Perbanyakan In Vitro Klon Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth.) Hasil Iradiasi Sinar Gamma

PERBANYAKAN IN VITRO KLON TANAMAN NILAM
(Pogostemon cablin Benth.) HASIL IRADIASI SINAR GAMMA

MONICA CORY WIYOTO

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbanyakan In Vitro
Klon Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth.) Hasil Iradiasi Sinar Gamma
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Monica Cory Wiyoto
NIM A24080057

ABSTRAK
MONICA CORY WIYOTO. Perbanyakan In Vitro Klon Tanaman Nilam
(Pogostemon cablin Benth.) Hasil Iradiasi Sinar Gamma. Dibimbing oleh AGUS
PURWITO dan ALI HUSNI.
Tujuan percobaan ini adalah mendapatkan komposisi media kultur yang tepat
untuk perbanyakan dan pemanjangan pucuk klon tanaman nilam. Percobaan ini
dibagi menjadi dua bagian. Percobaan pertama mempelajari penggunaan ZPT dalam
perbanyakan tunas dan buku klon tanaman nilam hasil iradiasi gamma 30 gray.
Percobaan kedua menggunakan tiga konsentrasi (penuh, ½ dan ¼) media Murashige
dan Skoog (MS) dalam pemanjangan pucuk nilam hasil iradiasi gamma 30 gray dan
kontrol. Kedua percobaan disusun dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
dan diamati selama delapan minggu. Percobaan pertama dibagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama menggunakan media MS dengan BAP 0, 0.1, 0.3, 0.5 dan 0.7 mg/L
tanpa IAA sedangkan bagian kedua menggunakan penambahan 0.1 mg/L IAA. Pada
bagian pertama jumlah tunas adventif terbanyak berhasil diinduksi pada konsentrasi

BAP 0.5 mg/L dan eksplan buku. Pada bagian kedua tidak ditemukan perbedaan
jumlah tunas adventif antar konsentrasi BAP dan jenis eksplan. Pada percobaan kedua,
media ¼ MS dapat digunakan untuk pemanjangan kedua jenis klon tanaman nilam
karena menghasilkan saat inisiasi akar, jumlah akar dan pertambahan jumlah daun
yang sama dengan konsentrasi lain. Analisis stomata dilakukan pada daun klon
tanaman nilam hasil iradiasi 30 gray dan kontrol. Hasil analisis menunjukkan adanya
keragaman antar klon melalui perbedaan kerapatan dan ukuran stomata.
Kata kunci : BAP, IAA, iradiasi, nilam
ABSTRACT
MONICA CORY WIYOTO. In Vitro Multiplication of Patchouli (Pogostemon
cablin Benth.) Clone Derived from Gamma Ray Irradiation. Supervised by AGUS
PURWITO and ALI HUSNI.
The aim of this experiment was to determine the proper composition of culture
medium for multiplication and shoot elongation of patchouli clone. The experiment
was devided into two parts. The first experiment was to determine the effect of PGRs
on the multiplication of shoots and nodes of patchouli clone derived from 30 gray of
gamma ray irradiation. The second experiment used three concentrations (full, ½ and
¼) of Murashige and Skoog medium (MS) in the elongation of patchouli shoots
derived from 30 gray of gamma irradiation and control. Both experiments were
prepared with completely randomized design (CRD) factorial and observed for eight

weeks. The first experiment was divided into two parts. The first part used MS
medium with 0, 0.1, 0.3, 0.5 and 0.7 mg/L of BAP without IAA and the second part
used an addition of 0.1 mg/L IAA. In the first part the best number of adventitious
buds was inducted in 0.5 mg/L of BAP concentration and node explant. In the second
part was no difference found in the number of adventitious buds between the BAP
concentrations and the explants. In the second experiment, ¼ MS media can be used
for shoot elongation of both clones because it obtained the same root initiation,
number of roots and increase in leaves number of with other concentrations. Stomata
analysis was perfomed on 30 gray and control of patchouli leafs. The result showed
the variety between clones through the difference between the density and size of the
stomata.
Keywords: irradiation, patchouli, IAA, BAP

PERBANYAKAN IN VITRO KLON TANAMAN NILAM
(Pogostemon cablin Benth.) HASIL IRADIASI SINAR GAMMA

MONICA CORY WIYOTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Perbanyakan In Vitro Klon Tanaman Nilam (Pogostemon cablin
Benth.) Hasil Iradiasi Sinar Gamma
Nama
: Monica Cory Wiyoto
NIM
: A24080057

Disetujui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MSc Agr

Pembimbing I

Dr Ali Husni, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MSc Agr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: 30 Agustus 2013

Judul Skripsi: Perbanyakan In Vitro Klon Tanaman Nilam (Pogostemon cablin
Benth) Hasil Iradiasi Sinar Gamma
: Monica Cory Wiyoto
Nama
: A24080057
NIM

Disetujui oleh


MSc AlIT

Tanggal Lulus: 30 Agustus 2013

セ@ セゥ@

Pembimbing II

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena
atas segala berkat-Nya lah karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini
dibuat berdasarkan penelitian tugas akhir yang bertajuk Perbanyakan In Vitro
Klon Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth.) Hasil Iradiasi Sinar Gamma.
Sangat banyak dukungan yang telah penulis dapatkan dalam penyelesaian
karya ilmiah ini. Oleh sebab itu ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr. dan Dr. Ali Husni, M.Si. selaku
pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan sepenuh hati dalam
penelitian dan penyelesaian karya ilmiah
2. Dr. Ir. Faiza C. Suwarno selaku pembimbing akademik yang telah

membimbing penulis dari awal sampai akhir perkuliahan
3. Dr. Ir. Endah Retno Palupi, M.Sc selaku dosen penguji yang telah
memberikan banyak masukan untuk perbaikan karya ilmiah ini
4. Bapak Agustinus Wiyoto dan Ibu Maria Yustina Budi Ratiyah selaku orang
tua penulis dan Erika Krisantina Wiyoto, Ignatius Sarwo Edhi Wiyoto dan
Benediktus Nugroho Adi Wiyoto selaku adik-adik penulis yang telah
memberikan segala kasih, doa, dukungan dari jauh
5. Ibu Juariah dan Bapak Joko Mulyono selaku teknisi laboratorium yang
telah membantu penulis dalam penelitian
6. Keluarga besar laboratorium kultur jaringan yang telah memberikan
bantuan dan dukungan dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah,
terutama Hasrat Enggal Prayogi dan Diah Rahmi Adiyanti
7. Orang-orang terdekat terutama Andi Pratama, Abe Eiko Juliana, Rotua
Melisa Sidabutar, Erick Raynalta, Ryanda Rachmad Murdani, Yodi
Marthin, Christian Simanjuntak, Gusto Wiryawan Simatupang, Yohana
Ayu Sawitri, Lynn Kaat Laura Kurniawan, Novra Ernaliana Sinaga, Ni
Wayan Sindra Juliarina dan Nurcahya Destiawan yang memiliki dukungan
yang luar biasa baik dalam penelitian maupun kehidupan sehari-hari
penulis
8. Seluruh keluarga besar Indigenous 45 (Agronomi dan Hortikultura 2008)

yang selalu memberikan semangat tak terhingga
Demikianlah, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013
Monica Cory Wiyoto

