KAJIAN ORGANOLOGIS KULCAPI PADA MASYARAKAT KARO BUATAN BAPAK PAUJI GINTING
KAJIAN ORGANOLOGIS KULCAPI PADA MASYARAKAT KARO BUATAN BAPAK PAUJI GINTING SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN OL NAMA: BERI PANA SITEPU NIM: 070707012 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karo merupakan salah satu etnis di Sumatera Utara yang sangat kaya akan Kesenian. Salah satu dari kesenian yang terus berkembang hingga saat ini adalah seni musik. Dalam kesenian masyarakat Karo terdapat dua jenis ansambel musik tradisional yang dipakai dalam upacara ritual maupun pertunjukan kesenian yaitu gendang lima sendalanen biasa juga disebut dengan gendang sarune dan gendang telu sendalanen atau biasa juga disebut gendang kulcapi yang di dalamnya terdapat beberapa jenis instrumen musik tradisional Karo. Pada pembahasan selanjutnya gendang lima sendalanen akan disebutkan gendang sarune dan gendang telu sendalanen akan disebutkan gendang kulcapi.
Di dalam ansambel gendang kulcapi terdapat beberapa buah instrumen musik salah satunya adalah kulcapi. Instrumen ini merupakan salah satu di dalam ansambel musik gendang kulcapi yang dalam klasifikasi alat musiknya termasuk ke dalam kordofon. 1 (two-strenged fretted-necked lute) Kulcapi sering sekali dipergunakan pada
upacara ritual, upacara adat Karo maupun pertunjukan kesenian musik Karo. Kulcapi terbuat dari kayu tualang 2 . Dalam ensambel gendang kulcapi , kulcapi berfungsi
sebagai pembawa melodi utama. Hingga sekarang alat musik tersebut masih memegang peranan di dalam
masyarakat Karo. Sejauh pengetahuan penulis, pembuat kulcapi ada beberapa orang yaitu Baji SEmbiring dari desa Seberaya kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo, Ropo Tarigan (bp.Dep) dari Berastagi Kabupaten Karo, Pulungenta Sembiring bearasal dari
1 Kordofon adalah klasifikasi alat musik yang memiliki prinsip kerja utama dengan terjadinya getaran pada senar sebagai sumber bunyi.
2 Tualang adalah sebuah nama pohon yang dapat tumbuh besar dan tinggi dan sangat digemari lebah untuk tempat bersarang dalam bahasa botani disebut koompassia excelsa (Becc)
Desa Sarimunte kecamatan Munte Kabupaten Karo kini tinggal di kota Medan, Bangun Tarigan dari Kabanjahe dan Muhammad Pauji Ginting yang awalnya tinggal di desa Lingga kecamatan Simpang Empat kabupaten Karo, kini tinggal di Desa Hulu Jl.Dewantara, Pancur Batu.
Diantara pembuat kulcapi tersebut, penulis mengkaji kulcapi buatan bapak Muhammad Pauji Ginting. Dalam hal membuat dan memainkan alat musik Kulcapi, bapak Pauji Ginting dipandang mahir dan piawai oleh masyarakat pendukungnya. Selain bermain dan membuat Kulcapi, beliau juga aktif dalam beberapa kegiatan kesenian Karo, yang salah satunya memegang peranan Koordinator dalam sebuah grup
Gallery yang bernama Gallery Mejuah-juah 3 . Dalam Proses pemilihan bahan baku serta pembuatanya bapak .Pauji Ginting
masih menggunakan alat-alat tradisional. Menurut Bapak Pauji Ginting Kulcapi hasil buatannya sudah dipergunakan oleh pemain Kulcapi profesional seperti : Jasa Tarigan, Sorensen Tarigan, Ramona Purba dll, juga dipergunakan dalam pertunjukan skala nasional seperti JCC (Jakarta Convention Center) pada acara Produk Kreatif anak bangsa, Gendang Merga Silima di kota Balam, Riau. Selain itu Kulcapi buatan bapak Pauji Ginting sudah pernah di kirim ke berbagai daerah seperti, TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Jakarta, Museum GBKP di Taman Jubelium Suka Makmur, Deli Serdang, Gedung Kesenian Karo program Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karo, bahkan sampai ke luar negeri yaitu negara Belanda dan kulcapi tersebut juga sering dipakai pada rekaman VCD lagu-lagu karo seperti ; album tradisional karo “peratah-ratahi bulung si kerah” copyright 2010 rekaman BS record, album gendang salih copyright 2011 rekaman Emma record, lagu-lagu karo “Karina” copyright 2012 rekaman BS record, dll..
3 Gallery Mejuah-juah adalah galeri kesenian Karo yang di dalamnya terdapat bengkel seni, pembuatan alat musik tradisional Karo dan pemasaran alat musik tradisional Karo.
Dari latar belakang tersebut di atas maka penulis tertarik untuk meneliti, mengkaji serta menuliskannya dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul: “Kajian Organologis Kulcapi pada Masyarakat Karo buatan Bapak Pauji Ginting.”
1.2. Pokok Permasalahan
Dari latar belakang yang penulis kemukakan di atas maka permasalahan dalam penulisan ini adalah:
1. Bagaimana proses dan teknik pembuatan Kulcapi buatan Bapak Pauji Ginting.
2. Bagaimana keberadaan (eksistensi) alat musik Kulcapi .pada masyarakat Karo.
3. Bagaimana fungsi alat musik kulcapi dalam ensambel gendang kulcapi .
4. Bagaimana teknik permainan kulcapi.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian kulcapi adalah:
1. Untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan kulcapi oleh Bapak Pauji Ginting di Desa Hulu, Jl. Dewantara Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang.
2. Untuk mengetahui keberadaan (eksistensi) alat musik kulcapi pada masyarakat Karo.
3. Untuk mengetahui fungsi alat musik kulcapi
4. Untuk mengetahui teknik permainan kulcapi.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan bermanfaat sebagai:
1. Sebagai bahan referensi untuk menjadi acuan pada penelitian yang relevan di kemudian hari
2. Sebagai informasi kepada masyarakat atau lembaga yang mengemban visi dan misi kebudayaan khususnya di bidang musik tradisional
3. Bahan motivasi bagi setiap pembaca khususnya generasi muda masyarakat Karo untuk melestarikan musik tradisional
4. Syarat untuk mencapai gelar Sarjana di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU.
1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep
Konsep adalah penggambaran atas image sebelumnya dengan meletakkan perbedaanya (Schopenhauer 1992) . Pemahaman konsep diperoleh melalui proses belajar. Sedangkan belajar merupakan proses kognitif yang melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses tersebut adalah, (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi, dan (3) menguji relevansi dan ketetapan pengetahuan.
