Design Process of Natural Dye Powder Production from Seeds of Areca catechu L. and its Application in Industry

REKAYASA PROSES PEMBUATAN PEWARNA BUBUK
ALAMI DARI BIJI PINANG (Areca catechu L.) DAN
APLIKASINYA UNTUK INDUSTRI

YERNISA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Rekayasa Proses
Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Biji Pinang (Areca Catechu L.) dan
Aplikasinya untuk Industri” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Yernisa
F351090041

iv

RINGKASAN
YERNISA. F351090041. Rekayasa Proses Pembuatan Pewarna Bubuk Alami
dari Biji Pinang (Areca Catechu L.) dan Aplikasinya untuk Industri. Dibimbing
oleh ENDANG GUMBIRA-SA’ID dan KHASWAR SYAMSU.
Pewarna alami merupakan bahan pewarna bersumber dari alam yang
menjadi alternatif pewarna yang aman dan ramah lingkungan. Pewarna alami di
Indonesia belum banyak tersedia dalam bentuk siap pakai, seperti bentuk bubuk.
Penggunaan pewarna alami masih dilakukan secara konvensional menyebabkan
penggunaan pewarna alami menjadi tidak praktis.
Biji pinang (Areca catechu L.) merupakan salah satu bahan pewarna alami
karena mengandung senyawa golongan polifenol. Kadar polifenol dipengaruhi

oleh tingkat kematangan buah. Pewarna dari biji pinang dapat dibuat dalam
bentuk ekstrak bubuk melalui proses ekstraksi dan pengeringan. Bahan pengisi
biasa digunakan untuk menghasilkan produk bubuk yang berfungsi melindungi
senyawa aktif target, mengurangi kehilangan senyawa aktif selama proses
pengeringan dan meningkatkan rendemen produk. Gum arab merupakan bahan
pengisi yang mudah larut dalam air dan merupakan pengkapsul yang dapat
melindungi bahan aktif yang akan dikeringkan.
Penelitian ini mengenai rekayasa proses untuk mendapatkan pewarna bubuk
alami dari biji pinang melalui proses ekstraksi dan pengeringan menggunakan
spray drier. Biji pinang yang digunakan berasal dari buah pinang muda dan buah
pinang tua untuk mempelajari pengaruh tingkat ketuaan terhadap karakteristik
produk bubuk pewarna yang dihasilkan. Perlakuan penggunaan bahan pengisi
(tanpa bahan pengisi dan penggunaan pengisi gum arab 2% b/v) diberikan
terhadap filtrat hasil ekstraksi biji pinang yang akan dikeringkan menggunakan
spray drier. Karakteristik produk yang diamati adalah rendemen, kadar air,
densitas kamba, kelarutan, kadar total fenol, warna, analisis gugus fungsi
menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR) dan analisis toksisitas
menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Pewarna bubuk yang
dihasilkan diaplikasikan pada pewarnaan tekstil khususnya kain katun dan kain
sutera serta pada pewarnaan sabun transparan. Bahan fiksasi yang digunakan pada

pewarnaan kain adalah tawas, kapur dan ferosulfat untuk melihat pengaruhnya
terhadap warna kain yang dihasilkan serta perubahan warna akibat perlakuan
pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari.
Ekstrak biji pinang memiliki manfaat untuk kulit sehingga relevan
digunakan pada produk kosmestik. Sabun transparan merupakan sabun perawatan
dan kecantikan. Aplikasi pewarna bubuk alami ekstrak biji pinang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penggunaan bubuk ekstrak biji pinang (bubuk muda tanpa
pengisi dan buah muda pengisi gum arab) sebagai pewarna terhadap karakteristik
sabun transparan yang dihasilkan. Minyak yang digunakan untuk membuat sabun
transparan terdiri dari dua jenis, yaitu minyak kelapa dan campuran minyak
kelapa dengan kelapa sawit (15:5 b/b). Kontrol yang digunakan adalah sabun
transparan tanpa penambahan bubuk ekstrak biji pinang.

vi
Biji pinang muda menghasilkan bubuk ekstrak biji pinang dengan rata-rata
rendemen, kadar air dan kadar total fenol yang lebih tinggi akan tetapi
menghasilkan rata-rata nilai pH yang tidak berbeda nyata dan rata-rata densitas
kamba dan kelarutan dalam air yang lebih rendah dibandingkan dengan biji
pinang tua. Penggunaan pengisi gum arab menghasilkan bubuk ekstrak biji pinang
dengan rata-rata rendemen, kelarutan dalam air yang lebih tinggi dan kadar air

yang tidak berbeda nyata akan tetapi menghasilkan rata-rata densitas kamba, nilai
pH dan kadar total fenol yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa
penggunaan pengisi. Pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang diperoleh pada
penelitian ini memiliki rendemen 5,59% - 13,90%, kadar air 5,19% - 7,41%,
densitas kamba 0,3720 g/ml – 0,5586 g/ml, kelarutan dalam air 94,10% – 99,25%,
pH larutan bubuk 4,98 – 5,31, kadar total fenol 30,50% – 67,07% dan nilai oHue
39,67 – 62,06 pada kisaran warna merah dan merah kuning. Hasil spektrum FTIR
menunjukkan adanya gugus fungsi seperti OH, CH, CO serta struktur aromatik
pada bubuk ekstrak biji pinang. Hasil analisis toksisitas menggunakan BSLT
menunjukkan bahwa pewarna bubuk ekstrak biji pinang memiliki nilai LC50 yang
bervariasi, yaitu 279,53 ppm – 10935,25 ppm.
Bubuk ekstrak biji pinang menghasilkan warna bervariasi dengan
penggunaan bahan fiksasi berbeda pada kain katun dan kain sutera. Bahan fiksasi
tawas cenderung menghasilkan warna kain mendekati sama dan lebih muda
daripada warna kain tanpa fiksasi, yaitu pada kisaran warna merah dan merah
kuning. Bahan fiksasi kapur cenderung menghasilkan warna kain lebih tua
daripada warna kain tanpa fiksasi, yaitu pada kisaran warna merah. Bahan fiksasi
ferosulfat menghasilkan warna kain paling tua (kisaran warna merah dan merah
ungu). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pewarna bubuk ekstrak biji
pinang dan jenis bahan fiksasi berpengaruh terhadap perubahan warna kain katun

