Conflict management of fishesries utilization in Pelabuhan Ratu

PENGELOLAAN KONFLIK PERIKANAN TANGKAP
DI PELABUHAN RATU

MUHAMMAD NURAMIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Konflik Perikanan
Tangkap Di Pelabuhan Ratu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
dibagian akhir tesis ini.

Bogor, 20 Agustus 2013


Muhamnad Nuramin
NIM C451090101

RINGKASAN
MUHAMMAD NURAMIN. Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Di Pelabuhan
Ratu. Dibimbing oleh SULAEMAN MARTASUGANDA dan EKO SRIWIYONO.

Kata kunci:

SUMMARY
MUHAMMAD NURAMIN. Conflict Management Of Fishesries Utilization In
Pelabuhan Ratu. Supervised by SULAEMAN MARTASUGANDA and EKO
SRIWIYONO.

Thesis of Conflict management of fisheries utilization in Pelabuhan Ratu consist
any key of study such as: Conflict Indentification among fisheries utilization, Institution
development of fisheries utilization, and recommendation of Conflict management of
fisheries utilization in Pelabuhan Ratu. Conflict Indentification among fisheries
utilization hits three important part such as:type oc conflict, position,will, and need

among fisheries utilization stake holders, and cause of conflict. Study about Institution
development of fisheries utilization hist the two important aspect such as: Confloct
resolution and fisheries utilization institusion role maping. Finally, the recommendations
of Conflict management of fisheries utilization in Pelabuhan Ratu are: Human touch for
the elements of conflict management of fisheries utilization in Pelabuhan Ratu, Sinergy
among elements of conflict management of fisheries utilization in Pelabuhan Ratu, and
last, Law, Norm, and Value building and monitoring among all element of conflict
management of fisheries utilization in Pelabuhan Ratu
Key word: Fishesries Utilization, Pelabuhan Ratu.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PENGELOLAAN KONFLIK PERIKANAN TANGKAP
DI PELABUHAN RATU

MUHAMMAD NURAMIN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Mulyono Baskoro

Judul Tesis
Nama

NIM

: Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Di Pelabuhan Ratu
: Muhammad Nuramin
: C451090101

Disetujui
Komisi Pembimbing

aeman Martasuganda
Ketua

Dr. Eko Sriwiyono
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi
Teknologi Perikanan Tangkap

Prof. Dr. Mulyono Baskoro


Tanggal Ujian: 02 Februari 2013

Tanggal Lulus:

'"j

Judul Tesis
Nama
NIM

: Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Di Pelabuhan Ratu
: Muhammad Nuramin
: C451090101

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Sulaeman Martasuganda
Ketua


Dr. Eko Sriwiyono
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi
Teknologi Perikanan Tangkap

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Mulyono Baskoro

Dr. Dahrul Syah, MSc.Agr.

Tanggal Ujian: 02 Februari 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karuniaNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian berjudul “Pengelolaan Konflik
Perikanan Tangkap Di Pelabuhan Ratu ”.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya penulis sampaikan
kepada Dr. Sulaeman Martasuganda dan Dr. Eko Sriwiyono sebagai komisi
pembimbing, atas bimbingan, saran dan masukan selama penyelesaian penelitian
ini; kepada Prof. Dr. Mulyono Baskoro selaku dosen penguji luar komisi yang
telah memberikan saran, masukkan pada penulisan hasil penelitian ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Sawiyah, bapak dan
ibu Suparto, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ucapan
terima kasih dan penghargaan yang setulusnya penulis sampaikan kepada Istri
tercinta Damayanti MSi dan ananda tercinta Sri Koesoemaning Nagari atas
kesabaran dan ketabahannya dalam mendampingi, memberi motivasi dan inspirasi
selama penulis menyelesaikan penelitian. Kepada semua pihak yang tidak bisa
penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu selama penelitian diucapkan
terima kasih.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Bogor, Agustus 2013
Muhammad Nuramin


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup
II. TINJAUAN PUSTAKA
Teori Manajemen
Kelembagaan Perikanan Tangkap
Prinsip Dasar konflik
Tipologi konflik perikanan
Resolusi konflik
Manajemen Konflik Sumberdaya Perikanan
Keadaan Umum Pelabuhan Ratu
III. BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Tahapan Penelitian
Jenis dan Sumber Data

Metode Pengumpulan Data
Data Primer
Data Sekunder
Analisis Data
Identifikasi Konflik
Pemetaaan Resolusi Konflik
Manajemen Konflik
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Konflik Perikanan Tangkap di Pelabuhan Ratu
Identifikasi Kebutuhan, Kepentingan, dan Posisi Pelaku Konflik
Sumber konflik
Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Konflik
Pemetaan Peran Institusi Penyelesaian Konflik
Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap di Pelabuhan Ratu
Pemuliaan Pengelola Sumberdaya Perikanan; Pendekatan
Partisipatif
Sinergitas Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Pranata Pengendalian Konflik
V. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

1
1
3
5
6
7
7
7
9
12
14
18
21
23
23
23

23
24
24
24
25
25
25
26
27
27
28
33
34
34
41
41
42
42
44
44
44
45
46

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.

Tipologi konflik perikanan (Charles)
Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik
Jenis Konflik yang Terjadi di Pelabuhan Ratu
Sumber konflik perikanan tangkap di Pelabuhan Ratu

12
17
27
33

DAFTAR GAMBAR
1.
2.

Diagram Prinsip Manajemen Konflik
Prinsip
dasar
Pengelolaan
Konflik
Perikanan
Tangkap
di Pelabuhan Ratu
3. Kondisi optimal resolusi konlik melalui proses negoisasi (Creigton dan
Priscoli 2001)
4. Konflik “kebutuhan-kepentingan-posisi”pada kasus bagan apung
5. Konflik “kebutuhan-kepentingan-posisi”pada kasus pengguna bom
6. Konflik yang menggambarkan perbedaan kebutuhan-kepentinganposisi pada kasus bagan apung
7. Konflik “kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus purse seine
8. Konflik “kebutuhan-kepentingan-posisi”pada kasus rumpon
9 Konflik“kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus bakul dan tengkulak
10 Konflik “kebutuhan-kepentingan-posisi” antara nelayan dengan
pemerintah
11 Upaya penyelesaian konflik perikanan tangkap di Pelabuhan Ratu
12 Peta institusi dalam konflik dan penyelesaian pada kasus bagan apung
13 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaianya pada
kasus penggunaan bom
14 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada
kasus daerah penangkapan ikan
15 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaianya pada
kasus purse seine
16 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaian pada rumpon
17 Peta institusi yang terlibat dalam konflik antara bakul dengan tengkulak
18 Peta institusi yang terlibat dalam konflik antara bakul dengan tengkulak

