Pengaruh infrastruktur terhadap penawaran tanaman pangan di Jawa : pendekatan muti - input multi - output

PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Selama sepuluh tahun terakhir kontribusi sektor pertanian dan subsektor
pangan terhadap produk domestik bruto (PDB) makin menurun. Kalau pada tahun
1981 kontribusi sektor pertanian dan subsektor pangan terhadap PDB berturut-turut
sebesar 29.8 dan 18.8 persen maka pada tahun 1985 kontribusi tersebut turun
menjadi 22.7 dan 14.1 persen dan pada tahun 1990 kontribusi tersebut turun lagi
menjadi 19.6 dan 11.8 persen. Walaupun demikian sampai saat ini sektor pertanian
masih mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian di Indonesia.
Pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia terlihat pada saat terjadi
resesi dunia. Pada saat itu sektor pertanian tumbuh sebesar 4.8 persen sedangkan
sektor industri hanya tumbuh 2.2 persen, sehingga sektor pertanian dianggap sebagai
sektor penyelamat perekonornian Indoliesia (Tubagus Fery, 1989). Di samping itu
pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian juga karena sebagian besar tenaga
kerja di Indonesia masih bekerja di sektor pertanian, yaitu sekitar 54 persen dari
seluruh tenaga kerja di Indonesia.
Dalam sektor pertanian, subsektor tanaman pangan memegang peranan yang
cukup penting, karena selain sumbangan terhadap PDB yang cukup besar dan banyak
menyerap tenaga kerja, sub sektor ini juga sangat berperan dalam penyediaan pangan
bagi penduduk Indonesia, yang kebutuhannya dari tahun-ketahun terus meningkat
sebagai akibat dari bertambahnya penduduk. Konsumsi bahan makanan, seperti

beras, jagung, kedele, kacang tanah dan kacang hijau dari tahun ketahun terus
meningkat. Selama Pelita 111, konsumsi total bahan makanan diatas berturut-turut
meningkat 4.03 persen, 8.31 persen, 9.71 persen, 5.02 persen dan 11.97 persen per
tahun, dan pada Pelita IV kenaikan konsumsi tersebut mulai menurun, yaitu berturut-

turut naik 3.22 persen, 4.39 persen, 2.32 persen, 3.55 persen dan 6.27 persen per
tahun (Sri Hartoyo, Limbong, Siregar dan Rina Oktaviani, 1992).
Sejalan dengan peningkatan konsumsi maka produksi bahan pangan tersebut
juga terus meningkat, dan bahkan sejak tahun 1984 Indonesia telah mencapai swasembada beras.

Walaupun demikian, usaha-usaha peningkatan produksi beras dan

komoditi lainnya masih terus dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan
swasembada, meningkatkan kesempatan kerja dan lneningkatkan pendapatan petani.
Usaha-usaha peningkatan produksi padi dilaksanakan melalui berbagai program yang dimulai dari program Bimas pada tahun 1965166, kemudian dilanjutkan
dengan program Inmas pada tahun 1967, terus diikuti oleh program Insus dan yang
terakhir adalah program Supra Insus. Untuk memberikan hasil yang memuaskan
dari program-program tersebut,' pemerintah juga membangun dan memperbaiki
irigasi. Di samping itu, untuk mendorong .petani menggunakan teknologi baru,
seperti benih unggul, pupuk dan obat-obatan, selain dilaksanakan dengan penyuluhan-penyuluhan dan pemberian kredit murah melalui program-program tersebut,

pemerintah juga membuat kebijakan harga, baik harga output maupun harga input.
Kebijakan harga beras secara menyeluruh dari opcrasional pcrtalna kali diajukan olcll
Mears dan Afiff (1969). Sementara itu subsidi harga pupuk mulai diberikan sejak
tahun 1971 (Mulyo Sidik dan Slamet Purnomo, 1989). Kontribusi adanya harga
dasar padi dan subsidi pupuk terhadap peningkatan produksi padi selama tiga pelita
pertama cukup besar, yaitu sekitar 40 persen, sedangkan faktor-faktor lainnya,
seperti benih unggul, irigasi dan peningkatan pengetahuan petani secara bersamasama memberikan kontribusi sebesar 60 persen (Timmer, 1983).
Dengan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah, baik dengan program-program di atas maupun dengan insentif harga, telah menampakkan hasilnya.
Selama Pelita 1 produksi padi meningkat dari 18 juta ton pada tahun 1969 menjadi

22.5 juta ton pada tahun 1974, atau rata-rata meningkat sebesar 4.65 persen per
tahun. Sedangkan pada Pelita I1 rata-rata meningkat sebesar 3.25 persen per tahun
dan Pelita 111 meningkat sebesar 7.8 persen per tahun. Peningkatan produksi padi,
selain disebabkan oleh peningkatan luas areal, karena pembangunan dan perbaikan
irigasi, juga disebabkan oleh peningkatan produktivitas. Rata-rata kenaikan produktivitas padi selama Pelita I, Peiita 11, Pelita I11 dan Pelita IV berturut turut sebesar

3.28 persen, 2.52 persen, 5.55 persen dan 1.72 persen per tahun.
Sebenarnya pemerintah tidak hanya memperhatikan peningkatan produksi
padi, tetapi juga telah memperhatikan komoditi pangan lainnya, seperti jagung,
kedele dan kacang hijau, walaupun perhatiannya tidak sebesar yang diberikan pada

komoditi padi. Program peningkatan produksi dimulai tahun 1974 melalui program
Birnas dan Inmas Palawija. Kemudian pada tahun 1980 dilanjutkan dengan program
Insus dan pada tahun 1984 dilaksanakan usaha ekstensifikasi di lalian-lahan yang
masam dengan pemberian kapur. Untuk daerah-daerah yang marjinal juga telah
dilaksanakan Operasi Khusus (Opsus), yaitu intensifikasi yang dilakukan dengan
menggunakan satu atau dua unsur teknologi yang paling dibutuhkan.
Di samping dcngan program-program d i alas, pcmcrinlah juga sudall incmberikan kebijakan harga output. Harga dasar jagung mulai diterapkan pertama kali
pada tahun 1978, sedangkan untuk tanaman kedele dan kacang hijau pada tahun 1979
(Amang dan Silitonga, 1989). Harga dasar palawija tersebut ditetapkan berdasarkan
pada biaya produksi dan keseimbangannya dengan harga dasar gabah (Timmer dan
Silitonga, 1985). Namum demikian penetapan harga dasar palawija ini tidak efektif,
karena harga yang terjadi di pasar lebih tinggi dari pada harga dasar yang telah ditetapkan. Sehingga beberapa tahun terakliir ini tidak dilakukan pengadaan kotnoditikomoditi tersebut (Amang, 1989).