Dalam kedua konteks di atas, tidak akan terlepas dari kata observasi dan pengamatan, di mana observasi adalah satu penelitian secara sistematis menggunakan indera manusia.dan pengamatan merupakan a powerful tool indeed (Suwardi Endraswara, 2006:133) dalam hal ini observasi dan pengamatan mengenai organologi yang mana organologi merupakan ilmu tentang instrumen musik (alat musik) yang seharusnya tidak hanya mencakup sejarah dan deskripsi instrumen saja, tetapi juga sama pentingnya, walaupun sebagai aspek yang terabaikan dalam ”ilmu” instrumen musik, seperi teknik-teknik tertentu dalam memainkan, fungsi secara musik, hiasan (yang dibedakan dari konstruksi) dan berbagai pendekatan tentang sosial budaya. (Hood, 1982:124)
Kulcapi adalah alat musik tunggal maupun ensambel. Kulcapi terbuat dari kayu ingul, jalutung, kayu tualang dan kayu keras lainnya yang sudah tua yang dibentuk menyerupai gitar, bagian belakang kulcapi dikorek, namun tidak sampai tembus kebagian depan.kemudian ditutup dengan papan tipis sehingga berfungsi sebagai kotak resonansi. Pada bagian ujung kulcapi dibuat dua lobang tempat cupingan dan pada bagian perutnya dibuat bantalan yang juga berfungsi sebagai ganjalan untuk tempat tali.Tali senar kulcapi dibuat dari akar enau atau ijuk riman, namun akhir-akhir ini telah diganti dengan kawat baja atau nylon. Pada bagian ujung, diukir motif manusia, sedangkan badannya penuh dengan ukiran dengan motif karo. Kulcapi mempunyai dua senar, berdasarkan pengklasifikasian alat musik oleh curt sach dan hornbostel kulcapi termasuk ke dalam long neck lute, Kulcapi dipetik seperti memainkan gitar. Untuk menentukan tinggi dan rendahnya nada, senar dapat dikencangkan dan dikendorkan dengan alat putar yang terdapat pada bagian kepala.
1.4.2 Teori
Teori dianggap sebagai sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematik dalam gejala sosial maupun natura yang ingin diteliti dan juga merupakan alat dari ilmu (tool of science). Di lain pihak, teori juga merupakan alat penolong, teori mempunyai peranan sebagai: (a) teori sebagai orientasi utama dari ilmu, (b) teori sebagai konseptualisasi dan klasifikasi, (c) teori meringkas fakta, (d) teori memprediksi fakta- fakta, dan (e) teori memperjelas celah kosong. Teori mempunyai hubungan yang erat dengan penelitian dan juga dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian. Tanpa teori, penemuan tersebut akan merupakan keterangan-keterangan empiris yang berpencar (Moh. Nazir, 1983:22-25)
Setelah beberapa penjelasan mengenai teori di atas, maka di dalam penulisan skripsi yang membahas tentang pendeskripsian alat musik dalam hal ini alat musik tiup kulcapi , penulis menggunakan landasan teori. Penulis berharap teori tersebut akan mampu menjadi landasan atau acuan maupun pedoman dalam menyelesaikan masalah- masalah yang timbul dalam penelitian ini.
Untuk pendeskripsian mengenai alat musik dalam hal ini alat musik kulcapi penulis menggunakan pendekatan struktuiral dan pendekatan fungsional yang dikemukakan oleh Susumu Khasima yaitu dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk membahas alat musik, yakni pendekatan struktural dan fungsional. Secara struktural yaitu aspek fisik instrumen musik, pengamatan, mengukur, merekam, serta menggambar bentuk instrumen, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai.
Di sisi lain, secara fungsional, yaitu : fungsi instrumen sebagai alat untuk memproduksi suara, meneliti, melakukan pengukuran dan mencatat metode, memainkan instrumen, penggunaan bunyi yang diproduksi, (dalam kaitannya dengan komposisi musik) dan kekuatan suara. Di dalam penulisan ini selain teori yang dikemukakan oleh Susumu Khasima di atas penulis juga menggunakan teori-teori lain yang menyinggung tentang pendeskripsian alat musik khususnya alat musik tiup, sebagai acuan dalam pendeskripsian alat musik kulcapi.
Sedangkan mengenai klasifikasi alat musik kulcapi dalam penulisan ini penulis mengacu pada teori yang di kemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel (1961) mengenai pengklasifikasian alat musik yaitu: ”Sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yaitu: idiofon, penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri, aerofon, penggetar utama bunyinya adalah udara, membranofon, penggetar utama bunyinya adalah kulit atau membran, kordofon, penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai.
Salah satu perhatian etnomusikologi adalah studi tentang peralatan musik yang dipakai sebagai media ekspresi dari sebuah kebudayaan (musikal). Hal ini dipertegas lagi dengan pendapat bahwa kajian etnomusikologi bukan hanya dari aspek yang berhubungan dengan bunyi musikal, aspek sosial, konteks budaya psikologis dan estetika melainkan juga paling sedikit ada enam aspek yangb menjadi perhatiannya. Salah satu diantaranya adalah materi kebudayaan musikal (Merriam, 1964: 45). Bidang ini adalah lahan penelitian bagi ilmu organologi yang merupakan bagian dari Salah satu perhatian etnomusikologi adalah studi tentang peralatan musik yang dipakai sebagai media ekspresi dari sebuah kebudayaan (musikal). Hal ini dipertegas lagi dengan pendapat bahwa kajian etnomusikologi bukan hanya dari aspek yang berhubungan dengan bunyi musikal, aspek sosial, konteks budaya psikologis dan estetika melainkan juga paling sedikit ada enam aspek yangb menjadi perhatiannya. Salah satu diantaranya adalah materi kebudayaan musikal (Merriam, 1964: 45). Bidang ini adalah lahan penelitian bagi ilmu organologi yang merupakan bagian dari
pembuatannya,metode dan teknik memainkannya,bunyi/nada dan wilayah nada yang dihasilkannya.serta aspek sosial budaya yang berkaitan dengan alat musik tersebut. Hal ini dikuatkan lagi dengan pendapat,bahwa
dan
prinsip
membahas masalah teknik memainkannya,fungsi musikal,dekorasi (pola hiasan) fisik,dan aspek sosial- budaya,melainkan termasuk didalamnya sejarah dan deskripsi alat musik tersebut secara konstruksional. (Hood,1982: 124)
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah mengemukakakan secara teknis tentang strategi yang digunakan dalam penelitian kebudayaan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif untuk memahami permasalahan yang terdapat dalam pembuatan alat musik kulcapi buatan Bapak Pauji Ginting. Menurut rumusan penelitian kualitatif adalah kajian fenomena (budaya ) empirik di lapangan. Kajian ini akan meliputi berbagai hal, tahap sebelum ke lapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data, dan penulisan laporan (Moleong, 2002:109).