5
6
15
28
29
30
30
31
32
32
34
35
36
37
38
39
40
41

1
 

I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lebih dari satu dasawarsa, pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
Indonesia dalam sebuah kendali kementerian kelautan dan perikanan belum
menunjukkan kecenderungan perkembangan yang signifikan. Hal tersebut terlihat
dari beberapa indikasi sebagai berikut:
1. Keterpurukan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan
yang terlihat dari rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan, ketimpangan
sosial ekonomi antara nelayan dengan pengusaha perikanan tangkap,
tingginya praktik patron-klien dalam usaha perikanan, serta rendahnya
kepercayaan untuk investasi di bidang perikanan.
2. Degradasi serius sumberdaya alam dan lingkungan kelautan dan
perikanan yang tercermin dalam keadaan jenuh tangkap di beberapa
daerah penangkapan, kerusakan lingkungan, serta rendahnya recovery
sumberdaya kelautan dan perikanan.
3. Tingginya tingkat illegal, unreportred, dan unregullated fisheries.
4. Lemahnya paradigma kelautan dan perikanan sebagai karakter utama
bangsa serta prime mover perekonomian Indonesia, yang tercermin dari
alokasi dan konsentrasi pembangunan yang masih relatif rendah untuk
sektor kelautan dan perikanan.
Menurut data yang dipublikasikan FAO pada tahun 2008, 110 juta jiwa
penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Empat puluh
persen (40%) dari angka tersebut adalah masyarakat nelayan. Artinya terdapat
sekitar 44 juta nelayan Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Proporsi
nelayan miskin (buruh) dengan pengusaha perikanan tangkap Indonesia adalah
90% dibanding 10%. Dalam hal ini dapat kita simpulkan adanya keterpurukan dan
ketimpangan sosial ekonomi masyarakat nelayan Indonesia sangat tinggi.
Berdasarkan publikasi Biro Pusat Statistik Indonesia tahun 2008, secara
makro ekonomi, kontribusi sektor perikanan tangkap terhadap PDB negara hanya
sebesar 3% tiap tahun dari total sumber pendapatan kotor negara (PDB). Angka
ini termasuk angka paling kecil diantara sumber-sumber pendapatan negara
berbasis sumberdaya alam lainnya. Fenomena ini tentunya sangat ironis
mengingat tingginya potensi perikanan tangkap Indonesia.
Potensi-potensi tersebut antara lain: Indonesia mempunyai wilayah perairan
sebesar 5,8 juta km2, yang terdiri dari 0,3 juta km2 laut teritorial; 2,8 juta km2
perairan nusantara dan 2,7 km2 zona ekonomi ekslusif. Sekitar 70 % wilayah
Indonesia berupa laut dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 dan garis pantai
sepanjang 81.000 km. Potensi sumber daya ikan (SDI) laut diperkirakan sebesar
6,26 juta ton/tahun yang terdiri dari potensi wilayah perairan Indonesia sekitar
4,40 juta ton/tahun dan wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) sekitar
1,86 juta ton/tahun. Hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan pada
tahun 2001, potensi SDI di wilayah perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,40
juta ton per tahun, dengan rincian 5,14 juta ton per tahun berasal dari perairan
teritorial dan 1,26 juta ton pertahun berasal dari ZEEI.


 

Jumlah investasi di sektor perikanan tangkap di Indonesia baik dari dalam
maupun luar negeri relatif masih rendah. Berdasarkan data dari BPS tahun 2008,
jumlah investasi pada sektor perikanan tangkap di Indonesia sebesar 200 milliar
rupiah sedangkan total Investasi di Indonesia mencapai angka 20 triliun rupiah.
Hal ini berarti proporsi investasi perikanan tangkap di Indonesia dibanding
dengan total investasi di Indonesia sebasar 1 persen. Hal ini secara tegas
menunjukkan begitu rendahnya kepercayaan dan ketertarikan investor baik dari
dalam maupun luar negeri pada sektor perikanan tangkap di Indonesia. Angka
tersebut sangat jauh bila dibandingkan dengan investasi sektor perikanan tangkap
negara-negara seperti: Jepang yang mencapai angka 20 %, Thailand 18 %,
Filipina 12 %, bahkan Malaysia yang mencapai 10 %.
Penyebab buruknya iklim investasi sektor perikanan tangkap di Indonesia
antara lain: faktor demografis kenelayanan, faktor kerumitan dan ketidakpastian
birokrasi, ketidakjelasan payung hukum serta penegakan hukum, masalah
keamanan, serta iklim strategi perekonomian nasional yang masih belum
berwawasan bahari. Beberapa alasan tadi adalah pekerjaan berat pemerintah
dalam mengelola sektor kelautan dan perikanan Indonesia.
Laju degradasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan cukup
mengkhawatirkan. Dari sembilan daerah penangkapan di perairan Indonesia,
setidaknya tiga diantaranya sudah jenuh tangkap. Daerah penangkapan tersebut
antara lain: Selat Malaka, Laut Jawa, dan Laut Sulawesi. Degradasi sumberdaya
setidaknya terlihat dari beberapa indikasi antara lain: penurunan jumlah hasil
tangkapan, penurunan ukuran hasil tangkapan, mulai jauhnya lokasi penangkapan,
serta mulai rusaknya habitat. Berdasarkan publikasi Departemen Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia, tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan
di laut mencapai 4,069 juta ton, dan angka ini cenderung meningkat dari tahun ke
tahun. Tingkat Pemanfaatan SDI di Indonesia telah mencapai 63,49 % dari
potensi lestari sebesar 6,409 juta ton pertahun atau 79,37 % dari JTB sebesar
5,127 juta juta ton pertahun.
Illegal, unreported, dan unregullated fishing merupakan salah satu masalah
utama pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di Indonesia. Menurut
Nikijuluw tahun 2005, kerugian negara akibat praktik illegal, unreported, dan
unregullated fishing mencapai 2 miliar dollar setiap tahun, atau sebesar 20 triliun
setiap tahun. Tujuh triliun dari angka tersebut disumbangkan oleh tidak rapinya
pengelolaan perizinan usaha penangkapan ikan yang disertai potensi adanya
penyuapan dalam pengurusan usaha penangkapan ikan. Sisanya, angka tersebut
disumbangkan oleh adanya praktik pencurian ikan oleh negara-negara lain.
Secara umum penyebab terjadinya praktik illegal, unreported, dan
unregullated fisheries antara lain: (1) rentang kendali dan luasnya daerah
pengawasan tidak sebanding dengan kemampuan pengawasan yang ada saat ini;
(2) terbatasnya kemampuan sarana dan armada pengawasan di laut; (3) lemahnya
kemampuan SDM nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha
bermental pemburu rente ekonomi atau broker; (4) masih lemahnya penegakkan
hukum; dan (5) lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum.
Paradigma pengelolaan perikanan selama ini memberikan access terhadap
munculnya berbagai macam ketimpangan dan permasalahan yang sangat serius
dalam upaya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Ketimpangan dan
permasalahan tersebut teraktualisasi dalam sebuah konflik yang muncul di