Dengan adanya program-program tersebut dan kebijakan lainnya telah meningkatkan produksi palawija dengan laju yang cukup tinggi. Rata-rata peningkatan
produksi jagung dan kedele pada Pelita 111 berlurul-turut sebesar 11.33 perscn dan
4.85 persen per tahun, dan pada Pelita IV berturut-turut sebesar 5.28 persen dan
12.33 persen per tahun. Seperti halnya peningkatan produksi padi, peningkatan
produksi jagung dan kedele ini selain disebabkan oleh peningkatan luas areal juga
disebabkan oleh peningkatan produktivitas. Misalnya, selama Pelita IV produktivitas
jagung dan kedele rata-rata meningkat 4.36 persen dan 2.26 persen per tahun (Sri

Hartoyo, et all, 1992).
Uraian di atas mcrnberikan garnbaran bahwa usalla-usaha pcningkahn produksi yang dilakukan oleh pemerintah memerlukan biaya besar. Realisasi subsidi
pupuk dari tahun ketahun terus bertambah. Jika pada tahun 1975 sebesar 135 milyar
rupiah maka pada tahun 1980 telah mencapai 284 milyar rupiah dan pada tahun 1987
menjadi 481 milyar rupiah. Selalna kurun waktu 1980-1987, rata-rata subsidi pupuk
setiap tahunnya mencapai sekitar 2.5 persen dari total pengeluaran pemerintah,
padahal anggaran pembangunan untuk sektor pertanian dan pengairan besarnya
hanya sekitar 4-6 persen dari anggaran pcndapatan bclanja ncgara alau AIWN
(Tubagus Fery, 1989).
Sementara itu pengeluaran untuk pembangunan irigasi dan perkembangan
fisik sejak tahun anggaran 1983184 sampai 1986187 cenderung menurun, yaitu
masing-masing dari 587.4 milyar rupiah dan 428.1 ribu hektar pada tahun 1983184
menjadi 394.2 milayar rupiah dan 107.3 ribu hektar pada tahun 1986187. Di samping
kenaikkan produktivitas padi yang makin kecil, maka dengan rnakin kecilnya dana
untuk pembangunan irigasi ini menyebabkan kenaikan produksi seperti yang telah
dicapai tidak mudah untuk dipertahankan. Oleh karena itu untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras perlu diusahakan diversifikasi vertikal dan horisontal.

Dengan semakin terbatasnya ketersediaan lahan pertanian, yang disebabka1.1
oleh penggunaan selain untuk pertanian maka usaha-usaha peningkatan produksi
harus dilakukan dengan peningkatan produktivitas, yaitu dengan menggunakan

tekonologi baru. Dalam jangka panjang perubahan biaya produksi yang disebabkan
oleh perubahan teknologi akan mempunyai pengaruh terhadap alokasi lahan. Sementara itu Mosher (1966) menyatakan bahwa salah satu syarat mutlak pembangunan
pertanian yang harus dipenuhi adalah adanya teknologi baru yang selalu berubah.
Untuk dapat menciptakan dan mengetrapkan teknolog i baru diperlukan keg iatan
penelitian dan pengembangan yang terus menerus. Pendekatan dasar dalam penelitian dan pengembangan pertanian harus dilandasi oleh ketepatgunaan teknologi yang
~nencakupasas (1) dari segi ekonomi, teknologi harus menguntungkan; (2) dari segi
sosial, teknologi harus dapat diterima masyarakat; (3) dari segi lingkungan, teknologi harus tidak merusak dan bahkan melestarikan lingkungan; dan (4) dari aspek
ketenaga-kerjaan, teknologi hendaknya dapat meningkatkan produktivitas dan kenyamanan kerja (Baharsjah , 1990).
Untuk melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan diperlukan biaya
yang tidak sediki t. Besarnya biaya kegiatan penel itian d i Departemen Pertanian dibidang pertanian tanaman pangan dari tahun ketahun terus meningkat.

Pada tahun

anggaran 1979180 besarnya biaya penelitian adalah 3.6 milyar rupiah dan pada tahun
1985187 telah meningkat menjadi 17.2 milyar rupiah, atau rata-rata meningkat
sebesar 18.77 persen per tahun. Di samping itu, peningkatan biaya penelitian ini
juga diikuti dengan kenaikan tenaga penelitinya (ahli peneliti, peneliti, asisten peneliti dan ajun peneliti), yaitu sekitar 8.91 persen per tahun (Departemen Pertanian,
1988). Tentu saja, dengan makin besarnya biaya penelitian ini diharapkan dapat
lebih banyak menghasilkan inovasi-inovasi baru, yang dapat mendorong dalam
peningkatan produksi tanaman pangan.


Perumusan Masalah Penelitian

Dengan menurunnya penerimaan pemerintah dari sektor minyak7bumi yang
puncaknya terjadi pada tahun 1986 akan berpengaruh terhadap kebijakan pertanian.
Akibatnya anggaran subsidi pupuk dan obat-obatan dikurangi hingga 0.9 persen dari
APBN. Akan tetapi dalam realisasinya, karena untuk memepertahankan swasembada
beras dengan program supra insus, subsidi tersebut justru meningkat mencapai 236
persen dari anggaran semula (Tubagus Ferry, 1989). Keadaan ini makin memberatkan keuangan negara. Sedangkan jika dilihat dari perkembangan harga dasar gabah
dan 'harga dasar pupuk memperlihatkan bahwa ratio harga dasar gabah terhadap
harga pupuk dari tahun ketaliun makin meningkat. Pada tahun 1970 ratio tersebut
adalah 0.79 rnaka pada tahun 1980 meningkat menjadi 1.50 dan pada tahun 1985
meningkat menjadi 1.94 tetapi pada tahun 1989 turun menjadi 1.52. Jika subsidi
pupuk dikurangi akan menyebabkan harga pupuk meningkat. Hal ini tnenimbulkan
pertanyaan sampai sejauh mana kenaikan harga pupuk atau pengurangan subsidi
tersebut berpengaruh terhadap produksi tanaman pangan ?
Untuk meningkatkan produksi, pemerintah telah memberikan harga dasar,
baik untuk komoditi padi, jagung, kedele maupun kacang hijau. Namun demikian,
11arga dasar untuk palawija tidak efektif. Hal ini disebabkan karena kenaikan harga
dasar palawija tidak sebanding dengan kenaikan harga dasar gabah. Sebagai gambaran, ratio harga dasar kedele, jagung dan kacang hijau terhadap harga dasar

gabah pada tahun 1980 berturut-turut sebesar 2.00, 0.64 dan 2.46 tetapi pada tahun
1989 ratio itu menurun menjadi 1.48, 0.56 dan 1.60. Oleh karena penentuan harga
dasar palawija tersebut tidak efektif maka harga yang terjadi sesuai dengan kekuatan
permintaan dan penawaran pasar, tanpa campur tangan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah masih banyak terpusat pada komoditi beras.
Tentu saja kebijakan seperti ini tidak akan mendorong tercapainya program diversi-

fikasi untuk mengurangi ketergantungannya terhadap komoditi pangan beras.
Sementara itu kebutuhan akan kedele dan kacang hijau, baik untuk konsumsi secara
langsung maupun untuk bahan dasar industri ternyata tidak dapat dicukupi dari
produksi sendiri, bahkan impor kedele dari tahun ketahun terus meningkat, yaitu dari

361 ribu ton pada tahun 1980 meningkat menjadi 526 ribu ton pada tahun 1990.
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan sampai sejauh mana perubahan harga beras
dan harga tanaman lainnya berpengaruh teradap produksi padi dan palawija ?
Sejak tahun 1986 pengeluaran untuk pembangunan jaringan irigasi dan rehabilitasi dari tahun ke tahun selalu berubah dan cenderung menurun.

