PRO DAN KONTRA UJIAN NASIONAL

MAKALAH KELOMPOK
PENGANTAR ILMU PENDIDIKAN

PRO DAN KONTRA UJIAN NASIONAL

Disusun oleh :
Naelul Hikmah

(4101413015)

Anita Setyaningsih

(4101413035)

Eko Widyaningsih

(4101413102)

Evita Esmeralda

(4101413103)


Noor Diah Ayu Safitri (7101413228)

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya. Sedangkan yang dimaksud dengan
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilainilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman. Pendidikan berperan penting dalam membentuk sumber daya
manusia yang berkualitas. Hal tersebut sejalan dengan tujuan Pendidikan
Nasional yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab
(UU No. 20 Bab II Pasal 3 Tahun 2003). Untuk mencapai tujuan pendidikan

tersebut, disusunlah kurikulum sebagai pedoman dalam penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran. Selanjutnya, untuk melihat tingkat pencapaian tujuan
pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.
Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan
Pemerintah. Pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
No.153/U/2003 menyebutkan bahwa UN berfungsi sebagai alat pengendali mutu
pendidikan secara nasional, pendorong peningkatan mutu pendidikan secara
nasional, bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik, dan sebagai bahan
pertimbangan dalam seleksi penerimaan pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Akan tetapi, pada beberapa tahun terakhir pelaksanaan UN banyak
memicu timbulnya pro dan kontra dari berbagai lapisan masyarakat. Di antara
mereka ada yang secara tegas menolak keberadaan UN dalam bentuk apapun dan

menggantinya dengan ujian sekolah atau lainnya, dan ada pula kelompok yang
mendukung untuk tetap dilaksanakannya UN.
Timbulnya pro dan kontra akibat dari pelaksanaan Ujian Nasional
mendorong penulis untuk mengambil judul makalah yaitu “Pro dan Kontra Ujian
Nasional.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul, Penulis menyusun beberapa permasalahan sebagai berikut.

1.

Apa dasar pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia?

2.

Bagaimana pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia sepuluh tahun terakhir?

3.

Bagaimana bentuk pro dan kontra terhadap pelaksanaan Ujian Nasional di
Indonesia?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui dasar pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia.
2. Mengetahui sejauh mana pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia untuk
sepuluh tahun terakhir.
3. Mengkaji berbagai bentuk pro dan kontra yang timbul dari adanya
pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia.

D. Manfaat
Manfaat yang ingin Penulis capai dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Menambah khasanah pengetahuan mengenai Sistem Pendidikan Nasional
serta penyelenggaraan Ujian Nasional di Indonesia.
2. Sebagai bahan kajian mengenai pro dan kontra terkait pelaksanaan Ujian
Nasional di Indonesia.
3. Dapat dijadikan bahan acuan untuk pelaksanaan Ujian Nasinal tahun
berikutnya dengan memperhatikan pro dan kontra dari berbagai elemen
masyarakat untuk mewujudkan pendidikan yang lebih baik di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia
Standar Nasional Pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem
pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Sedangkan tujuan Standar Nasional Pendidikan adalah untuk menjamin mutu
pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Dalam pasal 1 ayat

17 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Yungto pasal 1 ayat 1 PP No. 19 2005 dinyatakan bahwa lingkup dari Standar
Nasional Pendidikan meliputi 8 standar yaitu (1) standar isi, (2) standar proses,
(3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)
standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan,
dan (8) standar penilaian.
Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang
berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar
peserta didik. Pada Peraturan Pemerintah tersebut diamanatkan tiga jenis
penilaian yaitu (1) penilaian oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan
untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil pembelajaran, (2)
penilaian oleh satuan pendidikan bertujuan menilai pencapaian standar
kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran sesuai programnya sebagai
bentuk transparansi, profesional, dan akuntabel lembaga, (3) penilaian oleh
pemerintah bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional
pada mata pelajaran tertentu. Penilaian oleh pemerintah, dalam pelaksanaannya
diserahkan kepada BSNP. Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya
disebut