dan kain sutera akibat pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar
matahari. Bahan fiksasi kapur menghasilkan perubahan warna paling rendah pada
perlakuan pencucian dengan deterjen baik pada kain katun maupun kain sutera.
Bahan fiksasi ferosulfat menghasilkan perubahan warna paling rendah pada
perlakuan penjemuran di bawah matahari baik pada katun maupun pada sutera
Semua kombinasi perlakuan jenis minyak dan jenis pewarna bubuk ekstrak
biji pinang menghasilkan sabun transparan pada kisaran warna yellow red. Jenis
minyak berpengaruh terhadap stabilitas busa dan kekerasan sabun transparan
pada semua jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang digunakan dimana
campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (15:5 b/b) menghasilkan sabun
transparan dengan stabilitas busa yang lebih tinggi dan kekerasan yang lebih
rendah dibandingkan dengan perlakuan menggunakan minyak kelapa akan tetapi
tidak berbeda nyata pada kadar air dan nilai pH. Jenis pewarna bubuk ekstrak biji
pinang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air, kekerasan dan nilai pH sabun
transparan akan tetapi berpengaruh terhadap stabilitas busa sabun transparan.
Keberadaan bahan pengisi gum arab pada bubuk ekstrak biji pinang meningkatkan
stabilitas busa pada sabun transparan yang menggunakan bahan baku minyak
kelapa. Penggunaan gum arab pada bubuk pewarna ekstrak biji pinang dapat
menurunkan perubahan warna sabun transparan selama penyimpanan enam bulan.
Kata kunci: pewarna alami, Areca catechu L., bubuk, pengering semprot, kain,

sabun transparan

SUMMARY
YERNISA. Design Process of Natural Dye Powder Production from Seeds of
Areca catechu L. and its Application in Industry. Supervised by of ENDANG
GUMBIRA-SA’ID and KHASWAR SYAMSU.
Natural dyes have become alternative of non toxic, environtmentally
friendly colorants, usually agro-renewable source and exhibit better
biodegradability. Instant natural dyes, e.g. powder extracts, are still limited. Areca
catechu L. is one of dye plant that has been traditionally used on batik and craft
dyeing. The phenolic substances, as coloring matter, from areca seeds are varying
in degree of maturation. For these reasons, design process of natural dye powder
production from areca seeds by spray drying and its application in textile dyeing
and transparent soap coloring was studied. The objective of this study was to
determine the effect of maturation degree of areca seeds (unripe, ripe) and binder
treatment (without a binder, arabic gum 2% w/v) to the characteristics of areca
seeds powder extracts, and determine the effect of areca seeds dye powder and
fixative agents (without a fixative agent, alum, calcium oxide and ferrosulfate) to
the colour of two types of fabric (cotton, silk) and the color changes to washing
and sun drying.

The objective of study about application of areca seeds powder extracts in
transparent soap was to determine the effect of areca seeds extracted powders and
the type of vegetable oil to the characteristics of transparent soap. Areca seeds
powder extracts being used in this study were areca seed powder extracts without
a binder and areca seed extracted powder with a binder (arabic gum 2% w/w).
Two types of vegetable oil for making transparent soap were used in this study
namely coconut oil and mixed of coconut oil and palm oil (15:5 w/w). As a
control, there were transparent soaps made without addition of areca seeds
powders.
The results of this study exhibited unripe areca seeds produced powder
extracts with higher in yield, moisture content and total phenolic content but had
no significant effect on pH and lower in bulk density and solubility than ripe areca
seeds. Arabic gum treatment produced powder extracts with higher in yield, and
solubility, but had no significant effect on moisture content and lower in bulk
density, pH and total phenolic content than the treatment without binder. The
areca seeds powder extracts had the yield ranges between 5,59-13,90%, moisture
content ranges between 5,19% - 7,41%, bulk density ranges between 0,3720 –
0,5586 g/ml, solubility (on water) ranges between 94,10% – 99,25%, pH ranges
between 4,98 – 5,31, total phenolic content ranges between 30,50 – 67,07% and
o

Hue ranges between 39,67 – 62,06 (red and yellow red). FTIR spectrum showed
presence of functional group of OH, CH, CO and aromatic structure in areca seeds
dye powder. The areca seed powder extracts exhibited cytotoxic activity against
brine shrimp larvae with LC50 values ranging from 279,53-1093,25 ppm.
The fixative agents had significant effects on colour of cotton and silk
fabric. Alum caused the depth of fabric colour as same as or lower than colored
fabric without a fixative agent (color ranges in red and yellow red). The highest

viii
depth of fabric colour is given by ferrosulfate was followed by calcium oxide.
Calcium oxide give the little color changes on both cotton and silk fabric in
washing treatment, while ferrosulfate give the little color changes on both of them
in sun drying.
Transparent soap from all combinations of treatment had colour range
yellow red. Mixed of coconut oil and palm oil (15:5 w/w) gave higher foam
stability and lower hardness than coconut oil but did not give significant effect on
moisture content and pH value. Type of areca seeds extracted powder had no
significant difference in moisture content, hardness and pH value but had
significant effect on foam stability of transparent soap. The presence of arabic
gum in areca seeds extracted powder enhanced foam stability of transparent soap

from coconut oil and reduced color change in transparent soap after six months of
storage.
Keywords: natural dye, Areca catechu L., powder, spray drying, dyeing,
transparent soap

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

x

REKAYASA PROSES PEMBUATAN PEWARNA
BUBUK ALAMI DARI BIJI PINANG (Areca catechu L.)
DAN APLIKASINYA UNTUK INDUSTRI


YERNISA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

xii

Judul Tesis : Rekayasa Proses Pembuatan Pewama Bubuk Alami dari Biji
Pinang (Areca catechu L.) dan Aplikasinya untuk Industri
: Yemisa
Nama

: F351090041
NIM

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Endang Gumbira-Said, MADev
Ketua

Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MScSt
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian

Dr Ir Machfud, MS

Tanggal Ujian: 14 Mei 2013

Tanggal Lulus:

セPR@

AUG 2013

Judul Tesis : Rekayasa Proses Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Biji
Pinang (Areca catechu L.) dan Aplikasinya untuk Industri
Nama
: Yernisa
NIM
: F351090041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Endang Gumbira-Said, MADev
Ketua

Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MScSt
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Machfud, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 14 Mei 2013

Tanggal Lulus:

xiv

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian ini ialah Rekayasa Proses Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Biji
Pinang (Areca Catechu L.) dan Aplikasinya untuk Industri.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Endang GumbiraSa’id, MADev dan Bapak Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MScSt selaku
pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan yang
sangat bermanfaat, serta Ibu Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSc dan Bapak Dr Ir Sapta
Rahardja, DEA yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada seluruh staf di Laboratorium dan Bengkel Kerja
Teknologi Industri Pertanian IPB yang telah membantu selama penelitian dan
rekan-rekan di Program Studi Teknologi Industri Pertanian angkatan 2009.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, suami tercinta Erwin
Mandiska Putra, ST dan ananda Muzhaffirah Nurul Lathifah dan Adzra Rizhan
Samaira serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Yernisa

xvi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xvii

DAFTAR GAMBAR

xix

DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

xxiii
1
1
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pinang
Pewarna Alami
Ekstraksi dan Aplikasi Pewarna Alami
Pengering Semprot (Spray Drier)
Gum Arab

