Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
Tri Widyawati
Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan salah satu dari sembilan obat
tradisional yang diunggulkan untuk dikaji sampai tahap uji klinis. Kandungan kimia terdiri dari
flavonoid dan lakton. Zat aktif utama tanaman ini adalah andrographolide, yang berasal dari
komponen lakton. Setelah pemberian per oral, 20 mg andrographolide segera diabsorbsi, kadar
puncak plasma tercapai dalam waktu 1,5–2 jam, dan waktu paruhnya 6,6 jam. Distribusinya luas
di jaringan dan organ tubuh. Efek farmakologi sambiloto di antaranya sebagai antioksidan,
antidiabetik, antifertilitas, anti HIV-1, antiflu, anti adhesi intraperitoneal, antima-laria, antidiare,
hepatoprotektif, koleretik, dan kolekinetik. Berdasarkan uji toksikologi pada hewan percobaan
menunjukkan bahwa andrographolide dan senyawa lain yang terdapat pada sambiloto memiliki
toksisitas yang sangat rendah.
Kata kunci: sambiloto, andrographolide, efek farmakologi
Abstract: Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) is one of nine priority traditional medicine
that should be examined in a good clinical trial. The chemistry constituents consist of flavonoide
and lactone. It major constituents are lactones known as andrographolide. Following an oral
administration of 20 mg andrographolide, maximum plasma levels were reached after 1,5–2
hours, and half life were 6,6 hours. This compound will be widely distributed in the body.

Pharmacology effect of sambiloto are as antioxidant, antidiabetic, antifertility, antiHIV,
antiinfluenza, antiintraperitoneal adhesion, antimalaria, antidiarrhea, hepatoprotektive, choleretic
and cholekynetic. Based on various toxicology studies in animal and human, it is confirmed that
andrographolide and other compounds of this plant have a very low toxicity.
Keywords: sambiloto, andrographolide, pharmacology effect

PENDAHULUAN
Penggunaan
obat
tradisional
serta
pengobatan tradisional telah lama dipraktekkan di seluruh dunia, baik di negara
berkembang maupun negara maju. Menurut
WHO, sekitar 65% dari penduduk negara
maju dan 80% dari penduduk negara
berkembang telah menggunakan obat herbal
sebagai obat tradisional. Du-kungan WHO
terhadap konsep back to nature dibuktikan
dengan
adanya

reko-mendasi
untuk
menggunakan obat tradisional termasuk
herbal dalam pemeli-haraan kesehatan
masyarakat, dan pencegahan penyakit,
terutama untuk penyakit kronis, penyakit
1
degeneratif dan kanker.
Indonesia merupakan potensi pasar obat
herbal dan fitofarmaka karena saat ini
memiliki lebih kurang 30.000 spesies

tumbuhan dan 940 di antaranya ter-masuk
tumbuhan berkhasiat. Sampai saat ini ada 180
spesies yang telah di-manfaatkan oleh industri
1
jamu tradisional.
Salah
satu
upaya

meningkatkan
pemanfaatan bahan alam Indonesia yang
terjamin mutu, khasiat dan keamanannya
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah
dan
dapat
digunakan
untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat, saat ini
Badan POM bekerjasama dengan beberapa
perguruan tinggi sedang meneliti 9 tanaman
obat unggulan nasional sampai ke tahap uji
klinis, salah satu diantaranya adalah sambiloto
2
(Andrographis paniculata Nees).
Khasiat sambiloto sebenarnya sudah
dikenal luas sejak zaman dulu, baik oleh orang
3
Indonesia maupun bangsa-bangsa di dunia.

