mengutip pendapat pakar politik
Edward Silen bahwa syarat pertama dan utama agar kehidupan bernegara
mantap, stabil, dan dinamis yaitu bila suatu bangsa sudah memiliki
pemahaman dan kesepakatan tentang sistem nilainya. Sistem nilai yang
dianut Indonesia adalah Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila tidak bisa
digoyang-goyang dengan berbagai macam cara baik dari sisi istilah,
predikat, kedudukan, fungsi, dan maknanya. Apabila pemahaman Pancasila
masih rancu, kacau, chaos, dasar negara disamakan dengan pilar, dan
penggunaan istilah pilar dikatakan tidak bermasalah, maka bangsa ini
berada di ambang kehancuran.
Guru Besar Filsafat UGM, Prof. Kaelan, menolak sebutan Pancasila
sebagai salah satu pilar berkehidupan berbangsa dan bernegara
berdasarkan 4 alasan yaitu: 1) Pada UU No. 2 Tahun 2011 Pasal 1 ayat (1)
ditegaskan Pancasila sebagai dasar negara, adapun pada Pasal 34 ayat
(3b), Pancasila dicantumkan sebagai pilar berbangsa dan bernegara. Hal
ini mengandung arti bahwa UU No. 22 Tahun 2011 tersebut cacat secara
hukum (memiliki ketidakonsistenan dan ketidakkoherenan). Jika Pancasila
diletakkan sebagai pilar negara, maka akan memiliki konsekuensi yaitu
mengacaukan sistem penormaan hukum di Indonesia, 2) Pasca reformasi,
nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat negara dihilangkan dari kancah
kehidupan kenegaraan dan Kebangsaan sehingga bangsa Indonesia
kehilangan ideologi dan pandangan filosofis dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Oleh karena itu, munculnya istilah Pancasila sebagai pilar
akan merusak sistem pengetahuan tentang Pancasila, 3) ketidaktahuan
tentang Pancasila sebagai dasar filsafat negara dengan kehadiran
terminologi Pancasila sebagai pilar kebangsaan akan mengacaukan
pengetahuan tentang Pancasila. 4) Program MPR tentang pemasyarakatan
dan pembudayaan Pancasila sangat mulia dan masyarakat harus
mendukungnya. Namun, istilah Pancasila sebagai pilar kebangsaan
tidaklah tepat dan perlu dikoreksi.
Prof. Jawahir Thontowi, Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas
Islam Indonesia juga menolak sebutan Pancasila sebagai salah satu pilar
berkehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan 3 alasan yaitu: 1)
Penggunaan empat pilar kebangsaan yang saat ini sedang diupayakan
untuk disosialisasikan dengan merujuk pada Pasal 34 ayat (3b) UU No. 2
Tahun 2011 merupakan suatu keputusan politik yang tidak memiliki
sumber yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara historis, yuridis,
maupun ilmiah. Sehingga, pro kontra yang timbul dalam masyarakat dan
bangsa Indonesia terkait dengan 4 pilar kebangsaan yang mensejajarkan
atau menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan tidak
menemukan kebenaran secara de facto dan de jure, 2) Secara kualitatif
keberadaan Pasal 34 ayat (3b) telah melanggar konstitusi, mengingat
secara faktual pelanggaran yang terjadi justru karena bertentangan
dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Mengacu pada argumentasi
sejarah hukum perjanjian dan hukum kebiasaan internasional, khususnya
terkait dengan pacta sunt servanda dan asas good faith dalam hukum
kebiasaan, termasuk juga keberadaan UUD, menunjukkan bukti bahwa
norma hukum 4 pilar kebangsaan tidak memiliki derajat dan kualitas
sebanding. Jika ditinjau secara filosofis, kedudukan Pancasila sebagai pilar
kebangsaan sangat lemah untuk dipertahankan dan jelas menimbulkan
ketidakpastian hukum baik dalam arti kognitif, afektif, dan juga
psikomotorik bagi keberadaan Pancasila sebagai dasar negara di Indonesia,
3) Ketidakpastian hukum sebagai akibat pertentangan serius antara Pasal
34 ayat (3b) dengan Pembukaan UUD 1945 khususnya alinea keempat,
kerugian konstitusional, potensial, dan material tanpa ada keraguan sedikit
pun (beyond reasonable doubt) telah terlihat gamblang dan jelas, sehingga
dengan asas iktikad baik Pemerintah, MPR, DPR, DPD, serta pihak-pihak
pendukung tidak selayaknya mempertahankan metode pendidikan politik
melalui 4 pilar kebangsaan tanpa dukungan dan kajian akademis mendalam
dan komprehensif.