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Botani Nilam

2

Induksi Mutasi Tanaman Nilam


3

Media Kultur Jaringan dan Zat Pengatur Tumbuh

4

METODE PENELITIAN

6

Waktu dan Tempat

6

Bahan dan Alat

6

Rancangan Penelitian


6

Pelaksanaan Penelitian

7

Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

9

Pengaruh ZPT Terhadap Perbanyakan Tunas dan Buku Klon Tanaman
Nilam Hasil Iradiasi Sinar Gamma

12

Pengaruh Konsentrasi Media MS Terhadap Pemanjangan Pucuk Klon
Tanaman Nilam Hasil Iradiasi Sinar Gamma

17

Analisis Stomata

22

KESIMPULAN DAN SARAN

24

Kesimpulan

24

Saran

25

DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR TABEL
1

Keadaan umum pertanaman pada perbanyakan tunas dan buku klon
tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma (30 gray) pada beberapa
konsentrasi BAP
2 Keadaan umum pertanaman pada perbanyakan tunas dan buku klon
tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma (30 gray) pada beberapa
konsentrasi BAP dengan penambahan 0.1 mg/L IAA
3 Rekapitulasi sidik ragam jumlah tunas adventif pada perbanyakan tunas
dan buku klon tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma (30 gray) pada
beberapa konsentrasi BAP
4 Rekapitulasi sidik ragam jumlah tunas adventif pada perbanyakan tunas
dan buku klon tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma (30 gray) pada
beberapa konsentrasi BAP dengan penambahan 0.1 mg/L IAA
5 Rata-rata jumlah tunas adventif pada setiap kombinasi perlakuan
dengan dan tanpa penambahan 0.1 mg/L IAA
6 Rata-rata saat inisiasi akar klon tanaman nilam hasil iradiasi sinar
gamma 30 gray dan kontrol pada tiga konsentrasi media MS
7 Rekapitulasi sidik ragam saat inisiasi akar klon tanaman nilam hasil
iradiasi sinar gamma 30 gray dan kontrol pada tiga konsentrasi media
MS
8 Rekapitulasi sidik ragam penambahan tinggi klon tanaman nilam hasil
iradiasi sinar gamma 30 gray dan kontrol pada tiga konsentrasi media
MS
9 Rata-rata penambahan tinggi (cm) pada pemanjangan pucuk klon
tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma 30 gray dan kontrol pada tiga
konsentrasi media MS
10 Rekapitulasi sidik ragam penambahan jumlah daun klon tanaman nilam
hasil iradiasi sinar gamma 30 gray dan kontrol pada tiga konsentrasi
media MS
11 Rata-rata penambahan jumlah daun pada pemanjangan pucuk klon
tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma 30 gray dan kontrol pada tiga
konsentrasi media MS
12 Analisis stomata pada daun klon tanaman nilam kontrol dan hasil
iradiasi 30 gray

10

11

12

14
16
17

17

19

20

21

22
23

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.)
Struktur kimia IAA
Struktur kimia BAP
Bahan tanam dalam percobaan
Kalus tanaman nilam pada 2 MST
Keadaan tunas adventif tanaman nilam

3
5
5
9
9
10

7
8
9
10
11

12
13
14
15
16

Kontaminasi cendawan pada pertanaman nilam
Rata-rata jumlah tunas adventif klon tanaman nilam hasil iradiasi sinar
gamma 30 gray
Pertumbuhan buku dan pucuk klon nilam hasil iradiasi sinar gamma 30
gray pada berbagai konsentrasi BAP
Rata-rata jumlah tunas adventif klon tanaman nilam hasil iradiasi sinar
gamma 30 gray
Pertumbuhan buku dan pucuk klon nilam hasil iradiasi sinar gamma 30
gray pada berbagai konsentrasi BAP dengan penambahan 0.1 mg/L
IAA
Akar tanaman nilam pada 3, 5 dan 8 MST
Rata-rata jumlah akar klon tanaman nilam berdasarkan konsentrasi
media MS dan jenis klon yang berbeda
Penampakan tinggi tanaman nilam pada 8 MST
Penampakan stomata klon tanaman nilam pada perbesaran 100 kali
Satu sel stomata dengan butir kloroplas di dalam sel penjaga

11
13
14
15

16
18
18
21
23
23

DAFTAR LAMPIRAN
1

Komposisi larutan stok dan vitamin dalam media Murashige dan Skoog
(1962) pada pH 5.6-5.8

28

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nilam merupakan tanaman yang termasuk ke dalam famili Labateae yang
dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama patchouli. Tanaman ini masuk ke
Indonesia sekitar satu abad yang lalu, kemungkinan berasal dari Filipina atau
Malaysia (Nuryani 2006a). Daun kering tanaman ini disuling untuk mendapatkan
minyak nilam (patchouli oil) yang mengandung patchouli alkohol atau PA
(C15H26). Alkohol nilam berfungsi sebagai bahan baku pengikat (fiksatif) dan
bahan pengendali penerbang (eteris) untuk parfum, bahan campuran produk
kosmetik, bahan tambahan makanan, bahan pengikat dalam industri cat, bahan
baku industri farmasi, bahan pengawet dan sebagainya (Mangun et al. 2012).
Kebutuhan minyak nilam dunia mencapai 1,200 – 1,500 ton per tahun
selama 20 tahun terakhir dan 90% dipasok oleh Indonesia sebagai produsen
terbesar. Angka tersebut berpeluang terus meningkat sebab pasar industri bahan
pewangi tumbuh 5-7% per tahun. Produksi minyak nilam Indonesia tahun 2009 2011 adalah 1,600, 900 dan 1,300 ton dengan 50-70% produksi nasional
dihasilkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Rusli 2012).
Permintaan produksi yang terus melonjak tidak diimbangi dengan
peningkatan produktivitas tanaman nilam. Produktivitas tanaman nilam Indonesia
di lapang masih rendah dengan rata-rata 97.5 kg/ha. Rendahnya produktivitas
tersebut dipengaruhi rendahnya mutu genetik tanaman, kurang tepatnya budi daya,
serangan penyakit dan penanganan panen dan pasca panen yang kurang terkelola
(Nuryani 2006a). Guna mempertahankan posisi Indonesia sebagai pemasok
minyak nilam terbesar di dunia diperlukan paket teknologi, antara lain
penggunaan varietas unggul yang disertai teknik budi daya dan pengelolaan hasil
yang efisien (Mariska dan Lestari 2003).
Masalah yang dihadapi dalam perbaikan varietas atau populasi nilam
adalah variabilitas genetik tanaman yang rendah. Hal tersebut terjadi karena di
Indonesia tanaman nilam tidak berbunga sehingga tidak terdapat genotip baru
hasil persilangan (Mariska dan Lestari 2003). Perbaikan keragaman genetik pada
tanaman nilam dilakukan melalui kultur jaringan dengan menginduksi variasi
somaklonal. Arah karakteristik tanaman yang ingin dicapai diusahakan sesuai
permasalahan yang terjadi, misalnya pengembangan klon dengan kadar minyak
tinggi atau klon yang toleran terhadap penyakit layu bakteri (Amalia 2011).
Perluasan keragaman genetik tanaman nilam secara in vitro dilakukan
dengan berbagai metode seperti fusi protoplas (Mariska dan Husni 2006), mutasi
dengan iradiasi sinar gamma (Hutami et al. 2006 dan Kadir et al. 2007) dan
mutasi dengan kolkisin (Anne dan Wiendi 2012). Pada penelitian sebelumnya
telah dihasilkan klon nilam hasil iradiasi sinar gamma 30 gray. Pengujian klon
tersebut di lapang memerlukan bibit dalam jumlah banyak. Berkenaan dengan hal
tersebut penelitian mengenai perbanyakan in vitro terhadap klon tersebut perlu
dilakukan.
Menurut Gunawan (1992) keberhasilan penggunaan metode kultur
jaringan sangat bergantung pada media kultur yang digunakan. Oleh sebab itu,
penelitian ini dilaksanakan dengan beberapa perlakuan pada media dengan tujuan

