Kajian Organologi Surdam Belin (Tangko Kuda) Buatan Bapak Pauji Ginting

DAFTAR INFORMAN
Nama
Alamat
Umur
Pekerjaan

: Pauji Ginting
: Jalan Rambung Merah - Perumahan Salam Tani Blok E No. 40.
: 42 Tahun
: Pekerjaan Seni

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA
A.G. Sitepu. 1980. Ragam Hias (Ornamen) Karo ―Seri A Kabanjahe : Medan
A.G. Sitepu. 1980. Mengenal Seni Kerajinan Karo Seri B : Medan
Ali, Muhammad. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Amani.
Banoe, Panoe. 1984. Pengantar Pengetahuan Alat Musik. Jakarta: C.V. Baru.
Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach. 1961. Classification of Musical Instrumen,
Translate from the original German by Antonie Banes and Klaus P.
Wachsman.


Hood, Mantle. 1981. The Ethnomusicologist. Ohio : The Kent State, University Press.
Koentcaraningrat. 1986. Pengantar Antropologi Musik. Jakarta: Aksara Baru.
Malm, William. P. 1976. Traditional Music Of The Pasific and The Near East. New
Jersey: Prectice-Hall.
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Illinois: North - Western
University Press
Nettle, Bruno . 1964 . Theory and Method Of Ethnomusicology. New York: The Free
Press - A Division Old Mc Milan publishing, Co, Inc.
Pradoko, Susilo. 2005. Diktat Perkuliahan Etnomusikologi.
Pusat Pembina Bahasa, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Penerbit Balai
Pustaka
Sinaga, Saridin Tua. 2009. Kajian Organologis Arbab Simalungun Buatan Bapak
Arisden Purba di Desa Maniksaribu Kec.Pematang Sidamanik
Kab.Simalungun, Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi Universitas
Sumatera Utara, Medan.

Universitas Sumatera Utara

BAB III

EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN SURDAM BELIN
(TANGKO KUDA) DALAM MASYARAKAT KARO

Dalam Bab III ini penulis akan menjelaskan keberadaan alat musik surdam
tangko kuda yang meliputi pembagian jenis surdam yang didasarkan menurut karakter
alat musik tersebut. Alat musik surdam tangko kuda ini memiliki materi tersendiri
dengan jenis alat musik surdam lainnya, sehingga penulis menitikberatkan alat musik
surdam tangko kuda menjadi inti kajian penulis yang dilihat dari aspek historis dan
kontiniutasnya. Adapun aspek ini akan didukung dengan bagaimana peran dan
penggunaan alat musik surdam ini dalam suatu aktivitas budaya tertentu yang diadakan
oleh salah satu masyarakat Karo. Sehingga secara keseluruhan penulis akan
menjelaskan eksistensi, historis, dan kontiniutas alat musik surdam tangko kuda dalam
masyarakat Karo.

3.1 Jenis-jenis Surdam dalam Masyarakat Karo
Dalam masyarakat Karo terdapat salah satu alat musik tiup yang terbuat dari
bambu yaitu surdam. Adapun surdam ini dibagi menjadi tiga jenis yang dilihat dari
karakteristiknya yaitu:
a. Surdam Puntung
Surdam puntung merupakan surdam yang memiliki potongan bagian ujung

bambu yang tepat mengenai bagian ruas bambu, sehingga dapat dilihat pada lubang tiup
tepat pada bagian ruas bambu tersebut. Adapun lubang surdam ini memiliki enam buah
lubang yaitu lima lubang terdapat di bagian tengah bambu surdam dan satu buah lubang
33

Universitas Sumatera Utara

dibagian

bawah sisi bambu surdam.Adapun surdam ini biasanya digunakan untuk

memainkan segala jenis lagu - lagu yang sedih maupun gembira. Surdam ini biasanya
dipakai oleh permakan yang menggembalakan ternaknya.

Gambar 2: Surdam Puntung
b. Surdam Rumamis
Surdam rumamis merupakan surdam yang sama seperti surdam permakan,
namun surdam ini memiliki enam buah lubang yaitu empat buah lubang dibagian sisi
tengah bambu surdam dan dua buah lubang dibagian sisi bawah bambu surdam dengan
ukuran lubang yang berbeda antara kedua lubang tersebut. Adapun surdam ini biasanya

dimainkan untuk lagu yang memiliki suasana sedih (tangis-tangis).

Gambar 3: Surdam Rumamis.

c. Surdam Tangko Kuda
Surdam tangko kuda merupakan surdam yang sama seperti surdam puntung
namun ukuran surdam ini jauh lebih panjang dari surdam tersebut yaitu satu meter.
34

Universitas Sumatera Utara

Lubang surdam ini memiliki enam buah lubang yaitu dua buah lubang disis atas bambu
surdam, tiga buah lubang dibagian sisi tengah bambu surdam, dan satu buah lubang
dibagian sisi bawah bambu surdam. Surdam ini juga biasanya dipakai untuk memainkan
lagu - lagu yang sedih.

Gambar 4: Surdam Tangko Kuda
Melihat ketiga jenis surdam diatas, terdapat karakteristik dari setiap jenis
surdam yang dilihat dari bentuk fisik atau pun organologi alat musik surdam.
Berdasarkan ukuran alat musik surdam dan lubang nada yang terdapat dalam surdam

menunjukkan pembedaan karakter. Dalam tulisan ini penulis hanya mengkaji salah satu
alat musik surdam yaitu surdam tangko kuda sebagai objek penelitian penulis.

3.2 Surdam Tangko Kuda dalam Masyarakat Karo
Masyarakat tradisional pada umumnya memiliki suatu tradisi kebudayaan yang
diturunkan secara turun temurun Dalam masyarakat Karo dikenal kesenian-kesenian
seperti alat musik, tari, maupun seni ukir yang hingga saat ini masih tetap bertahan.
Kesenian-kesenian ini ada dan diciptakan berdasarkan kreativitas masyarakat Karo itu
sendiri untuk pemenuhan kebutuhannya, sehingga masyarakat tersebut memiliki
pandangan sendiri atas latar belakang kesenian tersebut.

35

Universitas Sumatera Utara

Dalam tulisan ini penulis mencoba melihat salah satu kesenian masyarakat Karo
yaitu surdam tangko kuda yang dilihat dari aspek historisnya. Dalam masyarakat tradisi
terdapat cerita-cerita rakyat tertentu yang mewakili suatu sejarah yang menceritakan
suatu kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri. Cerita rakyat ini dapat juga disebut
foklor, dimana foklor ini merupakan cerita rakyat yang diyakini kebenarannya oleh

masyarakat . Sama seperti alat musik surdam tangko kuda dalam masyarakat Karo yang
memiliki cerita dan pandangan sendiri menurut masyarakat tersebut. Menurut Pauji
Ginting sebagai informan kunci penulis menjelaskan cerita sejarah bagaimana
pembuatan surdam tangko kuda ini di dalam masyarakat Karo dulunya. Suatu hari ada
salah satu warga etnik Karo (tak dapat dipastikan siapa namanya) yang memiliki
beberapa ekor kuda di belakang rumahnya. Namun pada malam hari ada seorang
pencuri yang ingin mencuri kudanya. Di malam yang bersamaan si pemilik kuda juga
sedang memainkan alat musik ini. Mendengar permainan musik si pemilik kuda
tersebut, si pencuri terhanyut dalam alunan musik serta membatalkan niatnya untuk
mencuri kuda tersebut. Surdam Tangko kuda juga memiliki teks nyanyian yang disebut
dengan Lagu Tangis. Lagu Tangis merupakan lagu yang dinyanyikan pada saat upacara
orang meninggal atau untuk menyatakan kesedihan dan terkadang si penyanyi juga ikut
menangis ketika menyanyikan lagu tersebut. Berikut teks nyanyian dan notasi balok
yang dinyanyikan oleh si pennyanyi ketika memainkan alat musik surdam tersebut:

“Adi enggo kam erpengobah ngelok impal, kam nari nge si ajar- ajaren
ras beberendu, bage kel nge nindu rupa impal Karo morgana”
“Kam nari nge singajarken beberendu si melumat kutadingken, bange nge
nindu rupa impal Karo morgana.”
36


Universitas Sumatera Utara

“Ula kam pagi erleja-leja ngajarken beberendu si melumat denga
kutadingken e, bage nindu rupa impal”
“E maka bagem mamana, adi nggo gia bapandu ngobah ngeluk nadingken
kita, ersada-ersadalah arihndu ras seninandu, ula kam sipanjangpanjuten, maka ula pagi terdiah, bapandu nggo lawes nadingken kita.”

Surdam dulunya hanya memainkan lagu yang bersifat sedih saja (lagu pada
masyarakat Karo pada umumnya) namun seiring dengan perkembangan-nya pada saat
ini surdam bisa memainkan lagu yang bersifat riang. Pengaruh yang terjadi dari dalam
maupun luar masyarakat Karo juga menentukan perkembangan alat musik tradisi ini
setelah melihat pengalihfungsian yang terjadi atas alat musik ini. Melihat sejarah di atas,
maka penulis melihat bahwa tradisi yang terdapat dalam masyarakat Karo masih
memegang kuat paham kulturalisme (culturalism). Dimana pembuatan surdam puntung
yang menggunakan kekuatan magis. Surdam dalam masyarakat Karo sudah lama
dikenal walaupun secara spesifik menurut penulis masih sedikit yang mengetahui
37

Universitas Sumatera Utara


pembagian dari surdam tersebut. Di antara pembagian surdam tersebut, surdam puntung
merupakan surdam yang hingga saat ini banyak digunakan diantara oleh pemain surdam
Karo. Hal itu dapat dilihat bagaimana alat musik surdam ini d apat mengiringi berbagai
jenis musik Karo. Hal itu terjadi karena secara melodis surdam ini menghasilkan nada nada yang mirip dengan nada diatonis.

3.3 Eksistensi Alat Musik Surdam Tangko Kuda dalam Masyarakat Karo
Seperti yang telah penulis jelaskan di atas pembagian alat musik surdam yang
terdapat dalam masyarakat Karo berdasarkan karakteristiknya menunjukkan bagaimana
alat musik ini diciptakan. Sama seperti orang yang sedang lapar yang akan berusaha
mencari makanan, kemudian untuk menambah kenikmatan makanan tersebut
dilakukanlah sebuah proses pembuatan makanan sesuai selera. Sehingga adanya alat
musik surdam sudah disesuaikan akan kebutuhan masyarakat Karo untuk melengkapi
aktivitas budayanya, dan untuk memberikan peran dan fungsi tertentu maka terjadilah
pembagian alat musik tersebut berdasarkan karakternya masing-masing. Bagaimanapun
suatu kebudayaan yang dihasilkan oleh suatu masyarakat dalam ruang lingkup kajian
objek penelitian penulis, dapat ditunjukkan melalui eksistensi alat musik tersebut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka (1991:253) bahwa
eksistensi adalah keberadaan. Berdasarkan hasil observasi, penulis memperhatikan
hampir disemua upacara adat, masyarakat Karo pada umumnya memakai alat musik

keyboard untuk mengiringi jalannya upacara, hal ini disebabkan karena suara yang
dihasilkan dari alat musik Karo dapat ditirukan oleh keyboard melalui programnya, jika
dilihat dari sisi lain maka jika melakukan upacara adat memakai alat musik tradisional
Karo secara materi akan menambah biaya dibandingkan memakai keyboard, karena
38

Universitas Sumatera Utara

kapasitas pemain keyboard lebih sedikit dibandingkan pemain alat musik Karo. Maka
perlahan-lahan alat musik tradisi Karo kurang dimininati di kalangan masyarakat Karo
dan secara otomatis pemain alat musik tradisi Karo ini pun mulai berkurang.
Namun pada saat sekarang ini tidak sedikit juga masyarakat Karo yang
menggunakan alat musik tradisi Karo dalam upacara adat, hal ini diakibatkan karena
alunan bunyi yang dihasilkan oleh alat musik Karo terasa lebih syahdu dan yang
mendengarkan akan terasa lebih puas. Melihat keberadaan suatu kesenian terutama
dalam kajian ini, penulis memperhatikan bagaimana sikap yang dilakukan oleh
masyarakat di dalamnya untuk merespon kebudayaan yang dimilikinya. Memang secara
signifikan alat musik keyboard sebagai alat musik yang memakai teknologi modern
sudah digunakan untuk kegiatan tradisi masyarakat Karo baik dalam upacara
perkawinan maupun upacara kematian.

Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana pengaruh tersebut mengesampingkan alat
musik tradisional walaupun secara sistematis nilai tradisi yang dihasilkan masih tetap
ada. Begitu juga dengan alat musik surdam yang dapat dikenal oleh masyarakat karena
melihat bagaimana alat musik tersebut tetap bertahan.
Keberadaan alat musik surdam ini ditunjang dari peran pembuat alat musik
tersebut yang menunjukkan suatu bentuk hasil kesenian dari masyarakat Karo. Dalam
masyarakat Karo seorang pembuat alat musik surdam disebut sierban surdam. Dalam
hal ini penulis menemukan seorang sierban surdam yang menjadi informan pangkal
dalam objek penelitian ini yang sudah memiliki pengalaman. Beliau adalah Pauzi
Ginting dari Desa Lingga yang sudah melakukan pekerjaannya sebagai pengerajin
kesenian alat musik tradisional Karo hingga berperan sebagai pemain musik juga.

39

Universitas Sumatera Utara

Adapun salah seorang konsumen beliau untuk alat musik yang dihasilkannya
adalah Djasa Tarigan seorang ―maestro‖ musisi Karo. Menurut keterangan beliau bahwa
alat musik yang digunakan oleh almarhum Djasa dibuat berdasarkan dengan keinginan
bagaimana kualitas dari alat musik yang diinginkan. Sehingga dengan adanya alat musik

yang dibuat dan dimainkan oleh seorang musisi akan membantu secara tidak langsung
pengenalan kesenian pada masyarakatnya. Keberadaan alat musik ini juga ditinjau dari
kebutuhan masyarakat akan suatu bentuk kesenian yang dapat digunakan untuk
keperluan kegiatan budaya. Untuk mengatasi hal ini Bapak Pauji Ginting juga tidak
hanya membuat alat musik untuk keperluan aktivitas budaya saja, bahkan beliau
membuat alat musik dalam bentuk hiasan atau souvenir. Dengan ini keberadaan seperti
alat musik surdam sudah dapat dikenal di tengah-tengah kalangan masyarakat Karo.
Di zaman modern, sering terjadi kesulitan untuk mempertahankan keberlanjutan
sesuatu yang bersifat tradisi karena tradisi dianggap menghalangi kehidupan
modernisasi.