BSNP adalah


badan

mandiri

dan

independen

yang

bertugas

mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi Standar Nasional

Pendidikan. Hasil ujian nasional akan digunakan sebagai salah satu pertimbangan
untuk pemetaan mutu program, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik, pembinaan, dan pemberian
bantuan kepada pihak sekolah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Dalam ayat 1 pasal 66 PP No. 19 Tahun 2005, dijelaskan bahwa penilaian

hasil belajar oleh pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi
lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata
pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilakukan dalam bentuk Ujian
Nasional. Pengertian dari ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur
pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau
penyelesaian dari suatu satuan pendidikan. Sedangkan Ujian Nasional SMP/MTs,
SMPLB, SMA/MA, SMALB, SMK/MAK yang selanjutnya disebut UN adalah
kegiatan pengukuran dan penilaian pencapaian standar kompetensi lulusan
SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA,SMALB, SMK/MAK secara nasional meliputi
mata pelajaran tertentu. Pada pasal 68 ayat 2 dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, ditegaskan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai
salah satu pertimbangan untuk:
a. pemetaan mutu program dan atau satuan pendidikan,
b. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya,
c. penentuan kelulusan peserta didik dari program dan atau satuan pendidikan,
d. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya
untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan pasal 67 ayat 1 sampai 2 dijelaskan bahwa:

(1) Pemerintah menugaskan BSNP untuk menyelenggarakan Ujian Nasional yang
diikuti peserta didik pada setiap satuan pendidikan jalur formal pendidikan
dasar dan menengah, dan jalur nonformal kesetaraan.
(1a)Ujian Nasional untuk satuan pendidikan jalur formal pendidikan dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk SD/MI/SDLB atau
bentuk lain yang sederajat.

(2) Dalam penyelenggaraan Ujian Nasional, BSNP bekerja sama dengan instansi
terkait

di

lingkungan

Pemerintah,

Pemerintah

Provinsi,


Pemerintah

Kabupaten/Kota, dan satuan pendidikan.
Dalam pasal 69 ayat 1 sampai 4 diatur mengenai hak peserta didik untuk setiap
jenjang pendidikan atas keikutsertaannya dalam Ujian Nasional sebagai berikut.
(1) Setiap peserta didik jalur pendidikan formal pendidikan dasar dan menengah
dan jalur pendidikan nonformal kesetaraan berhak mengikuti Ujian Nasional
dan berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus dari satuan
pendidikan.
(2) Setiap peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti
satu kali Ujian Nasional tanpa dipungut biaya.
(2a)Peserta didik jalur pendidikan formal pendidikan dasar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan untuk peserta didik SD/MI/SDLB atau
bentuk lain yang sederajat.
(3) Peserta didik pendidikan informal dapat mengikuti Ujian Nasional setelah
memenuhi syarat yang ditetapkan oleh BSNP.
(4) Peserta Ujian Nasional memperoleh surat keterangan hasil Ujian Nasional yang
diterbitkan oleh satuan pendidikan penyelenggara Ujian Nasional.
Selanjutnya dalam pasal 70 ayat 3 sampai 7, dijelaskan pula mengenai mata
pelajaran yang diujikan saat Ujian Nasional sesuai dengan jenjang pendidikan

masing-masing sebagai berikut.
(3) Pada jenjang SMP/MTs/SMPLB, atau bentuk lain yang sederajat, Ujian
Nasional mencakup pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika,
dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
(4) Pada program paket B, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS), dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
(5) Pada SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, Ujian Nasional
mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan
mata pelajaran yang menjadi ciri khas program pendidikan.

(6) Pada program paket C, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan mata pelajaran yang menjadi ciri
khas program pendidikan.
(7) Pada jenjang SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat, Ujian Nasional
mencakup pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan mata
pelajaran kejuruan yang menjadi ciri khas program pendidikan.
B. Pelaksanaan dan Evaluasi Ujian Nasional di Indonesia Sepuluh Tahun
Terakhir
Ujian Nasional adalah wujud dari evaluasi yang dilakukan oleh