3
 

berbagai dimensi spasial dan temporal. Konflik tersebut sangat mengancam
keutuhan dan soliditas stake holders perikanan tangkap, sehingga berpeluang
besar menimbulkan kontraproduksi bagi upaya pengelolaan perikanan tangkap.
Konflik-konflik tersebut bisa bersifat institusional yang melibatkan pelakupelaku dalam perikanan tangkap maupun konflik spasial yang meliputi konflik
daerah penangkapan dan konflik otorita kewilayahan. Tentunya kita sering
menyimak kasus konflik yang terjadi akibat perebutan daerah penangkapan ikan
oleh nelayan di berbagai tempat di Indonesia. Kasus mengenai zonasi
penangkapan ikan antar daerah bahkan negara juga merupakan konflik yang lazim
terjadi. Contoh-contoh inilah yang dikategorikan sebagai konflik spasial.
Selain jenis konflik spasial konflik-konflik lain juga terjadi seperti kasus
pelarangan alat tangkap tertentu yang menjadi akses kepada munculnya konflik
antar nelayan maupun antara nelayan dengan pemerintah. Terdapat juga kasus
peraturan mengenai perizinan usaha perikanan yang ambigu dan manipulatif oleh
pemerintah kepada pengusaha perikanan tangkap. Selain itu konflik yang secara
klasik sering terjadi adalah konflik antara nelayan dengan pengusaha perikanan
dalam sebuah lingkup patron-klien. Konflik jenis ini terjadi hampir diseluruh
wilayah perikanan tangkap di Indonesia
Melihat paparan kerumitan dan banyaknya permasalahan di sektor kelautan
dan perikanan tersebut, sangat penting bagi setiap pihak yang terkait dan
bertanggungjawab dalam sektor ini memikirkan apa yang menjadi sumber utama
penyebab keadaan ini, dan bagaimana solusi sistematis dan komprehensif atas
semua permasalahan ini. Diharapkan dengan adanya solusi tersebut, era
kebangkitan kelautan dan perikanan Indonesia akan terwujud. Sebuah era dimana
kelautan dan perikanan Indonesia mampu berkontribusi signifikan terhadap
pencapaian kehidupan bangsa Indonesia yang berkualitas, berbudaya, dan
sejahtera.
Sebagai salah satu daerah perikanan tangkap penting di pantai selatan Jawa
Barat, Pelabuhan Ratu merupakan ruang contoh ideal dalam penelitian ini. Dalam
perkembangannya, pengelolaan perikanan tangkap di Pelabuhan Ratu tidak
terlepas dari adanya konflik. Konflik-konflik tersebut terutama terjadi dalam
lingkup institusional antara nelayan dengan nelayan, nelayan dengan pengusaha
perikanan, nelayan dengan tengkulak, nelayan dengan pemerintah, merupakan
dasar kajian yang strategis. Diharapkan, kajian sistematis mengenai manajemen
konflik di Pelabuhan Ratu mampu menjadi alternatif solusi sehingga upaya
pengelolaan perikanan tangkap di Pelabuhan Ratu pada khususnya dan
pengelolaan perikanan tangkap Indonesia pada umumnya akan lebih baik.
Perumusan Masalah
Secara filosofis, setiap entitas perikanan tangkap baik individu maupun sosial
selalu mempunyai kebutuhan. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut,
entitas mencoba membangun interaksi dengan lingkungannya (termasuk entitas
lain). Lingkungan, diharapkan mampu memenuhi segala kebutuhan entitas-entitas
tersebut. Permasalahannya, kapasitas lingkungan untuk memenuhi segala
kebutuhan tiap entitas tidak selamanya memadai. Sering kali lingkungan seolaholah terbatas dan tidak bisa memenuhi kepuasan atas pemenuhan kebutuhan tiap
entitas. Inilah yang penulis definisikan sebagai slack of need.


 

Slack of need tidak disebabkan oleh terbatasnya lingkungan. slack of need
disebabkan oleh ketidakbijakan entitas untuk mengukur kuantitas dan kualitas
kebutuhan mereka seimbang dengan kapasitas lingkungan. Sering kali mereka
memaksakan kapasitas lingkungan untuk senantiasa memenuhi kuantitas dan
kualitas kebutuhan mereka secara sempurna (kebutuhan fiktif). Kebutuhan fiktif
artinya kebutuhan yang hanya didasarkan pada takaran emosi bukan takaran
kebijaksanaan. Hal tersebut diperburuk dengan adanya kecenderungan entitas
untuk hanya memikirkan apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingannya saja.
Entitas pada umumnya tidak terlalu mempedulikan kebutuhan entitas lain, bahkan
cenderung untuk mengambil apa yang seharusnya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan entitas lain. Inilah yang menjadi prinsip dasar dasar lahirnya konflik.
Ketika entitas mencari pemenuh kebutuhan mereka, entitas mengalami satu
kondisi yang disebut interaksi. Interaksi tersebut meliputi interaksi dengan alam
(nature interaction), ataupun interaksi dengan entitas lain (social interaction).
Konsekuensi dari adanya interaksi adalah munculnya pranata. Pranata ini bisa
bersifat formal dalam bentuk hukum, maupun nonformal dalam bentuk custom,
keajegan, ataupun adat istiadat. Pada perjalannya, akibat dari kecenderungan
pengutamaan kebutuhan mereka saja, pranata tidak dijalankan secara konsisten
dan konsekuen. Banyak terjadi upaya manipulasi pranata hanya untuk
mengakomodasi kepentingan satu entitas saja. Hal ini juga menjadi akses
munculnya konflik.
Beberapa kasus konflik terjadi akibat tidak tegasnya suatu pranata sehingga
terjadi multi tafsir terhadap pranata. Bahkan ada juga yang tidak ada pranata
sama-sekali yang menjadi dasar pedoman interaksi karena pranata tersebut terlalu
kaku dan tidak mengikuti perkembangan dan perubahan. Beberapa kasus konflik
terjadi akibat tidak dinamisnya suatu pranata dalam mengakomodasi dinamika
alam dan sosial yang ada.
Kasus konflik yang lazim terjadi adalah akibat dari penegakan pranata yang
tidak konsisten. Entitas sering melanggar dan mengabaikan pranata yang ada.
Karena itulah penting sekali adanya upaya penegakan pranata melalui adanya
tindakan monitoring, controlling, dan punishing. Penegakan pranata memerlukan
lembaga yang mengawalnya. Lembaga pranata formal berupa kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan, maupun pemangku adat untuk pranata nonformal.
Ketika interaksi entitas dalam upaya pemenuhan kebutuhan didasari oleh
semangat kesadaran untuk juga menghargai kebutuhan entitas lain, didasari oleh
pranata yang jelas dan tegas, serta didasari oleh ketaan tiap entitas, maka konflik
bisa tereduksi secara optimum. Dalam bahasa logika, minimumnya jumlah konflik
adalah misi dari suatu interaksi. Jika konflik bisa diminimalisir, maka upaya
pemenuhan kesejahteraan bersama (common prosperity) sebagai visi interaksi
akan terwujud. Prinsip inilah yang menjadi keraka pemikiran penyusunan tesis.
Secara visual, aktualisasi dari prinsip ini terwujud dalam Gambar 1.

