Design Process of Extraction and Natural Dye Powder Production from Swietenia mahagoni and its Application in Textile Dyeing

REKAYASA PROSES EKSTRAKSI DAN PEMBUATAN
PEWARNA BUBUK ALAMI DARI MAHONI (Swietenia mahagoni)
DAN APLIKASINYA UNTUK PEWARNAAN TEKSTIL

FEBRINA DELVITASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Rekayasa Proses
Ekstraksi dan Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Mahoni (Swietenia
mahagoni) dan Aplikasinya untuk Pewarnaan Tekstil adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013

Febrina Delvitasari
F351090081

RINGKASAN
FEBRINA DELVITASARI. F351090081. Rekayasa Proses Ekstraksi dan
Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Mahoni (Swietenia mahagoni) dan
Aplikasinya untuk Pewarnaan Tekstil. Dibimbing oleh ENDANG GUMBIRASA’ID dan KHASWAR SYAMSU.
Penggunaan pewarna alami merupakan alternatif untuk menghindari
permasalahan yang ditimbulkan oleh pewarna sintetik. Mahoni merupakan salah
satu tanaman penghasil zat warna. Kandungan senyawa aktif yang dimiliki kayu
dan kulit kayu tanaman mahoni antara lain flavonoid dan tanin yang merupakan
senyawa penghasil zat warna pada tanaman mahoni. Permasalahan yang ditemui
dalam penggunaan pewarna alami adalah tidak tahan disimpan dalam waktu lama,
warna kurang stabil serta proses pembuatan memerlukan waktu yang lama
sehingga kurang praktis dalam penggunaannya sehingga dibutuhkan suatu bentuk
sediaan bubuk pewarna siap pakai.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengekstrak zat warna alami dari kayu
dan kulit kayu mahoni berdasarkan kondisi proses ekstraksi terbaik, menentukan
karakterisasi bubuk pewarna alami dari mahoni yang dikeringkan menggunakan
metode spray drying, dan mengaplikasikan pewarna alam yang diperoleh dalam
pewarnaan tekstil. Ruang lingkup penelitian ini meliputi karakterisasi bahan baku
berupa kayu dan kulit kayu mahoni, menentukan jenis pelarut (air, etanol,
metanol, etil asetat) dan konsentrasi pelarut terbaik untuk mendapatkan zat warna
dari mahoni, dan menentukan pengaruh jenis bahan pengisi (tanpa bahan pengisi,
pengisi dekstrin 2% w/v, gum arab 2% w/v) terhadap karakteristik bubuk pewarna
alami yang dihasilkan. Produk pewarna bubuk yang dihasilkan diaplikasikan
pada pewarnaan tekstil (katun dan sutera) dengan menggunakan beberapa bahan
fiksasi (tawas, kapur, ferosulfat) untuk mengkaji pengaruhnya terhadap warna
kain yang dihasilkan serta perubahan warna akibat perlakuan pencucian dengan
deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa kulit kayu mahoni dan penggunaan
pelarut metanol 50% menghasilkan total rendemen dan kadar tanin tertinggi.
Perlakuan penggunaan bahan pengisi menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap total rendemen, kadar air, densitas kamba, kelarutan dalam air dan
alkohol, dan stabilitas warna. Bubuk ekstrak mohoni menghasilkan rendemen
dengan kisaran antara 3.58-10.36%, kadar air 6.57-7.23%, densitas kamba 0.0510.118 g/ml, kelarutan dalam air 77.56-81.22%, kelarutan dalam alkohol 57.2692.01%, oHue 50.30-52.83 (merah), dan stabilitas warna terbaik diperoleh pada

perlakuan bahan pengisi gum arab. Pewarna bubuk ekstrak mahoni dengan
berbagai jenis bahan pengisi dan jenis bahan fiksasi menghasilkan warna merah
kuning sampai merah ungu pada aplikasi pewarnaan pada kain. Perlakuan yang
memberikan rata-rata perubahan warna paling rendah pada pengujian pencucian
dengan deterjen pada kain sutra adalah perlakuan bubuk pewarna dengan bahan
pengisi gum arab dan bahan fiksasi kapur. Perlakuan yang memberikan rata-rata
perubahan warna paling rendah pada kain katun adalah perlakuan bubuk pewarna
dengan bahan pengisi gum arab dan bahan fiksasi tawas.
Kata kunci: mahoni, pewarna alami, bubuk, spray drying

SUMMARY
FEBRINA DELVITASARI. F351090081. Design Process of Extraction and
Natural Dye Powder Production from Swietenia mahagoni and its Application in
Textile Dyeing. Supervised by ENDANG GUMBIRA-SA’ID and KHASWAR
SYAMSU.
The use of natural dyes in textile dyeing is the best option to avoid the
negative impact of the carcinogenic potential contamination from synthetic dyes.
Swietenia mahagoni is one of dye plant that have chemical coumpound as natural
dye, such as flavonoid and tannin. Unfortunately, natural dye in Indonesia has not
been widely available in the form of ready-made, such as powder form so can not

be stored for a long time, the color is less stable and the process takes a long time
so it is less practical in its use.
The aim of this study was to extract natural dyes from wood and bark of
mahagony based on optimum conditions of extraction process, determine the
effect of binder treatment to the characteristics of mahagony extract colouring
powder using spray dryer, and application of the natural dye in textile dyeing. The
scope of this study includes the characteristics of wood and bark of mahagony,
determination of appropriate type of solution (water, ethanol, metanol, ethyl
acetate), determination of concentration of solution to dissolve the dye contained
in the mahagony, determination of effect of binder treatment (without binder,
dextrin 2% w/v, arabic gum 2% w/v) to characteristics of mahagony extracted
powder, and application of natural dye powder to cotton and silk fabric with
different fixative agents (without a fixative agent, alum, calcium oxide and
ferrosulfate) to determine their effects on the colour of fabrics and the colour
fastness to washing and sun drying treatment.
The results showed that bark of mahagony and metanol solvent with
concentration of 50% gave the best result on total yield and tannin content. Binder
treatment had significant effect on the yield, moisture content, bulk dencity, water
solubility, alcohol solubility, and colour stability. The mahagony extracted
powders had the yield ranges between 3.38 – 10.36%, moisture content ranges

between 6.57-7.23%, bulk density ranges between 0.051– 0.118 g/ml, solubility
on water ranges between 77.56 – 81.22%, solubility on alcohol ranges between
57.26 – 92.01%, oHue ranges between 50.30 – 52.83 (red) and the best stability
was found on the treatment with arabic gum binder. The fixative agents had
significant effects on colour of cotton and silk fabric. Calcium oxide gave the
highest colour fastness in silk fabric, while alum gave the highest result on colour
fastness in cotton fabric toward washing treatment.
Keywords: natural dye, mahagony, powder, spray drying, textile dyeing