5
5
7
9
12
13

3 METODE
Kerangka Pemikiran Konseptual
Bahan
Alat
Prosedur Analisis Data
Rancangan Percobaan

15
15
16
16
16
23

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Biji Buah Pinang
Pembuatan Pewarna Bubuk Biji Pinang
Karakteristik Warna Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang
Karakteristik Fisikokimia Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang
Analisis Toksisitas Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang dengan
Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
Analisis Gugus Fungsi menggunakan Fourier Transform Infra Red
(FTIR) pada Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang
Aplikasi Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang

25
25
28
31
33

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

59
59
60

DAFTAR PUSTAKA

61

LAMPIRAN

67

RIWAYAT HIDUP

38
39
43

109

xviii

DAFTAR TABEL
1 Komposisi kimia pada biji pinang muda (hijau) dan biji pinang yang
telah masak (% bobot kering, kecuali air)
2 Persyaratan mutu biji pinang untuk ekspor
3 Perkembangan volume dan nilai ekspor pinang pada Tahun 2004-2008
4 Beberapa penelitian mengenai ekstraksi dan aplikasi pewarna alami
5 Formula sabun transparan (diadaptasi dari Cognis 2003, Hambali et
al. 2005 dan Karo 2011)
6 Komposisi kimia buah pinang muda dan buah pinang tua
7 Hasil analisis kualitatif senyawa fitokimia serbuk kering biji pinang
muda dan biji pinang tua bubuk
8 Karakteristik filtrat hasil ekstraksi biji pinang
9 Data kromasitas bubuk pewarna ekstrak biji pinang
10 Karakteristik fisik pewarna bubuk ekstrak biji pinang
11 Karakteristik kimia pewarna bubuk ekstrak biji pinang
12 Perbandingan karakteristik pewarna bubuk alami ekstrak biji pinang
hasil penelitian dan pewarna bubuk alami Acacia catechu
13 Tingkat toksisitas pewarna bubuk ekstrak biji pinang
14 Pita serapan spektrometer inframerah pewarna bubuk ekstrak biji
pinang muda, pewarna bubuk ekstrak biji pinang tua dan (+)-katekin
15 Karakteristik pita serapan spektrum FTIR pada beberapa gugus
fungsi1)
16 Karakteristik sabun dasar transparan dengan bahan dasar minyak
kelapa dan campuran minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit
(15:5 b/b)
17 Karakteristik sabun transparan akibat perlakuan jenis minyak dan
pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang berbeda
18 Perubahan warna sabun transparan setelah penyimpanan enam bulan

5
7
7
10
21
26
27
29
31
33
36
37
39
41
42

51
55
57

xx

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

22

23

24
25
26

Struktur kimia alkaloid pada biji pinang (Mujumdar et al. 1982)
Reaksi pembentukan komplek dengan ion krom (Vankar 2000)
Diagram alir persiapan bahan baku
Diagram alir proses pembuatan pewarna bubuk ekstrak biji pinang
Diagram alir proses persiapan kain
Diagram alir proses pewarnaan kain
Diagram alir pembuatan sabun transparan
Bentuk fisik buah (a) pinang muda (b) pinang tua
Bagian-bagian buah pinang
Irisan kering dan serbuk biji buah pinang
Filtrat hasil ekstraksi
Alat spray drier yang digunakan untuk pengeringan filtrat hasil
ekstraksi biji pinang
Bubuk pewarna ekstrak biji pinang dari berbagai kombinasi perlakuan
Pengaruh tingkat ketuaan dan bahan pengisi terhadap rendemen bubuk
pewarna yang dihasilkan
Pengaruh tingkat ketuaan dan bentuk sediaan biji pinang serta bahan
pengisi terhadap kadar total fenol pewarna bubuk ekstrak biji pinang
dihasilkan
Spektrogram hasil FTIR
Struktur (+)-katekin (AIST 2013)
Kain katun setelah diwarnai dengan berbagai jenis bubuk pewarna
ekstrak biji pinang dengan perlakuan fiksasi yang berbeda
Kain sutera setelah diwarnai dengan berbagai jenis bubuk pewarna
ekstrak biji pinang dengan perlakuan fiksasi yang berbeda
Nilai L* kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa
jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan
fiksasi
Nilai a* kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa
jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan
fiksasi
Nilai b* kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa
jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan
fiksasi
Nilai oHue warna kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan
beberapa jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa
jenis bahan fiksasi
Nilai ΔE kain katun dan kain sutera akibat pencucian menggunakan
deterjen
Nilai ΔE kain katun dan kain sutera akibat penjemuran di bawah sinar
matahari
Sabun dasar tranparan yang terbuat dari minyak kelapa (kiri) dan
minyak kelapa sawit (kanan)

6
11
17
18
19
20
22
25
25
26
29
30
31
34

37
40
42
44
45

45
46

47

48
49
50
51

xxii

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
27 Perbandingan warna sabun transparan (minyak kelapa) yang diberi
perlakuan pewarna ekstrak biji pinang dalam bentuk sediaan yang
berbeda
52
28 Penampakan visual sabun transparan yang telah diwarnai dengan
pewarna bubuk ekstrak biji pinang
53
o
29 Nilai L*, nilai a*, nilai b* dan nilai hue sabun transparan pada
perlakuan jenis minyak dan penggunaan bubuk ekstrak biji pinang yang
berbeda
54

DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur analisis parameter-parameter percobaan
2 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
kromasitas (nilai L*, a*, b* dan ohue) bubuk ekstrak biji pinang
3 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
rendemen bubuk ekstrak biji pinang
4 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
densitas kamba bubuk ekstrak biji pinang
5 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
kelarutan bubuk ekstrak biji pinang
6 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
kadar air bubuk ekstrak biji pinang
7 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
derajat keasaman (pH) larutan dari pewarna bubuk ekstrak biji
pinang 84
8 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
kadar total fenol bubuk ekstrak biji pinang
9 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan
kromasitas kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan
pewarna bubuk ekstrak biji pinang pada berbagai jenis bahan fiksasi
10 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
kromasitas dan nilai ΔE kain katun dan kain sutera yang diberi
perlakuan pencucian dengan deterjen
11 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan nilai ΔE
kain katun dan kain sutera yang diberi perlakuan penjemuran di
bawah sinar matahari
12 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal warna
(kromasitas) sabun transparan pada berbagai kombinasi perlakuan
13 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal kadar
air sabun transparan pada berbagai kombinasi perlakuan
14 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal
kekerasan sabun transparan pada berbagai kombinasi perlakuan
15 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal nilai
pH sabun transparan pada berbagai kombinasi perlakuan
16 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal
stabilitas busa sabun transparan pada berbagai kombinasi perlakuan

