Pengaruh harga dan infrastruktur terhadap penawaran output, permintaan input, dan daya saing usahatani jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat

(1)

DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

DI JAWA TIMUR DAN JAWA BARAT

Oleh :

ADANG AGUSTIAN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul “PENGARUH HARGA DAN INFRASTRUK-TUR TERHADAP PENAWARAN OUTPUT, PERMINTAAN INPUT DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG DI JAWA TIMUR DAN JAWA BARAT ” merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2012

ADANG AGUSTIAN NRP. H363080131


(3)

Input Demand and Competitiveness of Corn Farming in East Java and West Java (Sri Hartoyo as a Chairman, Kuntjoro and Made Oka Adnyana as Members of the Advisory Committee).

This study aims to determine the elasticity of output supply and input demand; to determine the effect of changes in prices (output and input), research and development expenditures, and road infrastructure on output supply and input demand of corn; and to determine the competitiveness of corn in East Java and West Java. The data analyzed are those of costs structure of corn farming in the Province of East Java and West Java during 1985-2009. The data are taken from: Central Bureau Statistics, Ministry of Agriculture, Service Agencies for Food Crops in West Java and East Java. Estimation model employed is the method of Seemingly Unrelated Regression.

Key words: input demand, output supply, competitiveness, corn

The results of the analyses show that: (1) output supply of corn in both Province of East Java and West Java are elastic to its price changes, however it is inelastic to the price changes of seed, urea, TSP and labor, (2) demand for all inputs is inelastic to its price changes, and elastic to changes in output prices in East Java and West Java, (3) corn research expenditures have positive influences to the supply of corn in East Java and West Java, which are inelastic, and the same effects also occur to infrastructure which are positive and significant to corn supply and elastic in nature, (4) there is a phenomenon that if an increase in corn price will raise the amount of corn supply in the two provinces, and rising fertilizer prices that causes a decrease in demand for seed, fertilizer and labor, (5) bias of technological change is neutral, and (6) corn farming in East Java and West Java have comparative and competitive advantages, which are indicated by the DRC and PCR values that are less than one. Policy implications of these research are that raising corn supply can be achieved through increasing its price, expenditures of corn research, and road infrastructure in the two provinces of the study. Stability and increase the price of corn can be carried out by the provincial government willingness and commitment to buy and absorb the excess production of corn during the harvest time. Meanwhile the policy to increase competitiveness of corn can be achieved through omiting or reducing market distortion of input and output, increasing effectiveness of applied research program on farming technology innovation, providing facilities to increase accesibility of farmers especially at the production center to input and output market, facilitating capital credit for small scale corn farming, and increasing farmers income through post harvest handling and processing to develop added value of corn.


(4)

ADANG AGUSTIAN. Pengaruh Harga dan Infrastruktur terhadap Penawaran Output, Permintaan Input, dan Daya Saing Usahatani Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat (SRI HARTOYO sebagai Ketua, KUNTJORO dan MADE OKA ADNYANA sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Produksi jagung nasional menunjukan peningkatan dalam periode sepuluh tahun terakhir, namun demikian impor jagung juga masih mengalami peningkatan. Hal ini berarti bahwa peningkatan produksi jagung nasional masih belum mampu mengimbangi peningkatan kebutuhannya. Upaya peningkatkan produksi jagung saat ini dilakukan melalui peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, subsidi input terutama pupuk, pemberdayaan kelembagaan pertanian dan dukungan infrastruktur seperti: pasar, infrastruktur jalan, riset dan pengembangan dan permodalan. Untuk meningkatkan produktivitas jagung, dilakukan penyebarluasan benih unggul dan peningkatan teknologi budidaya, dan riset pengembangan usahatani jagung. Permasalahannya adalah sejauhmana kebijakan harga dan pengembangan tersebut berpengaruh terhadap penawaran jagung dan permintaan input usahatani jagung.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan elastisitas permintaan input dan penawaran output komoditas jagung, menentukan pengaruh perubahan harga output dan input, perubahan pengeluaran riset dan pengembangan jagung, perubahan infrastruktur jalan terhadap penawaran dan permintaan input jagung, dan menentukan daya saing jagung di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat.

