Kajian Organologis Kulcapi Pada Masyarakat Karo Buatan Bapak Pauji Ginting

(1)

KAJIAN ORGANOLOGIS KULCAPI PADA MASYARAKAT KARO BUATAN BAPAK PAUJI GINTING

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : BERI PANA SITEPU NIM : 070707012

Skripsi ini diajukan kepada panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN


(2)

KAJIAN ORGANOLOGIS KULCAPI PADA MASYARAKAT KARO BUATAN BAPAK PAUJI GINTING

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : BERI PANA SITEPU NIM : 070707012

Pembimbing I Pembimbing II

( Drs. Bebas Sembiring, M.Si ) ( Drs. Fadlin, M.A ) NIP : 195703131992031001 NIP :196102201989031003

Skripsi ini diajukan kepada panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA

( Drs Muhammad Takari, M.Hum, Phd ) NIP : 196512211991031001


(4)

PENGESAHAN Diterima Oleh

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Etnomusikologi di Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada : Tanggal : Hari :

FAKULTAS ILMU BUDAYA USU Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A NIP : 195110131976031001

Panitia Ujian

NO NAMA TANDA TANGAN

1 Drs Muhammad Takari, M.Hum, Phd 2 Dra. Heristina Dewi, M.Pd

3 Drs. Perikuten Tarigan, M.Si 4 Drs. Bebas Sembiring, M.Si 5 Drs. Fadlin, M.A


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan kasihnya sehingga penulis dapat menyajikan sebuah karya ilmiah berupa Skripsi Sarjana. Skripsi yang berjudul Kajian Organologis Kulcapi Pada Masyarakat Karo Buatan Bapak Pauji Ginting

merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan program S-1 pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Buda ya, Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terbatas kepada Ayahanda tercinta Harbin Sitepu dan Ibunda Lusia br Tarigan yang sudah memberikan dukungan penuh baik secara moril maupun materi yang tak lepas dari doa beliau hingga terselesainya skripsi ini, juga tidak lupa kepada sang istri terkasih Tety Kirana br Sembiring Depari yang tidak jenuh-jenuh memberikan dukungan setiap saat dan anak-anak yang aku cintai juga dukungan dari Bapak dan Ibu Mertua Irwan Perangin-angin Sukatendel dan Ngirim br Surbakti.

Ucapan terima ksih juga penulis ucapkan kepada : Bapak Drs Muhammad Takari, M.Hum, Phd selaku Ketua Departemen Etnomusikologi, ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd, Sekretaris Departemen Etnomusikologi, Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si selaku Pembimbing I, Drs. Fadlin, M.A Pembimbing II yang terus memberikan bimbingan sehingga skripsi ini bisa selesai dan saya sadari begitu banyak dukungan dan bantuan yang sudah bapak dan ibu berikan kepada penulis. Dan kepada Bapak Drs. Perikuten Tarigan, M.Si, Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A dan seluruh Dosen, Staf pegawai di


(6)

Departemen Etnomusikologi yang telah membatu penulis selama di perkuliahan.

Tidak lupa penulis Ucapkan Terima Kasih kepada bang Pauji Ginting selaku informan utama, Alm. Djasa Tarigan, Sorensen Tarigan, Djabal Sembiring, Djaman Tarigan, Benson Adisaputra Kaban S, Sos, Desnalri Sinulingga, Spd, atas semua informasi yang sudah diberikan kepada penulis dan kepada informan lainnya yang sudah memeberikan masukan atas skripsi ini.

Kepada teman-teman Stambuk 2007 ( Jaya, Adi, Jakob, Excel, Jere, Salmon, Fuad, Efendi, Winka, Batoan, Tumpal, Bonggut, Imes, Kiky, Rizky) berbagai pengalam dalam satu ruangan perkuliahan telah kita jalani bersama, kepada abang-abang stambuk ( Jeremia, Frans, Saidul, Arief, Brata ) terima kasih atas masukannya. Teman – teman di luar kampus juga penulis ucapkan terima kasih yang sedalam dalamnya kepada Benson Kaban, Cingcang (Pulungenta Sembiring ), Rabun, Tata, Mahansa, bang darto, bang albert buat dukungan yang tidak ternilai.

Penulis sadar masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, kekurangan-kekurangan yang terjadi dimungkin karena keterbatasan penulis dalam penyajiannya. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi kesempurnaan skripsi ini. Penghujung kata semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 26 Juli 2013 Penulis

( Beri Pana Sitepu)


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….i

DAFTAR ISI………ii

DAFTAR LAMPIRAN BAB I : PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah………1

1.2Pokok Permasalahan………..3

1.3Tujuan dan Manfaat Penilitian………...4

1.3.1Tujuan Penelitian………...4

1.3.2Manfaat Penelitian……….4

1.4Konsep dan Teori………...5

1.4.1Konsep………...5

1.4.2Teori………...5

1.5Metode Penelitian………...6

1.5.1Studi Kepustakaan………..9

1.5.2Kerja Lapangan………...9

1.5.2.1 Wawancara………..10

1.5.3Kerja Laboratorium……….11

1.5.4Lokasi Penelitian……….12

BAB II : GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK PAUJI GINTING 2.1 Sejarah Terbentuknya Kecamatan Pancur Batu……… 13

2.2 Lokasi Penelitian………13

2.3 Keadaan Penduduk……….15

2.3.1 Pekerjaan………16

2.3.2 Agama……….16

2.4 Sistem Bahasa……..;………..17

2.5 Sistem Kesenian………..17

2.5.1 Seni Sastra………...18

2.5.1.1 Sastra Lisan………..18

2.5.1.2 Sastra Tulis………...20

2.5.2 Seni Suara ( Vokal )………21

2.5.3 Seni Tari………..22


(8)

2.5.3.2 Tari Yang Berkaitan dengan Religi…….27

2.5.3.3 Tari Yang Berkaitan dengan Hiburan…..27

2.5.4 Seni Pahat (Ukir)……….28

2.5.5 Seni Tenun (Mbayu)………....32

2.5.6 Seni Drama………..36

2.5.7 Seni Musik………...37

2.6 Sistem Kekerabatan……….38

2.6.1 Sembuyak………38

2.6.2 Anak Beru………...39

2.6.3 Kalimbubu………...40

2.6.4 Senina………..41

2.7 Sistem Kepercayaan……….41

2.8 Biografi Singkat Bapak Pauji Ginting……….44

BAB III : KAJIAN ORGANOLOGIS KULCAPI 3.1 Klasifikasi Kulcapi ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,47 3.2 Konstruksi bagian-bagian Kulcapi………..47

3.3 Ukuran bagian – bagian Kulcapi……….49

3.4 Teknik Pembuatan Kulcapi……….51

3.4. 1 Bahan Baku yang Digunakan………51

3.4.1.1 Bahan Pembuat Badan Kulcapi………..51

3.4.1.2 Bahan Pembuat Tutup Kulcapi ……...…51

3.4.1.3 Bahan Pembuat Setelan (tuning peg)…..51

3.4.1.4 Bahan Pembuat Dekung (senar )……….51

3.4.1.5 Bahan Pembuat kuir-kuir (pick)………..52

3.4. 2 Peralatan yang Digunakan……….52

3.4. 2.1 Sekin (parang )………...52

3.4. 2.2 Gergaji………52

3.4. 2.3 Pahat………...53

3.4. 2.4 Rol (lenar)/penggaris………...53

3.4. 2.5 Kertas Pasir……….53

3.4. 2.6 Bor Tangan ………53

3.4. 2.7 Kikir ………..54

3.4. 2.8 Obeng……….54


(9)

3.4. 2.10 Pisau……….54

3.4. 3 Proses Pembuatan………..55

3.4.4 Nada yang Dihasilkan……….62

3.4. 5 Wilayah Nada………63

3.5 Kajian Fungsional………...63

3.5.1 Teknik Memainkan Kulcapi .……….63

3.5.1.1 Proses Belajar………..64

3.5.1.2 Posisi Memainkan………....65

BAB IV : KULCAPI PADA MASYARAKAT KARO 4.1 Eksistensi Kulcapi Pada Masyakat Karo………...67

4.2 Fungsi Kulcapi Pada Masyarakat Karo……….69

4.2.1 Fungsi Pengungkapan Emosional……….69

4.2.2 Fungsi Hiburan……….70

4.2.3 Fungsi Komunikasi………..70

4.2.4 Fungsi Reaksi Jasmani……….70

4.2.5 Fungsi pengeahan lembaga Sosial dan Upacara Keagamaan………..71

4.3 Kulcapi pada Ensambel Gendang Kulcapi 4.3.1 Gendang Kulcapi……….71

4.3.1.1 Kulcapi……….72

4.3.1.2 Balobat……….72

4.3.1.3 Keteng-keteng………..72

4.3.1.4 Mangkok………..73

4.3.2 Peran Masing-masing Instrumen Gendang Kulcapi………....73

4.3.3 Posisi Pemain Gendang Kulcapi………74

BAB V : PENUTUP 5.1 Kesimpulan……….75

5.2 Saran………...76

DAFTAR INFORMAN………


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karo merupakan salah satu etnis di Sumatera Utara yang sangat kaya akan

Kesenian. Salah satu dari kesenian yang terus berkembang hingga saat ini adalah seni

musik. Dalam kesenian masyarakat Karo terdapat dua jenis ansambel musik tradisional

yang dipakai dalam upacara ritual maupun pertunjukan kesenian yaitu gendang lima

sendalanen biasa juga disebut dengan gendang sarune dan gendang telu sendalanen

atau biasa juga disebut gendang kulcapi yang di dalamnya terdapat beberapa jenis

instrumen musik tradisional Karo. Pada pembahasan selanjutnya gendang lima

sendalanen akan disebutkan gendang sarune dan gendang telu sendalanen akan

disebutkan gendang kulcapi.

Di dalam ansambel gendang kulcapi terdapat beberapa buah instrumen musik

salah satunya adalah kulcapi. Instrumen ini merupakan salah satu di dalam ansambel

musik gendang kulcapi yang dalam klasifikasi alat musiknya termasuk ke dalam

kordofon.1 (two-strenged fretted-necked lute) Kulcapi sering sekali dipergunakan pada

upacara ritual, upacara adat Karo maupun pertunjukan kesenian musik Karo. Kulcapi

terbuat dari kayu tualang2

Hingga sekarang alat musik tersebut masih memegang peranan di dalam

masyarakat Karo. Sejauh pengetahuan penulis, pembuat kulcapi ada beberapa orang

yaitu Baji SEmbiring dari desa Seberaya kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo, Ropo

Tarigan (bp.Dep) dari Berastagi Kabupaten Karo, Pulungenta Sembiring bearasal dari . Dalam ensambel gendang kulcapi , kulcapi berfungsi

sebagai pembawa melodi utama.

1

Kordofon adalah klasifikasi alat musik yang memiliki prinsip kerja utama dengan terjadinya getaran pada senar sebagai sumber bunyi.

2

Tualang adalah sebuah nama pohon yang dapat tumbuh besar dan tinggi dan sangat digemari lebah untuk tempat bersarang dalam bahasa botani disebut koompassia excelsa (Becc)


(11)

Desa Sarimunte kecamatan Munte Kabupaten Karo kini tinggal di kota Medan, Bangun

Tarigan dari Kabanjahe dan Muhammad Pauji Ginting yang awalnya tinggal di desa

Lingga kecamatan Simpang Empat kabupaten Karo, kini tinggal di Desa Hulu

Jl.Dewantara, Pancur Batu.

Diantara pembuat kulcapi tersebut, penulis mengkaji kulcapi buatan bapak

Muhammad Pauji Ginting. Dalam hal membuat dan memainkan alat musik Kulcapi,

bapak Pauji Ginting dipandang mahir dan piawai oleh masyarakat pendukungnya.