1.5.1 Studi Kepustakaan
Sebelum mengadakan penelitian lapangan, terlebih dahulu dilakukan studi kepustakaan yaitu dengan membaca bahan yang relevan, baik itu tulisan-tulisan ilmiah, literatur, majalah, situs internet dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data relevan untuk mendukung penulisan skripsi ini
1.5.2 Kerja Lapangan
Kerja lapangan ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat. Dalam hal ini menggunakan teknik obeservasi atau pengamatan. Dapat dijelaskan bahwa observasi adalah satu penelitian secara sistematis menggunakan indera manusia. Sesuai dengan Kerja lapangan ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat. Dalam hal ini menggunakan teknik obeservasi atau pengamatan. Dapat dijelaskan bahwa observasi adalah satu penelitian secara sistematis menggunakan indera manusia. Sesuai dengan
1.5.2.1 Wawancara
Wawancara berbeda dengan percakapan sehari-hari. Wawancara adalah a conversation with purpose (percakapan yang memiliki tujuan seperti halnya penelitian). Wawancara sebagai wahana strategis pengambilan data memerlukan kejelian dan teknik-teknik tertentu. Koentjaraningrat (1986:136) membagi wawancara ke dalam dua golongan besar yaitu wawancara berencana dan wawancara tak berencana. Dalam bagian ini penulis menggunakan teknik wawancara terfokus dan wawancara sambil lalu mengacu pada bagian wawancara yang dikemukakan Koenjaraningrat (1985:139), yaitu: wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview), wawancara sambil lalu (casual interview). Dalam hal ini penulis menyipakan daftar pertanyaan yang di ajukan sesuai dengan keadaan di lapangan ,pertanyaan yang diajukan tidak berdasarkan urutan yang telah ditentukan pada daftar pertanyaan ,tetapi dapat berkembang sesuai dengan pembicaraan. Walaupun demikian pertanyaan- pertanyaan tersebut selalu terpusat pada pokok permasalahan dan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Dalam wawancara penulis menngunakan tape recorder dan kamera untuk pengambilan dan penyimpanan data yang diperlukan.
Pada tahap wawancara, penulis akan mengadakan wawancara dengan informan kunci yaitu bapak Pauji Ginting. Beliau adalah pembuat kulcapi yang berasal Dari desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo dan kini bertempat tinggal di Desa Hulu Jl. Dewantara, Pancur Batu. Sedangkan informan pendukung adalah bapak Sorensen Tarigan yang merupakan seorang seniman Karo, bertempat tinggal di Jl. Bunga Herba II, Medan. Beliau merupakan salah satu pemain Pada tahap wawancara, penulis akan mengadakan wawancara dengan informan kunci yaitu bapak Pauji Ginting. Beliau adalah pembuat kulcapi yang berasal Dari desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo dan kini bertempat tinggal di Desa Hulu Jl. Dewantara, Pancur Batu. Sedangkan informan pendukung adalah bapak Sorensen Tarigan yang merupakan seorang seniman Karo, bertempat tinggal di Jl. Bunga Herba II, Medan. Beliau merupakan salah satu pemain
1.5.3 Kerja Laboratorium
Semua data yang diperoleh di lapangan dicatat, kemudian diolah dan di analisis dengan teliti.hasil olahan dan analisis tersebut dijadikan sebagai bahan tulisan. Selanjutnya hasil-hasil dari pengolahan dan analisis data tersebut baik berupa data tulisan, gambar, maupun suara disususn secara sistematis ,sehingga hasilnya dapat dilihat dalam satu bentuk laporan ilmiah yaitu skripsi.
1.5.4 Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian penulis adalah di desa Hulu Jl. Dewantara, Pancur Batu, Deli Serdang. Di lokasi tersebut merupakan tempat kediaman dari bapak Pauji Ginting. Di rumah ini juga dilakukan aktivitas pembuatan kulcapi, dari tahap awal sampai akhir. Di rumah ini pula dilakukan latihan-latihan bersama sanggar pimpinan bapak Pauji Ginting.
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK PAUJI GINTING.
2.1 Sejarah Terbentuknya Kecamatan Pancur Batu
Sebelum tahun 1945 atau pada zaman Pemerintahan Belanda Kecamatan Pancur Batu disebut dengan Sinuan Bungan dengan Ibu Kota Arhnemia. Pada tahun 1952 Gubernur Kepala Daerah Tk.I Sumatera Utara yakni Abdul Hakim mengadakan perubahan Pamong Sipil Kabupaten Daerah Tk.II Deli Serdang secara Administratif yang dibagi atas 6 (enam) kewedanan yang terdiri dari 30 kecamatan , salah satunya adalah Kecamatan Pancur Batu dengan kewedanaan Deli Hulu.
Pada tahun 1974 sejalan dengan perluasan Kotamadya Medan bahwa Desa Lau Cih , Desa Namo Gajah , Desa Simalingkar-B , Desa Kemenangan Tani dan sebahagian Desa Baru telah menjadi Kodya Medan hingga sekarang.
Pada masa sebelum tahun 1990 Kecamatan Pancur Batu terdiri atas 59 Desa dan atas ketentuan yang membentuk beberapa Desa digabung menjadi satu , sehingga sampai saat ini Kecamatan Pancur Batu menjadi 25 Desa dengan luas areal 11.147,35 Ha.
2.2 Lokasi penelitian
Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Kecamatan Pancur Batu yang merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai bengkel instrumen bapak Pauji Ginting, yang bertempat tinggal di Desa Hulu Jl. Dewantara Kecamatan Pancur Batu.
Secara Geografis batas-batas wilayah Kecamatan Pancur Batu adalah sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Tuntungan dan Medan Sunggal
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sibolangit - Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Namo Rambe - Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kutalimbaru
Jarak Ibu Kecamatan Pancur Batu dengan : - Ibu Kota Propinsi Sumatera Utara sepanjang 17 Km - Ibu Kota Kabupaten Deli Serdang sepanjang 35 Km
Dan keadaan alam Kecamatan Pancur Batu adalah datar, landai dan berbukit (dataran tinggi) dengan ketinggian rata-rata 60m diatas permukaan laut, beriklim sedang serta dipengaruhi musim panas dan musim penghujan.