Dengan penu-

runan pengeluaran ini diduga akan berakibat terhadap produksi tanaman yang dihasilkan. Pertanyaannya adalah sampai sejauh mana pengaruh penurunan pengeluaran
irigasi terhadap perubahan produksi tanaman pangan ?

Untuk mendorong pertumbuhan perekonomian, pemerintah juga telah
membangun jalan-jalan baru serta memperbaiki jalan yang telah ada. Dengan makin
banyaknya dan makin baiknya jalan yang ada diharapkan produksi, baik pertanian
dan non pertanian dapat meningkat dengan cepat. Pertanyaan yang muncul adalah
sampai sejauh mana pengaruh jalan terhadap produksi tanaman pangan 7
Telah dikemukakan di muka bahwa pengeluaran penelitian untuk tanaman
pangan Departemen Pertanian dari tahun ke tahun terus meningkat. Walaupun
demikian jika dibandingkan dengan pengeluaran keseluruhannya, realisasi biaya
penelitian tanaman tersebut relatif tetap, yaitu sekitar 2.2 persen seluruh pengeluaran. Pertanyaan yang muncul adalah sampai sejauh mana pengaruh penelitian
terhadap peningkatan produksi padi dan palawija ?
Beberapa pertanyaan di atas merupakan masalah yang akan dicoba dijawab
dalam penelitian ini. Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan diperlukan
pengetahuan mengenai tingkah laku penawaran padi dan palawija yang mendalam.

.

Penawaran suatu komoditas, antara lain selain dipengaruhi oleh harga sendiri juga
dipengaruhi oleh harga komoditm lain dan harga faktor produksi. Di samping itu
penawaran tanaman pangan juga dipengaruhi oleh perkem bangan infrastruktur yang
terjadi.


Untuk menduga pengaruh berbagai faktor terhadap beberapa tanaman

digunakan pendekatan multi-input, multi-output.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui pengaruh infrastruktur terhadap penawaran output dan permintaan input. Sedangkan secara khusus
tujuan penelitian ini adalah pertama, mengetahui keterkaitan teknologi produksi
antara tanaman yang satu dengan tanaman yang lain. Kedua, mengetahui pengaruh
perubahan harga-harga output dan harga input terhadap penawaran output dan
permintaan input tanaman pangan. Ketiga, mengetahui pengaruh infrastruktur irigasi
terhadap penawaran tanaman pangan.

Keempat, mengetahui pengaruh infrastruktur

jalan terhadap penawaran tanaman pangan. Kelima, mengetahui pengaruh infrastruktur riset terhadap penawaran.
Dengan diketahui pengaruh infrastruktur terhadap penawaran tanalnan pangan
maka hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai informasi yang berguna untuk
pengambilan keputusan dalam kebijakan investasi. Di samping itu dengan diketahui
pengaruh perubahan harga-harga output dan input maka hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan
dalam kebijakan harga input dan output dalam usaha peningkatan produksi dan

pendapatan tanaman pangan.

Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, pengaruh infrastruktur yang akan dianalisis adalah
meliputi infrastruktur irigasi, infrastruktur jalan dan riset tanaman pangan.

Sedang-

kan jenis tanaman pangan yang dilihat mencakup enam tanaman, yaitu padi, jagung,
kedele, kacang tanah, ubikayu dan ubijalar. Tebu merupakan tanaman yang penting
yang bersaing dengan tanaman lainnya, terutama tanaman padi.

Di samping itu

untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, tanamati tebu dari tahun ke
tahun terus berkembang dengan cepat. Namun demikian, oleh karena keterbatasan
data yang tersedia, terutama inengenai data input-output usahatani tebu secara time
series, maka dalam peneltian ini tanamaii tebu tidak dapat dimasukkan dalam model.
Dalam penelitian ini juga dilihat permintaan input variabel, yaitu pupuk urea,

pupuk TSP dan tenaga kerja. Dalam analisis penawaran output dan permintaan
input, selain dimasukkan peubah infrastruktur dan harga-harga output dan input
variabel juga dimasukkan faktor tetap lainnya, seperti luas lahan total dan curah
hujan. Pengaruh infrastruktur dan faktor-faktor lain terhadap penawaran output dan
permintaan input diduga terdapat keterkaitan antara keputusan berproduksi tanaman
yang satu dengan keputusan berproduksi tanaman yang lainnya.

Oleh karena itu,

analisis penawaran output dan permintaan input tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah untuk masing-masing tanaman, tetapi harus dilakukan secara simultan
untuk enam tanaman dan tiga input variabel tersebut. Sehubungan dengan ha1 tersebut maka analisis yang sesuai untuk menduga penawaran output dan permintaan
input adalah dengan pendekatan multi input, multi output.

TINJAUAN PUSTAKA

Seperti telah disebutkan di muka bahwa pengaruh infrastruktur dan faktorfaktor lainnya terhadap penawaran beberapa output dan permintaan beberapa input
diduga terdapat keterkait keputusan berproduksi antara tanaman yang satu dengan
tanaman yang lainnya. Oleh karena itu dalam analisis harus dilakukan secara bersamaan. Dalam analisis penawaran dapat dilakukan melalui respons areal dan melalui
respons hasil, atau melalui respons output total. Salah satu model yang dapat digunakan untuk menganalisis respons areal dari beberapa tanaman secara bersamaan
adalah model logit linier. Sedangkan untuk menganalisis respons hasil atau output
total dari beberapa tanaman dan beberapa faktor variabel serta faktor tetap secara
bersamaan adalah dengan model fungsi keuntungan multi-input multi output.

Tinjauan Model Logit Linier
Dari beberapa penelitian mengenai respons areal, jarang yang menggunakan
model logit linier. Salah satu tulisan yang dapat diperoleh yang membal~as respons
areal dengan model ini adalah Bewley, Young dari Colman (1987). Dalatn penelitiannya mereka menggunakan beberapa pendekatan, yaitu dengan model dobel
logaritma, model logit linier dengan transformasi rata-rata geometrik, dan modelmodel dinamik lainnya. Pangsa areal yang diduga adalah wheat, barley dan oats,
dengan peubah penjelasnya adalah penerimaan per hektar dari masing-masing tanaman, curah hujan dan luas total areal sereal. Dari berbagai model-model yang
digunakan akhirnya dipilih model logit linier dinamik yang direstriksi ( restricted
dynamic linear logit model).
Model logit linier selain dapat digunakan untuk menganalisis respons areal
juga dapat digunakan untuk menganalisis pola pengeluaran rumahtangga. Tyrrel,

Timothy dan Mount (1982) telah menngunakan model ini untuk mempelajari pola
pengeluaran rumahtangga, yang dibedakan menjadi delapan katagori, dengan peubah
bebasnya adalah pendapatan dan peubah demografi seperti jumlah keluarga, komposisi umur dan jenis kelamin. Di dalam model ini, secara otomatis dapat memenuhi
persyaratan adding-up yang diturunkan dari kendala anggaran.
Bewley dan Young (1987) juga menggunakan model logit linier untuk
menganalisis pengeluaran daging, yang dibedakan menjadi empat katagori, yaitu
daging sapi, daging anak domba, ayam dan lainnya. Dalam analisisnya menggunakan
tiga model, yaitu model statik, autoregresive penuh dan autoregresive diagonal.
Dari tiga model tersebut yang terpilih adalah model autoregresive diagonal.

