PERTUMBUHAN JAMUR Coriolus versicolor, Trichoderma sp. DAN Rigidoporus lignosus, SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT PELAPUKAN KAYU TANAMAN KARET SECARA IN VITRO

ABSTRACT
FUNGUS GROWTH Coriolus versicolor, Trichoderma sp. and
Rigidoporus lignosus, and THE EFFECT ON THE LEVEL
WEATHERING WOOD RUBBER PLANT IN VITRO
By

ARI FERNANDO

Rubber is an export commodity that is able to contribute in the efforts to increase
Indonesia's foreign exchange. With an area of about 3.3 million ha of 7% stateowned large estates, private estates owned by 8% and 85% is a rubber plantation
owned by the people who become the foundation of the livelihoods of more than 15
million people. The problem of the rubber plantation was the result of low
productivity caused by low adoption of technologies by farmers, especially the use
of superior planting materials, fertilizers, and disease control. This research was
conducted at the Laboratory of Plant Pathology, Department of Plant Protection
Faculty of Agriculture, Lampung University, from October 2009 until November
2010. Sampling of fungi and wood rubber smallholders carried out in the Village
District Panumangan Menggala Tulang Bawang of Regency. This study aimed to
observe the growth of Coriolus versicolor, Trichoderma sp. and Rigidoporus
lignosus and its influence on the level of rubber wood decay in vitro.
This research used Completely Randomized Design (CRD) consisting of 4

treatments, namely: 1) Mushroom C. versicolor; 2) Mushroom Trichoderma sp.;
3) Mushroom R. lignosus); and 4) Control. This study consisted of two subexperiments, the first experiment to determine the colony growth of three kinds of
rot fungi and the second experiment is the influence of the growth of rot fungi on
wood weathering rate of rubber plants in vitro. The first experiments using 9
replicates and a second experiments using the 3 replicates. Data percentage
weathering rate obtained in the second experiment were analyzed by ANOVA
followed by Least Significant Difference Test (LSD) at 5% significance level. The
hypothesis proposed in this study were 1) Mushroom C. versicolor, Trichoderma sp.
and R. lignosus can grow and develop on PDA, 2) Application C. versicolor,
Trichoderma sp. and R. lignosus can degradation rubber wood. The results showed
that 1) the three tested fungi that can grow and develop on PDA. 2) The three fungi
capable of reducing the weight of rubber wood, and each rot fungi differ in their
ability degradation rubber wood.

ABSTRAK
PERTUMBUHAN JAMUR Coriolus versicolor, Trichoderma sp. DAN
Rigidoporus lignosus, SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT
PELAPUKAN KAYU TANAMAN KARET SECARA IN VITRO
Oleh


ARI FERNANDO

Karet merupakan komoditas ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam
upaya peningkatan devisa Indonesia. Dengan luasan sekitar 3,3 juta ha 7% milik
perkebunan besar negara, 8% milik perkebunan swasta dan 85% merupakan
perkebunan karet milik rakyat yang menjadi tumpuan mata pencaharian lebih dari 15
juta jiwa. Permasalahan utama pada perkebunan karet rakyat adalah rendahnya
produktivitas hasil yang disebabkan oleh rendahnya adopsi teknologi oleh petani,
terutama penggunaan bahan tanam unggul, pemupukan, dan pengendalian penyakit.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Jurusan Proteksi
Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dari bulan Oktober 2009 sampai
November 2010. Pengambilan sampel jamur dan kayu karet dilakukan di
perkebunan karet rakyat Desa Panumangan Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang
Bawang. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pertumbuhan Coriolus
versicolor, Trichoderma sp. dan Rigidoporus lignosus serta pengaruhnya terhadap
tingkat pelapukan kayu tanaman karet secara in vitro.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4
perlakuan, yaitu : 1) Jamur C. versicolor; 2) Jamur Trichoderma sp.; 3) Jamur R.
lignosus); dan 4) Kontrol. Penelitian ini terdiri atas 2 sub percobaan, yaitu
percobaan pertama untuk mengetahui pertumbuhan koloni tiga macam jamur

pelapuk dan percobaan kedua adalah pengaruh pertumbuhan jamur pelapuk terhadap
tingkat pelapukan kayu tanaman karet secara in vitro. Percobaan pertama
menggunakan 9 kali ulangan dan percobaan kedua menggunakan 3 kali ulangan.
Data persentase tingkat pelapukan yang didapatkan pada percobaan kedua dianalisis
dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada
taraf nyata 5%. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah 1) Jamur C.
versicolor, Trichoderma sp. dan R. lignosus dapat tumbuh dan berkembang pada
media PDA, 2) Aplikasi C. versicolor, Trichoderma sp. dan R. lignosus dapat
melapukkan kayu tanaman karet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) ketiga
jamur yang diuji dapat tumbuh dan berkembang pada media PDA. 2) Ketiga jamur
mampu menurunkan bobot kayu karet, dan masing-masing jamur pelapuk berbeda
kemampuannya dalam melapukkan kayu karet.