Sejak pertengahan akhir abad ke-20, berbagai

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007

216
Universitas Sumatera Utara

Tinjauan Pustaka

studi telah dilakukan yang sebagian besar
konsentrasinya untuk mengetahui komposisi,
keamanan, khasiat dan mekanisme kerja
4,5,6
sambiloto.
Di Indonesia sendiri, sambiloto
dipasarkan baik dalam sediaan tunggal atau
gabungan dengan bahan alami lain dalam
bentuk tablet, yang masih tergolong sediaan
jamu.
GAMBARAN UMUM SAMBILOTO

Sambiloto yang juga dikenal sebagai “King
of Bitters” bukanlah tumbuhan asli Indonesia,
tetapi diduga berasal dari India. Menurut data
spesimen yang ada di Herbarium Bogoriense
di Bogor, sambiloto sudah ada di Indonesia sejak 1893. Di India, sambiloto adalah
tumbuhan liar yang digunakan untuk mengobati penyakit disentri, diare, atau malaria.
Hal ini ditemukan dalam Indian Pharmacopeia dan telah disusun paling sedikit
7
Dalam
dalam 26 formula Ayurvedic.
Traditional Chinese Medicine (TCM),
sambiloto diketahui penting sebagai tanaman
”cold property” dan digunakan sebagai
penurun panas serta membersihkan racun8
racun di dalam tubuh. Tanaman ini kemudian
menyebar ke daerah tropis Asia hingga sampai
di Indonesia.
Sambiloto dapat tumbuh di semua jenis
tanah sehingga tidak heran jika tanaman ini
9

terdistribusi luas di belahan bumi. Habitat
aslinya adalah tempat-tempat terbuka yang
teduh dan agak lembab, seperti kebun, tepi
sungai, peka-rangan, semak, atau rumpun
3
bambu.
Sambiloto memiliki batang berkayu
berbentuk bulat dan segi empat serta memiliki
banyak cabang (monopodial). Daun tunggal
saling berhadapan, berben-tuk pedang (lanset)
dengan tepi rata (integer) dan permukaannya
halus, berwarna hijau. Bunganya berwarna
putih keunguan, berbentuk jorong (bulan
panjang) de-ngan pangkal dan ujungnya yang
lancip. Di India, bunga dan buah bisa
dijumpai pada bulan Oktober atau antara
Maret sampai Juli. Di Australia bunga dan
buah antara bulan Nopember sampai bulan
Juni tahun berikutnya, sedang di Indonesia
bunga dan buah dapat ditemukan sepanjang

9
tahun.
Di beberapa daerah di Indonesia,
sambiloto dikenal dengan berbagai nama.
Masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur
217

menyebutnya dengan bidara, sambiroto,
sandiloto, sadilata, takilo, paitan, dan
sambiloto. Di Jawa Barat dise-but dengan ki
oray, takila, atau ki peurat. Di Bali lebih
dikenal
dengan
samiroto.
Masyarakat
Sumatera dan sebagian besar masyarakat
Melayu menyebutnya dengan pepaitan atau
3,9
ampadu. Sementara itu, nama-nama asing
sambiloto diantaranya chuan xin lian, yi jian

xi, dan lan he lian (Cina), kalmegh, kirayat,
dan kirata (India), xuyen tam lien dan congcong
(Vietnam),
quasabhuva
(Arab),
nainehavandi (Persia), green chiretta dan king
of bitter (Inggris).3
Semua bagian tanaman sambiloto, seperti
daun, batang, bunga, dan akar, terasa sangat
pahit jika dimakan atau direbus untuk
diminum.
Diduga
ini
berasal
dari
andrographolide
yang
dikandungnya.
Sebenarnya, semua bagian tanaman sambiloto
bisa dimanfaatkan sebagai obat, termasuk

bunga dan buahnya. Namun bagian yang
paling sering digunakan sebagai bahan ramuan
3
obat tradisional adalah daun dan batangnya.
3

TAKSONOMI
Secara taksonomi, sambiloto dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Subkelas : Gamopetalae
Ordo
: Personales
Famili
: Acanthaceae
Subfamili : Acanthoidae
Genus

: Andrographis
Spesies
: Andrographis paniculata Nees
KIMIA DAN KANDUNGAN BAHAN
AKTIF
Secara kimia mengandung flavonoid dan
lakton. Pada lakton, komponen utamanya
adalah andrographolide, yang juga merupakan
zat aktif
utama dari tanaman ini.
Andrographolide sudah diisolasi dalam bentuk
murni dan menunjuk-kan berbagai aktivitas
farmakologi. Zat aktif herba ini dapat
ditentukan dengan metode gravimetrik atau
high
performance
liquid
dengan
10
chromatography [HPLC].