69
76
80
81
82
83

85

86
93

97
101
104
105
106
107

xxiv

ABSTRACT
YERNISA. Design Process of Natural Dye Powder Production from Seeds of Areca
catechu L. and its Application in Industry. Supervised by of ENDANG GUMBIRA-SA’ID
and KHASWAR SYAMSU.
Natural dyes have become alternative of non toxic, environmentally friendly colorants,
usually agro-renewable source and exhibit better biodegradability. Instant natural dyes, e.g.
powder extracts, are still limited. Areca catechu L. is one of dye plant that has been
traditionally used on batik and craft dyeing. The phenolic substances, as coloring matter,
from areca seeds are varying in degree of maturation. For these reasons, design process of
natural dye powder production from areca seeds by spray drying and its application in textile
dyeing and transparent soap coloring was studied. The objective of this study was to
determine the effect of maturation degree of areca seeds (unripe, ripe) and binder treatment
(without a binder, arabic gum 2% w/v) to the characteristics of areca seeds powder extracts,
and determine the effect of areca seeds dye powder and fixative agents (without a fixative
agent, alum, calcium oxide and ferrosulfate) to the colour of two types of fabric (cotton, silk)
and the color changes to washing and sun drying. The objective of study about application of
areca seeds powder extracts in transparent soap was to determine the effect of areca seeds
extracted powders and the type of vegetable oil to the characteristics of transparent soap.
Areca seeds powder extracts being used in this study were areca seed powder extracts without
a binder and areca seed extracted powder with a binder (arabic gum 2% w/w). Two types of
vegetable oil for making transparent soap were used in this study namely coconut oil and
mixed of coconut oil and palm oil (15:5 w/w). As a control, there were transparent soaps
made without addition of areca seeds powders. The results of this study exhibited unripe
areca seeds produced powder extracts with higher in yield, moisture content and total
phenolic content but had no significant effect on pH and lower in bulk density and solubility
than ripe areca seeds. Arabic gum treatment produced powder extracts with higher in yield,
and solubility, but had no significant effect on moisture content and lower in bulk density, pH
and total phenolic content than the treatment without binder. The areca seeds powder
extracts had the yield ranges between 5,59-13,90%, moisture content ranges between 5,19% 7,41%, bulk density ranges between 0,3720 – 0,5586 g/ml, solubility (on water) ranges
between 94,10% – 99,25%, pH ranges between 4,98 – 5,31, total phenolic content ranges
between 30,50 – 67,07% and oHue ranges between 39,67 – 62,06 (red and yellow red). FTIR
spectrum showed presence of functional group of OH, CH, CO and aromatic structure in
areca seeds dye powder. The areca seed powder extracts exhibited cytotoxic activity against
brine shrimp larvae with LC50 values ranging from 279,53-1093,25 ppm. The fixative agents
had significant effects on colour of cotton and silk fabric. Alum caused the depth of fabric
colour as same as or lower than colored fabric without a fixative agent (color ranges in red
and yellow red). The highest depth of fabric colour is given by ferrosulfate was followed by
calcium oxide. Calcium oxide give the little color changes on both cotton and silk fabric in
washing treatment, while ferrosulfate give the little color changes on both of them in sun
drying. Transparent soap from all combinations of treatment had colour range yellow red.
Mixed of coconut oil and palm oil (15:5 w/w) gave higher foam stability and lower hardness
than coconut oil but did not give significant effect on moisture content and pH value. Type of
areca seeds extracted powder had no significant difference in moisture content, hardness and
pH value but had significant effect on foam stability of transparent soap. The presence of
arabic gum in areca seeds extracted powder enhanced foam stability of transparent soap from
coconut oil and reduced color change in transparent soap after six months of storage.
Keywords: natural dye, Areca catechu L., powder, spray drying, dyeing, transparent soap

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pewarna merupakan salah satu bahan yang cukup luas penggunaannya
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pada makanan, tekstil, cat, tinta, lukisan
dan sebagainya. Oleh karena itu, kebutuhan bahan pewarna diduga akan terus
berkembang.
Pewarna alami merupakan bahan pewarna yang pertama kali digunakan
manusia. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, penggunaan pewarna
alami banyak digantikan oleh pewarna sintetis. Hal ini disebabkan oleh
karakteristik pewarna sintesis yang memiliki beberapa kelebihan diantaranya
mudah diproduksi, murah, memiliki intensitas warna dan variasi warna dan
stabilitas yang lebih baik dibanding pewarna alami.
Pewarna alami berasal dari bahan alam seperti tumbuhan, hewan,
mikrooganisme maupun mineral. Oleh karena itu, bahan bakunya tersedia di alam
bahkan sebagian besar dapat dibudidayakan. Di lain pihak, pewarna sintetis
merupakan pewarna yang disintesis dari bahan kimia yang bahan bakunya
tergantung pada sumber daya petrokimia. Beberapa pewarna sintetis mengandung
bahan yang bersifat toksik atau karsinogenik dan tidak ramah lingkungan. Limbah
industri tekstil yang menggunakan pewarna sintetis ada yang mengandung logam
berat dan beberapa pewarna sintetik memberikan efek alergi dan toksik (Hunger
2003).
Negara-negara Uni Eropa telah melarang penggunaan pewarna sintetik
khususnya golongan pewarna azo pada produk tekstil dan kulit. Beberapa pewarna
dari jenis tersebut dapat menghasilkan senyawa amina aromatik yang beresiko
kanker bila kontak dengan kulit. Negara Jerman dan Belanda telah melarang
penggunaan zat warna tersebut sejak 1 Agustus 1996 untuk pakaian (clothing),
alas kaki (footwear) dan alas kasur/sarung bantal (bedlinen) (UNCTAD 1999).
Pewarna alami menjadi alternatif pilihan pewarna yang aman dan ramah
lingkungan. Indonesia dengan kekayaan alamnya yang cukup banyak berpeluang
sebagai pemasok pewarna alami. Pewarna dari sumber alami di Indonesia telah
digunakan pada pewarnaan makanan maupun produk-produk kerajinan tangan
seperti kain batik maupun benang tenun. Pewarna alami di Indonesia belum
banyak tersedia dalam bentuk siap pakai, seperti bentuk bubuk. Proses pewarnaan
masih dilakukan secara konvensional, yaitu dengan mengambil sari dari bagian
tanaman yang telah dihaluskan atau diekstrak dengan cara perebusan. Cara
tersebut menyebabkan penggunaan pewarna alami menjadi tidak praktis dan
menghasilkan residu atau ampas. Selain itu, penggunaan bahan baku secara
langsung dalam pewarnaan, cukup sulit dalam menentukan takaran penggunaan
untuk menghasilkan warna yang seragam. Pewarna dalam bentuk bubuk
merupakan salah satu alternatif bentuk sediaan produk yang praktis dalam
penggunaan, mudah dalam penanganan, penyimpanan, distribusi dan aplikasinya
Pinang (Areca catechu Linn) terutama pada bagian biji merupakan salah
satu tanaman yang dapat digunakan sebagai pewarna. Menurut Heyne (1987), biji
pinang dapat menghasilkan warna merah anggur tua. Sebagian besar pinang
Indonesia diekspor. Volume ekspor pinang Indonesia pada tahun 2008 adalah

