Uji Aktivitas Antifertilitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley Secara In Vivo

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI AKTIVITAS ANTIFERTILITAS EKSTRAK

ETANOL 96% DAUN SAMBILOTO (

Andrographis

paniculata

Nees.) PADA TIKUS JANTAN

GALUR

SPRAGUE-DAWLEY

SECARA

IN VIVO

SKRIPSI

ASTRI DWI ZAHRINA

1111102000073

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JUNI 2015


(2)

ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI AKTIVITAS ANTIFERTILITAS EKSTRAK

ETANOL 96% DAUN SAMBILOTO (

Andrographis

paniculata

Nees.) PADA TIKUS JANTAN

GALUR

SPRAGUE-DAWLEY

SECARA

IN VIVO

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ASTRI DWI ZAHRINA

1111102000073

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JUNI 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nama : Astri Dwi Zahrina

Program Studi : Farmasi

Judul : Uji Aktivitas Antifertilitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley Secara In Vivo

Sambiloto mempunyai kandungan senyawa aktif utama yaitu andrografolid yang dapat berpotensi sebagai agen antifertilitas. Penelitian ini bersifat eksperimental. Dua puluh ekor tikus jantan galur Sprague-Dawley dibagi menjadi 4 kelompok: kontrol Tween 80 2%, dosis 100 mg/kgBB, 200 mg/kgBB dan 400 mg/kgBB. Pemberian ekstrak etanol 96% daun sambiloto dilakukan secara oral selama 48 hari. Parameter yang diamati adalah konsentrasi spermatozoa, morfologi spermatozoa, jumlah spermatosit pakiten dan konsentrasi testosteron. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan analisa One Way ANOVA yang menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan dosis terjadi peningkatan konsentrasi spermatozoa secara tidak bermakna (p≥0,05) terhadap kontrol. Persentase morfologi spermatozoa yang abnormal mengalami peningkatan secara

bermakna (p≤0,05) pada semua kelompok perlakuan dosis dibandingkan dengan kontrol. Jumlah spermatosit pakiten pada tahap VII-VIII mengalami penurunan secara bermakna (p≤0,05) antara kontrol dengan kelompok dosis. Hasil analisa data konsentrasi testosteron dengan Paired-Sample T-Test menunjukkan penurunan pada kelompok dosis 200 mg/kgBB dan peningkatan pada kelompok 100 mg/kgBB dan 400 mg/kgBB, namun yang mengalami perbedaan bermakna

(p≤0,05) antara hari ke-0 dan hari ke-49 hanya pada kelompok dosis 100 mg/kgBB. Peningkatan dan penurunan konsentrasi testosteron yang terjadi masih dalam rentang normal konsentrasi testosteron tikus, kecuali pada kelompok dosis 100 mg/kg yang melebihi rentang normal. Berdasarkan hasil penelitian tersebut ekstrak etanol 96% daun sambiloto berpotensi sebagai agen antifertilitas yang dapat dikembangkan.

Kata Kunci : Antifertilitas, ekstrak etanol 96%, Andrographis paniculata Nees., konsentrasi spermatozoa, morfologi spermatozoa, konsentrasi testosteron, jumlah spermatosit pakiten.


(7)

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Name : Astri Dwi Zahrina

Major : Pharmacy

Title : Study of Antifertility Activity of 96% Ethanolic Extract of Sambiloto Leaves (Andrographis paniculata Nees.) in Male

Sprague-Dawley Rats In Vivo

Sambiloto contains a main active compound, called andrographolide, a compund which is potential as antifertility agent. This research was an experimental study. Twenty male Sprague-Dawley rats were divided into 4 groups randomly, they were control group (Tween 80 2%), 100 mg/kg body weight; 200 mg/kg body weight; and 400 mg/kg body weight. Male Sprague-Dawley ratswere given 96% ethanolic extract of sambiloto leaves orally for 48 days. Antifertility parameters which were being analyzed in this study were spermatozoa concentration, spermatozoa morphology, the number of pachytene spermatocytes and testosterone concentration. The data resulted from the experiment then being analyzed by using One Way ANOVA. There were unsignificant increase (p≥0.05) in all treatment groups of spermatozoa concentration compared to the control. The results showed significant difference between the control and the treatment, which

existed as the significant increase (p≤0.05) of abnormal spermatozoa’s

morphology. While the numbers of pachytene spermatocytes in stage VII-VIII

decreased significantly (p≤0.05) in all treatment groups compared to the control.

The testosterone concentration data were analyzed by using Paired-Sample T-Test and the results showed an unsignificant decrease (p≤0.05) in 200 mg/kg body weight dosage between day-0 and day-49 and in another hand showed a significant increase in 100mg/kg body weight dosage and unsignificant increase in 400 mg/kg body weight dosage between day-0 and day-49. The decreasing and increasing effect of testosterone concentration occurred within the normal range, except for 100 mg/kg body weight dosage which exceeded the normal range. Based on the results, 96% ethanolic extract of sambiloto leaves is potentially as antifertility agent which can be developed further.

Key words: Antifertility, 96% ethanolic extract, Andrographis paniculata Nees., spermatozoa concentration, spermatozoa morphology, testosterone concentration, the numbers of pachytene spermatocytes


(8)

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia, dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi

dengan judul “Uji Aktivitas Antifertilitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley

Secara In Vivo”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya.

Dalam penyelesaian penelitian dan penulisan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan maupun dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :

1. Drs. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

2. Yardi, Ph.D., Apt selaku Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

3. Dr. Azrifitria, M.Si., Apt dan Syaikhul Aziz, M.Si., Apt sebagai dosen pembimbing I dan II yang dengan kesabarannya telah memberikan waktu, ilmu, arahan dan bimbingannya selama penelitian dan penulisan skripsi ini 4. Ayahanda tercinta Jojo Suwarjo dan Ibunda tercinta Ani Sulastriani yang

senantiasa selalu memberikan doa, kasih sayang, dan dukungan baik moral maupun materi kepada penulis selama ini

5. Kakak dan Adikku tersayang Adhisty Pramanik Putri dan Rifa Tri Shafhany yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

6. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Monica, dan Rifda Nailil Muna atas kebersamaan, motivasi dan bantuan selama penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Teman-teman yang telah membantu selama penelitian Sry Wardiyah, Brasti Eka Pratiwi, Fitria Apriani, Rhesa Ramadhan, Sutar, Dini, Rizky Hidayanti Rambe, Eca, Evi, Sheila, Athiyah, Rahmi.

9. Teman-teman Farmasi Angkatan 2011 atas segala kebersamaanya, semangat, dan bantuan selama dibangku perkuliahan hingga selesai pengerjaan skripsi ini.

10.Kak Eris, Kak Tiwi, Kak Lisna, Kak Rani, Kak Rachmadi sebagai laboran Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis

melakukan penelitian di laboratorium.’

11.Dan kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penulisan skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengaharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Juni 2015

Penulis


(10)

(11)

xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3.Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Hipotesis ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) ... 6

2.1.1. Sejarah dan Sinonim ... 6

2.1.2. Klasifikasi ... 6

2.1.3. Morfologi ... 6

2.1.4. Kandungan Kimia ... 8

2.1.5. Andrografolid ... 8

2.1.6. Manfaat ... 9

2.2. Simplisia dan Ekstrak ... 9


(12)

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.3.1. Cara Dingin ... 11

2.3.2. Cara Panas ... 11

2.4. Tinjauan Hewan Percobaan ... 12

2.4.1. Klasifikasi Tikus Putih ... 12

2.4.2. Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus) ... 12

2.5. Sistem Reproduksi Tikus Jantan ... 14

2.5.1. Produksi Sperma ... 17

2.5.2. Spermatogenesis ... 18

2.5.3. Peran Hormon Pada Spermatogenesis ... 21

2.6. ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) ... 22

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 27

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

3.2. Alat dan Bahan ... 27

3.2.1. Hewan Uji ... 27

3.2.2. Bahan Uji ... 27

3.2.2. Bahan Kimia ... 27

3.2.4. Alat ... 28

3.3. Rancangan Penelitian ... 28

3.3.1. Besar Sampel ... 28

3.3.2. Dosis Perlakuan ... 28

3.4. Kegiatan Penelitian ... 29

3.4.1. Pemeriksaan Simplisia (Determinasi) ... 29

3.4.2. Penyiapan Simplisia dan Pembuatan Ekstrak ... 30

3.4.3. Penapisan Fitokimia ... 30

3.4.4. Parameter Spesifik dan Non Spesifik ... 32

3.4.5. Uji kualitatif Andrografolid dengan KLT ... 33

3.4.6. Persiapan Hewan Uji ... 33

3.4.7. Pemberian Perlakuan ... 34

3.4.8. Pembuatan Preparat ... 34


(13)

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.1. Hasil Penelitian ... 38

4.1.1. Determinasi Tanaman ... 38

4.1.2. Ekstraksi ... 38

4.1.3. Penapisan Fitokimia ... 38

4.1.4. Pengujian Parameter Ekstrak ... 39

4.1.5. Uji Kualitatif Andrografolid dengan KLT ... 39

4.1.6. Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa ... 42

4.1.7. Perhitungan Morfologi Spermatozoa ... 43

4.1.8. Pengukuran Konsentrasi Testosteron ... 44

4.1.9. Perhitungan Jumlah Spermatosit Pakiten ... 46

4.2. Pembahasan ... 47

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

5.1. Kesimpulan ... 61

5.2. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(14)

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel Halaman

2.1. Data Biologis Tikus ... 14

3.1. Perlakuan Terhadap Kelompok Tikus ... 29

3.2. Pengenceran yang Dilakukan dan Kotak yang Dihitung ... 35

3.3. Cara Pengenceran ... ..36

3.4. Rumus Konsentrasi Spermatozoa ... 36

4.1. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak ... 38

4.2. Pengujian Parameter Ekstrak ... 39

4.3. Konsentrasi Spermatozoa ... 42

4.4. Morfologi Spermatozoa ... 43

4.5. Konsentrasi Testosteron ... 45

4.6. Jumlah Spermatosit Pakiten ... 46

8.1. Rerata Berat Badan Kelompok Kontrol ... 84

8.2. Rerata Berat Badan Kelompok Dosis Rendah (100 mg/kgBB) ... 84

8.3. Rerata Berat Badan Kelompok Dosis Sedang (200 mg/kgBB) ... 84


(15)