Dalam

model ini pembatasan (restriksi) homogen dan simetri dapat diterima.

Tinjauan Pendekatan Multi-Output, Multi-Input
Dalam analisis produksi pada akhir-akhir ini banyak digunakan pendekatan
multi-output, multi-input.

Menurut Lau (1972), teori multiproduk telah dipelajari

mulai tahun 1964 oleh Mundlak. Kemudian sifat-sifat fungsi keuntungan juga dipelajari sejak tahun 1966, yaitu oleh McFadden, dan kemudian diikuti oleh Diewert
serta ahli-alili lainnya. Keuntuiiga~ipendekatan multi-output, multi-input adalah tidak
diperlukan pemisahan masing-masing output dan masing-masing input ( l a u , 1978).
Di samping itu, dengan multi-output, multi input dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya keterkaitan keputusan berproduksi antara tanaman yang satu dengan tanaman
yang lainnya
Analisis multi-input, multi-output dapat dilakukan dengan metode primal dan
metode dual. Salah satu yang menggunakan metode primal adalah Just, Zilberman
dan Hochman (1983). Dengan metode ini dibentuk model teknologi produksi non-

jointness untuk menduga alokasi input variabel.

Model yatig digutlakan untuk

menganalisis adalah fungsi produksi Cobb-Douglas.
Sementara itu, mctodc dual dari fungsi produksi yang banyak digu~lakan
adalah fungsi keuntungan. Kelebihan menggunakan fungsi keuntungan dibandingkan
dengan fungsi biaya dan fungsi penerimaan adalah, pertama, fungsi keuntungan
mudah diduga. Kedua, dalam pendugaan tidak ada peubah endogen yang digunakan
sebagai peubah penjelas, sehingga dapat menghindari ketidak konsistenan dalatn
pendugaan ekonometrika terhadap masalah persamaan simultan.
Pendekatan multi-output, multi-input telah digunakan oleh Weaver (1983)
untuk menganalisis pemilihan dan teknologi produksi di daerah gandum Amerika
Serikat. Pendekatan ini terutama untuk mengukur return to size dan pengaruh bias
perubahan teknologi terhadap empat kelo~npokkomoditas pertanian dan lima input.
Dalam analisisnya, digunakan pembatasan (restriksi) homogenitas dan simetri,
sedangkan bentuk fungsi yang digunakan dalatn penelitian tersebut adalah fungsi
keuntungan translog (transendental logaritma).
Shumway (1983) juga menggunakan pendekatan yang sama dalam mempelajari penawaran, permintaan dan teknologi.

Pengujian teknologi yang dilakukan

meliputi pengujian "nonjointness" dan "homothetic separability". Dalam analisisnya
juga digunakan pembatasan linear homogonitas pada fungsi keuntungan kuadratik.
Di samping itu untuk menguji hipotesis yang tidak dapat dilakukan dengan fungsi
kuadrat juga digunakan fungsi translog. Selain melakukan pengujian jointness dan
menduga elastisitas-Marshal , Lopez (1984) juga menduga elastisitas compensated
dengan pendekatan multi-output, multi input. Untuk menduga elastisitas penawaran
output dan permintaan input digunakan fungsi keuntungan Generalized Leontif (GL).
Peneliti lain yang melakukan pengujian jointness antara lain adalah Ball
(1988) dan Chambers dan Just (1989). Ball, selaiti melakukan pengujian jointness

juga melakukan pengujian separabilitas output dengan menggunakan model fungsi
keuntungan translog. Kesimpulannya adalah bahwa melakukan penggabungan output
dalam analisis ekonomi adalah tidak dimungkinkan. Sementara itu dalam pengujian
jointness, Chambers membedakan jointness yang disebabkan oleh struktur teknolog i
produksi dan jointness yang disebabkan oleh kebutuhan jangka pendek alokasi input
tetap diantara komoditas yang bersaing

.

Squires (1987) menurunkan fungsi keuntungan rnultiproduk jangka panjang
dari fungsi keuntungan restriksi. Pendugaannya dilakukan dengan menggunakan
fungsi keuntungan translog terhadap tiga output, dua input variabel dan satu input
tetap. Dari fungsi ini digunakan untuk menduga elastisitas Marshal jangka panjang,
untuk mempelajari struktur biaya multiproduk, yang kemudian digunakan untuk
mengukur scope ekonomi dan skala ekonomi, dan untuk mengukur penggunaan
kapasitas (capacity utilization). Dengan model translog, elastisitas terhadap faktor
tetap hanya dapat diketahui jika fungsi keuntungannya dapat diduga. Sedangkan
untuk menduga fungsi keuntungan dapat dilakukan jika pengamatannya cukup
memadai.

Namun jika banyaknya pengamatan hanya sedikit maka mencari elastisi-

tas terhadap faktor tetap menjadi sulit.
Dual dari fungsi transformasi, selain fungsi keuntungan adalah fungsi biaya
dan fungsi penerimaan. Akridge dan Hertel (1986) salah satu yang menggunakan
fungsi biaya dalam model "Multiproduct Cost Relationships for Retail Fertilizer
Plants", dengan menggunakan bentiik fungsi translog. Dengan model tersebut dapat
diduga hubungan antara biaya dengan output. Di samping itu, dengan model
tersebut juga dapat digunakan untuk mengukur scope ekonomi dan skala ekonomi.
Dari beberapa tulisan tersebut hanya terdapat satu makalah yang menurunkan
elastisitas penawaran output dan permintaan input terhadap faktor tetap dengan

menggunakan bentuk fungsi translog. Akan tetapi penurunan elastisitas tersebut didukung dengan pengamatan yang memungkinkan untuk menduga fungsi keuntungan
secara bersamaan (simultan).

Namun demikian dalam tulisan ini penulis aka11

mencoba menurunkan elastisitas terhadap faktor tetap dengan bentuk fungsi translog
dengan pengamatan yang terbatas.
Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai tanaman pangan telah banyak dilakukan di Indonesia.
Padi merupakan komoditi yang paling banyak dipelajari diantara tanaman pangan
lainnya. Hal ini karena padi merupakan makanan pokok sebagian besar rakyat
Indonesia.