Berdasarkan penelitian lain yang telah
dilakukan, kandungan yang di-jumpai pada
tanaman sambiloto diantaranya diterpene
lakton dan glikosidanya, seperti andrographolide,

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007
Universitas Sumatera Utara

Tri Widyawati

deoxyandrographolide, 11,12-didehydro-14eoxyandro-grapholide, dan neoandrographolide.
Flavonoid juga dilaporkan ada terdapat pa-da
3,11
Daun dan percabangannya
tanaman ini.
lebih banyak mengandung lakton sedangkan
komponen flavonoid dapat diisolasi dari
akarnya, yaitu polimetok-siflavon, androrafin,
panikulin, mono-0-metilwithin dan apigenin7,4 dimetileter. Selain komponen lakton dan
flavonoid, pada tanaman sambiloto ini juga
terdapat komponen alkane, keton, aldehid,
mineral (kalsium, natrium, kalium), asam
3
kersik dan damar.
Di
dalam
daun,
kadar
senyawa
andrographolide sebesar 2,5-4,8% dari berat
3
keringnya. Ada juga yang mengatakan
biasanya sambiloto distandarisasi dengan
12
kandungan andrographolide sebesar 4-6%.
Senyawa kimia lain yang sudah diisolasi dari
daun yang juga pahit yaitu diterpenoid viz.

deoxyandro-grapholide-19β-D-glucoside, dan
neo-andrographolide.13
FARMAKOKINETIK
Beberapa studi sudah dilakukan untuk
melihat disposisi andrographolide dalam
14
berbagai organ tubuh.
Dalam suatu penelitian pada hewan
percobaan menunjukkan bahwa 48 jam setelah
pemberian andrographolide, komponen ini
dijumpai tersebar luas ke seluruh organ tubuh.
Konsentrasi yang dijumpai di otak sebesar
20,9%, limpa 14,9%, jantung 11,1%, paruparu 10,9%, rektum 8,6%, ginjal 7,9%, hati
5,6%, uterus 5,1%, ovarium 5,1%, dan usus
15
halus sebesar 3,2%.
Menurut penelitian terakhir, andrographolide
memiliki bioavailabilitas tinggi pada manusia.
Setelah
pemberian
peroral,
20
mg
andrographolide segera diabsorbsi, mencapak
nilai puncak plasma dalam waktu 1,5 sampai
16
2 jam dengan waktu paruh 6,6 jam.
Sementara pada penelitian lainnya menunjukkan
waktu paruh andrographolide relatif singkat,
lebih kurang dalam waktu 2 jam. Setelah
72 jam, hampir 90% andrographolide
dieksresikan. Sebagian besar eksresinya ini
17
sebagian lainnya melalui
melalui urin,
saluran cerna.
Pada beberapa studi dikatakan bahwa 80
persen dari dosis andrographo-lide yang
dikonsumsi akan dieksresikan dari tubuh
7
dalam waktu 8 jam.

Aspek Farmakologi Sambiloto...

FARMAKODINAMIK
Distribusi yang luas di jaringan dan organ
tubuh serta adanya khasiat yang mengatur dan
meningkatkan sistem imun menyebabkan
sambiloto menjadi calon ideal untuk
mencegah dan mengobati berbagai penyakit.
Pemberian sambiloto menunjukkan efek
protektif terhadap aktivitas en-zim superoxide