Selain bermain dan membuat Kulcapi, beliau juga aktif dalam beberapa kegiatan

kesenian Karo, yang salah satunya memegang peranan Koordinator dalam sebuah grup

Gallery yang bernama Gallery Mejuah-juah3

3

Gallery Mejuah-juah adalah galeri kesenian Karo yang di dalamnya terdapat bengkel seni, pembuatan alat musik tradisional Karo dan pemasaran alat musik tradisional Karo.

.

Dalam Proses pemilihan bahan baku serta pembuatanya bapak .Pauji Ginting

masih menggunakan alat-alat tradisional. Menurut Bapak Pauji Ginting Kulcapi hasil

buatannya sudah dipergunakan oleh pemain Kulcapi profesional seperti : Jasa Tarigan,

Sorensen Tarigan, Ramona Purba dll, juga dipergunakan dalam pertunjukan skala

nasional seperti JCC (Jakarta Convention Center) pada acara Produk Kreatif anak

bangsa, Gendang Merga Silima di kota Balam, Riau. Selain itu Kulcapi buatan bapak

Pauji Ginting sudah pernah di kirim ke berbagai daerah seperti, TMII (Taman Mini

Indonesia Indah), Jakarta, Museum GBKP di Taman Jubelium Suka Makmur, Deli

Serdang, Gedung Kesenian Karo program Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kabupaten Karo, bahkan sampai ke luar negeri yaitu negara Belanda dan kulcapi

tersebut juga sering dipakai pada rekaman VCD lagu-lagu karo seperti ; album

tradisional karo “peratah-ratahi bulung si kerah” copyright 2010 rekaman BS record,

album gendang salih copyright 2011 rekaman Emma record, lagu-lagu karo “Karina”


(12)

Dari latar belakang tersebut di atas maka penulis tertarik untuk meneliti,

mengkaji serta menuliskannya dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul:Kajian Organologis Kulcapi pada Masyarakat Karo buatan Bapak Pauji Ginting.

1.2. Pokok Permasalahan

Dari latar belakang yang penulis kemukakan di atas maka permasalahan

dalam penulisan ini adalah:

1. Bagaimana proses dan teknik pembuatan Kulcapi buatan Bapak Pauji Ginting.

2. Bagaimana keberadaan (eksistensi) alat musik Kulcapi .pada masyarakat Karo.

3. Bagaimana fungsi alat musik kulcapi dalam ensambel gendang kulcapi.

4. Bagaimana teknik permainan kulcapi.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian kulcapi adalah:

1. Untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan kulcapi oleh Bapak Pauji Ginting di Desa Hulu, Jl. Dewantara Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang.

2. Untuk mengetahui keberadaan (eksistensi) alat musik kulcapi pada masyarakat Karo.

3. Untuk mengetahui fungsi alat musik kulcapi 4. Untuk mengetahui teknik permainan kulcapi.

1.3.2 Manfaat Penelitian


(13)

1. Sebagai bahan referensi untuk menjadi acuan pada penelitian yang relevan di kemudian hari

2. Sebagai informasi kepada masyarakat atau lembaga yang mengemban visi dan misi kebudayaan khususnya di bidang musik tradisional

3. Bahan motivasi bagi setiap pembaca khususnya generasi muda masyarakat Karo untuk melestarikan musik tradisional

4. Syarat untuk mencapai gelar Sarjana di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep adalah penggambaran atas image sebelumnya dengan meletakkan

perbedaanya (Schopenhauer 1992). Pemahaman konsep diperoleh melalui proses

belajar. Sedangkan belajar merupakan proses kognitif yang melibatkan tiga proses yang

berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses tersebut adalah, (1) memperoleh

informasi baru, (2) transformasi informasi, dan (3) menguji relevansi dan ketetapan

pengetahuan.

Dalam kedua konteks di atas, tidak akan terlepas dari kata observasi dan

pengamatan, di mana observasi adalah satu penelitian secara sistematis menggunakan

indera manusia.dan pengamatan merupakan a powerful tool indeed (Suwardi

Endraswara, 2006:133) dalam hal ini observasi dan pengamatan mengenai organologi

yang mana organologi merupakan ilmu tentang instrumen musik (alat musik) yang

seharusnya tidak hanya mencakup sejarah dan deskripsi instrumen saja, tetapi juga

sama pentingnya, walaupun sebagai aspek yang terabaikan dalam ”ilmu” instrumen

musik, seperi teknik-teknik tertentu dalam memainkan, fungsi secara musik, hiasan

(yang dibedakan dari konstruksi) dan berbagai pendekatan tentang sosial budaya.


(14)

Kulcapi adalah alat musik tunggal maupun ensambel. Kulcapi terbuat dari kayu

ingul, jalutung, kayu tualang dan kayu keras lainnya yang sudah tua yang dibentuk

menyerupai gitar, bagian belakang kulcapi dikorek, namun tidak sampai tembus

kebagian depan.kemudian ditutup dengan papan tipis sehingga berfungsi sebagai kotak

resonansi. Pada bagian ujung kulcapi dibuat dua lobang tempat cupingan dan pada

bagian perutnya dibuat bantalan yang juga berfungsi sebagai ganjalan untuk tempat

tali.Tali senar kulcapi dibuat dari akar enau atau ijuk riman, namun akhir-akhir ini telah

diganti dengan kawat baja atau nylon. Pada bagian ujung, diukir motif manusia,

sedangkan badannya penuh dengan ukiran dengan motif karo. Kulcapi mempunyai dua

senar, berdasarkan pengklasifikasian alat musik oleh curt sach dan hornbostel kulcapi

termasuk ke dalam long neck lute, Kulcapi dipetik seperti memainkan gitar. Untuk

menentukan tinggi dan rendahnya nada, senar dapat dikencangkan dan dikendorkan

dengan alat putar yang terdapat pada bagian kepala.

1.4.2 Teori

Teori dianggap sebagai sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematik

dalam gejala sosial maupun natura yang ingin diteliti dan juga merupakan alat dari ilmu

(tool of science). Di lain pihak, teori juga merupakan alat penolong, teori mempunyai

peranan sebagai: (a) teori sebagai orientasi utama dari ilmu, (b) teori sebagai

konseptualisasi dan klasifikasi, (c) teori meringkas fakta, (d) teori memprediksi

fakta-fakta, dan (e) teori memperjelas celah kosong. Teori mempunyai hubungan yang erat

dengan penelitian dan juga dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian. Tanpa

teori, penemuan tersebut akan merupakan keterangan-keterangan empiris yang

berpencar (Moh. Nazir, 1983:22-25)

Setelah beberapa penjelasan mengenai teori di atas, maka di dalam penulisan

skripsi yang membahas tentang pendeskripsian alat musik dalam hal ini alat musik tiup

kulcapi, penulis menggunakan landasan teori. Penulis berharap teori tersebut akan

mampu menjadi landasan atau acuan maupun pedoman dalam menyelesaikan


(15)

Untuk pendeskripsian mengenai alat musik dalam hal ini alat musik kulcapi

penulis menggunakan pendekatan struktuiral dan pendekatan fungsional yang

dikemukakan oleh Susumu Khasima yaitu dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk

membahas alat musik, yakni pendekatan struktural dan fungsional. Secara struktural

yaitu aspek fisik instrumen musik, pengamatan, mengukur, merekam, serta

menggambar bentuk instrumen, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai.

Di sisi lain, secara fungsional, yaitu : fungsi instrumen sebagai alat untuk

memproduksi suara, meneliti, melakukan pengukuran dan mencatat metode,

memainkan instrumen, penggunaan bunyi yang diproduksi, (dalam kaitannya dengan

komposisi musik) dan kekuatan suara. Di dalam penulisan ini selain teori yang

dikemukakan oleh Susumu Khasima di atas penulis juga menggunakan teori-teori lain

yang menyinggung tentang pendeskripsian alat musik khususnya alat musik tiup,

sebagai acuan dalam pendeskripsian alat musik kulcapi.

Sedangkan mengenai klasifikasi alat musik kulcapi dalam penulisan ini penulis

mengacu pada teori yang di kemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel (1961)

mengenai pengklasifikasian alat musik yaitu: ”Sistem pengklasifikasian alat musik

berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi

empat bagian yaitu: idiofon, penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu

sendiri, aerofon, penggetar utama bunyinya adalah udara, membranofon, penggetar

utama bunyinya adalah kulit atau membran, kordofon, penggetar utama bunyinya

adalah senar atau dawai.

Salah satu perhatian etnomusikologi adalah studi tentang peralatan musik yang

dipakai sebagai media ekspresi dari sebuah kebudayaan (musikal). Hal ini dipertegas

lagi dengan pendapat bahwa kajian etnomusikologi bukan hanya dari aspek yang

berhubungan dengan bunyi musikal, aspek sosial, konteks budaya psikologis dan

estetika melainkan juga paling sedikit ada enam aspek yangb menjadi perhatiannya.

Salah satu diantaranya adalah materi kebudayaan musikal (Merriam, 1964: 45). Bidang


(16)

etnomusikologi itu sendiri. Pembahasan bidang ilmu ini meliputi bidang semua aspek

yang berkaitan dengan alat musikal,sepertiukuran dan bentuk (termasuk pola hiasan)

fisiknya,bahan dan prinsip pembuatannya,metode dan teknik

memainkannya,bunyi/nada dan wilayah nada yang dihasilkannya.serta aspek sosial

budaya yang berkaitan dengan alat musik tersebut. Hal ini dikuatkan lagi dengan

pendapat,bahwa organologi tidak hanya membahas masalah teknik

memainkannya,fungsi musikal,dekorasi (pola hiasan) fisik,dan aspek

sosial-budaya,melainkan termasuk didalamnya sejarah dan deskripsi alat musik tersebut

secara konstruksional. (Hood,1982: 124)

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah mengemukakakan secara teknis tentang strategi yang

digunakan dalam penelitian kebudayaan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan

metode penelitian kualitatif untuk memahami permasalahan yang terdapat dalam

pembuatan alat musik kulcapi buatan Bapak Pauji Ginting. Menurut rumusan

penelitian kualitatif adalah kajian fenomena (budaya ) empirik di lapangan. Kajian ini

akan meliputi berbagai hal, tahap sebelum ke lapangan (pra lapangan), tahap kerja

lapangan, analisis data, dan penulisan laporan (Moleong, 2002:109).

1.5.1 Studi Kepustakaan

Sebelum mengadakan penelitian lapangan, terlebih dahulu dilakukan studi

kepustakaan yaitu dengan membaca bahan yang relevan, baik itu tulisan-tulisan ilmiah,

literatur, majalah, situs internet dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek

penelitian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data relevan untuk mendukung

penulisan skripsi ini

1.5.2 Kerja Lapangan

Kerja lapangan ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat. Dalam hal

ini menggunakan teknik obeservasi atau pengamatan. Dapat dijelaskan bahwa observasi

adalah satu penelitian secara sistematis menggunakan indera manusia. Sesuai dengan


(17)

dengan pengamatan terlibat agar penulis dapat mengamati serta memahami objek yang

diteliti secara langsung. Di samping itu, pengamatan ini bertujuan untuk menciptakan

komunikasi serta interaksi yang baik antara penulis sendiri dengan objek yang diteliti

dalam hal kulcapi buatan Bapak Pauji Ginting, sehingga data yang dibutuhkan dapat

diperoleh secara lebih akurat .

1.5.2.1 Wawancara

Wawancara berbeda dengan percakapan sehari-hari. Wawancara adalah a

conversation with purpose (percakapan yang memiliki tujuan seperti halnya penelitian).