Nama-nama Camat yang pernah menjabat di Kecamatan Pancur Batu adalah :
No Nama Camat Masa Jabatan
1 Damai Gurusinga 1949 s/d 1950
2 Sampuran Manik 1950 s/d 1952
3 Nangkoh Barus 1952 s/d 1960
4 Masa Sinulingga 1960 s/d 1963
5 Tandil Tarigan 1963 s/d 1968
6 Ngalem Suryadi , BA 1968 s/d 1974
7 Zainal Aris , BA 1974 s/d 1976
8 Djelah Simarmata 1976 s/d 1979
9 Drs. Erson Munthe 1979 s/d 1985
10 Drs. Johan Kuasa Barus 1985 s/d 1991
11 Drs. Kalijunjung Simanjuntak 1991 s/d 1993
12 Drs. Herman Sinar Ginting 1993 s/d 1995
13 Drs. Suhatsyah D. Nasution 1995 s/d 1998
14 Drs. Jupiter K. Purba 1998 s/d 2001
15 Drs. Neken Ketaren 2001 s/d 2005
16 SP. Tambunan, SE 2005 s/d 2008
17 Drs. Haris Binar Ginting 2008 s/d 2010
18 Suryadi Aritonang, S.Sos, M.Si 2010 s/d sekarang Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009
2.3. Keadaan penduduk
Penduduk Kecamatan Pancur Batu pada saat ini berjumlah 77.267 jiwa, yang terhimpun dalam 18.425 Kepala Keluarga (KK). Adapun penduduk yang mendiami Kecamatan Pancur Batu terdiri dari berbagai suku antara lain :
Tabel 1 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku
No Suku Jumlah (KK)
1 Suku Karo 6.588 KK
2 Suku Jawa 5.188 KK
3 Suku Minang 808 KK
4 Suku Cina 127 KK
5 Suku Tapanuli Utara 2.331 KK
6 Suku Tapanuli Selatan 1.225 KK
7 Suku Nias
93 KK
65 KK Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009
8 Suku Tamil
Dari Tabel 1 diatas dapat disimpulkan bahwa di Kecamatan Pancur Batu mayoritas penduduk nya dihuni oleh masyarakat yang bersuku Karo dengan jumlah 6.588 KK dan yang paling sedikit bersuku Tamil dengan jumlah 65 KK
2.3.1. Pekerjaan
Penduduk di Kecamatan Pancur Batu memiliki jenis pekerjaan yang beragam, adapun klasifikasi jenis pekerjaan penduduk di Kecamatan Pancur Batu dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Presentase
3 Pegawai Negeri Sipil
5 Buruh Harian Lepas
Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009 Dari tabel 2 tersebut dapat disimpulkan bahwa pekerjaan yang paling
mendominasi di Kecamatan Pancur Batu tersebut adalah sebagai petani, yang mencapai persentase hingga 72% dari total keseluruhan. kemudian diikuti oleh pedagang , pegawai negeri sipil , karyawan dan buruh/ pegawai swasta. Penduduk di Kecamatan Pancur Batu tersebut tergolong memiliki jenis pekerjaan yang beragam.
2.3.2. Agama
Penduduk di Kecamatan Pancur Batu menganut agama yang berbeda- beda diantara enam agama yang diakui di Indonesia. Untuk melihat komposisi penduduk di Kecamatan Pancur Batu berdasarkan agama yang dianut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama
No Agama Jumlah
1 Islam 39.374 orang
2 Kristen 37.441 orang
3 Hindu 151 orang
4 Budha 301 orang Jumlah
77.267 orang Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduk Kecamatan Pancur Batu memeluk agama Islam dengan jumlah 39.374 orang dari total populasi yang ada. Sedangkan pada urutan yang kedua yaitu agama Kristen berjumlah sebanyak 37.441 orang dan sisanya menganut agama Hindu dan Budha.
2.4 Sistem Bahasa
Sejak berabad-abad yang lampau suku-suku bangsa yang tinggal di berbagai kepulauan di Nusantara memiliki bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam pergaulan dan komunikasi antar sesama suku tersebut. Bahasa itu dinamakan sebagai “bahasa daerah” yang disebutkan sesuai dengan suku bangsa yang memiliki bahasa tersebut.
2.5 Sistem Kesenian
Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraniningrat, 1980:395-397). Rohidi (2000:28) mengatakan bahwa berekspresi estetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tergolong kedalam kebutuhan integratif. Kebutuhan integratif ini muncul karena adanya dorongan dalam diri manusia yang secara hakiki senantiasa ingin merefleksikan keberadaannya sebagai mahluk yang bermoral, berakal, dan berperasaan.
Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang
sangat umum dalam setiap kelompok masyarakat pada umumnya.. Dengan demikian kesenian merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam masyarakat untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah, senang, gembira maupun perasaan sedih.
Suku Karo sebagai salah satu etnik dari beratus etnik yang dimiliki Nusantara tentu memiliki keunikan kesenian tersendiri. Keunikan Kesenian Karo ini lah yang menjadi kebanggaan suku Karo dalam menjalankan tutur budayanya.
Untuk itu dibawah ini penulis memapaparkan kesenian-kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Karo dalam budayanya.
2.5.1 Seni Sastra
Kesusasteraan Karo memiliki dua bentuk, yakni lisan dan tulisan. Namun,
sastra bentuk, lisan lebih dikenal dan lebih sering digunakan dibandingkan tulisan.
2.5.1.1Sastra Lisan
Pada umumnya dalam berkomunikasi dengan sesamanya, orang Karo mempergunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan sehari-
hari, penggunaan bahasa Karo ini tidak memerlukan suatu bentuk atau susunan dan aturan yang baku, yang penting apa yang dikehendaki atau yang perlu disampaikan bisa dimengerti oleh lawan bicara/pendengar.
Namun untuk keperluan tertentu, seperti ungkapan keluh kesah, pembicaraan adat, bernyanyi, dan lain sebagainya dilakukan pemilihan kosa Namun untuk keperluan tertentu, seperti ungkapan keluh kesah, pembicaraan adat, bernyanyi, dan lain sebagainya dilakukan pemilihan kosa
Berdasarkan dari beberapa sumber,, penulis menyimpulkan bahwa seni sastra Karo dibedakan atas beberapa kategori, diantaranya:
1. Tabas-abas (mantra), yaitu sejenis mantra yang diucapkan atau dilantunkan untuk mengobati orang yang sakit. Mantra ini biasanya diucapkan/digunakan oleh seorang Guru sibaso (dukun).