Selain maraknya pemberitaan di media cetak maupun elektronik,
protes dan unjuk rasa juga beberapa kali terjadi mengenai perlunya koreksi
akan sebutan Pancasila sebagai salah satu pilar berbangsa dan bernegara.
Di berbagai daerah terjadi gejolak protes terhadap MPR, salah satunya di
Lampung pada November 2012, di PBNU pusat pada bulan Agustus 2013,
di Semarang oleh BEM IAIN Wali Songo, di UNDIP Semarang. Lalu juga di
Riau, Surakarta, Surabaya, Malang, Bali, dan Yogyakarta. Beberapa
seminar terkait juga diselenggarakan sebagai respon dari sosialisasi MPR
mengenai 4 pilar kebangsaan, diantaranya Kongres Pancasila IV, 1 Juni
2012, Kongres Pancasila V di UGM, 1 Juni 2013, dan Sarasehan Nasional
dalam rangka Dies Natalis ke-50 Fakultas Geografi UGM, 31 Agustus 2013
di Fakultas Geografi UGM Yogyakarta. Lebih lanjut diajukanlah Perkara No.
100/PUU-XI/2013 Perihal Pengujian UU No. 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik terhadap UUD
1945 melalui MK.
D. Kelanjutan Sebutan Pancasila sebagai Salah Satu Pilar
Berbangsa dan Bernegara
Setelah masyarakat melakukan gugatan Perkara No. 100/PUUXI/2013 Perihal Pengujian UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik terhadap UUD 1945 melalui
MK, maka MK pada tanggal 3 April 2014, mengeluarkan putusan untuk
membatalkan istilah Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Namun dalam
prakteknya, MPR ternyata tidak dapat meninggalkan warisan dari
pimpinan MPR sebelumnya, Taufik Kiemas, mengenai penggunaan istilah
“empat pilar”. Frase tersebut dianggap sudah cukup menjadi merk dalam
rangka sosialisasi Pancasila, UUD Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika.
Untuk itu, pada pertengahan Februari 2015, Pimpinan MPR
melakukan konsultasi dengan pimpinan MK untuk menegaskan kembali
aspek legalitas dari kegiatan sosialisasi empat pilar yang diselenggarakan
oleh MPR. Kemudian, MPR menempuh jalan tengah. MPR akan tetap
menghormati putusan MK mengenai pelarangan penggunaan istilah
"Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara". Sebagai konsekuensinya, Badan
Sosialisasi Empat Pilar MPR RI tidak diperkenankan lagi mempergunakan
istilah "Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara", namun
menggantinya dengan istilah "Sosialisasi Empat Pilar MPR RI".
E. Pendapat Penulis
Dalam hal ini penulis tidak setuju mengenai sebutan Pancasila
sebagai salah satu pilar berbangsa dan bernegara. Jika ditinjau dari aspek
yuridis, penulis sepakat dengan teori yang ditulis oleh Maria Farida Indrati
dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia dimana, “Keseluruhan sistem
norma hukum Negara Republik Indonesia merupakan suatu sistem yang
berjenjang, dimulai dari staat fundamental norm (Pancasila), kemudian
disusul dengan verfassungsnorm (UUD 1945), lalu grundgesetz norm
(ketetapan MPR), serta gesetz norm (Undang-Undang). Konsekuensinya,
Pancasila merupakan sumber dan dasar bagi pembentukkan pasal-pasal
dalam
verfassungsnorm.