5
 

Lingkungan

Kapasitas
Entitas
Kebutuhan

Interaksi

Tidak selaras
Pranata

Ketimpangan
Kebutuhan

Selaras
Konflik

Kesetimbangan
kebutuhan

Keselarasan
Pranata

Manajemen
konflik

Harmoni dan Sinergi

Common Prosperity
Gambar 1 Diagram Prinsip Manajemen Konflik.
Tujuan
Tujuan penelitian dan penyusunan tesis ini adalah:
1) Mengidentifikasi konflik dalam kompleks perikanan tangkap di Pelabuhan
Ratu
2) Menyusun manajemen konflik perikanan tangkap di Pelabuhan Ratu
3) Merumuskan manajemen konflik perikanan tangkap berdasarkan hasil
kajian di Pelabuhan Ratu
Manfaat
Penelitian dan penyusunan tesis ini diharapkan mampu memberikan upaya
solutif terhadap upaya manajemen konflik dalam dunia perikanan tangkap,
sehingga progresitas pengelolaan sektor kelautan dan perikanan Indonesia mampu
mencapai tahap sinergis untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.


 

Ruang Lingkup Penelitian
Perkembangan Kasus konflik pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia
sangat sering terjadi. Konflik tersebut tidak mengenal wilayah, status sosial, umur,
peranan sosial, bahkan negara dan kewarganegaraan. Penulis menduga bahwa
setiap konflik mempunyai pola. Pola-pola setiap konflik akan selalu tertentu.
Setiap ketertentuan senantiasa bisa diprogramkan. Oleh karenanya setiap konflik
bisa dibahasakan dengan program (diprogramkan). Sebuah program analisis
konflik yang berlaku universal untuk setiap konflik dalam segala bidang. Program
inilah yang nantinya menjadi dasar bagi metode analisis konflik yang
dituju.sehingga perlu pengkajian program analisis konflik perikanan tangkap di
Pelabuhan Ratu sebagai permodelan dalam rangka mengatasi konflik perikanan
tangkap. Skenario penelitian dan penulisan tesis didasarkan pada prinsip yang
tersajikan pada gambar 2.
Identifikasi Kompleks Perikanan Tangkap di
Pelabuhan Ratu

Identifikasi kebutuhan dan Tupoksi Stake Holders
Kompleks Perikanan Tangkap di Pelabuhan Ratu

Analisis Pola Interaksi Stake Holders Kompleks Perikanan
Tangkap di Pelabuhan Ratu

Identifikasi Konflik Perikanan Tangkap di Pelabuhan Ratu

Formulasi Manajemen Konflik Perikanan Tangkap di Pelabuhan Ratu

Perumusan Pola Manajemen Konflik Perikanan Tangkap

Gambar 2 Prinsip dasar Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap
di Pelabuhan Ratu

7
 

II TINJAUAN PUSTAKA
Teori Manajemen
Manajemen merupakan metode yang ilmiah dan artisitik dalam
menjalankan suatu aktivitas meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, serta pengendalian, demi tercapainya tujuan entitas secara efektif,
efisien, dan optimum. Manajemen tidak terbatas dalam dalam lingkup entitas
bisnis. Manajemen bisa, dan seyogyanya diterapkan dalam setiap aktifitas yang
hendak dilaksanakan. Manajemen yang bagus, akan memberi peluang yang besar
bagi tercapainya tujuan yang diinginkan.
Sebagai satu kesatuan metodologi, ilmu manajemen memiliki beberapa
unsur yang merupakan satu kesatuan yang utuh, antara lain:
1. Adanya kelompok manusia, yaitu kelompok yang terdiri atas dua orang
atau lebih.
2. Adanya interaksi dari kelompok tersebut.
3. Adanya kegiatan proses/usaha atau kegiatan.
4. Adanya tujuan.
Secara struktural teori manajemen muncul mulai tahun 1886 oleh Frederick
W.Taylor dengan melakukan suatu percobaan time and motion study dengan
metode teori ban berjalan. Dari sini lahirlah konsep teori efisiensi dan
efektivitas. Manajemen mempunyai ciri-ciri sebagai berikut adanya kelompok
manusia, yaitu kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih, adanya kerjasama
dari kelompok tersebut, adanya kegiatan proses/ usaha dan adanya tujuan.
Mary Parker Follet mendefenisikan manajemen sebagai seni dalam
menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Defenisi ini rnengandung arti bahwa
para manajer untuk mencapai tujuan organisasi melalui pengaturan orang lain
untuk melaksanakan berbagai tugas yang mungkin dilakukan. Manajemen
memang bisa berarti seperti itu, tetapi bisa juga mempunyai pengertian lebih dari
pada itu. Sehingga dalam kenyataannya tidak ada defenisi yang digunakan secara
konsisten oleh semua orang.
Stoner mengemukakan suatu defenisi yang lebih kompleks yaitu manajemen
adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan,
usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumberdaya organisasi lainnya
agar rnencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Dari defenisi di atas terlihat
bahwa Stoner telah rnenggunakan kata "proses", bukan "seni". Mengartikan
manajernen sebagai "seni" mengandung arti bahwa hal itu adalah kemampuan atau
ketrampilan pribadi. Sedangkan suatu "proses" adalah cara sistematis untuk
rnelakukan pekerjaan. Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa manajemen
merupakan kerjasama dengan orang-orang untuk menentukan, menginterpretasikan
dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (actuating),
dan pengawasan (controlling).
Kelembagaan Perikanan Tangkap
Kelembagaan memiliki dua pengertian yaitu: kelembagaan sebagai salah
satu aturan main dalam interaksi inter personal. Dalam hal ini kelembagaan
diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis
maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya


 

menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya dan kelembagaan sebagai suatu
organisasi yang memiliki hirarki. Kelembagaan mengatur tiga hal pokok dalam
konteks eksploitasi sumberdaya yaitu: (1) pengaturan (2) pemanfaatan (3) transfer
serta distribusi sumberdaya. Agar dapat berfungsi dengan baik kelembagaan
haruslah mapan selama periode waktu tertentu yang ditujukan oleh dinamikanya
yang terus berlangsung berdampingan dengan teknologi dan pola kehidupan
bermasyarakat, sehingga interaksi kedua komponen tersebut mampu menciptakan
kelembagaan dengan kedua komponen tersebut mampu menciptakan teknologi
baru yang sustainable terhadap sumberdaya (Anwar 2000).
Koentjoroningrat(1974) menandaskan bahwa kelembagaan masyarakat
atau lembaga sosial disebut sebagai pranata sosial yang meliputi serangkaian
kegiatan tertentu, berpusat pada suatu kelakuan berpola mantap, bersama-sama
dengan sistem norma dan tata kelakuan serta peralatan fisiknya yang dipakai dan
juga partisipan. Lebih lanjut Koentjoroningrat (1979) membagi kelembagaan
kedalam delapan golongan sebagai berikut; (1) Kinship/Domestic Institutions:
memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan (2) Economic institution: memenuhi
pencarian hidup, memproduksi, menimbun, mendistribusikan harta benda (3)
Educational institution: memenuhi kebutuhan penerangan dari pendidikan
manusia agar menjadi anggota masyarakat yang berguna (4) Scientific institutions:
memenuhi kebutuhan ilmiah manusia dan menyelami alam semesta (5) Estetic
and recreational: memenuhi kebutuhan manusia menyatakan keindahan rekreasi
(6) Religious institution: memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan
dengan Tuhan dan alam gaib (7) Political institution: memenuhi kebutuhan
manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran atau
kehidupan bernegara (8) Somatic institution: memenuhi jasmaniah manusia.
Menurut Uphoff (1986) kelembagaan terdiri atas dua aspek, yakni: “aspek
kelembagaan” (aspek kultural) dan “aspek keorganisasian” (aspek structural).
Aspek kultural merupakan aspek dinamis yang berisikan hal-hal yang abstrak, dan
merupakan jiwa kelembagaan; yang berupa nilai, aturan, norma, kepercayaan,
moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain.
Sementara aspek structural merupakan aspek statis namun lebih visual yaitu
berupa struktur, peran, keanggotaan, hubungan antar peran, integrasi antar
bagaian, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek
solidaritas, klik, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain. Gabungan antara keduanya
akan membentuk “perilaku kelembagaan” atau “kinerja kelembagaan”.
Purwaka (2003) menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan tangkap terdapat berbagai kelembagaan pemerintah yang terlibat,
karena sifatnya yang multi sektoral dan multi dimensional. Kelembagaankelembagaan tersebut melakukan kegiatan sesuai dengan mandat hukum masingmasing tetapi belum terkoordinasi dengan baik, sehingga pembangunan yang
dilaksanakan bersifat parsial dan seringkali menimbulkan eksternalitas negatif
antara satu dengan lainnya. Kelembagaan kelautan dan perikanan akan kuat dan
tangguh, mantab dan tidak goyah apabila dalam pembangunan ada kejelasan
tujuan yang ingin dicapai, hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja
pembangunan kelautan dan perikanan, yang tercermin dalam tata kelembagaan
dan kerangka kerja kelembagaannya.
Kelembagaan kelautan dan perikanan di Indonesia meliputi kelembagaan
pemerintah, swasta, dan masyarakat, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten

9
 

maupun kota. Kelembagaan pemerintah berfungsi sebagai fasilitator, regulator
dan dinamisator dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Lembaga yang
bertanggung jawab atas pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah
Departemen Kelautan dengan seluruh jajarannya hingga tingkat pemerintah
terendah. Namun, keberadaannya juga memerlukan dukungan yang kuat dan baik
dari seluruh lembaga pemerintahan yang terkait, seperti: Departemen
Perhubungan, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen
Pertahanan dan Keamanan, Departemen Koperasi dan pengusaha kecil serta
Departemen Departemen terkait. Selain lembaga formal di pemerintahan, juga
terdapat beberapa lembaga formal seperti perkoperasian nelayan, nelayan dan
pengusaha perikanan seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), juga
memiliki peranan penting terhadap pembangunan perikanan laut secara
menyeluruh.
Prinsip Dasar konflik
Terjadinya konflik dalam setiap organisasi merupakan sesuatu hal yang
tidak dapat dihindarkan. Hal ini terjadi karena di satu sisi orang-orang yang
terlibat dalam organisasi mempunyai karakter, tujuan, visi, maupun gaya yang
berbeda-beda. Di sisi lain adanya saling ketergantungan antara satu dengan
yang lain yang menjadi karakter setiap organisasi. Tidak semua konflik
merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan dikendalikan dengan baik
dapat menguntungkan organisasi sebagai suatu kesatuan.
Penataan konflik dalam organisasi diperlukan keterbukaan, kesabaran serta
kesadaran semua fihak yang terlibat maupun yang berkepentingan dengan konflik
yang terjadi dalam organisasi. Konflik adalah pergesekan atau friksi yang
terekspresikan di antara dua pihak atau lebih, di mana masing-masing
mempersepsi adanya interferensi dari pihak lain, yang dianggap menghalangi
jalan untuk mencapai sasaran. Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang
terlibat mencium adanya ketidaksepakatan.
Para pakar ilmu perilaku organisasi, memang banyak yang memberikan
definisi tentang konflik. Robbins, salah seorang dari mereka merumuskan konflik
sebagai "sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang
untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk
hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam
usahanya mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi minatnya". Dengan
demikian yang dimaksud dengan konflik adalah proses pertikaian yang terjadi
sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya adalah salah satu
manifestasinya.
Konflik dapat diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih
anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena
mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau
menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau karena mereka mempunyai status,
tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda. Lebih jauh Robbins menulis bahwa
sebuah konflik harus dianggap sebagai "ada" oleh fihak-fihak yang terlibat dalam
konflik.
Konflik merupakan ekspresi persepsi entitas. Terdapat konflik yang hanya
dibayangkan ada sebagai sebuah persepsi ternyata tidak riil. Sebaliknya dapat
terjadi bahwa ada situasi-situasi yang sebenarnya dapat dianggap sebagai