Untuk

itu

diperlukan

sebuah

tatanan

yang

dirancang

untuk

mempertahankan nilai-nilai tradisi secara total di antara bentuk kesenian kreasi baru
atau modern. Fenomena inilah yang membuat kesenian tradisional seperti surdam dapat
dikenal dan digunakan dalam kalangan masyarakat Karo. Kesenian atau alat musik
surdam inilah salah satu penunjuk identitas masyarakat Karo sehingga ada dan terdapat
dalam setiap kegiatan aktivitas budayanya atas kebutuhan yang harus dimiliki.
Keberadaan seperti alat musik surdam ini ditunjang oleh masyarakat Karo secara
keseluruhan yaitu pembuat alat musik, penyaji alat musik dan penikmat alat musik
tersebut.

40

Universitas Sumatera Utara

3.4 Penggunaan dan Fungsi Surdam
Dalam kehidupan masyarakat Karo, musik memiliki peran yang sangat penting.
Adapun penggunaan dan fungsi seperti yang dikemukakan oleh Merriam (1964 - 2010)
yaitu: “use than refers to the situation on in which music is employed in human action;
“Function” concerns the reason for it employement and particularly the broader
purpose which it serves”. Terjemahan bebas sebagai berikut. “Penggunaan, berkenan
terhadap suatu keadaan bagaimana musik tersebut dipakai dalam kegiatan manusia;
fungsi, meliputi alasan pemakaian dan terutama dalam lingkup yang luas, sejauh mana
musik itu dapat memenuhi kebutuhan manusia tersebut.”
Penggunaan dan fungsi di dalam musik merupakan suatu pembahasan yang
sangat penting. Hal tersebut dikarenakan musik memiliki aspek-aspek di dalam
kehidupan manusia dan efeknya terhadap suatu masyarakat. Dengan kata lain,
penggunaan menyangkut konteks pemakainan musik, sementara fungsi menyangkut
kepada bagaimana dan untuk apa musik itu disajikan. Dalam hal ini penulis akan
melihat penggunaan dan fungsi dari hasil kultur kesenian masyarakat Karo dengan
fokus objek penelitian penulis surdam tangko kuda.

3.4.1 Penggunaan
Menurut Herskovits (1964:217-218) dalam Merriam, penggunaan musik dapat
dibagi menjadi lima katagori unsur-unsur budaya, yaitu: kebudayaan material,
kelembagaan sosial, hubungan manusia dengan alam, estetika, dan bahasa. Berdasarkan
kelima katagori tersebut di atas, penggunaan surdam dalam konteks unsur-unsur budaya
dapat diuraikan dalam tiga kategori di atas yaitu, kebudayaaan material, hubungan
manusia dengan alam dan estetika.
41

Universitas Sumatera Utara

Kebudayaan material dalam hal ini dapat dilihat dari aspek fisik alat musik yang
memperhatikan hal spesifik dalam instrumen tersebut yang dihasilkan dari hasil
kebudayaan masyarakat itu sendiri. Sama seperti alat musik surdam yang digunakan
oleh masyarakat Karo, di mana dilihat dari segi materialnya bahwa instrumen ini terbuat
dari bambu. Adapun bambu dalam hal ini merupakan hasil kebudayaan material yang
digunakan oleh masyarakat Karo pada umumnya dengan berbagai kegunaan untuk
kegiatan mereka sehari-hari. Misalnya dalam masyarakat Karo yang pada umumnya
mayoritas petani menggunakan bambu sebagai ajek-ajek untuk tanaman-tanaman yang
menjalar seperti tomat, buncis, retis, dan lain-lain.
Melihat hal ini penulis menyimpulkan bagaimana sebuah kebudayaan material
digunakan dalam tradisi dimasyarakat itu sendiri disebabkan oleh aspek kebutuhan
masyarakat itu sendiri untuk keperluan masyarakat itu sendiri. Sehingga adapun
kegunaan alat musik surdam puntung ini dalam masyarakat Karo disediakan untuk
kebutuhan masyarakat tersebut dalam menyajikan upacara tertentu seperti upacara
erpangir ku lau dan mengingat kebudayaan materialnya yang terbuat dari bambu yang
merupakan sebuah alat atau material yang sudah lama dikenal dan digunakan oleh
masyarakat Karo untuk kebutuhannya.

3.4.1.1 Penggunaan
Surdam digunakan pada upacara erpangir ku lau. Secara etimologis, kata
erpangir ku lau berasal dari kata pangir yang berarti ―langir‖ dan ku lau yang berarti
―ke air.‖ Jadi erpangir ku lau adalah berlangir ke air. Erpangir ku lau merupakan
upacara ritual yang bertujuan untuk membersihkan diri agar terhindar dari penyakit,
bahaya ataupun roh-roh jahat dan agar cita-cita atau keinginan tercapai.
42

Universitas Sumatera Utara

Dalam upacara erpangir ku lau kehadiran musik memiliki peran penting dalam
berlangsungnya upacara ini. Adapun ensambel yang digunakan untuk mengiringi
upacara erpangir ku lau adalah gendang lima sedalanen dan gendang telu sedalanen.
Gendang lima sendalanen yang dimainkan pada upacara yang bersifat ritual berguna
untuk mengubah suasana upacara menjadi sakral dan sedikit magis, dan sekaligus juga
akan mempengaruhi (alam bawah sadar) guru sibaso menjadi kesurupan (trance)
(Tarigan, 2004:121). Permainan alat musik surdam pada upacara erpangir ku lau ini
juga memiliki peranan tersendiri. Yakni ada kalanya dimainkan secara tunggal untuk
mengiringi jalannya upacara tersebut.
3.4.2 Fungsi
Menurut Alan P.Merriam (1964:219-226) fungsi musik dapat dibagi dalam 10
kategori yaitu:
1. Fungsi pengungkapan emosional,
2. Fungsi penghayatan estetis,
3. Fungsi hiburan,
4. Fungsi komunikasi,
5. Fungsi perlambangan,
6. Fungsi reaksi jasmani,
7. Fungsi yang berkaitan dengan norma sosial,
8. Fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan,
9. Fungsi kesinambungan budaya, dan
10. Fungsi pengintegrasian masyarakat.

43

Universitas Sumatera Utara

Dalam penyajian surdam puntung dalam upacara erpangir ku lau dapat
dikategorikan kedalam beberapa fungsi diatas yaitu, fungsi pengungkapan emosional,
fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi reaksi jasmani.

