Bahari

(1)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Komposisi kimia suatu mineral merupakan hal yang sangat mendasar, karena beberapa sifat-sifat mineral/kristal

tergantung kepadanya. Sifat-sifat mineral/ kristal tidak hanya tergantung kepada komposisi tetapi juga kepada susunan meruang dari atom penyusun dan ikatan antar atom-atom penyusun kristal/mineral. Daya yang mengikat atom-atom (atau ion, atau grup ion) dari zat pada kristalin adalah bersifat listrik di alam. Tipe dan intensitasnya sangat berkaitan

dengan sifat-sifat fisik dan kimia dari mineral. Kekerasan, belahan, daya lebur, kelistrikan dan konduktivitas termal, dan koefisien ekspansi termal berhubungan secara langsung terhadap daya ikat.

Kimia mineral merupakan suatu ilmu yang dimunculkan pada awal abad ke-19, setelah dikemukakannya "hukum komposisi tetap" oleh Proust pada tahun 1799, teori atom Dalton pada tahun 1805, dan pengembangan metode analisis kimia kuantitatif yang akurat. Karena ilmu kimia mineral didasarkan pada pengetahuan tentang komposisi mineral, kemungkinan dan keterbatasan analisis kimia mineral harus diketaui dengan baik. Setiap unsur tersusun oleh


(2)

partikel yang sangat kecil dan berbentuk seperti bola yang disebut atom. Atom dari unsur yang sama bersifat sama sedangkan dari unsur yang berbeda bersifat berbeda pula. Atom dapat berikatan secara kimiawi menjadi molekul.

I.2. Rumusan Masalah

I.2.1 Bagaimanakah sifat dari mineral sulfat dan deskripsi mineral-mineralnya?

I.3. Tujuan Penulisan

I.3.1 Agar dapat mengetahui dan memahami mineral sulfat

I.3.2 Agar dapat mengidentifikasi contoh-contoh mineral sulfat.


(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA II.1 Defenisi Kebudayaan

Kebudayaan adalah dunia kehidupan masyarakat manusia itu sendiri, yang berbeda dengan dunia kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Perbedaannya ialah manusia memperoleh kebudayaan melalui proses belajar dalam lingkungan masyarakat dan hanya dapat hidup dengan kebudayaan itu (Diktat WSBB UNHAS, 2013:100).

Kebudayaan adalah hasil karya, karsa dan cipta manusia yang digunakan untuk menghadapi lingkungan di mana manusia itu hidup. E.B Taylor (dalam Suhandi, 1987:31)


(4)

memberikan definisi kebudayaan sebagai berikut : “Kebudaayan dan peradaban adalah keseluruhan yang kompleks, dii dalamnya terdapat ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat”

II.2 Wujud Kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan dengan unsur-unsurnya dapat dianalisis (diuraikan, dijelaskan) dalam tiga wujud/rupa yakni (1) wujud ideasional/kognitif/mental, berupa klasifikasi pengetahuan, pendaoat, nilai kepercayaan, pandangan hidup, ideology, norma/aturan, moral/etika, emosii dan perasaan kolektif, refleksi/intropeksi diri diri, dan intuisi, yang kait- mengait membentuk satu kesatuan menyeluruh disebut “sistem budaya” (2) wujud tindakan/praktik terpola, meliputi komponen-komponen interaksi manusia, kelompok atau organisasi social, konflik, dan integrasi social dan lain-lain yang kait-mengait membentuk “sistem sosial” dan (3) wujud kebendaan buatan manusia berupa segala sarana dan prasarana fisik yang diciptakan dan diperlukan dalam berbagai bidang kehidupan manusia yang disebut “budaya material” (Diktat WSBB UNHAS, 2013:100)


(5)

Menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan ada tiga macam: (1) kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan; (2) kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat; dan (3) benda-benda sebagai karya manusia (Koentjaraningrat, 1974: 83)

II.3 Unsur-Unsur Kebudayaan

Kebudayaan mempunyai unsur-unsur yang saling terkait ecara fungsional membentuk satu kesatuan menyeluruh (holistic). Diantara sekian banyak unsur kebudayaan dari setiap suku bangsa pendukungnya berbeda-beda, terdapat tujuh unsur umum (cultural universal) yang ditemukan dalam setiap kebudayaan di manapun dan kapanpun. Ketujuh unsur umum kebudayaan tersebut, menurut Koentjaraningrat, adalah sebagai berikut (Diktat WSBB UNHAS, 2013:101) : 1. Sistem Pengetahuan (knowledge)

Unsur pengetahuan mengenai gagasan, permaknaan, klasifikasi pengetahuan, pandangan dunia, ideologi, keyakinan, nilai, norma, dan moral. Sistem pengetahuan berfungsi sebagai pedoman bagi manusia dalam interpretasi lingkungan dan pengalaman serta pedoman bagi bertingkah laku.


