1954; Singh dan Chaudhary 1976. Analisis yang dilakukan berdasarkan pendekatan Hayman dimulai dengan pendugaan ragam Vr dan peragam Wr.
Berdasarkan nilai duga Vr dan Wr analisis data dilanjutkan untuk:
1. Pengujian Validitas Model
Untuk menguji validitas model genetik maka dilakukan pembuktian hipotesis yang dibuat oleh Hayman 1954 dengan menguji keseragaman Wr, Vr, sebagai
berikut:
b = Cov Wr, Vr Var Vr
Standar error b = Var Wr – b.Cov Wr, Vr
0.5
n-2 Var Vr uji hipotesis : Ho: b = 1 atau H1: b
≠ 1 Jika b = 1 maka tidak terdapat interaksi gen non alelik atau model genetik aditif-
dominan cukup kuat untuk menjelaskan keragaman yang terjadi.
2. Analisis Grafik Wr Vr
Hubungan antara Wr dengan Vr diperoleh dengan regresi antara Vr sebagai sumbu X dan Wr sebagai sumbu Y. Initial value yang dapat menjelaskan batas
parabola diperoleh dari persamaan: Wr = V1L1 x VoLo
0.5
. Nilai intersep dari persamaan regresi diperoleh dari: a = Wr – bVr
3. Pendugaan komponen ragam
Komponen ragam diduga dengan metode kuadrat terkecil. Komponen ragam yang dapat diduga adalah:
E = ragam lingkungan = KT ulangan + KT galatulangan
db ulangan + db galat D
= ragam aditif = V
OLO
- E F
=
= rata-rata Fr untuk semua persilangan, dimana Fr merupakan peragam
pengaruh aditif dan non aditif pada persilangan ke r 2V
OLO
– 4W
OLO1
– 2 n-2 En H1 = ragam dominansi = V
OLO
– 4W
OLO1
+ 4V
1L1
– 3n-2 En H2 = H1 1- u-v, u = proporsi gen positif dalam tetua; v = proporsi gen
negatif dalam tetua = 4V
1L1
- 4V
OL1
– 2E
h
2
=
= pengaruh dominansi yang merupakan penjumlahan semua lokus
dalam keadaan heterozigot pada seluruh persilangan 4 M
L1
– M
LO 2
– 4 n-1 En
2
4. Parameter lain yang dihitung adalah
1. Rata-rata derajat dominansi = H1D
0.5
2. Proporsi gen yang memberikan efek positif dan negatif dalam tetua = H24H1
3. Proporsi gen dominan dan resesif dalam tetua = 4 DH1
12
+ F 4 DH1
12
- F = K
D
K
R
4. Jumlah kelompok gen dan memberikan efek dominan = h
2
H2
5. Heritabilitas
Mather and Jinks 1982 Heritabilitas arti luas = h
2 bs
= ½ D + ½ H1 – ½ H2 –12F ½ D + ½ H1 – ½ H2 –12F + E
Heritabilitas arti sempit = h
2 ns
= ½ D + ½ H1 – ¼ H2 –12F ½ D + ½ H1 – ½H2 –12F + E
Setelah Analisis diallel maka dilanjutkan dengan penghitungan untuk mengetahui: 1. Kemajuan genetik = i h
ns
V
p 0.5
dimana: i = intensitas seleksi h
ns
= heritabilitas arti sempit V
p
= ragam fenotipe 2. Respon Terkorelasi CR
y
R
x
= r
g
i
y
h
y
i
x
h
x
CR
y
R
x
= Perbaikan yang dapat dicapai pada karakter primer jika dilakukan seleksi pada karakter sekunder
Dimana, r
g
= korelasi genetik antara karakter primer dengan karakter sekunder i
y
= intensitas seleksi untuk karakter sekunder i
x
= intensitas seleksi untuk karakter primer h
y
= hertitabilitas arti sempit karakter sekunder h
x
= hertitabilitas arti sempit karakter primer
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fenotipe tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi antara faktor genetik dengan lingkungan. Tujuan studi pola pewarisan dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor genetik dengan mempelajari aksi gen-gen yang mengendalikan karakter agronomi kedelai pada
kondisi intensitas cahaya rendah. Besarnya pengaruh aksi gen-gen tersebut akan menentukan pola pewarisan karakter agronomi pada kondisi intensitas cahaya
rendah. Besarnya pengaruh genetik dan lingkungan terhadap karakter yang
diamati diduga berdasarkan nilai heritabilitas.
Studi pewarisan untuk karakter agronomi kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah menggunakan empat tetua yang dipilih berdasarkan studi fisiologi
yaitu Ceneng dan Pangrango sebagai tetua toleran serta Slamet dan Godek
sebagai tetua peka Sopandie et al. 2003c. Keempat tetua disilangkan dalam
suatu persilangan diallel sehingga diperoleh dua belas kombinasi persilangan. Pengujian materi genetik yang meliputi keempat tetua dan dua belas genotipe F1
dilakukan di bawah naungan paranet dengan tingkat naungan 55 atau cahaya yang diterima tanaman hanya 45.
Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah
Karakter Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah F
Tinggi saat panen 1195.84
132.87 3.16
Jumlah cabang produktif 4.99
0.55 4.68
Jumlah buku total 95.05
10.56 2.63
Jumlah polong isi 1674.05
186.01 6.24
Jumlah polong hampa 244.60
27.18 6.01
Jumlah polong total 1053.55
117.06 2.55
Persentase polong isi 2082.99
231.44 15.61
Daya hasil 76.54
8.51 4.22
Keterangan: : berbeda nyata pada α = 5
: berbeda nyata pada α = 1
Syarat pengujian model dengan rancangan diallel adalah terdapat keragaman antara genotipe yang digunakan untuk karakter yang dianalisis. Hasil
analisis ragam terhadap karakter agronomi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antar genotipe yang digunakan untuk karakter tinggi tanaman saat
panen, jumlah buku total dan jumlah polong total pada tingkat kepercayaan 95, sedangkan untuk karakter tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif,
jumlah polong isi, jumlah polong hampa, persentase polong isi, dan daya hasil terdapat perbedaan pada tingkat kepercayaan 99 Tabel 1. Dengan demikian
populasi yang digunakan memenuhi persyaratan untuk dilanjutkan dengan analisis diallel. Pendekatan yang dipilih adalah pendekatan Hayman Hayman 1954
dengan mengikuti perhitungan yang diformulasikan oleh Singh dan Choudhary 1976.
Persilangan diallel adalah persilangan yang memungkinkan kombinasi di antara semua tetua atau genotipe yang digunakan. Analisis diallel didasarkan atas
asumsi bahwa 1. tetua homozigot, 2. segregasi terjadi secara diploid, 3. tidak terdapat pengaruh tetua betina maternal effect, 4. tidak ada interaksi antara gen
dari alel yang berbeda epistasis, 5. tidak ada multialelisme, dan 6. gen-gen menyebar secara bebas di antara dua tetua Hayman 1954; Griffing 1956; Singh
dan Chaudhary 1976; Roy 2000. Beberapa asumsi dibuktikan dengan menduga bahwa genotipe kedelai
bersifat homozigot dan segregasi terjadi secara diploid. Karakteristik bunga kedelai adalah mahkota bunga menutupi stamen yang melilit pada pistil sehingga
polen pasti langsung jatuh di kepala putik. Bunga akan mekar setelah terjadi penyerbukan sehingga polen lain tidak dapat menyerbuki putik. Penyerbukan
sendiri secara terus menerus di alam menyebabkan komposisi genotipe kedelai menjadi homozigot Poehlman dan Sleeper 1983. Dengan demikian asumsi
bahwa genotipe homozigot seperti yang dikemukakan oleh Hayman Hayman 1954 dapat dipenuhi. Tingkat ploidi kedelai adalah diploid dengan 2n=2x=40
sehingga dalam proses meiosis kromosom kedelai bersegregasi mengikuti pola diploid yaitu pada saat metafase pasangan kromosom yang terdiri dari dua
kromosom berjajar di bidang equator. Hal ini membuktikan bahwa asumsi kedelai bersegregasi secara diploid dapat dipenuhi Poehlman dan Sleeper 1983;
Shoemaker et al. 1996. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa asumsi tidak
terdapat pengaruh tetua betina juga dapat dipenuhi. Pengaruh tetua betina ditunjukkan oleh ada atau tidak perbedaan antara F1 dengan resiproknya. Jika
tidak terdapat pengaruh tetua betina berarti gen-gen yang mengendalikan karakter tersebut terdapat pada inti sel. Berbagai hasil penelitian mengenai pengaruh tetua
betina terhadap pewarisan karakter agronomi pada kondisi intensitas cahaya rendah telah banyak dilaporkan.