Untuk mencapai tujuan diatas, digunakan data struktur ongkos usahatani jagung di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat tahun 1985-2009, dengan sumber data: BPS, Pusdatin-Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. Peubah tidak tetap dari data struktur ongkos usahatani yang dianalisis adalah benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja. Sementara peubah tetap utama yang dianalisis adalah pengeluaran riset dan pengembangan jagung dengan sumber data dari Badan Litbang Pertanian- Kementerian Pertanian, infrastruktur jalan dari BPS. Peubah tetap lainnya adalah biaya lain (sumberdata dari Struktur Ongkos Usahatani) dan luas panen jagung (sumber data BPS).

Pada analisis digunakan model fungsi keuntungan trancendental logaritma (translog) yang dinormalisasi oleh harga output (jagung). Untuk menduga fungsi keuntungan translog dan pangsa biaya peubah tidak tetap (benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja) digunakan metoda SUR (Seemingly Unrelated Regresssion).

Berdasarkan hasil analisis model fungsi keuntungan, telah memenuhi syarat asumsi keuntungan maksimum, yaitu: homogen, simetris, monotonik dan konvex. Selanjutnya hasil analisis fungsi keuntungan dan fungsi biaya variabel menunjukan bahwa jumlah jagung yang ditawarkan baik di Jawa Timur maupun di Jawa Barat elastis terhadap perubahan harga sendiri, sedangkan terhadap perubahan harga benih, urea, TSP dan tenaga kerja adalah inelastis. Sementara itu, permintaan input benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja bersifat inelastis terhadap perubahan harga sendiri di kedua provinsi. Oleh karena itu, kebijakan


(5)

Pengeluaran riset jagung berpengaruh positif terhadap penawaran jagung baik di Jawa Timur maupun di Jawa Barat, dengan nilai elastisitas yang inelastis (masing-masing 0.9880 dan 0.9884). Sementara untuk infrastruktur jalan juga berpengaruh positif dan nyata terhadap penawaran jagung di kedua provinsi, dan elastisitas infrastruktur jalan di kedua provinsi tersebut bersifat elastis (masing-masing elastisitasnya 1.3025 dan 1.3022). Berdasarkan hasil analisis ini, elastisitas penawaran terhadap pengeluaran riset hampir elastis, sehingga peningkatan anggaran riset dan pengembangan akan berpotensi dalam peningkatan penawaran jagung. Sementara nilai elastisitas penawaran terhadap infrastruktur jalan tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur jalan memiliki pengaruh besar terhadap peningkatan penawaran jagung.

Hasil analisis atas bias perubahan teknologi yang terjadi pada usahatani jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat adalah netral. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan teknologi yang terjadi pada usahatani jagung akan menyebabkan peningkatan input (benih, pupuk dan tenaga kerja) dengan proporsi yang sama.

Berdasarkan nilai DRCR (Domestic Resources Cost Ratio) yang diperoleh, usahatani jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat memiliki keunggulan komparatif. Hal ini berarti bahwa untuk memproduksi jagung di kedua provinsi membutuhkan biaya sumberdaya domestik yang lebih kecil dari biaya impor. Hasil analisis nilai PCR (Private Cost Ratio) juga menunjukan bahwa usahatani jagung memiliki keunggulan kompetitif. Berdasarkan nilai DRCR dan PCR tersebut menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan komoditas jagung dapat diproduksi sendiri di kedua provinsi.

Hasil analisis kebijakan menunjukan bahwa: (1) kebijakan peningkatan harga jagung menyebabkan jumlah jagung yang ditawarkan meningkat signifikan, meningkatnya permintaan input (benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja), meningkatnya keuntungan privat usahatani dan sosial usahatani jagung, serta meningkatnya keunggulan komparatif dan kompetitif di Jawa Timur dan Jawa Barat, (2) kebijakan penurunan harga jagung menyebabkan jumlah jagung yang ditawarkan menurun signifikan di kedua provinsi, menurunnya permintaan input (benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja), menurunnya keuntungan privat usahatani dan sosial usahatani jagung, serta menurunnya keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung, (3) kebijakan peningkatan harga pupuk dan harga benih masing-masing akan menyebabkan menurunnya penawaran jagung, menurunnya permintaan input pupuk dan benih, menurunnya keuntungan privat dan sosial serta menurunnya keunggulan komparatif dan kompetitif di kedua provinsi, dan (4) kebijakan peningkatan pengeluaran riset dan pengembangan jagung serta infrastruktur jalan menyebabkan penawaran jagung meningkat, meningkatnya permintaan input (benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja), meningkatnya keuntungan privat dan sosial, serta meningkatnya keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung di kedua provinsi.