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar Halaman

2.1. Daun dan Tumbuhan Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)... 7

2.2. Struktur Molekul Andrografolid ... 8

2.3. Sistem Reproduksi Hewan Jantan, ventral view ... 15

2.4. Spermatozoa Tikus ... 17

2.5. Tahapan Pembentukan Spermatogenesis ... 19

2.6. Tahapan Siklus Sel dalam Spermatogenesis Tikus ... 20

2.7. Prinsip ELISA secara langsung ... 24

2.8. Prinsip ELISA secara tidak langsung ... 25

4.1. Kromatogram Lapis Tipis Ekstrak ... 40

4.2. Profil TLC Scanner Ekstrak... 41

4.3. Konsentrasi Spermatozoa ... 42

4.4. Morfologi Spermatozoa ... 44

4.5. Konsentrasi Testosteron ... 45

4.6. Jumlah Spermatosit Pakiten ... 46

5.1. Tanaman Sambiloto ... 78

5.2. Serbuk Daun Sambiloto ... 78

5.3. Proses Maserasi ... 78

5.4. Penyaringan Hasil Maserasi ... 78

5.5. Pemekatan Ekstrak dengan Vacuum Rotary Evaporator ... 78

5.6. Ekstrak Kental ... 78

5.7. Emulsi Tween 80 2% ... 78

5.8. Ekstrak yang Telah Didispersikan dalam Emulsi Tween 80 2% ... 78

5.9. Hewan Uji ... 79

5.10. Penimbangan Hewan Uji ... 79

5.11. Penyondean Ekstrak ... 79

5.12. Hewan Uji Dikorbankan ... 79

5.13. Pembedahan Hewan Uji ... 79


(16)

xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5.17. Serum yang Telah Dipisahkan ... 79

5.18. Pengeluaran Spermatozoa dari Kauda Epididimis ... 80

5.19. Penetesean Spermatozoa Pada Bilik Hitung Neubauer ... 80

5.20. Penghitungan Spermatozoa dalam Satu Kotak Besar ... 80

5.21. Pengenceran Spermatozoa dengan Larutan George ... 80

5.22. Hasil Pengenceran Spermatozoa Pada Bilik Hitung Neubauer ... 80

5.23. Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa ... 80

5.24. Pengeluaran Spermatozoa dari Kauda Epididimis ... 81

5.25. Pewarnaan Spermatozoa dengan Larutan Eosin Y 1% ... 81

5.26. Preparat Apus ... 81

5.27. Spermatozoa Normal ... 81

5.28. Tanpa Kepala ... 81

5.29. Leher Patah ... 81

5.30. Ekor Patah ... 81

5.31. Serum Sampel Hari ke-0 dan ke-49 ... 82

5.32. Larutan Standar Testosteron ... 82

5.33. Penambahan Larutan Standar Testosteron ... 82

5.34. Penambahan Sampel ... 82

5.35. Penambahan Enzyme Conjugate ... 82

5.36. Pembuangan Isi Sumuran ... 82

5.37. Penambahan Wash Solution ... 82

5.38. Pembuangan Isi Sumuran ... 82

5.39. Penambahan Substrate Solution dan inkubasi 15 menit ... 82

5.40. Penambahan Stop Solution ... 83

5.41. Pembacaan Hasil Pengukuran Konsentrasi Testosteron ... 83

5.42. Testis Dipisahkan dari Kauda Epididimis ... 83

5.43. Testis Dimasukkan dalam Larutan Formalin 10% ... 83

5.44. Preparat Testis Tikus Dilihat Dibawah Mikroskop ... 83


(17)

xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran Halaman

1. Hasil Determinasi Tanaman Sambiloto ... 70

2. Alur Kerja Pembuatan Ekstrak ... 71

3. Alur Kerja Uji Antifertilitas ... 72

4. Perhitungan Dosis Uji Ekstrak Daun Sambiloto ... 73

5. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto ... 75

6. Perhitungan Rendemen, Kadar Air, dan Kadar Abu Eksrak ... 77

7. Gambar Kegiatan Penelitian ... 78

8. Rerata Berat Badan Tikus ... 84

9. Hasil Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa ... 86

10. Analisa Statistik Data Konsentrasi Spermatozoa ... 87

11. Hasil Perhitungan Morfologi Spermatozoa ... 89

12. Analisa Statistik Data Morfologi Spermatozoa ... 90

13. Hasil Perhitungan Konsentrasi Testosteron ... 93

14. Analisa Statistik Data Konsentrasi Testosteron ... 95

15. Hasil Perhitungan Jumlah Spematosit Pakiten ... 101


(18)

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertambahan penduduk yang pesat merupakan salah satu masalah bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Pertambahan penduduk yang cepat tidak saja mempersulit usaha peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat di bidang pangan, lapangan, kerja, pendidikan, kesehatan, dan perumahan, tetapi juga pembangunan menjadi kurang berarti (Febriani, 2012). Menurut World Population Data Sheet 2014, Indonesia merupakan negara ke-4 di dunia dengan estimasi jumlah penduduk terbanyak, yaitu 251 juta.

Dalam rangka mengurangi laju pertumbuhan penduduk sejak tahun 1970. pemerintah telah melakukan program Keluarga Berencana (KB). Program KB sebagai salah satu program pembangunan nasional yang mempunyai arti sangat penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia yang sejahtera disamping program-program pembangunan lainnya. Pembangunan ini diarahkan sebagai upaya pengendalian kuantitas penduduk melalui Keluarga Berencana, serta pengembangan dan peningkatan kualitas penduduk melalui perwujudan keluarga kecil yang berkualitas. Pelaksanaan keluarga berencana ini salah satunya dengan penggunaan alat kontrasepsi yang tersedia bagi laki-laki dan perempuan. Kontrasepsi merupakan salah satu program keluarga berencana yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap keluarga (Hartanto, 2004 dan Febriani, 2012).

Menurut hasil survei dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2013, dilihat dari jenis kelamin, metode kontrasepsi perempuan yang digunakan jauh lebih besar dibanding dengan metode kontrasepsi laki-laki. Metode kontrasepsi perempuan sebesar 93,66%, sementara metode kontrasepsi laki-laki hanya sebesar 6,34%. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi laki-laki dalam menggunakan alat kontrasepsi masih sangat kecil. Rendahnya partisipasi


(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta laki-laki dalam program KB dikarenakan oleh terbatasnya pilihan kontrasepsi yang dapat digunakan. Metode kontrasepsi laki-laki dengan menggunakan alat yang tersedia antara lain kondom dan vasektomi (Wati, 2012). Namun hasilnya belum sepenuhnya diterima masyarakat, karena efek samping yang tidak dapat diabaikan dan belum 100% dapat mencegah kehamilan (Priastini, 2014). Hal tersebut bisa dilihat dari efektivitas masing-masing metode kontrasepsi pada pria. Metode kontrasepsi kondom memiliki angka kegagalan berkisar antara 15-36%. Efektivitas yang tidak terlalu tinggi terjadi karena pemakaian yang kurang teliti dalam mematuhi petunjuk cara pemakaiannya (Setyaningsih, 2008). Vasektomi adalah cara KB permanen bagi pria yang sudah memutuskan tidak ingin mempunyai anak lagi (Desra, 2011). Efektivitas vasektomi sangatlah tinggi, artinya kemungkinan gagal kecil sekali (0,15%) jika tindakan medis dilakukan secara benar (Budisantoso, 2008).

Dalam upaya meningkatkan keikutsertaan kaum pria dalam keluarga berencana perlu dilakukan penelitian obat antifertilitas yang dapat digunakan oleh kaum pria. Metode KB untuk pria yang efektif haruslah aman, reversible, bereaksi cepat, diterima oleh pemakai, dan tidak mempengaruhi kemampuan seksual atau libido. Bentuk pengaturannya harus mudah dan harganya terjangkau. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization / WHO) mencari dan mengembangkan metode pengaturan kesuburan pria. Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui bahan maupun zat dari tumbuhan, yang diduga mengandung bahan antifertilitas, dan dianggap aman, efektif, dan dapat diterima masyarakat (Febriani, 2012 dan Setia, 2012).

Penggunaan tumbuhan obat sebagai kontrasepsi telah lama dikenal masyarakat terutama di berbagai daerah di Indonesia. Kontrasepsi tradisional banyak ditemukan di daerah pedesaan, yang tradisi masyarakatnya masih memegang teguh kebiasaan nenek moyangnya (Febriani, 2012). Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Muslichah et al

(2014) bahwa pemberian fraksi n-heksana, fraksi kloroform, dan fraksi metanol biji saga terhadap tikus selama 20 hari dapat menyebabkan


(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penurunan jumlah, viabilitas, motilitas, serta peningkatan abnormalitas spsermatozoa yang signifikan dibandingkan dengan kontrol. Selain itu, pada penelitian oleh Nuraini et al (2012) penyuntikan ekstrak biji papaya selama 21 hari dapat mempengaruhi terhadap penurunan motilitas, viabilitas dan bentuk spermatozoa normal.

Salah satu tanaman tradisional yang diharapkan dapat menjadi antifertilitas adalah tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) Dari sekian banyak senyawa kimia yang terdapat dalam sambiloto, senyawa yang berperan sebagai antifertilitas adalah andrographolide. Andrographolide adalah zat aktif dalam sambiloto yang berfungsi untuk mencegah pembelahan sel (sitokenesis) pada tahapan spermatogenik.

Andrographolide dapat mempengaruhi sel-sel spermatogenesis dalam tubulus seminiferus dan berpengaruh pada kualitas spermatozoa yang dihasilkan (Widyawati, 2007 dan Christijanti, 2007).

Penelitian tentang tanaman sambiloto yang berpotensi sebagai antifertilitas secara tradisional belum banyak diteliti di Indonesia. Pada penelitian sebelumnya oleh Kumar et al. (2011) dilaporkan bahwa aktivitas ekstrak air daun sambiloto dengan dosis 100 dan 200 mg/kg BB pada tikus jantan dapat berpengaruh pada berkurangnya berat testis, epididimis dan vesikula seminalis. Dan juga berpengaruh pada penurunan serum testosteron, jumlah sperma testikular, jumlah sperma epididimis, motilitas spermatozoa dan morfologi spermatozoa yang normal jika dibandingkan dengan kontrol.