Rostini et al. 2002 dan Handayani 2003 melaporkan bahwa pada kedelai tidak terdapat pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter sifat kandungan
klorofil. Wijayanti 2002 menyimpulkan bahwa hampir semua pewarisan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah tidak
dipengaruhi oleh tetua betina. La Muhuria 2007 juga melaporkan bahwa tidak terdapat pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter kerapatan trikoma,
kandungan klorofil dan daya hasil.
Pengujian Validitas Model Aditif Dominan
Dalam analisis diallel model genetik yang digunakan untuk mengetahui aksi gen yang mengendalikan suatu karakter adalah model genetik yang paling
sederhana yang hanya menyertakan pengaruh aksi gen aditif dan dominan. Ada atau tidak ada aksi gen epistasis diketahui dengan menguji validitas kesesuaian
model genetik aditif dominan. Jika model genetik aditif dominan sesuai berarti keragaman yang diamati hanya disebabkan oleh pengaruh aksi gen aditif dan
dominan, tetapi jika tidak sesuai maka keragaman yang diamati dipengaruhi tidak hanya oleh aksi gen aditif dan dominan, tetapi juga dipengaruhi oleh aksi gen
epistasis. Tabel
2. Hasil pengujian kesesuaian model aditif-dominan bagi karakter agronomi kedelai kondisi intensitas cahaya rendah
Karakter Nilai b
t H0:b=1 Tinggi saat panen
0.29 ± 0.45
0.64 Jumlah cabang produktif
0.63 ± 0.24
1.53 Jumlah buku total
0.68 ± 0.90
0.36 Jumlah polong isi
0.71 ± 0.41
0.71 Jumlah polong hampa
0.76 ± 0.13
1.78 Jumlah polong total
0.07 ± 33.41
4.07 Persentase polong isi
0.88 ± 66.91
0.98 Daya hasil
1.00 ± 0.22
-0.01 Keterangan : t nyata pada derajat bebas 196 dengan taraf
α = 1
Validasi model aditif-dominan bertujuan untuk membuktikan bahwa aksi gen yang mempengaruhi keragaman karakter agronomi kedelai dalam kondisi
intensitas cahaya rendah hanya disebabkan oleh aksi gen aditif dan dominan. Jika hipotesis bahwa nilai b sama dengan satu diterima atau nilai t hitung tidak
nyata maka model aditif dominan dapat menjelaskan keragaman yang diamati. Namun, jika nilai b tidak sama dengan satu atau nilai t hitung nyata maka
keragaman yang diamati tidak hanya disebabkan oleh aksi gen aditif dan dominan, tapi juga oleh aksi gen epistasis Hayman 1954.
Berdasarkan uji t diketahui bahwa nilai t hitung tidak nyata pada hampir semua karakter yang diamati kecuali karakter jumlah polong total. Hal ini
menunjukkan bahwa model genetik aditif-dominan cukup kuat untuk menjelaskan keragaman karakter tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah
buku total , jumlah polong isi, jumlah polong hampa, persentase polong isi, dan daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah. Berdasarkan model aditif
dominan maka keragaman yang diamati pada karakter tersebut hanya disebabkan oleh aksi gen aditif dan dominan, sedangkan keragaman yang diamati pada
karakter jumlah polong total disebabkan oleh aksi gen aditif, dominan dan epistasis Tabel 2.
Dengan demikian asumsi bahwa tidak terdapat epitasis dapat dipenuhi sehingga pendugaan nilai komponen ragam dapat dilakukan dengan baik kecuali
pada karakter jumlah polong total. Adanya aksi gen epistasis pada karakter jumlah polong total menyebabkan adanya bias dalam pendugaan ragam untuk
karakter tersebut sehingga ragam yang diperoleh dapat lebih kecil dari nilai yang sebenarnya. Menurut Roy 2000, pendugaan komponen ragam yang bebas dari
bias dapat dilakukan jika tidak terdapat pengaruh epistasis. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman karakter
kuantitatif pada tanaman menyerbuk sendiri dapat dijelaskan oleh model aditif- dominan, walaupun pada karakter tertentu model aditif dominan tidak cukup
untuk menjelaskan keragaman yang diamati karena terdapat epistasis. Keragaman yang muncul pada kandungan asam linolenat pada kedelai
dikendalikan oleh aksi gen aditif dan dominan, sedangkan epistasis berpengaruh sangat kecil Gesteira et al. 2003. Fronza et al. 2004 menyatakan bahwa
keragaman ketahanan kedelai terhadap Fusarium solani f. sp. glycines yang diukur melalui tingkat keparahan serangan pada daun dan tingkat keparahan
serangan pada tanaman dapat dijelaskan oleh model aditif-dominan. Agustina 2004 melaporkan bahwa keragaman beberapa karakter
komponen hasil pada padi gogo dapat dijelaskan oleh model aditif-dominan. Keragaman karakter jumlah anakan produktif, umur berbunga, dan bobot 1000
butir disebabkan oleh aksi gen aditif dan dominan, sedangkan karakter tinggi tanaman, jumlah malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi per malai, dan
berat gabah isi per tanaman dipengaruhi oleh aksi gen epistasis. Hasil penelitian pada snap bean yang dilaporkan oleh Silva et al. 2004
menunjukkan bahwa keragaman karakter jumlah polong per tanaman, rata-rata bobot polong per tanaman dan umur berbunga dikendalikan oleh aksi gen aditif
dan dominan. Keragaman karakter tingggi tanaman, panjang malai, jumlah tiller per tanaman, berat bijimalai, dan berat 1000 butir pada spring wheat hanya
disebabkan oleh aksi gen aditif dan dominan Khan dan Habib 2003. Saleem et al
. 2005 juga melaporkan bahwa tinggi tanaman dan berat bijimalai pada spring wheat
disebabkan oleh aksi gen aditif dan dominan.
Distribusi Tetua
Grafik hubungan Vr dan Wr dapat menginterpretasikan sebaran tetua sepanjang garis regresi. Distribusi tetua sepanjang garis regresi menunjukkan
gen-gen yang dimiliki oleh tetua. Dalam model aditif dominan tetua yang memiliki gen dominan lebih banyak berada di sekitar titik origin nol, sedangkan
tetua yang memiliki gen resesif lebih banyak berada sekitar ujung garis parabola. Hal ini juga ditunjukkan oleh nilai penjumlahan Vr dan Wr yang lebih kecil
terletak disekitar titik origin yang menunjukkan bahwa tetua memiliki jumlah gen dominan yang lebih banyak dibandingkan dengan tetua yang terletak jauh dari
titik origin. Nilai penjumlahan Vr dan Wr berkorelasi negatif dengan jumlah gen dominan yang dimiliki oleh tetua. Semakin kecil nilai penjumlahan Vr dan Wr
maka semakin banyak jumlah dominan yang dimiliki oleh suatu tetua untuk satu karakter Hayman 1954; Roy 2000. Distribusi tetua sepanjang garis regresi
untuk semua karakter yang diamati terdapat Gambar 2 sampai dengan Gambar 9.