2
mendapatkan komposisi media yang tepat sebagai media perbanyakan maupun
media pemanjangan tunas.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan komposisi media yang tepat dalam perbanyakan klon
tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma secara in vitro
2. Mendapatkan komposisi media yang tepat dalam pemanjangan pucuk
klon tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma secara in vitro
3. Mengetahui keragaman tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma secara
sitologi melalui analisis stomata.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Nilam
Nilam merupakan tanaman perdu wangi berdaun halus dan berbatang segi
empat. Terdapat beberapa jenis tanaman nilam di Indonesia, antara lain nilam
Aceh (Pogostemon cablin Benth. atau P. patchouli), nilam Jawa (P. heyneatus
Benth.) dan nilam sabun (P. hortensis Backer). Adapun jenis yang paling dikenal
dan telah dibudidayakan secara luas adalah nilam Aceh. Daerah penyebaran
tanaman nilam adalah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara,
Bengkulu, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Tengah
(Mangun et al. 2012).
Nilam Aceh lebih disukai daripada kedua jenis nilam yang lain karena
rendemen minyak yang dikandungnya tinggi, sekitar 2.5-5%, dibandingkan
dengan jenis lainnya yang hanya mengandung 0.5-1.5% minyak. Menteri
Pertanian telah melepas tiga varietas unggul nilam Aceh, yaitu Sidikalang,
Lhokseumawe dan Tapak Tuan pada tahun 2005. Keunggulan ketiga varietas
tersebut adalah produktivitas yang tinggi, rendemen minyak yang tinggi dan daya
adaptasi yang luas. Khusus untuk varietas Sidikalang, kelebihan lain yang dimiliki
adalah sifat ketahanannya pada nematoda dan penyakit layu (Ditjenbun 2013).
Secara umum nilam merupakan tanaman semak yang bersifat tahunan
(parenial). Tanaman ini tumbuh tegak, bercabang banyak, bertingkat-tingkat dan
bisa mencapai tinggi 0.5-1 meter (Gambar 1A). Daunnya memiliki ciri-ciri antara
lain berbentuk bulat telur sampai lonjong, panjang 5-11 cm, berwarna hijau, tipis,
tidak kaku, berbulu pada permukaan di bagian atas, tepi bergerigi, ujung tumpul
dan uratnya menonjol (Gambar 1B). Tanaman nilam jarang berbunga namun jika
berbunga akan tumbuh bergerombol di ujung tangkai dan berwarna ungu
kemerahan (Gambar 1C) (Rukmana 2003). Gambar 1 menunjukkan penampakan
tanaman nilam di lapang.

3

A

B

C

Gambar 1 Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) (A) daun (B) dan (C)
bunga
Induksi Mutasi Tanaman Nilam
Tanaman nilam pada umumnya tidak berbunga sehingga keragaman
genetiknya secara alamiah tidak terlalu luas. Padahal tingkat keragaman genetik
suatu materi dalam pemuliaan sangat menentukan keberhasilan usaha untuk
mendapatkan varietas unggul (Djisbar dan Seswita 1998). Selama 25 tahun
terakhir metode kultur jaringan yang dikombinasikan dengan beberapa metode
lain telah diaplikasikan dalam pemuliaan tanaman. Sumber keragaman genetik
dapat ditingkatkan dengan proses mutasi oleh iradiasi ion, bahan kimia dan kultur
sel dan jaringan yang menghasilkan keragaman somaklonal (Evans et al. 2004).
Mutasi adalah proses suatu gen mengalami perubahan struktur. Gen yang
berubah karena mutasi disebut mutan. Mutan juga merupakan sebutan bagi sel-sel
dan individu yang membawa mutasi tersebut. Kebanyakan mutasi tidak
menguntungkan tetapi mutasi buatan yang direncanakan dan terarah telah dapat
menghasilkan pengembangan varietas tanaman yang superior (Crowder 2006).
Suatu agen yang dapat menghasilkan suatu mutasi, perubahan struktur kromosom
dan penyimpangan non genetik sering disebut dengan mutagen (Simmonds 1979).
Induksi mutasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan energi dan
kimia. Yang termasuk dalam kategori energi ialah sinar X, sinar gamma, sinar
beta, neutron cepat dan neutron lambat, partikel alfa, sinar deuteron dan sinar
ultraviolet (Welsh 1991). Jenis mugaten energi yang diketahui telah efektif
digunakan untuk adalah sinar X, sinar gamma dan sinar UV(Biotol 1991).
Menurut Broertjes dan van Harten dalam Aisyah (2006) sinar gamma lebih
sering digunakan karena mempunyai daya tembus tinggi sehingga peluang
terjadinya mutasi lebih besar. Sinar ini merupakan iradiasi elektromagnetik
dengan panjang gelombang lebih pendek dari sinar X, yang berarti dapat
menghasilkan energi dengan tingkat yang lebih tinggi. Daya tembus yang
dihasilkan sinar ini dalam, mencapai beberapa sentimeter, dan bersifat merusak
bahan yang dilaluinya. Iradiasi gamma biasanya didapatkan dari disintegrasi
radioisotop 137Cs atau 60Co.
Pada golongan mutagen kimia terdapat enam jenis yang sering digunakan,
yaitu metansulfonat, etilinimin, diepoksibutan, mustard nitrogen dan etilinoksida.
Bentuk etil dari metanusulfonat (EMS) merupakan jenis yang paling sering
digunakan untuk menginduksi mutasi (Welsh 1991). Selain itu, terdapat suatu
jenis senyawa alkaloid bernama kolkisin yang sering digunakan untuk