3.4.2.1 Fungsi pengungkapan emosional
Musik mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa
atau emosi (misalnya rasa sedih, rindu, bangga, tenang, rasa kagum pada dunia hasil
ciptaan Tuhan) bagi para pendengarnya (Merriam, 1964:223). Reaksi-reaksi tersebut
dapat berupa ekspresi langsung seperti menyanyi mengikuti lagu yang dimainkan atau
mendengarkan secara tenang dan seksama tanpa banyak pengungkapan suasana hati
yang terlihat secara langsung.
Dalam penyajian surdam tangko kuda dapat dimainkan secara tunggal. Dalam
pengungkapan emosional surdam tangko kuda dimainkan secara tunggal. Pemainan
surdam tangko kuda dapat merasakan sesuatu perasaan di dalam dirinya, sebab pemain
surdam tangko kuda seolah-olah ikut masuk ke dalam melodi yang dimainkannya
tersebut. Sehingga dalam hal ini musik dapat ditunjukkan untuk mewujudkan kehidupan
emosional. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Budd.
A Musical work is therefore a presentational symbol. But if it a
symbol it mustposes a structure analogous to the structure of the
phenomenon it symbolises itmust share a common logical form – with its
object. And the way in which a musical work can resemble some segment
of emotional life is by it possesing the same temporal structure as that
segment. The dinamic structure the mode of development, of a must if
calw work and the for min which emotion is experienced can resemble
each other in their patterns of motion and rest, of tention and release,
ofagreement and disagreement, preparation, ullfilrnent, excitation,
sudden change etc. Music is a presentation of symbol of emotional life
(Budd, 1985:109).

44

Universitas Sumatera Utara

Dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Budd yang melihat sisi
kemasyarakatan yang dibangun dari emosional manusianya dengan suatu bentuk
aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Untuk itu energi musikal yang
dihasilkan dari hasil permainan surdam tangko kuda ini memberikan pengaruh terhadap
sisi penghayatan oleh si penyaji dan si penikmat seni.

3.4.2.2 Fungsi Hiburan
Pada setiap masyarakat di dunia, musik berfungsi sebagai alat hiburan karena
musik dapat memberikan ketenangan, kebahagiaan, dan kepuasan tertentu kepada yang
mendengar (Merriam, 1964:224). Ketika surdam tangko kuda dimainkan di tengah
keheningan malam maka orang yang mendengarkan alunan tersebut dapat menimbulkan
suatu efek menghibur dan dapat menghilangkan rasa lelah bagi yang mendengarkan
alunan surdam tangko kuda tersebut. Surdam tangko kuda juga memiliki fungsi hiburan
ketika alat tersebut dimainkan dapat menghibur orang-orang yang berada di sekitarnya.
Dengan melihat musik yang dimainkan dalam bentuk upacara akan menghasilkan
sebuah pertunjukan seni yang bersifat keduniawian tanpa ada unsur spiritual yang
terdapat di dalamnya. Pada saat surdam dimainkan dalan bentuk pertunjukan seni profan
maka hasil kenikmatan yang dihasilkan berasal dari karakter permainan surdam yang
sudah peka didengar sehingga menghibur pribadi penikmat seni tersebut.

45

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PROSES PEMBUATAN SURDAM BELIN (TANGKO KUDA)

Kajian organologis merupakan kajian utama penulis dalam mengungkapkan
inti-inti pokok permasalahan objek penelitian penulis dengan menggunakan disiplin
etnomusikologi. Dalam Bab IV ini penulis akan menerangkan bagian inti pokok
permasalahan dari keseluruhan tulisan yang membahas tentang organologis surdam
tangko kuda.
Masih dalam ruang lingkup kajian organologis, penulis juga akan melihat segala
sesuatu yang berhubungan dengan semua sistem peralatan dan teknik pembuatan dari
alat musik tersebut. Untuk mendukung ruang gerak tulisan maka penulis juga
memberikan suatu bentuk penyajian alat musik surdam dengan dua sampel lagu dalam
format permainan yang dimainkan dalam tangga nada minor dan tangga nada mayor.
Sehingga dalam tulisan ini penulis akan mendeskripsikan secara umum aspek fisik
musiknya yang meliputi materi alat musik surdamnya, teknik pembuatan alat musiknya,
hingga komposisi yang dimainkan oleh alat musik tersebut hingga unsur-unsur
musiknya.
Untuk membantu dalam pemahaman alat musik surdam permakan dalam
konteks pendukung instrumennya maka penulis akan mendeskripsikan penyajian alat
musik surdam tersebut dalam bentuk teknik permainan maupun penjarian yang
memproduksikan nada pada alat musik surdam puntung tersebut. Untuk itu penulis
dibantu oleh beberapa teori etnomusikologi untuk menghasilkan data penelitian yang
relevan dan konseptual.

46

Universitas Sumatera Utara

4.1 Klasifikasi Alat Musik Surdam Belin (Tangko Kuda)
Penulis memberikan acuan untuk pengklasifikasian alat musik dengan
memperhatikan studi kajian organologisnya secara umum untuk membantu dalam
mengetahui alat musik surdam tangko kuda ini. Dalam mengklasifikasikan alat musik
surdam ini, penulis menggunakan secara garis besar teori yang dikemukakan oleh Curt
Sach dan Hornbostel (1914) yaitu sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan
sumber penggetar bunyi. Sistem klasifikasi ini terdiri dari empat bagian yaitu idiofon
(alat musik itu sendiri sebagai sumber penggetar utama bunyi), aerofon (udara sebagai
sumber penggetar utama bunyi), membranofon (kulit atau membran sebagai sumber
penggetar utama bunyi), dan kordofon (senar atau dawai sebagai sumber penghasil
utama bunyi). Berdasarkan penjelasan di atas maka alat musik surdam termasuk dalam
kategori aerofon yang merupakan udara sebagai sumber penggetar utama bunyinya.
Untuk lebih jelas lagi, penulis memberikan bentuk klasifikasi dengan memperhatikan
secara karakteristik organologisnya sehingga alat musik surdam ini dapat dideskripsikan
dengan lebih spesifik lagi.
1. Edge-blown aerophone
Edge-blown aerophone merupakan suatu alat musik yang menghasilkan suara
melalui udara yang ditiup melalui tepian tajamnya. Jenis klasifikasi ini dapat dilihat
melalui napas pemain yang diarahkan melalui corong atau disebut juga windway di
mana udara yang ditiup melalui tepian tajam sehingga kolom udara terbagi yaitu
setengah udara dikeluarkan di luar instrumen dan setengahnya lagi masuk ke dalam
instrumen.

47

Universitas Sumatera Utara

2. End-blown single flute
End-blown single flute merupakan suatu alat musik yang dimainkan dengan
meniup bagian tepian tajam ujung instrumen di mana dalam memainkannya instrumen
lubang jari pada instrumen digunakan secara tunggal untuk mengubah nadanya. Dalam
mendeskripsikan beberapa klasifikasi yang telah penulis perhatikan di atas maka penulis
memberikan deskripsi bagan yang menunjukkan hasil klasifikasi dari instrumen surdam.
Perhatikan bagan berikut ini.

Dengan memperhatikan bagan di atas maka penulis memberikan gambaran
klasifikasi surdam yang dilihat berdasarkan karakter alat musik tersebut dengan tinjauan
aspek organologisnya. Dari bagan tersebut sehingga tampak jelas klasifikasi secara
kompleks dengan dilihat dari sisi organologi sesuai bahan kajian utama penulis baik itu
dilihat dari bahan baku, cara memainkan, dan teknik memainkannya.