Hal ini kemudian melatarbelakangi perlunya penelitian lebih lanjut untuk pengujian antifertilitas yang belum dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan menggunakan pelarut etanol. Menurut Depkes RI (2005), pelarut yang diperbolehkan untuk ekstrak tumbuhan obat adalah air dan etanol. Menurut Kumoro, dkk (2009) dilaporkan bahwa senyawa

andrographolide akan lebih banyak tertarik pada pelarut seperti metanol dan etanol dibandingkan dengan air dan pelarut lainnya. Penelitian ini dilakukan selama 48 hari dengan menggunakan dosis yang sama dengan penelitian Kumar et al. (2011) yaitu 100 mg/kgBB dan 200 mg/kgBB dan


(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan penambahan dosis yaitu 400 mg/kgBB. Pengujian dilakukan untuk melihat pengaruh ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata

Nees.) terhadap morfologi spermatozoa, jumlah spermatosit pakiten, konsentrasi spermatozoa dan konsentrasi hormon testosteron serum pada tikus putih jantan galur Sprague-Dawley secara in vivo.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak etanol 96% daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) terhadap konsentrasi spermatozoa, morfologi spermatozoa, konsentrasi testosteron dan jumlah spermatosit pakiten pada tikus putih jantan galur Sprague-Dawley secara

in vivo?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek antifertilitas ekstrak etanol 96% daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) terhadap konsentrasi spermatozoa, morfologi spermatozoa, konsentrasi testosteron dan jumlah spermatosit pakiten tikus putih jantan galur Sprague-Dawley

secara in vivo.

1.4. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah ekstrak etanol 96% daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) dapat menurunkan konsentrasi spermatozoa, konsentrasi testosteron dan jumlah spermatosit pakiten serta meningkatkan abnormalitas morfologi spermatozoa tikus putih jantan galur Sprague-Dawley secara in vivo.


(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat luas mengenai aktivitas dari bahan alami yang berasal dari daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) sebagai agen antifertilitas dan memberikan informasi yang bermanfaat dalam perkembangan ilmu reproduksi yang kemudian dapat digunakan sebagai bahan alternatif untuk kontrasepsi alami pada pria.


(23)

6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) 2.1.1. Sejarah dan Sinonim

Tumbuhan Sambiloto bukanlah tumbuhan asli Indonesia, tetapi diduga berasal dari India. Menurut data spesimen yang ada di Herbarium Bogoriense di Bogor, sambiloto sudah ada di Indonesia sejak 1893. Tumbuhan ini kemudian menyebar ke daerah tropis Asia hingga sampai di Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia, tumbuhan sambiloto dikenal dengan berbagai nama, yaitu : ampadu tanah (Minang); pepaitan (Melayu); bidara, sambiroto, sandiloto, sadilata, takilo, paitan, sambiloto (Jawa); ki oray, takila, ki peurat (Sunda); samiroto (Bali). Sementara itu nama asing dari tumbuhan sambiloto adalah (Bahasa inggris) king of bitter, green chiretta (Widyawati, 2007).

2.1.2. Klasifikasi

Dalam Sistematika (taksonomi), tumbuhan sambiloto dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Class : Dicotyledoneae Ordo : Solanales Famili : Acanthaceaae Genus : Andrographis

Species : Andrographis paniculata Nees. (BPOM RI, 2012)

2.1.3. Morfologi

Tumbuhan berhabitus terna semusim, tumbuh tegak, tinggi dapat mencapai 90 cm, batang berbentuk segi empat dengan rusuk yang jelas, menebal di bagian buku-buku batang. Helaian daun merupakan daun tunggal, terletak bersilang berhadapan, helaian daun bentuk lanset, ukuran


(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta panjang 3-12 cm, lebar 1 -3 cm, panjang tangkai daun 0,2-0,5 cm, pangkal dan ujung helaian daun runcing, tepi daun rata, permukaan atas hijau tua, bagian bawah hijau muda. Perbungaan berupa bunga majemuk malai rata, di bagian ujung batang atau di bagian ketiak daun di bagian atas. Kelopak bunga berlekatan terbagi menjadi 5 helai. Daun mahkota 5, berlekatan membentuk tabung mahkota bunga, panjang tabung 6 mm, panjang helaian daun mahkota lebih dari panjang tabung mahkota, 2 helai daun mahkota di bagian atas (bibir atas) berwarna putih dengan garis kuning di bagian ujungnya, panjang helaian 7-8 mm, bibir bawah terdiri atas 3 helaian daun mahkota, putih atau putih disertai warna ungu. Tangkai sari 5, ukuran tangkai sari sepanjang mahkota bunga, tangkai sari melebar di bagian pangkal. Tangkai putik panjang, melebihi panjang mahkota bunga. Buah berbentuk kapsul, berkatup dan berisi 3-7 biji berwarna coklat tua. Berbunga sepanjang tahun, semua bagian tanaman terutama daun sangat pahit (BPOM RI, 2012).

a.

b.

Gambar 2.1. a. Koleksi Pribadi Tumbuhan Sambiloto b.Daun dan Tumbuhan Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.)


(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.1.4. Kandungan Kimia

Daun tumbuhan sambiloto yang memiliki sifat kimiawi berasa pahit, dingin, memiliki kandungan kimia sebagai berikut: daun dan percabangannya mengandung lakton yang terdiri dari andrograpgolide, deoxyandrographolide, 11,12-didehydro-14-deoxyandro-grapholide, dan

neoandrographolide. Terdapat juga flavonoid, alkana, keton, aldehid, mineral (kalium, akarnya mengandung flavotioid, dimana hasil isolasi terbanyaknya adalah polimetoksiflavon, andrografin, panikulin, mono-0-metilwithin dan apigenin-7,4-dimetileter (Harianja, 2011).

2.1.5. Andrografolid

Komponen bioaktif primer dari tanaman obat Andrographis paniculata adalah andrografolid (Jarukamjon et al, 2008). Senyawa yang merupakan suatu diterpen lakton ini, diisolasi pertama kali oleh Boorsma dari bagian-bagian Andrographis paniculata yang berbeda (Hidalgo, 2013). Senyawa ini memiliki rasa yang sangat pahit, berbentuk kristal yang tidak berwarna dan memiliki rumus molekul C20H30O5 (Yadav et al,

2012).

Gambar 2.2 Struktur Molekul Andrografolid Sumber : Jadhao et al. 2014

Andrografolid larut dalam metanol, etanol, piridin, asam asetat, dan aseton tetapi kurang larut dalam eter dan air. Titik lebur andrografolid adalah 228-230oC (Jadhao et al, 2014). Kandungan maksimum andrografolid dan diterpen lainnya terdapat dalam daun yang matang. Kandungan andrografolid dalam batang 0.2%; biji 0.13%; akar 0.44%; dan


(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta daun 2.39%. Kandungan andrografolid bervariasi tergantung pada musim pemanenan. Kandungan andrografolid dalam daun lebih dari 2% terdapat pada saat sebelum tanaman berbunga, setelah itu kandungannya berkurang hingga kurang dari 0.5% (Hidalgo et al, 2013). Panjang gelombang maksimum senyawa andrografolid yaitu 230-235 nm (Awal, 2011; Nugroho, 2014; Chamoli, 2013).

2.1.6. Manfaat

Tumbuhan ini rasanya sangat pahit akibat adanya zat andrografolid dan bersifat dingin, masuk meridian jantung dan paru-paru. Bisa digunakan untuk mencegah pembentukan radang, memperlancar air seni (diuretik), menurunkan panas badan (piretik), obat sakit perut, kencing manis dan keracunan (Afifah, 2005).

Tumbuhan sambiloto juga berkhasiat sebagai obat amandel, obat asam urat, obat batuk rejan, obat diabetes melitus, obat hipertensi, hepatitis, stroke, TBC, menguatkan daya tahan tubuh terhadap serangan flu babi dan flu burung Daun tumbuhan sambiloto bermanfaat untuk menurunkan demam tinggi dan malaria. Selain itu, daun tumbuhan sambiloto berkhasiat untuk mengatasi: hepatitis, infeksi saluran empedu, disentri basiler, tifoid, diare, influenza, radang amandel (tonsilitis), abses paru, radang paru (pneumonia), radang saluran napas (Bronkitis), radang ginjal akut (pielonefritis akut), radang telinga, kencing nanah (gonore), kencing manis (diabetes melitus), tumor trofoblas (trofoblas ganas), serta tumor paru, kanker: penyakit trofoblas seperti kehamilan anggur (mola hidatidosa), batuk rejan (pertusis), sesak napas (asma), darah tinggi (hipertensi) (Harianja, 2011).

2.2. Simplisia dan Ekstrak 2.2.1. Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang dikeringkan (Depkes RI, 1995). Simplisia dibagi menjadi tiga golongan, yaitu simplisia nabati, simplisia hewani, dan


(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta simplisia pelican (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tumbuhan adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa zat kimia (Depkes RI, 2000).

2.2.2. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 2000)

Ada beberapa jenis ekstrak yakni : ekstrak cair, ekstrak kental dan ekstrak kering. Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengndung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-masing monografi tiap mL ekstrak mengandung senyawa aktif dari 1 g simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak cair jika hasil ekstraksi masih bisa dituang biasanya kadar air lebih 30%. Ekstrak kental jika memiliki kadar air antara 5 – 30 %. Ekstrak kering jika mengandung kadar air kurang dari 5% (Saifudin dkk, 2011).

2.3. Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Diketahuinya senyawa aktif yang dikandung oleh simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah diserap oleh pelarut, karena itu pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Simpilisia


(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar susah diserap oleh pelarut, karena itu perlu diserbuk sampai halus (Depkes RI, 2000).

2.3.1. Cara Dingin a. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan perendaman menggunakan pelarut dengan pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan dengan pengadukan secara terus menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian terhadap maserat pertama dan selanjutnya adalah remaserasi (Depkes RI, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi merupakan proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenanya (penetesan atau penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes RI, 2000).

2.3.2 Cara Panas a. Refluks

Refluks merupakan ekstraksi simplisia menggunakan pelarut berdasarkan titik didihnya, selama waktu tertentu yang jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes RI, 2000).

b. Sokletasi

Sokletasi merupakan ekstraksi simplisia menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik (Depkes RI, 2000).