2. Kuning-kuningen, yaitu sejenis teka-teki yang biasa digunakan oleh anak- anak, muda-mudi maupun orang tua di waktu senggang, sebagai permainan untuk mengasah otak.
3. Ndung-dungen, yaitu sejenis pantun Karo yang terdiri dari empat baris. Dua baris terdiri dari sampiran, dan dua baris berikutnya merupakan isi.
4. Bilang-bilang, yaitu dendang duka yang merupakan ratapan seseorang yang sedang berduka. Misalnya kerana teringat dengan ibunya yang telah meninggal dunia; ataupun meratapi kekasih yang telah meninggalkan dirinya kerana sesuatu hal. Dahulu Bilang-bilang ini ditulis dengan aksara Karo di sepotong bambu atau kulit kayu, isinya adalah jeritan hati sipenulisnya. Semenjak dahulu bilang-bilang ini biasanya terfokus pada suasana kepedihan/kesedihan. Oleh karena itu ada juga yang mengatakan bilang-bilang sebagai “Dengang duka”.
5. Turi-turin, adalah cerita yang berbentuk prosa yang isinya tentang asal-usul marga, asal usul kampung, cerita tentang orang sakti, cerita lucu, dan lain 5. Turi-turin, adalah cerita yang berbentuk prosa yang isinya tentang asal-usul marga, asal usul kampung, cerita tentang orang sakti, cerita lucu, dan lain
Beberapa judul ceritanya antara lain: Beru Patimar, Panglima Cimpa Gabor- gabor, Gosing si Aji Bonar, dan sebagainya.(ibid & blog Julianus Limbeng)
2.5.1.2 Sastra Tulis
Aksara Karo merupakan salah satu bentuk kekayaan sastra Karo. Menurut sejarahnya aksara Karo bersumber dari aksara Sumatera Kuno yaitu campuran aksara Rejang, Lebong, Komering dan Pasaman. Kemungkinan aksara ini dibawa dari India Selatan, kemudian ke Myanmar/Siam dan akhirnya sampai ke Tanah Karo. Aksara ini hampir mirip dengan aksara Simalungun dan Pakpak Dairi, yaitu berupa huruf silabis (semua huruf atau silabel dasarnya berbunyi a) yang biasa disebut: haka bapa nawa yang merupakan enam silabel pertama.
Pada umumnya tulisan atau aksara Karo tempo dulu digunakan untuk menuliskan ramuan-ramuan obat, mantra atau cerita. Tulisan ini di ukir di kulit kayu atau bambu yang di bentuk sedemikian rupa agar dapat dilipat-lipat, dan biasanya huruf-huruf ini diukir dengan menggunakan ujung pisau dan setelah itu tulisan tersebut diwarnai (dihitamkan) dengan bahan baku tertentu.
Gambar 1 . Aksara Karo
Sumber : http://www.wikipedia.com/karo.html
2.5.2 Seni Suara (Vokal)
Dalam berkesenian, orang Karo tidak mengenal istilah seni suara (vokal), namun biasanya orang bernyanyi sering disebut rende, dan penyanyi berarti perende-ende. Jika seorang perende-ende juga pandai menari (Landek) dan sudah biasa bernyanyi sekaligus menari dalam suatu pesta Gendang guro- guro aron, maka sebutan uuntuknya telah berubah menjadi Perkolong-kolong.. Kemampuan ini tidak terbatas hanya pada kemampuan menyanyikan lagu-lagu Karo yang bertemakan percintaan atau muda mudi, namun juga mampu menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang secara teks atau liriknya sangat bergantung kepada konteks suatu upacara. Artinya melodi lagu pemasu-masun memang telah diketahui atau dihapal, namun lirik dari melodi tersebut harus dibuat (dinyanyikan) sendiri oleh Perkolong-kolong tersebut pada saat bernyanyi sesuai dengan konteks upacara yang sedang berlangsung pada saat itu.
Diperkirakan pada zaman dahulu masyarakat Karo belum mengenal seni suara secara nyata. Kemudian dalam perkembangannya muncullah lagu-lagu yang dibawakan seseorang sebagai ‘Perende-rende’ (penyanyi). Lagu-lagunya masih cenderung berteme kesedihan, dan lagu ini biasanya dibawakan untuk pengantar sebuah cerita atau memuja seseorang, juga dibawakan untuk menyampaikan doa seperti lagu didong-didong.
Sementara dalam perkembangan selanjutnya budaya Karo mengenal beberapa jenis seni vokal diantaranya:
• Katoneng-katoneng (nyanyian yang berisikan pengharapan), • Didong didong (nyanyian yang berisikan nasehat-nasehat), • Mangmang (nyanyian yang berisikan doa-doa), • Tangis-tangis (nyanyian ungkapan keluh kesah),
• Turi-turin (nyanyian untuk menceritakan sesebuah cerita), • Ende-enden (nyanyian muda-mudi).
Penyajian seni vokal Katoneng-katoneng dan Ende-enden dilakukan oleh seorang penyanyi dan penari tradisional Karo (Perkolong-kolong) di dalam acara adat dan hiburan. Sementara nyanyian Mangmang dilakukan oleh seorang Guru sibaso (Dukun) di dalam upacara yang berkaitan dengan kepercayaan tradisional (ritual). Sedangkan, nyanyian Tangis-tangis dilakukan pada upacara kematian, dan didong-dong biasanya dinyanyikan dalam upacara perkawinan.
2.5.3. Seni Tari
Secara umum, tari pada masyarakat Karo disebut “Landek”. Dalam budaya Karo, penyajian Landek sangat kontekstual. Dengan kata lain, keberadaan Landek ditentukan dengan konteks penyajiannya. Selain itu setiap gerakan-gerakan dalam Landek dalam masyarakat Karo juga berhubungan dengan perlambangan-perlambangan dan makna-makna tertentu.
Adapun beberapa makna gerakan dalam Landek masyarakat Karo adalah sebagai berikut:
1. Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur, maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum berbuat.
2. Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten, maknanya adalah saling tolong-menolong dan saling membantu.
3. Gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pa la banci ndeher adi langa sioraten, artinya siapa pun tak boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, atau sama seperti istilah tak kenal maka tak sayang,
4. Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat,
5. Gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe la banci ndeher, siapa pun tak bisa mendekat dan berbuat secara sembarangan,
6. Gerak tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum memutuskan, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna,
7. Gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras simenahang ras ibaba, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung akibatnya, atau berarti juga sebagai rasa sepenanggungan,
8. Gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh tanggung jawab, dan
9. Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa memandang bulu siapa pun manusianya apabila sudah berkenalan akan diterima dengan segala senang hati.
Sejauh ini dari beberapa referensi yang penulis peroleh, bahwa konteks penyajian Landek pada masyarakat. Karo secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Konteks penyajian dalam adat istiadat
2. Konteks penyajian dalam religi/ritual, dan
3. Konteks penyajian untuk hiburan. Pola-pola dasar Landek pada masyarakat Karo terbentuk atas 3 (tiga)
unsur, yakni: endek (gerakan menekuk lutut), odak atau pengodak (gerakan langkah kaki), dan ole atau jemolah jemole (goyangan/ayunan badan). Unsur unsur, yakni: endek (gerakan menekuk lutut), odak atau pengodak (gerakan langkah kaki), dan ole atau jemolah jemole (goyangan/ayunan badan). Unsur
Endek merupakan salah satu unsur penting dalam tari Karo. Endek dibentuk dengan gerakan menekuk lutut kebawah dan kembali lagi keatas. Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak keatas dan kebawah secara vertikal. Gerakan endek itu harus disesuaikan dengan buku gendang (bunyi gung dan bunyi penganak dalam permainan musik Karo yang sedang mengiringi). Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku gendang merupakan sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam tari Karo, di beberapa Landek penyesuaian itu bisa terlihat ketika gung dan penganak berbunyi tubuh penari sudah atau sedang berada di posisi atas.
Odak atau pengodak adalah gerakan penari ketika melangkah maju dan mundur, maupun melangkah serong kekiri atau kekanan. Odak harus dimulai dengan gerakan kaki kanan, serta dilakukan pada saat gung (Gong) berbunyi. Dalam gerakan odak atau pengodak, unsur endek seperti yang telah dijelaskan di atas harus tetap terlihat, Maksudnya, ketika penari melakukan odak (melangkah), penari tersebut tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian gerakan odak dengan musik.
Sementara itu, Ole atau jemolah jemole merupakan gerakan goyangan atau ayunan badan kedepan dan ke belakang, atau kesamping kiri dan kanan. Gerakan ole juga mengikuti bunyi gung dan penganak.
Dari penjelasan diatas, diketahui bahawa bunyi gung dan penganak merupakan patokan dasar bagi seorang penari Karo untuk melakukan endek, odak, maupun ole. Sedangkan, unsur-unsur lempir tan maupun ncemet jari merupakan unsur pendukung untuk memperindah tari. Lempir tan diperlukan Dari penjelasan diatas, diketahui bahawa bunyi gung dan penganak merupakan patokan dasar bagi seorang penari Karo untuk melakukan endek, odak, maupun ole. Sedangkan, unsur-unsur lempir tan maupun ncemet jari merupakan unsur pendukung untuk memperindah tari. Lempir tan diperlukan
Dalam tarian Karo, geseran kaki, goyang pinggang/pinggul, dan main mata tidak diperbolehkan, karena dianggap tidak sopan dan melanggar norma- norma adat istiadat masyarakat Karo. Idealnya dalam menarikan tarian Karo, gerakan kaki harus dilakukan dengan melangkah atau odak, gerakan pinggang harus mengikuti ayunan badan atau ole, serta pandangan mata penari hanya boleh mengarah diagonal kebawah, tertuju pada lutut pasangan menarinya.
Namun belakangan ini, dalam budaya kontemporer Karo, terutama setelah populernya lagu-lagu Karo versi baru, maka terciptalah beberapa tari baru dengan peraturan tertentu, seperti Piso Surit, Tari Terang Bulan, Tari Mbuah Page, dan lain-lain. Dengan demikian secara otomatis terjadi juga perubahan-perubahan norma dalam budaya tari Karo dalam konteks global.
Tari pada masyarakat Karo dalam penggunaannya dibedakan dalam tiga bagian, yaitu:
2.5.3. 1 Tari yang Berkaitan dengan Adat/ Komunal
Tari yang berkaitan dengan adat adalah tari yang merupakan bagian dari suatu upacara adat. Upacara yang dimaksud adalah upacara memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian adat yang bersifat komunal biasanya dilakukan oleh kelompok merga atau kelompok sangkep nggeluh, bersama-sama dengan kelompok sukut (pemilik hajatan/tuan rumah), masing-masing kelompok menari dengan posisi berhadap-hadapan.
Bagi kelompok sukut tarian itu merupakan tarian penyambutan atau penghormatan atas kehadiran tamu-tamu adat.
Sedangkan bagi kelompok tamu adat, tarian ini merupakan aktivitas pembuka sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan nasehat) kepada keluarga yang memiliki hajatan.
2.5.3. 2 Tari yang Berkaitan dengan Religi/Ritual
Tari yang berkaitan dengan ritual ini biasanya dibawakan oleh seorang Guru sibaso (dukun) dalam upacara ritual. Tari yang dibawakan oleh Guru, disesuaikan dengan keperluan atau jenis upacara yang dilaksanakan. Beberapa tari Karo yang berkaitan dengan upacara ritual adalah; Tari tungkat (tari untuk mengusir roh-roh jahat), Tari njujung baka (tari yang menggunakan keranjang yang berisi sesaji untuk persembahan), Tari seluk (tarian kesurupan), dan lain sebagainya.
Upacara yang berkaitan dengan ritual yang dilakonkan oleh Guru sibaso (dukun), adalah berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Kerana ketika seorang guru (dukun) memimpin upacara, biasanya beliau memanggil jinujung- nya (junjungan-nya) untuk ‘masuk’ ke dalam dirinya. sehingga gerakan tarinya tidak lagi memiliki struktur yang baku, berbeda dengan pola gerak tari Karo pada umumnya.
Tetapi secara umum gerakan yang khas pada tarian ini adalah gerakan murjah-urjah (melompat dengan mengangkat kaki secara bergantian).
2.5.3. 3 Tari Yang Berkaitan Dengan Hiburan
Tari Karo yang sifatnya hiburan biasanya ditarikan oleh dua orang atau lebih muda-mudi dengan cara berpasang-pasangan, diantaranya adalah: Tari Tari Karo yang sifatnya hiburan biasanya ditarikan oleh dua orang atau lebih muda-mudi dengan cara berpasang-pasangan, diantaranya adalah: Tari
Tari-tarian jenis ini pada umunya sudah memiliki komposisi yang baku, dengan kata lain koreografinya telah tersusun dengan tetap. Tari-tarian hiburan lain yang sangat digemari oleh masyarakat Karo, diantaranya adalah Ndikar (tari pencak silat), Adu Perkolong-kolong (tarian yang dibawakan oleh sepasang Perkolong-kolong dan melakukan aksi atau cerita lucu yang menghibur), serta Gundala-gundala (drama tari topeng Karo).