Di samping itu, peranan padi dalam perekonomian Indonesia yang

menonjol diantara tanaman pangan lainnya yang menyebabkan banyak dilakukan
penelitian mengenai padi. Akan tetapi pada akhir-akhir ini juga sudah mulai banyak
dilakukan penelitian tanaman pangan secara keseluruhan, meliputi padi, jagung,
kedele, kacang tanah dan ubikayu. Sementara itu penelitian mengenai ubijalar belum
dilakukan. Beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan penawaran tanaman
pangan dapat diringkaskan sebagai berikut.
Penelitian Lains (1979) yang menggunakan data tahun 1966-1976 memperoleh hasil bahwa elastisitas respons areal terhadap harga relatif adalah nol, sedangkan
respons hasil terhadap harga sangat kecil sekali. Hal ini disebabkan karena pada
waktu itu, dalam menghasilkan padi pada umumnya ditujukan untuk konsumsi sediri
dari pada untuk dijual. Kalaupun menjual padinya, bukan karena adanya peningkatan harga padi, tetapi disebabkan untuk membayar hutang yang dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, kebijakan harga tidaklah efektif jika digunakan untuk meningkatkan produksi padi di Indonesia. Di samping itu Lains juga menduga elastisitas jangka pendek output padi terhadap irigasi melalui dua pendekatan, yaitu pende-

katan langsung dan pendekatan tak langsung ( melalui respons areal dan respons
hasil). Elastisitas output jangka pendek terhadap irigasi melalui pendekatan langsung di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur berturut-turut sebesar 0.354,
0.432, dan 0.289, sedangkan melalui pendekatan tak langsung berturut-turut sekitar
0.257, 0.225 dan 0.217. Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi lebih responsif
terhadap ketersedian air irigasi daripada terhadap perubahan harga bersangkutan.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan di Klaten menunjukkan bahwa di
daerah berpengairan sepanjang tahun, terdapat kecenderungan menggunakan air
untuk pertaniannya dengan berlebihan. Sebenarnya petani cukup hanya menggunakan separo dari yang biasanya digunakan. Penggunakan air yang berlebih disebabkan oleh (1) adanya anggapan bahwa air merupakan barang bebas, (2) kebiasaan
yang turun temurun bahwa untuk menanam padi diperlukan air yang dapat menggenangi sawahnya dan (3) tidak ~bainpunyaalat pengatur air dalam rnelakukan tugasuya
( Dibyo Prabowo, 1978a, Dibyo Prabowo, 1978b)

Jatileksono (1986) dalam penelitiannya mengenai Equity Achievment in The
Indonesian Rice Economy, menunjukkan bahwa elastisitas penawaran padi adalah
sebesar 0.33. Di samping itu juga menunjukkan bahwa peningkatan produksi padi
pada periode tahun 1970-1982 yang tinggi ( 4.9 persen ) terutama disebabkan oleh
adanya adopsi jenis padi baru, peningkatan penggunaan pupuk dan perbaikan irigasi.
Peningkatan yang disebabkan oleh ketiga komponen tersebut lebih dari tiga per
empat. Penggunaan teknologi secara kompiit yang dilakukan oleh petani disebabkan
oleh adanya kebijakan subsidi input oleh pemerintah.

Teknologi baru, selain

meningkatkan produksi juga dapat meningkatkan kesejahteraan buruh tani. Penelitian Jatileksono ( 1992) di Lampung menunjukkan bahwa perbaikan jenis padi dapat
memperbaiki distribusi pendapatan antara petani dengan buruh tani.

Dengan digu-

nakan padi jenis baru yang diusahakan lebili intensif, menyebabkan perrnintaan
tenaga kerja meningkat.
Telah diketahui bahwa produksi jagung dari tahun ketahun terus meningkal.
Peningkatan produksi lebih banyak disebabkan oleh peningkatan produktivitas.
Mink dan Dorosh (1987) menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan kenaikan
produktivitas adalah diperkenalkannya jenis jagung baru dan penggunaan pupuk
kimiawi yang makin meningkat. Sementara itu, luas areal relatif tetap dari tahun ke
tahun. Adanya pembangunan irigasi baru dan rehabilitasi irigasi yang telah ada
1

menunjukkan hubungan yang negatif dengan luas areal jagung, karena berubahnya
tanaman jagung menjadi tanaman padi. Sementara itu, salah satu hasil penelitian
Djauhari et all (1988) adalah bahwa terdapat hubungan yang negatif antara tingkat
konsu~nsi keluarga petani dengan tingkat adopsi jenis jagung baru, seperti Arjuna
dan Hibrida. Makin tinggi tingkat konsumsi jagung keluarga makin rendah tingkat
adopsi jagung jenis baru. Hal ini menunjukkan bahwa jagung yang dihasilkan tidak
hanya untuk dijual tetapi terutama untuk konsumsi keluarga.
Heriyanto et. all. (1989) menemukan bahwa tanaman pesaing kedele adalah
kacang tanah dan padi. Di samping itu juga menyarankan bahwa untuk meningkatkan produksi kedele, selain dengan perbaikan teknologi juga perlu dilakukan dengan
kebijakan harga. Dengan perbaikan harga akan menyebabkan tanaman kedele lebih
dapat bersaing dengan tanaman lainnya.
Hasil penelitian inengenai sistem produksi ubikayu yang dilakukan oleh
Roche (1984) menunjukkan bahwa makin menurunnya areal panen ubikayu dipengaruhi oleh pembangunan dan rehabilitasi dan program penghijauan. Di samping itu
harga relatif ubikayu terhadap harga tanaman lain yang menurun juga berpengaruh
terhadap turunnya areal ubikayu. Walaupun adanya devaluasi rupiah pada tahuii

1978 dan kenaikan harga gaplek di Eropa selama tahun 1979 telah meningkatkan

harga ubikayu di pedesaan Jawa, tetapi pengaruhnya belum dapat dirasakan pada
luas areal.
Produktivitas ubikayu yang terus meningkat terjadi akbibat penggunaan
pupuk kimiawi yang semakin meningkat. Peningkatan penggunaan pupuk dapat
terjadi akibat menurunnya harga relatif pupuk, sebagai akibat adanya kebijakan
harga pupuk bersangkutan. Sernentara itu jenis-jenis ubikayu yang ditanan di Jawa
tidak terlihat adanya peningktaan.
Penelitian yang mencakup semua tariaman pangan adalah yang dilakukan oleh
Rosegrant, Faisal Kasryno, Rasahan dan Saefuddin (1987). Dalam penel itian ini
dilakukan simulasi dengan model penawaran dan permintaan multi-market yang salah
satu tujuannya adalah untuk menganalisis subsidi pupuk. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa strategi diversifikasi tanaman dengan target masing-masing
produksi mempunyai potensi biaya tinggi jika dilakukan tanpa mempertimbangkan
efisiensi ekonomi relatif. Meningkatkan produksi tanaman yang relatif tidak efisien,
seperti kedele, melalui proteksi harga, kuota dan kebijakan lainnya akan menyebabkan biaya tinggi dalam arti berkurangnya kesempatan produksi tanaman yang lebih
efisien. Oleh karena itu untuk meningkatkan produksi tanaman seperti itu sebaiknya
dilakukan dengan kebijakan investasi melalui penelitian dan pengembangan untuk
menemukan teknologi baru.
Dalam hubungannya dengan subsidi pupuk, ditunjukkan bahwa subsidi masih
merupakan alat kebijakan yang sangat kuat dalam usaha menyeimbangkan pertumbuhan antara permintaan dan penawaran. Hal ini disebabkan petani masih tetap responsif terhadap perubahan harga pupuk. Oleh karena itu pengurangan subsidi pupuk
dapat menyebabkan penurunan produksi, terutalna produksi padi dan jagung.