(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta c. Digesti

Digesti merupakan maserasi kinetik pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), biasanya dilakukan pada temperatur 40-50⁰C. (Depkes RI, 2000).

d. Infus

Infus merupakan ekstraksi simplisia menggunakan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur (96-98⁰C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes RI, 2000).

e. Dekok

Dekok merupakan infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan

temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).

2.4. Tinjauan Hewan Percobaan 2.4.1. Klasifikasi Tikus Putih

Menurut Krinke (2000) klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mammalia Order : Rodentia Family : Muridae Genus : Rattus

Species : norvegicus

2.4.2. Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan


(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya. Selain itu, penggunaan tikus sebagai hewan percobaan juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya 2 – 3 tahun dengan lama produksi 1 tahun.

Kelompok tikus laboratorium pertama-tama dikembangkan di Amerika Serikat antara tahun 1877 dan 1893. Keunggulan tikus putih dibanidngkan tikus liar antara lain lebih cepat berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan laboratorium adalah sangat mudah ditangani, dapat ditinggal sendirian dalam kandang asal dapat mendengar suara tikus lain dan berukuran cukup besar sehingga memudahkan pengamatan. Secara umum, berat badan tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Biasanya pada umur empat minggu beratnya 35 – 40 g, dan berat dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Galur Sprague Dawley merupakan galur yang paling besar diantara galur yang lain.

Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian. Galur-galur tersebut antara lain : Wistar, Sprague-Dawley,

Long Evans, dan Holdzman. Dalam penelitian ini digunakna galur Sprague-Dawley dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya Tikus ini pertama kali diproduksi oleh peternakan Sprague Dawley. Tikus Sprague Dawley

merupakan jenis outbred tikus albino serbaguna secara ekstensif dalma riset medis. Keuntungan utamanya adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya. (Smith dan Mangkoewidjojo, 1998).


(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 2.1. Biologis tikus putih (Smith dan Mangkoewidjojo, 1998) Lama hidup 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun

Lama produksi ekonomis 1 tahun Lama bunting 20-22 hari Umur dewasa 40-60 hari

Umur dikawinkan 8-10 minggu (jantan dan betina) Siklus kelamin Poliestrus

Siklus estrus 4-5 hari

Lama estrus 9-20 jam

Perkawinan Pada waktu estrus

Ovulasi 8-11 jam sesudah timbul estrus, spontan Fertilisasi 7-10 jam sesudah kawin

Implantasi 5-6 hari sesudah fertilisasi

Berat dewasa 300-400 g jantan; 250-300 g betina Suhu (rektal) 36-39oC (rata-rata 37,5 oC)

Pernapasan 65-115/menit, turun menjadi 50 dengan anestesi, naik sampai 150 dalam stress Denyut jantung 250 bit/menit, turun menjadi 250 dengan

anestesi, naik sampai 550 dalam stres

Tekanan darah 90-180 sistol, 60-145 diastol, turun menjadi 80 sistol, 55 diastol dengan anestesi

Konsumsi oksigen 1,29-2,68 ml/g/jam Sel darah merah 7,2-9,6 x 106/mm3 Sel darah putih 5,0-130 x 103/ mm3

SGPT 17,5-30,2 IU/liter

SGOT 45,7-80,8 IU/liter

Kromosom 2n=42

Aktivitas Nokturnal (malam)

Konsumsi makanan 15-30 g/hari (dewasa) Konsumsi minuman 20-45 ml/hari (dewasa)

2.5. Sistem Reproduksi Tikus Jantan

Sistem reproduksi tikus jantan terdiri atas testis dan skrotum, epididimis dan vas deferens, sisa kelenjar ekskretori pada masa embrio yang berfungsi untuk transport sperma, kelenjar asesoris, uretra dan penis. Selain uretra dan penis, semua struktur ini berpasangan (Meldawati, 2011). Testis dari tikus jantan terdapat pada dua kantung skrotum yang dipisahkan oleh membran tipis yang terletak antara anus dan preputium. Testis terdiri dari tubulus seminiferus yang panjang dan berkelok-kelok, yang pada epitelnya merupakan tempat berlangsungnya spermatogenesis. Ujung dari tubulus seminiferus ini kemudian bermuara menuju epididimis.


(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Epididimis terdiri dari tiga bagian yaitu kapus epididimis yang membesar di ujung proksimal pada testis, yang hampir seluruhnya terbenam ke dalam lemak; korpus epididimis yang terdapat di sekitar dorsomedial testis serta kauda epididimis pada ujung distal testis, merupakan tempat pematangan spermatozoa yang kemudian bermuara ke vas deferens (Suckow, 2006).

Gambar 2.3. Sistem Reproduksi Hewan Jantan, ventral view (Sumber : Suckow, 2006)

Pada hewan yang melakukan fertilisasi secara interna organ reproduksinya dilengkapi dengan adanya organ kopulatori, yaitu suatu organ yang berfungsi menyalurkan spermatozoa dari organisme jantan ke betina. Peranan hewan jantan dalam hal reproduksi terutama adalah memproduksi spermatozoa dan sejumlah kecil cairan untuk memungkinkan sel spermatozoa masuk menuju rahim (William, 2005).

Tikus memiliki lima pasang kelenjar seks aksesori yang terletak didalam panggul dan yang mengelilingi kandung kemih (Gambar 2.2) yaitu kelenjar dari duktus deferens; dua pasang kelenjar prostat, yang


(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berada pada bagian dorsal dan ventral dari duktus deferens; sepasang kelenjar vesikular yang membelit dan berbentuk sabit besar, serta satu pasang kelenjar koagulasi yang terdapat dalam kelenjar vesikular. Sepasang kelenjar bolbouretralis yang berada pada otot bolboglandular (Suckow, 2006).

Vesikula seminalis dan kelanjar koagulasi merupakan bagian yang penting untuk fertilisasi pada tikus. Kedua organ tersebut mensekresikan cairan yang diperlukan untuk pembentukan sumbat vagina. Peran sumbat vagina belum dipahami dengan baik dalam pengamatan mengenai kehamilan yang jarang terjadi tanpa adanya pembentukan sumbat vagina tersebut, tetapi diduga bertindak sebagai reservoir untuk pelepasan sperma secara bertahap atau untuk mencegah keluarnya sperma dari vagina (Suckow, 2006).

Testis memiliki dua fungsi, yaitu sebagai tempat spermatogenesis dan produksi androgen. Oleh sebab itu, testis dapat juga dikatakan sebagai kelenjar ganda karena secara fungsional bersifat endokrin dan juga eksokrin. Fungsi endokrin terletak pada sel Leydig yang menghasilkan androgen, terutama testosteron. Fungsi eksokrin terletak pada epitelium seminiferus yang menghasilkan spermatozoa (Fawcett, D.W. 2002).

Spermatogenesis terjadi dalam suatu struktur yang disebut tubulus seminiferus. Tubulus ini berlekuk-lekuk dalam lobus yang semuanya duktusnya kemudian meninggalkan testis dan masuk ke dalam epididimis. Produksi androgen terjadi dalam kantung dari sel khusus yang terdapat di daerah interstitial antara tubulus. Tubulus seminiferus dilapisi oleh epitelium yang dilapisi oleh epitelium bertingkat yang sangat kompleks yang mengadung sel spermatogenik dan sel-sel yang menunjang. Sel-sel penunjang berjenis tunggal disebut sel sertoli (Heffner, L.J. dan Schust, D.J. 2005).

Tubulus seminiferus dikelilingi oleh membran basal. Didekat membran basal ini terdapat sel progenitor untuk produksi spermatozoa. Epitel yang mengandung spermatozoa yang sedang berkembang disepanjang tubulus disebut epitel seminiferus atau epitel germinal. Pada


(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta potongan melintang testis, spermatosit dalam tubulus berada dalam berbagai tahap pematangan. Diantara spermatosit terdapat sel sertoli. Sel ini secara metabolik dan struktural berguna untuk menjaga spermatozoa yang sedang berkembang. Sel sertoli memiliki jari-jari sitoplasma yang besar dan kompleks yang dapat mengelilingi banyak spermatozoa dalam suatu waktu. Sel ini juga berfungsi pada proses merubah prekusor androgen menjadi estrogen, suatu produk yang menghasilkan pengaturan umpan balik lokal pada sel leydig yang memproduksi androgen. Selain itu, sel sertoli juga menghasilkan protein pengikat androgen. Produksi sel androgen sendiri terjadi di dalam kantong dari sel khusus (sel Leydig) yang terdapat di daerah interstitial antara tubulus-tubulus seminiferous (Heffner, L.J. dan Schust, D.J. 2005).

2.5.1. Produksi Sperma

Proses produksi spermatozoa di dalam testis disebut spermatogenesis. Spermatozoa pada hewan pengerat lebih panjang dari spesies mamalia lain, termasuk mamalia dan hewan domestik pada umumnya (Krinke, 2000). Produksi sperma tiap hari pada tikus adalah 35,4 x 106/mL, tidak berbeda signifikan dengan manusia yakni 45,5 x 106/mL. Epitel seminiferus tikus mengandung 40% lebih sel spermatogenik dari volumenya, dua kali lebih banyak dari epitel seminiferus manusia (Ilyas, 2007).

Gambar 2.4. Spermatozoa Tikus (Sumber : Halvaei, et al, 2012)


(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.5.2. Spermatogenesis

Dasar pengetahuan yang cukup telah dibangun tentang spermatogenesis pada tikus. Sel primodial germinal yang telah berhenti bermigrasi diliputi oleh sel Sertoli dan membran basal yang menonjol dalam tubulus seminiferus pada alat kelamin tikus jantan. Sel kelamin jantan tetap tidak aktif sampai sebelum masa pubertas, yaitu sekitar 50 hari setelah kelahiran. Pada tahap itu mereka mulai membelah dan menjadi spermatogonium, dan kemudian terus membelah sampai hewan kehilangan kemampuan untuk memproduksi spermatozoa (Krinke, 2000).

Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa. Proses ini dimulai dengan sel benih primitif, yaitu spermatogonium. Pada saat terjadinya perkembangan sel kelamin, sel ini mulai mengalami mitosis, dan menghasilkan generasi sel-sel yang baru. Sel-sel ini dapat terus membelah sebagai sel induk, yang disebut spermatogonium tipe A, atau dapat berdeferensiasi selama siklus mitosis yang progresif menjadi spermatogonium B. Spermatogonium B merupakan sel progenitor yang akan berdeferensiasi menjadi spermatosit primer. Segera setelah terbentuk, sel-sel ini memasuki tahap profase dari pembelahan meiosis pertama. Spermatosit primer merupakan sel terbesar dalam garis keturunan spermatogenik ini dan ditandai dengan adanya kromosom dalam berbagai tahap proses penggelungan di dalam intinya (Fawcett, D.W., 2002).