Nilai koefisien korelasi antara nilai genotipe tetua dengan jumlah ragam dan peragam tetua Vr+Wr menunjukkan pengaruh alel dominan atau resesif
terhadap suatu karakter. Jika nilai koefisien korelasi bernilai positif maka alel yang lebih berpengaruh adalah alel resesif, sedangkan jika nilai koefisien korelasi
negatif maka alel yang paling berpengaruh adalah alel dominan. Dalam kegiatan pemuliaan, jika yang gen diinginkan adalah alel dominan maka untuk seleksi pada
generasi awal harus dipilih tetua yang mempunyai gen dominan lebih banyak karena frekuensi gen dominan lebih besar pada generasi awal dibandingkan pada
generasi lanjut, sedangkan jika seleksi dilakukan pada generasi lanjut maka harus
dipilih tetua yang membawa gen resesif lebih banyak Silva et al. 2004; Fronza
et al . 2004.
-10 10
20 30
40
50 100
1 2
3 4
Vr Wr
Gambar 2. Hubungan ragam Vr dan peragam Wr serta sebaran array karakter tinggi tanaman saat panen pada kondisi intensitas cahaya
rendah
-0.1 -0.05
0.05 0.1
0.15 0.2
0.25
-0.1 0.1
0.2 0.3
0.4 0.5
2
3 1
4 Vr
Gambar 3. Hubungan ragam Vr dan peragam Wr serta sebaran array karakter jumlah cabang total pada kondisi intensitas cahaya rendah
Keterangan: 1. Ceneng
2. Godek 3. Slamet
4. Pangrango
Wr Keterangan:
1. Ceneng 2. Godek
3. Slamet 4. Pangrango
Gambar 4. Hubungan ragam Vr dan peragam Wr serta sebaran array karakter
jumlah buku total pada kondisi intensitas cahaya rendah
-40 -20
20 40
60 80
20 40
60 80
100 120
Gambar 5. Hubungan ragam Vr dan peragam Wr serta sebaran array karakter jumlah polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah
2 4
6 8
10 12
14 16
2 4
6 8
10 12
Gambar 6. Hubungan ragam Vr dan peragam Wr serta sebaran array karakter jumlah polong hampa pada kondisi intensitas cahaya rendah
-4 -2
2 4
6
2 4
6 8
10 12
4 3
1 2
Vr Wr
Keterangan: 1. Ceneng
2. Godek 3. Slamet
4. Pangrango
Keterangan: 1. Ceneng
2. Godek 3. Slamet
4. Pangrango
Vr Wr
2 3
1 4
Vr Wr
2 3
1 4
Keterangan: 1. Ceneng
2. Godek 3. Slamet
4. Pangrango
10 20
30 40
50
50 100
150 200
250
Gambar 7. Hubungan ragam Vr dan peragam Wr serta sebaran array karakter jumlah polong total pada kondisi intensitas cahaya rendah
20 40
60 80
100 120
140
-20 20
40 60
80 100
120
Gambar 8. Hubungan ragam Vr dan peragam Wr serta sebaran array karakter persentase polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah
-2 2
4 6
8 10
-2 2
4 6
8 10
Gambar 9. Hubungan ragam Vr dan peragam Wr serta sebaran array karakter daya hasil per tanama pada kondisi intensitas cahaya rendah
Vr Wr
2 3
1 4 Keterangan:
1. Ceneng 2. Godek
3. Slamet 4. Pangrango
Vr Wr
2 3
1 4
Keterangan: 1. Ceneng
2. Godek 3. Slamet
4. Pangrango
Vr Wr
2 3
1
4 Keterangan:
1. Ceneng 2. Godek
3. Slamet 4. Pangrango
Karakter Tinggi Tanaman Saat Panen
Distribusi tetua sepanjang garis regresi menunjukkan bahwa genotipe Slamet berada paling dekat dengan titik nol yang berarti genotipe Slamet
mempunyai gen dominan paling banyak, diikuti oleh Pangrango, Ceneng, dan Godek untuk karakter tinggi tanaman saat panen Gambar 2. Hal ini juga
ditunjukkan oleh nilai Vr +Wr genotipe Slamet paling kecil dibandingkan dengan tetua lainnya Tabel 3.
Nilai koefisien korelasi antara nilai genotipe tetua dengan jumlah ragam dan peragam tetua Vr+Wr bernilai positif yaitu 0.3 meskipun tidak nyata. Hal
ini menunjukkan bahwa alel yang paling berperan meningkatkan tinggi tanaman adalah alel resesif. Dalam pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya
rendah yang diinginkan adalah tanaman yang tidak terlalu tinggi sehingga tetua yang dipilih adalah tetua yang membawa gen dominan lebih banyak. Tetua yang
mewariskan alel dominan untuk karakter tinggi tanaman adalah Ceneng, Pangrango dan Slamet.
Tabel 3. Ragam dan peragam array karakter tinggi tanaman saat panen pada kondisi intensitas cahaya rendah
Tetua Vr
Wr Vr+Wr
Yr R Yr, Vr+Wr
Ceneng 59.49 -2.49 56.99
106.90 0.3
Godek 58.82 21.19 80.01
116.10 Slamet 26.03
-3.49 22.54 112.50
Pangrango 37.36 9.61 46.97 110.00 Total 181.70
24.81 206.51 445.50
Rata- rata 45.43
6.20 51.63
111.38
Karakter Jumlah Cabang Produktif
Sebaran tetua di sepanjang garis regresi menunjukkan bahwa tetua Slamet paling dekat dengan titik nol yang menunjukkan bahwa jumlah gen dominan
yang mengendalikan jumlah buku total paling banyak terdapat pada tetua Slamet lalu diikuti oleh Ceneng, Godek dan Pangrango Gambar 3. Hal ini juga
ditunjukkan oleh nilai Vr + Wr yang paling kecil terdapat pada Slamet Tabel 4. Nilai koefisien korelasi antara nilai genotipe tetua dengan jumlah ragam
dan peragam tetua Vr+Wr bernilai negatif yaitu -0.9 meskipun tidak nyata.
Hal ini menunjukkan bahwa alel yang paling berperan meningkatkan jumlah cabang produktif adalah alel dominan. Tetua yang mewariskan alel dominan
paling banyak untuk karakter jumlah cabang produktif adalah Ceneng, Pangrango dan Slamet.
Tabel 4. Ragam dan peragam array karakter jumlah cabang produktif pada
kondisi intensitas cahaya rendah Tetua
Vr Wr
Vr+Wr Yr
r Yr, Vr+Wr Ceneng 0.08 -0.04 0.04
2.80 -0.9
Godek 0.40 0.21 0.61
1.90 Slamet 0.02 0.01
0.02 2.40
Pangrango 0.13 -0.05 0.08
2.50 Total 0.63 0.12
0.75 9.60 Rata- rata
0.16 0.03
0.19 2.40
Karakter Jumlah Buku Total
Sebaran tetua sepanjang garis regresi menunjukkan bahwa genotipe Godek dan Pangrango terletak paling jauh dari titik origin, sedangkan genotipe Ceneng
dan Slamet terletak paling dekat ke titik origin. Hal ini menunjukkan bahwa tetua Godek dan Pangrango lebih banyak membawa gen resesif dan tetua Slamet dan
Ceneng lebih banyak membawa gen dominan Gambar 4. Hal ini juga ditunjukkan oleh nilai Vr + Wr yang paling kecil terdapat pada tetua Slamet dan
Ceneng, sedangkan yang paling besar terdapat Pangrango Tabel 5. Nilai koefisien korelasi antara nilai genotipe tetua dengan jumlah ragam
dan peragam tetua Vr+Wr bernilai negatif yaitu -0.6 meskipun tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa alel yang paling berperan meningkatkan jumlah
buku total adalah alel dominan. Tetua yang mewariskan alel dominan paling banyak untuk karakter jumlah buku adalah Ceneng, Godek dan Slamet
Tabel 5. Ragam dan peragam array karakter jumlah buku total pada kondisi intensitas cahaya rendah
Tetua Vr
Wr Vr+Wr
Yr R Yr, Vr+Wr
Ceneng 3.25 -1.64
1.61 16.60
-0.622 Godek 2.14
0.85 2.99
14.90 Slamet 2.26
-0.57 1.69
17.90 Pangrango 4.62 2.13
6.75 15.30
Total 12.26 0.78
13.04 64.70
Rata- rata 3.07
0.20 3.26
16.18
Karakter Jumlah Polong
Karakter jumlah polong yang diamati meliputi jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong total, dan persentase polong isi. Berdasarkan
sebaran tetua di sepanjang garis regresi untuk karakter jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong total, dan persentase polong isi dapat dijelaskan
bahwa tetua Ceneng dan Pangrango memiliki jumlah gen dominan paling banyak untuk karakter jumlah polong isi dan jumlah polong total. Tetua Pangrango
memiliki jumlah gen dominan paling banyak untuk karakter jumlah polong hampa dan persentase polong isi. Secara umum pada Gambar 5, Gambar 6, Gambar 7,
dan Gambar 8 terlihat bahwa tetua Ceneng dan Pangrango lebih dekat ke titik origin dibandingkan tetua Godek dan Slamet.