2
183.972 ton dengan nilai US$ 106.335.000 (Kementan 2009). Pemanfaatan
pinang untuk konsumsi dalam negeri masih sedikit. Selama ini, pinang digunakan
sebagai ramuan yang dimakan bersama sirih yang menjadi kebiasaan turun
temurun pada beberapa daerah tertentu di Indonesia. Selain itu, pinang digunakan
sebagai obat tradisional. Penggunaannya sebagai pewarna telah digunakan
bersama gambir menghasilkan warna soga pada batik.
Pinang mengandung senyawa golongan polifenol, yaitu flavonoid dan tanin
(Nonaka 1989; Ma et al. 1996; Amudhan et al. 2012). Senyawa tersebut
merupakan senyawa yang menghasilkan warna pada biji pinang. Kadar polifenol
dipengaruhi oleh tingkat kematangan buah. Menurut Amudhan (2010), polifenol
menurun selama proses pemasakan buah pinang. Buah pinang yang baru dipanen
memiliki kadar air yang cukup tinggi sehingga buah pinang mudah mengalami
kerusakan dan hanya dapat bertahan beberapa hari. Bahan baku sering tidak
langsung diolah atau digunakan untuk stok dalam proses produksi. Oleh karena
itu, bentuk sediaan buah pinang sebagai bahan baku sangat penting untuk
diperhatikan karena berhubungan dengan upaya mempertahankan mutu bahan
baku.
Pewarna dapat diperoleh dari biji pinang melalui proses ekstraksi. Ekstrak
biji pinang yang berbentuk cair dapat dikeringkan menghasilkan pewarna dalam
bentuk bubuk. Spray drier merupakan salah satu metode pengeringan untuk
menghasilkan produk bubuk dari dari bahan berbentuk cairan. Proses pengeringan
menggunakan spray drier berlangsung sangat cepat, menghasilkan bubuk dengan
mutu yang baik dan stabil dan biaya operasi yang relatif rendah (Munin dan
Edwards-Levy 2011). Bahan pengisi biasa digunakan untuk menghasilkan produk
bubuk yang berfungsi melindungi senyawa aktif target, mengurangi kehilangan
senyawa aktif selama proses pengeringan dan meningkatkan rendemen produk.
Gum arab merupakan bahan pengisi yang mudah larut dalam air dan merupakan
pengkapsul yang dapat melindungi bahan aktif yang akan dikeringkan
(Gharsallaoui et al. 2007).
Berdasarkan hal tersebut di atas, pada penelitian ini dilakukan rekayasa
proses untuk mendapatkan pewarna bubuk alami dari biji pinang melalui proses
ekstraksi dan pengeringan menggunakan spray drier. Biji pinang yang digunakan
berasal dari buah pinang muda dan buah pinang tua dengan bentuk sediaan yang
berbeda, yaitu berupa irisan segar dan serbuk kering untuk mempelajari pengaruh
tingkat ketuaan dan bentuk sediaan biji pinang terhadap karakteristik produk
bubuk pewarna yang dihasilkan. Perlakuan penggunaan bahan pengisi (tanpa
bahan pengisi dan penggunaan pengisi gum arab 2% b/v) diberikan terhadap filtrat
hasil ekstraksi biji pinang yang akan dikeringkan menggunakan spray drier untuk
mempelajari pengaruhnya terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Produk
pewarna bubuk yang dihasilkan diaplikasikan pada pewarnaan tekstil khususnya
kain katun dan kain sutera serta pada pewarnaan sabun transparan.
Menurut Samanta dan Agarwal (2009), pewarnaan tekstil menggunakan
pewarna alami biasanya melibatkan proses fiksasi. Proses fiksasi dilakukan agar
pewarna dapat berikatan dengan serat tekstil dengan baik dan mencegah
kelunturan akibat terpapar oleh cahaya atau akibat pencucian. Bahan fiksasi yang
berbeda menghasilkan arah warna yang berbeda pula. Aplikasi pewarna bubuk
alami biji pinang pada pewarnaan tekstil pada penelitian ini menggunakan

beberapa bahan fiksasi, yaitu tawas, kapur dan ferosulfat untuk melihat
pengaruhnya terhadap warna kain yang dihasilkan serta perubahan warna akibat
perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari.
Ekstrak biji pinang memiliki manfaat untuk kulit (Mahmood et al. 2011).
Ekstrak biji pinang memiliki aktivitas antioksidan (Zhang et al. 2009; Meiyanto et
al. 2008) dan dapat berfungsi sebagai anti-aging (Lee et al. 2001). Oleh karena
itu, ekstrak biji pinang relevan digunakan pada produk kosmestik. Sabun
transparan merupakan sabun perawatan dan kecantikan. Karakteristik sabun
dipengaruhi oleh jenis asam lemak yang digunakan sebagai bahan baku serta
bahan-bahan pendukung yang terlibat pada proses pembuatannya. Aplikasi
pewarna bubuk alami ekstrak biji pinang pada sabun transparan dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan jenis pewarna bubuk ekstrak biji
pinang dan jenis minyak pada pembuatan sabun transparan terhadap karakteristik
sabun transparan yang dihasilkan serta perubahan intensitas warna sabun
transparan setelah dilakukan penyimpanan.

Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan pewarna bubuk
alami ekstrak dari biji pinang dengan tingkat ketuaan dan bentuk sediaan biji
pinang berbeda serta dengan perlakuan penggunaan pengisi tertentu, mengetahui
karakteristik pewarna bubuk yang dihasilkan serta mengaplikasikan pewarna
bubuk yang dihasilkan pada pewarnaan tekstil dan sabun transparan.
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk:
1) Mengetahui pengaruh tingkat ketuaan dan bentuk sediaan biji pinang serta
perlakuan penggunaan pengisi terhadap karakteristik bubuk ekstrak biji pinang.
2) Mengetahui pengaruh jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang dan jenis bahan
fiksasi terhadap warna kain (katun dan sutera) serta perubahan warna kain
akibat perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar
matahari.
3) Mengetahui pengaruh jenis minyak dan jenis pewarna bubuk ekstrak biji
pinang terhadap warna dan karakteristik sabun transparan yang dihasilkan serta
perubahan intensitas warna sabun transparan setelah dilakukan penyimpanan.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi hal-hal berikut:
1) Karakterisasi biji pinang yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan
pewarna alami.
2) Pembuatan pewarna bubuk dari biji pinang menggunakan spray drier sekaligus
karakterisasi pewarna bubuk yang dihasilkan.
3) Aplikasi pewarna alami dari biji pinang pada pewarnaan kain (katun dan
sutera) dan pewarnaan sabun transparan.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pinang
Tanaman pinang (Areca catechu Linn) termasuk golongan tanaman palma
yang tersebar luas di Afrika Utara, Asia Selatan dan kepulauan Pasifik (Staples
dan Bevaqua 2006). Penyebaran tanaman pinang di Indonesia meliputi daerah
Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi
Selatan (Miftahorrachman dan Maskromo 2007). Bagian yang memiliki nilai
ekonomis yang utama pada tanaman pinang adalah buah khususnya biji. Buah
pinang disebut buah batu (buni), keras dan berbentuk bulat telur. Panjang buah
antara 3 – 7 cm, diameter biji 1,9 cm, warna kuning kemerahan. Buah terdiri atas
tiga lapisan, yaitu lapisan luar (epicarp) yang tipis, lapisan tengah (mesocarp)
berupa sabut dan lapisan dalam (endocarp) berupa biji yang di dalamnya terdapat
endosperm.
Komponen utama biji pinang adalah air, protein, karbohidrat, lemak, serat,
polifenol (flavonol dan tanin), alkaloid dan bahan mineral. Komposisi kimia pada
biji pinang muda (hijau) dan biji pinang yang telah masak dapat dilihat pada Tabel
1. Konsentrasi kandungan kimia biji pinang berbeda-beda tergantung pada lokasi
geografi tempat tumbuh dan tingkat kematangan buah.
Tabel 1

Komposisi kimia pada biji pinang muda (hijau) dan biji pinang yang
telah masak (% bobot kering, kecuali air)

Komponen

Biji pinang muda

Biji pinang masak

Air
Karbohidrat
Protein
Lemak
Serat
Polifenol
Arekolin
Abu

69,4 – 74,1
17,3 – 23,0
6,7 – 9,4
8,1 – 12,0
8,2 – 9,8
17,2 – 29,8
0,11 – 0,14
1,2 – 2,5

38,9 – 56,7
17,8 – 25,7
6,2 – 7,5
9,5 – 15,1
11,4 – 15,4
11,1 – 17,8
0,12 – 0,24
1,1 – 1,5

Sumber : Jayalakshmi dan Mathew (1982)

Polifenol (flavonol, tanin) merupakan komponen yang cukup banyak
terkandung dalam biji pinang. Polifenol merupakan senyawa yang memberikan
rasa sepat pada biji. Menurut Maisuthisakul et al. (2007), biji pinang (kernel)
mengandung total fenol sebesar 137,3 ± 0,3 mg GAE/g dengan aktivitas
penangkapan radikal DPPH (EC50) sebesar 0,18 µg/µg DPPH sehingga biji
pinang memiliki potensi sebagai antioksidan. Menurut Keijiro et al. (1988) dalam
Wetwitayaklung et al. (2006), biji pinang mengandung 15% tanin terkondensasi
berupa phlobatannin dan katekin. Menurut Raghavan dan Baruah (1958) kadar
polifenol pada biji pinang bervariasi tergantung pada wilayah tempat tumbuh,
tingkat kematangan dan proses pengolahan. Kadar tanin tertinggi terdapat pada
buah yang masih muda dan kadarnya menurun dengan meningkatnya tingkat
kematangan buah. Menurut Awang (1987), biji pinang yang disangrai memiliki

6
kadar tanin berkisar antara 5 – 41% (rata-rata 21,4 %). Biji pinang yang
dikeringkan dengan sinar matahari memiliki kadar tanin 25% sedangkan biji
pinang yang direbus memiliki kadar tanin 17%.
Alkaloid yang terdapat pada biji pinang adalah arecoline, arecaidine,
guvacine dan guvacoline. Arecoline merupakan alkaloid yang paling utama.
Senyawa alkaloid tersebut dapat menyebabkan mual dan muntah, sakit perut,
pusing dan gelisah. Tanda-tanda kelebihan dosis adalah banyak keluar air liur,
muntah, mengantuk dan serangan (jantung). Untuk mengurangi efek racun
tersebut, pemakaian biji pinang sebaiknya yang telah dikeringkan atau lebih baik
bila biji pinang kering direbus (Barlina, 2007). Struktur kimia alkaloid pada biji
pinang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur kimia alkaloid pada biji pinang (Mujumdar et al. 1982)
Menurut Barlina (2007), biji pinang digunakan sebagai ramuan yang
dimakan bersama sirih. Hal tersebut telah menjadi kebiasaan secara turun
temurun pada beberapa daerah tertentu di Indonesia, seperti Papua, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Nangro Aceh Darusalam dan Sumatera Barat.
Biji pinang juga biasa digunakan untuk upacara adat, pengganti rokok, bahan
kosmetik, pelangsing, bahan baku obat dan antidepresi.
Menurut Heyne (1987), biji pinang dapat digunakan sebagai bahan pewarna
dan penyamak. Biji pinang yang belum terlalu masak dihaluskan dan dicampur
dengan alkali dapat menghasilkan warna merah anggur tua. Oleh karena itu, India
telah memanfaatkan biji pinang untuk mewarnai kain. Selain itu, biji pinang juga
telah dimanfaatkan sebagai bahan penyamak kulit karena biji pinang mengandung
tanin. Amerika dan Jerman pernah menggunakan biji pinang sebagai bahan
penyamak secara besar-besaran. Standar mutu biji pinang yang akan diekspor
secara umum adalah kering, tua, bersih dari kulit, tidak berlubang dan bebas dari
jamur. Bentuk biji pinang untuk ekspor dapat berbentuk bulat atau utuh maupun
dalam bentuk belahan atau irisan. Persyaratan mutu biji pinang untuk ekspor dapat
dilihat pada Tabel 2.
Menurut Staples dan Bevaqua (2006), biji pinang kering dalam bentuk utuh
atau irisan merupakan produk komersial dalam perdagangan internasional. Biji
pinang tersebut diperoleh dari buah pinang masak maupun masih muda. Buah
pinang dikupas kemudian biji dalam bentuk utuh, belah atau irisan dikeringkan.
Pengeringan dapat dilakukan dengan penjemuran di bawah matahari, pemanasan
dalam oven atau dengan pengasapan. Di lain pihak, terdapat juga yang melakukan
biji pinang perebusan sebelum proses pengeringan untuk mengurangi kadar tanin
dalam biji.