24

V. SIMPULAN DAN SARAN

A.

Simpulan


Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang dilakukan, adalah :
1.

Ketiga jamur pelapuk yang diuji, yaitu Coriolus versicolor, Trichoderma sp.,
dan Rigidoporus lignosus dapat tumbuh dan berkembang dalam media PDA
dan jamur Trichoderma tumbuh lebih cepat.

2.

Jamur C. versicolor, Trichoderma sp. dan R. lignosus mampu melapukkan
kayu karet atau menurunkan bobot kayu karet, masing-masing jamur
tersebut berbeda kemampuannya dalam melapukkan kayu karet.

B.

Saran

Dari hasil penelitian yang dilakukan, disarankan untuk melakukan percobaan
lanjutan untuk mengetahui kemampuan jamur C. versicolor dalam melapukkan

kayu tanaman karet, sehingga jamur ini dapat digunakan untuk mengendalikan/
menekan pertumbuhan jamur R. lignosus (jamur akar putih) pada perkebunan
karet.

I. PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang dan Masalah

Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muel Arg.) tergolong famili Euphorbiaceae.
Tanaman ini berasal dari lembah Amazone Brazilia di Amerika Selatan (Kasmal,
2003), dan masuk ke Indonesia pada abad ke-19 yaitu tahun 1876 (Sianturi,
1992). Tanaman karet mulai dibudidayakan di Sumatra Utara pada tahun 1903
dan di Jawa tahun 1906 (Semangun, 2000). Sebagai penghasil devisa negara,
karet memberikan kontribusi yang sangat berarti. Sampai dengan tahun 1998
komoditas karet masih merupakan penghasil devisa terbesar dari subsektor
perkebunan dengan nilai US$ 1,1 miliar, namun pada tahun 2003 turun menjadi
nomor dua setelah kelapa sawit dengan nilai US$ 1,4 miliar (nilai ekspor minyak
sawit mencapai US$ 2,4 miliar). Pada tahun 2005 pendapatan dari komoditas

karet mencapai US$ 2,6 miliar, atau sekitar 5% dari pendapatan devisa non-migas
(Suryana, 2007).
Pada tahun 2005 Indonesia merupakan negara dengan areal tanaman karet terluas
di dunia yaitu mencapai 3,3 juta ha, disusul Thailand (2,1 juta ha), Malaysia (1,3
juta ha), China (0,6 juta ha), India (0,6 juta ha), dan Vietnam (0,3 juta ha). Dari
areal tersebut diperoleh produksi karet Indonesia sebesar 2,3 juta ton yang
menempati peringkat kedua di dunia, setelah Thailand dengan produksi sekitar 2,9

2

juta ton. Posisi selanjutnya ditempati Malaysia (1,1 juta ton), India (0,8 juta ton),
China (0,5 juta ton), dan Vietnam (0,4 juta ton) (Suryana, 2007).
Selama lebih dari tiga dekade (1970-2005), areal perkebunan karet di Indonesia
meningkat sekitar 1,27% per tahun. Namun pertumbuhan ini hanya terjadi pada
areal karet rakyat (± 1,6% per tahun), sedangkan pada perkebunan besar negara
dan swasta cenderung menurun. Dengan luasan sekitar 3,3 juta ha 7 % milik
perkebunan besar negara, 8% milik perkebunan swasta dan 85% merupakan
perkebunan karet milik rakyat yang menjadi tumpuan mata pencaharian lebih dari
15 juta jiwa (Suryana, 2007). Permasalahan utama pada perkebunan karet rakyat
adalah rendahnya produktivitas hasil yang disebabkan oleh rendahnya adopsi

teknologi oleh petani, terutama penggunaan bahan tanam unggul, pemupukan ,
dan pengendalian penyakit (Ilahang et al., 2006).
Salah satu penyakit yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat
berarti di perkebunan karet Indonesia adalah penyakit akar putih yang disebabkan
oleh jamur Rigidoporus lignosus (Basuki, 1981; Situmorang dan Budiman, 1990).
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Ridley pada tahun 1904. Penyakit akar
putih ini lebih dikenal dengan sebutan penyakit JAP (Jamur Akar Putih)
(Sinulingga, 1989). Penyakit ini mengakibatkan kematian tanaman berumur 1 - 5
tahun. Di perkebunan karet Indonesia, intensitas serangan penyakit ini berkisar
antara 2 - 5 %, tetapi pada beberapa lokasi perkebunan rakyat di Kalimantan dan
Riau intensitas penyakit mencapai 10 % (Basuki, 1981; Situmorang dan Budiman,
1990). Pada perkebunan-perkebunan besar di Sumatra, kerugian akibat serangan
jamur akar putih mencapai 4,7 % (Basuki, 1981). Penurunan produksi karet