Jika dibandingkan nilai penjumlahan Vr + Wr tetua Ceneng dan Pangrango memiliki nilai lebih kecil untuk karakter jumlah polong isi, jumlah polong hampa
dan persentase polong isi. Tetua Godek dan Slamet memiliki nilai Vr + Wr yang lebih besar untuk karakter jumlah polong isi, jumlah polong hampa dan persentase
polong isi yang berarti tetua Godek dan Slamet lebih banyak memiliki gen-gen resesif Tabel 6, Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9.
Tabel 6. Ragam dan peragam array karakter jumlah polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah
Tetua Vr
Wr Vr+Wr
Yr R Yr, Vr+Wr
Ceneng 25.23 -7.08
18.15 39.60
-0.697 Godek 103.40
45.93 149.33
27.10 Slamet 52.89
22.93 75.82
25.40 Pangrango 53.83
-20.42 33.41
30.70 Total 235.35
41.36 276.70
122.80 Rata- rata
58.84 10.34
69.18 30.70
Tabel 7. Ragam dan peragam array karakter jumlah polong hampa pada kondisi
intensitas cahaya rendah Tetua
Vr Wr
Vr+Wr Yr
R Yr, Vr+Wr Ceneng 3.01
6.37 9.37 1.70 0.935 Godek 7.50
9.04 16.54 8.80
Slamet 9.79 10.10
19.89 10.50 Pangrango 0.44 2.62 3.06
1.80 Total 20.74
28.13 48.87 22.80 Rata- rata
5.18 7.03
12.22 5.70
Tabel 8. Ragam dan peragam array karakter jumlah polong total pada kondisi intensitas cahaya rendah
Tetua Vr
Wr Vr+Wr
Yr R Yr, Vr+Wr
Ceneng 23.48 0.22 23.70
41.30 -0.776
Godek 56.67 9.12
65.79 35.90
Slamet 40.59 13.14
53.73 31.30
Pangrango 63.53 2.67 66.20
32.50 Total 184.27
25.16 209.43
141.00 Rata- rata
46.07 6.29
52.36 35.25
Tabel 9. Ragam dan peragam array karakter persentase polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah
Tetua Vr
Wr Vr+Wr
Yr R Yr, Vr+Wr
Ceneng 11.62 31.82
43.45 95.90
-0.973 Godek 78.55
81.64 160.19
75.50 Slamet 99.04
96.67 195.71
70.60 Pangrango 0.18 1.96
2.14 94.30
Total 189.40 212.09
401.49 336.30
Rata- rata 47.35
53.02 100.37
84.08 Nilai koefisien korelasi antara nilai genotipe tetua dengan jumlah ragam dan
peragam tetua Vr + Wr untuk karakter jumlah polong bernilai negatif kecuali jumlah polong hampa meskipun tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa alel
yang paling berperan dalam meningkatkan jumlah polong kecuali jumlah polong hampa adalah alel dominan. Alel yang paling berperan dalam peningkatan jumlah
polong hampa adalah alel resesif. Pada karakter jumlah polong hampa alel yang diinginkan adalah alel dominan karena akan mengurangi jumlah polong hampa.
Tetua yang mewariskan alel dominan untuk karakter jumlah polong adalah tetua Ceneng dan Pangrango.
Karakter Daya Hasil
Jumlah gen dominan yang mengendalikan daya hasil paling banyak terdapat pada tetua Godek, Pangrango dan Slamet karena Godek, Pangrango dan Slamet
terletak paling dekat terhadap titik origin, sedangkan Ceneng memiliki jumlah gen resesif paling banyak karena terletak jauh dari titik origin Gambar 9. Jika
dilihat nilai Vr +Wr, maka tetua Ceneng memiliki nilai paling besar, berarti
bahwa tetua Ceneng memiliki gen resesif yang paling banyak untuk karakter daya hasil Tabel 10.
Nilai koefisien korelasi antara nilai genotipe tetua dengan jumlah ragam dan peragam tetua Vr+Wr bernilai positif yaitu 0.8 meskipun tidak nyata. Hal
ini menunjukkan bahwa alel yang paling berperan meningkatkan daya hasil adalah alel resesif. Tetua yang mewariskan alel resesif paling banyak untuk karakter
daya hasil adalah tetua Ceneng. Tabel 10. Ragam dan peragam array karakter daya hasil pada kondisi intensitas
cahaya rendah Tetua
Vr Wr
Vr+Wr Yr
R Yr, Vr+Wr Ceneng 5.06
5.48 10.54
8.70 0.8
Godek 0.36 1.01
1.37 2.90
Slamet 0.70 1.97
2.67 2.70
Pangrango 0.35 -0.08
0.27 5.40
Total 6.47 8.39
14.86 19.70
Rata- rata 1.62
2.10 3.71
4.93
Dalam penelitian ini diketahui bahwa tidak satu pun tetua yang membawa gen dominan atau resesif saja untuk semua karakter. Tetua Ceneng membawa gen
dominan lebih banyak untuk karakter tinggi tanaman, jumlah cabang produktif, jumlah buku, jumlah polong isi dan jumlah polong total, tetapi membawa gen
resesif lebih banyak untuk karakter daya hasil. Tetua Pangrango juga tergolong tetua berdaya hasil tinggi pada kondisi intensitas cahaya rendah. Tetua Pangrango
membawa gen dominan lebih banyak untuk karakter jumlah cabang produktif, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, dan daya hasil, tetapi membawa gen
resesif paling banyak untuk karakter jumlah polong total. Berbagai hasil penelitian sebelumnya juga melaporkan bahwa tidak satu
tetua pun membawa gen-gen dominan saja atau resesif saja untuk semua karakter. Misalnya hasil penelitian Iqbal et al. 2003, salah satu tetua gandum yang
digunakan dalam analisis diallel adalah genotipe RL-18. Genotipe RL-18 mempunyai gen dominan lebih banyak untuk umur berbunga, sedangkan untuk
umur panen genotipe RL-18 mempunyai lebih banyak gen resesif. Saleem et al. 2005, melaporkan bahwa pada gandum tetua Fsd 85 mempunyai gen dominan
lebih banyak untuk karakter luas daun bendera dan tinggi tanaman pada gandum, tetapi mempunyai gen resesif lebih banyak untuk karakter berat bulir per tanaman.
Dalam pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah alel yang diinginkan adalah alel yang berperan untuk mengurangi tinggi tanaman dan
jumlah polong hampa serta alel yang berperan meningkatkan jumlah cabang, jumlah buku, jumlah polong isi, jumlah polong dan daya hasil. Dalam penelitian
diperoleh informasi bahwa alel yang berperan dalam mengurangi tinggi tanaman dan jumlah polong hampa adalah alel dominan, serta alel yang berperan untuk
meningkatkan jumlah cabang produktif, jumlah buku, jumlah polong isi, polong total dan persentase polong isi adalah alel dominan, tetapi bobot per tanaman
ditentukan oleh alel resesif. Berdasarkan alel yang diwariskan untuk masing-masing karakter oleh tetua
yang digunakan maka dapat dipilih tetua yang mewariskan gen-gen yang diinginkan. Di antara ke empat tetua yang digunakan, tetua yang paling banyak
mewariskan alel-alel yang diinginkan adalah tetua Ceneng yang diikuti oleh Slamet dan Pangrango. Hasil analisis grafik hubungan antara ragam dan peragam
tetua menunjukkan tetua Ceneng, Pangrango, dan Slamet berpotensi untuk dijadikan tetua dalam pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah.