pemerintah melalui BSNP sebagai lembaga independen yang diserahi tugas untuk
melaksanakan Ujian Nasional tersebut. Sampai dengan tahun 2000 pemerintah
dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah menyelenggarakan evaluasi
hasil belajar yang diberlakukan secara nasional yang disebut dengan EBTANAS.
Akan tetapi banyak sekali kritik dari berbagai lapisan masyarakat terhadap
Evaluasi Belajar Tahap Akhir yang dilaksanakan secara nasional tersebut. Untuk
merespon berbagai kritik yang muncul ini, pemerintah mengumpulkan berbagai
informasi dari berbagai lapisan yang kemudian menjadi landasan dikeluarkannya
Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 011/U/2002, tanggal 28
Januari 2002 yang isinya penghapusan EBTANAS untuk Sekolah Dasar, Sekolah
Dasar Luar Biasa, Sekolah Luar Biasa tingkat Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah.
Bersamaan dengan Surat Keputusan tersebut, juga dikeluarkan Surat Keputusan
Mendiknas Nomor 047/U/2002, tanggal 4 April 2002 yang berisi pernyataan
bahwa nama EBTANAS untuk tingkat SLTP, SLTPLB, SMU, SMLB, MA, dan
SMK diganti menjadi Ujian Akhir Nasional atau disebut dengan UAN.
Pada Tahun 2004, UAN juga banyak mendapat kecaman dari berbagai
kalangan masyarakat bahkan ada sebagian besar anggota DPR tidak
menyetujuinya, ketidaksetujuan anggota Dewan ini terutama terhadap besarnya
usulan anggaran pelaksanaan UAN. Kecaman-kecaman dalam pelaksanaan UAN
tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi permasalahan utama,
yaitu:

1) UAN dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
pasal 58. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa evaluasi hasil belajar peserta
didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses kemajuan dan
perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Namun, bila
dicermati lebih jauh pada ayat 2, dijelaskan lebih lanjut bahwa untuk menilai
pencapaian standar nasional diperlukan evaluasi yang dilakukan oleh lembaga
mandiri. Hal inilah yang digunakan sebagai landasan penyelenggaraan Ujian
Nasional.
2) UAN dianggap tidak bermanfaat dan hanya menghambur-hamburkan biaya.
Kecaman ini kemudian dijawab dengan hasil penelitian Mardapi, dkk.(2004)
yang menunjukkan bahwa hasil UAN sangat bermanfaat dalam meningkatkan
motivasi belajar siswa, meningkatkan motivasi mengajar guru, perhatian
kepala sekolah beserta semua staf sekolah, dan orang tua terhadap
pembelajaran siswa.
Pelaksanaan Ujian Nasional tahun pelajaran 2006/2007 didasarkan pada
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 45 Tahun 2006. Dalam peraturan
tersebut dijelaskan bahwa standar kompetensi lulusan atau SKL merupakan
kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan yang disusun sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006. Adapun Standar Isi
mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi
lulusan pada jenis dan jenjang pendidikan tertentu sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang standar isi. Dengan mempertimbangkan bahwa dalam pengembangan
pembelajaran di berbagai sekolah di Indonesia masih menggunakan kurikulum
yang bervariasi, di mana sebagian sekolah masih menggunakan kurikulum 1994,
ada sekolah yang secara bertahap menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) pada kelas tertentu dan kelas yang lain masih menggunakan kurikulum
1994, ada pula sekolah yang secara keseluruhan telah melaksanakan KBK, dan

ada sekolah yang telah mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Dengan mulai diberlakukannya PP 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi,
maka dalam sosialisasi pelaksanaan Ujian Nasional telah pula dijelaskan bahwa
soal-soal ujian yang dikembangkan untuk Ujian Nasional Tahun 2007,
didasarkan pada irisan antara: (1) Kurikulum Berbasis Kompetensi, (2)
Kurikulum 1994, dan (3) Standar Isi.
Pelaksanaan UN dirasakan sebagai beban yang semakin bertambah berat,
terutama bagi siswa, salah satunya adalah dengan adanya peningkatan angka
Standar Kompetensi Lulusan Ujian Nasional (SKLUN) yang terjadi terusmenerus. Misalnya dari tahun 2003 hingga tahun 2009, terus terjadi peningkatan
angka SKLUN. SKLKUN 2008/2009 naik dari 5.25 menjadi 5.50. Sesuai dengan
Pasal 16 ayat (1) Permendiknas No.78/2008 tentang Ujian Nasional
SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK tahun pelajaran 2008/2009,
peserta UN dinyatakan lulus jika nilai rata-rata UN minimal 5.50 untuk seluruh
mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua
mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Upaya
peningkatan mutu pendidikan dengan kenaikan angka SKLUN tersebut tentunya
tidak serta merta berjalan dengan lancar, justru pada kenyataannya menimbulkan
permasalahan tersendiri yakni selalu saja ada siswa yang gagal lulus UN di setiap
tahunnya.
Pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2013 memiliki perbedaan yang
mencolok dibandingkan tahun sebelumnya. Ujian Nasional tahun 2012
menggunakan jumlah paket soal yang dikerjakan oleh siswa sebanyak 5 paket,
sedangkan pada ujian nasional tahun 2013 pemerintah pusat telah menyiapkan 20
varians soal yang berbeda dalam satu ruang. Kebijakan ini tentu menjadi sebuah
tantangan yang cukup berat bagi semua pihak, mulai dari siswa, sekolah, guru
hingga orang tua. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 3 tahun
2013 tentang kriteria kelulusan peserta didik dan penyelenggaraan UN juga
dinilai sebagai penyebab kekacauan Ujian Nasional 2013, karena telah mereduksi