10 
 

"bernuansa konflik" ternyata tidak dianggap sebagai konflik karena anggotaanggota kelompok tidak menganggapnya sebagai konflik. Selanjutnya, setiap kita
membahas konflik dalam organisasi kita, konflik selalu diasosiasikan dengan
antara lain, "oposisi" (lawan), "kelangkaan", dan "blokade".
Pengkategorian konflik perdasarkan hubungan antar pelaku konflik antara
lain:
1) Konflik individu dengan individu
Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan
individu pimpinan dari berbagai tingkatan. Individu pimpinan dengan
individu karyawan maupun antara individu karyawan dengan individu
karyawan lainnya.
2) Konflik individu dengan kelompok
Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan
kelompok ataupun antara individu karyawan dengan kempok pimpinan.
3) Konflik kelompok dengan kelompok
Konflik ini terjadi antara kelompok pimpinan dengan kelompok karyawan,
kelompok pimpinan dengan kelompok pimpinan yang lain dalam berbagai
tingkatan maupun antara kelompok karyawan dengan kelompok karyawan
yang lain.
Berdasarkan dampak yang ditimbulkan, konflik dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu konflik fungsional dan konflik infungsional. Konflik dikatakan
fungsional apabila dampaknya dapat memberi manfaat atau keuntungan bagi
organisasi, sebaliknya disebut infungsional apabila dampaknya justru merugikan
organisasi. Konflik dapat menjadi fungsional apabila dikelola dan dikendalikan
dengan baik.
Setiap konflik, baik fungsional maupun infungsional akan menjadi sangat
merusak apabila berlangsung terlalu jauh. Apabila konflik menjadi di luar kendali
karena mengalami eskalasi, berbagai perilaku mungkin saja timbul. Pihak-pihak
yang bertentangan akan saling mencurigai dan bersikap sinis terhadap setiap
tindakan pihak lain. Dengan timbulnya kecurigaan, masing-masing pihak akan
menuntut permintaan yang makin berlebihan dari pihak lain.
Secara umum, faktor-faktor yang dapat menimbulkan adanya konflik antara
lain adalah :
1) Berbagai sumber daya yang langka
Karena sumber daya yang dimiliki organisasi terbatas/ langka maka perlu
dialokasikan. Dalam alokasi sumber daya tersebut suatu kelompok
mungkin menerima kurang dari kelompok yang lain. Hal ini dapat menjadi
sumber konflik.
2) Perbedaan dalam tujuan
Dalam suatu organisasi biasanya terdiri dari atas berbagai macam bagian
yang bisa mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Perbedaan tujuan dari
berbagai bagian ini kalau kurang adanya koordinasi dapat menimbulkan
adanya konflik. Sebagai contoh: bagian penjualan mungkin ingin
meningkatkan volume penjualan dengan memberikan persyaratanpersyaratan pembelian yang lunak, seperti kredit dengan bunga rendah,
jangka waktu yang lebih lama, seleksi calon pembeli yang tidak terlalu
ketat dan sebagainya. Upaya yang dilakukan oleh bagian penjualan
semacam ini mungkin akan mengakibatkan peningkatan jumlah piutang

11
 

dalam tingkat yang cukup tinggi. Apabila hal ini dipandang dari sudut
keuangan, mungkin tidak dikehendaki karena akan memerlukan tambahan
dana yang cukup besar.
3) Saling ketergantungan dalam menjalankan pekerjaan
Organisasi merupakan gabungan dari berbagai bagian yang saling
berinteraksi. Akibatnya kegiatan satu pihak mungkin dapat merugikan
pihak lain. Dan ini merupakan sumber konflik pula. Sebagai contoh:
bagian akademik telah membuat jadwal ujian beserta pengawasnya, tetapi
bagian tata usaha terlambat menyampaikan surat pemberitahuan kepada
para pengawas dan penguji sehingga mengakibatkan terganggunya
pelaksanaan ujian.
4) Perbedaan dalam nilai atau persepsi
Perbedaan dalam tujuan biasanya dibarengi dengan perbedaan dalam
sikap, nilai dan persepsi yang bisa mengarah ke timbulnya konflik.
Sebagai contoh: seorang pimpinan muda mungkin merasa tidak senang
sewaktu diberi tugas-tugas rutin karena dianggap kurang menantang
kreativitasnya untuk berkembang, sementara pimpinan yang lebih senior
merasa bahwa tugas-tugas rutin tersebut merupakan bagian dari pelatihan.
5) Sebab-sebab lain
Selain sebab-sebab di atas, sebab-sebab lain yang mungkin dapat
menimbulkan konflik dalam organisasi misalnya gaya seseorang dalam
bekerja, ketidakjelasan organisasi dan masalah-masalah komunikasi.
Secara umum, analisis dasar tahapan konflik terdiri dari lima tahap, meskipun
terdapat variasi-variasi dalam situasi khusus dan mungkin berulang dalam siklus
yang sama. Tahap-tahap ini menurut Fisher et al. (2000) adalah:
(1) Prakonflik : ini merupakan periode dimana terdapat sesuatu ketidaksesuaian
sasaran diantara dua pihak atau lebih,sehingga timbul konflik. Konflik terjadi
dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui
potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan
diantara pihak atau keinginan untuk menghindari kontak antara satu sama lain
pada tahap ini.
(2) Konfontasi : pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu
pihak yang merasa ada masalah, maka mungkin para pendukungnya mulai
melakukan aksi demontrasi ataupun perilaku konfrontatif lainya. Kadang
pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainya terjadi diantara kedua
pihak. Masing-masing pihak mungkin mengumpulkan sumberdaya dan
kekuatan dan mungkin mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan
konfontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua pihak menjadi sangat
tegang, mengarah kepada polarisasi diantara kedua pendukung di masingmasing pihak.
(3) Krisis : ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan
terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang
ketika orang-orang dari kedua pihak terdapat korban harta maupun nyawa.
Komunikasi normal diantara kedua pihak kemungkinan terputus. Pernyataan
umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lain.
(4) Akibat : Suatu krisis pasti akan menimbulkan akibat. Satu pihak mungkin
menaklukan pihak lain atau melakukan gencatan senjata (jika perang terjadi).
Satu pihak mungkin menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin