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

REKAYASA PROSES EKSTRAKSI DAN PEMBUATAN

PEWARNA BUBUK ALAMI DARI MAHONI (Swietenia mahagoni)
DAN APLIKASINYA UNTUK PEWARNAAN TEKSTIL

FEBRINA DELVITASARI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Tesis : I\ekayasa Proses Ekstraksi dan Pembuatan Pewama Bubuk Alami
dari Mahoni (Swietenia mahagoni) dan Aplikasinya untuk
Pewamaan Tekstil
: Febrina Delvitasari

Nama
NIM
: F351090081

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Endang Gumbira-Sa'id, MADev
Ketua

Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MScSt
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian

Dr Ir Machfud, MS


Tanggal Ujian: 10 Juli 2013

Tanggal Lulus:

02 AUG

,lfi j

Judul Tesis : Rekayasa Proses Ekstraksi dan Pembuatan Pewarna Bubuk Alami
dari Mahoni (Swietenia mahagoni) dan Aplikasinya untuk
Pewarnaan Tekstil
Nama
: Febrina Delvitasari
NIM
: F351090081

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Endang Gumbira-Sa’id, MADev

Ketua

Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MScSt
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Machfud, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 10 Juli 2013

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2011 ini ialah pewarna
alami, dengan judul Rekayasa Proses Ekstraksi dan Pembuatan Pewarna Bubuk
Alami dari Mahoni (Swietenia mahagoni) dan Aplikasinya untuk Pewarnaan
Tekstil.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Endang GumbiraSa’id, MA.Dev dan Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MScSt selaku pembimbing
yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan yang sangat
bermanfaat; staf di di Laboratorium Teknologi Industri Pertanian IPB yang telah
membantu selama penelitian serta rekan-rekan di Program Studi Teknologi
Industri Pertanian angkatan 2009. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada orang tua dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya .
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena
itu kritik dan saran sangat penulis harapkan guna menyempurnakan tulisan ini.
Akhir kata penulis, mengucapkan banyak terima kasih dan semoga karya ilmiah
ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013
Febrina Delvitasari


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xix

DAFTAR GAMBAR

xxi

DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Hipotesis

xxiii
1
3
4
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Mahoni (Swietenia mahagoni Jack)
Ekstraksi Pewarna Alami
Bahan Pengisi
Pewarnaan Kain

5
6
8
10

3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Tata Laksana Penelitian
Prosedur Analisis Data

12
12
12
18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi Kayu dan Kulit Kayu Mahoni
Penentuan Jenis Pelarut untuk Ekstraksi Zat Warna
Penentuan Konsentrasi Pelarut Terpilih dengan Pelarut Metanol-Air
Karakteristik Fisikokimia Bubuk Pewarna Ekstrak Kulit Kayu
Mahoni
Stabilitas Warna Pewarna Bubuk terhadap Pengaruh Fisik dan Kimia
Aplikasi Pewarna Bubuk Ekstrak Kulit Mahoni pada Pewarnaan
Kain
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

20
22
24
26
33
39
45
45

DAFTAR TABEL

1 Senyawa aktif pada Swietenia sp.
2 Komposisi kimia kayu dan kulit kayu tanaman mahoni
3 Hasil analisis kualitatif senyawa fitokimia kayu dan kulit kayu
tanaman mahoni
4 Nilai rendemen dan kadar tanin ekstrak kering kayu dan kulit kayu
mahoni dengan variasi jenis pelarut
5 Nilai rendemen dan kadar tanin ekstrak kering kulit kayu mahoni
dengan variasi konsentrasi metanol
6 Data kromasitas bubuk pewarna ekstrak kulit kayu mahoni
7 Rata-rata kadar air bahan yang dikeringkan menggunakan spray dryer
serta kondisi operasinya
8 Data kromasitas kain katun dan kain sutra setelah pewarnaan

6
20
21
23
25
27
30
40

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

Tanaman mahoni
Diagram skematik pengeringan dengan pengering semprot
Struktur kimia dekstrin
Struktur kimia gum arab
Struktur serat selulosa
Mekanisme reaksi tanin dengan serat selulosa
Diagram alir penentuan jenis pelarut untuk ekstraksi zat warna
Diagram alir penentuan konsentrasi optimum untuk ekstraksi
zat warna
Diagram alir pembuatan pewarna bubuk dari ekstrak mahoni
Diagram alir proses pewarnaan kain
Serbuk kayu mahoni (a), serbuk kulit kayu mahoni (b)
Bubuk pewarna ekstrak kulit kayu mahoni dengan perlakuan
penambahan bahan pengisi
Rendemen bubuk pewarna kulit mahoni terhadap variasi jenis
pengisi
Kadar air bubuk pewarna kulit mahoni terhadap variasi jenis
pengisi
Densitas kamba bubuk pewarna kulit mahoni terhadap variasi jenis
pengisi
Kelarutan dalam air bubuk pewarna kulit mahoni terhadap variasi
jenis pengisi
Kelarutan dalam alkohol bubuk pewarna kulit mahoni terhadap
variasi jenis pengisi
Stabilitas warna bubuk pewarna ekstrak kulit mahoni terhadap jenis
pengisi dan suhu pemanasan
Stabilitas warna bubuk pewarna ekstrak kulit mahoni terhadap suhu
dan lama pemanasan
Stabilitas warna ekstrak kulit mahoni terhadap penambahan
oksidator reduktor pada perlakuan penambahan pengisi
Stabilitas warna ekstrak kulit mahoni terhadap perubahan pH pada
perlakuan jenis bahan pengisi
Perubahan warna pH ekstrak kulit mahoni pada berbagai variasi pH
setelah penyimpanan 12 jam
Stabilitas warna ekstrak kulit mahoni terhadap perubahan pH pada
waktu penyimpanan
Aplikasi bubuk pewarna mahoni pada kain katun
Aplikasi bubuk pewarna mahoni pada kain sutra
Nilai ΔE kain katun dan kain sutera akibat pencucian menggunakan
deterjen
Nilai ΔE kain katun dan kain sutera akibat penjemuran
di bawah sinar matahari

5
7
9
10
11
11
13
14
15
17
20
27
29
30
31
32
33
34
34
35
37
38
39
41
42
43
44

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6

7
8
9
10

11
12
13
14

15

16

Prosedur analisis bahan baku dan produk
Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai rendemen ekstrak
kulit dan kayu mahoni
Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar tanin ekstrak kulit
dan kayu mahoni
Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai rendemen ekstrak
kulit mahoni pada variasi konsentrasi pelarut metanol
Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai kadar tanin ekstrak
kulit mahoni pada variasi konsentrasi pelarut metanol
Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
nilai kromasitas bubuk pewarna ekstrak kulit mahoni pada variasi bahan
pengisi
Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai rendemen bubuk
pewarna ekstrak kulit mahoni pada variasi jenis bahan pengisi
Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai kadar air bubuk
pewarna ekstrak kulit mahoni pada variasi jenis bahan pengisi
Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai densitas kamba
bubuk pewarnaekstrak kulit mahoni pada variasi jenis bahan pengisi
Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai kelarutan dalam
alkohol bubuk pewarna ekstrak kulit mahoni pada variasi jenis bahan
pengisi
Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas warna bubuk
pewarna terhadap suhu dan lama pemanasan
Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas warna bubuk
pewarna terhadap oksidator reduktor
Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas warna bubuk
pewarna terhadap pH
Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
nilai OHue kain katun dan sutra yang diwarnai dengan pewarna bubuk
ekstrak kulit mahoni pada berbagai bahan pengisi dan bahan fiksasi
Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
nilai ΔE kain katun dan sutra yang diberi perlakuan pencucian dengan
deterjen
Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
nilai ΔE kain katun dan sutra yang diberi perlakuan penjemuran di
bawah sinar matahari