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Dalam Peraturan Pemerintah, syarat kelulusan peserta didik
ditentukan oleh empat hal yaitu telah selesai melaksanakan program
pembelajaran di sekolahnya selama tiga tahun, memperoleh minimal nilai baik
pada empat kelompok mata pelajaran (agama dan akhlak mulia, etika dan
estetika, kesehatan jasmani dan olahraga, serta kewarganegaraan). Kemudian dua
syarat lainnya adalah lulus ujian sekolah dan lulus ujian nasional. “Dalam
konteks kelulusan anak, peran UN sesungguhnya menjadi sangat sedikit
porsinya, karena ada 3 syarat sebelum itu. Tetapi, faktanya dalam hal ini
kelulusan anak ditentukan dominan oleh UN. Kelulusan anak mayoritas
ditentukan oleh 4 mata pelajaran yang di-UN-kan. Besaran porsinya mencapai
60%, karena porsi ujian sekolah itu hanya 40%. Kalaupun ingin dikuantifikasi
dari 4 hal itu, 100 dibagi 4, seharusnya porsi UN hanya 25%. Namun, faktanya
UN sangat mendominasi dari ketentuan kelulusan anak (Reni Marlinawati,
Anggota Komisi X DPR RI). Selain itu, dalam UU Sistem Pendidikan Nasional
pasal 57 dan 58 menyebutkan bahwa evaluasi peserta didik dilakukan oleh
pendidik menyangkut ulangan harian, ulangan formatik, sematik, dan ujian
sekolah. Kemudian, evaluasi secara nasional dilakukan oleh lembaga mandiri,
yakni BSNP. Sedangkan, Permen Pasal 16 seharusnya memperkuat peran dan
fungsi BSNP, yaitu kewenangan BSNP untuk melakukan penyelenggaraan dan
pengawasan terhadap UN. Namun dalam penerapannya, BSNP tidak diberikan
kewenangan menyelenggarakan UN, hanya sebatas pengawas. Ada 3
pelanggaran dalam penyelenggaran UN 2013. Pertama, UN 2013 bertentangan
dengan UU Sistem Pendidikan Nasional pasal 58, kemudian bertentangan dengan
PP Nomor 19 Tahun 2005, mulai dari penetapan kelulusan sampai peran BSNP.
Kemudian, Permen yang telah mereduksi PP, namun ada juga peraturan BSNP
yang tidak terpenuhi, yaitu UN harus berjalan tertib. Atas dasar itu, maka dapat
dikatakan UN 2013 menjadi tidak sah, jika dijadikan syarat kelulusan murid dan
masuk perguruan tinggi.

C. Pro dan Kontra terhadap Pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia
Pelaksanaan UN dalam mengevaluasi sistem pembelajaran di Indonesia,
terutama untuk menilai tercapainya kompetensi siswa pada beberapa mata
pelajaran, sesungguhnya telah memberikan berbagai dampak positif bagi siswa,
sekolah, dan system pendidikan Indonesia. Di antara bentuk dampak positif
tersebut adalah meningkatnya motivasi belajar siswa dan motivasi mengajar
guru, semakin baiknya sistem manajemen sekolah, dan berkembangnya model
atau pola pembelajaran di berbagai sekolah atau pusat sumber belajar lainnya di
masyarakat. Berbagai dampak positif yang dihasilkan dari pelaksanaan UN tidak
serta merta membuat masyarakat setuju dengan pelaksanaan UN. Berbagai
kalangan masyarakat menilai bahwa penyelenggaraan UN yang dimulai sejak
tahun pelajaran 2002/2003 menggantikan sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir
Nasional (Ebtanas) telah memunculkan banyak perdebatan. Menurut Irwan (dam
Basrowi, 2004), ada empat aspek penyimpangan yang dilakukan pemerintah
dengan melaksanakan UN, yaitu aspek pedagogis (UN hanya menilai
pengetahuan siswa, tetapi tidak untuk keterampilan dan sikap), aspek yuridis
(pelaksanaan UN melanggar UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun
2003, khususnya pasal 58 dan 59), aspek sosial dan psikologis, dan aspek
ekonomi (UN telah memboroskan biaya negara). Banyak pula penyimpangan
yang telah terjadi selama pelaksanaan UN, baik penyimpangan dalam teknik
penyelenggaraan, pengawasan, maupun dalam sistem pembiayaan. Sebagai suatu
kebijakan yang baru, apapun isinya dan sebaik apapun dipersiapkan pasti masih
akan menuai pro dan kontra. Pihak yang pro akan mendukung dan ikut
menyukseskan pelaksanaannya tetapi juga pasti akan muncul kritik dari pihakpihak yang kontra dengan disertai berbagai alasan.
Kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan ujian nasional ini menjadi
polemik berkepanjangan, sikap pro dan kontra yang dimuat di berbagai media
dengan berbagai alasan rasional maupun sekedar rasionalisasi. Kesenjangan
kualitas dari satuan pendidikan yang demikian panjang rentangnya selalu akan