12 
 

setuju bernegosiasi. Dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihakyang
mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainyayang lebih berkuasa mungkin
memaksa kedua belah pihak menghentikan pertikaian. Apapun keadaan
tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tingkat ini agak menurun,
dengan kemungkinan adanya penyelesaian.
(5) Pasca konflik : Akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai
konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke
lebih normal diantara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah
yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi
dengan baik, tahapan ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.
Tipologi konflik perikanan
Obserchall (1973) mengatakan bahwa tanpa memiliki pemahaman tentang
tipologi, maka akan sulit untuk memberikan resolusi konflik yang efektif.
Tipologi konflik akan memberikan manfaat yang signifikan dalam memprediksi
outcome dari konflik. Charles (1992) menandaskan bahwa pemahaman terhadap
struktur konflik perikanan dapat dilakukan melalui tipologi konflik perikanan
(Tabel 1), yang mencakup empat kategori. Dua dari empat kategori tersebut
terkait dengan struktur dan implementasi dari sistem pengololaan, sedangkan dua
kategori lainya berhubungan dengan alokasi terhadap sumberdaya, baik terjadi di
perikanan itu sendiri, maupun antara perilaku perikanan dan pelaku ekonomi lain.
Tabel 1Tipologi konflik perikanan (Charles)
Yurdikasi Perikanan

Mekanisme
pengolaan

Alokasi internal

Hak
kepemilikan(property
rigts)
Peran pemerintah

Rencana
pengelolaan

Konflik perang Domestik
alat tangkap
asing

Konflik
pemerintah

Konflik
penegakaan
antar Interaksi nelayan
pemerintah

Alokasi
ekternal
vs

Konflik
antar Nelayan
vs
pengguna
pembudidaya
Nelayan
vs Kopetisi
Industri
pengguna laut
perikanan

1 Yuridikasi perikanan
(1) Hak kepemilikan. Debat mengenai hak kepemilikan (property right)mencakup
pertanyaan filosofis yang telah berlangsung sejak lama mengenai aspek legal,
sejarah dan/atau kepemilikan, akses dan control di perikanan. Banyak konflik
terjadi karena perbedaan kepentingan terhadap beberapa bentuk kepemilikan
perikanan, antara lain: open-acces manajemen terpusat, hak pengolaan
kawasan, pengelolaan berbasis masyarakat, kuota individun dan privasi.
(2) Peran pemerintah. Debat mengenai peran pemerintah terkait dengan dua hal
yaitu pengelolaan perikanan yang berfokus pada pengaturan secara terpusat
oleh pemerintah dan pengolaan yang lebih terdesentralisasi, yang meliputi
opsi pengelolaan berbasis masyarakat dan pasar dan pengembangan comanagement.
(3) Konflik antar pemerintah. Konflik antar pemerintah mencakup konflik antar
negara, antara beberapa yuridikasi dalam satu negara, seperti pemerintah
pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

13
 

2 Mekanisme pengolaan
(1) Rencana pengelolaan perikanan. Penyusunan rencana pengelolaan untuk
menentuka tingkat penangkapan yang diperbolehkan, alokasi penangkapan,
waktu penangkapan dan/atau alat tangkap yang biasanya ditetakan oleh
pemerintah, merupakan sumber konflikra nelayan dan pemerintah.
(2) Interaksi nelayan dengan pemerintah. Sumber konflik adalah seringkali
pengetahuan dan ide-ide nelayan dikesampingkan oleh pemerintah dan para
ilmuwan dalam proses pengambilan keputusan
3 Alokasi Internal
(1) Konflik perang alat tangkap (gear wars). Konflik terjadi karena adanya
perbedaan alat tangkap, atau perbedaan dalam ‘skala’ penangkapan, misalnya
perbedaan tegnologi tradisional vs, modern di suatu daerah penangkapan.
(2) Konflik antar pengguna. Konflik ini muncul antara pengguna perikanan yang
memiliki perbedaan segmen atau kelas dalam masyarakat, misalnya nelayan
tradisional vs, nelayan industri, atau nelayan komersir vs, nelayan rekreasi.
(3) Nelayan vs, industry perikanan. Konflik antara nelayan dan industri perikanan
biasanya terkait dengan pola pengelolaan ketenaga kerjaan, yang menyakup
konflik penetapan harga ikan yang sesuai, upah yang sepatutnya diperoleh ,
dan masalah ekonomi lainnya yang terkait antara nelayan dan industri
perikanan.
4 Alokasi Eksternal
(1) Domestik vs,asing. Konflik terjadi antara nelayan domestik di negara
maritime dengan nelayan atau kapal asing. Konflik ini mencakupmasalah
illegal fishing dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) negara maritime,
penangkapan ikan merusak, oposisi nelayan domestik terhadap perjanjian
bilateral perikanan.
(2) Nelayan tangkap vs, pembudidaya. Konflik terjadi seputar isu pemanfaatan
ruang laut dan kualitas lingkungan laut yang juga di manfaatkan oleh nelayan
tangkap.
(3) Kompetisi penggunaan laut. Nelayanjuga menghadapi konflik ekternal, antara
lain dengan kapal besar dan (biasanya karena tumpahan minyak),
penambangan di laut, pariwisata, kehutanan.
Penggunaan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan
penyebab terjadinya konflik, karena dengan diketahui tipologi konflik maka
penyebab dan alternative resolusi konflik dapat dianalisis. Tipologi tidak berupaya
menggambarkan semua bukti-bukti emipiris, tetapi menarik benang merah yang
diperkirakan dapat mewakili sesuatu karakteristik (McKinny 1996).
Menyempurnakan kategori yang dibuat Charles (1992), Warner (2000)
mengusulkan lima tipe konflik. Tipe pertama adalah konflik berkenaan dengan
“who control the fishery,” misalnya masalah akses terhadap wilayah dan
sumberdaya laut. Tipe kedua adalah konflik yang terkait permasalahan”how the
fishery controlled.”Tipe konflik ini meliputi konflik-konflik terkait penerapan
aturan-aturan pengololaan sumberdaya laut, alokasi kuota dan lain-lain.Tipe
konflik ketiga adalah konflik yang terkait hubungan antara nelayan yang memiliki
latar belakang etnik, ras yang berbeda, atau konflik antara nelayan dan jenis
teknologi yang berbeda. Tipe konflik keempat adalah konflik yang terkait
hubungan antara nelayan dengan pelaku usaha laut lain seperti pelaku wisata
bahari, konservasi bahari dan industri. Tipe terakhir, kelima, adalah konflik yang