4
menginduksi mutasi kromosom pada tanaman dengan cara membentuk tanaman
poliploid. Kolkisin tidak mengubah susunan DNA tanaman tetapi merubah jumlah
DNA dan jumlah genom pada sel tanaman (van Harten 1998).
Hutami et al. (2006) melaporkan bahwa perlakuan iradiasi gamma sebesar
1-3 krad diberikan pada kalus nilam Aceh berumur 1-24 bulan. Setelah iradiasi,
biakan diregenerasi dan diaklimatisasi di rumah kaca. Sejumlah 411 klon berhasil
ditanam di lapang dan diantaranya terdapat 5 klon yang kadar minyaknya lebih
tinggi daripada kadar minyak tetuanya. Keragaman terdapat bukan hanya pada
kadar minyak melainkan juga pada komponen pertumbuhan lainnya.
Kadir et al. (2007) melakukan peningkatan keragaman genetik tanaman
nilam dengan menggunakan iradiasi sinar gamma. Iradiasi dilakukan terhadap
kalus tanaman nilam dengan dosis iradiasi 0, 5, 10, 15 dan 20 gray. Kalus yang
telah diradiasi mampu ditumbuhkan kembali menjadi planlet meskipun daya
regenerasinya menjadi lebih rendah dibandingkan dengan kalus yang tidak
diradiasi. Iradiasi yang dilakukan menghasilkan beberapa keragaman fenotip yang
berbeda dengan tanaman induk seperti ruas yang memanjang, daun yang melebar,
pucuk melilit dan tumbuhnya akar semu (akar gantung).
Media Kultur Jaringan dan Zat Pengatur Tumbuh
Media kultur jaringan terdiri dari 95% air, hara makro dan mikro, Zat
Pengatur Tumbuh (ZPT), vitamin dan gula. Unsur hara, baik makro maupun
mikro, dan gula berguna dalam mencukupi kebutuhan nutrisi tanaman in vitro
(Beyl 2000). Sementara itu ZPT berguna untuk mendorong terjadinya sesuatu
seperti pertumbuhan dan perkembangan. Pengertian ZPT sendiri adalah senyawa
organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah mendorong, menghambat
atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman
(Wattimena 1992).
Media yang paling banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah media
Murashige dan Skoog (MS) karena mengandung amonium, nitrat dan ammonia
dalam jumlah tinggi (Gamborg 1991). Kadang-kadang untuk kultur tertentu
kombinasi zat kimia MS digunakan dengan perubahan konsentrasi. Sebagai
contoh, media ½ MS berarti konentrasi persenyawaan yang digunakan adalah
setengah konentrasi media MS (Gunawan 1992).
Jenis ZPT yang banyak digunakan adalah kelompok auksin dan sitokinin.
Auksin berperan dalam proses pemanjangan batang, dominasi apikal, absisi dan
penumbuhan daerah perakaran. Sitokinin berperan dalam pembelahan sel dan
diferensiasi tunas, terutama diferensiasi tunas adventif dari kalus pada kultur
jaringan. Penggunaan ZPT perlu disesuaikan dengan kebutuhan tanaman baik
dari jenis, komposisi maupun konsentrasinya (Abbas 2011).
Kultur jaringan tanaman yang menggunakan pucuk tanaman sebagai
eksplan biasanya memerlukan ZPT auksin dan sitokinin dalam media. Auksin
yang sering digunakan adalah IAA, NAA dan IBA sementara sitokinin yang
sering digunakan adalah BAP, 2iP dan kinetin. Pada kultur pucuk, penggunaan
konsentrasi sitokinin biasanya lebih tinggi daripada auksin (Gunawan 1992).
Auksin utama pada tanaman adalah asam indolasetat (IAA). Senyawa ini
secara alami disintetis di akar dan ditransportasikan searah sumbu tanaman.
Auksin digunakan dengan konsentrasi 10-6 – 10-7 M untuk menginduksi

5
pertumbuhan tunas tanaman. Pada kultur jaringan auksin digunakan bersamaan
dengan sitokinin untuk mengontrol diferensiasi dan morfogenesis (Evans et al.
2004). Struktur kimia IAA ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia IAA
Jenis sitokinin yang sering digunakan adalah benzil amino purin (BAP)
(Acquaah 2004). Senyawa ini diketahui tahan terhadap degradasi dan murah
harganya. Oleh karena itu pada kultur jaringan umumnya BAP dicobakan terlebih
dahulu pada suatu eksplan sebelum jenis sitokinin lain digunakan (Wattimena
1992). Struktur kimia BAP ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur kimia BAP
Paul et al. (2010) melakukan regenerasi cepat daun muda tanaman nilam
pada media MS yang diperkaya dengan lima konsentrasi BAP (0.5, 1.0, 2.5, 5.0
dan 7.5 µM) dan tiga konsentrasi NAA (0.5, 1.0 dan 2.5 µM). Daun muda yang
digunakan diambil dari tanaman nilam berusia tiga bulan yang dibudidayakan
secara in vivo. Setelah empat minggu penanaman frekuensi regenerasi dan jumlah
tunas per eksplan tertinggi didapatkan pada perlakuan penambahan 2.5 µM BAP
dan 0.5µM NAA pada media, yaitu sebesar 82.2% dan 81.3 tunas per tanaman..
Santos et al. (2010) menggunakan sitokinin jenis kinetin dan auksin jenis
IAA untuk memperbanyak tiga genotip tanaman nilam yaitu POG014, POG021
dan POG002. Konsentrasi kinetin yang digunakan sebesar 0, 1, 2, 4 dan 6 mg/L
sementara konsentrasi IAA sebesar 0, 0.5, 1 dan 2 mg/L. Kombinasi ZPT yang
digunakan memberikan pengaruh yang mirip terhadap peubah jumlah tunas per
eksplan pada ketiga genotip yang digunakan. Penggunaan kinetin konsentrasi
rendah atau kombinasinya dengan IAA konsentrasi rendah menghasilkan
pembentukan tunas yang tinggi. Pada genotip POG014 dan POG021 jumlah tunas
tertinggi, sejumlah 175 dan 154, dihasilkan pada media yang diberi 1 mg/L
kinetin dan 5 mg/L IAA sementara pada POG002 tunas yang dihasilkan lebih
sedikit dengan nilai tertinggi 41 tunas pada media dengan penambahan 1 mg/L
kinetin.

6

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 sampai dengan
Maret 2013 bertempat di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman dan
Laboratorium Mikroteknik Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas
Pertanian IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah klon nilam in vitro
varietas Tapak Tuan hasil iradiasi sinar gamma 30 gray dan kontrol (non radiasi)
yang didapatkan dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen). Selain klon tanaman bahan lain
yang digunakan antara lain media tanam in vitro jenis Murashige dan Skoog (MS),
vitamin MS, dan ZPT jenis IAA dan dan BAP.
Alat yang digunakan terdiri dari peralatan tanam (scalpel, gunting, pinset
dan petri), wadah tanam (botol), alat ukur (neraca, penggaris, pHmeter, pipet,
gelas ukur), alat sterilisasi (autoklaf), laminar air flow cabinet, sprayer dan rak
kultur. Selain itu pada pengamatan juga digunakan kamera dan mikroskop.
Rancangan Penelitian
Percobaan 1 Pengaruh ZPT terhadap perbanyakan tunas dan buku klon
tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma
Pada pelaksanaan penelitian ini percobaan 1 dibagi lagi menjadi dua
bagian. Percobaan 1 bagian pertama mempelajari pengaruh konsentrasi BAP
terhadap perbanyakan tunas dan buku klon tanaman nilam hasil iradiasi sinar
gamma. Percobaan 1 bagian kedua mempelajari pengaruh konsentrasi BAP
dengan penambahan 0.1 mg/L IAA terhadap perbanyakan tunas dan buku klon
tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma.
Baik percobaan 1 bagian pertama maupun bagian kedua merupakan
percobaan faktorial dengan konsentrasi BAP sebagai faktor pertama dan jenis
eksplan sebagai faktor kedua. Konsentrasi BAP yang digunakan terdiri dari lima
taraf (0, 0.1, 0.3, 0.5 dan 0.7 mg/L) sementara jenis eksplan terdiri dari dua taraf
(pucuk dan buku). Eksplan diambil dari bahan tanam berupa klon tanaman nilam
hasil iradiasi 30 gray.
Kombinasi kedua faktor tersebut menghasilkan sepuluh perlakuan yang
masing-masing ditanam sebanyak sepuluh ulangan sehingga total terdapat 50
satuan percobaan. Satu satuan percobaan merupakan satu botol media yang
ditanami satu eksplan. Pada percobaan 1 bagian kedua setiap komposisi media
diperkaya 0.1 mg/L IAA.
Rancangan lingkungan yang digunakan merupakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) sehingga model aditif linearnya menurut Mattjik dan Sumertajaya
(2006) adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
(i= 1, 2, ..., 5; j = 1, 2; k = 1, 2, …, 10)