menjadi pusat perhatian, namun tetap selalu menjadi permasalahan yang tak
kunjung terjembatani. Persoalan sebenarnya bukan semata-mata dari ujian
nasional itu sendiri, tetapi perlu kajian dari berbagai sudut pandang di antaranya,
adalah (1) ketidaksiapan siswa, guru ataupun sekolah menghadapi kenyataan dari
“cermin prestasi diri” yang disebut ujian nasional tersebut, (2) proses pendidikan
yang selama ini berlangsung banyak memberi kemudahan, termasuk dalam
pembelajaran, yang menyebabkan banyak pihak baik siswa, guru maupun orang
tua yang terbuai oleh keberhasilan semu yang berupa angka-angka yang bisa
dibuat oleh siapa saja, (3) adanya kecenderungan umum bahwa evaluasi tersebut
telah kehilangan makna, karena evaluasi yang seharusnya menjadi sarana
ataucermin kemampuan diri, selama ini bukan lagi menjadi sarana tetapi menjadi
tujuan.
Telah muncul berbagai tanggapan dan pendapat yang beragam dari
berbagai kalangan tentang UN yang berhasil dilansir oleh sejumlah media masa.
Beberapa argumentasi yang dapat dikemukakan sebagai penolakan UN dari
pihak yang kontra antara lain:
a. Dilihat dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu
Pasal 8 ayat 1: “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik
untuk memantau proses, kemampuan, dan perbaikan hasil belajar peserta
didik secara berkesinambungan”.
b. Karena ujian bersifat nasional, maka bidang kajian yang di-UN-kan dianggap
lebih penting daripada pelajaran lain, sehingga sebagian besar upaya sekolah
hanya ditujukan untuk mengantarkan peserta didik mencapai keberhasilan
dalam UN. Padahal materi UN hanya mencakup aspek intelektual, belum
mampu mengukur seluruh aspek pendidikan secara utuh. Dalam hal ini telah
terjadi malpraktik dengan kesan penyempitan terhadap makna dan hakikat
pendidikan yang utuh menjadi hanya menyangkut aspek kognitif untuk
beberapa pelajaran yang diujikan. Kecakapan motorik, sosial, emosional,
moral atau budi pekerti, dan aspek spiritual dianggap diabaikan.