dismutase, catalase, glutathione peroxidase
dan glutathione yang menurun dengan
pemberian hexachloro cyclohexane (BHC).
Hasilnya menunjuk-kan adanya khasiat
antioksidan
dan
hepatoprotektif
dari
18
sambiloto.
19
mengkaji
efek
Shukla,
dkk.
hepatoprotektif ekstrak daun sambiloto
terhadap kerusakan hati yang diinduksi karbon
tetraklorida. Ekstrak dengan dosis 300 mg/kg
(1/6 dari LD50) diperoleh dengan maserasi
dingin. Hasilnya, ekstrak ini dijumpai efektif
dalam mencegah kerusakan hati dengan
parameter penilaian-nya mencakup morfologi,
biokimia dan fungsional. Andrographolide
juga mence-gah menurunnya jumlah empedu
20
yang disebabkan toksisitas acetaminophen.
Efek hipoglikemik sambiloto sudah diteliti
dengan berbagai cara. Salah satunya,
21
penelitian Borhanuddin, dkk. pada kelinci
menunjukkan bahwa ekstrak air sambiloto
dengan dosis 10 mg/kg berat badan dapat
mencegah hiperglikemia yang diinduksi
dengan pemberian glukosa per oral dengan
dosis 2 mg/kg berat badan secara signifikan.
Mekanismenya
kemungkinan
sambiloto
mencegah absorpsi glukosa dari usus.
22
Zoha, dkk. mengkaji efek antifertilitas
sambiloto pada mencit. Ketika serbuk
sambiloto dicampur dengan makanan hewan
(Rats Pelletts) dengan dosis 2 gram per
kilogram berat badan per hari, kemudian
diberikan pada mencit betina setiap hari
selama enam minggu, tidak seekorpun (100%)
yang hamil ketika dika-winkan dengan mencit
jantan. Ini dilakukan untuk membuktikan
fertilitas yang tidak diberi obat. Sebaliknya,
sebagian besar mencit kelompok kontrol
(95.2%) yang tidak diberi obat, menjadi hamil
ketika dikawinkan dengan jantan dengan jenis
yang sama seperti pada kelompok perlakuan,
dan melahirkan dalam jumlah normal (ratarata 5 sampai 6 ekor) setelah 6 perkawinan
berikutnya.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007

218
Universitas Sumatera Utara

Tinjauan Pustaka

23

Wang,
dkk.
mengobservasi
efek
komponen sambiloto terhadap nitric oxide,

endothelin, cyclic guanosine monophosphate,
lipid peroxide dan super-oxide dismutase,
pada model kelinci percobaan yang memiliki
aterosklerotik dengan cara memberi diet tinggi
kolesterol.
Kesimpulannya,
sambiloto
memiliki efek antioksidan, menjaga fungsi
endothelial,
dan
mempertahankan
keseimbangan nitric oxide/endothelin.
Studi psikofarmakologi sudah dilakukan
24
Mandal, dkk. dengan menggunakan ekstrak
herba sambiloto. Hasilnya menunjukkan
adanya perubahan yang signifikan pada pola
tingkah laku dan berkurangnya pergerakan
spontan. Ekstrak ini juga memperlama waktu
tidur hewan percobaan yang diinduksi
pentobarbitone dan menurunkan suhu tubuh.
25
Calabrese, dkk. melakukan uji klinis fase
I andrographolide yang bera-sal dari sambiloto
pada relawan sehat, yaitu 13 orang positif
HIV dan 5 orang tidak terinfeksi HIV.
Objektifnya
terutama
untuk
menilai
keamanan dan to-lerabilitas serta menilai efek
andrographolide terhadap kadar plasma RNA
virus HIV-1 dan kadar limfosit CD4 (+).
Selama penelitian, tidak satu subjekpun yang
menggunakan pengobatan antiretroviral. Bila
terdapat kelainan hati dan ginjal, maka akan
dikeluarkan dari penelitian. Regimen yang
direncanakan adalah 5 mg/kg berat badan
selama 3 minggu, ditingkatkan menjadi
10mg/kg berat badan selama 3 minggu dan
akhirnya sampai 20 mg/kg berat badan selama
3 minggu. Penelitian dihentikan pada minggu
keenam karena adanya reaksi yang tidak diinginkan termasuk reaksi anafilaktik pada satu
orang relawan. Semua kejadian yang tidak
diinginkan diatasi dengan menghentikan
pengamatan. Peningkatan yang signifikan pada
rata-rata kadar limfosit CD4 (+) pada subjek
HIV terjadi se-telah pemberian 10 mg/kg
berat badan andrographolide (dari 405
sel/mm menjadi 501 sel/mm). Tidak ada
perubahan statistik yang signifikan pada ratarata kadar plasma RNA HIV-1 selama
mungkin
penelitian.
Andrographolide
menghambat disregulasi siklus sel yang
diinduksi HIV, seiring dengan peningkatan
kadar lim-fosit CD4 (+) pada penderita yang
terinfeksi HIV-1.
Satu studi yang dilakukan oleh Caceres,
26
satu kelompok pelajar di sekolah
dkk.
219