(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.5. Tahapan Pembentukan Spermatogenesis (Sumber : Junqueira, dkk, 2007)

Dari pembelahan meiosis pertama ini timbul sel berukuran lebih kecil yang disebut spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder sulit diamati dalam sediaan testis karena merupakan sel berumur pendek dan berada dalam tahap interfase yang sangat singkat dan dengan cepat memasuki pembelahan meiosis kedua. Pembelahan spermatosit sekunder menghasilkan spermatid. Karena tidak ada fase-S (sintesis DNA) yang terjadi antara pembelahan meiosis pertama dan kedua pada spermatosit, jumlah DNA per sel berkurang setengah selama pembelahan kedua ini, yang menghasilkan sel haploid (n). Oleh karena itu, proses meiosis menghasilkan sel dengan jumlah kromosom haploid. Dengan adanya pembuahan, sel memperoleh kembali jumlah diploid yang normal (Junqueira, dkk, 2007).


(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.6. Tahapan siklus sel dalam spermatogenesis tikus.

Keterangan: Dimulai searah jarum jam dari paling kiri bawah. A, spermatogonium tipe A; In, spermatogonium tipe intermediate; B, spermatogonium tipe B; R, spermatosit primer isitirahat; L, spermatosit leptoten; Z,spermatosit zigoten; P(I), P(VII), P(XII, awal, pertengahan, dan akhir spermatosit pakiten. Angka romawi menunjukkan tahap siklus dimana mereka ditemukan; Di, diploten; II, spermatosit sekunder; 1-19, tahapan spermiogenesis. Tabel ditengah memberikan komposisi celular tahapan siklus epitel seminiferus (I-XIV). M. Superscript mengindikasikan terjadinya mitosis. (Sumber: Krinke,G.J. 2000)

Spermatogonium secara kasar diklasifikasikan menjadi tiga jenis: Jenis A, intermediate dan B (Gambar 2.5). Pada tikus, spermatogonium kemudian mengalami enam kali mitosis, dan kemudian menjadi sermatosit

preleptotene. Spermatosit kemudian berada dalam fase meiosis menjadi spermatosit sekunder leptotene, zygotene dan pachytene. Setiap spermatosit akan membelah menjadi empat spermatid haploid, yang


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengalami spermiogenesis menjadi: spermatid fase golgi (1-3), terdapatnya granul kromosom; fase cap (4-7), adanya head cap pada granul akrosom yang membesar dan menutupi 1/3 bagian nukleus; fase akrosom (8-14), nukleus dan head cap memanjang; fase maturasi (15-18) nukleusnya menjadi lebih pendek dan sitoplasma terkondensasi di sepanjang ekor yang telah mulai memanjang; hingga dihasilkan spermatozoa (19) yang dilepaskan ke lumen dengan ekor menghadap ke lumen (Krinke, 2000).

Pada tikus, 14 tahap siklus spermatogenesis terjadi didalam tubulus seminifeus. Tubulus memiliki pengaturan bertahap dan setiap bagian dari tubulus menunjukkan tahapan yang melibatkan empat atau lima generasi dari sel germinal yang selaras (Gambar 2.6). Pada tikus, dibutuhkan waktu selama 12 hari untuk menyelesaikan satu siklus yang terdiri dari 14 tahapan. Sebuah spermatogonium tikus membutuhkan empat siklus untuk akhirnya membentuk spermatozoa, sehingga diperlukan waktu 48 hari untuk menyelesaikan langkah spermatogenesis secara keseluruhan (Krinke, 2000).

2.5.3. Peran Hormon Pada Spermatogenesis

Dalam sistem reproduksi pria, regulasi hormonal memiliki peran yang sangat penting. Hipotalamus, hipofisis anterior, dan testis adalah suatu poros yang mengambil bagian terdepan di dalam proses regulasi tersebut. Melalui sekresi hormon-hormon seks, organ-organ tersebut mengatur proses spermatogenesis, spermiogenesis dan membentuk seks sekunder pria (Pramudito, 2009).

GnRH hipotalamus, yang disekresi ke dalam system portal hipofisis bekerja pada hipofisis pria untuk menstimulasi sintesis dan pelepasan gonadotropin FSH (Folicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone). Kedua hormon ini mengatur aktivitas spermatogenik dan endokrin testis (Heffner, L.J. and Schust J.D, 2005).

Spermatogenesis tergantung pada testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig pada respon terhadap rangsangan oleh LH yang dilepaskan dari


(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kelenjar hipofisis. Pelepasan LH oleh sel hipofisis diatur dengan negative feedback. Kadar sintesis testosteron yang meningkat oleh sel Leydig, menekan pelepasan LH dan sebaliknya kadar rendah testosteron menyebabkan pelepasan LH meningkat (Fawcett, D.W., 2002).

Hormon gonadotropik lain, FSH melekat secara spesifik dengan sel tubulus seminiferus, yang diperlukan untuk inisiasi spermatogenesis. Tempat kerja utama FSH pada epitel seminiferus adalah di dalam sel sertoli. Aktivasi reseptor FSH menyebabkan terjadinya sintesis reseptor androgen intraseluler dan protein pengikat androgen (androgen binding protein). Peningkatan ABP ini menyebabkan tingginya konsentrasi testosteron yang penting bagi pembentukan dan pematangan spermatozoa pada proses spermatogenesis. (Fawcett, D.W., 2002; Heffner, L.J. and Schust J.D, 2005).

Produksi testosteron oleh sel Leydig tergantung pada LH yang disekresi oleh hipofisis anterior. Hormon ini melekat pada reseptor spesifik pada membran plasma sel Leydig. Testosteron diperlukan dalam konsentrasi lokal untuk meneruskan spermatogenesis dalam tubulus seminiferous. Dalam darah testosteron penting untuk mempertahankan fungsi kelenjar asesoris reproduksi pria (vesikula smeinalis, prostat, daan kelenjar bulbouretral) juga untuk pertahanan karakteristik seks sekunder pria (pola rambut pubis pria, pertumbuhan jenggot, suara bernada rendah dan pembentukan otot tubuh) (Fawcett, D.W., 2002).

.

2.6. ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) adalah suatu teknik deteksi dengan metode serologis yang berdasrkan atas reaksi spesifik antara antigen dan atibodi, mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikator. ELISA adalah suatu teknik biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. (Harti, 2014).


(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Immunoassay melibatkan tes yang menggunakan antibodi sebagai reagen. Immunoassays enzim menggunakan enzim yang melekat pada salah satu reaktan dalam immunoassay untuk kuantifikasi melalui pengembangan warna setelah penambahan substrat / kromogen yang cocok. ELISA melibatkan adisi dan reaksi reagen terhadap zat yang terikat fase padat, melalui inkubasi dan pemisahan reagen yang bebas dan terikat menggunakan langkah-langkah pencucian. Reaksi enzimatik digunakan untuk menghasilkan warna dan untuk mengukur reaksi, melalui penggunaan suatu reaktan yang berlabel enzim (Walker, John M and Ralph Rapey, 2008).

Prinsip dasar ELISA diantaranya (Walker, John M and Ralph Rapey, 2008) :

a. Perlekatan pasif protein pada fase padat plastik b. Cuci bersih dari protein yang tak terikat

c. Penambahan antibodi spesifik

d. Penggunaan kompetisi protein inert untuk mencegah reaksi spesifik dengan fase padat plastik

e. Langkah pencucian untuk memisahkan reagen yang bereaksi (terikat) dari yang tidak bereaksi (bebas)

f. Penambahan substrat spesifik yang berubah warna pada katalisis enzim atau substrat dan kromofor berwarna (larutan zat warna) yang berubah warna karena katalisis enzim

g. langkah inkubasi dilakukan untuk reaksi imunologi h. Menghentikan katalisis enzim

i. Pembacaan warna dengan spektrofotometer.

Teknik pengujian dengan metode ELISA dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya (Walker, John M and Ralph Rapey, 2008):

1. Direct ELISA

ELISA secara langsung merupakan bentuk yang paling sederhana dari ELISA. Antigen secara pasif dilekatkan pada fase padat palstik selama periode inkubasi. Contoh fase padat yang paling banyak digunakan yaitu


(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sumuran plat mikrotiter. Setelah dilakukan tahapan pencucian sederhana, antigen terdeteksi oleh adanya penambahan antibodi yang mana berikatan secara kovalen pada suatu enzim. Setelah inkubasi dan pencucian, tes dilanjutkan dengan penambahan kromogen atau substrat dimana adanya aktivitas enzim akan menghasilkan perubahan warna. Semakin besar jumlah enzim maka semakin cepat terjadi perubahan warna. Perubahan warna dibaca setelah waktu yang ditetapkan atau setelah aktivitas enzim dihentikan oleh suatu zat kimia yang berarti pada waktu yang ditetapkan juga. Intensitas warna dibaca dengan menggunakan spektrofotometer.

Gambar 2.7. Prinsip ELISA secara langsung Sumber : (Walker, John M and Ralph Rapey, 2008) 2. Indirect ELISA

Pada metode ini menunjukan bahwa warna yang ditimbulkan tidak langsung disebabkan oleh antigen dan antibodi yang bereaksi. Dibutuhkan suatu antibodi antispesies yang dilabel dengan enzim. Antigen secara pasif

Antigen melekat pada sumuran dengan adsorbsi pasif dan diinkubasi

Sumuran dicuci untuk menghilangkan antigen yang bebas

Antibodi yang terkonjugasi dengan enzim ditambahkan dan diinkubasi dengan antigen

Sumuran dicuci untuk menghilangkan konjugat yang tak terikat

Substrat atau kromofor ditambahkan dan terjadi perubahan warna

Reaksi dihentikan dan intensitas warna dibaca dengan spektrofotometer


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melekat pada sumuran selama inkubasi. Setelah pencucian, antibodi spesifik untuk antigen diinkubasi dengan antigen. Sumuran dicuci dan beberapa antibodi yang berikatan terdeteksi dengan adanya penambahan antibodi antispesies yang berikatan secara kovalen pada enzim. Beberapa antibodi spesifik untuk spesies tertentu. Setelah inkubasi dan pencucian, tes dilanjutkan dengan perubahan warna dan pembacaan intensitas waran dengan spektrofotometer.