Wawancara sebagai wahana strategis pengambilan data memerlukan kejelian dan

teknik-teknik tertentu. Koentjaraningrat (1986:136) membagi wawancara ke dalam dua

golongan besar yaitu wawancara berencana dan wawancara tak berencana. Dalam

bagian ini penulis menggunakan teknik wawancara terfokus dan wawancara sambil lalu

mengacu pada bagian wawancara yang dikemukakan Koenjaraningrat (1985:139),

yaitu: wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview),

wawancara sambil lalu (casual interview). Dalam hal ini penulis menyipakan daftar

pertanyaan yang di ajukan sesuai dengan keadaan di lapangan ,pertanyaan yang

diajukan tidak berdasarkan urutan yang telah ditentukan pada daftar pertanyaan ,tetapi

dapat berkembang sesuai dengan pembicaraan. Walaupun demikian

pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu terpusat pada pokok permasalahan dan tujuan penelitian

yang ingin dicapai. Dalam wawancara penulis menngunakan tape recorder dan kamera

untuk pengambilan dan penyimpanan data yang diperlukan.

Pada tahap wawancara, penulis akan mengadakan wawancara dengan

informan kunci yaitu bapak Pauji Ginting. Beliau adalah pembuat kulcapi yang

berasal Dari desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo dan kini

bertempat tinggal di Desa Hulu Jl. Dewantara, Pancur Batu. Sedangkan informan

pendukung adalah bapak Sorensen Tarigan yang merupakan seorang seniman Karo,

bertempat tinggal di Jl. Bunga Herba II, Medan. Beliau merupakan salah satu pemain


(18)

Adisaputra Kaban. S.Sos yang merupakan seorang produser lagu-lagu daerah Karo

dan sudah pernah merekam permainan Kulcapi buatan bapak Pauji Ginting dan

Desnalri Sinulingga, S.Pd yang ikut membantu bapak Pauji Ginting dalam pemasaran

hasil kerajinan tangan bapak Pauji Ginting.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Semua data yang diperoleh di lapangan dicatat, kemudian diolah dan di

analisis dengan teliti.hasil olahan dan analisis tersebut dijadikan sebagai bahan

tulisan. Selanjutnya hasil-hasil dari pengolahan dan analisis data tersebut baik berupa

data tulisan, gambar, maupun suara disususn secara sistematis ,sehingga hasilnya

dapat dilihat dalam satu bentuk laporan ilmiah yaitu skripsi.

1.5.4 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian penulis adalah di desa Hulu Jl. Dewantara, Pancur

Batu, Deli Serdang. Di lokasi tersebut merupakan tempat kediaman dari bapak Pauji

Ginting. Di rumah ini juga dilakukan aktivitas pembuatan kulcapi, dari tahap awal

sampai akhir. Di rumah ini pula dilakukan latihan-latihan bersama sanggar pimpinan


(19)

BAB II

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK PAUJI GINTING. 2.1 Sejarah Terbentuknya Kecamatan Pancur Batu

Sebelum tahun 1945 atau pada zaman Pemerintahan Belanda Kecamatan Pancur Batu disebut dengan Sinuan Bungan dengan Ibu Kota Arhnemia. Pada tahun 1952 Gubernur Kepala Daerah Tk.I Sumatera Utara yakni Abdul Hakim mengadakan perubahan Pamong Sipil Kabupaten Daerah Tk.II Deli Serdang secara Administratif yang dibagi atas 6 (enam) kewedanan yang terdiri dari 30 kecamatan , salah satunya adalah Kecamatan Pancur Batu dengan kewedanaan Deli Hulu.

Pada tahun 1974 sejalan dengan perluasan Kotamadya Medan bahwa Desa Lau Cih , Desa Namo Gajah , Desa Simalingkar-B , Desa Kemenangan Tani dan sebahagian Desa Baru telah menjadi Kodya Medan hingga sekarang.

Pada masa sebelum tahun 1990 Kecamatan Pancur Batu terdiri atas 59 Desa dan atas ketentuan yang membentuk beberapa Desa digabung menjadi satu , sehingga sampai saat ini Kecamatan Pancur Batu menjadi 25 Desa dengan luas areal 11.147,35 Ha.

2.2 Lokasi penelitian

Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Kecamatan Pancur Batu yang merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai bengkel instrumen bapak Pauji Ginting, yang bertempat tinggal di Desa Hulu Jl. Dewantara Kecamatan Pancur Batu.

Secara Geografis batas-batas wilayah Kecamatan Pancur Batu adalah sebagai berikut :


(20)

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Tuntungan dan Medan Sunggal

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sibolangit - Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Namo Rambe - Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kutalimbaru

Jarak Ibu Kecamatan Pancur Batu dengan :

- Ibu Kota Propinsi Sumatera Utara sepanjang 17 Km - Ibu Kota Kabupaten Deli Serdang sepanjang 35 Km

Dan keadaan alam Kecamatan Pancur Batu adalah datar, landai dan berbukit (dataran tinggi) dengan ketinggian rata-rata 60m diatas permukaan laut, beriklim sedang serta dipengaruhi musim panas dan musim penghujan. Nama-nama Camat yang pernah menjabat di Kecamatan Pancur Batu adalah :

No Nama Camat Masa Jabatan

1 Damai Gurusinga 1949 s/d 1950

2 Sampuran Manik 1950 s/d 1952

3 Nangkoh Barus 1952 s/d 1960

4 Masa Sinulingga 1960 s/d 1963

5 Tandil Tarigan 1963 s/d 1968

6 Ngalem Suryadi , BA 1968 s/d 1974

7 Zainal Aris , BA 1974 s/d 1976

8 Djelah Simarmata 1976 s/d 1979

9 Drs. Erson Munthe 1979 s/d 1985

10 Drs. Johan Kuasa Barus 1985 s/d 1991

11 Drs. Kalijunjung Simanjuntak 1991 s/d 1993 12 Drs. Herman Sinar Ginting 1993 s/d 1995 13 Drs. Suhatsyah D. Nasution 1995 s/d 1998


(21)

15 Drs. Neken Ketaren 2001 s/d 2005

16 SP. Tambunan, SE 2005 s/d 2008

17 Drs. Haris Binar Ginting 2008 s/d 2010 18 Suryadi Aritonang, S.Sos, M.Si 2010 s/d sekarang

Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009

2.3. Keadaan penduduk

Penduduk Kecamatan Pancur Batu pada saat ini berjumlah 77.267 jiwa, yang terhimpun dalam 18.425 Kepala Keluarga (KK). Adapun penduduk yang mendiami Kecamatan Pancur Batu terdiri dari berbagai suku antara lain :

Tabel 1 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku

No Suku Jumlah (KK)

1 Suku Karo 6.588 KK

2 Suku Jawa 5.188 KK

3 Suku Minang 808 KK

4 Suku Cina 127 KK

5 Suku Tapanuli Utara 2.331 KK

6 Suku Tapanuli Selatan 1.225 KK

7 Suku Nias 93 KK

8 Suku Tamil 65 KK

Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009 Dari Tabel 1 diatas dapat disimpulkan bahwa di Kecamatan Pancur Batu mayoritas penduduk nya dihuni oleh masyarakat yang bersuku Karo dengan jumlah 6.588 KK dan yang paling sedikit bersuku Tamil dengan jumlah 65 KK

2.3.1. Pekerjaan

Penduduk di Kecamatan Pancur Batu memiliki jenis pekerjaan yang beragam, adapun klasifikasi jenis pekerjaan penduduk di Kecamatan Pancur Batu dapat dilihat pada tabel di bawah ini:


(22)

No Jenis Pekerjaan Presentase

1 Petani 72 %

2 Pedagang 12 %

3 Pegawai Negeri Sipil 8%

4 Karyawan 5%

5 Buruh Harian Lepas 4%

Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009 Dari tabel 2 tersebut dapat disimpulkan bahwa pekerjaan yang paling mendominasi di Kecamatan Pancur Batu tersebut adalah sebagai petani, yang mencapai persentase hingga 72% dari total keseluruhan. kemudian diikuti oleh pedagang , pegawai negeri sipil , karyawan dan buruh/ pegawai swasta. Penduduk di Kecamatan Pancur Batu tersebut tergolong memiliki jenis pekerjaan yang beragam.

2.3.2. Agama

Penduduk di Kecamatan Pancur Batu menganut agama yang berbeda-beda diantara enam agama yang diakui di Indonesia. Untuk melihat komposisi penduduk di Kecamatan Pancur Batu berdasarkan agama yang dianut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 3

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah

1 Islam 39.374 orang

2 Kristen 37.441 orang

3 Hindu 151 orang

4 Budha 301 orang

Jumlah 77.267 orang


(23)

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduk Kecamatan Pancur Batu memeluk agama Islam dengan jumlah 39.374 orang dari total populasi yang ada. Sedangkan pada urutan yang kedua yaitu agama Kristen berjumlah sebanyak 37.441 orang dan sisanya menganut agama Hindu dan Budha.

2.4 Sistem Bahasa

Sejak berabad-abad yang lampau suku-suku bangsa yang tinggal di berbagai kepulauan di Nusantara memiliki bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam pergaulan dan komunikasi antar sesama suku tersebut. Bahasa itu dinamakan sebagai “bahasa daerah” yang disebutkan sesuai dengan suku bangsa yang memiliki bahasa tersebut.

2.5 Sistem Kesenian

Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraniningrat, 1980:395-397). Rohidi (2000:28) mengatakan bahwa berekspresi estetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tergolong kedalam kebutuhan integratif. Kebutuhan integratif ini muncul karena adanya dorongan dalam diri manusia yang secara hakiki senantiasa ingin merefleksikan keberadaannya sebagai mahluk yang bermoral, berakal, dan berperasaan.

Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang

sangat umum dalam setiap kelompok masyarakat pada umumnya.. Dengan demikian kesenian merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam masyarakat


(24)

untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah, senang, gembira maupun perasaan sedih.

Suku Karo sebagai salah satu etnik dari beratus etnik yang dimiliki Nusantara tentu memiliki keunikan kesenian tersendiri. Keunikan Kesenian Karo ini lah yang menjadi kebanggaan suku Karo dalam menjalankan tutur budayanya.

Untuk itu dibawah ini penulis memapaparkan kesenian-kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Karo dalam budayanya.

2.5.1 Seni Sastra

Kesusasteraan Karo memiliki dua bentuk, yakni lisan dan tulisan. Namun,

sastra bentuk, lisan lebih dikenal dan lebih sering digunakan dibandingkan tulisan.

2.5.1.1Sastra Lisan

Pada umumnya dalam berkomunikasi dengan sesamanya, orang Karo mempergunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan sehari-hari, penggunaan bahasa Karo ini tidak memerlukan suatu bentuk atau susunan dan aturan yang baku, yang penting apa yang dikehendaki atau yang perlu disampaikan bisa dimengerti oleh lawan bicara/pendengar.

Namun untuk keperluan tertentu, seperti ungkapan keluh kesah, pembicaraan adat, bernyanyi, dan lain sebagainya dilakukan pemilihan kosa kata yang dianggap paling sesuai. Kosa kata yang dimaksud adalah apa yang disebut oleh orang Karo sebagai cakap lumat (bahasa halus). Cakap lumat adalah dialog yang diselang-selingi dengan pepatah, perumpamaan, pantun dan gurindam. Pemakaian cakap lumat ini sering dipergunakan dalam upacara adat


(25)

seperti Upacara perkawinan, memasuki rumah baru, dan dalam pergaulan muda-mudi (ungkapan percintaan).

Berdasarkan dari beberapa sumber,, penulis menyimpulkan bahwa seni sastra Karo dibedakan atas beberapa kategori, diantaranya:

1. Tabas-abas (mantra), yaitu sejenis mantra yang diucapkan atau dilantunkan untuk mengobati orang yang sakit. Mantra ini biasanya diucapkan/digunakan oleh seorang Guru sibaso (dukun).

2. Kuning-kuningen, yaitu sejenis teka-teki yang biasa digunakan oleh anak-anak, muda-mudi maupun orang tua di waktu senggang, sebagai permainan untuk mengasah otak.

3. Ndung-dungen, yaitu sejenis pantun Karo yang terdiri dari empat baris. Dua baris terdiri dari sampiran, dan dua baris berikutnya merupakan isi.