Penelitian lain yang meliliat dampak pengurangan subsidi terliadap pcnawaran
tanaman pertanian adalah penelitian yang dilakukan oleh Darmawan (1991).

Dalam

penelitian ini digunakan model matematical programming dengan menggunakan data
biaya produksi dan pendapatan pada tahun 1987-1988. Salah satu hasil penelitian ini
menunjukkaii bahwa pengurangan subsidi pupuk akan menyebabkan meningkatnya
biaya input, dan sedikit mengurang i produksi padi.
Tabor et. all. (1988) mempelajari penawaran dan permintaan tanaman pangan
di Indonesia. Dalam analisis penawaran menggunakan pendekantan dua tahap, yaitu
pada tahap pertama dilakukan analisis respons areal dan pada tahap kedua dilakukan
analisis respons hasil dengan menggunakan fungsi keuntungan. Pendugaan fungsi
keuntungan dilakukan secara tersendiri-tersendiri untuk masing-masing tanaman.
Dalam penelitian iiii digunakan data cross section survey usahatani yang dikumpulkan oleh Departemen Pertanian antara tahun 1983 sampai 198511986. Dari hasil
simulasi antara lain dapat ditunjukkan bahwa penghapusan subsidi pupuk secara
bertahap hanya berpengaruh kecil terhadap sawsembada beras, tetapi akan menyebabkan kekurangan jagung di dalam negeri. Namun demikian pemenuhan kekurangan jagung melalui impor lebili mural1 daripada ~neneruskansubsidi.

Disamping ilu

juga dapat ditujukkan bahwa penghapusan subsidi tidak banyak berpengaruh terhadap
pertumbuhan pendapatan petani.
Dengan menggunakan data yang sama Altemeier, Tabor dan Adinugroho
(1988) menganalisis parameter penawaran pertanian di Indonesia. Dalam analisis,
mereka menggunakan model respons areal dan respons hasil dengan menggunakan
fungsi keuntungan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan harga pupuk sudah
kurang penting dalam penawaran pertanian dibandingkan dekade yang lalu. Elastisi-

tas penawaran padi terhadap harga pupuk menurun. Rendahnya elastisitas respons
hasil palawija terhadap harga pupuk menunjukkan bahwa teknologi produksi palawija

tidak responsif terhadap penggunaan pupuk. Sehingga penghapusan subsidi pupuk
hanya akan sedikit meningkatkan harga tanaman bersangkutan.
Altemeier, et. all. (1989) juga menganalisis respon pupuk terliadap pertanian
di Indonesia. Dalam penelitiannya menggunakan model fungsi keuntungan, dengan
data time series dari tahun 1970 sampai tahun 1986. Pendugaan fungsi keuntungan
dilakukan secara tersendiri-tersetidiri untuk masing-masing tanaman.

Hasilnya

menunjukkan ha1 yang sama dengan hasil-hasil penelitian terdahulu, yaitu bahwa
penghapusan subsidi pupuk tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap penurunan produksi dan pendapatan petani.
Altemeier dan Bottema (1991) mempelajari mengenai diversifikasi pertanian
di Indonesia. Dalam penelitian ini dibahas semua tanaman pangan kecuali ubijalar.
Dalam menganalisis penawaran output dan permintaan input digunakan model respons areal dan fungsi keuntungan. Pendugaan fungsi keuntungan dilakukan secara
tersendiri-tersendiri untuk masing-masing tanaman. Dalam analisis ini data yang
digunakan adalah data BPS dari tahun 1971 sampai dengan tahun 1988. Dari hasil
analisis nilai elastisitas dapat disimpulkan bahwa alokasi areal tanaman tanah ladang
atau tanah darat lebih fleksibel dibandingkan dengan tanah sawah.

Respons areal

tanaman padi sawah lebih inelastis dari areal tanaman padi ladang.
Peneliti lain yang mempelajari pengaruh penghapusan subsidi pupuk terhadap

.

pendapatan petani dan produksi total adalah Ato Suprapto (1989). Dalam analisisnya
digunakan pendekatan keseimbangan umum ( general equilibrium ). Hasil analisis
menunjukkan bahwa adanya subsidi pupuk banyak dinikmati oleh buruhtaiii dan
konsumen daripada dinikmati oleh petani peserta bimas. Di samping itu juga ditunjukkan bahwa penghapusan pupuk hanya akan menururikan produksi beras sebesar
2.6 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penghapusan subsidi pupuk secara

KERANGKA TEORITIS
Dalam penelitian mengenai produksi clan faktor-faktor yang mempengaruhi
terdapat dua pendekatan pokok, yaitu pendekatan primal dan pendekatan dual.
Dalam kondisi keuntungan maksimum, kedua pendekatan tersebut memberikan
informasi yang sama mengenai produksi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Untuk multi input multi output, hanya sedikit peneli ti yang menggunakan pendekatan
primal (fungsi produksi) salah satunya adalah Just et all (1983). Sebagaian besar
peneliti lebih banyak menggunakan pendekatan dual, yaitu dengan fungsi keuntungan
atau fungsi biaya, seperti misalnya Weaver (1983), Shumway (1983), Squires
(1987), Akridge dan Hertel (1986), Ball (1988), dan Chambers dan Just (1989).
Pendekatan dual dalam multi input multi output ini lebih banyak digunakan karena
lebih mudah dilakukan, karena beberapa output dan beberapa input dapat digabungkan dalam satu nilai. Walaupun dilakukan penggabungan, tetapi masih tetap dapat
dianalisis masing-masing output dan input, misalnya elastisitas penawaran masingmasing output dan elastisitas permintaan masing-masing input. Berdasarkan ha1
tersebut maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan dual.
Pengaruh Perubahan Harga Output Terhadap Penawaran
Tinggi rendahnya produksi suatu tanaman pangan dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain dipengaruhi oleh harga output, harga input, harga output komoditas lain dan infrastruktur yang tersedia di suatu daerah. Tingginya produksi juga
dipengaruhi oleh luas areal tanam yang terdapat di suatu daerah. Sementara itu, luas
areal komoditas tertentu banyak dipengaruhi oleh harga output sendiri, harga output
komoditas saingan, dan infrastruktur. Dengan demikian, pengaruh faktor-faktor
tersebut terhadap output dapat melalui luas areal dan melalui hasil per hektar. Jika

output total suatu komoditas tertentu (Qi) dapat dinyatakan sebagai perkalian antara
luas areal (A,) dengan hasil per hektar (Y,), maka secara metematika sederhana dapat
dinyatakan sebagai berikut :
Qi = Ai

* Yi

(1)