pedesaan diberi plasebo dan kelompok lainnya
diberi Kan Jang (sambiloto), kemudian
diobservasi untuk melihat kejadian flu setelah
tiga bulan. Dosis yang diberikan pada
kelompok studi sebesar 200 mg per hari.
Hasilnya, se-telah satu bulan tidak ada
perbedaan yang signifikan, tetapi setelah tiga
bulan, ter-jadi perbedaan yang signifikan,
yaitu kelompok Kan Jang yang menderita flu,
2,1 kali lebih rendah dibanding kelompok
plasebo, dengan laju insidennya 30 persen,
sedangkan kelompok plasebo sebesar 62
27
persen. Pada studi lainnya, Caceres, dkk.
mengukur keefektifan ekstrak Andrographis,
dibandingkan
dengan
plase-bo,
dalam
mengurangi gejala yang berhubungan dengan
common cold. Kelompok pasien dewasa
terdiri dari 158 orang laki-laki dan
perempuan. Efek Andrographis diukur pada
hari 0, 2, dan 4 setelah pengobatan. Pada hari
ke-2, kelompok pasien yang mendapatkan
Andrographis
menunjukkan
adanya
pengurangan beberapa gejala, dan pada hari
ke-4, kelompok yang sama menunjukkan
pengurangan
gejala
yang
signifikan
dibandingkan dengan kelompok plasebo.
Kesimpulannya, sambi-loto menunjukkan
efektivitas yang tinggi dalam menurunkan
prevalensi dan inten-sitas gejala common cold
tanpa komplikasi dimulai hari kedua
pengobatan. Pada penelitian ini, tidak ada efek
samping yang dilaporkan.
28
Darwin membuktikan ekstrak sambiloto
pada dosis 10 mg/kg berat badan yang diberi
peroral mampu mengurangi kejadian adhesi
intra-peritonium pada hewan percobaan tikus
(86%).
Sambiloto dapat menghambat edema
sebesar 60% dalam waktu tiga jam pada dosis
200 mg/kg berat badan, dan pada dosis 400
29
mg/kg berat badan sebesar 62,7%. Khasiat
antiinflamasi
ini
kemungkinan
melalui
mekanisme yang meli-batkan kelenjar adrenal.
Efek ini hilang bila kelenjar adrenal diangkat
30
dari binatang percobaan.
Andrographolide menunjukkan adanya
efek koleretik (4.8-73%) tergantung dosis
(1,5-12 mg/kg) yang ditunjukkan dengan
adanya aliran empedu, garam empedu, dan
asam empedu pada tikus dalam keadaan sadar
31
dan guinea pig yang teranastesi. Kajian
32
Zulkarnain Rangkuty menunjukkan adanya
efek kole-kinetik 250 mg simplisia akar,

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007
Universitas Sumatera Utara

Tri Widyawati

Aspek Farmakologi Sambiloto...

batang, dan daun sambiloto pada relawan
sehat.
Selain yang tersebut di atas, khasiat
sambiloto yang lain yang sudah dite-liti
33,34
dan anti
diantaranya, sebagai antimalaria
35
diare.

atau kelinci yang diberi andrographolide atau
neoandrographolide dengan dosis 1 gr/kg
berat badan secara oral selama 7 hari,
menunjukkan tidak ada pengaruh terhadap
berat badan, jumlah darah, fungsi hati dan
30
ginjal, serta organ penting lainnya.