Implikasi dari penelitian adalah bahwa upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan penawaran jagung adalah dengan meningkatkan harga jagung,


(6)

meliputi kebijakan peningkatan harga jagung, peningkatan pengeluaran riset dan pengembangan jagung serta peningkatan infrastruktur jalan. Peningkatan harga jagung ditingkat petani dapat dilakukan melalui: (1) lebih memperbaiki kualitas hasil melalui penerapan teknologi panen dan pasca panen (post harvest), dan (2) mendorong pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dengan kelembagaan pemasaran yang ada untuk membeli jagung petani disaat produksi jagung meningkat selama musim panen.

Untuk lebih mendorong peningkatan produksi jagung, masih diperlukan kebijakan subsidi yang tepat bagi petani mengingat kondisi petani jagung umumnya adalah petani kecil berlahan sempit dan memiliki keterbatasan modal usahatani. Subsidi yang dimaksud utamanya berupa subsidi harga atas output dan subsidi bunga modal berupa kredit usahatani dengan bunga rendah dan mekanisme yang mudah bagi petani jagung.

Kebijakan-kebijakan operasional lainnya dalam rangka meningkatkan daya saing jagung, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Barat, yaitu: (1) menghilangkan atau mengurangi distorsi pasar baik pada pasar input maupun pada pasar output, (2) mengefektifkan program-program penelitian yang bersifat terapan untuk menghasilkan inovasi teknologi usahatani jagung, (3) menyediakan sarana dan prasarana, serta fasilitasi kredit permodalan usahatani jagung, dan (4) mendorong penciptaan nilai tambah ditingkat petani agar tidak hanya menjual jagung sebagai bahan baku industri semata, namun dapat menjual jagung dalam bentuk olahan.


(7)

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(8)

DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

DI JAWA TIMUR DAN JAWA BARAT

Oleh :

ADANG AGUSTIAN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Nama Mahasiswa : Adang Agustian Nomor Pokok : H363080131

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

Prof. Dr. Ir. Kuntjoro Prof (Riset). Dr. Ir. Made Oka A., MSc Anggota Anggota

Mengetahui,

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana, IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


(10)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS

Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

2. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Heny K. Daryanto, MEc

Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

2. Prof (Riset) Dr. Ir. I. Wayan Rusastra, MS

Ahli Peneliti Utama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.


(11)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS

Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

2. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Heny K. Daryanto, MEc

Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

2. Prof (Riset) Dr. Ir. I. Wayan Rusastra, MS

Ahli Peneliti Utama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.


(12)

melimpahkan kasih sayang dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan disertasi yang berjudul: “Pengaruh Harga dan Infrastruktur terhadap Penawaran Output, Permintaan Input dan Daya Saing Usahatani Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat”, termotivasi untuk menganalisis kondisi saat ini bagaimana pengaruh harga dan infrastruktur terhadap penawaran output, permintaan input dan daya saing usahatani jagung. Mengingat kebutuhan jagung nasional begitu besar saat ini, sementara produksi jagung nasional masih belum sepenuhnya mencukupi sehingga masih melakukan impor dalam pemenuhan kebutuhan tersebut.

Terselesaikannya seluruh proses pendidikan doktor ini, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Pada kesempatan ini, ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu meluangkan waktu ditengah kesibukan beliau yang padat untuk memberikan arahan, masukan dan bimbingan dalam penyusunan disertasi ini.

2. Prof. Dr. Ir Kuntjoro sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selalu menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan penulis dan membuka wawasan penulis untuk memperdalam kajian disertasi, disela-sela kesibukan beliau yang padat.