48

Universitas Sumatera Utara

4.2 Teknik Pembuatan Surdam Tangko Kuda
Pembuatan surdam tangko kuda secara garis besar telah dijelaskan dalam Bab I
dalam tulisan ini. Dahulunya ada suatu ritual tertentu yang dilakukan untuk membuat
sebuah surdam ini yang diyakini oleh masyarakat Karo dulunya. Baik itu dalam waktu
tertentu untuk membuat instrumen ini, syarat tertentu untuk membuat setiap lubang
nadanya, dan bahkan kondisi bahan baku instrumen pada saat membuatnya (lihat Bab I).
Dalam kesempatan ini penulis lebih spesifik menerangkan suatu teknik
pembuatan oleh informan kunci penulis yaitu surdam tangko kuda buatan Bapak Pauji
Ginting yang dikerjakan dalam proses yang sederhana tanpa ada syarat ritual tertentu.
Berikut ini akan diterangkan bahan-bahan maupun alat-alat beserta fungsinya yang
digunakan oleh informan kunci penulis untuk membantu pembaca dalam membuat
surdam tangko kuda ini.
4.2.1 Bahan Baku yang Digunakan
4.2.1.1 Bambu
Bambu merupakan bahan dasar dari alat musik surdam ini dengan kualifikasi
tertentu. Pada umumnya bambu yang digunakan sebagai bahan alat musik ini, berasal
dari dataran tinggi dengan menghindari tingkat kelembapan bambu yang mempengaruhi
kualitas bambu. Dengan memperhatikan bentuk dan struktur bambu tertentu pula agar
dapat membuat alat musik surdam yang bermutu.

Gambar 5: Bambu
49

Universitas Sumatera Utara

4.2.2 Peralatan yang Digunakan
4.2.2.1 Parang Panjang (Sekin)
Parang ini pada umumnya digunakan oleh masyarakat Karo untuk kepentingan
bertani terkhusus untuk perkebunannya. Begitu juga parang ini digunakan untuk
memotong bambu sebagai buku-buku surdam puntung. Parang ini memiliki gagang dari
kayu dengan balutan aluminium yang mengikat besi parangnya dengan kayu gagang.
Parang besar dan panjang sehingga dengan mudah untuk memotong bambu dan
membersihkan dahan- dahan yang terdapat dalam buku-buku bambu

Gambar 6: Parang Panjang

50

Universitas Sumatera Utara

4.2.2.2 Rawit Batak
Pisau ini berbentuk cembung dengan ujung yang melengkung runcing. Pisau ini
memiliki fungsi khusus dengan bentuknya yang khusus untuk alat musik surdam ini
yaitu untuk memotong buku yang dijadikan untuk lubang tiupan surdam dengan bentuk
pipih pada bagian tepian lubang tersebut. Dengan pisau ini lebih memudahkan si
pembuat surdam untuk memipihkan tepian lubang tiupan. Dan tidak hanya itu juga,
pisau ini juga digunakan untuk mengikis awal pada lubang nada yang dibentuk di
sekitar badan bambu, dan juga memudahkan si pembuat untuk membuat ukiran pada
bambu surdam dengan bentuk maupun
gambar tertentu.

Gambar 7: Rawit Batak
51

Universitas Sumatera Utara

4.2.2.3 Rawit
Rawit adalah sejenis pisau yang sehari -hari digunakan untuk memasak pada
masyarakat Karo, rawit ini berbentuk memanjang dan runcing yang berbeda dengan
rawit batak yang melengkung. Dengan melihat bentuknya maka dapat dilihat bahwa
pisau ini dalam hal pem
buatan surdam digunakan untuk melubangi lubang nada yang sudah dibentuk dengan
rawit batak sehingga lebih tampak. Secara detail pisau ini juga digunakan untuk
memotong bagian bambu surdam yang lebih untuk pembuatan surdam yang seharusnya

Gambar 8: Rawit

52

Universitas Sumatera Utara

4.2.2.4 Penggaris
Penggaris ini sudah jelas digunakan untuk mengukur. Dalam hal ini penggaris
digunakan untuk mengukur jarak antara lubang - lubang nada yang sudah dibentuk
dalam badan bambu surdam.

Gambar 9: Penggaris

4.2.2.5 Pensil
Pensil digunakan untuk menandai setiap lubang nada yang akan dibentuk. Untuk
itu dalam pengukuran jarak antar lubang nada yang diukur oleh penggaris kemudian
ditandai dengan pensil tersebut sehingga memudahkan si pembuat alat musik untuk
membentuk lubangnya.

Gambar 10: Pensil
53

Universitas Sumatera Utara

4.2.2.6 Kertas Pasir
Kertas pasir digunakan untuk menghaluskan bulu - bulu kasar pada badan
bambu surdam tersebut. Karena kita ketahui bahwa pada badan bambu terdapat serbuk
tajam yang tampak seperti bulu yang memperlihatkan bambu tampak kasar. Sedangkan
untuk memudahkan memainkan surdam tersebut, bambu surdam tersebut harus
dihaluskan sehingga semakin nyaman dalam memainkannya. Kertas pasir ini juga
digunakan dalam menghaluskan lubang - lubang nada yang sudah dibentukdengan
menggunakan pisau rawit, sehingga lubang nada tersebut lebih halus apalagi dalam
pembentukan nada yang dilakukan secara buka tutup lubang nada yang cukup
berpengaruh akan halus kasarnya lubang nada tersebut. Lebih spesifik lagi kertas pasir
itu digunakan untuk menghaluskan seluruh badan surdam.

Gambar 11: Kertas Pasir

4.2.2.7 Garut
Garut dalam hal pembuatan surdam hanya digunakan seperlunya yaitu
digunakan apabila ketajaman pisau dalam mendukung pembuatan surdam sudah mulai
54

Universitas Sumatera Utara

berkurang ketajamannya. Terkhusus untuk pisau batak dan pisau rawit yang berfungsi
utama dalam membentuk surdam secara garis besarnya.

Gambar 12: Garut

4.2.3 Proses Pembuatan Surdam Tangko Kuda
4.2.3.1 Memilih dan Memotong Bambu
Dalam proses pemilihan bambu untuk membuat alat musik surdam ini memiliki
teknik sendiri untuk menghasilkan surdam yang dengan kualitas baik. Masih dalam
sistem tradisional bahwa dalam masyarakat kesenian Karo dalam pembuatan surdam,
dengan pemilihan bambunya dilakukan pada saat bulan purnama yang konon hal ini
dapat memberikan ―nilai‖ lebih terhadap surdam tersebut. Hal ini diartikan dalam suatu
bentuk nilai magis yang dapat digunakan maupun kualitas surdam dalam hal bunyi yang
dihasilkan. Tapi untuk kali ini yang penulis dapat dari informan penulis dalam hal
pemilihan bambu dilakukan
dengan memperhatikan jenis bambu yang akan diproses pembuatannya. Bambu yang
dipilih merupakan bambu yang agak tua dengan bentuk bambu yang memiliki buku
yang berjarak. Bambu yang cukup tua akan menghasilkan suara yang lebih bagus
dibanding dengan bambu yang lebih muda, dan tidak hanya itu dalam proses
55

Universitas Sumatera Utara

selanjutnya dapat diperhatikan bahwa bambu tersebut harus dalam keadaan kering tua
untuk memudahkan dalam pembuatannya yang berbeda dengan bambu muda yang
masih memiliki serat air yang lebih banyak.