INTERAKSI OBAT
Ekstrak sambiloto kemungkinan memiliki
12
efek sinergis dengan isoniazide. Selain itu,
sampai saat ini belum diketahui interaksi obat
lain dengan sambiloto.

PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat kita
ketahui bahwa efek farmakologi sambiloto
yang menunjukkan khasiat dan keamanannya
sebagai salah satu obat tradisional sudah
banyak didukung bukti ilmiah baik uji pre
klinik maupun uji klinis. Khasiat yang sudah
dibuktikan melalui uji pre klinik hendaknya
dilanjutkan ke tahap uji klinis untuk
mendukung keilmiahan penggunaannya pada
pengobatan formal.

EFEK SAMPING
Sakit kepala, fatique, rasa pahit, dan
peningkatan enzim hati dilaporkan terjadi
pada uji klinis pada pasien yang terinfeksi HIV
25
yang diberi andrographolide dosis tinggi. Hal
ini tidak ada dilaporkan pada orang yang
menggunakan andrographis atau ekstrak
terstandard
pada
jumlah
yang
direkomendasikan. Seperti semua herba yang
pahit, sambiloto mungkin menyebabkan ulkus
dan adanya rasa terbakar. Keamanan terhadap
wanita hamil dan menyusui sampai saat ini
belum diketahui.
TOKSISITAS
Dalam pengobatan tradisional China,
Thailand dan India, sambiloto sudah
menunjukkan keamanannya. Uji toksikologi
pada hewan coba dan manusia menunjukkan
bahwa andrographolide dan senyawa lain yang
terdapat pada sambiloto memiliki toksisitas
yang sangat rendah. Pada mencit yang diberi
ekstrak sambiloto secara oral (10 gr/kgBB)
sekali sehari selama 7 hari, tidak ada
36
seekorpun tikus yang mati. Jantung, ginjal,
hati, dan limpa dijumpai dalam keadaan
normal pada hewan percobaan ini. Ketika
sambiloto dengan dosis 500 mg/kg berat
badan diberikan selama 10 hari setiap hari
pada mencit, tidak ada efek pada
pertumbuhan, selera makan dan produksi
feses. Hewan coba tersebut tetap energik dan
hasil jumlah darah lengkapnya berada pada
batas normal. Pada kelinci yang diberi
andrographolide (10 mg/kg berat badan)
secara intravena, menunjukkan tidak ada
respons kardiovaskuler yang abnormal. Uji
enzim hati, jantung, ginjal dan limpa juga
berada dalam keadaan normal pada hewan
37
coba ini. Pada uji toksisitas lainnya, tikus

DAFTAR PUSTAKA
1. Sukandar, E. Y. Tren dan Paradigma
Dunia Farmasi: Industri-Klinik-Teknologi
Kesehatan. Available from: http://www.
itb.ac.id.
2. Sukandar, E. Y. (2004). Sembilan
Tanaman Obat Unggulan Hasil Uji Klinis
Badan POM. Available from: http//www.
beritabumi.or.id.
3. Prapanza, E. Dan Marianto, L.M. (2003).
Khasiat & Manfaat Sambiloto: Raja Pahit
Penakluk Aneka Penyakit. AgroMedia
Pustaka. Hal: 3–9.
4. Wang, Y. H. (1983). The Pharmacology
and Application of Traditional Chinese
Medicine. Beijing: People’s Health Press.
5. Sandberg, F. (1994). Andrographidis
Herba
Chuanxinlian:
A
Review.
Gothenburg, Sweden: Swedish Herbal
Institute. In: The American Botanical
Council (USA).
6. Weibo, L. (1995). Prospect for Study on
Treatment of AIDS with Traditional Chinese Medicine. J. Trad. Chinese Med.
15(1): 3–9.
7. Weibo, L. (1995). Andrographis, in-depth
review. Available from: http://www.altcancer.com.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007