Tabel 2 Persyaratan mutu biji pinang untuk ekspor
Syarat
Pinang Utuh

Karakteristik

Mutu I
Kadar air (%)(bobot/bobot),
maksimum
Serangga Hidup
Berkapang/berlembaga
Hitam (%), maksimum
Retak/pecah/luka (%)
(bobot/bobot), maksimum

12

Mutu II

Pinang Iris
Mutu I

12

Mutu II

12

12

Tidak ada
0

0

0

0

5

5

Tak ada
syarat

Tak ada
syarat

Sumber : Departemen Perdagangan RI (1985)

Pasar ekspor utama biji pinang adalah India dan Pakistan. India dan
Pakistan mengimpor pinang dari Indonesia sebanyak 81.442.946 kg dan
53.297.229 kg atau sekitar 53% dan 35% dari total volume ekspor pinang
Indonesia pada Tahun 2006 (Tabel 3).
Tabel 3

Perkembangan volume dan nilai ekspor pinang pada Tahun 20042008
Tahun

Volume (ton)

Nilai (000 US$)

2004
2005
2006
2007
2008

120.923
130.241
153.306
177.135
183.972

43.455
50.611
79.017
94.598
106.335

Sumber : BPS diolah Pusdatin (2009)

Mutu biji pinang dapat dikelompokkan menjadi enam tingkatan,yaitu good
whole dried, bad whole dried, good half split, bad half split, dried split dan fresh.
Mutu biji pinang berbeda-beda tergantung permintaan negara pengimpor. Negara–
negara Timur Tengah banyak meminta mutu good whole dried dan good half
dried, karena setelah biji pinang diiris dan dibakar atau digoreng kemudian
dikonsumsi sebagai makanan. Korea Selatan banyak meminta mutu bad whole
dried karena di negara tersebut biji pinang dihancurkan terlebih dahulu dan
digunakan untuk bahan obat (Ditjenbun 2011).

Pewarna Alami
Bahan alami mempunyai warna (dye) karena bahan tersebut: (1) menyerap
cahaya pada spektrum cahaya tampak (400-700nm), (2) mempunyai paling sedikit
satu kromofor, (3) memiliki sistem yang berkonjugasi, dan (4) dapat mengalami
resonansi elektron (Abrahart 1977 dalam IARC 2010).
Berdasarkan kelarutannya dalam air, pewarna dibagi menjadi dua kelas,
yaitu dye dan pigmen. Dye dapat larut dalam air dan sedangkan pigmen digunakan

8
sebagai bahan tidak larut seperti dispersi. Ikatan pada dye terjadi melalui ikatan
ionic, ikatan hydrogen dan gaya van der Walls. Ikatan pigmen pada bahan tekstil
melalui ikatan polimer yang mengikatkan pigmen pada permukaan serat (Mussak
dan Bechtold 2009).
Warna dapat diperoleh dari tumbuhan, seperti warna biru dari Indigofera
spp. dan Haemotoxylum campechianum L., warna kuning dari Crocus sativus L.,
merah dari Rubia cordifolia L., coklat dari Peltophorum pterocarpum (DC.)
Backer ex K. Heyne dan hitam dari Macaranga tanarius (L.) Muell. Arg.
(Lemmens dan Soetjipto 1992).
Selain itu, menurut Lemmens dan Soetjipto (1992), pewarna nabati adalah
bahan pewarna yang berasal dari tumbuhan. Bahan pewarna tersebut diekstrak
dari jaringan tumbuhan melalui proses fermentasi, perebusan atau secara kimia.
Warna tersebut dapat terlihat langsung pada bagian tumbuhan yang diekstrak
seperti saffron yang diekstrak dari tumbuhan Crocus sativus L. Akan tetapi, ada
juga pewarna nabati yang tidak terlihat langsung pada bagian tumbuhannya,
seperti indigo dari spesies Indigofera).
Menurut Sequin-Frey (1981), pewarna alami termasuk ke dalam golongan
flavonoid, tanin, terpenoid, naftokuinon, antrakuinon dan alkaloid. Flavonoid
merupakan penyusun tumbuhan penghasil warna. Warna yang dihasilkan
umumnya jingga sampai kuning dan mengandung unit C6-C3-C6.. Tumbuhan
penghasil warna mengandung golongan flavon, flavonol, isoflavon, chalcone dan
katekin. Katekin termasuk golongan tanin terkondensasi yang merupakan ester
dari gula (biasanya glukosa) dengan satu atau lebih trihidroksibenzena asam
karboksilat. Tanin biasa digunakan dengan mengkombinasikannya dengan bahan
pewarna lain, digunakan pada perlakuan pendahuluan pada serat dan
menghasilkan warna coklat sampai hitam. Flavonoid umumnya merupakan
pewarna mordan, kecuali catechin, dapat digunakan sebagai pewarna langsung
(Sequin-Frey 1981)
Tanin merupakan golongan fenolat yang banyak tersebar pada tumbuhan.
Tanin merupakan polimer dari polifenol yang mempunyai sifat larut dalam air.
Tanin terdiri dari tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Kedua jenis tanin
tersebut dapat mengikat dan mengendapkan protein, alkaloid, karbohidrat dan
logam seperti besi, aluminium, tembaga, vanadium dan kalsium (Gaffney et al.,
1986; Porter, 1992; Haslam, 1998 dalam Bechtold dan Mussak, 2009).
Tanin dapat diperoleh dari bagian tanaman seperti daun, buah, batang, akar
dan ranting. Jumlah dan jenis tanin yang dihasilkan oleh tanaman tergantung pada
jenis tanaman, kultivar, jaringan, tingkat perkembangan dan pertumbuhan dan
kondisi lingkungan. Tanin banyak digunakan dalam pewarnaan (dyeing), obatobatan dan pembuatan tinta (Aung dan Win 2008)
Kompleks logam dapat terbentuk dalam larutan tanin. Tanin dapat
membentuk kompleks dengan logam. Kompleks besi tanat yang berwarna biruhitam merupakan sumber tinta tulis pada beberapa abad yang lalu dan bangsa
Mesir kuno menggunakan senyawa kompleks tersebut sebagai pewarna rambut
(Slabbert 1992 dalam Bechtold dan Mussak 2009).
Terpenoid atau isoprenoid tersusun atas unit isopentana, isoprena atau unit
C5. Contoh pewarna dari golongan ini adalah crocetin dari tanaman saffron, yang