53
59
60
61
62

63
66
67
68

69
70
72
73

75

78

81

ABSTRACT
FEBRINA DELVITASARI. Design Process of Extraction and Natural Dye
Powder Production from Swietenia mahagoni and its Application in Textile
Dyeing. Supervised by
ENDANG GUMBIRA-SA’ID and KHASWAR
SYAMSU.
The use of natural dyes in textile dyeing is the best option to avoid the
negative impact of the carcinogenic potential contamination from synthetic dyes.
Swietenia mahagoni is one of dye plant that have chemical coumpound as natural
dye, such as flavonoid and tannin. Unfortunately, natural dye in Indonesia has not
been widely available in the form of ready-made, such as powder form so can not
be stored for a long time, the color is less stable and the process takes a long time
so it is less practical in its use.
The aim of this study was to extract natural dyes from wood and bark of
mahagony based on optimum conditions of extraction process, determine the
effect of binder treatment to the characteristics of mahagony extract colouring
powder using spray dryer, and application of the natural dye in textile dyeing. The
scope of this study includes the characteristics of wood and bark of mahagony,
determination of appropriate type of solution (water, ethanol, metanol, ethyl
acetate), determination of concentration of solution to dissolve the dye contained
in the mahagony, determination of effect of binder treatment (without binder,
dextrin 2% w/v, arabic gum 2% w/v) to characteristics of mahagony extracted
powder, and application of natural dye powder to cotton and silk fabric with
different fixative agents (without a fixative agent, alum, calcium oxide and
ferrosulfate) to determine their effects on the colour of fabrics and the colour
fastness to washing and sun drying treatment.
The results showed that bark of mahagony and metanol solvent with
concentration of 50% gave the best result on total yield and tannin content. Binder
treatment had significant effect on the yield, moisture content, bulk dencity, water
solubility, alcohol solubility, and colour stability. The mahagony extracted
powders had the yield ranges between 3.38 – 10.36%, moisture content ranges
between 6.57-7.23%, bulk density ranges between 0.051– 0.118 g/ml, solubility
on water ranges between 77.56 – 81.22%, solubility on alcohol ranges between
57.26 – 92.01%, oHue ranges between 50.30 – 52.83 (red) and the best stability
was found on the treatment with arabic gum binder. The fixative agents had
significant effects on colour of cotton and silk fabric. Calcium oxide gave the
highest colour fastness in silk fabric, while alum gave the highest result on colour
fastness in cotton fabric toward washing treatment.
Keywords: natural dye, mahagony, powder, spray drying, textile dyeing

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pewarna alami telah banyak digunakan sebagai bahan pewarna makanan
maupun nonpangan sejak zaman dahulu. Akan tetapi, penggunaannya semakin
menurun seiring perkembangan pewarna sintesis yang berkembang pada
pertengahan abad ke-19. Zat warna sintetis lebih baik dibandingkan dengan zat
warna alami karena memiliki tingkat stabilitas yang tinggi, pilihan warnanya lebih
bervariasi, penggunaannya jauh lebih mudah, hasil pewarnaan lebih cerah,
tersedia untuk semua jenis serat dan pada umumnya tahan luntur (Samanta et al.
2009). Akan tetapi, produksi pewarna sintetis tergantung pada ketersediaan
sumber minyak bumi (Sivaramakrishnan 2010; Kumar et al. 2011), proses
pewarnaan dan penyempurnaannya menggunakan zat kimia yang berbahaya
sehingga tidak ramah lingkungan (Sokolowska et al. 1994), dan bersifat toksik
yang berbahaya bagi kesehatan seperti menyebabkan kanker dan kerusakan sistem
imun (Bhaskar et al. 2006). Oleh karena itu, penggunaan pewarna alami dijadikan
alternatif untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh pewarna sintetis
tersebut.
Pewarna alami merupakan pewarna yang ramah bagi lingkungan maupun
kesehatan karena kandungan komponen alaminya mempunyai nilai beban
pencemaran yang relatif rendah, mudah terdegradasi secara biologis dan tidak
beracun (Guinot et al. 2008; Ali et al. 2009) serta nilai tambah utama yaitu dapat
diekstraksi dari alam, seperti ekstrak tumbuhan (Mirjailili et al. 2011), ekstrak
antropoda dan invertebrata laut, ekstrak alga (Benoit 2005), dan dapat dihasilkan
dari bakteri dan fungi. Penggunaan zat warna alami selain mempunyai kelebihan
juga mempunyai kekurangan, seperti tidak tahan disimpan dalam waktu lama,
warna kurang stabil, proses pembuatan memerlukan waktu yang lama sehingga
kurang praktis dalam penggunaannya.
Potensi pemanfaatan pewarna alami sangat besar. Permintaan global untuk
pewarna alam tiap tahun adalah sekitar 10.000 ton, yang setara dengan 1% dari
kebutuhan atas pewarna sintetis dunia (Sivakumar et al. 2011). Pemanfaatan
pewarna paling besar berasal dari industri tekstil, tinta, cat, dan plastik. Selain itu,
standar lingkungan yang ketat yang diterapkan di banyak Negara untuk
menghindari bahaya kesehatan yang berhubungan dengan pewarna sintetis yang
digunakan dalam industri tekstil meningkatkan potensi pewarna alami di masa
depan. Negara-negara Uni Eropa telah melarang penggunaan pewarna azo karena
dapat terurai menjadi senyawa amina berbahaya yang menyebabkan kanker
(UNCTAD 1999). Di Uni Eropa, budidaya bahan tanaman yang digunakan untuk
pewarna alam sangat terbatas, terutama disebabkan biaya tenaga kerja yang tinggi
dan keadaan iklim. Hal ini mengakibatkan wilayah Asia-Pasifik akan memimpin
keuntungan dan meningkatkan pangsa pasar hingga setengah dari permintaan
dunia pada tahun 2013 (Freedonia 2009).
Potensi bahan alam Indonesia yang berupa tumbuh-tumbuhan yang
beraneka ragam secara tradisional telah digunakan sebagai bahan pewarna alami
seperti kunyit, daun pandan, daun suji, buah pinang, pohon nangka, daun jati,
sabut kelapa, daun teh, pohon jambal, daun gambir, pohon secang, soga, nila,