Gambar 13: Proses Pengambilan Bambu Dari Rumpunnya

4.2.3.2 Pengeringan Bambu
Bambu yang sudah ditebang selanjutnya membersihkan dahan - dahan dan
ranting – ranting yang terdapat dalam setiap ruas - ruas bambu. Bambu yang dibutuhkan
memiliki bentuk lurus dengan ukuran sama atau hampir sama antara diameter pangkal
dan ujungnya. Sehingga sebaiknya pilih batasan bambu yang dipotong pada bagian
bambu yang lebih sempurna untuk pembuatan surdam. Setelah itu bambu dalam kondisi
memanjang tersebut dipotong menjadi beberapa bagian sebelum dijemur lebih kurang

56

Universitas Sumatera Utara

selama 2 minggu untuk menghasilkan kualitas bambu yang lebih baik. Dengan kondisi
seperti itu maka dapat menghilangkan kadar air yang tersisa dalam bambu.

Gambar 14: Pembersihan Bambu dari Dahan dan Ranting

Gambar 15: Bambu yang telah dipotong menjadi beberapa bagian

57

Universitas Sumatera Utara

Gambar 16: Bambu yang sudah dikeringkan

4.2.3.3 Memotong Bambu
Setelah dijemur selama waktu 2 minggu, bambu tersebut tepat dipotong pada
bagian bawah ruas ujung bambu dan begitu juga pada bagian ruas dibawah bambu
sehingga dapat diperhatikan bahwa bambu surdam yang akan digunakan tidak memiliki
buku - buku pada bagian kedua ujungnya, sehingga kondisi bambu dalam bentuk corong
dengan dua lubang yaitu lubang kedua sisi bambu, tanpa buku pembatas. Pada ruas
bambu tersebut dipotong dengan menggunakan pisau batak sehingga menghasilkan
bentuk potongan yang lebih rapi dan teratur. Karena lubang tersebut juga lah yang akan
menjadi lubang tiup surdam sehingga psosisi bambu yang dipotong harus merata.
Perhatikan gambar berikut ini.

58

Universitas Sumatera Utara

Gambar 17: Memotong ruas bambu

4.2.3.4 Membentuk Lubang Tiup Surdam
Setelah bambu dengan kondisi berbentuk corong, maka selanjutnya dilakukanlah
pembentukan lubang tiup surdam dengan mengikis pada bagian ujung bambu yang
digunakan

sebagai lubang tiupnya. Sisi lubang bambu tersebut dibentuk dengan

mengikis sisi – sisinya pada bagian luar lubang dengan posisi agak miring. Pengikisan
tersebut dilakukan dengan menggunakan rawit batak. Berbeda dengan sisi lubang
bambu sebaliknya, bahwa pada bagian sisi lubangnya tidak perlu dibentuk menjadi
miring seperti bagian lubang tiup surdamnya. Karena pada bagian lubang tersebut
dijadikan saluran udara yang keluar pada saat meniup surdam, sehingga pada bagian
tersebut cukup dipotong dengan rata pada saat pemotongan bambu. Perhatikan contoh
gambar berikut ini.

59

Universitas Sumatera Utara

Gambar 18 : Pembentukan bagian lubang tiup surdam (1)

Gambar 19: Pembentukan bagian lubang tiup surdam (2)

4.2.3.6 Proses Pengukuran Jarak Lubang Nada
Adapun tahap-tahap dalam pengukuran jarak lubang nada pada surdam tangko
kuda adalah sebagai berikut.
60

Universitas Sumatera Utara

(a) Tahap I

: Ukur panjang bambu surdam semula yaitu sepanjang
90 cm.

(b) Tahap II

: Ukuran panjang bambu surdam semula dibagi menjadi dua
bagian

yaitu menjadi 45 cm (90 cm:2). Dengan mengambil

jarak ukuran tengahnya menjadi 45 cm, sehingga lubang
pertama berada di bagian tengah panjang surdam.
(c) Tahap III

: Untuk mendapatkan lubang nada yang kedua, terlebih dahulu
kita menemukan lubang nada keempat yaitu dengan mengukur
⅓ dari ½ ukuran bambu atau 45 cm dibagi 3 (tiga) yaitu 15 cm.

(d) Tahap IV

: Setelah menemukan lubang nada keempat, lubang nada kedua
diukur dengan jarak ¼ dari jarak lubang pertama dan keempat
atau ¼ dari 15 cm yaitu 3,75 cm.

(e) Tahap V

: Lubang nada ketiga ditemukan dengan mengukur dua kali dari
jarak lubang nada pertama dan kedua atau 2 x 3,75cm yaitu 7,5
cm dari lubang nada kedua.

(f) Tahap VI:

Lubang nada kelima dapat diukur dengan jarak 7,5cm dari
lubang nada ketiga.

(e) Tahap VII: Lubang nada keenam dapat ditemukan dari 1/5 dari ½ ukuran
surdam tersebut atau 9 cm dari ujung surdam.

61

Universitas Sumatera Utara

Gambar 20 : Tahap – tahap pengukuran lubang nada surdam

Setiap lubang nada yang sudah ditentukan ditandai dengan goresan ataupun gambar
lubang sebagai tanda posisi bentuk lubang nada yang akan dibuat.

Gambar 21 : Mengukur jarak lubang nada dengan menggunakan penggaris

62

Universitas Sumatera Utara

4.2.3.7 Melubangi Lubang Nada
Lubang nada yang sudah diukur dan telah ditandai dengan pensil kemudian
diolah dan dibentuk sesuai dengan bentuk yang sudah diatur. Menurut keterangan
informan penulis dalam membuat lubang nada terkait dengan ukuran lubang dilakukan
dengan ukuran standar yang diartikan sesuai dengan besar lubang yang dibutuhkan oleh
bambu surdam. Besar lubang di sini dimaksudkan atas dasar kebutuhan bambu surdam
yang sesuai dengan lubang nada. Bambu yang sudah ditandai dengan pensil untuk
membuat lubang nada kemudian dikikis dengan pisau rawit untuk membentuk lubang
tersebut.

Gambar 22: Melubangi lubang nada

63

Universitas Sumatera Utara

4.2.3.8 Menghaluskan Surdam
Bambu yang sudah dalam keadaan setengah jadi kemudian ditempah sedemikian
rupa untuk mencapai kesempurnaannya. Lubang nada yang sudah dikikis sebelumnya
dengan menggunakan pisau rawit kemudian dihaluskan dengan menggunakan kertas
pasir untuk membuat lubang nada yang sudah dibentuk menjadi merata. Kertas pasir
tersebut digulung sehingga berbentuk silinder dan kemudian dimasukkan ke dalam
lubang nada yang sudah dibentuk. Kertas pasir yang sudah masuk ke dalam lubang nada
yang sudah dibentuk diputar - putar sehingga serbuk bambu dalam pengikisan
menggunakan sebelumnya dihaluskan. Tidak hanya itu juga, untuk menambah
kenyamanan menggunakan alat musik surdam ini kemudian badan bambu surdam juga
dihaluskan dengan menggunakan kertas pasir seperti yang kita ketahui bahwa bambu
memiliki bulu bambu halus dan tajam sehingga bulu ini dibersihkan dengan
menggunakan kertas pasir.

Gambar 23: Menghaluskan lubang nada dengan kertas pasir
64

Universitas Sumatera Utara

Gambar 24: Menghaluskan badan bambu dengan kertas pasir

4.2.3.9 Memberi Ukiran pada Surdam
Ukiran dalam tradisional masyarakat memiliki ciri khas dan makna tersendiri
dan bahkan suku lain yang memliki sesuatu yang menjadi karakter suatu bangsa. Dalam
masyarakat Karo terdapat sejumlah makna tradisi yang terdapat dalam bentuk kesenian
seperti prasasti - prasasti maupun ukiran. Untuk mengukir lambang khas masyarakat
Karo dilakukan dengan menggunakan pisau batak sehingga lebih mudah dalam
mengukirnya.