(6)

Bahasa merupakan unsur kebudayaan yang berfungsi vital bagi berlangsungnya komunikasi dalam rangka pergaulan dan berkehidupan bersama manusia.

3. Organisasi Sosial (Social Organitation)

Organisasi manusia dalam berbagai bentuk nya diciptakan dan difungsikan sebagai lembaga atau wadah, bekerjasama, membagi kedudukan, peranan, hak dan kewajiban

4. Sistem Mata Pencarian (Economy)

Kehidupan manusia mutlak membutuhkan tenaga dan energy penggerak. Jika menganalogikan dengan organisme manusia, mata pencaharian difokuskan terhadapan tenaga, energi, otot, dan tulang. Tanpa mata pencaharian mustahil unsur kebudayaan lainnya bias tumbuh dan berfungsi. 5. Sistem Peralatan Hidup (Technology)

System peralatan atau teknologi merupakan unsur perangkat keras yang sangat vital menunjang fungsi dan perkembangan unsur-unsur kebudayaan lainnya. Unsur kebudayaan membutuhkan perangkat untuk menjalankan fungsinya.

6. Sistem Religi/Agama dan Kepercayaan (Religion and Believe)


(7)

System ini memberikan fungsi makna esensial yang berlebihan bagi kehidupan masyarakat manusia. Berbeda dengan fungsi unsur kebudayaan lainnya yang berkenaan dengan kehidupan duniawi belaka.

7. Sistem Kesenian (Arts)

System ini direkayasa oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan jiwa atau rasa terhadap keindahan.


(8)

PEMBAHASAN III.1. Letak Geografis Sulawesi Selatan

Sebagai wilayah yang sebagian besar berada di daerah pesisir, Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat besar. Wilayah pesisir Sulawesi Selatan umumnya terdiri dari sedimen alluvial. Siklus musim penghujan dan musim kering mengakibatkan wilayah pesisir menjadi cukup ekstrim bagi beberapa jenis biota perairan. Akan tetapi kondisi ini dapat diantisipasi dengan pengembangbiakan kelompok biota Crustacea (Kepiting atau jenis kerang) dan Gastropod (tiram dan siput), karena keberadaan eksoskeleton yang membuat mereka resiten terhadap perubahan iklim yang cukup ekstrim (Diktat WSBB UNHAS, 2014:24)

Panjang garis pantai Sulawesi Selatan sekitar 1.973,7 km. Sulawesi Selatan memiliki sejarah yang erat dengan kehidupan laut, dan budaya masyarakat yang kaya akan pengalaman kehidupan pesisir dan petualang di laut (Diktat WSBB UNHAS, 2014:25)

III.2. Distribusi dan Pemetaan Potensi Sumberdaya Kemaritiman

Jika ditinjau dari konteks pesisir, maka sebagian besar sumber daya alami di Sulawesi Selatan dimanfaatkan untuk


(9)

kegiatan penangkapan ikan dan wisata. Hutan mangrove pun menjadi potensi dalam kemaritimin Sulawesi Selatan, walaupun dengan laju pembukaan lahan tambak dan pemanfaatan kayu bakau sebagai bahan bakar dan lainnya dewasa ini diyakini tingkat penutupannya sudah jauh berkurang. Selain jenis-jenis ikan pemakan detritus, mangrove juga diketahui dihuni oleh kekerangan, udang, kepiting serta beberapa jenis burung dan fauna lainnya seperti, moyet dan kelelawar (Diktat WSBB UNHAS, 2014:25-26).

Lamun merupakan ekosistem pesisir lainya, dijumpai pada perairan pantai yang dangkal diantara terumbu karang dan mangrove/pantai. Lamun berfungsi sebagai penyerap sedimen, padang lamun juga dikenal sebagai regulator nutrient di perairan pantai sehingga berperan menjadi tempat berkumpulnya organisme renik plankton yang pada gilirannya mengundang ikan-ikan untuk meltakkan telurnya hingga menetas (Diktat WSBB UNHAS, 2014:26).