2

mengkudu, dan sebagainya. Warna dari tumbuh-tumbuhan tersebut dapat
dibangkitkan dengan menggunakan tawas, gula batu, tunjung, kapur tohor, cuka
dan sebagainya (Sulasminingsih 2006).
Tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pewarna alami,
banyak ditemui dan mudah tumbuh di Indonesia salah satunya adalah mahoni
(Swietenia mahagoni). Tanaman mahoni lebih banyak di tanam di Jawa yaitu
mencapai 39.99 juta pohon atau sekitar 88.36 % dari total populasi pohon di
Indonesia, sedangkan sisanya sekitar 5.27 juta pohon (11.64 %) berada di luar
Jawa (BPS 2003). Kayu mahoni dikenal baik untuk vinir dekoratif dan kayu lapis.
Selain itu, dapat digunakan untuk mebel, panil, perkapalan (kulit, rumah, geladak,
lapisan dinding kedap air), balok percetakan, dan barang kerajinan seperti patung,
ukiran, barang bubutan, dan sebagainya (Martawijaya et al. 1997). Konsumsi
kayu mahoni yang cukup tinggi menyebabkan meningkatnya limbah kayu dan
kulit kayu yang masih memiliki daya guna yang cukup tinggi, namun belum
dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan limbah kulit kayu mahoni selama ini
adalah sebagai pewarna alami pada pewarnaan kain. Menurut Tocharman (2008),
kulit ekstrak mahoni menghasilkan warna coklat kekuning-kuningan yang tidak
mudah luntur. Sulasminingsih (2006) menyatakan bahwa berdasarkan uji awal
ekstrak kulit kayu mahoni terbukti dapat mewarnai katun. Proses ekstraksi
menggunakan metode perebusan kulit kayu mahoni selama satu jam mulai
dihitung pada saat suhu 100 oC. Air hasil ekstraksi kemudian digunakan untuk
mewarnai katun.
Penelitian yang dilakukan oleh Falah et al. (2008) menunjukkan bahwa
serbuk batang mahoni mengandung senyawa bioaktif seperti katekin, epikatekin
dan swietemakrofilanin. Menurut Suhesti et al. (2007), serbuk kulit kayu mahoni
memiliki kandungan senyawa aktif berupa saponin, terpenoid dan flavonoid.
Ningsih (2010) mengemukakan bahwa ekstrak kulit kayu mahoni juga
mengandung senyawa tanin dan alkaloid. Flavonoid dan tanin merupakan
senyawa yang menghasilkan zat warna pada tanaman mahoni. Teknik
pengambilan zat warna alam dari suatu tanaman dilakukan dengan metode
ekstraksi. Suheryanto et al. (2007) telah melakukan ekstraksi kulit kayu mahoni
menggunakan metode ekstraksi rotavator dengan pelarut air dan menghasilkan
perlakuan terbaik pada kondisi ekstraksi dengan perbandingan bahan dan pelarut
adalah 1:10 serta suhu ekstraksi 60oC yang menghasilkan rendemen sebesar
2.31 %. Mardisadora (2010) juga melakukan ekstraksi kulit mahoni menggunakan
metode rendam air panas pada suhu ekstraksi 100 oC selama 4 jam dan
menghasilkan nilai rendemen ekstrak air kulit mahoni sebesar 6.44 %. Menurut
Harborne (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi adalah tipe
persiapan sampel, suhu ekstraksi, kuantitas pelarut, dan tipe pelarut. Senyawa
flavonoid dan tanin, diketahui sebagai senyawa penghasil zat warna pada tanaman
mahoni, merupakan senyawa polar maka dapat larut dalam pelarut polar seperti
metanol (MeOH), etanol (EtOH), butanol (BuOH), aseton, etil asetat, air atau
pelarut polar lainnya. Dengan demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai optimasi teknik ekstraksi berdasarkan pengaruh jenis pelarut lain dalam
menghasilkan ekstrak zat warna dari tanaman mahoni.
Permasalahan yang ditemui dalam penggunaan pewarna alami adalah tidak
tahan disimpan dalam waktu lama, warna kurang stabil serta proses pembuatan
memerlukan waktu yang lama sehingga kurang praktis dalam penggunaannya.

3

Pembuatan bubuk pewarna dengan menggunakan alat spray dryer menghasilkan
granula produk yang lebih seragam, memudahkan dalam hal penggunaan dan
distribusi, serta mampu melindungi warna dengan lebih baik (Patel et al. 2009).
Cairan ekstrak yang akan dikeringkan umumnya diberi bahan penstabil untuk
menjaga kestabilan warnanya. Dekstrin dan gum arab memiliki fungsi sebagai
pembawa bahan aktif seperti bahan flavor dan pewarna yang memiliki sifat mudah
larut dalam air serta sebagai bahan pengisi karena dapat meningkatkan berat
produk dalam bentuk bubuk (Gaonkar 1995). Penggunaan bahan pengisi
dilakukan untuk melindungi suatu zat agar tetap tersimpan dalam keadaan baik
dan melepaskan zat tersebut pada kondisi tertentu saat digunakan (Ariandy et al.
2011). Penelitian yang telah dilakukan oleh Purba (2003) menyatakan bahwa
penggunaan bahan pengisi gum arab 2% (b/b) menghasilkan intensitas warna dan
kelarutan dalam air yang paling tinggi.
Aplikasi pewarna alam mahoni terhadap tekstil perlu dilakukan pengkajian.
Menurut Hasanudin (2001), pencelupan dengan zat warna alam terdiri dari
beberapa tahapan sebagai berikut: (1) pelarutan zat warna; (2) premordanting; (3)
pencelupan; dan (4) pembilasan atau pencucian. Syarat-syarat pencelupan yang
baik, adalah: (1) ada keserasian antara serat dengan zat warna; (2) serat dalam
keadaan murni; (3) perlu suasana larutan yang sesuai; (4) khususnya zat warna
alam, warna perlu dibangkitkan. Bahan pembangkit zat warna yang biasa
digunakan adalah tawas, kapur dan ferrosulfat. Prabu (2012) menyatakan bahwa
kain katun dan sutra lebih reseptif terhadap mordan. Hal ini disebabkan sifat katun
dan sutra yang bersifat amfoter yaitu dapat menyerap asam atau basa secara
efektif. Penelitian yang dilakukan oleh Agriawati (2003) mengenai penggunaan
gambir pada pencelupan kain kapas menghasilkan penggunaan pewarna 2,5%
menghasilkan ketahanan warna terbaik.
Berdasarkan uraian di atas, diperlukan penelitian mengenai rekayasa
proses ekstraksi pengambilan zat warna pada kayu dan kulit kayu mahoni
menggunakan variasi jenis pelarut (air, metanol, etanol, etil asetat) dan variasi
konsentrasinya (25%, 50%, 75%, 100%). Pembuatan bubuk pewarna alami
mahoni dilakukan menggunakan spray dryer dengan perlakuan penambahan jenis
pengisi (tanpa pengisi, dengan dekstrin 2% b/b, dengan gum arab 2% b/b).
Karakterisasi produk yang diamati meliputi total rendemen produk, kadar tanin,
kadar air, densitas kamba, kelarutan dalam air, kelarutan dalam alkohol, serta
stabilitas bubuk pewarna terhadap perlakuan fisik dan kimia. Produk pewarna
bubuk yang dihasilkan diaplikasikan pada pewarnaan tekstil (katun dan sutera)
dengan menggunakan beberapa bahan fiksasi (tawas, kapur, ferrosulfat) untuk
mengkaji pengaruhnya terhadap warna kain yang dihasilkan serta perubahan
warna akibat perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar
matahari.

Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan pewarna bubuk
alami ekstrak bagian tanaman mahoni berdasarkan hasil total rendemen dan kadar
tanin tertinggi dari proses ekstraksi yang dilakukan, mengkarakterisasi pewarna

4

bubuk yang dihasilkan serta mengaplikasikan pewarna bubuk yang dihasilkan
pada pewarnaan tekstil.
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Mendapatkan kondisi proses ekstraksi zat pewarna alami dari bagian
tanaman mahoni yang menghasilkan zat warna terbaik.
2.
Membuktikan bahwa jenis bahan pengisi pada proses pembentukan bubuk
pewarna ekstrak bagian tanaman mahoni berpengaruh terhadap karakteristik
fisikokimia dan meningkatkan stabilitas warna bubuk pewarna.
3.
Membuktikan bahwa jenis bahan pengisi pada pewarna bubuk ekstrak
bagian tanaman mahoni dan jenis bahan fiksasi berpengaruh terhadap warna
kain (katun dan sutera), serta perubahan warna kain akibat perlakuan
pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari.

Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proses
pembuatan pewarna bubuk alami dari ekstrak mahoni yang menghasilkan sifat
terbaik sehingga dapat mempermudah penggunaannya dalam proses pewarnaan
kain serta memberikan informasi mengenai karakteristik pewarna bubuk mahoni
yang dihasilkan.

Ruang Lingkup Penelitian

1.
2.
3.
4.
5.

Ruang lingkup penelitian ini meliputi hal-hal berikut:
Karakterisasi kayu dan kulit kayu mahoni kering yang digunakan sebagai
bahan baku.
Penentuan jenis pelarut yang tepat untuk melarutkan zat warna yang terdapat
pada tanaman mahoni.
Penentuan konsentrasi pelarut terpilih yang tepat untuk melarutkan zat
warna yang terdapat pada tanaman mahoni.
Pembuatan sediaan bubuk pewarna menggunakan spray drier sekaligus
karakterisasi pewarna bubuk yang dihasilkan.
Aplikasi bubuk pewarna ekstrak bagian tanaman mahoni pada pewarnaan
kain.

Hipotesis
1.

2.
3.

Jenis bahan pelarut dan konsentrasi pelarut yang digunakan berpengaruh
dalam meningkatkan rendemen dan kadar tanin ekstrak zat warna yang
dihasilkan.
Penggunaan bahan pengisi memperbaiki sifat fisikokimia serta
meningkatkan stabilitas warna bubuk pewarna yang dihasilkan.
Jenis bahan pengisi dan jenis bahan fiksasi berpengaruh terhadap warna kain
yang dihasilkan serta meningkatkan daya tahan warna terhadap perlakuan
pencucian dan penjemuran

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Mahoni (Swietenia mahagoni Jack)
Tanaman mahoni (Swietenia mahagoni Jack) merupakan salah satu tanaman
yang dianjurkan untuk pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Nama
asing dari tanaman ini adalah West Indian Mahogany. Mahoni dalam
klasifikasinya termasuk family Maliaceae. Ada dua spesies yang cukup dikenal
yaitu S. macrophyla (mahoni daun lebar) dan S. mahagoni (mahoni daun sempit)
(Krisnawati 2011).
Menurut Krisnawati (2011), tanaman mahoni (Gambar 1) tersusun dalam
sistematika sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledone
Ordo
: Rotales
Genus
: Swietenia
Sepesies
: Swietenia mahagoni

Gambar 1. Tanaman mahoni
Buah tanaman mahoni terlihat muncul diujung-ujung ranting berwarna
coklat dan termasuk jenis tanaman pohon tinggi sekitar 10-30 m, percabangannya
banyak, daun majemuk menyirip genap, duduk daun tersebar. Helaian anak daun
bulat telur, elips memanjang, ujung daun dan pangkal daun runcing panjangnya
sekitar 1-3 cm, berbentuk bola dan bulat telur memanjang berwarna coklat
panjangnya 8-15 cm dengan lebar 7-10 cm. Mahoni dapat tumbuh dengan baik
ditempat yang terbuka dan terkena cahaya matahari secara langsung, baik di
dataran rendah maupun dataran tinggi, yaitu dengan ketinggian 1000 m diatas
permukaan laut (Joker 2001).

6

Tanaman mahoni lebih banyak di tanam di Jawa yaitu mencapai
39.99 juta pohon atau sekitar 88.36 % dari total populasi pohon di Indonesia,
sedangkan sisanya sekitar 5.27 juta pohon (11.64 %) berada di luar Jawa.
Tanaman mahoni di Indonesia terkonsentrasi di tiga propinsi, berturut-turut adalah
di Jawa Tengah (39.04 %), Jawa Barat (27.56 %) dan Jawa Timur (11.63 %)
(BPS 2003). Kayu mahoni dikenal baik untuk vinir dekoratif dan kayu lapis.
Selain itu, dapat digunakan untuk mebel, panil, perkapalan (kulit, rumah, geladak,
lapisan dinding kedap air), balok percetakan, dan barang kerajinan seperti patung,
ukiran, barang bubutan, dan sebagainya (Martawijaya et al. 1997).
Kayu dan kulit kayu memiliki berbagai macam komponen kimia. Salah
satunya adalah zat ekstraktif yang mempunyai peranan dalam menentukan
perbedaan karakteristik kayu. Zat ekstraktif merupakan kelompok dari berbagai
komposisi kimia seperti gum, lemak, resin, gula, minyak, pati, alkaloid dan tanin.
Penelitian tentang kandungan senyawa aktif mahoni sudah banyak dilakukan.
Pada Tabel 1 diperlihatkan berbagai komponen dalam bagian kayu dan kulit kayu
tanaman mahoni.
Tabel 1. Senyawa aktif pada Swietenia sp.
Bagian tanaman
Kulit kayu

Kayu

Kandungan senyawa aktif Swietenia sp.
Triterpenoid, limonoid (Mootoo 1999), alkaloid, tanin
(Ningsih 2010) Flavonoid, saponin, terpenoid (Suhesti et
al. 2007)
Katekin, epikatekin, swietemacrophyllanin (Falah et al.
2008)