Informasi ini didukung oleh La Muhuria 2007 yang melaporkan bahwa tetua Ceneng memiliki daya gabung umum tertinggi di antara keempat tetua yang
digunakan untuk karakter kerapatan trikoma, kandungan klorofil dan daya hasil. Hal ini menunjukkan bahwa tetua Ceneng mempunyai kemampuan paling baik
dalam mewariskan gen-gen yang mengendalikan karakter tersebut. Berdasarkan alel-alel yang diwariskan oleh masing-masing tetua, maka
informasi yang diperoleh dalam penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diperoleh informasi bahwa
tetua Ceneng dan Pangrango adalah tetua yang toleran dan berdaya hasil lebih tinggi pada kondisi intensitas cahaya rendah dibandingkan Slamet dan Godek
Sopandie et al. 2002; Sopandie et al. 2006. Di antara ke empat tetua yang digunakan, tetua yang banyak mewariskan alel-alel yang diinginkan untuk
adaptasi terhadap intensitas cahaya rendah adalah tetua Ceneng dan Pangrango.
Pendugaan Komponen Ragam
Berdasarkan pengujian terhadap model genetik aditif dominan diketahui bahwa karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah
dipengaruhi oleh ragam aditif dan ragam dominan Tabel 11. Ragam aditif berpengaruh sangat nyata terhadap karakter jumlah polong hampa, persentase
polong isi, dan daya hasil. Ragam dominan berpengaruh sangat nyata terhadap semua karakter yang diamati kecuali jumlah buku total. Jika dibandingkan dengan
pengaruh ragam aditif maka pengaruh ragam dominan lebih besar pada pewarisan karakter tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total,
jumlah polong isi, dan jumlah polong total. Nilai rata-rata peragam aditif dan dominan pada array tertentu F hanya
berbeda nyata untuk karakter persentase polong isi dan daya hasil. Pendugaan komponen genetik F menunjukkan bahwa semua karakter memiliki nilai F lebih
besar dari standar error kecuali karakter kecuali jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil Tabel 11. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok
tetua terdapat predominansi alel-alel resesif Roy 2000. Tabel 11. Nilai pengaruh ragam aditif, ragam dominan dan rata-rata peragam
aditif dan dominan terhadap karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah
Karakter Ragam aditif
D rata-rata
peragam aditif dan dominan
F Ragam
dominan H
1
Tinggi saat panen -0.26
± 15.27 -9.90
± 39.22 133.50 ± 44.39 Jumlah cabang
produktif 0.01
± 1.45 0.12
± 0.21 9.07
± 4.21 Jumlah buku total
0.01 ± 83.87
0.84 ± 3.72 120.25 ± 243.81
Jumlah polong isi 30.69
± 20.54 29.41
± 52.76 210.58 ± 59.70 Jumlah polong
hampa 19.91
± 1.23 13.06
± 3.16 10.45
± 3.58 Jumlah polong
total 5.664
± 18.23 0.56
± 43.78 143.16 ± 52.98 Persentase polong
isi 162.01
± 9.79 116.41
± 24.78 132.58 ± 28.45 Daya hasil
7.21 ± 0.31
6.66 ± 1.74
4.48 ± 0.91
Keterangan : berbeda nyata pada α = 5
: berbeda sangat nyata pada α =1
Ragam dominan berpengaruh nyata pada karakter ketahanan kedelai terhadap penyakit yang disebabkan oleh Fusarium solani f. sp. glycines, tetapi
pengaruh ragam aditif sangat kecil Fronza et al. 2004. Agustina 2004 melaporkan bahwa hampir semua karakter agronomi padi pada kondisi cekaman
Al dipengaruhi ragam dominan, tetapi ragam aditif hanya berpengaruh pada beberapa karakter. Karakter yang dipengaruhi ragam dominan adalah jumlah
anakan produktif, umur berbunga, panjang malai, jumlah gabahmalai, jumlah gabah isi, persentase gabah isi dan hampa, serta berat gabah per rumpun, di
antaranya yang dipengaruhi oleh ragam aditif hanya karakter jumlah anakan produktif, umur berbunga dan panjang malai yang dipengaruhi oleh ragam aditif.
Tabel 12. Distribusi gen pada tetua dan pengaruh dominansi h
2
terhadap karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah
Karakter H
2
Pengaruh dominansi h
2
Tinggi saat panen 97.26
± 40.97 221.76
± 30.20 Jumlah cabang produktif
0.43 ± 0.22
1.93 ± 0.16
Jumlah buku total 8.1
± 3.89 46.40
± 2.87 Jumlah polong isi
194.22 ± 55.10
1115.20 ± 40.62
Jumlah polong hampa 8.26
± 3.30 33.76
± 2.43 Jumlah polong total
140.26 ± 45.73
950.20 ± 33.71
Persentase polong isi 110.20
± 25.88 559.51
± 19.08 Daya hasil
2.94 ± 1.82
4.70 ± 1.34
Keterangan: H2 = H1 1-u-v2, u = proporsi gen-gen positif dalam tetua, v = proporsi gen-gen negative dalam tetua
: berbeda nyata pada uji t dengan
α
= 5 : berbeda sangat nyata pada uji t dengan
α
= 1 Berdasarkan uji t juga diketahui bahwa nilai H
2
berbeda nyata untuk semua karakter yang diamati. Hal ini menunjukkan distribusi gen-gen yang
mengendalikan karakter tinggi saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong total, persentase
polong isi dan daya hasil tidak menyebar merata di antara kedua tetua. Pengaruh dominansi terlihat sangat nyata pada semua karakter yang diamati. Pengaruh
dominan yang besar terdapat pada karakter tingggi tanaman saat panen, jumlah polong isi, jumlah polong total dan persentase polong isi Tabel 12.
Berdasarkan nilai dugaan terhadap komponen ragam maka parameter genetik lainnya yang dapat dihitung adalah rata-rata derajat dominansi, jumlah
kelompok gen yang mengendalikan dan memberikan efek dominansi, proporsi gen yang memberikan efek positif dan negatif dalam tetua serta proporsi gen
dominan dan resesif dalam tetua serta dominansi. Derajat dominansi ditentukan dengan menggunakan nilai akar dari rasio ragam dominan terhadap ragam adititf
H
1
D
0.5
untuk menentukan rata-rata derajat dominansi, yaitu : over dominance jika H
1
D
0.5
1, dominan lengkap jika H
1
D
0.5
= 1, dan dominan parsial H
1
D
0.5
1 Roy 2000. Dalam penelitian ini diperoleh bahwa pewarisan karakter jumlah cabang
produktif, jumlah buku total, jumlah cabang produktif, jumlah polong isi dan jumlah polong total dikendalikan oleh gen-gen yang over dominance yang
ditandai dengan nilai H
1
D
0.5
lebih besar dari satu, sedangkan karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil dikendalikan oleh dominansi
parsial Tabel 13.
Pengaruh aksi gen over dominance sangat umum ditemui pada tanaman menyerbuk sendiri. Hasil penelitian Saleem et al. 2005 pada gandum
menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman dan bobot bulir per tanaman dikendalikan oleh aksi gen over dominance. Khan dan Habib 2003 melaporkan
bahwa tinggi tanaman gandum dikendalikan oleh aksi gen dominansi parsial sedangkan bobot bulir per tanaman dikendalikan oleh aksi gen over dominance.
Chowdry et al. 2002 menyatakan bahwa tinggi tanaman dan berat bulir per tanaman pada gandum dikendalikan oleh aksi gen over dominance.