220
Universitas Sumatera Utara

Tinjauan Pustaka

8. Lukas, R. (1998). Rahasia Herbalis Cina,
Ramuan Tanaman Obat Cina. Pustaka
Delapratasa. Jakarta.
9. Yusron, M., Januwati dan Rini, E. P.
Budidaya Tanaman Sambiloto. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatika. Sirkuler. 11. Available from:
http://www.balittro.go.id.
10. Hu, C. Q. dan Zhou B. N. (1982).
Isolation and Structure of Two New
Diterpenoid Glucosides from Andrographis
paniculata Nees. Yao Xue Xue Bao.
17(6): 435–440.
11. Siripong,
P.,
B.
Kongkathip,
K.
Preechanukool, P. Picha, K. Tunsuwan
dan W.C. Taylor. (1992). Cytotoxic
Diterpenoid
Constituents
from
Andrographis paniculata, Nees leaves. J.
Sci. Soc. Thailand. 18(4):187–194.

18. Trivedi, N. P. dan Rawal, U.M. (2001).
Hepatoprotective
and
Antioxidant
Property of Andrographis paniculata
(Nees) in BHC Induced Liver Damage in
Mice. Indian J Exp Biol. 39 (1): 41–46.
19. Shukla, B., Visen, P. K., Patnaik, G. K.
dan Dhawan, B.N. (1992). Choleretic
Effect of Andrographolide in Rats and
Guinea Pigs. Planta Med. 58 (2): 146–
149.
20. Holt, S. dan Comac, L. (1998). Miracle
Herbs: How Herbs Combine with
Modern Medicine to Treat Cancer, Heart
Disease, AIDS, and More, Caro
Publishing Group.
21. Borhanuddin, M., Shamsuzzoha, M. dan
Hussain A.H. (1994). Hypoglycaemic
effects of Andrographis paniculata Nees
on Non-diabetic Rabbits. Bangladesh Med
Res Counc Bull. 20 (1): 24–26.

12. Siripong,
P.,
B.
Kongkathip,
K.
Preechanukool, P. Picha, K. Tunsuwan
dan W.C. Taylor. (2003). Andrographis
paniculata. Available from: http://www.
vitamin-herbuniversity.com.

22. Zoha, M. S., Hussain, A. H. dan
Choudhury, S. (1989). Antifertility Effect
of Andrographis paniculata in Mice.
Bangladesh Med Res Counc Bull. 15 (1):
34–37.

13. Weiming, C. dan Xiaotion, L. (1982).
Deoxyandrographolide 19β-D-glucoside
from the leaves of A. paniculata. Planta
Medica. 15: 245–246.

23. Wang, H. W., Zhao, H.Y. dan Xiang, S.
Q. (1997). Effects of Andrographis paniculata Component on Nitric Oxide,
Endothelin and Lipid Peroxidation in
Experimental Atherosclerotic Rabbits.
Zhongguo Zhong Xi Yi Jie He Za Zhi. 17
(9): 547–549.

14. Tang, W. dan Eisenbrandt, G. (1992).
Chinese Drugs of Plants Origin:
Chemistry, Pharmacology, and Use in
Traditional and Modern Medicine. New
York: Springer-Verlag.
15. Zheng, Z. Y. (1982). Pharmakokinetic
Studies on 3H-andrographolide. Chinese
Herbal Med. 13(9): 33–36.
16. Panossian, A., Ovhannisyan, A. dan
Mamikonyan, G. (2000). Pharmakokinetic and Oral Bioavailability of
Andrographolide
from
Andrographis
pani-culata Fixed Combination Kan Jang
in Rats and Human. Phytomedicine. 7(5):
351–364.
17. Panossian, A., Ovhannisyan, A. dan
Mamikonyan, G. (1979). Wuxi Medicine
Institute. Ushow Medical Academy. Acta
Bioche-mica Biophysica Sinica. 11.
221