Ekstraksi Pewarna Alami
Ekstraksi merupakan proses penyarian simplisia nabati atau hewani
dengan cara dan pelarut yang sesuai, bebas dari pengaruh cahaya langsung. Proses
ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang
mengandung komponen-komponen aktif. Menurut cara ekstraksi, ada dua cara
yaitu cara panas dan dingin. Cara panas yaitu dengan menggunakan bantuan
pemanas meliputi perebusan, refluks dan sokletasi. Cara dingin dilakukan tanpa
bantuan pemanas meliputi perendaman, maserasi, perkolasi dan perasan atau
penekanan. Ragam ekstraksi yang tepat tergantung pada tekstur dan kandungan air
bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi
(Harborne 2006). Menurut Nielsen (2003) dalam Nuraini (2007) teknik ekstraksi
yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur
kandungan bahan dan jenis senyawa yang ingin didapat.
Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari
bahan mentah, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan
kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna. Pemilihan cairan penyari
harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari yang baik harus
memenuhi kriteria antara lain murah dan mudah di peroleh, stabil secara fisika
dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar,
selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki, tidak
mempengaruhi zat berkhasiat, serta diperbolehkan oleh peraturan (Harborne 2006).

7

Pengeringan Semprot
Pengeringan semprot didefinisikan sebagai suatu proses perubahan cairan
encer menjadi produk kering dalam satu operasi. Cairan dikabutkan menggunakan
rotary wheel atau pressure nozzle dan hasil spray kontak langsung dengan udara
panas (Mujumdar dan Devahastin 2010). Menurut Gharsallaoui et al. (2007),
pengeringan semprot dapat menghasilkan produk bubuk yang sangat halus dengan
ukuran 10-50 µm atau partikel dengan ukuran yang lebih besar, yaitu 2 – 3 mm.
Keunggulan pengering semprot antara lain: (1) penguapan air terjadi pada
permukaan yang sangat luas sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan
hanya beberapa detik saja; (2) cita rasa, nilai gizi, dan warna dapat dipertahankan;
(3) menghasilkan mikrokapsul dengan karakteristik terbaik (Yuliani 2007); (4)
properti dan kualitas produk dapat dikontrol lebih efektif; (5) produk yang
sensitif terhadap panas dapat dikeringkan pada tekanan atmosfer; (6) produk akhir
yang dihasilkan berbentuk bubuk yang stabil sehingga memudahkan dalam
penanganan dan transportasi (Purwowidodo 2003). Kelemahan pengering semprot
antara lain investasi peralatan di awal cukup mahal dan produk yang bisa diproses
hanya berupa bentuk liquid (Yuliani 2007). Mujumdar dan Devahastin (2010)
menyatakan bahwa parameter dalam pengering semprot yang berpengaruh
terhadap produk yang dihasilkan adalah jenis atomizer, suhu udara masuk, suhu
udara keluar, kecepatan alir bahan, desain ruang pengering dan jenis bahan yang
dikeringkan.

b

a

c

d

Gambar 2. Diagram skematik pengeringan dengan pengering semprot
(Mujumdar dan Devahastin 2010)
Konstruksi alat pengering semprot secara umum dapat dilihat pada
Gambar 2 yang terdiri dari:
a) Pemanas dengan satu atau lebih kipas untuk menghasilkan udara panas dengan
suhu dan kecepatan tertentu.

8

b) Atomizer, nozel, atau jet untuk menghasilkan partikel-partikel cairan dengan
ukuran tertentu.
c) Chamber atau wadah pengering dimana partikel-partikel cairan kontak dengan
udara pengering.
d) Siklon pemisah sebagai alat separasi bubuk dengan udara. Udara yang
mengangkut produk kering masuk di bagian atas siklon dengan arah tangensial,
bubuk dilemparkan ke permukaan dalam kerucut karena gaya sentrifugal.
Prinsip dalam pengeringan menggunakan spray dryer adalah larutan
disemprotkan menuju ke ruang pengering. Bahan yang bias dikeringkan berupa
bahan yang larut dalam pelarut organiknya. Cairan diatomisasi menggunakan
lubang kecil (nozzle), droplet cairan berukuran kecil yang terdispersi kemudian
dikontakkan dengan udara panas. Droplet tersebut mengering secara cepat dan
jatuh pada dasar alat pengering. Hasil evaporasi yang cepat mengandung suhu
butiran yang rendah sehingga suhu pengeringanan yang tinggi dapat digunakan
tanpa mempengaruhi mutu produk. Suhu produk yang rendah dan waktu
pengeringan yang sangat singkat memungkinkan pengeringan semprot digunakan
untuk produk yang peka terhadap panas (Widodo dan Budiharti 2006).

Bahan Pengisi
Bahan pengisi atau agen pemadat adalah bahan, baik bergizi maupun tidak
bergizi, yang digunakan untuk meningkatkan kepadatan dari produk pangan.
Master (1979) menyatakan bahwa bahan pengisi adalah bahan yang ditambahkan
untuk memperbesar volume dan meningkatkan jumlah total padatan. Kandungan
total padatan berpengaruh terhadap lama proses pengeringan semprot dan
rendemen.
Dekstrin
Dekstrin merupakan oligosakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati
secara tidak sempurna, akibat rantai panjang pati mengalami pemutusan dan
terjadi perubahan sifat pati yang tidak larut dalam air panas atau dingin, dengan
viskositas yang relatif rendah. Sifat tersebut akan mempermudah penggunaan
dekstrin bila dipakai dalam konsentrasi yang cukup tinggi (Anwar et al. 2004).
Menurut Winarno dan Rahayu (1994), dekstrin merupakan hasil dari
hidrolisis pati, sehingga dihasilkan zat dengan berat molekul yang lebih kecil dan
labih larut dalam air. Pada pembentukan dekstrin terjadi transglukosidasi yaitu
perubahan ikatan alpha 1,4-glukosidik menjadi ikatan alpha 1,6-glukosidik.
Perubahan ini menyebabkan dekstrin tidak kental, lebih cepat terdispersi dan lebih
stabil daripada pati. Dekstrinisasi adalah proses untuk mendapatkan dekstrin dan
merupakan cara tertua untuk memodifikasi pati. Molekul-molekul pati yang lebih
besar dan tidak dapat larut dalam air dingin, dihidrolisis menjadi fraksi yang lebih
kecil. Dalam hal ini ukuran molekul sampai tingkat dimana molekul tersebut
dapat larut dalam air dingin. Proses dekstrinisasi sering disebut juga
pyroconversions karena melibatkan panas. Perubahan yang terjadi pada polimer