digunakan untuk pangan. Warna timbul dari golongan senyawa ini karena terdapat
banyak ikatan rangkap menyebabkan bahan dapat menyerap cahaya tampak.
Naftakuinon dan antrakuinon mengandung struktur aromatik yang
menghasilkan pewarna mordan berwana merah yang kuat. Contoh pewarna dari
golongan ini adalah alizarin yang diperoleh dari tanaman dan caminic acid
(cochineal) yang dari hewan.
Alkaloid umumnya dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi dan
mengandung atom nitrogen. Contoh pewarna dari golongan ini adalah indigo dan
Tyrian purple.

Ekstraksi dan Aplikasi Pewarna Alami
Efisiensi ekstraksi zat warna dari bahan alam baik tumbuhan, hewan
maupun mineral tergantung pada jenis bahan pengekstrak (berupa air/pelarut
organik atau berupa asam/basa), pH, kondisi ekstraksi seperti suhu, waktu, nisbah
antara bahan dengan pelarut dan ukuran partikel substrat. Beberapa penelitian
mengenai ekstraksi dan aplikasi pewarna alami dapat dilihat pada Tabel 4.
Perwarna alami dibagi menjadi dua kategori, yaitu substantif dan ajektif.
Pewarna substantif atau disebut juga pewarna langsung (direct dye) adalah
pewarna yang dapat terikat secara kimiawi pada serat tanpa penambahan bahan
kimia atau aditif lain, contohnya indigo dan lichen.
Proses pewarnaan tekstil secara sederhana meliputi proses mordan,
pewarnaan, fiksasi dan pengeringan. Proses mordan merupakan proses perlakuan
awal pada kain yang akan diwarnai agar lemak, minyak, kanji dan kotoran yang
tertinggal pada proses penenunan dapat dihilangkan. Proses mordan dilakukan
dengan memanaskan kain dalam larutan tawas sampai mendidih. Proses fiksasi
adalah proses mengunci warna pada kain agar zat warna memiliki ketahanan
luntur yang baik (Moerdoko 1975). Ada tiga jenis bahan fiksasi yang biasa
digunakan, yaitu tunjung atau ferrosulfat (FeSO4), tawas (Al2(SO4)3) dan kapur
tohor (CaCO3) (Kwartiningsih et al. 2009).
Proses mordan dilakukan sebelum proses pewarnaan, yaitu dengan cara
merendam serat dalam larutan garam seperti garam dari logam aluminium, krom,
tembaga, besi dan timah. Ion logam tersebut akan membentuk kompleks yang
kuat antara serat dengan pewarna. Garam logam yang berbeda akan menghasilkan
tingkat warna yang berbeda pada pewarna yang sama (Sequin-Frey 1981).
Menurut Djufri (1996), pencelupan (pewarnaan) pada bahan (kain)
melibatkan beberapa proses, yaitu dispersi, migrasi, adsorbs, difusi, absorpsi dan
fiksasi. Dispersi adalah proses penguraian zat warna dalam larutan celup. Migrasi
adalah proses pelarutan zat warna dan bergeraknya larutan zat warna tersebut pada
bahan. Proses menempelnya molekul zat warna pada serat disebut adsorbsi.
Selanjutnya, zat warna tersebut masuk atau menyerap dari permukaan ke dalam
bahan secara bertahap disebut proses difusi. Absorpsi adalah proses penyerapan
zat warna dari permukaan serat ke dalam serat. Fiksasi adalah proses terikatnya
molekul zat warna ke dalam serat.

10

Tabel 4 Beberapa penelitian mengenai ekstraksi dan aplikasi pewarna alami
Penulis

Sumber
bahan
pewarna

Metode ekstraksi

Bentuk produk
dan aplikasi

Holinesti
(2007)

Kayu
secang

- Ekstraksi menggunakan shaker pada

- Ekstrak kental

suhu ruang selama 12 jam.
- Pelarut yang digunakan adalah
etanol absolut yang diasamkan
dengan 1% HCl.
- Nisbah antara bahan dengan pelarut
1:5 (b/v).

(pigmen
brazilein)
- Aplikasi pada
model pangan
(kerupuk)

Kwartiningsih
et al. (2009)

Kulit
manggis

Ekstraksi menggunakan dua cara,
yaitu sebagai berikut:
a. Soxhlet
Suhu yang digunakan adalah 78oC
b. Tangki berpengaduk
- Ekstraksi dilakukan pada suhu
optimum 60o – 70oC selama dua jam
dengan kecepatan pengadukan 500
rpm.
- Pelarut yang digunakan adalah
etanol
- Nisbah antara bahan dengan pelarut
1:10 (b/v)

- Bubuk
- Aplikasi pada

Gambir,
serbuk
daun sirih
dan serbuk
biji pinang

- Ekstraksi dengan cara pemanasan

- Larutan
- Aplikasi pada

Ranting
walnut,
ranting
eukaliptus,
rimpang
kunyit

- Ekstraksi

dengan
perendaman
selama 24 jam dan dilanjutkan
dengan perebusan selama 30 menit.
- Pelarut yang digunakan air.
- Nisbah antara bahan dengan pelarut
1:10 (b/v)

- Larutan
- Aplikasi pada

Biji pinang
muda

- Ekstraksi dengan perebusan dalam

- Bubuk
- Aplikasi pada

Bogoriani
(2010)

Inayat et al.
(2010)

Wulansari et
al. (2012)

selama dua jam
- Pelarut yang digunakan air
- Nisbah antara bahan dengan pelarut
1:10 (b/v)

air mendidih selama ± 1menit dan
dilanjutkan dengan perendaman
dalam air panas tersebut selama ±
30 menit.
- Pengisi yang digunakan adalah
maltodekstrin dan dekstrin dengan
konsentrasi 5%, 10% dan 15%(b/v).
- Pengeringan filtrat menggunakan
vacuum drier selama ± 7.5 jam.

pewarnaan kain

pewarnaan
kayu

pewarnaan
kulit

jelly

Ikatan kimia zat warna (dye) dengan serat merupakan sesuatu yang
kompleks. Ikatannya mel