Gambar 2.8. Prinsip ELISA secara tidak langsung Sumber : (Walker, John M and Ralph Rapey, 2008) 3. Sandwich ELISA

Teknik ELISA jenis ini menggunakan antibodi primer spesifik untuk menangkap antigen yang diinginkan dan antibodi sekunder tertaut enzim signal untuk mendeteksi keberadaan antigen yang diinginkan. Pada Sumuran dilapisi dengan antigen dan diinkubasi

Sumuran dicuci untuk menghilangkan antigen yang bebas

Tambahkan antibody yang melawan antigen dan diinkubasi

Pencucian antibody yang tak berekasi

Tambahkan konjugat anti spesies dan diinkubasi

Sumuran dicuci

Tambahkan substrat atau kromofor

Reaksi dihentikan dan intensitas warna dibaca dengan spektrofotometer


(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dasarnya prinsip kerja dari sandwich ELISA mirip dengan direct ELISA. Namun, karena antigen yang diinginkan tersebut harus dapat berinteraksi dengan antibodi primer spesifik dan antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal, maka teknik ELISA ini cenderung dikhususkan pada antigen memiliki minimal 2 sisi antigenik (sisi interaksi dengan antibodi) sehingga setidaknya populasi antibody dapat berikatan atau antigen yang bersifat multivalen seperti polisakarida atau protein.


(44)

27 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai dari bulan Februari 2014 sampai Mei 2014. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Obat, Laboratorium Penelitian I, Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Hewan (Animal House), Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Riset Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Hewan Uji

Hewan uji yang akan digunakan dalam penellitian ini adalah tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang sehat berumur 7 – 8 bulan dengan berat 300–400 g dan fertil yang diperoleh dari Home Industri Animal Alamiah Bogor.

3.2.2. Bahan Uji

Bahan uji yang akan digunakan adalah ekstrak etanol 96% daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees.). Daun sambiloto diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO) Bogor. Sebelum dilakukan penelitian, tanaman di determinasi terlebih dahulu di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI Bogor.

3.2.3. Bahan Kimia

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah tween 80, aquadest, etanol 96%, Na CMC, eter, HCl 2N, NaOH 10%, Na2SO4

anhidrat, pereaksi tembaga asetat, kloroform, n-heksana, FeCl3, larutan

garam gelatin, pereaksi H2SO4 P, CH3COOH anhidrat, etil asetat, etanol

95%, HCl P, anhidrat asetat, pereaksi Bouchardat P, Pereaksi Mayer P, Pereaksi Dragendorff P, larutan NaCl 0,9%, metanol, larutan George,


(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.2.4. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : timbangan analitik, gelas ukur, botol maserasi, ayakan mesh 40, corong, kertas saring, kapas, perangkat vacuum rotary evaporator (EYELA), beaker glass, pipet tetes, tabung reaksi, spatula, cawan penguap, labu Erlenmeyer, hot plate,

batang pengaduk, botol sampel, aluminium foil, plastic wrap, oven, tanur, botol timbang, krus silikat, krus tang, desikator, pinset, kandang tikus, tempat makan dan minum tikus, timbangan hewan, alat pencekok oral (sonde), syringe, kaca objek, cover glass, mikropipet, seperangkat alat bedah, wadah pembiusan, mikroskop optik, tube, centrifuge, vortex, Hemasitometer Improved Neubauer, freezer, waterbath, Kit ELISA, ELISA reader, plat KLT silika gel, chamber, lampu UV-Visible, dan TLC

Scanner.

3.3. Rancangan Penelitian 3.3.1. Besar Sampel

Penelitian ini bersifat eksperimental yang terdiri atas 4 kelompok dengan masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus putih jantan galur Sprague-Dawley. Jumlah tikus yang digunakan pada setiap kelompok penelitian berdasarkan pada Research Guidelines for Evaluating The Safety and Efficacy of Herbal Medicines (WHO, 2000) yaitu untuk pengujian pada hewan pengerat masing-masing kelompok terdiri dari setidaknya lima ekor. Hewan uji yang digunakan sebanyak 20 ekor tikus.

3.3.2. Dosis Perlakuan

Acuan dosis yang digunakan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kumar, et al (2013). Perhitungan dosis yang diberikan dapat dilihat pada lampiran. Pemberian ekstrak dilakukan selama 48 hari sesuai dengan siklus spermatogenesis tikus (Krinke, 2000). Perlakuan yang digunakan adalah kontrol (tanpa perlakuan) dan tikus yang diberi ekstrak daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) dengan 3 dosis yang berbeda. Perlakuan yang digunakan terdiri dari :


(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 3.1 Perlakuan terhadap kelompok tikus

Kelompok Perlakuan Lama

Perlakuan Bagian yang digunakan Pengukuran (I) Kontrol Negatif

Diberi pembawa Tween 80) sebanyak 1 mL

48 hari - Cauda epididimis - Testis - Darah - Morfologi spermatozoa - Jumlah spermatosit pakiten

- [ ] Spermatozoa - [ ] T

(II) Kondisi untuk dosis rendah

Diberi emulsi ekstrak daun sambiloto (Andrographis

paniculata Nees.)

dengan dosis rendah yaitu 100 mg/kg BB

48 hari - Cauda epididimis - Testis - Darah

- Morfologi spermatozoa - Jumlah

spermatosit pakiten - [ ]

Spermatozoa - [ ] T

(III) Kondisi untuk dosis sedang

Diberi emulsi ekstrak daun sambiloto (Andrographis

paniculata Nees.)

dengan dosis sedang yaitu 200 mg/kg BB

48 hari - Cauda epididimis - Testis - Darah - Morfologi spermatozoa - Jumlah spermatosit pakiten - [ ] Spermatozoa - [ ] T

(IV) Kondisi untuk dosis tinggi

Diberi emulsi ekstrak daun sambiloto (Andrographis

paniculata Nees.)

dengan dosis tinggi yaitu 400 mg/kg BB

48 hari - Cauda epididimis - Testis - Darah

- Morfologi spermatozoa - Jumlah

spermatosit pakiten - [ ]

Spermatozoa - [ ] T

Keterangan : [ ] Spermatozoa : konsentrasi spermatozoa [ ] T : konsentrasi testosteron serum

3.4. Kegiatan Penelitian

3.4.1. Pemeriksaan Simplisia (Determinasi)

Sebelum dilakukan penelitian, daun sambiloto terlebih dahulu di determinasi di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, LIPI Bogor untuk memastikan kebenaran simplisia


(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.4.2. Penyiapan Simplisia dan Pembuatan Ekstrak

Sebanyak 15 kg daun sambiloto dikumpulkan kemudian dicuci bersih dengan air dan dikering-anginkan. Daun sambiloto yang telah kering dihaluskan dengan blender dan diayak menggunakan ayakan ukuran 40 mesh, sehingga diperoleh serbuk simplisia sebanyak 1 kg.

Serbuk simplisia kemudian dimaserasi menggunakan pelarut etanol 96% dengan perbandingan 1:10. Hasil maserasi disaring sehingga diperoleh filtrat. Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan vacuum rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental yang dihasilkan ditimbang dan dicatat beratnya selanjutnya disimpan di dalam lemari pendingin atau freezer.

3.4.3. Penapisan Fitokimia

Pada penapisan fitokimia dilakukan pemeriksaan terhadap kandungan golongan senyawa kimia dari ekstrak etanol daun sambiloto seperti alkaloid, flavonoid, diterpenoid, steroid/triterpenoid, saponin, tanin dan fenolik.

1. Identifikasi Alkaloid

0,5 mg ekstrak dalam tabung reaksi ditambahkan 1 mL asam klorida 2 N dan 9 mL aquades, dipanaskan di penangas air selama 2 menit, dan didinginkan. Kemudian disaring dan ditampung filtratnya. Filtrat digunakan sebagai larutan percobaan selanjutnya.

a. Larutan percobaan ditambahkan 2 tetes Bouchardart LP, terbentuk endapan coklat sampai dengan hitam  positif alkaloid.

b. Larutan percobaan ditambahkan 2 tetes Mayer LP, terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning yang larut dalam metanol P  positif alkaloid.

c. Larutan percobaan ditambahkan 2 tetes Dragendorf LP, terbentuk endapan coklat sampai dengan hitam  positif alkaloid (Depkes RI, 1995).


(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Identifikasi Flavonoid

0,5 mg ekstrak dalam tabung reaksi dilarutkan dalam NaOH 10% dan ditambahkan HCl. Perubahan larutan dari warna kuning menjadi tidak berwarna menunjukkan adanya flavonoid. (Godghate, Asvin et al dan Yadav, Jaideep Singh, et al, 2012 )

3. Identifikasi Diterpenoid

0,5 mg ekstrak dalam tabung reaksi dilarutkan dalam air dan ditambahkan 10 tetes tembaga asetat. Terbentuk warna hijau emerald yang menunjukkan ekstrak mengandung diterpenoid. (Godghate, Asvin et al

2012 )

4. Identifikasi Steroid/Triterpenoid

Sebanyak 3 gram ekstrak dicampurkan dengan 2 ml kloroform. Kemudian ditambahkan 2 ml asam asetat anhidrat dan 2 ml H2SO4 pekat dengan hati-hati. Terjadinya perubahan warna menjadi violet menunjukkan adanya triterpenoid, sementara jika terjadi perubahan warna menjadi biru/hijau menunjukkan ekstrak mengandung steroid (Edeoga et al, 2005).

5. Identifikasi Saponin

Uji Saponin dilakukan dengan metode Forth yaitu dengan cara memasukkan 2 mL sampel kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 10 mL akuades lalu dikocok selama 30 detik, diamati perubahan yang terjadi. Apabila terbentuk busa yang mantap (tidak hilang selama 30 detik) maka identifikasi menunjukkan adanya saponin. Uji penegasan saponin dilakukan dengan menguapkan sampel sampai kering kemudian mencucinya dengan heksana sampai filtrat jernih. Residu yang tertinggal ditambahkan kloroform, diaduk 5 menit, kemudian ditambahkan Na2SO4 anhidrat dan disaring. Filtrat dibagi menjadi menjadi 2 bagian, A dan B. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B ditetesi anhidrat asetat, diaduk perlahan, kemudian ditambah H2SO4 pekat dan diaduk kembali. Terbentuknya cincin merah sampai coklat menunjukkan adanya saponin (Marliana et al, 2005).