9

D-glukosa pati selama pyroconversions sangat kompleks. Struktur kimia dekstrin
dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur kimia dekstrin (Winarno dan Rahayu 1994)
Gum Arab
Gum arab atau gum akasia merupakan hasil sekresi dari tanaman jenis
akasia. Tanaman ini tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Gum arab
merupakan bahan yang memiliki struktur yang kompleks, tetapi secara umum
terdiri atas dua fraksi. Fraksi pertama berupa gum (sekitar 70 %) yang tersusun
atas rantai polisakarida dengan sedikit atau tanpa bahan yang mengandung
nitrogen. Fraksi kedua mengandung molekul dengan bobot molekul lebih besar
yang mengandung protein (Burdock 1997).
Gum arab merupakan senyawa kompleks hetero polisakarida yang terdiri
atas L-arabinosa, L-rhamnosa, D-galaktosa dan D-asam glukoronat serta
mengandung ion kalsium, magnesium dan kalium. Struktur utama molekulnya
adalah unit-unit 1,3 D-galaktopiranosa dengan rantai cabang 1,6 galaktopiranosa
sebagai pangkal bagi asam glukoronat atau 4,0-metil glukoronat. Unit
monosakarida yang menyusun molekul gum arab terdiri dari D-galaktosa (36.8%),
L-arabinosa (30.3%), asam glukoronat (13.8%) dan L-rhamnosa (11.4%)
(Glicksman 1969). Struktur kimia gum arab dapat dilihat pada Gambar 4.

10

Gambar 4. Struktur kimia gum arab (Glicksman dan Schachat 1959)
Gum arab memiliki sifat mudah larut dalam air. Gum arab dibandingkan
dengan gum yang lain memiliki tingkat kelarutan yang tinggi dan larutannya
memiliki viskositas yang rendah. Oleh karena itu, gum arab cocok digunakan
sebagai bahan pengisi pada bahan yang dikeringkan menggunakan pengering
semprot. Gum arab telah digunakan secara luas untuk kebutuhan industri, yaitu
sebagai pengemulsi, pengisi, penstabil terutama pada industri pangan (seperti pada
minuman ringan, sirup, permen karet) serta digunakan pada industri tekstil,
percetakan, kosmetik dan farmasi (Ali et al. 2009).

Pewarnaan Kain
Zat warna adalah bahan pewarna yang mudah larut dalam air, atau
dilarutkan dalam air serta mempunyai daya tarik terhadap serat. Zat warna dipilih
menurut jenis bahan yang akan dicelup, ketahanan, dan warna yang diinginkan.
Selain itu, zat warna dapat dipakai untuk pencelupan jika memenuhi syarat-syarat
pokok berikut: (1) mudah larut dalam zat pelarutnya (pada umumnya air); (2)
mudah masuk ke dalam bahan; dan (3) stabil berada di dalam bahan (Sugiarto dan
Shigeru 2003).
Rasyid (1976) menyimpulkan bahwa dalam pencelupan terjadi 3 tahap,
yaitu : (1) difusi, yaitu tahap di mana zat warna berada dalam larutan dan
mendekati permukaan serat; (b) adsorpsi, yaitu tahap menempelnya molekul zat
warna pada permukaan serat; (c) penetrasi, yaitu tahap masuknya zat warna ke
dalam serat. Pencelupan dapat memberikan hasil yang baik karena adanya gaya
ikat antara zat warna dengan serat lebih besar daripada gaya yang bekerja antara
zat warna dengan air.
Menurut Hasanudin (2001), pencelupan dengan zat warna alam terdiri dari
beberapa tahapan sebagai berikut: (1) pelarutan zat warna; (2) premordanting; (3)

11

pencelupan; dan (4) pembilasan atau pencucian. Syarat-syarat pencelupan yang
baik, adalah: (1) ada keserasian antara serat dengan zat warna; (2) serat dalam
keadaan murni; (3) perlu suasana larutan yang sesuai; (4) khususnya zat warna
alam, warna perlu dibangkitkan.
Serat katun atau selulosa yang tersusun dari polimer lurus dari glukosa,
letak glukosa berselang seling, dalam rendaman air mengembang cukup besar
sehingga pori-pori dapat dimasuki zat warna, dan mempunyai banyak gugus OH
dimana O bersifat elektro-negatif kuat dan H bersifat elektro-positif lemah,
sehingga serat katun dalam rendaman air bermuatan karena dipol-momen yang
kuat dari OH (bukan ionisasi dari OH). Gambaran sederhana dari struktur serat
katun dapat dilihat pada Gambar 5 (Suheryanto 2010).

Gambar 5. Struktur serat selulosa (Suheryanto 2010)
Tanin salah satu unsur yang terkandung dalam ekstrak zat warna alami
mempunyai susunan kimia yang sangat kompleks, yaitu sebagai phenol poyhidrik
yang kompleks dengan ukuran dan bentuk molekul yang memungkinkan larut
dalam air. Pengerjaan iring dengan larutan kapur merupakan penambahan garamgaram klorida atau oksalat dari basa-basa organik, yang dapat meningkatkan
afinitas zat warna terhadap selulosa/serat/kain katun sehingga pengerjaan iring
dengan larutan kapur pada kain batik katun akan menambah absorbsi zat warna
alam ke dalam kain katun (Suheryanto 2010). Secara sederhana dapat
digambarkan mekanisme reaksi tanin dengan serat selulosa seperti pada Gambar 6.

Tanin

Serat selulosa berwarna

Gambar 6. Mekanisme reaksi tanin dengan serat selulosa (Suheryanto 2010)

12

3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Bengkel Kerja Agroindustri Leuwikopo,
Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Suberdaya Hayati dan
Bioteknologi IPB. Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2011 hingga
bulan Desember 2012.
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan adalah kayu dan kulit kayu mahoni yang
diperoleh dari lingkungan Institut Pertanian Bogor. Bahan-bahan lain yang
digunakan adalah akuades, etanol, metanol, dan etil asetat sebagai pelarut serta
dekstrin dan gum arab sebagai bahan pengisi. Bahan untuk aplikasi pewarnaan
tekstil adalah kain katun, kain sutera, tawas (Al2(SO4)3·17H2O), kapur (CaO) dan
ferrosulfat (FeSO4) serta bahan-bahan kimia lainnya untuk analisis.
Peralatan utama yang digunakan adalah hammer mill, timbangan analitik,
shaker incubator (Brunswick G25), penyaring vakum, oven, rotary evaporator,
spray dryer, spektrofotometer (Shimadzu UV160U), chromameter (Minolta CR310) serta peralatan gelas lainnya. Pengolahan data menggunakan bantuan
software Microsoft Office Excel versi 2007 dan software SAS 9.1.3 Service Pack
4.
Tata Laksana Penelitian
Persiapan Bahan Baku
Pada bahan baku kayu dan kulit kayu mahoni dilakukan proses
pengeringan menggunakan oven pada suhu 50oC selama 24 jam, kemudian
dilakukan pengecilan ukuran (40-60 mesh) menggunakan hammer mill. Bahan
baku dikarakterisasi mengenai analisis proksimat (AOAC 1995) serta analisis
kualitatif komponen fitokimia (Harborne 2006). Prosedur analisis bahan baku dan
produk secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.
Penentuan Jenis Pelarut untuk Ekstraksi Zat Warna
Faktor perlakuan yang diuji adalah jenis bahan baku (kayu mahoni (A1),
kulit kayu mahoni (A2)), dan jenis pelarut (air (B1), metanol (B2), etanol (B3),
etil asetat (B4)). Sebanyak masing-masing 100 gram bahan baku dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer kemudian diekstrak menggunakan pelarut dengan
perbandingan 1:10 (b/v). Proses ekstraksi dilakukan pada suhu 60oC selama 60
menit dengan menggunakan shaking incubator. Setelah itu, dilakukan
penyaringan menggunakan penyaring vakum dengan kertas saring yang
digunakan adalah Whatman no.54. Filtrat yang diperoleh diuapkan pelarutnya
menggunakan rotary evaporator pada suhu 50 oC sehingga diperoleh sepertiga
dari volume ekstrak asal. Ekstrak kental tersebut kemudian dikeringkan di dalam