Sedangkan
aturan
yang
ada
dalam
verfassungsnorm merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan aturanaturan grundgesetz norm, dan juga sekaligus merupakan sumber dan dasar
bagi pembentukan gesetz norm. Dalam kedudukan dan fungsi Pancasila
sebagai dasar Negara Republik Indonesia, pada hakikatnya merupakan
sumber dan asas kerohanian bagi sistem peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Apabila menganalisis UU No. 2 Tahun 2011 Pasal 1 ayat (1),
disana disebutkan bahwa Pancasila merupakan dasar negara. Namun pada
Pasal 34 ayat (3b) disebutkan kedudukan Pancasila sebagai
pilar
berbangsa dan bernegara. Berdasarkan teori sistem norma hukum, bisa
disimpulkan bahwa ada kekacauan penormaan hukum di dalam UU No. 2
Tahun 2011 yaitu di antara staat fundamental norm dengan gesetz norm.
Manakala
di
dalam
peraturan
perundang-undangan
terdapat
ketidakserasian atau ketidakkonsistenan, apalagi dengan Pancasila sebagai
sumbernya, maka hal ini akan menyebabkan inkonstitusionalitas dan
ketidaklegalan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika norma hukum
tersebut batal demi hukum.
Adapun jika ditinjau dari sisi historis, konsensus mengenai Pancasila
sebagai staat fundamental norm terjadi tatkala Pancasila disepakati pada
tanggal 22 Juni 1945. Jika kesepakatan itu runtuh, maka runtuh pula
legitimasi kekuasaan negara dan juga tidak ditutup kemungkinan akan
terjadi suatu chaos, perang sipil, atau bahkan suatu revolusi. Hal ini
pernah terjadi 1789 di Perancis, kemudian di Amerika 1776, di Rusia pada
tahun 1917, demikian pula di Uni Soviet, dan Yugoslavia.
Jika ditinjau dari segi filosofis, dalam rangka menjamin kebersamaan
dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara, diperlukan
perumusan tentang tujuan, cita-cita bersama yang terumuskan di dalam
filsafat dasar negara, yaitu Pancasila. Kedudukan Pancasila sebagai
philosofische grondslag merupakan harga mati. Oleh karena itu, perubahan
Pancasila, baik dari sisi istilah, predikat, kedudukan, fungsi, dan maknanya
tidak diperbolehkan.
F. Strategi Inovatif Penyebarluasan Empat Pilar MPR RI
Ada beberapa pendekatan yang saat ini digunakan untuk
menyebarluaskan empat pilar MPR RI. Keempat pendekatan tersebut yaitu:
1) Pendekatan kultural, dengan memperkenalkan tentang budaya dan
kearifan lokal kepada generasi muda. Hal ini dibutuhkan agar
pembangunan oleh generasi muda di masa depan tetap mengedepankan
norma
dan
budaya
bangsa.
Pembangunan
dilakukan
dengan
memperhatikan potensi dan kekayaan budaya daerah tanpa menghilangkan
adat istiadat yang berlaku; 2) Pendekatan edukatif, dengan mendidik
generasi muda melalui wadah-wadah yang tepat seperti kegiatan Pramuka;
3) Pendekatan hukum, dengan menindak tegas tindakan kekerasan atau
pelanggaran norma; 4) Pendekatan struktural, dengan mengajak berbagai
lapisan struktur sekolah, masyarakat, dan pemerintah untuk bekerjasama
mengurai benang kusut budaya korupsi, kerusuhan sosial dan konflik
horizontal, lemahnya taraf hidup masyarakat, minimnya akses akan
pendidikan dan kesehatan, juga berbagai belitan persoalan lainnya.