,

Pengaruh perubahan harga terhadap penawaran output dapat dijelaskan dengan menggunakan Gambar 1. Dalam Gambar 1, harga p dinyatakan pada garis vertikal yang ke atas, luas areal dinyatakan pada garis horisontal ke kiri, dan output dinyatakan pada garis vertikal ke bagah dan garis horisontal ke kanan. Respons luas
areal tethadap perubahan harga komoditas bersangkutan dinyatakan dengan kurva
AP. Oleh karena lahan yang sesuai dengan tanaman tertentu makin terbatas, maka
kenaikan harga menyebabkan penambahan luas areal yang makin kecil, sehingga
kurva AP digambarkan melengkung ke kiri. Kurva AQ menggabarkan hasil per hektar. Jika dianggap tidak terjadi perubahan hasil per hektar dengan berubahnya luas
areal, atau kenaikan hasil yang tetap (constant return to scale) maka kurva total AQ
dapat dinyatakan sebagai garis lurus. Sedangkan jika terjadi perubahan hasil per
hektar yang disebabkan oleh perubahan harga atau ole11 infrastruktur, perubahan hasil per hektar tersebut dapat dinyatakan dengan pcrgcsaran kurva AQ.
Jika harga output sendiri meningkat dari OP, menjadi OP,, dengan anggapan
faktor-faktor lain tetap, maka akan menyebabkan luas areal meningkat dari OA,
menjadi OA,. Kenaikan harga output selain meningkatkan luas areal juga dapat
meningkatkan hasil per hektar, yang disebabkan adanya perubahan rasio harga inputoutput. Pengaruh kenaikan harga output sendiri terhadap hasil per hektar dinyatakan
dengan menggeser kurva AQ dari AQ, menjadi AQ,. Dengan luas areal dan hasil
per hektar yang meningkat maka output total juga meningkat dari OQ, menjadi OQ, .
Jika perubahan output tersebut dihubungkan dengan perubahan harga maka dapat
digambarkan kurva penawaran S,, yang ~nenunjukkaiijika harga meningkat dari OP,

menjadi OP, maka julnlah output tanamao pangan yang ditawarkan akan meningkat
dari OQ, menjadi OQ,.
Jika terjadi peningkatan harga komoditas lain, misalnya komoditas j, dengan
anggapan faktor-faktor lainnya tetap rnaka kenaikan harga tersebut akan menyebabkan penurunan luas areal tanaman i, yang dapat dinyatakan dengan menggeser kurva
AP dari AP, ke AP,. Pada tingkat harga koinoditas i sebesar OP,, kenaikan harga
komoditas j menyebabkan luas areal komoditas i menurun dari OA, menjadi OA,.
Pengaruh perubahan harga komoditas j terhadap hasil per hektar komoditas i
tergantung dari teknologi produksinya, joint teknologi atau nonjoint teknologi. Jika
joint-teknologi makaperubahan harga komoditasj berpengaruh terhadap hasil per hektar
komoditas i, sedangkan jika nonjoint teknologi maka perubahan harga komoditas j
tidak berpengaruh terhadap hasil per hektar komoditas i.
Selain lahan, faktor yang terbataas adalah tenaga kerja. Pada saat panen padi
musim penghujan sering bersamaan dengan masa pengolahan lahan untuk tanaman
padi atau tanaman lainnya pada musim kemarau, sehingga permintaan tenaga kerja
pada saat itu meningkat. Pada umumnya, tenaga kerja yang diperlukan untuk tanam
padi lebih banyak dari tanaman lainnya (lihat Suparmoko, 1980; Sri Hartoyo dan
Soentoro, 1980). Ole11 karena itu jika terjadi kelebihan perrnintaan tenaga kerja akan
menyebabkan upah meningkat, yang berakibat berkurangnya tenaga kerja yang
digunakan untuk menghasilkan output tertentu. Dengan berkurangnya penggunaan
tenaga kerja diduga akan mengakibatkan hasil per hektar menjadi berkurang.
Sementara itu, untuk menentukan komoditas mana yang dikurangi tenaga kerjanya
tergantung dari rasio harga input-output. Jika dimisalkan hanya harga output komoditasj
meningkat dengan proporsi yang sama dengan peningkatan upah, inaka rasio harga
input-output kornoditas j tetap, tetapi komoditas i meningkat. Akibatnya penggunaan

Gambar 1. Pengaruh Perubahan Harga Terhadap Penawaran Output

tenaga kerja komoditas i menurun dan komoditas j tetap. Hal ini menunjukkan
bahwa keputusan untuk mencapai hasil per hektar tanaman yang satu dipengaruhi
oleh keputusan produksi tanaman yang lainnya. Teknologi yang demikian disebut
joint teknologi (Shumway, 1983). Pada joint teknologi maka kenaikan harga komoditas j akan menyebabkan penurunan hasil per hektar komoditas i, yang dapat digambarkan dengan menggeser kurva AQ dari AQ, menjadi AQ,.

Sehingga pada

harga komoditas i sebesar OP,, kenaikan harga komoditas j akan menyebabkan output total komoditas i turun dari OQ, menjadi OQ,.

Seterusnya kurva penawaran

komoditas i bergeser dari S, menjadi S,.
Sebaliknya, jika kebutuhan pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja selalu dapat
dipenuhi maka keputusan untuk menghasilkan output pada tingkat tertentu hanya
tergantung dari harga input dan harga output saja. Dengan kata lain, keputusan
menghasilkan hasil per hektar tanaman yang satu tidak tergantung dari keputusan
menghasilkan tanaman yang lain, atau sering disebut nonjoint-teknologi (Shumway,

1983). Dalam keadaan nonjoint-teknologi maka terdapat fungsi produksi individu
(Lau, 1972 dan 1978). Pada teknologi yang demikian maka perubahan harga output
komoditas j tidak berpengaruh terhadap hasil per hektar komoditas i. Sehingga pada
tingkat harga komoditas i sebesar OP,, kenaikan harga komoditas j menyebabkan
output komoditas i menurun dari OQ, menjadi OQ,, dan seterusnya kurva
penawaran outputnya bergeser dari S, menjadi S,.

Pengaruh Infrastruktur I'erhadap Penawaran
Infrastruktur mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perkembangan
ekonomi, terutama di negara yang sedang berkembang. Pada awal Pelita I, pembanguan jaringan irigasi ban yak berperan dalam meningkatkan produksi pertanian,
khususnya beras. Sementara itu menurut Queiroz dan Gautam (1992) jalan untuk