7
Yijk

= pengamatan pada perlakuan konsentrasi BAP ke-i, jenis eksplan
ke-j, dan ulangan ke-k
µ
= rataan umum
αi
= pengaruh perlakuan konsentrasi BAP ke-i
βj
= pengaruh perlakuan jenis eksplan ke-j
(αβ)ijk = pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi BAP ke-i dan jenis
eksplan ke-j
εijk
= galat percobaan akibat perlakuan konsentrasi BAP ke-i,
jenis eksplan ke-j dan ulangan ke-k

Percobaan 2 Pengaruh konsentrasi media MS (MS, ½ MS dan ¼ MS) pada
peninggian pucuk tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma
Percobaan ini merupakan percobaan faktorial dengan konsentrasi media
Murashige dan Skoog (MS) sebagai faktor pertama dan jenis klon tanaman nilam
sebagai faktor kedua. Faktor pertama terdiri dari tiga taraf (MS, ½MS dan ¼MS)
dan faktor kedua terdiri dari dua taraf (hasil iradiasi 30 gray dan kontrol). Setiap
perlakuan ditanam sebanyak 12 ulangan sehingga total terdapat 72 satuan
percobaan. Satu satuan percobaan merupakan satu botol kultur yang ditanami satu
eksplan pucuk.
Rancangan lingkungan yang digunakan merupakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) sehingga model aditif linearnya menurut Mattjik dan Sumertajaya
(2006) adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
(i= 1, 2, 3, 10; j = 1, 2; k = 1, 2, …, 12)
Yijk = pengamatan pada perlakuan konsentrasi media MS ke-i, jenis
klon ke-j, dan ulangan ke-k
µ
= rataan umum
αi
= pengaruh perlakuan konsentrasi media MS ke-i
βj
= pengaruh perlakuan jenis klon ke-j
(αβ)ijk = pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi media MS ke-i dan
jenis klon ke-j
εijk
= galat percobaan akibat perlakuan konsentrasi media MS ke-i,
jenis klon ke-j dan ulangan ke-k
Pelaksanaan Penelitian
Sterilisasi Alat
Wadah tanam (botol) dan alat tanam dicuci dengan deterjen dan air
mengalir kemudian disterilisasi dengan autoklaf bersuhu 121 ºC dan bertekanan
17.5 psi selama 50 menit.
Pembuatan Media
Media MS dibuat dengan larutan stok sesuai dengan komposisi yang
terdapat pada Lampiran 1. Tata cara pembuatan media tersebut sebanyak satu liter
adalah memipet larutan stok dan ZPT sesuai jumlah yang dibutuhkan ke dalam
gelas ukur kemudian menambahkan 30 g/L sukrosa dan 7 g/L agar ke dalam gelas
ukur tersebut. Setelah itu akuades steril ditambahkan sampai volume cairan
mendekati 1,000 ml. Larutan diaduk sampai tercampur dengan menggunakan

8
magnetic stirrer dan diatur pH nya sehingga nilainya 5.8. Selanjutnya akuades
kembali ditambahkan sehingga volume larutan tepat 1,000 ml.
Langkah selanjutnya adalah mendidihkan larutan media dan memasukkan
larutan tersebut dalam botol steril sebanyak 25 ml per botol. Botol-botol tersebut
kemudian ditutup dengan plastik dan karet serta disterilkan lagi dalam autoklaf
selama 20 menit.
Penanaman
Penanaman dilakukan dengan memotong bahan tanam sesuai perlakuan
(buku atau pucuk) kemudian ditanam ke media perlakuan sebanyak satu eksplan
per botol. Kegiatan penanaman dilakukan di dalam laminar air flow cabinet.
Pemeliharaan In Vitro
Pemeliharaan kultur dilakukan dengan menempatkan botol kultur pada
ruang kultur yang diberi penyinaran fluorescence dengan kekuatan 1,000 lux dan
bersuhu 25 ± 2 ºC.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada saat tanam sampai dengan delapan Minggu
Setelah Tanam (8 MST). Pada percobaan pertama peubah yang diamati adalah
persentase kontaminasi, persentase pembentukan kalus, persentase pembentukan
tunas adventif dan jumlah tunas adventif. Pada percobaan kedua peubah yang
diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, saat inisiasi dan jumlah akar.
Analisis Stomata dan Kloroplas
Pengamatan terhadap stomata dan kloroplas tanaman dilakukan terhadap
masing-masing tiga tanaman nilam hasil iradiasi 30 gray dan kontrol. Peubah
yang diamati pada analisis stomata adalah kerapatan stomata, ukuran (panjang dan
lebar) stomata dan jumlah kloroplas pada satu pasang sel penjaga.
Setiap tanaman diambil tiga daunnya sehingga terdapat sembilan sampel
per jenis klon. Daun yang diambil adalah daun kelima atau keenam. Langkahlangkah pengamatan adalah sebagai berikut :
1. Memisahkan daun dari tanaman
2. Mengeringkan daun dengan kertas tisu
3. Menempel selotip bening pada bagian bawah daun
4. Memukul-mukul daun agar melekat pada selotip
5. Mengikis daun sehingga tersisa bagian epidermis bawah pada selotip
6. Menempelkan selotip pada gelas objek
7. Mengamati gelas objek di mikroskop dengan perbesaran 100 kali
8. Mengambil foto dan ukuran stomata (dibantu piranti lunak DP-2
BSW)
9. Menghitung jumlah stomata dan jumlah kloroplas dari hasil foto
Jumlah stomata yang didapatkan kemudian digunakan untuk menghitung
kerapatan stomata dengan rumus :
Kerapatan stomata =

Analisis Data

d

d

Data yang didapatkan pada percobaan pertama dan kedua diolah dengan
analisis ragam (uji F) pada taraf 5%. Jika hasilnya berbeda nyata, maka Uji Jarak

9
Berganda Duncan (DMRT) taraf 5% digunakan sebagai uji lanjut untuk
membandingkan nilai tengah tiap peubah. Sementara itu data yang didapatkan dari
analisis stomata diolah dengan uji t taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Percobaan 1 menggunakan bahan tanam berupa pucuk klon nilam hasil
iradiasi 30 gray yang ditanam pada media MS. Satu pucuk berukuran sekitar 1.5-2
cm dengan 4-6 daun sementara satu buku tunggal berukuran sekitar 1 cm dengan
dua daun. Gambar 4 menunjukkan tanaman sumber eksplan dan bentuk eksplan
pucuk dan buku yang digunakan.

A

B

C

Gambar 4 Bahan tanam dalam percobaan (A) klon induk, (B) eksplan pucuk dan
(C) eksplan buku
Secara umum respon pertumbuhan yang terlihat pada eksplan adalah
pertumbuhan tunas adventif yang didahului dengan pembentukan kalus. Kalus
terbentuk dari bagian pangkal eksplan bekas potongan eksplan dari tanaman induk.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Doods dan Roberts (1985) bahwa kalus
terbentuk sebagai hasil pelukaan dan terbentuk pada bagian potongan batang atau
akar. Abbas (2011) mengemukakan bahwa kalus merupakan jaringan yang tidak
terorganisasi dan aktif membelah dan biasanya dihasilkan oleh luka atau kultur
jaringan. Pada percobaan ini warna kalus bervariasi mulai dari kuning bening
sampai kehijauan dengan struktur remah. Gambar 5 menunjukkan penampakan
kalus pada 2 MST.