Ekosistem yang dijumpai selain mangrove dan lamun adalah ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang penting, selain karena peran perlindungan pantai juga menjadi tempat hidup berbagai biota asosiatif. Selain wilayah pesisir Sulawesi


(10)

Selatan juga mengandung sumber daya energy seperti minyak bumi, gas bumi dan batubara serta mineral berharga lainnya (Diktat WSBB UNHAS, 2014:26-27).

III.3. Aspek Sosial Budaya Wilayah Pesisir di Sulawesi Selatan

III.3.1 Ide/Gagasan

Merupakan pedoman bagi keputusan dan pilihan prilaku usaha nelayan. Contoh : “Laut yang luas dengan segala isinya tidak ada orang tertentu memilikinya, ini diciptakan oleh Tuhan Allah untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan doa dan usaha keras”, “Usahakan dan manfaatkanlah rahmat/berkah atau pemberian Yang Maha Pencipta, janganlah menangkap/memancing ikan di pinggir laut, tetapi pergilah ke laut dalam memancing ikan-ikan besar di sana agar usaha berkembang” selain itu “Dengan teknologi eksploitasi apa saja tidak akan menghabiskan isi laut, kecuali hanya mengurangi populasinya”. Gagasan tersebut kebanyakan dipedomani oleh nelayan Bugis dan Makassar (Diktat WSBB UNHAS, 2014:105-106).

III.3.2 Sistem Pengetahuan

Sistem Pengetahuan kebaharian dapat dikategorikan atas dua kategori, yakni pengetahuan pekayaran, pengetahuan kondisi lingkungan dan sumber daya laut, dan pengetahuan


(11)

lingkungan sosial budaya. Mengenai perubahan musim, perubahan cuaca dan suhu, kondisi air laut, kodisi dasar, yang mempengaruhi aktifitas, seperti contoh nelayan dan pelayar BUgis dan Makassar, berpedoman pada perangkat pengetahuan mereka tentang tanda-tanda di laut dan angkasa berupa kilat, awan hitam, bunyi kemudi perahu, cahaya laut, yang dihubungkan dengan peristiwa atau hal datangnya angina kencang, angina tornado, adanya batu karang atau makluk berbahaya di laut dan lain-lain (Diktat WSBB UNHAS, 2014:106-107)

III.3.3 Bahasa

Perbedaan antara bahasa yang digunakan masyarakat maritim dan masyarakat yang berkeseharian di darat terletak pada pembendaharaan dan permaknaan kata-kata yang diucapkan. Bahasa yang digunakan nelayan atau pelayar dari Sulawesi Selatan antara lain : timo’ (musim timur), bare’ (musim barat), jenne’ kebo’ (musim pancaroba) adalah contoh untuk sebutan musim-musim. “Nurung ri wae aseng tongen-tongenmu, nabi Nuhung nabimu iko lopie, akkinnawa tonging-tongengko, tassu’ri pennie” (artinya : Hai lautan, hai perahu, berjiwa besarlah, kita menjelajah samudra luas,


(12)

mencari riski dan kita segera kembali sebelum hari yang ketujuh) adalah salah satu ungkapan dalam mantra. (Diktat WSBB UNHAS, 2014:114-115).

III.3.4 Organisasi Sosial

Menurut etnografi; kelompok kerja/organisasi sosial itu mempunyai multifungsi yang kompleks. Contoh kelmpok-kelompok kerjasama nelayan dan pelayar dalam sebutan Bugis Makassar adalah Ponggawa-Sawi (Ship’s Captain-Crew). Kelompok atau rekan kerja inilah yang secara khusus menangani pengelolaan modal dan pemasaran dan sekaligus pengelolaan informasi yang luas dan teliti (Diktat WSBB UNHAS, 2014:115-116).

III.3.5 Sistem Teknologi Kebaharian

Salah satu pembeda utama antara kebudayaan masyarakat maritim dan darat yang sekaligus menjadi keunikan yang mencolok ialah kompleksitas tipe/bentuk dan variasi teknologi yang digunakan. Masyarakat maritim lebih sering menggunakan perahu dalam kegiatan kesehariannya. Menurut Diktat WSBB UNHAS (dalam Horridge, 1985 dan 1986) berbagai tipe parahu kelompok nelayan Sulawesi Selatan antara lain Perahu Patorani (Makassar), Lambo (Mandar), Pinisi (Bugis), Sandeq, Pangkur, Bago (Mandar), Bagang (Bugis), Padewakang (Makassar), Bodi yang


(13)

merupakan tipe kapal kayu baru 1980-an dan Jalloro yang merupakan tipe perahu terbaru akhir 1980-an (Bugis, Makassar, Bajo).