4. Bilang-bilang, yaitu dendang duka yang merupakan ratapan seseorang yang sedang berduka. Misalnya kerana teringat dengan ibunya yang telah meninggal dunia; ataupun meratapi kekasih yang telah meninggalkan dirinya kerana sesuatu hal. Dahulu Bilang-bilang ini ditulis dengan aksara Karo di sepotong bambu atau kulit kayu, isinya adalah jeritan hati sipenulisnya. Semenjak dahulu bilang-bilang ini biasanya terfokus pada suasana kepedihan/kesedihan. Oleh karena itu ada juga yang mengatakan bilang-bilang sebagai “Dengang duka”. 5. Turi-turin, adalah cerita yang berbentuk prosa yang isinya tentang asal-usul marga, asal usul kampung, cerita tentang orang sakti, cerita lucu, dan lain sebagainya. Turi-turin biasanya diceritakan orang-orang tua kepada anak atau cucunya pada malam hari sebagai pengantar tidur.

Beberapa judul ceritanya antara lain: Beru Patimar, Panglima Cimpa Gabor-gabor, Gosing si Aji Bonar, dan sebagainya.(ibid & blog Julianus Limbeng)


(26)

2.5.1.2 Sastra Tulis

Aksara Karo merupakan salah satu bentuk kekayaan sastra Karo. Menurut sejarahnya aksara Karo bersumber dari aksara Sumatera Kuno yaitu campuran aksara Rejang, Lebong, Komering dan Pasaman. Kemungkinan aksara ini dibawa dari India Selatan, kemudian ke Myanmar/Siam dan akhirnya sampai ke Tanah Karo. Aksara ini hampir mirip dengan aksara Simalungun dan Pakpak Dairi, yaitu berupa huruf silabis (semua huruf atau silabel dasarnya berbunyi a) yang biasa disebut: haka bapa nawa yang merupakan enam silabel pertama.

Pada umumnya tulisan atau aksara Karo tempo dulu digunakan untuk menuliskan ramuan-ramuan obat, mantra atau cerita. Tulisan ini di ukir di kulit kayu atau bambu yang di bentuk sedemikian rupa agar dapat dilipat-lipat, dan biasanya huruf-huruf ini diukir dengan menggunakan ujung pisau dan setelah itu tulisan tersebut diwarnai (dihitamkan) dengan bahan baku tertentu.

Gambar 1 . Aksara Karo

Sumber : http://www.wikipedia.com/karo.html

2.5.2 Seni Suara (Vokal)

Dalam berkesenian, orang Karo tidak mengenal istilah seni suara (vokal), namun biasanya orang bernyanyi sering disebut rende, dan penyanyi berarti perende-ende. Jika seorang perende-ende juga pandai menari (Landek)


(27)

dan sudah biasa bernyanyi sekaligus menari dalam suatu pesta Gendang guro-guro aron, maka sebutan uuntuknya telah berubah menjadi Perkolong-kolong.. Kemampuan ini tidak terbatas hanya pada kemampuan menyanyikan lagu-lagu Karo yang bertemakan percintaan atau muda mudi, namun juga mampu menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang secara teks atau liriknya sangat bergantung kepada konteks suatu upacara. Artinya melodi lagu pemasu-masun memang telah diketahui atau dihapal, namun lirik dari melodi tersebut harus dibuat (dinyanyikan) sendiri oleh Perkolong-kolong tersebut pada saat bernyanyi sesuai dengan konteks upacara yang sedang berlangsung pada saat itu.

Diperkirakan pada zaman dahulu masyarakat Karo belum mengenal seni suara secara nyata. Kemudian dalam perkembangannya muncullah lagu-lagu yang dibawakan seseorang sebagai ‘Perende-rende’ (penyanyi). Lagu-lagunya masih cenderung berteme kesedihan, dan lagu ini biasanya dibawakan untuk pengantar sebuah cerita atau memuja seseorang, juga dibawakan untuk menyampaikan doa seperti lagu didong-didong.

Sementara dalam perkembangan selanjutnya budaya Karo mengenal beberapa jenis seni vokal diantaranya:

• Katoneng-katoneng (nyanyian yang berisikan pengharapan), • Didong didong (nyanyian yang berisikan nasehat-nasehat), • Mangmang (nyanyian yang berisikan doa-doa),

• Tangis-tangis (nyanyian ungkapan keluh kesah),

• Turi-turin (nyanyian untuk menceritakan sesebuah cerita), • Ende-enden (nyanyian muda-mudi).


(28)

Penyajian seni vokal Katoneng-katoneng dan Ende-enden dilakukan oleh seorang penyanyi dan penari tradisional Karo (Perkolong-kolong) di dalam acara adat dan hiburan. Sementara nyanyian Mangmang dilakukan oleh seorang Guru sibaso (Dukun) di dalam upacara yang berkaitan dengan kepercayaan tradisional (ritual). Sedangkan, nyanyian Tangis-tangis dilakukan pada upacara kematian, dan didong-dong biasanya dinyanyikan dalam upacara perkawinan.

2.5.3. Seni Tari

Secara umum, tari pada masyarakat Karo disebut “Landek”. Dalam budaya Karo, penyajian Landek sangat kontekstual. Dengan kata lain, keberadaan Landek ditentukan dengan konteks penyajiannya. Selain itu setiap gerakan-gerakan dalam Landek dalam masyarakat Karo juga berhubungan dengan perlambangan-perlambangan dan makna-makna tertentu.

Adapun beberapa makna gerakan dalam Landek masyarakat Karo adalah sebagai berikut:

1. Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur, maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum berbuat.

2. Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten, maknanya adalah saling tolong-menolong dan saling membantu.

3. Gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pa la banci ndeher adi langa sioraten, artinya siapa pun tak boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, atau sama seperti istilah tak kenal maka tak sayang,


(29)

4. Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat,

5. Gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe la banci ndeher, siapa pun tak bisa mendekat dan berbuat secara sembarangan,

6. Gerak tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum memutuskan, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna, 7. Gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras simenahang ras ibaba, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung akibatnya, atau berarti juga sebagai rasa sepenanggungan,

8. Gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh tanggung jawab, dan 9. Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa memandang bulu siapa pun manusianya apabila sudah berkenalan akan diterima dengan segala senang hati.

Sejauh ini dari beberapa referensi yang penulis peroleh, bahwa konteks penyajian Landek pada masyarakat. Karo secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Konteks penyajian dalam adat istiadat 2. Konteks penyajian dalam religi/ritual, dan 3. Konteks penyajian untuk hiburan.

Pola-pola dasar Landek pada masyarakat Karo terbentuk atas 3 (tiga) unsur, yakni: endek (gerakan menekuk lutut), odak atau pengodak (gerakan langkah kaki), dan ole atau jemolah jemole (goyangan/ayunan badan). Unsur


(30)

lainnya yang juga membentuk keindahan tari Karo adalah lempir tan (gemulai tangan), dan ncemet jari (lentik jari).

Endek merupakan salah satu unsur penting dalam tari Karo. Endek dibentuk dengan gerakan menekuk lutut kebawah dan kembali lagi keatas. Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak keatas dan kebawah secara vertikal. Gerakan endek itu harus disesuaikan dengan buku gendang (bunyi gung dan bunyi penganak dalam permainan musik Karo yang sedang mengiringi). Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku gendang merupakan sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam tari Karo, di beberapa Landek penyesuaian itu bisa terlihat ketika gung dan penganak berbunyi tubuh penari sudah atau sedang berada di posisi atas.

Odak atau pengodak adalah gerakan penari ketika melangkah maju dan mundur, maupun melangkah serong kekiri atau kekanan. Odak harus dimulai dengan gerakan kaki kanan, serta dilakukan pada saat gung (Gong) berbunyi. Dalam gerakan odak atau pengodak, unsur endek seperti yang telah dijelaskan di atas harus tetap terlihat, Maksudnya, ketika penari melakukan odak (melangkah), penari tersebut tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian gerakan odak dengan musik.

Sementara itu, Ole atau jemolah jemole merupakan gerakan goyangan atau ayunan badan kedepan dan ke belakang, atau kesamping kiri dan kanan. Gerakan ole juga mengikuti bunyi gung dan penganak.

Dari penjelasan diatas, diketahui bahawa bunyi gung dan penganak merupakan patokan dasar bagi seorang penari Karo untuk melakukan endek, odak, maupun ole. Sedangkan, unsur-unsur lempir tan maupun ncemet jari merupakan unsur pendukung untuk memperindah tari. Lempir tan diperlukan


(31)

ketika akan membentuk pola gerak tertentu dari tari Karo, misalnya ketika posisi kedua tangan diatas bahu. Sedangkan ncemet jari diperlukan saat melakukan petik (gerakan tangan mengepal), dan pucuk (jari diletakkan dimuka kening penari) terutama pada tari muda-mudi.

Dalam tarian Karo, geseran kaki, goyang pinggang/pinggul, dan main mata tidak diperbolehkan, karena dianggap tidak sopan dan melanggar norma-norma adat istiadat masyarakat Karo. Idealnya dalam menarikan tarian Karo, gerakan kaki harus dilakukan dengan melangkah atau odak, gerakan pinggang harus mengikuti ayunan badan atau ole, serta pandangan mata penari hanya boleh mengarah diagonal kebawah, tertuju pada lutut pasangan menarinya.

Namun belakangan ini, dalam budaya kontemporer Karo, terutama setelah populernya lagu-lagu Karo versi baru, maka terciptalah beberapa tari baru dengan peraturan tertentu, seperti Piso Surit, Tari Terang Bulan, Tari Mbuah Page, dan lain-lain. Dengan demikian secara otomatis terjadi juga perubahan-perubahan norma dalam budaya tari Karo dalam konteks global.

Tari pada masyarakat Karo dalam penggunaannya dibedakan dalam tiga bagian, yaitu:

2.5.3. 1 Tari yang Berkaitan dengan Adat/ Komunal

Tari yang berkaitan dengan adat adalah tari yang merupakan bagian dari suatu upacara adat. Upacara yang dimaksud adalah upacara memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian adat yang bersifat komunal biasanya dilakukan oleh kelompok merga atau kelompok sangkep nggeluh, bersama-sama dengan kelompok sukut (pemilik hajatan/tuan rumah), masing-masing kelompok menari dengan posisi berhadap-hadapan.


(32)

Bagi kelompok sukut tarian itu merupakan tarian penyambutan atau penghormatan atas kehadiran tamu-tamu adat.

Sedangkan bagi kelompok tamu adat, tarian ini merupakan aktivitas pembuka sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan nasehat) kepada keluarga yang memiliki hajatan.

2.5.3. 2 Tari yang Berkaitan dengan Religi/Ritual

Tari yang berkaitan dengan ritual ini biasanya dibawakan oleh seorang Guru sibaso (dukun) dalam upacara ritual. Tari yang dibawakan oleh Guru, disesuaikan dengan keperluan atau jenis upacara yang dilaksanakan. Beberapa tari Karo yang berkaitan dengan upacara ritual adalah; Tari tungkat (tari untuk mengusir roh-roh jahat), Tari njujung baka (tari yang menggunakan keranjang yang berisi sesaji untuk persembahan), Tari seluk (tarian kesurupan), dan lain sebagainya.

Upacara yang berkaitan dengan ritual yang dilakonkan oleh Guru sibaso (dukun), adalah berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Kerana ketika seorang guru (dukun) memimpin upacara, biasanya beliau memanggil jinujung-nya (junjungan-jinujung-nya) untuk ‘masuk’ ke dalam dirijinujung-nya. sehingga gerakan tarijinujung-nya tidak lagi memiliki struktur yang baku, berbeda dengan pola gerak tari Karo pada umumnya.

Tetapi secara umum gerakan yang khas pada tarian ini adalah gerakan murjah-urjah (melompat dengan mengangkat kaki secara bergantian).