Gambar 5 Kalus tanaman nilam pada 2 MST

10
Setelah beberapa hari membentuk kalus tunas adventif muncul dari kalus.
Hasil serupa didapatkan oleh Misra (1996) yang mengkulturkan daun tanaman
nilam pada media MS dengan penambahan 2 mg/L NAA dan 0.5 mg/L BAP.
Respon yang ditimbulkan adalah pengkalusan selama 2-4 minggu pertama dengan
warna kalus putih sampai kehijauan dan struktur kalus remah dan seperti spons.
Setelah kalus dipindahkan pada media sama untuk pertumbuhannya, struktur
nodular dan struktur seperti tunas pucuk muncul setelah dua minggu.
Pada sebagian besar eksplan tunas adventif muncul dengan sangat banyak
dan rapat seperti terlihat pada Gambar 6A. Keadaan tersebut menyebabkan jumlah
tunas adventif sulit dihitung. Oleh karena itu, untuk memudahkan pengamatan
jumlah tunas adventif dibuat kriteria pengamatan yaitu setidaknya sudah terdapat
dua daun membuka sempurna. Contoh eksplan yang memiliki tunas adventif yang
telah dapat dihitung dapat dilihat pada Gambar 6B.

A

B

Gambar 6 Keadaan tunas adventif tanaman nilam (A) tunas sulit dihitung dan (B)
Gambar 6 tunas
Keadaan
tunas
adventif
tanaman nilam (A) Sulit dihitung dan (B) Mulai
mulai
dapat
dihitung
Pada percobaan 1 bagian pertama setelah 8 MST sebanyak 48% eksplan
percobaan menghasilkan kalus, 8% eksplan tumbuh normal tanpa kalus, 8%
eksplan mati dan 36% eksplan terkontaminasi setelah 8 MST. Sejumlah 83.33%
dari keseluruhan kalus yang terbentuk menumbuhkan tunas adventif. Tabel 1
menunjukkan keadaan umum pertanaman dari awal tanam sampai 8 MST.
Tabel 1 Keadaan umum pertanaman pada perbanyakan tunas dan buku klon
tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma (30 gray) pada beberapa
konsentrasi BAP
Umur tanaman
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST

Kontaminasi
(%)
14
18
18
24
28
32
36
36

Kematian
(%)
0
0
0
0
0
8
8
8

Berkalus (%)
30
32
66
66
64
52
48
48

Kalus
bertunas (%)
0
0
3.03
39.39
59.34
76.92
83.33
83.33

Pada percobaan 1 bagian kedua dilakukan penambahan 0.1 mg/L IAA
pada setiap komposisi media yang digunakan. Setelah penanaman selama 8 MST
sebanyak 64% eksplan percobaan menghasilkan kalus dengan 100% dari kalus
tersebut membentuk tunas adventif. Tidak ditemukan adanya eksplan mati atau
tidak berkalus. Kontaminasi cendawan terjadi pada percobaan ini dengan

11
persentase sebesar 36%. Tabel 2 menunjukkan keadaan pertanaman setiap minggu
dari awal sampai dengan akhir penanaman pada percobaan satu bagian dua.
Tabel 2 Keadaan umum pertanaman pada perbanyakan tunas dan buku klon
tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma (30 gray) pada beberapa
konsentrasi BAP dengan penambahan 0.1 mg/L IAA
Umur tanaman
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST

Kontaminasi
(%)
10
14
16
18
18
28
36
36

Kematian
(%)
0
0
0
0
0
0
0
0

Berkalus (%)
60
72
84
82
82
72
64
64

Kalus
bertunas (%)
0
8.33
23.81
65.85
87.80
97.22
96.88
100

Baik pada percobaan satu bagian pertama maupun baguan kedua eksplan
mulai berkalus pada awal penanaman (1-3 MST) sehingga persentase
pembentukan kalus maksimal pada 3 MST. Pada minggu selanjutnya persentase
tersebut menurun karena jumlah eksplan berkalus tetap sementara kontaminasi
terus meningkat. Seluruh kontaminasi yang terjadi pada pertanaman disebabkan
oleh cendawan seperti ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Kontaminasi cendawan pada pertanaman nilam
Percobaan 2 merupakan percobaan pemanjangan dan pengakaran pucuk
nilam untuk menghasilkan planlet yang siap diaklimatisasi. Pada percobaan
tersebut dilakukan perlakuan konsentrasi media yang berbeda untuk melihat
adanya peluang efisiensi bahan kimia. Oleh sebab itu pada percobaan ini tiga
konsentrasi media MS (MS, ½ MS dan ¼ MS) digunakan untuk melihat
kemampuan tumbuh pucuk nilam klon hasil iradiasi 30 gray dan klon kontrol
(tanpa radiasi).
Media MS tanpa ZPT memang seringkali digunakan untuk peninggian dan
pengakaran tunas nilam, antara lain oleh Santos et al. (2010) yang menggunakan
MS konsentrasi penuhdan Swamy et al. (2010) yang menggunakan ½ MS.
Berdasarkan pengamatan visual pada percobaan pertama juga ditemukan bahwa
dosis BAP 0 (tanpa ZPT) dengan eksplan pucuk menghasilkan tanaman yang
tumbuh besar tanpa kalus dan berakar baik.

12
Setelah delapan minggu penanaman eksplan pucuk memanjang dan
bertambah vigornya tanpa disertai perubahan keragaan. Pertumbuhan yang terjadi
pada pucuk adalah inisiasi dan penambahan jumlah akar, penambahan tinggi
tanaman dan penambahan jumlah daun. Kontaminasi cendawan juga terjadi pada
percobaan 2 dengan persentase sebesar 14.81% setelah 8 MST.
Pengaruh ZPT Terhadap Perbanyakan Tunas dan Buku Klon Tanaman
Nilam Hasil Iradiasi Sinar Gamma
Tunas Adventif
Tunas adventif merupakan tunas yang terbentuk dari sumber lain selain
meristem (Yuwono 2006). Pada percobaan 1, tunas terbentuk dari kalus tidak
lama setelah kalus terbentuk dari eksplan, baik pada percobaan bagian pertama
maupun bagian kedua.
Data jumlah tunas adventif yang yang terbentuk pada percobaan 1 bagian
pertama diuji dengan sidik ragam (uji F) yang ditampilkan dalam Tabel 3. Tabel 3
menunjukkan bahwa pada percobaan ini jenis eksplan memberikan pengaruh
nyata pada jumlah tunas adventif pada 5-8 MST dan konsentrasi BAP
memberikan pengaruh nyata pada jumlah tunas adventif tersebut pada 4-8 MST.
Sementara itu, tidak terdapat interaksi antara jenis eksplan dan konsentrasi BAP
yang mempengaruhi peubah jumlah tunas adventif.
Tabel 3 Rekapitulasi sidik ragam jumlah tunas adventif pada perbanyakan tunas
dan buku klon tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma (30 gray) pada
beberapa konsentrasi BAP
Minggu
1
2
3
4
5
6
7
8

Jenis eksplan
tn
tn
**
*
*
*

Konsentrasi BAP
tn
**
*
**
**
**

Interaksi
tn
tn
tn
tn
tn
tn

Keterangan : -: tidak dilakukan pengolahan data, tn: tidak berpengaruh nyata pada uji F taraf 5%, *:
berpengaruh nyata pada uji F taraf 5%, **: berpengaruh sangat nyata pada uji F taraf 5%