(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6. Identifikasi Tanin dan Polifenol

Sebanyak 3 g sampel diekstraksi akuades panas kemudian didinginkan. Setelah itu ditambahkan 5 tetes NaCl 10% dan disaring. Filtrat dibagi 3 bagian A, B, dan C. Filtrat A digunakan sebagai blangko, ke dalam filtrat B ditambahkan 3 tetes pereaksi FeCl3, dan ke dalam filtrat C ditambah

garam gelatin. Kemudian diamati perubahan yang terjadi (Marliana et al, 2005).

3.4.4. Parameter Spesifik dan Non Spesifik (Depkes RI, 2000) 1. Parameter Spesifik

a. Identitas ekstrak

Deskripsi tata nama sebagai berikut :  Nama ekstrak

 Nama latin tumbuhan (sistematika botani)  Bagian tumbuhan yang digunakan

 Nama Indonesia tumbuhan b. Organoleptik

Dengan menggunakan panca indera mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa sebagai berikut :

 Bentuk : padat, serbuk-kering, kental, cair  Warna : kuning, coklat, dll.

 Bau : aromatik, tidak berbau, dll.  Rasa : pahit, manis, kelat, dll. 2. Parameter Non Spesifik

a. Kadar Air

Masukkan lebih kurang 10 gram ekstrak dan timbang saksama dalam wadah yang telah ditara. Keringkan pada suhu 105oC selama 5 jam dan ditimbang. Lanjutkan pengeringan dan timbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25%.


(50)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b. Kadar Abu

Lebih kurang 2 g sampai 3 g ekstrak yang telah digerus dan ditimbang secara seksama dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan, timbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa kertas dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

3.4.5. Uji Kualitatif Andrografolid dengan KLT

Uji kualitatif andrografolid dilakukan dengan menyiapkan larutan uji terlebih dahulu. Larutan uji dibuat dengan melarutkan ekstrak sebanyak 100 mg kemudian ditambahkan metanol 5 mL. Fase diam yang digunakan yaitu silika gel 60 F254. Dengan fase geraknya yaitu kloroform : metanol

(9:1). Analisa spot dilakukan dibawah lampu UV 254 nm dan 366 nm. Pengamatan hasilnya dilanjutkan dengan menggunakan TLC Scanner

(Menkes RI, 2009).

3.4.6. Persiapan Hewan Uji

Sebelum percobaan, disiapkan tempat pemeliharaan hewan uji meliputi kandang, sekam, tempat makan dan minum tikus. Tikus jantan diaklimatisasi di Laboratorium Animal House selama 14 hari agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru. Tikus diberi makan dan minum standar ad libitum, dilakukan pengamatan kondisi umum tikus serta ditimbang berat badannya.

3.4.7. Pemberian Perlakuan

Penelitian ini menggunakan 20 ekor tikus putih jantan galur

Sprague-Dawley yang diberikan empat perlakuan yang berbeda. Masing-masing perlakuan terdiri atas 5 ekor tikus putih jantan. Ekstrak daun sambiloto yang diperoleh didispersikan dalam pembawa (Tween 80 2%)


(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan dosis yang telah ditentukan, diberikan secara oral dengan menggunakan alat pencekok oral (sonde) sebanyak 1 ml. Pemberian ekstrak diberikan peroral satu kali sehari setiap pagi hari dan dilakukan selama 48 hari.

3.4.8. Pembuatan Preparat

Setelah 48 hari, masing-masing hewan coba dikorbankan untuk diambil organ testisnya. Tikus dibius dengan eter, kemudian dibedah. Bagian testis dipisahkan dengan bagian kauda epididimis dan kemudian bagian testis dimasukkan ke dalam larutan formalin 10% untuk dibuat preparat.

Pembuatan sediaan mikroanatomi testis di laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pembuatan preparat dilakukan dengan cara : testis yang telah diambil, difiksasi dalam larutan Bouin, kemudian didehidrasi dengan etanol seri bertingkat, dan pada akhirnya ditanamkan dalam paraffin wax. Blok paraffin dipotong dengan ketebalam 5µm dan dilakukan pewarnaan dengan hematoksiklin-eosin (Yotarlai et al, 2011) .

3.4.9. Pengukuran Parameter

1. Pengukuran Konsentrasi Testosteron

Selama 48 hari tikus diberikan perlakuan dengan cara memberikan ekstrak etanol daun sambiloto secara oral. Pada hari ke 0 dan 49 dilakukan pengambilan darah melalui ekor (lateral tail vein) sebanyak ±1 mL kemudian dimasukkan ke dalam tube. Darah dalam tube disentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm untuk memisahkan serum yang akan digunakan untuk mengukur kadar testosteron tikus. Serum tersebut disimpan dalam freezer suhu -20oC sampai hari pengukuran (Akmal, dkk, 2010).

Pengukuran kadar hormon testosteron serum dilakukan dengan menggunakan kit ELISA testosteron dari DRG International. Kadar hormon minimal yang dapat terdeteksi pada kit ini adalah 0,083 ng/mL.


(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prosedur pengukuran hormon dilakukan berdasarkan instruksi manual yang disertakan dalam kit.

Pertama-tama setiap 25µL dari masing-masing standar, control dan sampel dimasukkan ke dalam sumuran pada plat. Dua ratus mikro liter

Enzyme Conjugate dimasukkan ke dalam setiap sumuran dan campur secara menyeluruh selama 10 detik. Plat diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruang (tanpa menutup plat). Dengan cepat isi dalam sumuran ditumpahkan kemudian masing-masing sumurna dicuci dengan Wash Solution (400µL setiap sumuran), proses tersebut diulangi sebanyak tiga kali, lalu plat dibenturkan pada kertas penyerap untuk menghilangkan sisa tetesan pada sumuran. Sebanyak 200µL Substrate Solution ditambahkan ke dalam setiap sumuran lalu inkubasi selama 15 menit pada suhu ruang. Reaksi enzimatik dihentikan dengan menambahkan 100µL Stop Solution

kedalam setiap sumuran. Absorban dari tiap sumuran ditentukan dengan menggunakan Microtiter plate ELISA reader pada panjang gelombang 450 ± 10 nm. Pembacaan sumuran sebaiknya dilakukan dalam 10 menit penambahan Stop Solution.

2. Pengukuran Konsentrasi Spermatozoa

Pengukuran konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan cara mengambil spermatozoa pada kauda epididimis. Spermatozoa yang didapat diletakkan pada kaca arloji yang berisi cairan NaCl 0,9% sebanyak 500µL. Spermatozoa dimasukkan kedalam bilik hitung Neubauer (Hemasitometer) sampai kamar Neubauer terisi rata. Kemudian dihitung jumlah spermatozoa pada salah satu kamar hitung Neubauer dan selanjutnya ditentukan pengenceran yang akan dilakukan dan jumlah kotak yang akan dihitung (Tabel 3.2).

Tabel 3.2 Pengenceran yang dilakukan dan kotak yang dihitung No. Jumlah spermatozoa dalam

1 kotak

Pengenceran Kotak yang dihitung

1. > 40 50 kali 5

2. 15 – 40 20 kali 10


(53)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Berdasarkan jumlah spermatozoa yang diketahui, maka dilakukan pengenceran spermatozoa berdasarkan jumlah spermatozoa yang dihitung (Ilyas, 2007).

Tabel 3.3 Cara Pengenceran

No. Pengenceran Pembuatan Pengenceran

1. 50 kali a. 980µL Larutan George + 20µL spermatozoa b. 2.450µL Larutan George + 50µL spermatozoa 2. 20 kali 950µL Larutan George + 50 µL spermatozoa 3. 10 kali a. 900µL Larutan George + 100µL spermatozoa

b. 450µL Larutan George + 50µL spermatozoa Keterangan : Poin a dan b menunjukkan opsi perlakuan (pilih salah satu)

Tahapan selanjutnya jika telah dilakukan pengenceran, dilakukan perhitungan spermatozoa dengan jumlah kotak yang dihitung sesuai dengan jumlah spermatozoa dan cara pengenceran pada tabel diatas. Kemudian dilakukan pengukuran spermatozoa sesuai rumus dibawah ini

Keterangan :

n : jumlah spermatozoa yang terhitung 10.000 : volume kamar hitung Neubauer Fp : faktor pengenceran yang dilakukan

25 : total kotak kecil yang terdapat dalam kamar hitung Neubauer k : jumlah kotak kecil yang dihitung saat pengamatan

v NaCl : volume NaCl (mL) fisiologis yang digunakan

Tabel 3.4 Rumus Konsentrasi Spermatozoa

No. Jumlah kotak yang dihitung Rumus konsentrasi spermatozoa

1. 5 n x 10.000 x 50 x 5 x 0,5

2. 10 n x 10.000 x 20 x 2,5 x 0,5

3. 25 n x 10.000 x 10 x 1 x 0,5


(54)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Pengamatan Morfologi Spermatozoa

Morfologi sperma dapat diamati pada sediaan apus dengan pewarnaan eosin Y 1%. Suspensi sperma sebanyak 50µL dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 300µL eosin Y 1% kemudian dikocok perlahan. Sperma diinkubasi pada suhu kamar selama sekitar 45-60 menit kemudian diresuspensikan dengan pipet tetes.

Pemeriksaan morfologi sperma dilakukan dengan membedakan bentuk sperma normal dan abnormal dari 200 sperma yang diamati. Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop dengan pembesaran 400-1000 kali. (Inveresk Research et al., 2000).

4. Pengukuran Jumlah Spermatosit Pakiten

Preparat histologi testis tikus diamati dengan mikroskop perbesaran 400 kali (10x40). Analisis kuantitatif dilakukan dengan menghitung jumlah spermatosit pakiten. Perhitungan dilakukan pada lima tubulus seminiferus yang mengalami spermatogenesis tahap VII dan VIII (Yotarlai et al., 2011).

3.5. Analisis Data

Hasil percobaan yang dianalisis untuk melihat adanya perbedaan yang nyata pada jumlah spermatosit pakiten, morfologi spermatozoa, konsentrasi spermatozoa, dan konsentrasi testosteron dari masing-masing kelompok tikus perlakuan. Analisis data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program pengolahan data statistic SPSS 16 yang meliputi uji normalitas, uji homogenitas, uji parametrik (One-Way ANOVA) atau uji non parametrik (Kruskal Wallis).