2.5.3. 3 Tari Yang Berkaitan Dengan Hiburan

Tari Karo yang sifatnya hiburan biasanya ditarikan oleh dua orang atau lebih muda-mudi dengan cara berpasang-pasangan, diantaranya adalah: Tari


(33)

pecat-pecat seberaya, Tari lima serangke, Tari piso surit, Tari roti manis, dan lain sebagainya.

Tari-tarian jenis ini pada umunya sudah memiliki komposisi yang baku, dengan kata lain koreografinya telah tersusun dengan tetap. Tari-tarian hiburan lain yang sangat digemari oleh masyarakat Karo, diantaranya adalah Ndikar (tari pencak silat), Adu Perkolong-kolong (tarian yang dibawakan oleh sepasang Perkolong-kolong dan melakukan aksi atau cerita lucu yang menghibur), serta Gundala-gundala (drama tari topeng Karo).

2.5.4. Seni Pahat (Ukir)

Walaupun kehidupan masyarakat Karo pada waktu dulu dalam keadaan serba sederhana, namun beberapa orang “Pande tukang” (sebutan bagi orang yang ahli membuat bangunan Karo) mampu menyumbangkan karya-karyanya. Beberapa dari karya itu umumnya dimulai dengan sederhana dan dengan maksud untuk menolak bala, menangkal roh jahat, dan sebagai media yang kemudian dipercaya memiliki kemampuan pengobatan.

Kemudian dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, kebiasaan membuat ukiran tersebut tidak lagi dipandang dari segi kekuatan daya penangkalnya (mistis) saja. Tetapi lukisan itu telah dipandang sebagai sesuatu yang memiliki nilai keindahan sehingga kemudian dikembangkan sebagai sebuah karya seni.

Secara garis besar ada empat tempat dimana karya seni ini biasa ditempatkan, antara lain:

• Pada bangunan tradisional Karo seperti rumah adat, jambur, geriken, dan gereta guro-guro aron,


(34)

abal, busan, petak, tagan, kampil, dan alat kesenian, dan

• Pada pakaian adat Karo seperti pada uis kapal, uis nipes, dan baju, serta • Ukiran pada berbagai benda perhiasan seperti gelang, cincin, kalung, pisau, ikat pinggang, dan lain sebagainya.

Di bawah ini penulis memaparkan beberapa jenis pola dan gambar ukiran

masyarakat Karo dan tempat di mana ukiran itu biasa di terapkan.

• Ampik-ampik Alas (Indung Bayu-bayu) Motif : Terdiri dari bermacam-macam motif

yang bergabung yaitu: Bunga Gundur, Duri Ikan,

Tempune-tempune, Pakau-pakau, Anjak-anjak beru Ginting dan Pancung-pancung Cekala.

Fungsi : Tolak bala / hiasan

Tempat : Pada anyaman ayo-ayo rumah adat.

Sumber : Gambar 2 : Ampik-ampik Alas

Gambar 3 : Ukiran pada Piso Tumbuk Lada


(35)

http://www.gratis45.com/berita/TumbukLada2.jpg

• Gambar 4 : Tapak Raja Sulaiman

Motif :Geometris Fungsi :Tolak bala

Tempat :Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, Buku Pustaka

Sumber : http://www.gratis45.com/berita/images/sulaiman.jpg • Gambar 5 :Bindu Matagah

Motif :Geometris Pelambang :Tolak bala

Tempat :Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, Buku Pustaka

Sumber http://www.gratis45.com/berita/images/bindumatagah.jpg Gambar 6 : Pahai

Motif : Geometris

Pelambang : Tolak bala, Ngenen gerek-gereken Tempat : Kalung anak-anak, Buku Pustaka, dl Sumber :


(36)

Gambar 7 : Bindu Matoguh

Motif : Geometris Pelambang : Tolak bala

Tempat : Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, dll

Sumber http://www.gratis45.com/berita/images/bindumatoguh.jpg Gambar 8 : Lukisan Suki

Motif : Geometris Pelambang : Hiasan

Tempat : Ujung kiri dan kanan Melmelen Sumber http://www.gratis45.com/berita/images/lukisansuki.jpg

Bila dilihat dari bentuk dan nama ukiran Karo tersebut , beberapa di antaranya tercipta atas dorongan dan pengaruh lingkungan alam, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Selain ornmen-ornamen di atas masih terdapat beberapa ornamen lain di antaranya adalah: Tupak salah silima-lima, Tupak salah sipitu-pitu, Desa siwaluh, Panai, Bindu metagah, Bindu matoguh, Tapak raja Sulaiman, Pantil manggus, Indung-indung simata, Tulak paku petundal, Lipan nangkih tongkeh, Kite-kite perkis, Tutup dadu/cimba lau, Cenkili kambing, Ipen-ipen, Lukisan suki, Pucuk merbung bunga bincole, Surat buta, Pengretret, Bendi-bendi (pengalo-ngalo), Embun sikawiten, Pucuk tenggiang, Litab-litab Lembu, Lukisan tonggal, Keret-keret ketadu, Taruk-taruk, Kidu-kidu, Lukisan pendamaiken, Bulang binara, Tanduk kerbau payung, Bunga


(37)

gundur, Raja Sulaiman, Bunga lawang, Tudung teger, Lukisan umang, Lukisan para-para (gundur mangalata), Embun sikawiten II, Tulak paku, Lukisan kurung tendi, Osar-osar, Ukiren sisik kaperas, Galumbang sitepuken, Ukiren kaba-kaba, Likisen tagan, dan masih banyak lagi jenis ornamen yang lain.

2.5.5 Seni Tenun (Mbayu)

Pakaian tradisional Karo tentunya merupakan salah satu hasil dari kebudayaan Karo, oleh karena itu, seiring berkembangnya kebudayaan, masyarakat Karo telah memiliki banyak ragam pakaian dengan fungsi-fungsi yang berbeda.

Secara tradisional pakaian ini di tenun oleh para wanita Karo dengan menggunakan kembaya (semacam kapas) yang dijadikan benang dan dicelup dengan alat pewarna yang dibuat dari bahan kapur, abu dapur, kunyit, dan telep (sejenis tumbuhan).

Secara umum pakaian tradisional Karo dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu: pakaian sehari hari, pakaian untuk pesta, dan pakaian kebesaran. Pakaian yang biasa digunakan pria adalah pakaian dengan model batu gunting cina lengan panjang, tutup kepala yang disebut tengkuluk atau bulang dan sarung, sedangkan untuk wanita terdiri dari baju kebaya leher bulat, sarung (abit), tutup kepala (tudung), dan kain adat bernama Uis Gara yang diselempangkan.

Pakaian pesta hampir sama dengan pakaian sehari-hari. Hanya saja, pakaian pesta lebih bersih atau baru dan dikenakan dengan baik, sehingga terlihat lebih sopan, dan pakaian kebesaran terdiri dari pakaian dengan aksesoris-aksesoris yang lengkap serta digunakan pada saat pesta saja, seperti pesta perkawinan, memasuki rumah baru, upacara kematian, dan pesta kesenian.


(38)

masyarakat Karo, yaitu antara lain; • Uis Arinteneng

Uis Arinteneng terbuat dari kapas atau kembayat yang ditenun. Warnanya hitam pekat hasil pencelupan yang disebut ipelabuhken. Pakaian ini digunakan untuk alas pinggan pasu tempat emas kawin dan tempat makanan bagi pengantin sewaktu acara mukul (acara makan bersama) pada malam hari setelah selesai pesta adat, uis ini juga digunakan sebagai pembalut tiang pada peresmian atau acara adat memasuki rumah baru, dan membayar hutang adat kepada kalimbubu dalam upacara adat kematian.

• Uis Julu

Bahannya sama dengan bahan Uis Arinteneng. Warnanya hitam dengan corak garis-garis putih berbentuk liris-liris. Keteng-keteng-nya berwarna merah dan hitam dan disebut Keteng-ketang Bujur. Ada juga yang disebut keteng-keteng sirat denan diberi ragam corak ukiran serta di sisi ujungnnya terdapat rambut (jumbai). Pakaian ini diguanakan sebagai Gonje (sarung lakilaki), membayar hutang adat (maneh-maneh), nambari (mengganti) pakaian orang tua laki-laki, dan digunakan juga sebagai selimut (cabin).

• Uis Teba

Hampir sama dengan Uis Julu. Perbedaannya ialah garis-garis Uis Teba lebih jarang sedangkan Uis Julu lebih rapat. Warnanya hitam, di sisi ujungnya juga memiliki rambut (jumbai). Sama seperti uis Julu ,Uis ini juga digunakan untuk maneh-maneh atau membayar hutang adat bagi perempuan yang


(39)

meninggal, tudung bagi perempuan, mengganti pakaian orang tua (bagi ibu), dan alas pinggan pasu tempat emas kawin sewaktu melaksanakan pembayaran kepada pihak mempelai perempuan dalam upacara adat Perkawinan.

• Uis Gatip

Uis Gatip ini berwarna hitam dan berbintik-bintik putih di tengah, tepian kain warnanya hitam pekat dan ujungnya terjalin dan berumbai. Jenis kainnya lebih tebal sehingga sering disebut dengan Uis kapal (kain tebal). Uis ini dipakai sebagai ose (pakaian) laki-laki pada upacara-upacara adat perkawinan, memasuki rumah baru, guro-guro aron (pesta muda-mudi) dsb.

• Uis Jongkit

Warna dan bahan Uis ini sama dengan Uis Gatip, hanya saja Uis Jongkit memakai benang emas dengan motif melintang pada bagian tengah kain tersebut, hingga warna dan bentuknya lebih cerah. Penggunaan Uis ini juga sama seperti Uis Gatip, tapi kain inisekarang lebih disenangi dan banyak dipakai pada upacara-upacara adat.

• Uis Beka Buluh

Warna dasar kain Uis Beka Buluh ini merah cerah, bagian tengah bergaris Kuning, Ungu, Putih dan pada tepian dan ujung kain terdapat motif-motif ukiran Karo yang dibuat dengan benang emas. Kain ini dipakai sebagai Bulang (penutup kepala/topi) pada laki-laki, dan juga dipakai sebagai cekok-cekok (penghias bahu) yang diletakan sedemikian rupa pada bahu lakilaki, selain itu kain ini juga biasa diletakkan di atas tudung wanita.

• Uis Kelam-Kelam

Warnanya hitam pekat, bahan kainnya lebih tipis dari Uis yang lain dan polos tanpa motif, sepintas seperti kain hitam biasa, hanya saja kain ini lebih


(40)

keras dibanding Uis yang lain. Uis ini biasa dipakai oleh wanita sebagai tudung pada upacara-upacara adat, tudung yang bahannya dari uis kelam-kelam ini disebut

Tudung Teger Limpek dengan bentuknya yang khas dan unik. Memang proses pembuatan tudung ini sangat sulit dan unik, hingga saat ini tidak semua orang dapat membuat tudung ini.

• Uis Jujung-jujungen

Warnanya merah bersulamkan emas dan kedua ujungnya juga berumbai benang emas, kain ini tidak selebar kain yang lainnya, bentuknya hampir sama dengan selendang. Uis ini biasanya dipakai oleh wanita dan biasanya letaknya diatas tudung dengan rumbainya terletak disebelah depan. Pada saat sekarang uis ini jarang digunakan, dan kebanyakan telah digantikan dengan uis beka buluh.

• Uis Nipes

Kain ini jenisnya lebih tipis dari kain-kain lainnya dan memiliki bermacam-macam motif dan warna (merah, coklat, hijau, ungu dan sebagainya), uis ini biasa digunakan sebagaiselendang bagi wanita.