14 
 

tidak terkait langsung dengan kegiatan penangkapan tetapi mempengaruhinya.
Contoh konflik-konflikdalam tipe ini adalah konflikyang lahir karena kasus-kasus
kerusakan lingkungan, perubahan ekonomi(kenaikandengan bahan bakar minyak),
korupsi dan lain-lain
Di Indonesia Arif Satriya (2007) membagi konflik menjadi 7 (tujuh) tipe,
yakni: (1) konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi kesenjangan teknologi
penangkapan ikan (2) konflik kepemilikan sumberdaya, yaitu konflik akibat isu
kepemilikan sumberdaya: laut milik siapa? Ikan milik siapa? (3) konflik
pengolaan sumberdaya ,yaitu konflik akibat “pelanggaran aturan pengelolaan”
Isu: siapa berhak mengelola SD atau SD laut? (4) Konflik cara produksi tangkap,
yaitu konflik akibat perbedaan alat tangkap, baik sesama tradisional maupun
tradisional-modern yang merugikan salah satu pihak (5) Konflik lingkungan,
konflik akibat kerusakan lingkungan akibat praktek satu pihak yang merugikan
nelayan lain (6) Konflik usaha, konflik yang terjadi di darat akibat mekanisme
harga maupun system bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan (7) Konflik
primordial, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan ikatan primordial/identitas
(ras,etnik,asal daerah).
Resolusi konflik
Meiling (1994) diacu dalam FAO (1998) mendefinisikan resolusi konflik
sebagai proses dimana dua atau beberapa kelompok yang berkonflik berupaya
memperbaiki kondisi melaui tindakan koperatif dengan jalan memberikan
kesempatan kepada semua pihak yang memperbesar “kue” dan menjaga jangan
sampai “kue” tersebut menciut. Dengan demikian setiap kelompok pada akhirnya
mendapat “kue” yang lebih besar. Definisi ini secara implisit menyiratkan bahwa
resolusi konflik berupaya menghasilkan manfaat untuk semua.
Resolusi konflik adalah jalan keluar dari perselisihan yang terjadi antara
dua orang/kelompok atau lebih sehingga dicapai perdamaian.Resolusi dimana
pihak-pihak yang bertikai segera mengadakan perjanjian perdamaian dan
membahas isu-isu resolusi tersebut, namun bukan dengan mengutamakan
pembahasan mengenai faktor-faktor yang memicu konflik tersebut. Resolusi
biasanya membutuhkan suatu tekanan, lebih sering tekanan di pihak luar yang
bertikai, tanpa tekanan, tampaknya konflik akan timbul lagi walapun mungkin hal
ini diekspresikan dengan cara lain (Budiono 2005).
Bennet and Neiland (2009) menandaskan bahwa proses resolusi konflik
pada dasarnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu melalui proses peradilan
(litigasi) dan diluar pengadilan atau penyelesaian sengketa alternative (Alternatif
Dispute Ressolution ADR ). Melalui proses litigasi, akan memunculkan pihak
yang menang dan pihak yang kalah. Sementara pendekatan ADR output yang
dihasilkan lebih fleksibel dan lebih dapat diterima oleh semua pihak dan hasilnya
lebih berorientasi jangka panjang. Selain itu ADR lebih popular digunakan untuk
mengatasi konflik yang terkait dengan masalah lingkungan dan sumberdaya alam.
Dalam kenyataan sistem formal, pendekatan litigasi (pengadilan) yang
menggunakan aturan hukum. Oleh karena itu pendekatan ini menghasilkan pihak
yang kalah dan menang. Walaupun demikian tidak dapat diartikan bahwa
pendekatan litigasi merupakan opsi yang buruk. Dalam beberapa kasus,
pendekatan litigasi justru, misalnya untuk konflik yang batasanya sudah jelas
(Budiono 2005).

15
 

Konsep pyramid sering digunakan sebagai simbolisasi berbagai metode
resolusi konflik. Piramid resolusi konflik menggambarkan pilihan proses resolusi
konflik mulaidari isolation hingga ke cooperation. Proses resolusi konflik
menggunakan hukum formal (litigasi) akan menghasilkan suasana sementara
resolusi konflik yang menggunakan pendekatan ADR akan menghasilkan kondisi
yang kooperatif. Hal ini disebabkan pihak yang berkonflik saling berinteraksi
untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak (Bannet and
Neiland 2000)
Creighton and Pricoli (2001) mengambarkan situasi ideal yang seharusnya
dicapai dalam resolusi konflik melalui negosiasi seperti dijelaskan pada gambar 3.
Dalam proses negoisasi, pihak yang berkonflik akan berupaya bergerak antar titik
A (dimana A menang) ke titik B (dimana B menang). Sebagai konsekwensinya,
proses negoisasi yang baik seharusnya berada pada daerah B, kedua belah pihak
tidak merasa menang atau kalah. Pada kenyatanya untuk mencapai daerah ini
sering sulit dilakukan oleh karena itu proses negoisasi dapat diperluas hingga
mencapai daerah “intergratif bargaining collaboration”. Pada daerah ini proses
negoisasi diperluas tidak hanya melibatkan pihak yang berkonflik tetapi juga
pihak yang lain dipandang mampu ikut menyelesaikan konlik. Untuk mencapai
daerah tersebut juga dapat dilakukan melalui proses mediasi dan fasilitasi. Daerah
D adalah daerah yang harus dihindari, karena pada daerah ini yang berkonflik
menjadi “lebih buruk(worse off)”

Gambar 3 Kondisi optimal resolusi konlik melalui proses negoisasi (Creigton dan
Priscoli 2001)

16 
 

Untuk mencapai kondisi “kesepakatan yang berkesinambungan (durable
settlement)”, Lincoln (1986) menyebutkan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu
: (1) Substantive interest, yaitu: need, dana, waktu, material dansumberdaya (2)
procedural interest,yaitu: kebutuhan akan perilaku tertentu atau cara bagaimana
sesuatu dapat diselesaikan (3) Relationship por phsychological interest, yaitu
kebutuhan yang merajuk pada perasaan seseorang, bagaimana sesorang
diperlakukan, dan prakondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan.
Pendekatan penyelesain konflik secara umum dapat dikategorikan (Gorre
1999) menjadi : (1) Mekanisme pembangunan consensus d