(55)

38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI, Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman uji adalah benar tanaman sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) famili Acanthaceae.

4.1.2 Ekstraksi

Sebanyak 1 kg serbuk daun sambiloto (Andrographis paniculata

Nees.) dimaserasi dengan pelarut etanol 96%. Filtrat yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator dan didapatkan ekstrak sejumlah 120,925 gram. Rendemen yang didapatkan ialah 12,093%.

4.1.3 Penapisan Fitokimia

Hasil penapisan fitokimia ekstrak etanol 96% daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) ditunjukkan pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto

Golongan Senyawa Hasil Penapisan

Alkaloid 1. Tes Mayer : terbentuk endapan putih (positif) 2. Tes Bouchardat : terbentuk endapan berwarna

coklat (positif)

3. Tes Dragendorf : terbentuk endapan berwarna jingga coklat (positif)

Flavonoid Terjadi perubahan warna kuning intens menjadi tak berwarna (positif)

Diterpenoid Terjadi perubahan warna dari hijau menjadi warna hijau emerald (positif)

Steroid Terjadi perubahan warna hijau kecoklatan menjadi warna hijau muda (positif)

Tanin/Fenolik Terjadi perubahan warna dari kuning menjadi warna hijau kehitaman (positif)


(56)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.1.4 Pengujian Paramater Ekstrak

Hasil pengujian parameter spesifik dan non spesifik yang dilakukan terhadap ekstrak dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Pengujian Parameter Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto

Parameter Hasil

Parameter Spesifik

1. Identitas Ekstrak

a. Nama latin tumbuhan b. Bagian tumbuhan yang

digunakan

c. Nama Indonesia tumbuhan

Andrographis paniculata

Nees. Daun Sambiloto 2. Organoleptik a. Bentuk b. Warna c. Bau Kental Hijau kehitaman Khas Parameter Non Spesifik

Kadar Air 13,55%

Kadar Abu 0,056%

Persentase Rendemen 12,093%

4.1.5 Uji Andrografolid Secara Kualitatif dengan KLT

Sambiloto merupakan tanaman obat unggulan nasional. Khasiatnya begitu banyak seperti antiinflamasi, antibakteri, antioksidan, antidiabetes dan aktivitas lainnya. Senyawa kimia aktif yang terbukti berkhasiat baik untuk aktivitas pencegahan dan pengobatan pada sambiloto adalah andrografolid. Senyawa andrografolid ini dapat digunakan sebagai senyawa identitas dan senyawa penentu aktivitas dari tanaman sambiloto (Rais dan Mulyani, 2014).

Untuk mengetahui keberadaan senyawa andrografolid dilakukan uji andrografolid secara kualitatif dalam ekstrak etanol 96% daun sambiloto dengan menggunakan KLT (Kromatografi Lapis Tipis). Hasil pengujian senyawa andrografolid secara kualitatif dapat dilihat pada gambar 4.1 dan 4.2.

Pada gambar 4.1 terlihat bahwa terdapat beberapa spot metabolit sekunder yang terpisah setelah dielusi dengan fase gerak kloroform : metanol (9:1). Kemudian dilakukan analisa spot dengan melihat spot dibawah lampu UV pada 254 nm dan 366 nm.


(57)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta a. b. c.

Gambar 4.1 Kromatogram lapis tipis ekstrak etanol 96% daun sambiloto dengan fase diam silika gel 60 F254 dan fase gerak kloroform : metanol (9:1) a. Spot yang muncul setelah dielusi b. Spot yang muncul dibawah sinar UV 254 nm c. Spot yang muncul

dibawah sinar UV 366 nm

Pengamatan selanjutnya dilakukan dengan menggunakan TLC

scanner . Hal ini bertujuan untuk memastikan spot mana yang merupakan senyawa andrografolid dengan melihat panjang gelombang maksimum dan nilai Rf. Senyawa andrografolid memiliki panjang gelombang maksimum 230 nm - 235 nm (Awal, 2011; Nugroho, 2014; Chamoli, 2013). Pada Rf 0,39 selanjutnya dilakukan pengukuran panjang gelombang maksimum maka diperoleh 233 nm. Panjang gelombang maksimum tersebut masih termasuk kedalam rentang, diduga ekstrak etanol 96% daun sambiloto ini mengandung andrografolid yang terlihat pada Rf 0,39. Hasil pengamatan kromatogram dan spektrum panjang gelombang maksimum sampel dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Diduga Andrografolid


(58)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 4.2 Profil TLC Scanner ekstrak etanol 96% daun sambiloto dengan fase diam silika gel 60 F254 dan fase gerak kloroform : metanol (9:1) a. Kromatogram lapis tipis ekstrak pada panjang

gelombang 254 nm b.Spektrum panjang gelombang maksimum kromatogram Rf 0,39

A

B

Diduga kromatogram

senyawa andrografolid

Panjang gelombang


(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hipotesis :

Ho : Data konsentrasi testosteron terdistribusi normal Ha : Data konsentrasi testosteron tidak terdistribusi normal Pengambilan keputusan :

- Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima - Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

K e p u

K e

Keputusan : Data konsentrasi testosteron kelompok tinggi terdistribusi normal

4.2. Uji Paired Samples T-Test

Tujuan : Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data konsentrasi testosteron antara hari ke-0 dan hari ke-49

Hipotesis :

Ho : Data konsentrasi testosteron tidak berbeda secara bermakna Ha : Data konsentrasi testosteron berbeda secara bermakna Pengambilan keputusan :

- Jika nilai signifikansi > 0,05 maka Ho diterima - Jika nilai signifikansi < 0,05 maka Ho ditolak


(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Keputusan : Data konsentrasi testosteron kelompok tinggi (p> 0,05) tidak berbeda secara bermakna antara hari ke-0 dan hari ke-49.


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 15. Hasil Perhitungan Jumlah Spermatosit Pakiten

No. Kelompok Hewan Uji Rata-Rata Tiap

Tikus

Rata-Rata Tiap Kelompok ± SD

1. Kontrol Tikus 1 52.8 55.70 ± 2.9

Tikus 2 58.6

Tikus 3 Mati

Tikus 4 Mati

Tikus 5 Mati

2. Dosis 100 mg/kgBB Tikus 1 48.8 45.65 ± 1.763

Tikus 2 46.8

Tikus 3 40.6

Tikus 4 Mati

Tikus 5 46.4

3. Dosis 200 mg/kgBB Tikus 1 41.4 40.80 ± 0.350

Tikus 2 40

Tikus 3 40.4

Tikus 4 41.6

Tikus 5 40.6

4. Dosis 400 mg/kgBB Tikus 1 35.2 33.05 ± 0.854

Tikus 2 31.4

Tikus 3 Mati

Tikus 4 32


(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 16. Analisa Statistik Data Jumlah Spermatosit Pakiten

1. Uji Normalitas

Tujuan : untuk melihat distribusi data jumlah spermatosit pakiten Hipotesis :

Ho : Data jumlah spermatosit pakiten terdistribusi normal Ha : Data jumlah spermatosit pakiten tidak terdistribusi normal Pengambilan Keputusan :

 Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima

 Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

Keputusan : Uji normalitas jumlah spermatosit pakiten seluruh kelompok terdistribusi normal.

2. Uji Homogenitas

Tujuan : untuk melihat data jumlah spermatosit pakiten homogen atau tidak Hipotesis :

Ho : Data jumlah spermatosit pakiten homogen Ha : Data jumlah spermatosit pakiten tidak homogen Pengambilan Keputusan :

 Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima


(5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Keputusan : uji homogenitas jumlah spermatosit pakiten seluruh kelompok homogen (p ≥ 0,05) , sehingga bisa dilanjutkan dengan uji ANOVA.

3. Uji ANOVA

Tujuan : untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data jumlah spermatosit pakiten

Hipotesis :

Ho : Data jumlah spermatosit pakiten tidak berbeda secara bermakna Ha : Data jumlah spermatosit pakiten berbeda secara bermakna Pengambilan Keputusan :

 Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima, berarti tidak berbeda secara bermakna

 Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak, berarti berbeda secara bermakna

Keputusan : data jumlah spermatosit pakiten seluruh kelompok berbeda secara bermakna (p≤ 0,05), sehingga bisa dilanjutkan dengan uji LSD

4. Uji Multiple Comparison tipe LSD (Least Significant Difference)

Tujuan: untuk menentukan data jumlah spermatosit pakiten kelompok mana yang memberikan nilai yang berbeda secara bermakna dengan kelompok lainnya


(6)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hipotesis :

Ho : Data jumlah spermatosit pakiten tidak berbeda secara bermakna Ha : Data jumlah spermatosit pakiten berbeda secara bermakna Pengambilan Keputusan :

 Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima

 Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

Keputusan :data jumlah spermatosit pakiten seluruh kelompok perlakuan berbeda secara bermakna dengan kontrol (p ≤ 0,05).


Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 70% Daun Pacing (Costus spiralis) terhadap Diameter Tubulus Seminiferus, Motilitas, dan Spermisidal pada Tikus Jantan Strain Sprague-Dawley

0 10 95

Uji Efek Antifertilitas Serbuk Bawang Putih (Allium Sativum L.) Pada Tikus Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo Dan In Vitro

3 25 115

Uji Antifertillitas Ekstrak Metanol Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L) pada Tikus Jantan Strain Sprague Dawley Secara In Vivo

4 11 134

Uji Antifertilitas Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

4 25 111

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

Uji Antifertilitas ekstrak N-Heksana biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley secara IN VIVO

2 15 116

Uji Antifertilitas Ekstrak Etanol 70% Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Jantan Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

0 4 121

Uji Aktivitas Hepatoprotektif Ekstrak Air Sarang Burung Walet Putih (Collocalia fuciphaga Thunberg, 1821). Terhadap Aktivitas SGPT & SGOT Pada Tikus Putih Jantan Galur Sprague-Dawley

0 23 107

Aktivitas antifertilitas ekstrak etanol 70% daun pacing (costus spiralis) pada tikus sprague-dawley jantan secara in vivo

1 32 0

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor (Moringa Oleifera Lam) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa, Morfologi Spermatozoa, Dan Diameter Tubulus Seminiferus Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley

4 34 116