Gambar 8 . Ragam Uis


(41)

Keterangan gambar :

1. Uis Gatip 4. Uis Kelam-kelam

2. Uis Nipes 5. Uis Teba

3. Uis Jujung-jujungen 6. Uis Jongkit

Selain beberapa jenis Uis yang telah dijelaskan secara singkat di atas, masih terdapat beberapa jenis Uis yang lain, diantaranya :Uis Batu Jala, Uis Gobar Dibata, Uis Pengalkal, dan lain-lain.

2.5.6 Seni Drama

Dari beberapa referensi yang penulis peroleh, seni drama tergolong langka pada masyarakat Karo. Kalaupun ada biasanya berhubungan dengan tarian seperti Tari Mondong-Ondong yang berhubungan dengan drama Perlanja Sira (Pemikul Garam), Tari Tungkat dan Tari Guru serta Gundala-gundala (drama tari topeng Karo).

2.5.7 Seni Musik

Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang sangat umum dalam kehidupan bermasyarakat, dengan demikian kesenian merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam sebuah masyarakat untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah, senang, gembira maupun sedih. Salah satu media pengekspresian kesenian tersebut adalah melalui musik. Musik tersebut dapat berupa musik instrumentalia, musik vocal, atau gabungan antara keduanya.


(42)

Orang Karo menyebut musik dengan istilah Gendang. Dan dalam masyarakat Karo gendang itu sendiri mempunyai beberapa pengertian, diantaranya;

1. Gendang, sebagai pengertian untuk menunjukkan jenis musik tertentu (Gendang Karo, Gendang Melayu),

2. Gendang, sebagai nama sebuah instrumen musik (Gendang singindungi,Gendang singanaki),

3. Gendang, untuk menunjukkan jenis lagu atau komposisi tertentu (Gendang simalungun rayat, Gendang peselukken),

4. Gendang, untuk menunjukkan ensembel musik tertentu (Gendang Lima Sendalanen, Gendang telu sendalanen),

5. Gendang untuk mengartikan sebuah upacara tertentu (Gendang cawir metua, Gendang guro-guro aron).3

Selain itu masyarakat Karo juga memiliki beberapa jenis musik yang biasanya digunakan dalam kesenian tradisionalnya. Ada alat musik yang dimainkan secara bersama-sama (ensambel), ada pula yang dimainkan tunggal (solo). Selain alat musik, terdapat pula beberapa genre musik vocal (nyanyian), baik yang dinyanyikan secara solo, maupun diiringi alat musik.

2.6 Sistem Kekerabatan

System kekerabatan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari yang terwujud pada sikap dan perilaku, fungsi dan tanggungjawab suatu keluarga dengan keluarga lainnyasecara menyeluruh sehingga seluruh keluarga terintegrasi di dalam system kekerabatan masyarakat tersebut.


(43)

Kekerabatan terbentuk karena terjadinya perkawinan antar keluarga. Sehingga terbentuk keluarga baru disamping keluarga yang lama. Dengan demikian terjadilah pertukaran kedudukan dan fungsi.

Dalam masyarakat Karo, terdapat suatu sistem kekerabatan atau biasa disebut sebagai Sangkep Nggeluh yang di dalamnya terdiri dari 4 unsur yakni: Sembuyak, Anak Beru,Kalimbubu, Senina.

2.6.1 Sembuyak

Sembuyak adalah mereka yang satu subclan, atau orang-orang yang seketurunan (dilahirkan dari satu rahim), tetapi tidak terbatas pada lingkungan keluarga batih, melainkan mencakup saudara seketurunan di dalam batas sejarah yang masih jelas diketahui. Saudara perempuan tidak termasuk sembuyak walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini karena perempuan mengikuti suaminya.

Peranan sembuyak adalah bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak-sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar. Bila perlu mengadopsi anak yatim piatu yang ditinggalkan oleh saudara yang satu clan. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung. Satu subclan sama dengan saudara kandung.

Sembuyak dapat dibagi dua bagian

1. Sembuyak berdasarkan tutur. Mereka bersaudara karena sesubklen (merga).

2. Sembuyak berdasarkan kekerabatan, ini dapat dibagi atas: 1. Sembuyak Kakek adalah kakek yang bersaudara kandung. 2. Sembuyak Bapa adalah bapak yang bersaudara kandung. 3. Sembuyak Nande adalah ibu yang bersaudara kandung.


(44)

2.6.2 Anak Beru

Anak beru adalah status suatu keluarga lain bila pihak keluarga laki-laki keluarga yang bersangkutan kawin atau mengambil anak perempuan keluarga tersebut. Golongan anak beru memiliki jenjang atau tingkatan derajatyang dibedakan berdasarkan keturunan atas perkawinan, untuk dapat membedakan satu dengan yang lainnya antara lain. :

a. Anak Beru taneh : golongan anak beru yang ikut mendirikan suatu kampong, atau pihak pertama sekali memerima pihak perempuan ketika suatu kampong baru saja selesai didirikan. Anak beru demikian disebut juga anak beru singian rudang, karena begitu lama hubungan kekerabatannya.

b. Anak beru tua : anak beru langsung dari turunan, yang secara terus menerus selam tiga generasi menjadi anak beru yang kemudian dinyatakan sebagi anak beru nenek.

c. Anak beru sincekuh baka tutp : anka beru langsung dari keluarga ayah, yaitu anak laki-laki dari saudara perempuan kandung ayah, golongan ini biasa juga disingkat anak beru cekuh baka, yang artinya tidak sungkan-sungkan lagi melakukan apapun di rumah kalimbubunya, biasanya anak beru demikian minimal telah dua kali mengambil dara dari kalimbubunya tersebut.

d. Anak beru iangkip atau anak beru iperdemui : anak beru langsung karena terjadi perkawinan.

e. Anak beru menteri : Anak berunya anak beru

f. Anak beru singukuri : \Anak berunya Anak beru menteri


(45)

Kalimbubu adalah pihak keluarga dari perempuan yang dikawini oleh seorang pria yang kemudian menempatkan nenek, ayah, dan anak-anak serta semua keluarga pihak perempuan menjadi golongan kalimbubu. Kedudukan Klaimbubu sangat dihormati sehingga disebut sebagai “Dibata ni idah” yang artinya Tuhan dapat dilihat. Status kalimbubu dapat dibedakan menurut asal dan tingkatnya adalah

a. Kalimbubu taneh/kalimbubu simajek lulang/kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua : kalimbubu yang sudah memiliki hubungan sejak tingkat nenek atau minimal tiga generasi, dalam hal ini termasuk saudara, anak dan cucunya.

b. Kalimbubu simada dareh/simupus :ayah atau saudar laki-laki dari ibu seseorang.

c. Kalimbubu iperdemui : kalimbubu langsung karena mengawini seorang perempuan dalam hal ini termasuk bapak, saudara dan anak dari keluarga pihak perempuan yang dijadikan istri tersebut.

2.6.4 Senina

Senina adalah golongan yang unsure-unsurnya diambil dari golongan ayah atau bias juga juga dari hubungan lain, namun memiliki hubungan analog denga keluarga ibu dari isteri dan anak. Terdapat empat nama senina yang penyebab keberadaannya hampir sama dengan cirri yang telah disebutkan diatas antara lain

a. Senina sepemeren : senina yang disebabkan berdasarkan karena ibu bersaudara.


(46)

c. Senina Sepengalon (Sendalanen) persaudaraan karena pemberi wanita yang berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena satu subclan (beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan clan istri. Dalam musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat apabila tidak diminta.

d. Senina sicimbangen : di sebabkan karena suami bersaudara.

2.7 Sistem Kepercayaan

Pada awalnya masyarakat Karo memeluk kepercayaan animism dan dinamisme. Menurut kepercayaan ini yang disembah adalah para begu yang terdapat pada tempat- tempat keramat, seperti gunung, batu besar, sungai dan pohon besar, atau tempat-tempat yang tidak lazim lainnya. Dengan memberikan persembahan da sessajian seperti jeruk purut, jeruk manis, kemenyan, daun-daun serta rempah-rempah lainnya yang ditaruh dia atas akan memberikan berkatnya pada manusia.

Kemudian timbul keyakinan atas Dibata (Dewata1), yang menurut kepercayaan mereka adalah sama dengan para dewa, yang memiliki teritorial masing-masing baik secara imajiner maupun realita. Masyarakat Karo membedakan Dibata kedalam dua jenis, yaitu: Dibata yang kelihatan dan kasat mata (Dibata Idah) dan Dibata yang tidak dapat dilihat (Dibata La Idah). Selanjutnya Dibata La Idah, terbaga atas: Dibata Atas (Dibata Idatas) yang bernama Batara Guru2 y7ang berkuasa disunia atas atau langit yang dapat diidentikkan dengan surge, Dibata Tengah (Dibata Itengah) atau Tuhan Paduka Ni Aji yang berkuasa didunia tengah atau bumi sebagai dunia manusia, dan


(47)

Dibata Bawah (Dibata Iteruh) atau sering juga dinamakan Banua Koling3 yang berkuasa didunia bawah yang dapat diidentikkan dengan neraka.

Pembahasan akan dilakukan secara menyeluruh mengenal Debata Si Telu beserta unsure kekuatan yang menyertainya agar gambaran tentang mereka menjadi lebih jelas. Jauh sebelum dunia ini tercipta, ketiga anggota para dewa, Dibata Si Telu yaitu Batara Guru, Tuhan Padukah Ni Aji dan Tuhan Banua Koling serta Sinarmataniari sudah ada. Dibata la Idah dari Dunia atas menurunkan Tuhan Banua Koling ke dunia bawah untuk memrintah dan berkuasa di sana. Tuhan Padukah Ni Aji diutus ke dunia tengah dan mengizinkannya untuk menciptakan dunia serta menguasai serta memerintahnya. Sesampainya didunia tengah, maka Tuhan Padukah Ni Aji pun menciptakan angin topan untuk meniup dan merusak bumi. Sinarmataniari melihat kemarahan, kejengkelan hati dan pikiran Tuhan Banua Koling atas Bumi yang diciptakan Tuhan Padukah Ni Aji itu. Lalu dia memanasi bumi yang masih muda lagi lembekitu sehingga menjadi berkembang dan terjadilah gunung-gunung, bukit dan lembah-lembah yang berisi air, terjadilah pemisahan darat dan laut. Demikianlah cara terbentuknya bumi. (Tarigan 1990 :82:84). Konsepsi kosmologi tersebut analog dengan susunan masyarakat dan kekerabatan. Meskipun masyarakat Karo tidak member nama khusus kepada kepercayaannya, tetapi misionaris Kristen menamainya Perbegu (orang yang percaya kepada begu). Masyarakat Karo membedakan antara begu dengan tendi. Begu adalah arwah dari orang yang telah meninggal dunia, sebaliknya tendi adalah jiwa (arwah) orang yang masih hidup. Sebagai reaksi atas penamaan perbegu, maka setelah kemerdekaan Indonesia ketua-ketua adat Karo menamakan kepercayaan tersebut sebagai agama asal (Pemena). Sampai


(48)

sekarang kepercayaan ini masih dianut sebagian masyarakat, mereka disebut perbegu, perodak-odak, dan perijinujang.

Selain dari Dewa-dewa diatas terdapat beberapa sembahan lain yang disebut biak, seperti dewa penjaga tanah (sibiak taneh), sibiak kerangen, dewa penjaga rumah (sibiak jabu), sibiak kesain, sibiak juma dll. Ada kalanya orang yang meninggal dikatakan sebagai “ Dibata “ yaitu seseorang yang disebut jenujung (yang dijunjung). Akan tetapi mereka ini tidak sama kekuasaanya dengan Dibata utama. Masyarakat Karo melalui kepercayaannya juga mengenal sejenis surge dan neraka. Surga digambarkan sebagai kehidupan dibawah pohon beringin (Jabi-jabi juma ajar) yang menjadi tempat bersandar, akar gantung tempat ayunan, daunnya menjadi pelindung terhadap hujan dan matahari. Sebaliknya neraka digambarkan sebagai kehidupan dibawah pohon jeruk yang patah pucuknya. Berbagai upacara agama sangat besar dalam masyarakar Karo seperti erpanger kulau, ndilo wari dan lain sebagainya. Pimpinan upacara dikenal dengan sebutan Guru atau Sibaso. Kitab suci mereka adalah Pustaka, salah satu diantaranya adalah pustaka yang asli (Pustaka Na jati).