Karakter jumlah polong per tanaman dan jumlah benih per polong pada snap bean
dikendalikan oleh aksi gen over dominance, sedangkan karakter berat polong per tanaman dikendalikan aksi gen dominansi parsial Silva et al. 2004.
Hasil pengujian ketahanan beberapa genotipe kedelai menunjukkan bahwa karakter ketahanan terhadap Fusarium solani f.sp. glycines dikendalikan oleh aksi
gen over dominance Fronza et al. 2004. Semua karakter agronomi yang diamati memiliki jumlah kelompok gen
yang mengendalikan dan menimbulkan efek dominansi lebih dari satu kecuali untuk karakter jumlah buku total. Karakter jumlah polong total memiliki jumlah
kelompok gen paling banyak. Berdasarkan pengujian model genetik aditif dominan hanya karakter jumlah polong total yang menunjukkan adanya epistasis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat paling tidak 6 kelompok gen yang mengendalikan dan menimbulkan efek dominansi pada karakter jumlah
polong total. Kelompok gen ini sangat memungkinkan terjadinya epistasis karena menurut Roy 2000, epistasis dapat terjadi jika suatu karakter
dikendalikan minimal oleh dua kelompok gen. Karakter lain yang tidak menunjukkan adanya epistasis juga dikendalikan oleh lebih dari dua kelompok
gen kecuali jumlah buku total dan daya hasil Tabel 13. Tabel 13. Rata-rata derajat dominansi H1D
0.5
, proporsi gen yang memberikan efek positif dan negatif dalam tetua H
2
4H
1
, proporsi gen dominan dan resesif dalam tetua K
D
K
R
serta jumlah kelompok gen yang memberikan efek dominansi h
2
H
2
Distribusi gen-gen pada tetua dapat diketahui berdasarkan nilai H
2
, H
2
4H
1
dan K
D
K
R.
Jika nilai H
2
berbeda nyata berdasarkan uji t maka gen-gen yang mengendalikan karakter tersebut menyebar tidak merata di antara kedua tetua.
Jika nilai H
2
4H
1
lebih besar atau lebih kecil dari 0.25 berarti gen-gen yang berpengaruh positif dan negatif tidak menyebar merata di antara kedua tetua.
Nilai K
D
K
R
digunakan untuk menentukan apakah gen-gen dominan dan resesif menyebar merata atau tidak pada tetua. Jika nilai K
D
K
R
lebih besar atau lebih kecil dari satu maka gen-gen dominan dan resesif tidak menyebar merata di anatar
kedua tetua Roy 2000. Menurut Hayman 1954, jika nilai H1 lebih besar dari H2 berarti bahwa gen yang berpengaruh positif dan negatif terhadap karakter
tersebut tidak menyebar merata pada kedua tetua. Karakter H1D
0.5
h
2
H
2
H
2
4H
1
K
D
K
R
Tinggi saat panen -
2.28 0.18
- Jumlah cabang
produktif 2.33 4.45 0.20
1.69 Jumlah buku total
40.00 0.16
0.24 2.41
Jumlah polong isi 2.62
5.74 0.23
1.45 Jumlah polong hampa
0.72 4.09
0.20 2.66
Jumlah polong total 5.03
6.77 0.25
1.02 Persentase polong isi
0.90 5.07
0.21 2.31
Daya hasil
0.77 1.59 0.17 3.94
Penyebaran gen-gen yang berpengaruh positif dan negatif tidak merata di antara tetua yang ditunjukkan dengan nilai H
2
4H
1
lebih kecil dari 0.25 kecuali untuk karakter jumlah polong total. Demikian juga dengan penyebaran gen-gen
dominan dan resesif di antara tetua juga tidak menyebar merata yang ditunjukkan oleh nilai K
D
K
R
lebih besar atau lebih kecil dari satu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tetua lebih banyak membawa gen dominan untuk semua
karakter yang ditunjukkan oleh nilai mempunyai nilai K
D
K
R
yang lebih besar dari 1 Tabel 13.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dalam ini penelitian ini ternyata tidak semua asumsi yang dinyatakan oleh Hayman 1954 dapat dipenuhi. Asumsi
bahwa tetua homozigot, segregasi mengikuti pola segregasi diploid dan tidak ada pengaruh tetua betina pada karakter agronomi kedelai dalam kondisi intensitas
cahaya rendah dapat dipenuhi. Asumsi tidak terdapat epistasis dapat dipenuhi kecuali untuk karakter jumlah polong total. Asumsi bahwa gen-gen menyebar
merata di antara tetua tidak dapat dipenuhi pada semua karakter yang diamati. Berdasarkan informasi dari hasil penelitian ini maupun studi literatur beberapa
asumsi tidak dapat dipenuhi. Tidak terpenuhi asumsi tersebut mengakibatkan nilai duga nilai heritabilitas yang diperoleh menjadi lebih kecil dari nilai
sebenarnya. Berdasarkan hasil pendugaan dan pengujian terhadap asumsi yang
dinyatakan oleh Hayman diketahui bahwa tidak semua asumsi tersebut dapat dipenuhi. Menurut Burton 1987, beberapa asumsi yang dikemukakan oleh
Hayman seperti tidak terdapat epistasis, distribusi gen merata di antara kedua tetua dan tidak terdapat pengaruh alel ganda kadang-kadang tidak dapat dipenuhi
sehingga menyebabkan adanya bias dalam pendugaan komponen ragam.
Heritabilitas
Heritabilitas merupakan proporsi ragam genetik terhadap ragam fenotipe yang dinyatakan dalam satuan persen. Heritabilitas arti luas merupakan proporsi
ragam genetik total ragam terhadap fenotipe, sedangkan heritabilitas arti sempit adalah proporsi ragam aditif terhadap ragam fenotipe. Stanfield 1983 membagi
nilai heritabilitas arti luas ke dalam 3 kelompok, yaitu rendah h
2
≤ 0.2, sedang 0.2
≤ h
2
≤ 0.5, dan tinggi h
2
50. Tabel 14. Nilai heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit karakter
agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah Karakter
Heritabilitas arti sempit h
2 ns
Heritabilitas arti luas h
2 bs
Tinggi saat panen 36.60
75.39 Jumlah cabang produktif
25.97 80.84
Jumlah buku total 8.16
54.30 Jumlah polong isi
13.20 85.92
Jumlah polong hampa 56.72
82.67 Jumlah polong total
7.49 73.06
Persentase polong isi 51.48
93.20 Daya hasil
41.60 72.99
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa semua karakter yang diamati mempunyai nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi. Nilai
heritabilitas arti luas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai heritabilitas arti sempit pada semua karakter yang diamati karena pengaruh ragam dominan yang
besar. Nilai heritabilitas arti sempit tergolong tinggi pada karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil, sedangkan karakter lainnya
mempunyai nilai heritabilitas yang rendah Tabel 14. Karakter yang mempunyai ragam dominan besar cenderung mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang
rendah. Selain disebabkan oleh besarnya ragam dominan, pada karakter jumlah polong total juga disebabkan oleh ragam epistasis. Adanya pengaruh epistasis
menyebabkan nilai dugaan heritabilitas arti sempit pada karakter jumlah polong total seharusnya lebih besar dari nilai dugaannya.
Menurut Roy 2000, pendugaan nilai heritabilitas dapat dilakukan dengan baik jika tidak terdapat aksi gen epistasis dan pautan gen. Tidak terpenuhinya
beberapa asumsi yang disampaikan oleh Hayman Hayman, 1954 menyebabkan nilai duga komponen ragam menjadi bias sehingga nilai heritabilitas yang
diperoleh dapat lebih kecil dari nilai yang sebenarnya. Hal ini juga mengakibatkan kemajuan genetik setiap generasi seleksi dapat lebih kecil dari
keadaan sebenarnya.