Gambar 25: Mengukir bambu surdam dengan motif tradisional masyarakat Karo
65

Universitas Sumatera Utara

Beberapa motif yang biasa digunakan pada ukiran surdam tangko kuda ini diantaranya
adalah sebagai berikut.

Gambar 26: Keret-keret Ketadu

Gambar 27: Ipen - ipen

Gambar 28: Pengeret-eret
66

Universitas Sumatera Utara

Itulah langkah terakhir dalam membuat surdam puntung hingga ke motif - motif
tradisional masyarakat Karo. Surdam puntung yang sudah dibuat sedemikian rupa sudah
bisa digunakan secara utuh. Itulah beberapa teknik pembuatan alat musik surdam yang
dilakukan oleh informan pangkal penulis yaitu bapak Pauzi Ginting selaku pelaku seni
dalam masyarakat Karo.

Gambar 29 : Hasil akhir pembuatan Surdam Tangko Kuda

67

Universitas Sumatera Utara

4.2.4 Sistem Laras dan Nada Surdam Tangko Kuda
Dalam menentukan sistem pelarasan dalam membuat surdam tangko kuda ini
dilakukan oleh informan penulis melalui pengalaman beliau bahwa ukuran bambu
surdam menentukan tinggi rendahnya nada yang dimainkan surdam tersebut. Beliau
juga menyatakan bahwa semakin besar bambu surdam maka semakin rendah nadanya
dan sebaliknya semakin kecil bambunya maka semakin tinggi nada surdamnya. Besar
kecilnya bambu ini ditentukan dengan diameter bambu sehingga tampak jelas
membandingkannya.
Tapi untuk persoalan nada dasar surdam dilakukan dengan secara meniup
langsung bambu baku yang sudah dipotong dan diukur sebelumnya. Maksudnya bambu
yang sudah diukur dengan 6 lilitan tersebut dipotong sesuai ukuran kemudian dicoba
dengan meniup bambu dari lubang tiupan yang masih baku sehingga terdengar nada
yang bisa dibuat menjadi nada dasarnya. Sedangkan dengan memperhatikan ukuran
panjang pendek bukan jadi aturan melainkan besar kecilnya diameter bambu yang
menjadi penentu nada dasar surdam tersebut. Nada -nada yang terdapat pada surdam
dimulai dari nada do, di, le, si, do, re dan ri. Lubang nada yang terdapat pada bambu
surdam ada enam lubang. Apabila semua lubang ditutup dengan jari pemain maka nada
yang dihasilkan adalah do. Kemudian dilepas satu jari atau membuka lubang nada pada
bagian ujung bawah surdam maka nada yang dihasilkan adalah do. Begitu juga apabila
lubang nada di atasnya dilepas maka nada yang dihasilkan adalah di. Begitulah nada
seterusnya yang dihasilkan berturut - turut apabila lubang nada yang dibuka juga berurut
hingga sampai lepas jari atau tidak menutup lubang satupun.Untuk membantu
pemahaman penulis dalam mengilustrasikan nada - nada yang dihasilkan dalam surdam

68

Universitas Sumatera Utara

puntung maka perhatikan objek surdam yang telah penulis rangkai dengan nadanadanya.

Gambar 30 : Nada pada Surdam tangko kuda

Dalam permainan musik masyarakat Karo dikenal ciri khas yang menjadi nada
istimewa yang dimainkan baik itu terdapat dalam beberapa permainan alat musik
tunggal Karo yaitu rengget. Rengget merupakan sejenis nada melismatis yang
dihasilkan untuk mengalunkan nada sebelum dan setelahnya. Rengget inilah yang
menjadi khas permainan musik masyarakat Karo pada umumnya.

69

Universitas Sumatera Utara

4.2.5 Sampel Lagu Tangis – tangis

70

Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil deskripsi tentang surdam permakan ini maka penulis melihat
bagaimana peran dan fungsi surdam tangko kuda dalam masyarakat Karo. Pada
dasarnya untuk kegiatan aktivitas budaya, instrumen surdam tangko kuda ini memiliki
fungsi yang minim untuk mendukungnya. Tapi alat musik surdam tangko kuda ini
memiliki peran tersendiri dalam penggunaannya melihat cara memainkannya yang
cukup sulit dan bahkan hanya untuk membunyikannya saja. Seperti yang digunakan
dulunya dapat membatalkan niat seseorang yang ingin mencuri kuda dengan
memainkan surdam ini. Dari hal ini maka kita dapat memperhatikan sesungguhnya
peran suatu kesenian berasal dari manusia dan karyanya. Demikian juga dengan surdam
tangko kuda ini yang digunakan akan kebutuhan masyarakat Karo baik itu untuk
kehidupan sehari – hari maupun untuk kegiatan aktivitas budayanya. Perkembangan
kesenian musik Karo atau bahkan pada umumnya pada masyarakat lainnya selalu
dipengaruhi oleh si pemain dan si pembuat kesenian. Kenapa tidak, dapat kita
perhatikan bagaimana suatu eksistensi terjadi apabila mereka ini tidak ada. Apakah
masih berharap akan cerita yang dulunya kadang di luar akal sehat kita yang
menyatakan bahwa alat musik ini diberikan oleh para dewa atau yang datang dengan
sendirinya. Untuk itu begitu kuat alasan penulis untuk mengangkat kajian organologis
untuk mempertahankan hasil kebudayaan leluhur kita. Mungkin dapat diperhatikan
bahwa dalam penjelasan bab IV yang menerangkan tentang teknik pembuatan surdam
permakan ini, sehingga dapat memberikan kesimpulan dengan mengacu terhadap hasil
71

Universitas Sumatera Utara

karya informan penulis yaitu bapak Pauji Ginting. Teknik pembuatan surdam ini yang
diadopsi dari teknik bapak Pauji Ginting memiliki ―rasa‖ pengalaman tersendiri dalam
membuat alat musik apalagi memngingat bagaimana peran beliau dalam segala kegiatan
- kegiatan yang terdapat dalam masyarakat Karo. Begitu juga dalam mengatur nada
dasar surdam tersebut yang memperhatikan besar kecilnya bambu. Untuk itu dalam
teknik pembuatan surdam ini dapat dilihat bagaimana keterampilan kita dalam membuat
dan mengolahnya menjadi satu alat musik. Demikian bagaimana eksisistensi alat musik
surdam tangko kuda ini yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat Karo selalu terkait
dengan penggunaannya secara fungional dan kebutuhan masyarakat tersebut dengan
memperhatikan manusia kesenian yang turut mendukung terciptanya alat musik surdam
puntung tersebut.