2.8 Biografi Singkat Bapak Pauji Ginting

Pada Sub Bab ini, penulis akan membahas tentang riwayat hidup bapak Pauji Ginting, terutama yang berkaitan dengan peranan beliau sebagai pemusik dan pembuat alat musik tradisioanal Karo. Biografi yang akan dibahas disini hanya berupa biogarfi ringkas, artinya hanya memuat hal-hal umum mengenai kehidupan bapak Martuah Saragih dimulai dari masa kecil hingga masa kehidupannya sekarang ini, temasuk pula pengalaman beliau sebagai pemusik tradisional Karo, sebagai pembuat instrumen musik tradisional Simalungun, dan pengalaman berkesenian lainnya. Biografi yang di bahas di sini sebagain besar


(49)

adalah hasil wawancara dengan bapak Pauji Ginting, dan juga wawancara dengan saudara-saudara beliau, sahabat-sahabat beliau dan keluarga beliau, dan juga beberapa musisi tradisional dan seniman musik. Hal ini dianggap perlu untuk melengkapi dan menguji keabsahan biografi beliau.

Pauji Ginting lahir di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, pada tanggal, anak dari ayah bapak J. Ginting dan ibu S. br Karo. Pauji lahir dari keluarga pengerajin dan tukang bangunan rumah adat Karo,dimana ibu beliau adalah seorang pembuat alat-alat kerajinan karo seperti ukat, tagan beru-beru, abal-bal dll, sedangkan ayah beliau dahulunya adalah seorang tukang bangunan rumah adat Karo sehingga keterampilan-keterampilan tersebut kini diturunkan kepada beliau.

Bapak Pauji ginting mempunyai 5 saudara yang terdiri dari 4 pria dan 2 perempuan, dari semua saudara beliau hanya Bapak Pauji Ginting yang mempunyai keahlian dalam membuat kerajinan karo dan alat music tradisional Karo terlebih-lebih Kulcapi.

Sebelum membuat Kulcapi beberapa profesi sudah didalami beliau bahkan beberapa diantaranya tidaklah berhubungan dengan profesi yang dijalankan beliau sekarang ini, seperti tukang bangunan, Namun seiring dengan berjalannya waktu Bapak Pauji Ginting kemudian mulai mendalami cara pembuatan alat kerajinan karo, seperti miniature rumah adat karo, gumbar, kalender Karo.

Maka dari profesi diatas kemudian muncul benak beliau untuk membuat alat music tradisional karo yang awalnya dengan meliahat bentuk kulcapi buatan Bapak Njayam Sinulingga seorang pembuat kulcapi dari desa Lingga.


(50)

Awalnya Kulcapi buatan Bapak Pauji Ginting belumlah memnuhi standar kulcapi pada umumnya mulai dari bentuk hingga suara yang dihasilkan, namun berkat petunjuk dari seorang pemain Kulcapi senior yaitu Jasa tarigan, maka secara lambat laun Bapak Pauji Ginting mulai menyempurnakan Kulcapi buatannya baik dari segi bentuk maupun suara yang dihasilkan, bahkan salah satu Kulcapi yang dipakai Jasa Tarigan sekarang ini adalah Kulcapi buatan Bapak Pauji Ginting.

Kini Kulcapi buatan Bapak pauji Ginting sudah mulai merambat ke berbagai penjuru baik daerah maupun ke tingkat nasional seperti ke TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Jakarta, Museum GBKP di Taman Jubelium Suka

Makmur, Deli Serdang, Gedung Kesenian Karo program Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Kabupaten Karo, bahkan sampai ke luar negeri yaitu negara Belanda,

sedangkan untuk memasarkan hasil produksi barang-barang produksi dan alat music

tradisional karo buatan Bapak Pauji Ginting, beliau dan beberapa teman-teman dekat

beserta beberapa mahasiswa beliau mendirikan sebuah Galleri yang diberi nama

“Galleri Mejuah-juah”. Hingga kini Galleri mejuah-juah sudah memasarkan

produk-produk Kerajinan Karo dan alat music tradisional Karo ke berbagai daerah maupun

kelompok-kelompok pecinta kerajinan kebudayaan Karo.

Sambil membuat Kulcapi dan alat music tradisional Karo lainnya, Bapak Pauji Ginting juga mempelajari cara memainkan Kulcapi hingga kini selain membuat Kulcapi beliau juga berprofesi sebagai pemain Kulcapi yang sudah siap mengiringi permainan kulcapi yang dikolaborasikan dengan music keyboard maupun ansambel gendang kulcapi


(51)

BAB III.

KAJIAN ORGANOLOGIS KULCAPI.

3.1 Klasifikasi Kulcapi

Dalam mengklasifikasikan instrumen sarunei, penulis mengacu pada teori yang

dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel (1961) yaitu: ”Sistem pengklasifikasian

alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini

terbagi menjadi empat bagian yaitu: Idiofon, (penggetar utama bunyinya adalah badan

dari alat musik itu sendiri), Aerofon, (penggetar utama bunyinya adalah udara),

Membranofon, (penggetar utama bunyinya adalah kulit atau membran), Kordofon,

(penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai).

Mengacu pada teori tersebut, maka kulcapi diklasifikasikan sebagai alat music

kordofon karena senar adalah sebagai sumber utama penggetar bunyinya berasal dari

senar. Sesuai dengan bentuknya kulcapi merupakan alat music lutes yang memiliki

leher ( neck) dan posisi dawainya sejajar dengan kotak resonatornya dengan bahasa

lain yang lebih rinci kulcapi dikategorikan sebagai two-strenged fretted-necked lute

3.2 Konstruksi bagian-bagian kulcapi

Untuk membahas bagian konstruksi ini, penulis mengacu pada Kulcapi buatan bapak Pauji Ginting


(52)

Gambar 1 : konstruksi bagian-bagian kulcapi

Instrumen Kulcapi ini memiliki bagian-bagian

, antara lain :

• kepala (takal)

Gambar 2 : bagian kepala kulcapi

• leher (kerahung)

Gambar 3 : bagian leher kulcapi

• Tembuku


(53)

• Nggoh

Gambar 5 : nggoh

• Takkur

Gambar 6 : Takkur

• Tonggum (resonator) .

Gambar 7 : tonggum


(54)

1. 78 cm

2.


(55)

4

5.


(56)

7.

8.

9.

Gambar 8 : ukuran bagian-bagian kulcapi

3.4 Teknik Pembuatan Kulcapi

Teknik pembuatan Kulcapi masih sederhana, dan secara umum proses

pengerjaannya dikerjakan dengan tangan, berikut akan dijelaskan bahan-bahan dan


(57)

3.4.1 Bahan baku yang digunakan

Bahan pembuat keseluruhan kulcapi terdiri dari beberapa bagian bahan yakni :

Bahan pembuat badan kulcapi, bahan pembuat tutup, dekung (senar), kupingan (tuning

peg), kuir-kuir ( pick)

3.4.1.1 Bahan Pembuat Badan Kulcapi

Untuk membuat badan kulcapi dibutuhkan kayu pilihan, hal ini dimaksud agar

daya tahan kulcapi maupun suara yang dihasilkan kulcapi nantinya berkualitas bagus.

Adapun bahan pembuat kulcapi yang umum dipergunakan adalah : Kayu tualang

(kompassia excelsa), kayu johar (senna sp), dan kayu nangka (Artocarpus

heterophyllus).

3.4.1.2 Bahan Pembuat Tutup Kulcapi

Untuk membuat tutup kulcapi dibutuhkan kayu berbeda dari badan kulcapi

karena memang badan dengan tutup kulcapi dibuat terpisah. Kayu yang dimaksud

biasanya lunak, hal ini dimaksud agar suara yang yang dihasilkan kulcapi nantinya

nyaring karena pda tutup kulcapi di depan, di belakang berfungsi sebagai resonator

(tonggum), jenis kayu yang biasa dipakai adalah jelutung (Dyera costulata)

3.4.1.3 Bahan Pembuat Setelan (tuning peg)

Bahan ini awalnya terbuat dari kayu. Namun oleh pembuat diganti dengan

kupingan gitar agar lebih simpel. Alat ini berfungsi untuk menyetel tali rendahnya tali

kulcapi yang dipasang. Bahan ini terbuat dari besi.

3.4.1.4 Bahan Pembuat Dekung (senar )

Bahan ini terbuat dari stanless, atau biasa dipakai pada senar gitar

3.4.1.5 Bahan Pembuat kuir-kuir (pick)

Bahan ini terbuat dari tanduk dan berfungsi sebagai pick atau memetik senar

kulcapi pada tangan kanan


(58)

Dekung ( senar gitar ) setelan (tuning peg gitar)

Gambar 9 : bahan yang digunakan

3.4.2 Peralatan yang digunakan 3.4.2. 1 Sekin (Parang)

Parang yang digunakan adalah parang yang berukuran besar. Alat ini berfungsi

untuk memotong balok yang sudah digambar membentuk kerangka kulcapi seterusnya

alat ini juga digunakan untuk membentuk kulcapi dari gambar kerangka yang sudah

digambar pada balok kayu.

3.4.2.2 Gergaji

Dalam pembuatan kulcapi terdapat dua jenis gergaji sesuai dengan fungsinya

yaitu gergaji kayu yag berfungsi untuk memotong bagian-bagian

kulcapi yang sudah dibentuk dan gergaji besi untuk menghasulkan badan kulcapi

sebelum dihasulkan dengan amplas atau kertas pasir.

3.4.2.3 Pahat

Pahat berfungsi untuk mementuk lobang resonator (tonggum)maupun bagian

ekor kulcapi yang ditempah sedemikian sehingga berbentuk seperti letter U agar dalam

proses pembuatan tonggum kulcapi dapat dibentuk sesuai dengan gambar yang sudah

dibuat sedangkan untuk memahat bagian-bagian kecil resonator diguanakan pahat yang

berbentuk lurus.


(59)

Untuk mengukur bagian bagian Kulcapi sehingga sesuai dengan kerangkanya,

maka digunakan rol. Rol yang digunakan adalah rol yang berukuran 50 cm ataupun

disesuaikan dengan ukuran kulcapi yang akan ditempah.

3.4.2.5 Kertas pasir

Agar bagian-bagian kulcapi halus setelah dihaluskan dengan gergaji besi maka

digunakan kertas pasir supaya serpihan serpihan kayu bias lepas dari badan kulcapi.

3.4.2.6 Bor tangan

Sebelum dibentuk dengan pahat resonator kulcapi dilobagi dengan bor tangan,

selain itu bor tangan juga berfungsi untuk melobagi bagian kepala kulcapi sebagai

tempat setelan/kupingan kulcapi.

3.4.2.7 Kikir

Kikir digunakan untuk membuat tempat grip pada leher kulcapi, setelah itu

dipasang grip agar menghasilkan melodi-melodi yang diinginkan.

3.4.2.8 Obeng

Obeng digunakn untuk memasang setelan/kupingan kulcapi, sedangkan jenis

obeng yang digunakan adalah obeng bunga.

3.4.2.9 Gagak tua

Untuk memotong grip kulcapi agar sesuai dengan lebar bagian leher kulcapi

maka digunakan Gagak tua.

3.4.2.10 Pisau

Terdapat berbagai jenis pisau yang digunakan. Pisau ini berfungsi untuk

memperhalus seluruh bagian kulcapi.