Jumlah tunas adventif pada percobaan 1 bagian pertama disajikan pada
Gambar 8. Gambar 8A menunjukkan jumlah tunas pada masing-masing
konsentrasi BAP sementara Gambar 8B menunjukkan jumlah tunas pada masingmasing jenis eksplan yang digunakan.
Gambar 8A menunjukkan bahwa rata-rata jumlah tunas adventif
bertambah seiring meningkatnya konsentrasi BAP dari 0 sampai 0.5 mg/L pada 8
MST. Rata-rata jumlah tunas adventif tertinggi (25.7 tunas) terdapat pada media
dengan penambahan 0.5 mg/L BAP, lebih tinggi daripada keempat konsentrasi
lain. Hal tersebut berarti konsentrasi BAP yang paling efektif dalam
menumbuhkan tunas adventif klon tanaman nilam adalah 0.5 mg/L.
Gambar 8B menunjukkan bahwa jumlah tunas yang diinduksi dari eksplan
buku lebih banyak daripada jumlah tunas yang diinduksi dari eksplan pucuk. Pada
8 MST jumlah tunas yang diinduksi dari eksplan buku (12.2 tunas) lebih tinggi

13
daripada jumlah tunas yang diinduksi dari eksplan pucuk (6.2 tunas). Hal ini
terjadi karena pada eksplan buku pelukaan eksplan terjadi pada bagian atas dan
bawah eksplan, lebih banyak daripada pelukaan yang terjadi pada eksplan tunas
yang hanya terjadi pada bagian bawah eksplan. Akibatnya eksplan buku
menginduksi kalus dan tunas adventif lebih banyak daripada eksplan tunas.
A

B

Keterangan : Data yang diikuti dengan huruf kecil yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji lanjut DMRT taraf 5%

Gambar 8 Rata-rata jumlah tunas adventif klon tanaman nilam hasil iradiasi sinar
gamma 30 gray pada (A) konsentrasi BAP yang berbeda dan (B) jenis
eksplan yang berbeda
Penambahan BAP pada media dilakukan untuk menginduksi kalus dan
tunas adventif nilam. Hembrom et al. (2006) menggunakan 0-13.31 µM BAP
untuk mengkulturkan tanaman nilam jawa (P. heyneatus Benth.). Dosis optimal
BAP didapatkan pada 22.22 µM, menyebabkan 80% eksplan menghasilkan tunas
adventif dengan jumlah tunas rata-rata 17.1. Swamy et al. (2010) menggunakan
BAP dengan konsentrasi 0, 0.25, 0.5, 1.0 dan 2.0 mg/L untuk perbanyakan
tanaman nilam. Jumlah tunas adventif yang tinggi per eksplan, yaitu 45.56 tunas,
didapatkan pada konsetrasi BAP 0.5 mg/L. Sementara itu media dengan
konsentrasi BAP 2 mg/L tidak menghasilkan tunas adventif karena seluruh
eksplan membentuk kalus.
Pada percobaan ini konsentrasi BAP 0.7 mg/L tidak menghasilkan tunas
adventif sampai dengan 8 MST pada kedua jenis eksplan yang digunakan
(Gambar 8A). Penambahan 0.7 mg/L BAP pada media MS menyebabkan

14
keseluruhan eksplan membentuk kalus yang tidak berdiferensiasi menjadi tunas
adventif. Kemungkinan besar hal tersebut dikarenakan konsentrasi BAP tersebut
terlalu tinggi untuk perbanyakan in vitro tanaman nilam. Adapun kondisi
pertanaman pada masing-masing perlakuan pada 8 MST ditampilkan pada
Gambar 9.

Gambar 9 Pertumbuhan buku dan pucuk klon nilam hasil iradiasi sinar gamma 30
gray pada berbagai konsentrasi BAP : A (0 mg/L, buku), B (0.1 mg/L,
buku), C (0.3 mg/L, buku), D (0.5 mg/L, buku), E (0.7 mg/L, buku), F
(0 mg/L, pucuk), G (0.1 mg/L, pucuk), H (0.3 mg/L, pucuk), I (0.5
mg/L, pucuk) dan J (0.7 mg/L, pucuk)
Hasil sidik ragam terhadap data jumlah tunas adventif yang terbentuk pada
percobaan 1 bagian kedua ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa
jenis eksplan berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas adventif pada 3-6 MST.
Konsentrasi BAP dan interaksi antara konsentrasi BAP dan jenis eksplan tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tunas adventif selama penanaman.
Tabel 4 Rekapitulasi sidik ragam jumlah tunas adventif pada perbanyakan tunas
dan buku klon tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma (30 gray) pada
beberapa konsentrasi BAP dengan penambahan 0.1 mg/L IAA
Minggu

Jenis eksplan

Konsentrasi BAP

Interaksi

1
2
3
4
5
6
7
8

tn
**
**
**
**
tn
tn

tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn

tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn

Keterangan : -: tidak dilakukan pengujian data; tn: tidak berpengaruh nyata pada uji F taraf 5%, **:
berpengaruh sangat nyata pada uji F taraf 5%

Rata-rata jumlah tunas adventif selama penanaman dapat dilihat pada
Gambar 10. Gambar 10A menunjukkan jumlah tunas berdasarkan konsentrasi

15
BAP sementara Gambar 10B menunjukkan jumlah tunas berdasarkan jenis
eksplan.
A

B

Gambar 10 Rata-rata jumlah tunas adventif klon tanaman nilam hasil iradiasi sinar
gamma 30 gray pada (A) konsentrasi BAP yang berbeda dengan
penambahan 0.1 mg/L IAA dan (B) jenis eksplan yang berbeda
Gambar 10 A menunjukkan jumlah tunas adventif tidak berbeda nyata
antar konsentrasi BAP dengan penambahan 0.1 mg/L IAA sampai akhir
penanaman. Pada 8 MST jumlah rata-rata tunas adventif yang terbentuk berkisar
dari 5.1 tunas (media MS + 0.1 mg/L BAP) sampai dengan 23.5 tunas (media MS
+ 0.3 mg/L BAP).
Gambar 10B menunjukkan jumlah tunas adventif berbeda nyata pada 4
MST sampai dengan 6 MST pada masing-masing jenis eksplan yang digunakan.
Pada 6 MST terlihat bahwa jumlah tunas yang diinduksikan dari eksplan buku
(16.8 tunas) lebih banyak daripada yang diinduksikan dari eksplan pucuk (5.8
tunas). Pada akhir penanaman tidak terdapat perbedaan nyata pada jumlah tunas
yang dihasilkan dari setiap perlakuan jenis eksplan. Rata-rata sejumlah 11.7 tunas
diinduksikan dari eksplan pucuk dan 19.3 tunas diinduksikan dari eksplan buku.
Menurut Evans et al. (2004) pada kultur jaringan auksin digunakan
bersamaan dengan sitokinin untuk mengontrol diferensiasi dan morfogenesis.
Pada percobaan ini penambahan 0.1 mg/L IAA menjadikan seluruh perlakuan
dapat menghasilkan kalus dan tunas adventif. Adapun keadaan pertanaman pada 8
MST dapat dilihat pada Gambar 11.