24. Mandal, S. C., Dhara, A. K. dan Maiti, B.
C. (2001). Studies on psychopharmacological activity of Andrographis
paniculata
extract.
Division
of
Pharmacognosy,
Department
of
Pharmaceutical Technology, Jadavpur
University, Calcutta, India. Phytother
Res. 15 (3): 253–256.
25. Calabrese, C., Berman, S.H., Babish, J.G.,
Ma, X., Shinto, L., Dorr, M., Wells, K.,
Wenner, C. A. dan Standish, L.J. (2000).
A Phase I Trial of Andro-grapholide in
HIV Positive Patients and Normal
Volunteers. Bastyr University Research
Institute, Bastyr University, Washington
98028, USA. Phytother Res. 14 (5): 333–
338.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007
Universitas Sumatera Utara

Tri Widyawati

26. Caceres, D. D., Hancke, J. L., Burgos, P.
A. dan Wikman, G. K. (1997). Prevention
of Common Colds with Andrographis
paniculata Dried Extract. A Pilot double
blind trial. Phytomedicine. 4(2): 101–104.
27. Caceres, D. D., Hancke, J. L., Burgos R.
A., Sandberg, F. dan Wikman, G. K.
(1999). Use of visual analogue scale
measurements (VAS) to asses the
effectiveness
of
standardizing
Andrographis paniculata extract SHA-10
in reducing the symptoms of common
cold. A randomized double blind-placebo
study. Phytomedicine. 6(4): 217–223.
28. Darwin. (2005). Efek Antiadhesi Ekstrak
Sambiloto dan Meloksikam Pascalaparatomi
pada Tikus Putih. Thesis. Pasca Farmasi.
Universitas Sumatera Utara.
29. Manez, S., Alcaraz, J. J., Paya., Rios, J. L.
dan Hancke, J. L. (1990). Selected
Extracts from Medicinal Plants as Antiinflammatory Agents.
30. Yin, J. dan Guo, L. (1993). Contemparory
traditional Chinese medicine. Bei-jing:Xie
Yuan.
31. Shukla, B., Visen, P. K., Patnaik, G. K.
dan Dhawan, B.N. (1992). Choleretic
Effect of Andrographolide in Rats and
Guinea Pigs. Planta Med. 58 (2): 146–
149.

Aspek Farmakologi Sambiloto...

32. Rangkuty, Z. (2006). Efek Sambiloto
(Andrographis paniculata Nees) terhadap
Kontraksi Kantong Empedu Manusia.
Thesis.
Pasca
Farmasi.
Universitas
Sumatera Utara.
33. Misra, P., Pal, L., Guru, P. Y., Katiyar, J.
C., Srivastava, V. dan Tandon, J. S.
(1992).
Antimalarial
Activity
of
Andrographis
paniculata
(Kalmegh)
Against Plasmodium Berghei NK 65 in
Mastomys natalensis. Int. J. Pharmacog.
30(4): 263–74.
34. Zein, U., Ginting, Y., Saragih, A.,
Hadisahputra, S., Arrasyid, N. K., Yulfi,
H. dan Sulani, F. (2004). Antimalaria
effect
of
Chloroquin-Sambiloto
(Andrographis
paniculata
Nees)
Combination
Compared
Chloroquin
Alone in Adult Patients of Uncomplicated
Malaria Falciparum. e-USU Repository.
35. Deng, W. L. (1978). Outline of Current
Clinical and Pharmacological Research on
Andrographis paniculata in China.
Newsletters of Chinese Herbal Med. 10:
27–31.
36. Chung,
Y.
(1979).
Andrographis
paniculata. Handbook of traditional
Chinese Medicine. Guangzhou.
37. Guo, S. Y., Li, D. Z., Li, W. S., Fu A. H.
dan Zhang L. F. (1988). Study of The
Toxicity of Andrographolide in Rabbits. J.
Beijing Med. Univ. 5: 422–428.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007

222
Universitas Sumatera Utara