(60)

Gergaji besi

obeng

Pahat

Gagak tua rol

Bor tangan

pisau

Gambar 10 : peralatan yang digunakan


(61)

Dalam menghasilkan nada yang baik dan sempurna, kulcapi sebagai sebuah

alat musik dibuat dengan perhitungan dan pengukuran yang akurat. Langkah ini

menentukan kejernihan dan keotentikan nada yang akan dihasilkan sebuah kulcapi.

Pada tahap awal, penentuan bahan dasar kulcapi akan menentukan hasil akhir

gesture nada. Untuk itu, pemilihan atas bahan dasar perlu diperhatikan sebagai langkah

utama sebelum melanjutkan proses pembuatan sebuah kulcapi. Di beberapa kalangan

perajin dan ahli pembuatan kulcapi, jenis kayu tualang masih merupakan pilihan utama

sebagai bahan dasar kulcapi. Meski terbilang langka, namun jenis kayu ini masih

banyak ditemukan di dataran tinggi tanah karo. Sejak awal permulaan peradaban di

Tanah karo, masyarakat memang sudah mengenal tualang sebagai jenis kayu yang

populer. Jenis kayu ini dipercaya bisa menambah unsur magis dalam nada yang

dihasilkan kulcapi.

Selain itu, jenis kayu tualang ini mudah dibentuk dan diukir serta memiliki

serat yang halus, sehingga meminimalisir resiko kegagalan dalam membentuk pola

kulcapi. Penting diketahui, sebuah kulcapi terdiri dari atas satu rangkaian yang padu

mulai dari takal (kepala) hingga tonggum. Tidak ada bagian yang terpisahkan sehingga

diperlukan sambungan dengan menggunakan lem perekat, paku atau semacamnya.

Secara keseluruhan, sebuah kulcapi memiliki ukuran panjang ideal 78 cm.

Dengan ukuran kepala 9,8 cm sebagai pengikat pengatur senar. Serta 52 cm sebagai

leher atau pembuku. Penghitungan jarak antara kepala hingga badan kulcapi juga

menentukan warna nada yang akan dihasilkan kulcapi.

Proses pembuatan kulcapi sepenuhnya dilakukan secara manual. Mulai dari

pengukuran, pembentukan kayu dengan menggunakan parang hingga pengeboran yang

menggunakan alat bor yang diputar.

Pada tahap awal pengerjaannya, perajin kulcapi yang telah memilih kayu

sebagai bahan dasar, kemudian membuat mal dan pola secara terukur. Alat seperti


(62)

membuat ukuran di atas medium kayu secara simetris. Kemudian, perajin akan

membentuk gambar kepala, hingga badan kulcapi.

Gambar 11 : pengukuran dan pembuatan kerangka kulcapi

Pada tahap selanjutnya, setelah pola dan ukuran ditemukan, perajn kulcapi

mulai membentuk sebuah kulcapi yang padu, yakni mulai dari kepala hingga badan

kulcapi. Seperti disebutkan di atas, sebuah kulcapi terdiri dari satu rangkaian yang tak

terpisahkan, maka perajin membentuk sebuah pola dan langsung membentuk sebuah

kulcapi. Pada proses ini, perajin kulcapi akan memotong kayu membentuk pola gambar

yang sudah dibuatnya di atas kayu bahan dengan menggunakan parang. Pertama

perajin akan membentuk bagian bawah kulcapi kemudian lanjut ke bagian tengah

(takkur) sebagai tempat meletakkan senar (nggoh) yang terhubung ke kepala (takkal)

kulcapi. Kelihaian menggunakan parang serta ketelitian dibutuhkan dalam proses ini.

Ketidaktelitian akan menyebabkan pola yang sudah dibangun akan rusak dan cacat

sehingga, perajin akan mengulang dari proses awal lagi untuk membuat sebuah kulcapi


(63)

Gambar 12 : memotong balok dasar kulcapi

Gambar 13 : bentuk kasar kulcapi

Gambar 14: bentuk kasar bagian depan tonggum

Gambar 15 : bentuk dasar kulcapi

Setelah bentuk kasar sebuah kulcapi didapat, pada langkah selanjutnya perajin

memulai pengerjaan yang membutuhkan ketelitian lebih tinggi. Perajin akan membuat

tonggom atau lubang sebagai resonator. Dalam membuat resonator ini diperlukan cara


(1)

BAB V PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian yang elah penulis jelaskan pada bab-bab sebelumnya maka pada bab ini penulis akan mengambil beberapa kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan dan sebagai langkah terakhir penulis akan mabuat saran sebagai penutup tulisan ini.

5.1 Kesimpulan

Awalnya kulcapi hanya dapat dimankan tunggal dan seiring dengan perkembangan perjalanan kulcapi maka kemudian dimainkan pada ansambel dan kemudian dikolaborasikan dengan alat musik keyboard. Sebelumnya kulcapi hanya dimainkan pada upacara ritual saja namun kemudian kulcapi dimainkan pada acara hiburan yakni gendang guro-guro aron yang dulunya diprakarsai oleh Alm. Djasa Tarigan

Alat musik kulcapi sudah sangat jarang ditemukan dilihat dari permintaan masyarakat Karo untuk mengiringi acara hiburan pada berbagai bentuk jenis acara hiburan sebgai contoh gendang guro-guro aron. Namun dalam pembuatannya, kulcapi sudah semakin marak hal ini terlihat dari semakin banyaknya pengrajin/pembuat alat musik tradisional Karo salah satunya kulcapi sebagai refrensi Bapak Pauji Ginting. Untuk itu perlu diadakan sebuah perhatian untuk pengembangan kulcapi lebih dalam lagi.

Dalam proses pembuatan kulcapi mulai dari bahan yang digunakan sampai dengan peralatannya sangatlah sederhana atau dengan kata lain bisa dijangkau, bahan baku yang dibutuhkan adalah sebuah balok kayu utama biasanya dipakai kayu tualang bisa juga kayu nangka dan kayu tambahan sebagai tutup resonator. Namun perlu sebuah keahlian khusus dalam pembuatannya.

Dalam proses belajar, seorang peminat music kulcapi dapat bermain dengan memainkan teknik dasar kulcapi seperti yang dijelaskan sebelumnya, dan untuk


(2)

menghasilkan melodi lagu-lagu awal disarankan untuk memainkan lagu-odak-odak versi mayor dan untuk pemahiran melodi perlu keahlian dalam improvisasi agar melodi yang dihasilkan tidak membosankan.

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan hanya tinggal beberapa pemain kulcapi yang terjun ke lapangan untuk mengiringi acara hiburan gendang-guro-guro aron yakni : Sorensen Tarigan, Pauji Ginting, Jhon Kadir, Jimmy Sebayang, Jhon Tarigan Baji Sembiring, Bangun Tarigan dan Samudra Ginting. Sedangkan untuk mengiringi upacara ritual erpangir kulau , penulis sendiri belum berani mengungkapkan orang yang tepat semenjak meninggalnya Djasa Tarigan.

5.2 Saran

Adapun saran yang penulis kemukakan adalah sebagai berikut

1.

Perlu diadakannya sebuah pelatihan pembuatan kulcapi agar

semakin marak industry music tradisional Karo khususnya Kulcapi.

2.

Pemasaran dan management yang jelas agar kulcapi yang dihasilkan

bisa terus berkesinambungan khususnya taraf hidup pengrajin

kulcapi.

3.

Perhatian sebuah Gallery Kesenian tradisional Ksro sebagai wadah

promosi musik tradisional karo khususnya Kulcapi

4.

Pelatihan teknik permainan kulcapi sebagai kesinambungan kulcapi

sebgai alat musik tradisional Karo.

5.

Pembentukan sanggar tradisional karo sebagai output pelatihan

kulcapi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.(1995), The Karonese Traditional Musical Instruments. Medan: Pendidikan dan Departemen Kebudayan.

Hood, Mantle, ( 1982 ), The Ethnomusicologist. Ohio : The Kent State, University Press

Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach, 1961.Clasification of Musical Instrument. Translate from original German by Anthony Baines and Klausss P. Wachsmann.

Khasima, Susumu, 1978. Ilustrasi dan Pengukuran Instrumen Musik. Terjemahan Rizaldi Siagian.

Koenjaraningrat, 1986. Pengantar Antropologi Sosial dan Budaya. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka

Koentjaraningrat, (1989), Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Aksara Koentjaraningrat (1982) , Manusia dan Kebudayaan Indonesia,Jakarta : Djambatan Koentjaraningrat (1980), Metode Penilitian Masyarakat, Jakarta : Balai Pustaka Loebis, Nawawiy.Ir. M. M.Phil, Ph.D. Alamsyah, Bhakti. Ir.MT.Ars. Pane, Faisal.

Imam. ST. Abdillah, Wahyu. ST. (2004), Raibnya Para Dewa Kajian Arsitektur Karo. Medan : Bina Teknik Press.

Merriam, Allan P. ( 1964 ), The Antropology of Music. North Western : University Press

Moleong, Lexi J., 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Poskakarya.

Nettle, Bruno, (1964) Theory and Method Ethnomusicology, New York Prinst, D dan Prinst, D. (1985), Sejarah Kebudayaan Karo, Medan: Grama. Prinst, Darwan S.H,(1998), Adat Karo, Medan :Bina Media Perintis. Prinst,D,.(2002), Kamus Karo Indonesia, Medan:Bina Media.

Schopenhaeur, Arthur, 1992.“On the will in Nature,” Physicology and Pathology, Volume 1991Arthur Schopenhauer, E. F. J. Payne, David E. Cartwright .Berg.

Sembiring, Erlina.(2009), Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo, Departemen Antropologi FISIP USU, Skripsi Sarjana.

Sinaga, T. Saridin, (2009), Kajian Organologis Arbab Simalungun Buatan Bapak Arisden Purba di Huta Maniksaribu Nagori Sait Buttu Saribu Kec. Pamatang Sidamanik Kab. Simalungun, Departemen Etnomusikologi FS USU, Skripsi Sarjana.

Sitepu, Franseda. (2010), Deskripsi Gendang Kibod Pada Upacara Kematian Cawir Metua, Departemen Etnomusikologi FIB USU, Skripsi Sarjana, Tidak Diterbitkan.


(4)

Suwardi Endraswara, 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Widyatama


(5)

Daftar Informan

1. Nama Lengkap : Muhammad Pauji Ginting

Usia : 38 Tahun

Pekerjaan : Koordinator Gallery Mejuah-juah sekaligus pengerajin alat musik Karo seperti Kulcapi, Surdam, Keteng-keteng, belobat dan kerajinan Karo.

Alamat : Desa Hulu Jl. Dewantara, Pancur Batu. 2. Nama Lengkap : Sorensen Tarigan

Usia : 48 Tahun Pekerjaan : Pemain Kulcapi

Alamat : Jl. Bunga Herba II, Medan 3. Nama Lengkap : Benson Adisaputra Kaban, S.Sos

Usia : 27 Tahun

Pekerjaan : Direktur CV.Baskara Simetegoh (BS record) Alamat : Jl. Flamboyan IV No. 40, Medan

4. Nama Lengkap : Desnalri Sinulingga S.Pd

Usia : 24 Tahun

Pekerjaan : Wiraswasta/ Bendahara Umum Gallery Mejuah-juah Alamat : Jl. Bahagia No. 37 P.Bulan Medan

5. Nama Lengkap : Djasa Tarigan Usia : 59 Tahun Pekerjaan : Pemain Kulcapi


(6)

6. Nama Lengkap : Djabal Sembiring Usia : 58 Tahun

Pekerjaan : Pemain Sarune ( Musik Tradisional Karo ) Alamat : Desa Namo Punti Kecamatan Sibiru-biru

Kabupaten Deli Serdang 7. Nama Lengkap : Djaman Tarigan Usia : 80 Tahun

Pekerjaan : Pensiunan TNI / Pakar Kebudayaan Karo Alamat : Desa Tigabinanga Kecamatan Tigabinanga