13

oven pada suhu 50 oC selama 48 jam. Rendemen dan kadar tanin ekstrak yang
dihasilkan kemudian dianalisis. Prosedur analisis secara lengkap dapat dilihat
pada Lampiran 1. Ekstrak yang memberikan rendemen dan kadar tanin tertinggi
kemudian digunakan untuk penelitian selanjutnya. Diagram alir penentuan jenis
pelarut untuk ekstraksi zat warna dapat dilihat pada Gambar 7.
Bahan baku
(kayu, kulit kayu)

Pencacahan

Pengeringan
(50oC, 48 jam)

Pengecilan ukuran
(40-60 mesh)

Bubuk bahan baku
(A1= kayu, A2= kulit kayu

Pelarut
(B1= air, B2= etanol,
B3 = metanol, B4= etil asetat)

Pencampuran
(pelarut:bahan baku=10:1)

Analisis:
- Proksimat
- Fitokimia

Ekstraksi
(60oC, 60 menit)

Ampas

Penyaringan

Ekstrak cair

Pemekatan (rotary evaporator)

Pengeringan oven
(50oC, 48 jam)

Analisis:
- Rendemen
- Kadar tanin

Ekstrak kering

Gambar 7. Diagram alir penentuan jenis pelarut untuk ekstraksi zat warna

14

Penentuan Konsentrasi Pelarut untuk Ekstraksi Zat Warna pada Pelarut
Terpilih
Faktor perlakuan yang diuji adalah konsentrasi dari pelarut terpilih (25%
(C1), 50% (C2), 75% (C3), 100% (C4)). Proses ekstraksi menggunakan metode
yang sama dengan proses ekstraksi pada tahap penentuan jenis pelarut untuk
ekstraksi zat warna. Ekstrak yang dihasilkan kemudian dianalisis rendemen dan
kadar taninnya. Prosedur analisis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.
Ekstrak yang memberikan rendemen dan kadar tanin tertinggi kemudian
digunakan untuk penelitian selanjutnya. Diagram alir penentuan konsentrasi
optimum untuk ekstraksi zat warna dapat dilihat pada Gambar 8.

Pelarut terpilih
(C1= 25%, C2= 50%,
C3 = 75%, C4= 100%)

Bubuk bahan baku
terpilih

Pencampuran
(pelarut:bahan baku=10:1)

Ekstraksi
(60oC, 60 menit)

Penyaringan

Ampas

Ekstrak cair

Pemekatan (rotary evaporator)

Pengeringan oven
(50oC, 48 jam)

Analisis:
- Rendemen
- Kadar tanin

Ekstrak kering

Gambar 8. Diagram alir penentuan konsentrasi optimum untuk ekstraksi zat
warna

15

Pembuatan Pewarna Bubuk Ekstrak Mahoni
Faktor perlakuan yang diuji adalah jenis bahan pengisi (tanpa penambahan
pengisi (D1), dengan penambahan dekstrin (2% b/b) (D2), dan dengan
penambahan gum arab (2% b/b) (D3)). Pembuatan bubuk pewarna dilakukan
dengan menambahkan bahan pengisi sebanyak 2% (b/b) ke dalam ekstrak yang
dihasilkan berdasarkan kondisi optimum pada penelitian sebelumnya. Filtrat
dikeringkan menggunakan spray drier pada suhu umpan (inlet) ±130 oC dan suhu
pemisahan (outlet) ±80oC (Gumbira-Sa’id et al. 2009). Bubuk pewarna yang
dihasilkan kemudian disimpan dalam wadah yang tertutup rapat. Analisis bubuk
pewarna meliputi rendemen, kadar air, densitas kamba, kelarutan dalam air,
kelarutan dalam alkohol (AOAC 1995), warna (Hutching 1999) serta stabilitas
warna terhadap perlakuan fisik dan kimia (Jenie et al. 1997; Sari et al. 2005).
Diagram alir pembuatan pewarna bubuk dari ekstrak mahoni dapat dilihat pada
Gambar 9.

Bahan pengisi
(D=tanpa pengisi, D2= pengisi dekstrin 2% b/b,
D3=pengisi gum arab 2% b/b)

Ekstrak cair mahoni
Perlakuan terpilih

Pencampuran

Analisis:
- Rendemen
- Kadar air
- Densitas kamba
- Kelarutan dalam
air
- Kelarutan dalam
alkohol
- Stabilitas warna

Pengeringan menggunakan spray dryer
(suhu inlet 130oC, outlet 80oC)

Bubuk pewarna ekstrak
mahoni

Gambar 9. Diagram alir pembuatan pewarna bubuk dari ekstrak mahoni
Aplikasi Pewarna Bubuk Mahoni pada Pewarnaan Tekstil
Proses pewarnaan tekstil pada penelitian ini mengacu pada Agriawati
(2003). Aplikasi pewarna bubuk pada pewarnaan tekstil dilakukan terhadap kain
katun dan kain sutera. Perlakuan yang diuji adalah jenis bahan pengisi pada bubuk
pewarna (dengan tanpa pengisi (D1), dengan penambahan dekstrin (2% b/b) (D2),
dengan penambahan gum arab (2% b/b) (D3)), jenis kain (katun (E1), sutra (E2))

16

dan jenis bahan fiksasi (tanpa bahan fiksasi (F1), tawas (F2), kapur (F3) dan
ferrosulfat (F4)).
Proses pewarnaan kain meliputi proses persiapan kain dan proses
pencelupan kain dalam larutan pewarna. Kain dipersiapkan terlebih dahulu
dengan merendam kain dalam larutan typol (2 g/L) selama 24 jam, kemudian kain
dicuci, dibilas, diperas dan dikeringanginkan. Selanjutnya, kain dipanaskan dalam
larutan tawas 8 g/L pada suhu 60oC selama satu jam dan perendama