Gambar 2. Pengaruh Infrastruktur Terhadap Penawaran Output

transort merupakan sektor yang penting dala~naktivitas ekonomi. Karena memberikan kemudahan dalam pemasaran hasil pertanian, input pertanian dan penyuluhan.
Pengaruh infrastruktur terhadap penawaran dapat melalui dua cara, yaitu
melalui perubahan luas areal dan melalui perubahan hasil per hektar. Dalam penelitian ini yang dimaksudkan sebagai infrastruktur adalah pengeluaran investasi irigasi,
panjang jalan dan pengeluaran untuk riset tanaman pangan.
Infrastruktur Irigasi. Jika terdapat pembangunan atau rehabilitasi jaringan

irigasi, maka keadaan irigasi di daerah bersangkutan akan menjadi lebih baik.
Perbaikan irigasi akan rnenyebabkan luas areal tanaman meningkat atau menurun
tergantung dari jenis tanamanxiya. Untuk tanaman seperti padi, perbaikan irigasi
akan menyebabkan luas arealnya meningkat. Peningkatan luas areal dapat disebabkan
karena menggantikan tanaman yang lain atau karena intensitas tanam yang meningkat. Sedangkan untuk tanaman palawija, perbaikan irigasi dapat menyebabkan luas
arealnya menurun, karena digantikan oleh tanaman padi. Di samping itu, perbaikan
irigasi juga dapat menyebabkan hasil per hektar tanaman padi dan palawija meningkat. Peningkatan hasil per hektar disebabkan oleh resiko menurunnya produksi
karena berkurangnya curah hujan menjadi lebih kecil.
Infrastruktur Jalan. Perbaikan jalan akan menyebabkan transportasi menja-

di lebih lancar. Dengan transportasi yang lancar menyebabkan biaya transport menjadi lebih murah, sehingga harga output yang diterima petani menjadi lebih tinggi
dan harga input yang dibayarkan petani menjadi lebih rendah. Peningkatan harga
output yang disebabkan oleh menurunnya biaya pemasaran dapat lebih dirasakan
oleh petani yang mengliasilkan output dengan harga per satuan berat yang retidah
seperti ubikayu, ubijalar dan jagung. Sehingga adanya jalan tersebut dapat menyebabkan tanaman seperti ubikayu, ubijalar dan jagung menjadi lebih dapat bersaing

dengan tanaman lainnya. Keadaan ini dapat menyebabkan luas areal tanaman bersangkutan meningkat.
Meningkatnya harga output dan menurunnya harga input menyebabkan rasio
harga input-output menurun. Dengan anggapan petani ingin mencapai keuntungan
yalig maksimum, menurunnya rasio harga input output akan mendorong petani
meningkatkan hasil per hektar. Disamping itu dengan transportasi yang lancar juga
menyebabkan kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh PPL menjadi lebih efektif.
Hal ini juga ikut mendorong petani untuk dapat meningkatkan produksinya.
Pengeluaran Riset. Dengan pengeluaran riset yang makin tinggi maka riset

yang dilakukan menjadi lebih intensif, sehingga peluang untuk menemukan dan
mengetrapkan teknologi baru menjadi lebih tinggi. Adariya peningkatan teknologi
akan menyebabkan hasil per hektar meningkat dengan biaya yang tetap atau biaya
per hektar menurun dengan hasil yang tetap. Di samping dapat meningkatkan hasil
per hektar maka teknologi yang digunakan juga dapat menyebabkan perubahan
alokasi penggunaan lahan untuk berbagai tanaman. Seperti telah diketahui bahwa
peningkatan teknologi antara tanaman yang satu dengan lainnya berbeda. Tanaman
yang dapat mengetrapkan teknologi yang lebih tinggi aka11memberikan hasil perliektar yang iebih tinggi pula. Akibatnya, pendapatan dari tanaman dengan teknologi
yang lebih tinggi menjadi lebih besar dari tanaman dengan teknologi yang relatif
tetap. Selama keadaan lahannya memungkinkan, ha1 tersebut akan mendorong
petani beralih dari tanaman yang teknologinya rendah ke tanaman yang teknologinya
tinggi.
Pengaruh perubahan infrastruktur terhadap penawaran output dapat dijelaskan
dengan Gambar 2. Jika infrastruktur meningkat maka akan menyebabkan luas
tanaman i meningkat.

Perubahan luas areal dapat dinyatakan dengan pergeseran

kurva AP ke kiri atau ke kanan, tergantung dari jenis tanamannya.

Untuk tanaman

padi, peningkatan infrastruktur akan menyebabkan luas areal padi meningkat, yang
dapat digambarkan dengan pergeseran kurva AP dari AP, menjadi AP,. Pada tingkat harga yang tetap, Po, maka peningkatan infrastruktur menyebabkan luas areal
tanaman padi meningkat dari OA, menjadi OA,. Di samping itu peningkatan infrastruktur juga menyebabkan produktivitasnya meningkat, yang dapat dinyatakan
dengan pergeseran kurva AQ dari AQ, menjadi AQ,.

Pada tingkat harga yang tetap,

Po, maka perubahan keadaan irigasi ini dapat meningkatkan output dari OQ, menjadi
OQ,. Sehingga dengan peningkatan infrastruktur akan menyebabkan kurva penawaran output bergeser dari S, menjadi S,.
Sedangkan untuk tanaman seperti ubikayu, kenaikan infrastruktur akan
menyebabkan luas areal ubikayu menurun (digantikan dengan tanaman padi), yang
dapat digambarkan dengan pergeseran kurva AP ke kanan, yaitu dari AP, ke AP,.
Pada tingkat harga yang tetap, Po, maka perubahan infrastruktur menyebabkan luas
arealnya turun dari A, menjadi A,. Seperti halnya tanaman padi , kenaikan infrastruktur akan menyebabkan produktivitas meningkat. Sehingga pada tingkat harga
yang tetap, Po, maka perubahan infrastruktur akan tnenycbabkan output meningkat
atau menurun tergantung dari besar kecilnya penurunan luas areal dan besar kecilnya
kenaikan h a i l perhektar. Jika pengaruh penurunan luas areal lebih tinggi dari
pengaruh kenaikan hasil per hektar maka perubahan infrastruktur akan menyebabkan
output berubah dari Q, menjadi Q,. Dan selanjutnya kenaikan infrastruktur akan
menyebabkan kurva penawaran bergeser dari So menjadi S,

Respons Areal
Nerlove (1956) menunjukkan bahwa banyak dugaan elastisitas respon areal
terhadap harga yang sangat rendah. Rendahnya elastisitas tersebut disebabkan petani

tidak memberikan respons terhadap harga pada tahun yang bersamaan, tetapi lebih
respons terhadap harga yang diharapkan. Secara praktis, harga yang diharapkan
merupakan harga satu tahun sebelumnya (lag satu tahun). Banyak penulis yang
menggunakan harga satu tahun sebelumnya untuk mengetahui respon areal seperti
Tomek (1972), Houck dan Ryan (1972), Lee dan Helberger (1985). Oleh karena itu
dalain penelitian ini untuk menduga respons areal juga digunakan data harga satu
tahun sebelumnya.
Dari uraian di atas maka pengaruh beberapa faktor terhadap luas areal secara
matematika dapat dinyatakan sebagai berikut:

di mana, Ai adalah luas areal untuk tanaman i pada tahun t, p,, adalah harga output
tanaman i pada tahun t- 1 untuk i = 1 , . . n. z,, adalali faktor tetap k pada tahun t.
Jika luas areal seluruh tanaman pangan selama setahun seluas A maka :

sehingga pangsa areal tanaman ke i terhadap seluruh areal tanaman pangan adalali :

Dengan demikian maka faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan Ai juga
akan berpengaruh terhadap perubahan pangsa areal komoditi i, wi, sehingga :

di mana

bWi
> 0 atau < 0

bZ

Untuk menentukan sampai sej