3. Prof (Riset). Dr. Ir. Made Oka Adnyana, M.Sc sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan dan masukannya


(13)

4. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS dan Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS atas perkenan selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, dan telah memberikan banyak masukan, pertanyaan dan saran perbaikan yang diberikan pada penulis.

5. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala bimbingan dan dorongan beliau selama ini, sehingga penulis terus bekerja keras untuk menyelesaikan disertasi dengan cepat dan tepat.

6. Dr. Muhammad Firdaus, SP, MS selaku Pimpinan Sidang pada Ujian Tertutup atas pertanyaan, masukan dan saran perbaikan yang diberikan pada penulis.

7. Dr. Ir. Heny K. Daryanto, MEc dan Prof. (Riset). Dr. Ir. I. Wayan Rusastra, MS atas perkenan selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, dan telah memberikan banyak masukan, pertanyaan dan saran perbaikan yang diberikan pada penulis.

8. Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc selaku Pimpinan Sidang pada Ujian Terbuka atas pertanyaan, masukan dan saran perbaikan yang diberikan pada penulis. 9. Segenap dosen Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala ilmu yang

disampaikan selama kuliah yang menjadi bekal berharga bagi penulis dalam menyusun disertasi ini.

10. Kepala Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian dan Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian, atas kesempatan dan dukungan beasiswa tugas belajar pendidikan Program Doktor di IPB ini.


(14)

kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor di IPB. 12. Seluruh anggota keluarga saya, khususnya istri tercinta Nurul Khasanah dan

kedua anakku Muhammad Ikrar Nur Fikri dan Annisa Nur Aqilah terima kasih atas pengertian mendalam, do’a dan dorongan moril serta semangat selama studi. Begitu pula diucapkan terima kasih atas doa dan dorongan moril kepada kedua orang tuaku, bapak dan ibu (alm) mertuaku dan saudara-saudaraku.

13. Rekan-rekan penulis di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian terutama angkatan 2008 yang selalu aktif berdiskusi.

Tidak ada gading yang tak retak, untuk itu saya sangat terbuka mendapat masukan konstruktif demi perbaikan disertasi ini. Amin.

Bogor, Februari 2012


(15)

Penulis dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 2 September 1967 dari pasangan Bapak U.Supriatna dan Ibu Imiyati. Penulis beristrikan Nurul Khasanah dan dikarunia dua orang anak yang bernama Muhammad Ikrar Nur Fikri dan Annisa Nur Aqilah.

Pendidikan penulis sejak dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas diselesaikan di Kecamatan Situraja, Kabupaten Sumedang, yaitu masing-masing di SDN Sukasari, SMPN 1 Situraja, dan SMAN Situraja-Sumedang. Pada tahun 1987 penulis melanjutkan studi di Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor (IPB) Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian dan lulus pada tahun 1992. Sejak tahun 1992 penulis bekerja sebagai Peneliti (Pegawai Negeri Sipil) pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian sampai sekarang. Saat ini jabatan fungsional peneliti penulis adalah sebagai Peneliti Madya bidang Ekonomi Pertanian.

Penulis mendapat kesempatan tugas belajar pendidikan Pascasarjana (S2) Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM)- Yogyakarta pada tahun 1999 dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, dan lulus pada tahun 2001.

Pada tahun 2008 penulis kembali mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Program Doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... .. xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... .. xx