2.5.4. Seni Pahat (Ukir)
Walaupun kehidupan masyarakat Karo pada waktu dulu dalam keadaan serba sederhana, namun beberapa orang “Pande tukang” (sebutan bagi orang yang ahli membuat bangunan Karo) mampu menyumbangkan karya-karyanya. Beberapa dari karya itu umumnya dimulai dengan sederhana dan dengan maksud untuk menolak bala, menangkal roh jahat, dan sebagai media yang kemudian dipercaya memiliki kemampuan pengobatan.
Kemudian dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, kebiasaan membuat ukiran tersebut tidak lagi dipandang dari segi kekuatan daya penangkalnya (mistis) saja. Tetapi lukisan itu telah dipandang sebagai sesuatu yang memiliki nilai keindahan sehingga kemudian dikembangkan sebagai sebuah karya seni.
Secara garis besar ada empat tempat dimana karya seni ini biasa ditempatkan, antara lain:
• Pada bangunan tradisional Karo seperti rumah adat, jambur, geriken, dan gereta guro-guro aron, • Pada benda-benda pecah-belah seperti gantang beru-beru, cimba lau, abal- • Pada bangunan tradisional Karo seperti rumah adat, jambur, geriken, dan gereta guro-guro aron, • Pada benda-benda pecah-belah seperti gantang beru-beru, cimba lau, abal-
Di bawah ini penulis memaparkan beberapa jenis pola dan gambar ukiran
masyarakat Karo dan tempat di mana ukiran itu biasa di terapkan. • Ampik-ampik Alas (Indung Bayu-bayu) Motif : Terdiri dari bermacam-macam
motif yang bergabung yaitu: Bunga Gundur,
Duri Ikan,
Tempune-tempune, Pakau-pakau, Anjak- anjak beru Ginting dan Pancung-pancung Cekala.
Fungsi : Tolak bala / hiasan Tempat : Pada anyaman ayo-ayo rumah adat. Sumber : http://www.gratis45.com/berita/images/ampik.jpg Gambar 2 : Ampik-ampik Alas •
Gambar 3 : Ukiran pada Piso Tumbuk Lada Sunber : http://www.gratis45.com/berita/TumbukLada1.jpg Gambar 3 : Ukiran pada Piso Tumbuk Lada Sunber : http://www.gratis45.com/berita/TumbukLada1.jpg
• Gambar 4 : Tapak Raja Sulaiman
Motif :Geometris Fungsi :Tolak bala Tempat :Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, Buku
Pustaka
Sumber : http://www.gratis45.com/berita/images/sulaiman.jpg • Gambar 5 :Bindu Matagah
Motif :Geometris Pelambang :Tolak bala
Tempat :Melmelen, Ukat, Gantang
beru-beru, Buku Pustaka
Sumber http://www.gratis45.com/berita/images/bindumatagah.jpg Gambar 6 : Pahai
Motif : Geometris Pelambang : Tolak bala, Ngenen gerek-gereken Tempat : Kalung anak-anak, Buku Pustaka, dl
Sumber : http://www.gratis45.com/berita/images/pahai.jpg
Gambar 7 : Bindu Matoguh
Motif : Geometris Pelambang : Tolak bala Tempat : Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, dll
Sumber http://www.gratis45.com/berita/images/bindumatoguh.jpg Gambar 8 : Lukisan Suki
Motif : Geometris Pelambang : Hiasan Tempat : Ujung kiri dan kanan Melmelen
Sumber http://www.gratis45.com/berita/images/lukisansuki.jpg Bila dilihat dari bentuk dan nama ukiran Karo tersebut , beberapa di
antaranya tercipta atas dorongan dan pengaruh lingkungan alam, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Selain ornmen-ornamen di atas masih terdapat beberapa ornamen lain di antaranya adalah: Tupak salah silima-lima, Tupak salah sipitu-pitu, Desa siwaluh, Panai, Bindu metagah, Bindu matoguh, Tapak raja Sulaiman, Pantil manggus, Indung-indung simata, Tulak paku petundal, Lipan nangkih tongkeh, Kite-kite perkis, Tutup dadu/cimba lau, Cenkili kambing, Ipen-ipen, Lukisan suki, Pucuk merbung bunga bincole, Surat buta, Pengretret, Bendi-bendi (pengalo-ngalo), Embun sikawiten, Pucuk tenggiang, Litab-litab Lembu, Lukisan tonggal, Keret-keret ketadu, Taruk-taruk, Kidu- kidu, Lukisan pendamaiken, Bulang binara, Tanduk kerbau payung, Bunga antaranya tercipta atas dorongan dan pengaruh lingkungan alam, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Selain ornmen-ornamen di atas masih terdapat beberapa ornamen lain di antaranya adalah: Tupak salah silima-lima, Tupak salah sipitu-pitu, Desa siwaluh, Panai, Bindu metagah, Bindu matoguh, Tapak raja Sulaiman, Pantil manggus, Indung-indung simata, Tulak paku petundal, Lipan nangkih tongkeh, Kite-kite perkis, Tutup dadu/cimba lau, Cenkili kambing, Ipen-ipen, Lukisan suki, Pucuk merbung bunga bincole, Surat buta, Pengretret, Bendi-bendi (pengalo-ngalo), Embun sikawiten, Pucuk tenggiang, Litab-litab Lembu, Lukisan tonggal, Keret-keret ketadu, Taruk-taruk, Kidu- kidu, Lukisan pendamaiken, Bulang binara, Tanduk kerbau payung, Bunga
2.5.5 Seni Tenun (Mbayu)
Pakaian tradisional Karo tentunya merupakan salah satu hasil dari kebudayaan Karo, oleh karena itu, seiring berkembangnya kebudayaan, masyarakat Karo telah memiliki banyak ragam pakaian dengan fungsi-fungsi yang berbeda.
Secara tradisional pakaian ini di tenun oleh para wanita Karo dengan menggunakan kembaya (semacam kapas) yang dijadikan benang dan dicelup dengan alat pewarna yang dibuat dari bahan kapur, abu dapur, kunyit, dan telep (sejenis tumbuhan).