c. Menurut sebagian ahli tes, UN dalam keadaan sekarang bertentangan dengan
kaidah pendidikan itu sendiri. Dalam kaidah pendidikan, tes digunakan untuk
menjamin kualitas anak didik, bukan untuk “menghukumnya”. Sekarang ini
UN digunakan untuk “menghukum” anak didik yang telah belajar selama tiga
tahun tetapi tidak lulus dalam UN yang hanya dilaksanakan dalam beberapa
menit dan beberapa mata pelajaran. Padahal seharusnya pemerintah
introspeksi diri bahwa ketidaklulusan anak didik adalah cerminan dari
ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan pelayanan pendidikan
kepada siswa. Jangan kesalahan itu dibebankan kepada para siswa.
d. Kenyataannya sekarang ini di lapangan, di sekolah-sekolah ada yang mulai
berkiblat pada bimbingan les. Para siswa lebih percaya pada bimbingan les
daripada kepada guru mereka sendiri, yang mengajar selama tiga tahun. Guru
mata pelajaran yang diujikan saja merasa terabaikan, apalagi dengan guru
mata pelajaran non-UN. Tidak sedikit yang mendatangkan guru bimbingan
belajar atau bentuk-bentuk kerja sama antara lembaga bimbingan belajar
dengan sekolah. Ada yang berangapan bahwa dunia pendidikan berkiblat pada
UN, sehingga telah mengerdilkan makna pendidikan. Menurut Ketua Komisi
X DPR RI Heri Ahmadi (Pikiran Rakyat, 19 Desember 2007) mengungkapkan
bahwa “Pelaksanaan UN ini mengakibatkan fungsi sekolah sebagai tempat
belajar semakin kehilangan makna, sebab yang terpenting bagaimana sekolah
dapat meluluskan siswanya.” Hal ini memang benar, karena sering terdengar
adanya berita-berita yang negatif yang dilakukan oleh oknum guru atau
sekolah dalam pelaksanaan UN.
e. Tentang disvaritas mutu sekolah, efisiensi anggaran, belum memberikan
jaminan kualitas lulusan meningkat. Sebagai contoh pernah ditemukan suatu
sekolah di suatu kabupaten terpencil yang hanya mengajarkan mata pelajaran
yang di-UN-kan saja untuk para siswa di kelas tiga [oleh H. Karso, Lektor
Kepala FPMIPA UPI]. Kemudian menurut hasil penelitian di ITB, ternyata

lebih banyak mahasiswa yang drop out yang waktu di SMA-nya mengikuti
bimbingan belajar daripada mereka yang tidak mengikuti bimbingan belajar.
Selain pihak yang kontra terhadap UN, ada pula kelompok yang mendukung atau
pro untuk tetap dilaksanakannya UN. Beberapa hal yang dapat dijadikan alasan
mengapa UN perlu tetap dipertahankan, antara lain:
a. Beberapa pasal pada Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang
terkait langsung dengan kegiatan ujian atau evaluasi pendidikan adalah pasal
35, pasal 57, pasal 58, dan pasal 59. Berdasarkan pasal-pasal dan ayat-ayatnya
serta kaitannya satu sama lain, maka dapat ditarik suatu pemahaman seperti
berikut ini:
1) Terhadap hasil belajar peserta didik perlu dilakukan evaluasi oleh pendidik
dengan tujuan utama untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan
hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (pasal 58, ayat 1).
2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidikan, dan
program pendidikan untuk memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai
(pasal 58, ayat 2) pencapaian standar nasional pendidikan (isi, proses,
kompetensi

lulusan,

tenaga

kependidikan,

sarana

dan

prasarana,

pengelolaan, pembiayaan, dan evaluasi pendidikan) (pasal 35, ayat 1).
3) Evaluasi terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidkan, dan program
pendidikan untuk memantau atau menilai pencapaian standar nasional
dilakukan oleh suatu lembaga mandiri (pasal 58, ayat 2), dapat berupa
badan standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan (pasal
35, ayat 3) dan/atau lembaga yang diselenggarakan oleh masyarakat
dan/atau yang diselenggarakan oleh organisasi profesi.
4) Pasal 35, 57, dan 58 mengamanatkan bahwa evaluasi perlu dilakukan untuk
pengendalian mutu pendidikan secara nasional (pasal 57, ayat 1), dan
memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2) pencapaian
standar nasional pendidikan.
5) Pasal 59 berisi tentang lembaga yang harus melakukan evaluasi dan
membentuk lembaga evaluasi yang mandiri disertai beberapa spesifikai
tentang apa dan siapa yang dievaluasi, yaitu pemerintah dan pemerintah

daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan (pasal 59, ayat 1). Masyarakat dan/atau organisasi profesi
dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi
sebagaimana ynag dimaksud dalam pasal 58 (pasal 59, ayat 2).
b. Tidak sedikit pula pendapat yang mendukung dilaksanakan UN terutama
didasarkan pada argumentasi tentang pentingnya UN sebagai pengendali mutu
pendidikan secara nasional dan pendorong atau motivator bagi peserta didik
dan penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
c. UN perlu dilaksanakan dalam rangka menegakkan akuntabilitas pengelola dan
penyelenggara pendidikan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dan
masyarakat pada umumnya. Secara konseptual UN mampu menyediakan
informasi yang akurat kepada masyarakat tentang prestasi yang dicapai oleh
setiap peserta didik, sekolah, lembaga pendidikan kabupaten/kota, provinsi,
dan prestasi nasional secara keseluruhan. Informasi ini dapat digunakan untuk
membandingkan prestasi belajar antar sekolah, kabupaten/kota, dan antar
provinsi. Dalam konteks ini UN merupakan instrumen yang potensial untuk
menyediakan informasi penting dalam menegakkan akuntabilitas.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari uraian sebelumnya,
diantaranya:
1. Dasar pelaksanaan UN di Indonesia yaitu pasal 1 ayat 17 Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003, pasal 66 ayat 1 PP No. 19 Tahun 2005, pasal 68 ayat 2
dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013.
2. Pelaksanaan UN di Indonesia masih belum bisa dilaksanakan secara
maksimal, hal ini disebabkan oleh adanya kendala-kendala dan kecaman dari
pihak tertentu.
3. Pelaksanaan UN di Indonesia masih menimbulkan pro dan kontra.
- Pro UN:
Meningkatnya motivasi belajar siswa dan motivasi mengajar guru,
semakin baiknya sistem manajemen sekolah, dan berkembangnya model
atau pola pembelajaran di berbagai sekolah atau pusat sumber belajar
-

lainnya di masyarakat.
Kontra UN:
 Banyak pula penyimpangan yang telah terjadi selama pelaksanaan UN,
baik penyimpangan dalam teknik penyelenggaraan, pengawasan,


maupun dalam sistem pembiayaan.
Materi UN hanya mencakup aspek intelektual, belum mampu
mengukur seluruh aspek pendidikan secara utuh. Dalam hal ini telah
terjadi malpraktik dengan kesan penyempitan terhadap makna dan
hakikat pendidikan yang utuh menjadi hanya menyangkut aspek
kognitif untuk beberapa pelajaran yang diujikan. Kecakapan motorik,
sosial, emosional, moral atau budi pekerti, dan aspek spiritual
dianggap diabaikan.

B. Saran
Sejalan dengan kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang penulis
berikan, diantaranya:
1. Selain penerapan ujian sebagai strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional, pemerintah juga secara bertahap perlu meningkatkan mutu sekolah
melalui perbaikan sarana dan prasarana sekolah, peningkatan mutu dan
distribusi guru, serta peningkatan kinerja guru dalam proses pembelajaran.
(Bukan melalui sertifikasi dalam bentuk portofolio).
2. Pelaksanaan UN dipandang masih perlu diterapkan, namun sistem
pelaksanaannya masih perlu diperbaiki.
3. Sekolah sebaiknya tidak hanya berorientasi pada materi UN saja, tetapi
materi-materi lain pun perlu diajarkan secara seimbang.
4. Perlu diadakan sosialisasi dan penyadaran kepada semua pihak tentang
pemahaman fungsi Ujian Nasional dan Standar Kompetensi Lulusan kepada
siswa, orang tua, guru maupun semua staf sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
http://atdikbudlondon.files.wordpress.com/2013/05/renstra_kemdikbud_20102014.pdf. Diakses tanggal 1 Mei 2014, pukul 05.30 WIB.
http://kesbangpol.kemendagri.go.id/files_arsip/pp_no.32-2013_.pdf. Diakses
tanggal 1 Mei 2014, pukul 05.25 WIB.
educloud.fkip.unila.ac.id/Penilaian_Standar_BSNP.pdf. Diakses tanggal 1 Mei
2014, pukul 05.20 WIB.
http://litbang.kemdikbud.go.id/pengumuman/POS%20UN%20Tahun
%20Pelarajaran%202013-2014.pdf. Diakses tanggal 1 Mei 2014, pukul
05.30 WIB.
http://dispendik.surabaya.go.id/surabayabelajar/jurnal/199/5.9.pdf. Diakses
tanggal 1 Mei 2014, pukul 05.34 WIB.
http://journal.uny.ac.id/index.php/jep/article/viewFile/605/462. Diakses
tanggal 1 Mei 2014, pukul 05.45 WIB.
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/1955090
91980021-KARSO/Ujian_Nasional.pdf . Diakses tanggal 14 April, pukul
14.10 WIB.
http://eprints.undip.ac.id/11130/1/RINGKASAN_SKRIPSI.pdf. Diakses
tanggal 1 Mei 2014, pukul 05.34 WIB.
http://www.dpr.go.id/parlementaria/magazine/m-102-2013.pdf. Diakses
tanggal 1 Mei 2014, pukul 05:56 WIB