I . PENDAHULUAN ... .. 1

1.1 Latar Belakang ... .. 1

1.2. Perumusan Masalah ... .. 11

1.3. Tujuan ... .. 15

1.4. Kegunaan Penelitian ... .. 15

1.5. Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian... .. 16

II. TINJAUAN PUSTAKA ... .. 17

2.1. Kebijakan Pengembangan, Kebutuhan dan Impor Jagung ... .. 17

2.1.1. Kebijakan Pengembangan Jagung ... .. 17

2.1.2. Kebutuhan dan Impor Jagung ... .. 23

2.2. Model Fungsi Keuntungan, Permintaan Input, Penawaran Output, dan Daya Saing Komoditas Pertanian ... .. 25

2.2.1. Model Fungsi Keuntungan, Penawaran Output, dan Permintaan Input ... .. 25

2.2.2. Daya Saing Komoditas Pertanian ... .. 28

2.3. Tinjauan Beberapa Studi Sebelumnya ... .. 30

2.3.1. Studi Penawaran Output dan Permintaan Input ... .. 30

2.3.2. Studi Daya Saing Usahatani Jagung ... .. 34

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... . 37

3.1. Fungsi Produksi dan Keuntungan... . 37

3.2. Penawaran Output dan Permintaan Input ... . 39

3.3. Fungsi Keuntungan Trancendent Logaritma ... . 40

3.4. Elastisitas Permintaan Input ... . 45

3.5. Elastisitas Penawaran Output ... . 47


(17)

3.7. Pengaruh Perubahan Harga Output dan Input terhadap

Penawaran (Produksi) ... 49

3.7.1. Pengaruh Perubahan Harga Output ... 49

3.7.2. Pengaruh Perubahan Harga Input ... 50

3.8. Pengaruh Pengeluaran Riset dan Infrastruktur Jalan terhadap Produksi Jagung ... 52

3.9. Daya Saing Komoditas Jagung ... 53

3.10.Hipotesis ... 56

IV. METODE PENELITIAN ... 59

4.1. Data dan Sumber Data ... 59

4.2. Metode Analisis ... 63

4.2.1. Metode Menganalisis Fungsi Keuntungan Translog ... 63

4.2.2. Fungsi Permintaan Input dan Penawaran Output: Elastisitas Permintaan dan Penawaran ... 66

4.2.3. Bias Perubahan Teknologi ... 67

4.2.4. Analisis Kebijakan Perubahan Harga, Pengeluaran Riset Jagung dan Infrastruktur Jalan ... 67

4.2.5. Analisis Daya Saing Usahatani Jagung ... 69

4.2.6. Analisis Sensitivitas: Perubahan Harga, Pengeluaran Riset, dan Infrastruktur Jalan terhadap Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ... 79

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRA- STRUKTUR PENUNJANG PENGEMBANGAN JAGUNG ... 81

5.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat ... 81

5.1.1. Jawa Timur ... 81

5.1.2. Jawa Barat ... 83

5.2. Penggunaan Input Pada Usahatani Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat ... 86

5.2.1.Jawa Timur ... 86

5.2.2.Jawa Barat ... 89

5.3. Harga Jagung dan Harga Input di Jawa Timur dan Jawa Barat ... 93


(18)

5.3.2. Jawa Barat ... 95

5.4. Rasio Harga Input Terhadap Harga Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat……… 98

5.4.1. Jawa Timur ... 98

5.4.2. Jawa Barat ... 99

5.5. Keuntungan Usahatani Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat ... 102

5.5.1. Jawa Timur ... 102

5.5.2. Jawa Barat ... 103

5.6 Infrastruktur Pengembangan Komoditas Jagung : Penge- luaran Riset dan Pengembangan Jagung serta Infrastruktur Jalan ... 104

5.6.1 Pengeluaran Riset dan Pengembangan Jagung ... 104

5.6.2. Infrastruktur Jalan ... 107

VI. HASIL PENDUGAAN FUNGSI KEUNTUNGAN, ELASTISITAS PENAWARAN OUTPUT DAN PERMINTAAN INPUT ... 111

6.1. Pendugaan Fungsi Keuntungan Translog ... 111

6.1.1. Pengujian Statisitika dan Persyaratan Produksi... 111

6.1.2. Analisis Fungsi Keuntungan Translog ... 113

6.2. Elastisitas Penawaran Output dan Permintaan Input terhadap Harga Output dan Harga Input ... 117

6.2.1. Elastisitas Penawaran Output ... 117

6.2.2. Elastisitas Permintaan Input ... 122

6.3. Elastisitas Penawaran Output dan Permintaan Input terhadap Pengeluaran Riset dan Pengembangan Jagung serta Infrastruktur Jalan ... 127

6.3.1. Elastisitas Penawaran Output ... 127

6.3.2. Elastisitas Permintaan Input ... 130

6.4. Bias Perubahan Teknologi ... 131

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG ... 135

7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial... 135


(19)