Secara umum pakaian tradisional Karo dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu: pakaian sehari hari, pakaian untuk pesta, dan pakaian kebesaran. Pakaian yang biasa digunakan pria adalah pakaian dengan model batu gunting cina lengan panjang, tutup kepala yang disebut tengkuluk atau bulang dan sarung, sedangkan untuk wanita terdiri dari baju kebaya leher bulat, sarung (abit), tutup kepala (tudung), dan kain adat bernama Uis Gara yang diselempangkan.
Pakaian pesta hampir sama dengan pakaian sehari-hari. Hanya saja, pakaian pesta lebih bersih atau baru dan dikenakan dengan baik, sehingga terlihat lebih sopan, dan pakaian kebesaran terdiri dari pakaian dengan aksesoris-aksesoris yang lengkap serta digunakan pada saat pesta saja, seperti pesta perkawinan, memasuki rumah baru, upacara kematian, dan pesta kesenian.
Di bawah ini akan dijabarkan beberapa ragam/jenis Uis yang ada pada Di bawah ini akan dijabarkan beberapa ragam/jenis Uis yang ada pada
Uis Arinteneng terbuat dari kapas atau kembayat yang ditenun. Warnanya hitam pekat hasil pencelupan yang disebut ipelabuhken. Pakaian ini digunakan untuk alas pinggan pasu tempat emas kawin dan tempat makanan bagi pengantin sewaktu acara mukul (acara makan bersama) pada malam hari setelah selesai pesta adat, uis ini juga digunakan sebagai pembalut tiang pada peresmian atau acara adat memasuki rumah baru, dan membayar hutang adat kepada kalimbubu dalam upacara adat kematian.
• Uis Julu Bahannya sama dengan bahan Uis Arinteneng. Warnanya hitam dengan
corak garis-garis putih berbentuk liris-liris. Keteng-keteng-nya berwarna merah dan hitam dan disebut Keteng-ketang Bujur. Ada juga yang disebut keteng- keteng sirat denan diberi ragam corak ukiran serta di sisi ujungnnya terdapat rambut (jumbai). Pakaian ini diguanakan sebagai Gonje (sarung lakilaki), membayar hutang adat (maneh-maneh), nambari (mengganti) pakaian orang tua laki-laki, dan digunakan juga sebagai selimut (cabin).
• Uis Teba Hampir sama dengan Uis Julu. Perbedaannya ialah garis-garis Uis Teba
lebih jarang sedangkan Uis Julu lebih rapat. Warnanya hitam, di sisi ujungnya juga memiliki rambut (jumbai). Sama seperti uis Julu ,Uis ini juga digunakan untuk maneh-maneh atau membayar hutang adat bagi perempuan yang lebih jarang sedangkan Uis Julu lebih rapat. Warnanya hitam, di sisi ujungnya juga memiliki rambut (jumbai). Sama seperti uis Julu ,Uis ini juga digunakan untuk maneh-maneh atau membayar hutang adat bagi perempuan yang
• Uis Gatip Uis Gatip ini berwarna hitam dan berbintik-bintik putih di tengah, tepian
kain warnanya hitam pekat dan ujungnya terjalin dan berumbai. Jenis kainnya lebih tebal sehingga sering disebut dengan Uis kapal (kain tebal). Uis ini dipakai sebagai ose (pakaian) laki-laki pada upacara-upacara adat perkawinan, memasuki rumah baru, guro-guro aron (pesta muda-mudi) dsb.
• Uis Jongkit Warna dan bahan Uis ini sama dengan Uis Gatip, hanya saja Uis Jongkit memakai benang emas dengan motif melintang pada bagian tengah kain
tersebut, hingga warna dan bentuknya lebih cerah. Penggunaan Uis ini juga sama seperti Uis Gatip, tapi kain inisekarang lebih disenangi dan banyak dipakai pada upacara-upacara adat.
• Uis Beka Buluh Warna dasar kain Uis Beka Buluh ini merah cerah, bagian tengah
bergaris Kuning, Ungu, Putih dan pada tepian dan ujung kain terdapat motif- motif ukiran Karo yang dibuat dengan benang emas. Kain ini dipakai sebagai Bulang (penutup kepala/topi) pada laki-laki, dan juga dipakai sebagai cekok- cekok (penghias bahu) yang diletakan sedemikian rupa pada bahu lakilaki, selain itu kain ini juga biasa diletakkan di atas tudung wanita.
• Uis Kelam-Kelam Warnanya hitam pekat, bahan kainnya lebih tipis dari Uis yang lain dan
polos tanpa motif, sepintas seperti kain hitam biasa, hanya saja kain ini lebih polos tanpa motif, sepintas seperti kain hitam biasa, hanya saja kain ini lebih
Tudung Teger Limpek dengan bentuknya yang khas dan unik. Memang proses pembuatan tudung ini sangat sulit dan unik, hingga saat ini tidak semua orang dapat membuat tudung ini.
• Uis Jujung-jujungen Warnanya merah bersulamkan emas dan kedua ujungnya juga berumbai
benang emas, kain ini tidak selebar kain yang lainnya, bentuknya hampir sama dengan selendang. Uis ini biasanya dipakai oleh wanita dan biasanya letaknya diatas tudung dengan rumbainya terletak disebelah depan. Pada saat sekarang uis ini jarang digunakan, dan kebanyakan telah digantikan dengan uis beka buluh.
• Uis Nipes Kain ini jenisnya lebih tipis dari kain-kain lainnya dan memiliki
bermacam-macam motif dan warna (merah, coklat, hijau, ungu dan sebagainya), uis ini biasa digunakan sebagaiselendang bagi wanita.
Gambar 8 . Ragam Uis
Keterangan gambar :
1. Uis Gatip
4. Uis Kelam-kelam
2. Uis Nipes
5. Uis Teba
3. Uis Jujung-jujungen
6. Uis Jongkit
Selain beberapa jenis Uis yang telah dijelaskan secara singkat di atas, masih terdapat beberapa jenis Uis yang lain, diantaranya :Uis Batu Jala, Uis Gobar Dibata, Uis Pengalkal, dan lain-lain.
2.5.6 Seni Drama
Dari beberapa referensi yang penulis peroleh, seni drama tergolong langka pada masyarakat Karo. Kalaupun ada biasanya berhubungan dengan tarian seperti Tari Mondong-Ondong yang berhubungan dengan drama Perlanja Sira (Pemikul Garam), Tari Tungkat dan Tari Guru serta Gundala-gundala (drama tari topeng Karo).
2.5.7 Seni Musik