III.3.6 Seni Kebaharian

Kebdayaan maritim juga tidak luput dari unsur kesenian, terutama seni-seni arsiterktur/konstruksi kapal/perahu dan layar, ukir dan gambar dengan motif-motif dan warna, lagu dan musik. Nelayan torani (ikan terbang) dari Galesong (Makassar) mempunyai lagu-lagu yang dipercayai mengandung kekuatan supernatural memikat ikan-ikan untuk melompat masuk ke dalam perahu patorani dioperasikannya (Diktat WSBB UNHAS, 2014:120-121).

III.3.7 Sistem Religi dan Kepercayaan

Pada esensinya, unsur religi dari suatu kebudayaan berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan manusia akan hubungan atau kesatuannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kebanyakan nelayan Bugis, Bajo, Makassar sangat percaya kepada kekuasaan Allah dan takdir-Nya. Keberaniaan pelaut-pelaut dari Sulawesi Selatan menjelajahi perairan nusantara ini sebagian besar dilandasi keyakinan agama, bukan sekedar modal pengetahuan dan keterampilan berlayar (Diktat WSBB UNHAS, 2014:122-123).


(14)

Di Sulawesi Selatan, pemanfaatan sumberdaya laut dalam dan pesisir kebanyakan dipraktikkan secara terbuka (open access/use) dan penguasaan individu/keluarga. Memang masih ada pula yang dikuasai secara komunitas dan di bebrapa tempat dikuasai secara komunal. Selain itu teknik rumpon juga digunakan oleh nelayan Mandar dan Bugis (Diktat WSBB UNHAS, 2014:126-127).


(15)

PENUTUP IV.1. Kesimpulan

Terdapat delapan aspek sosial budaya yang dapat ditinjau pada daerah Sulawesi Selatan, diantaranya ide atau gagasan, sistem pengetahuan, bahasa, organisasi sosial, system teknologi kebaharian, seni kebaharian, system religi dan keyakinan, dan ssstem ekonomi kebaharian. Aspek sosial budaya tersebut saling berikatan dan melengkapi satu sama lain, serta tidak dapat berdiri sendiri karena saling menopang. IV.2. Saran

Kebiasaan masyarakat wilayah pesisir yang tertutup berpikir sempit dan tidak berkembang akan dihilangkan menjadi masyarakat pesisir yang dinamis, kreatif dan produktif sehingga taraf hidup masyarakat lebih baik tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai masyaraka pesisir dan nilai-nilai positif yang selama ini telah ada.


(16)

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT.Dian Rakyat.

Tim Pengajar WSBB UNHAS. 2014. Himpunan Materi Kuliah Wawasan Sosial Budaya Maritim. Makassar: UPT. MKU


(1)

lingkungan sosial budaya. Mengenai perubahan musim, perubahan cuaca dan suhu, kondisi air laut, kodisi dasar, yang mempengaruhi aktifitas, seperti contoh nelayan dan pelayar BUgis dan Makassar, berpedoman pada perangkat pengetahuan mereka tentang tanda-tanda di laut dan angkasa berupa kilat, awan hitam, bunyi kemudi perahu, cahaya laut, yang dihubungkan dengan peristiwa atau hal datangnya angina kencang, angina tornado, adanya batu karang atau makluk berbahaya di laut dan lain-lain (Diktat WSBB UNHAS, 2014:106-107)

III.3.3 Bahasa

Perbedaan antara bahasa yang digunakan masyarakat maritim dan masyarakat yang berkeseharian di darat terletak pada pembendaharaan dan permaknaan kata-kata yang diucapkan. Bahasa yang digunakan nelayan atau pelayar dari Sulawesi Selatan antara lain : timo’ (musim timur), bare’ (musim barat), jenne’ kebo’ (musim pancaroba) adalah contoh untuk sebutan musim-musim. “Nurung ri wae aseng tongen-tongenmu, nabi Nuhung nabimu iko lopie, akkinnawa tonging-tongengko, tassu’ri pennie” (artinya : Hai lautan, hai perahu, berjiwa besarlah, kita menjelajah samudra luas,


(2)

mencari riski dan kita segera kembali sebelum hari yang ketujuh) adalah salah satu ungkapan dalam mantra. (Diktat WSBB UNHAS, 2014:114-115).