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN

INFRASTRUKTUR JALAN ... 145

8.1. Pengaruh Perubahan Harga Output dan Harga Input terhadap Penawaran Output dan Permintaan Input ... 145

8.1.1. Pengaruh Perubahan Harga Output ... 145

8.1.2. Pengaruh Perubahan Harga Input dan Output ... 148

8.1.3. Pengaruh Perubahan Pengeluaran Riset Jagung dan Pengembangan serta Infrastruktur Jalan ... 150

8.2. Analisis Sensitivitas Usahatani Jagung ... 152

IX. KESIMPULAN DAN SARAN ... 165

9.1. Kesimpulan ... 165

9.2. Saran Kebijakan ... 167

9.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 170

DAFTAR PUSTAKA ... 171


(20)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Alokasi Biaya Usahatani Jagung Berdasarkan Komponen Domestik

dan Tradabel……… 73 2. Penggunaan Input Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun

1985-2009 ... 89 3. Penggunaan Input Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Barat, Tahun

1985-2009 ... 92 4. Rata-rata Harga Jagung dan Input Usahatani Jagung di Provinsi

Jawa Timur, Tahun 1985-2009 ... 94 5. Rata-rata Harga Jagung dan Input Benih Pada Usahatani Jagung

di Provinsi Jawa Barat, Tahun 1985-2009... 97 6. Rasio Harga Input Terhadap Harga Jagung di Provinsi Jawa Timur,

Tahun 1985-2009 ... 100 7. Rasio Harga Input Terhadap Harga Jagung di Provinsi Jawa Barat,

Tahun 1985-2009 ... 101 8. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan Usahatani Jagung di Provinsi

Jawa Timur, Tahun 1985-2009 ... 103 9. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan Usahatani Jagung di Provinsi

Jawa Timur, Tahun 1985-2009 ... 105 10. Perkembangan Pengeluaran Riset Jagung di Indonesia, Tahun 1985-

2009 ... 106 11. Perkembangan Total Panjang Jalan di Provinsi Jawa Timur dan

Jawa Barat, Tahun 1985-2009 ... 110 12. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Keuntungan Translog di

Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, Tahun 1985-2009 ... 116 13. Dugaan Elastisitas Penawaran Output dan Permintaan Input

Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun 2009 ... 118 14. Dugaan Elastisitas Penawaran Output dan Permintaan Input


(21)

15. Bias Perubahan Teknologi Jagung dengan Indikator Pengeluaran Riset Jagung di Provinsi Jawa Timur (Jatim) dan Jawa Barat (Jabar),

Tahun 1985-2009 ... 132 16. Hasil Analisis Penerimaan, Biaya Input dan Profitabilitas Privat

dan Sosial di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, Tahun 2009 .. 137 17. Hasil Perhitungan Private Cost Ratio dan Domestic Resource

Cost Ratio Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Timur dan Jawa

Barat, Tahun 2009 ... 141

18. Pengaruh Perubahan Berbagai Faktor terhadap Penawaran dan

Permintaan Input jagung di Provinsi Jawa Timur, 2009 ... 146

19. Pengaruh Perubahan Berbagai Faktor terhadap Penawaran dan

Permintaan Input jagung di Provinsi Jawa Barat, 2009 ... 147

20. Analisis Sensitivitas Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Timur,

Tahun 2009 ... 155 21. Analisis Sensitivitas Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Barat,


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Perkembangan Produksi dan Impor Jagung Nasional, Tahun

2000-2009 ... 181 2. Jumlah pabrik Pakan Berdasarkan Sebaran Lokasinya di Indonesia,

Tahun 2007 ... 181 3. Perkembangan Luas panen, Produksi dan Produktivitas Jagung

di Indonesia, Tahun 1985-2009 ... 182

4. Sebaran Produksi Di Sentra Dominan Jagung di Indonesia, Tahun

2000-2009 ... 183 5. Perkembangan Luas panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di

Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, Tahun 1985-2009 ... 184 6. Koefisien Fungsi Share Biaya Variabel terhadap Keuntungan

Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat,

Tahun 1985-2009 ... 185 7. Nilai Dugaan Pangsa Biaya Variabel Usahatani Jagung di

Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, Tahun 1985-2009……….. 186 8. Program Komputer Estimasi Model Fungsi Keuntungan Translog

dan Pangsa Biaya Variabel di Jawa Timur dan Jawa Barat dengan

Metode Seemingly Unrelated Regression... 188 9. Hasil Estimasi Fungsi Keuntungan Translog dan Pangsa Biaya

Variabel di Jawa Timur dan Jawa Barat dengan Metode

Seemingly Unrelated Regression ... 191 10. Persentase Biaya Produksi Masing-Masing Input Usahatani

Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun 1985-2009 ... 197 11. Persentase Biaya Produksi Masing-Masing Input Usahatani


(23)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan sebagai sumber karbohidrat kedua setelah beras yang sangat berperan dalam menunjang ketahanan pangan, dan kecukupan pasokan pakan ternak. Posisi jagung dalam diversifikasi konsumsi pangan berfungsi dalam mengurangi ketergantungan terhadap makanan pokok beras. Jagung juga sangat berperan dalam industri pakan dan industri pangan yang memerlukan pasokan terbesar dibanding untuk konsumsi langsung. Kebutuhan jagung untuk industri setiap tahun terus meningkat secara signifikan (Zubachtirodin, et.al., 2007).

Kebutuhan jagung nasional selama periode 2000-2009 mengalami peningkatan sebesar 3.40 persen per tahun (BPS dan FAO, 2009; Zubachtirodin,

et.al., 2007; dan Badan Litbang Pertanian, 2005). Pada tahun 2000, total

kebutuhan jagung mencapai 10.72 juta ton, kemudian meningkat menjadi 12.15 juta ton pada tahun 2006, dan menjadi 15.12 juta ton pada tahun 2009 (Lampiran 1). Adapun proporsi penggunaan jagung dari total kebutuhan tahun 2009, meliputi: 54 persen untuk bahan baku pakan, 20 persen sebagai bahan baku industri makanan dan 26 persen sebagai bahan konsumsi (pangan) langsung masyarakat.

Menurut Tangenjaya, et.al. (2003), pada industri pakan, jagung merupakan bahan baku pakan terpenting dari sekitar 30 jenis bahan baku yang digunakan. Proporsi jagung dalam pakan rata-rata mencapai 51 persen terutama untuk pakan ayam broiler dan petelur. Penggunaan jagung yang relatif tinggi ini disebabkan


(24)

oleh harganya yang relatif murah, mengandung kalori yang tinggi, mempunyai protein dengan kandungan asam amino yang lengkap, mudah diproduksi, dan digemari oleh ternak.

Menurut data GPMT (Datacon, 2008 dan Destiana, 2010) di Indonesia terdapat 42 pabrik pakan ternak yang masih aktif sampai tahun 2008. Sebelumnya terdapat 50 pabrik, namun 8 pabrik diantaranya sudah menghentikan operasionalnya karena terkena imbas isu flu burung pada usaha peternakan tahun 2005 dan 2007. Sampai saat ini, industri pakan ternak nasional masih didominasi oleh perusahaan asing seperti Charoen Pokphand, Japfa Comfeed, Sierad Produce, CJ Feed, Gold Coin, dan Sentra Profeed. Pada periode 2002-2006 kapasitas produksi industri pakan ternak nasional meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 2.5 persen per tahun. Pada tahun 2007, produksi riil pakan ternak yang dihasilkan oleh 50 pabrik mencapai 7.70 juta ton, sedangkan kapasitas produksi pakan sebesar 11.0 juta ton (Lampiran 2).

Saat ini industri pakan ternak berskala besar tersebar di delapan provinsi. Di Provinsi Sumatera Utara terdapat 8 pabrik, di Lampung terdapat 4 pabrik, di Banten terdapat 10 pabrik, di DKI Jakarta terdapat 4 pabrik, di Jawa Barat terdapat 4 pabrik, di Jawa tengah terdapat 3 pabrik, di Sulawesi Selatan terdapat 2 pabrik, dan di Jawa Timur terdapat 15 pabrik. Pada tahun 2008, telah berdiri lagi pabrik pakan di Sumatera Barat dan di Kalimantan Selatan (Ditjen Peternakan, 2009).