Berdasarkan hasil pendugaan dan pengujian terhadap asumsi yang dinyatakan oleh Hayman diketahui bahwa tidak semua asumsi tersebut dapat
dipenuhi. Menurut Burton 1987, beberapa asumsi yang dikemukakan oleh Hayman seperti tidak terdapat epistasis, distribusi gen merata di antara kedua
tetua dan tidak terdapat pengaruh alel ganda kadang-kadang tidak dapat dipenuhi sehingga menyebabkan adanya bias dalam pendugaan komponen ragam.
Seleksi dan Kemajuan Seleksi
Pemilihan karakter seleksi akan memberikan kemajuan genetik yang sebenarnya jika dilakukan berdasarkan nilai heritabilitas arti sempit. Nilai
heritabilitas arti sempit mencerminkan ragam yang diwariskan pada generasi berikutnya sehingga nilai heritabilitas arti sempit sangat bermanfaat untuk
menduga kemajuan genetik. Kemajuan genetik yang diperoleh berbanding lurus dengan nilai heritabilitas arti sempit dan ragam fenotipe.
Tabel 15. Respon seleksi karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah
Karakter H
2 ns
VP
0.5
Respon seleksi
Jumlah cabang produktif 25.97
0.45 0.20 cabang
Jumlah buku total 8.16
1.88 2.69 buku
Jumlah polong isi 13.20
8.17 1.28 polong
Jumlah polong hampa 56.72
2.82 4.44 polong
Jumlah polong total 0.07
7.31 0.29 polong
Persentase polong isi 51.48
8.13 11.47 persen
Daya hasil 41.60
1.53 1.95 gram
Keterangan: h
ns
= heritabilitas arti sempit VP
0.5
= simpangan baku ragam fenotipe Berdasarkan nilai heritabilitas arti sempit maka seleksi untuk perbaikan daya
hasil kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah dapat dilakukan melalui seleksi langsung terhadap daya hasil. Seleksi langsung terhadap daya hasil
diharapkan memberikan kemajuan genetik yang maksimal karena daya hasil mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang cukup tinggi. Karakter jumlah
polong hampa dan persentase polong isi berpotensi untuk digunakan sebagai karakter seleksi pada generasi awal secara simultan dengan daya hasil.
Kemajuan genetik yang diperoleh setiap siklus seleksi dengan intensitas seleksi sepuluh persen ditunjukkan oleh peningkatan jumlah cabang, jumlah buku,
jumlah polong isi, jumlah polong total, persentase polong polong isi dan daya hasil seperti terdapat pada Tabel 15. Disamping itu juga ditunjukkan oleh
penurunan jumlah polong hampa. Seleksi peningkatan daya hasil tinggi dapat dilakukan secara langsung
dengan menggunakan daya hasil sebagai karakter primer atau tidak langsung melalui karakter komponen hasil sebagai karakter sekunder. Kelemahan
melakukan seleksi langsung terhadap hasil dapat menyebabkan tidak terpilihnya genotipe yang mempunyai karakter komponen hasil yang baik karena daya
hasilnya rendah. Roy 2000. Guna memaksimalkan kemajuan seleksi maka seleksi dapat dilakukan secara simultan menggunakan beberapa karakter
komponen hasil. Disamping memperbaiki daya hasil, keuntungan melakukan seleksi secara tidak langsung juga akan memperbaiki karakter yang digunakan
sebagai karakter seleksi. Tabel 16. Hasil pengukuran efektivitas seleksi untuk daya hasil kedelai pada
kondisi intensitas cahaya rendah.
Karakter seleksi h
2 ns
karakter sekunder r
g
Respon terkorelasi
Tinggi saat panen -36.60
-0.63 0.00
Jumlah cabang 25.97
0.11 0.17
Jumlah buku total 8.16
-0.20 -1.03
Jumlah polong isi 13.20
0.22 0.72
Jumlah polong hampa 56.72
-0.15 -0.11
Jumlah polong total 7.00
0.12 0.73
Persentase polong isi 51.48
0.47 0.39
Keterangan: h
ns
= heritabilitas arti sempit r
g
= korelasi genotipe dengan daya hasil Suatu karakter sekunder dapat dijadikan karakter seleksi jika mempunyai
nilai heritabilitas yang tinggi dan berperan dalam peningkatan daya hasil. Oleh karena itu diperlukan pengukuran efektivitas seleksi jika seleksi dilakukan secara
tidak langsung dengan mengukur respon terkorelasi suatu karakter terhadap daya hasil Wricke dan Weber 1986; Falconer dan Mackay 1996; Roy 2000.
Nilai respon terkorelasi masing masing karakter sekunder terdapat pada Tabel 16. Suatu karakter sekunder dapat dijadikan karakter seleksi tidak
langsung jika mempunyai nilai efektivitas seleksi lebih besar dari atau sama dengan satu Ceccareli et al. 2007. Dalam penelitian ini tidak ada satu pun
karakter yang mempunyai respon terkorelasi lebih besar dari atau sama dengan satu karena karakter selain hasil memiliki nilai heritabilitas yang rendah dan
koefisien korelasi genotipe dengan daya hasil juga rendah. Namun di antara karakter yang diamati, karakter yang memperlihatkan nilai efektifitas seleksi
cukup besar adalah jumlah polong isi, jumlah polong total dan persentase polong isi. Penggunaan karakter jumlah polong isi, dan jumlah polong total sebagai
karakter seleksi untuk meningkatkan daya hasil pada kedelai telah banyak dilaporkan Isler dan Caliskan 1998; Archana et al. 1999; Khanghah dan Sohani
1999; Shrivasatava et al. 2001; Iqbal et al. 2003; Bizeti et al. 2004.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Keragaman genetik yang muncul pada karakter tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, jumlah polong isi, jumlah polong
hampa, persentase polong isi, dan daya hasil dalam kondisi intensitas cahaya rendah mengikuti model aditif – dominan, kecuali karakter jumlah polong
total. 2. Tetua Ceneng dan Pangrango merupakan tetua yang paling banyak
mewariskan gen-gen yang diinginkan dalam pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah.
3. Ragam dominan berpengaruh nyata terhadap semua karakter, sedangkan ragam aditif hanya nyata untuk karakter jumlah polong hampa, persentase
polong isi dan daya hasil 4. Nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi untuk semua karakter yang diamati
yaitu berkisar antara 76 –96 , sedangkan nilai heritabilitas arti sempit tergolong tinggi untuk karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi
dan daya hasil 5. Karakter yang dapat dijadikan karakter seleksi bagi kedelai toleran intensitas
cahaya rendah adalah daya hasil
Saran
1. Karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi disarankan untuk dijadikan karakter seleksi bersama-sama dengan daya hasil untuk seleksi pada
generasi awal 2. Seleksi pada generasi lanjut dapat menggunakan semua karakter yang diamati
ANALISIS QTL YANG MENGENDALIKAN KARAKTER AGRONOMI KEDELAI PADA KONDISI INTENSITAS CAHAYA RENDAH
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis QTL yang mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Bahan tanaman
yang digunakan adalah tetua Ceneng dan Godek, masing-masing merupakan tetua toleran dan peka terhadap intensitas cahaya rendah dan RILs F6 hasil persilangan
kedua tetua. Hasil yang diperoleh dari analisis molekuler adalah 9 primer RAPD yang menghasilkan 14 marka RAPD yang polimorfik dan terpaut dengan tetua
toleran terhadap intensitas cahaya rendah. Konstruksi peta pautan dibuat dengan menggunakan 14 marka RAPD tersebut menghasilkan satu kelompok pautan yang
mengandung tujuh marka. Dalam penelitian ini diperoleh dua QTL yang masing- masing mengendalikan karakter jumlah buku total dan daya hasil. Marka yang
terpaut dengan QTL yang mengendalikan karakter jumlah buku total adalah OPE15-800, sedangkan marka RAPD yang terpaut dengan QTL yang
mengendalikan karakter daya hasil adalah OPM20-800. Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan untuk menggunakan marka yang terpaut dengan
QTL yang mengendalikan daya hasil sebagai alat bantu seleksi bagi kedelai toleran terhadap intensitas cahaya rendah.