5.2 Saran
Penelitian yang penulis lakukan masih dalam tahap kecil namun bermanfaat bagi
masyarakat pendukung kebudayaan serta pihak departemen pemerintah yang
mengemban tugas menjaga dan melestarikan Budaya Nusantara. Kiranya penelitian ini
dapat membuka jalan untuk penelitian berikutnya. Adapun saran yang penulis
kemukakan adalah : perlu diadakan pelatihan penelitian surdam tangko kuda agar
semakin maraknya industry musik tradisional Karo, Pemasaran dan management yang
jelas agar surdam yang dihasilkan bisa terus berkesinambungan khususnya untuk
kegiatan ekonomi pengrajin, pertunjukan kesenian tradisonal secara berkesinambungan.
Maksudnya ada festival atau karnaval Budaya Pemerintah yang menjadi wadah bagi
para seniman-seniman daerah lainnya untuk lebih menyemangati para pelaku seni. Hal
ini bermanfaat untuk kontuinitas dan kelestarian budaya kita Indonesia.
72

Universitas Sumatera Utara

BAB II
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

Di dalam Bab II ini penulis akan menerangkan gambaran lokasi penelitian
dengan spesifikasi objek penelitian surdam belin (tangko kuda) yang terdapat di Desa
Hulu, yang dibuat oleh Bapak Pauji Ginting, sebagai latar belakang budaya Karo yang
diinternalisasikannya. Begitu juga dengan gambaran masyarakat Karo pada umumnya
yang memiliki kebudayaan tersebut. Sehingga dalam tulisan ini penulis juga
memaparkan setiap kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Karo dengan rincian
terkait kesenian tradisional dalam masyarakat Karo pada khususnya. Dengan melihat
gambaran lokasi penelitian maka pembaca diharapkan mengerti dan paham dengan
kesenian tradisional yang terdapat dalam masyarakat Karo pada umumnya.

2.1 Sejarah Berdirinya Kabupaten Deli Serdang
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945,
Kabupaten Deli Serdang yang dikenal sekarang ini merupakan dua pemerintahan yang
berbentuk Kerajaan (Kesultanan) yaitu Kesultanan Deli yang berpusat di Kota Medan,
dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan, kurang lebih 38 km dari Kota Medan
menuju Kota Tebing Tinggi. Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat
(RIS), keadaan Sumatera Timur mengalami pergolakan yang dilakukan oleh rakyat
secara spontan menuntut agar NST (Negara Sumatera Timur) yang dianggap sebagai
prakarsa Van Mook (Belanda) dibubarkan dan wilayah Sumatera Timur kembali masuk
Negara Republik Indonesia. Para pendukung NST membentuk Permusyawaratan
Rakyat se-Sumatera Timur menentang Kongres Rakyat Sumatera Timur yang dibentuk
14

Universitas Sumatera Utara

oleh Front Nasional. Negara-negara bagian dan daerah-daerah istimewa lain di
Indonesia kemudian bergabung dengan NRI, sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT)
dan Negara Sumatera Timur (NST) tdak bersedia. Akhirnya Pemerintah NRI meminta
kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk mencari kata sepakat dan mendapat
mandat penuh dari NST dan NIT untuk bermusyawarah dengan NRI tentang
pembentukan Negara Kesatuan dengan hasil antara lain Undang-Undang Dasar
Sementara Kesatuan yang berasal dari UUD RIS diubah sehingga sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945
Atas dasar tersebut terbentuklah Kabupaten Deli Serdang seperti tercatat dalam
sejarah bahwa Sumatera Timur dibagi atas 5 (lima) Afdeling, salah satu diantaranya Deli
en Serdang, Afdeling ini dipimpin seorang Asisten Residen beribu kota Medan serta
terbagi atas 4 (empat) Onderafdeling yaitu Beneden Deli beribu kota Medan, Bovan
Deli beribu kota Pancur Batu, Serdang beribu kota Lubuk Pakam, Padang Bedagai
beribu kota Tebing Tinggi dan masing-masing dipimpin oleh Kontrolir. Selanjutnya
dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Timur tanggal 19 April 1946,
Keresidenan Sumatera Timur dibagi menjadi 6 (enam). Kabupaten ini terdiri atas 6
(enam) Kewedanaan yaitu Deli Hulu, Deli Hilir, Serdang Hulu, Serdang Hilir, Bedagei
(Kota Tebing Tinggi) pada waktu itu ibu kota berkedudukan di Perbaungan. Kemudian
dengan Besluit Wali Negara tanggal 21 Desember 1949 wilayah tersebut adalah Deli
Serdang dengan ibu kota Medan meliputi Lubuk Pakam, Deli Hilir, Deli Hulu, Serdang,
serta Padang dan Bedagai. Pada tanggal 14 November 1956. Kabupaten Deli dan
Serdang ditetapkan menjadi Daerah Otonom dan namanya berubah menjadi Kabupaten
Deli Serdang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 yaitu UndangUndang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 7 Drt
15

Universitas Sumatera Utara

Tahun 1956. Untuk merealisasikannya dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dan Dewan Pertimbangan Daerah (DPD). Namun, tahun demi tahun berlalu
setelah melalui berbagai usaha penelitian dan seminar-seminar oleh para pakar sejarah
dan pejabat Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang pada waktu itu (sekarang
Pemerintah Kabupaten Deli Serdang), akhirnya disepakati dan ditetapkanlah bahwa
Hari Jadi Kabupaten Deli Serdang adalah tanggal 1 Juli 1946.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1984, ibu kota Kabupaten
Deli Serdang dipindahkan dari Kota Medan ke Lubuk Pakam dengan lokasi perkantoran
di Tanjung Garbus yang diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara tanggal 23
Desember 1986.

2.1.1 Letak Geografis Kabupaten Deli Serdang
Kabupaten Deli Serdang secara geografis, terletak diantara 2°57’ - 3°16’ Lintang
Utara dan antara 98°33’ - 99°27’ Bujur Timur, merupakan bagian dari wilayah pada
posisi silang di kawasan Palung Pasifik Barat dengan luas wilayah 2.497,72 Km2 Dari
luas Propinsi Sumatera Utara, dengan batas sebagai berikut:
(a) Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Melaka,
(b) Sebelah Selatan berbatasan dergan Kabupaten Karo,
(c) Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai, dan
(d) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat.
Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik
Kabupaten Deli Serdang, secara administratif terdapat dua puluh dua (22) Kecamatan
yang ada di Kabupaten Deli Serdang salah satunya adalah Kecamatan Pancur Batu.

16

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan hasil sensus penduduk 2013, penduduk Kabupaten Deli Serdang
mayoritas bersuku bangsa Jawa (51,77 %), Karo (10,84 %), Toba (10,78 %),
Mandailing (6,71%), Melayu (6,22 %), Minangkabau (2,91%) Simalungun (1,68 %),
dan lain lain (1,24 %). Sedangkan Agama yang dianut oleh masyarakat Deli Serdang
beragama Islam paling besar (78,22%), Kristen (19,30 %), Budha (2,03 %), Hindu (0,17
%), dan lainnya (0,29 %).

2.1.2 Letak Lokasi Penelitian
Kecamatan Pancur Batu merupakan tempat tinggal Bapak Pauji Ginting, Secara
administratif kecamatan Pancur Batu mempunyai luas wilayah 122.53 km2 yang terdiri
atas 26 Desa. Adapun batas-batas wilayah kecamatan Pancur Batu adalah sebelah utara
berbatasan dengan Kota Medan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan
Sibolangit, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Katalimbaru, sebelah Timur
berbatasan dengan Kecamatan Namo Rambe. Dari 26 desa tersebut, beliau tinggal di
Desa Hulu , tepatnya berada di Jalan