III.3.4 Organisasi Sosial

Menurut etnografi; kelompok kerja/organisasi sosial itu mempunyai multifungsi yang kompleks. Contoh kelmpok-kelompok kerjasama nelayan dan pelayar dalam sebutan Bugis Makassar adalah Ponggawa-Sawi (Ship’s Captain-Crew). Kelompok atau rekan kerja inilah yang secara khusus menangani pengelolaan modal dan pemasaran dan sekaligus pengelolaan informasi yang luas dan teliti (Diktat WSBB UNHAS, 2014:115-116).

III.3.5 Sistem Teknologi Kebaharian

Salah satu pembeda utama antara kebudayaan masyarakat maritim dan darat yang sekaligus menjadi keunikan yang mencolok ialah kompleksitas tipe/bentuk dan variasi teknologi yang digunakan. Masyarakat maritim lebih sering menggunakan perahu dalam kegiatan kesehariannya. Menurut Diktat WSBB UNHAS (dalam Horridge, 1985 dan 1986) berbagai tipe parahu kelompok nelayan Sulawesi Selatan antara lain Perahu Patorani (Makassar), Lambo (Mandar), Pinisi (Bugis), Sandeq, Pangkur, Bago (Mandar), Bagang (Bugis), Padewakang (Makassar), Bodi yang


(3)

merupakan tipe kapal kayu baru 1980-an dan Jalloro yang merupakan tipe perahu terbaru akhir 1980-an (Bugis, Makassar, Bajo).

III.3.6 Seni Kebaharian

Kebdayaan maritim juga tidak luput dari unsur kesenian, terutama seni-seni arsiterktur/konstruksi kapal/perahu dan layar, ukir dan gambar dengan motif-motif dan warna, lagu dan musik. Nelayan torani (ikan terbang) dari Galesong (Makassar) mempunyai lagu-lagu yang dipercayai mengandung kekuatan supernatural memikat ikan-ikan untuk melompat masuk ke dalam perahu patorani dioperasikannya (Diktat WSBB UNHAS, 2014:120-121).

III.3.7 Sistem Religi dan Kepercayaan

Pada esensinya, unsur religi dari suatu kebudayaan berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan manusia akan hubungan atau kesatuannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kebanyakan nelayan Bugis, Bajo, Makassar sangat percaya kepada kekuasaan Allah dan takdir-Nya. Keberaniaan pelaut-pelaut dari Sulawesi Selatan menjelajahi perairan nusantara ini sebagian besar dilandasi keyakinan agama, bukan sekedar modal pengetahuan dan keterampilan berlayar (Diktat WSBB UNHAS, 2014:122-123).


(4)

Di Sulawesi Selatan, pemanfaatan sumberdaya laut dalam dan pesisir kebanyakan dipraktikkan secara terbuka (open access/use) dan penguasaan individu/keluarga. Memang masih ada pula yang dikuasai secara komunitas dan di bebrapa tempat dikuasai secara komunal. Selain itu teknik rumpon juga digunakan oleh nelayan Mandar dan Bugis (Diktat WSBB UNHAS, 2014:126-127).


(5)

PENUTUP IV.1. Kesimpulan

Terdapat delapan aspek sosial budaya yang dapat ditinjau pada daerah Sulawesi Selatan, diantaranya ide atau gagasan, sistem pengetahuan, bahasa, organisasi sosial, system teknologi kebaharian, seni kebaharian, system religi dan keyakinan, dan ssstem ekonomi kebaharian. Aspek sosial budaya tersebut saling berikatan dan melengkapi satu sama lain, serta tidak dapat berdiri sendiri karena saling menopang. IV.2. Saran

Kebiasaan masyarakat wilayah pesisir yang tertutup berpikir sempit dan tidak berkembang akan dihilangkan menjadi masyarakat pesisir yang dinamis, kreatif dan produktif sehingga taraf hidup masyarakat lebih baik tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai masyaraka pesisir dan nilai-nilai positif yang selama ini telah ada.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT.Dian Rakyat.

Tim Pengajar WSBB UNHAS. 2014. Himpunan Materi Kuliah Wawasan Sosial Budaya Maritim. Makassar: UPT. MKU