3

kering terjadi rata-rata 2.7 kg/pohon atau 54 kg/pohon/20 tahun (Sitomorang,
2004 dalam Ilahang et al., 2006)..
Pengendalian jamur akar putih masih sangat sulit dilakukan. Secara umum,
pengendalian penyakit telah dilakukan dengan membersihkan sumber infeksi

sebelum dan sesudah penanaman karet dan mencegah meluasnya penyakit di
dalam kebun (Semangun, 2000). Pemusnahan sumber infeksi seperti tunggul atau
sisa-sisa tanaman dapat dilakukan dengan cara mekanis, kimia (Lyianage and
Peries, 1973; Basuki, 1981) dan biologis (Suryaningtyas et al., 2007). Salah satu
cara untuk mencegah meluasnya penyakit di dalam kebun adalah dengan
pemakaian bahan kimia, yaitu fungisida. Berbagai macam fungisida, seperti
Alto 100 SL, Anvil 50 SC, Bayfidan 250 EC, dan Bayleton 250 EC, yang
dilaporkan efektif ternyata dapat menimbulkan dampak negatif bagi pengguna
dan lingkungan (Anwar, 2001). Sumber infeksi dapat juga ditekan secara
mekanik, tetapi cara ini memerlukan biaya yang mahal. Cara mekanis dapat
dilakukan melalui pembongkaran tunggul menggunakan buldoser dan cara kimia
dengan peracunan tunggul dengan menggunakan arborisida triklopir (pestisida
pembunuh pohon, semak belukar atau gulma) (Newsam, 1964 dalam
Suryaningtyas et al., 2007). Sebagai alternatif, pelapukan tunggul karet yang
dianggap lebih murah, praktis, dan aman terhadap lingkungan adalah dengan
menggunakan cara biologi yaitu penggunaan mikroorganisme saprofitik pelapuk
tunggul. Jamur yang diduga berperan dalam pelapukan tunggul diantaranya
adalah Coriolus versicolor dan Trichoderma sp. (Hamdan, 2007 dan
Suryaningtyas et al., 2007).


4

B.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pertumbuhan Coriolus versicolor,
Trichoderma sp. dan Rigidoporus lignosus serta pengaruhnya terhadap tingkat
pelapukan kayu tanaman karet secara in vitro.
C.

Kerangka Pemikiran

Metode yang paling efektif dalam pengendalian penyakit akar putih adalah
menurunkan jumlah inokulum awal jamur akar putih, misalnya melalui sanitasi.
Sanitasi yaitu pemusnahan sumber infeksi jamur berupa tunggul dan/atau sisa-sisa
akar tanaman pada waktu pembukaan lahan, baik lahan hutan maupun lahan karet
tua (Oka, 1993 dalam Suryaningtyas et al., 2007). Salah satu agensia hayati yang
mempunyai potensi yang cukup besar dan efektif yang mengendalikan jamur akar
putih karet dan sekaligus berperan sebagai mikroorganisme saprofitik pelapuk

tunggul adalah C. versicolor dan Trichoderma sp. (Suryaningtyas et al., 2007).
Kerusakan kayu oleh jamur pelapuk lignin dapat dideteksi dengan adanya
perubahan warna pada kayu, yaitu menjadi lebih putih atau pemucatan warna dan
tekstur kayu menjadi lebih rapuh, sedangkan jamur pelapuk lignin menghasilkan
perubahan warna menjadi coklat kemerahan. Perubahan warna pada jamur
menunjukkan bahwa jamur pelapuk lignin menghasilkan enzim fenol-oksidase.
Jamur pelapuk lignin adalah jamur yang mampu merombak selulosa dan lignin
yang dikenal sebagai jamur pelapuk putih diantaranya Coriolus versicolor (Kirk et
al., 1990 dalam Rena et al., 2003).

5

R. lignosus adalah Polyporaceae yang merupakan penyebab utama yang dapat
menimbulkan kerugian pada perkebunan karet, akar menjadi berwarna putih dan
kemudian membusuk. Serangan R. lignosus telah dikenal dalam jangka waktu
panjang sebagai jamur pengkonsumsi lignin (lignolytic) yang dapat memecah
enzim polisakarida dan melapukkan kayu. (Kirk et al., 1968).
Menurut hasil riset (Kirk, 1965 dalam Kirk et al., 1968) yang menyertakan sifat
alami enzim yang dikeluarkan oleh jamur R. lignosus secara in vivo dan in vitro
adalah bahwa jamur ini tidak hanya mengeluarkan enzim polisakarida pada

pembusukan atau pelapukan kayu (cellulase, pectinase, xylanase, dll.), tetapi juga
merupakan suatu enzim dikenal sebagai laccase (p-diphenol oxidase), yang
dianggap hanya sebagai jamur pelapuk lignin, dan menunjukkan peranan utama
sebagai pendegradasi lignin.
D.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
1.

Jamur Coriolus versicolor, Trichoderma sp. dan Rigidoporus lignosus
mempunyai kemampuan tumbuh berbeda dan berkembang pada media PDA.

2.

Coriolus versicolor, Trichoderma sp. dan Rigidoporus lignosus memiliki
kemampuan melapukkan kayu tanaman karet yang berbeda.