16

Gambar 11 Pertumbuhan buku dan pucuk klon nilam hasil iradiasi sinar
gamma 30 gray pada berbagai konsentrasi BAP dengan
penambahan 0.1 mg/L IAA: A (0 mg/L, buku), B (0.1 mg/L,
buku), C (0.3 mg/L, buku), D (0.5 mg/L, buku), E (0.7 mg/L,
buku), F (0 mg/L, pucuk), G (0.1 mg/L, pucuk), H (0.3 mg/L,
pucuk), I (0.5 mg/L, pucuk) dan J (0.7 mg/L, pucuk)
Jumlah tunas adventif yang terbentuk pada masing-masing kombinasi
perlakuan pada percobaan 1 bagian pertama dan bagian kedua ditampilkan pada
Tabel 5.
Tabel 5 Rata-rata jumlah tunas adventif pada setiap kombinasi perlakuan dengan
dan tanpa penambahan 0.1 mg/L IAA
Kombinasi jenis eksplan dan mg/L
konsentrasi BAP
Buku + BAP 0
Buku + BAP 0.1
Buku + BAP 0.3
Buku + BAP 0.5
Buku + BAP 0.7
Pucuk + BAP 0
Pucuk + BAP 0.1
Pucuk + BAP 0.3
Pucuk + BAP 0.5
Pucuk + BAP 0.7

Jumlah tunas adventif pada penambahan
IAA
0 mg/L
0.1 mg/L
7.5 ±
6.4
16.8 ± 10.8
10.7 ±
7.4
7.7 ±
6.4
17.2 ±
8.9
33.4 ± 17.0
25.8 ± 16.4
18.4 ± 10.4
0.0 ±
0.0
20.3 ± 19.0
0.8 ±
1.5
18.0 ± 12.7
0.5 ±
0.7
2.5 ±
2.1
4.0 ±
13.5 ±
0.7
25.7 ±
4.0
16.0 ±
0.0 ±
8.3 ±
9.3

Keterangan : - : tidak ada standar deviasi karena merupakan data tunggal

Tabel 5 menunjukkan bahwa pada perlakuan tanpa IAA konsentrasi BAP
tinggi (0.7 mg/L) tidak dapat menginduksi tunas, baik pada eksplan buku maupun
pucuk. Penambahan 0.1 mg/L IAA pada perlakuan-perlakuan tersebut
menyebabkan konsentrasi BAP tinggi menghasilkan tunas. Pada penelitian ini
kemungkinan penambahan auksin membentuk keseimbangan baru antara auksin
sitokinin pada eksplan sehingga tunas adventif dapat terbentuk. Selain

17
meningkatkan frekuensi pembentukan tunas, penambahan 0.1 mg/L IAA juga
menyebabkan jumlah tunas adventif pada sebagian besar perlakuan cenderung
lebih banyak. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Acquaah (2004) bahwa
sitokinin sangat berguna pada kultur jaringan dan menjadi lebih efektif jika
ditambahkan IAA.
Pengaruh Konsentrasi Media MS Terhadap Pemanjangan Pucuk Klon
Tanaman Nilam Hasil Iradiasi Sinar Gamma
Saat Inisiasi dan Jumlah Akar
Akar adalah organ multiselular yang menambatkan tumbuhan,
mengabsorpsi mineral dan air, dan seringkali menyimpan karbohidrat (Campbell
et al. 2008). Pembentukan akar yang baik merupakan indikator suatu tanaman
dapat menyerap hara dengan baik.
Pengamatan terhadap saat inisiasi akar dilakukan setiap hari sampai akar
terlihat pada masing-masing satuan percobaan. Hasil sidik ragam (uji F)
menunjukkan bahwa konsentrasi media MS, jenis klon tanaman dan interaksi
keduanya tidak memberikan pengaruh nyata pada waktu inisiasi akar pucuk
tanaman nilam. Adapun rata-rata waktu saat inisiasi akar pada setiap perlakuan
dijabarkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Rata-rata saat inisiasi akar klon tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma 30
gray dan kontrol pada tiga konsentrasi media MS
Klon
Kontrol
Iradiasi (30 gray)
Rata-rata

¼ MS
10.00
9.83
9.92

Waktu inisiasi akar (hari)
½ MS
MS
6.92
7.08
7.64
7.56
7.28
7.32

Rata-rata
8.00
8.34

Melalui Tabel 6 diketahui bahwa akar terbentuk sekitar tujuh sampai
sepuluh hari setelah penanaman dilakukan. Hal ini sesuai dengan penelitian Paul
et al. (2010) yang menyebutkan bahwa akar tanaman nilam terinduksi setelah satu
minggu pada media induksi akar.
Pada percobaan 2 persentase keberhasilan pengakaran adalah 100%.
Pengamatan terhadap jumlah akar dilakukan sejak saat inisiasi akar sampai
dengan 8 MST. Terhadap data jumlah akar yang terkumpul selama 8 MST
dilakukan sidik ragam yang dirangkum pada Tabel 7.
Tabel 7 Rekapitulasi sidik ragam saat inisiasi akar klon tanaman nilam hasil
iradiasi sinar gamma 30 gray dan kontrol pada tiga konsentrasi media MS
MST
1
2
3
4
5
6
7
8

Konsentrasi MS
*
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn

Keterangan : * pengaruh nyata pada uji F taraf 5%

Jenis klon
tn
*
*
tn
tn
tn
tn
tn

Interaksi
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn

18
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa konsentrasi media MS berpengaruh
nyata pada 1 MST terhadap jumlah akar. Jenis klon berpengaruh nyata pada 2 dan
3 MST terhadap jumlah akar. Interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata
terhadap jumlah akar selama delapan minggu penanaman.
Secara visual akar nilam awalnya muncul satu persatu dan berwarna putih
kemudian tumbuh menjadi lebih banyak, lebih tebal dan berwarna lebih gelap.
Keadaan akar tanaman nilam pada 3, 5 dan 8 MST dapat dilihat pada Gambar 12 .

A

B

C

Gambar 12 Akar tanaman nilam (A) 3 MST (B) 5 MST dan (C) 8 MST
Rata-rata jumlah akar klon tanaman nilam yang tidak berbeda nyata antar
Rata-rata jumlah akar klon tanaman nilam selama penanaman ditampilkan
pada Gambar 13. Gambar 13A menunjukkan jumlah akar berdasarkan konsentrasi
media MS. Gambar 13B menunjukkan jumlah akar berdasarkan jenis klon.
A

B

Keterangan : Data yang diikuti dengan huruf kecil yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji lanjut DMRT taraf 5%

Gambar 13 Rata-rata jumlah akar klon tanaman nilam berdasarkan (A) konsentrasi
media MS yang berbeda dan (B) jenis klon yang berbeda

19
Akar tanaman nilam tumbuh dengan baik pada konsentrasi media ¼ MS
sampai dengan konsentrasi penuh. Gambar 13A menunjukkan bahwa berdasarkan
konsentrasi MS yang digunakan jumlah akar berkisar dari 19.1 pada media MS
penuh sampai 22.5 pada media ½ MS pada akhir penanaman.
Sementara itu Gambar 13B menunjukkan bahwa pada awalnya jenis klon
mempengaruhi kemampuan pembentukan akar klon tanaman nilam. Pada 2 MST
rata-rata jumlah akar klon kontrol (7.3) lebih tinggi dibandingkan dengan klon
hasil iradiasi (5.3). Akan tetapi pada minggu-minggu setelahnya jumlah akar
tanaman nilam antar jenis klon tidak berbeda nyata. Pada akhir penanaman jumlah
akar rata-rata berkisar dari 20.4 pada klon hasil iradiasi 30 gray sampai 21.5 pada
klon kontrol.
Rata-rata jumlah akar klon tanaman nilam yang tidak berbeda nyata antar
perlakuan menunjukkan bahwa media ¼ MS sudah dapat mencukupi kebutuhan
hara untuk membentuk jumlah akar yang cukup selama delapan minggu, baik
pada tanaman 0 maupun 30 gray.
Penam