Kata kunci: Kedelai, RAPD, QTL, daya hasil, intensitas cahaya rendah
QTL ANALYSIS OF AGRONOMIC TRAITS UNDER LOW LIGHT INTENSITY CONDITION
ABSTRACT
The objective of this study was to identify RAPD markers linked to QTL related to agronomic traits of soybean under low light intensity condition. The genetic
materials used in the QTL analysis based on RAPD markers were Ceneng, Godek and F6 Recombinant Inbred Lines derived from a hybridization between Ceneng
tolerant parent and Godek sensitve parent. The results of the molecular analysis show that 9 primers were polymorphic and linked to the tolerant parent.
The Primers only produced 14 RAPD markers which were polymorphic and linked to the tolerant parent. The markers are distributed into a linkage group that
containing seven markers. RAPD markers OPE15-800, OPM20-800 is linked to two QTLs controlling number of productive node and seed weight,
respectively. The marker linked to QTL controlling seed weight could be used in a marker assisted selection for tolerant soybean lines to low light intensity.
Keywords: soybean, RAPD, QTL, seed weight, low ligth intensity, tolerance
PENDAHULUAN Latar Belakang
Kendala utama budidaya kedelai di bawah tegakan karet adalah penurunan intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman yang dapat mencapai 75 di bawah
tegakan karet yang berumur 4 tahun Chozin et al. 1998. Intensitas cahaya rendah adalah faktor yang membatasi pertumbuhan dan produksi kedelai di bawah
tegakan karet. Pemanfaatan lahan di bawah tegakan karet untuk pertanaman kedelai dengan pola tumpangsari akan menguntungkan jika tersedia varietas yang
toleran terhadap intensitas cahaya rendah Sopandie et al. 2006. Pemuliaan kedelai untuk toleransi terhadap intensitas cahaya rendah sudah
dimulai oleh Sopandie et al. 2002 dengan melakukan koleksi dan karakterisasi plasma nutfah kedelai. Sampai saat ini pemuliaan kedelai untuk toleransi
terhadap intensitas cahaya rendah sudah memasuki tahap seleksi. Kendala yang dihadapi dalam seleksi adalah belum ada karakter seleksi yang tepat untuk kedelai
toleran intensitas cahaya rendah Sopandie et al. 2006. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa daya hasil mempunyai
nilai heritabilitas lebih besar dibandingkan dengan karakter lainnya sehingga seleksi akan efisien jika dilakukan berdasarkan daya hasil La Muhuria 2007;
Kisman 2007. Kelemahan seleksi berdasarkan hasil adalah seleksi harus dilakukan di bawah naungan paranet atau di bawah tegakan tanaman karet.
Kendala yang dihadapi untuk seleksi di bawah tegakan tanaman karet adalah sulitnya mendapatkan lingkungan seleksi dengan tingkat dan waktu cekaman yang
sesuai. Jika seleksi dilakukan di bawah tegakan tanaman karet maka akan menjadi
sulit karena adanya interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kualitatif. Interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kualitatif menyebabkan
sulitnya memilih genotipe yang unggul karena cekaman lingkungan dapat menyebabkan penurunan daya hasil yang cukup tajam Romagosa dan Fox 1993.
Untuk memaksimalkan kemajuan seleksi pada lingkungan bercekaman maka seleksi harus dilakukan pada lingkungan target dengan karakter seleksi yang tepat
Tester dan Bacic 2005; Ceccareli et al. 2007.
Seleksi pada lingkungan bercekaman memerlukan karakter seleksi yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan stabil atau mempunyai nilai heritabilitas yang
tinggi dan tidak memperlihatkan interaksi genotipe dengan lingkungan. Karakter seleksi yang demikian adalah karakter kualitatif, namun sampai sejauh ini belum
dilaporkan adanya karakter kualitatif kedelai yang dapat dijadikan karakter seleksi untuk perbaikan daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah.
Dengan demikian masih diperlukan pengembangan karakter seleksi guna meningkatkan efisiensi seleksi bagi kedelai toleran intensitas cahaya rendah.
Alternatif lain untuk mendapatkan karakter seleksi yang stabil adalah dengan memanfaatkan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi atau marker assisted
selection MAS. Untuk dapat memanfaatkan marka molekuler sebagai MAS
dalam program seleksi terhadap karakter yang diinginkan maka marka yang berasosiasi dengan QTL yang mengendalikan karakter yang ingin diperbaiki
harus diidentifikasi terlebih dahulu. Identifikasi marka yang berasosiasi dengan QTL dapat dilakukan dengan analisis pautan dan pemetaan QTL dengan
menggunakan data kuantitatif dan data molekuler Forster et al. 2000; Azrai et
al . 2002; Ruswandi et al. 2002; Hussain 2006.
Keuntungan memanfaatkan marka molekuler sebagai MAS adalah marka molekuler bersifat stabil karena tidak dipengaruhi oleh lingkungan, jumlah tidak
terbatas dan memiliki nilai heritabilitas yang tinggi. Seleksi dengan bantuan marka molekuler dapat dilakukan pada generasi awal dan tidak tergantung pada
stadia pertumbuhan tanaman sehingga hasil seleksi yang diperoleh lebih akurat Arus dan Moreno-Gonzales 1994; Forster et al. 2000; Brar 2002; Hussain 2006.
Pemanfaatan marka yang terpaut dengan QTL merupakan strategi yang efisien untuk mendapatkan varietas baru yang berdaya hasil tinggi dan sekaligus
membawa satu sifat ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik Korzun 2004; Terry et al. 2000. Selain itu seleksi berdasarkan marka molekuler akan
lebih mudah karena tidak perlu dilakukan di lingkungan target. Sampai sejauh ini informasi tentang pengembangan marka molekuler
sebagai alat bantu seleksi untuk mendukung pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah belum banyak dilaporkan. Hasil penelitian terdahulu
yang dilaporkan oleh Handayani 2003 menyatakan bahwa terdapat beberapa
marka RAPD yang terpaut dengan tetua toleran, tetapi belum dilaporkan adanya QTL yang mengendalikan karakter daya hasil pada kondisi intensitas cahaya
rendah. Keterbatasan informasi tentang QTL yang mengendalikan daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah mendorong perlunya penelitian ini agar
dapat memperkaya informasi tentang QTL yang mengendalikan berbagai karakter agronomi pada kondisi intensitas cahaya rendah. Setelah analisis QTL diharapkan
dapat diperoleh marka molekuler yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah. Selanjutnya marka yang terpaut
dengan QTL akan dijadikan alat bantu seleksi bagi daya hasil kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah.
Tujuan
1. Menyusun peta pautan marka RAPD untuk toleransi terhadap toleran intensitas cahaya rendah
2. Mengidentifikasi QTL yang mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah
BAHAN DAN METODE
Percobaan ini terdiri dari tiga tahap yaitu: 1 Pembentukan RILs F6, 2 Analisis fenotipe RILs F6 pada kondisi intensitas cahaya rendah, 3
Konstruksi peta pautan bagi tetua toleran intensitas cahaya rendah. Tujuan masing-masing tahapan adalah membentuk populasi RILs F6, mendapatkan
informasi tentang keragaan dan keragaman RILs F6 pada kondisi intensitas cahaya rendah, serta mendapatkan peta pautan toleransi terhadap intensitas cahaya
rendah berdasarkan marka RAPD. Data yang diperoleh dari percobaan tahap 2 dan tahap 3 digunakan untuk mengidentifikasi QTL yang berhubungan dengan
karakter agronomi kedelai pada intensitas cahaya rendah. Percobaan lapang dilaksanakan di kebun percobaan milik BB BIOGEN
Cimanggu, Bogor pada bulan Juni 2005 sampai dengan Agustus 2006. Percobaan labotarorium dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Pusat
Penelitian Bioteknologi Perkebunan, Bogor dan Laboratorium RGCI, Departemen Agronomi dan Hortikultura Faperta IPB pada bulan Januari sampai dengan
Agustus 2006.
1. Pembentukan Populasi Pemetaan: Pembentukan RILs F6 Bahan tanaman