Ketersediaan pasokan jagung akan sangat mempengaruhi industri peternakan secara luas. Bila pasokan bahan baku jagung mengalami kelangkaan akan berakibat pada stagnasi ketersediaan bahan baku bagi industri pakan ternak


(25)

maupun industri pangan. Sebaliknya dengan adanya kecukupan bahan baku jagung akan mendorong kelancaran ketersediaan pakan ternak. Khusus untuk sub sektor peternakan misalnya, jagung sebagai bahan baku pakan ternak sangat berpengaruh terhadap kinerja pembangunan peternakan dan penyediaan protein hewani yang sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Sementara itu, perkembangan produksi jagung nasional pada periode 1985-1998 mengalami peningkatan sebesar 4.99 persen per tahun. Sementara peningkatan luas panen dan produktivitasnya masing-masing sebesar 2.27 persen dan 2.72 persen per tahun. Pada periode selanjutnya yaitu 1998-2009, peningkatan produksi jagung nasional lebih tinggi lagi yaitu sebesar 5.45 persen per tahun, meskipun peningkatan luas panen jagung relatif rendah yaitu sebesar 1.1 persen per tahun, dan hal ini disebabkan oleh peningkatan produktivitas jagung yang cukup tinggi yaitu sebesar 4.34 persen per tahun (BPS, 2010). Dengan demikian laju peningkatan produksi jagung nasional periode 1998-2009 lebih dominan terdorong oleh peningkatan produktivitas melalui teknologi modern dalam budidaya jagung. Pada tahun 2009, luas panen jagung nasional mencapai 4.16 juta hektar dengan tingkat produksi dan produktivitasnya sebesar 17.63 juta ton dan 4.24 ton/ha (BPS, 2010).

Secara umum pada kurun waktu 2000-2006, bila disandingkan data produksi dan total kebutuhan jagung nasional maka dapat diketahui bahwa produksi jagung nasional selalu dibawah total kebutuhan jagung nasional (Lampiran 1). Masih rendahnya produksi jagung nasional, sementara kebutuhannya meningkat pesat menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam


(26)

pemenuhan kebutuhan jagung. Oleh karena itu, untuk mencukupi berbagai kebutuhan (untuk makanan atau konsumsi langsung, bahan baku industri olahan dan terutama bahan baku pakan ternak) telah dilakukan impor jagung pada kurun waktu tersebut dengan kisaran antara 226 ribu – 1.8 juta ton (FAO, 2009). Pada tahun 2007, produksi jagung nasional sebesar 13.3 juta ton dan mulai berada diatas total kebutuhan jagung nasional yang mencapai 12.5 juta ton. Kondisi ini juga terjadi pada tahun 2008 dan 2009. Namun demikian, impor jagung tetap dilakukan yaitu sebesar 795 ribu ton pada tahun 2007 dan 300 ribu ton pada tahun 2009. Bahkan pada tahun 2010 (data GPMT, Desember 2010), impor jagung mencapai 1.5 juta ton (Kontan Online, 2010). Selanjutnya, realisasi impor jagung hingga Agustus 2011 menembus 2.2 juta ton dan sampai akhir tahun diperkirakan mencapai 2.5 juta ton (Kompas, 2011). Menurut GPMT bahwa peningkatan volume impor jagung akibat sulitnya mencari jagung petani dalam negeri.

Mengingat pentingnya peranan jagung, maka bagi Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 234 juta jiwa dan industri peternakan serta industri pakan yang berkembang pesat sangat beralasan untuk memprioritaskan pengembangan produksi jagung dalam negeri. Selain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, juga berpeluang untuk diekspor ke pasar internasional. Pemenuhan kebutuhan jagung bila mengandalkan impor akan berisiko tinggi, akan berdampak terhadap indutri peternakan (pakan) dalam negeri, dan akan mematikan petani jagung Indonesia, karena usahatani jagung Indonesia yang tradisional harus bersaing dengan usahatani jagung negara maju (seperti Amerika Serikat sebagai eksportir utama jagung).


(27)

Masih rendahnya kinerja produksi jagung secara umum dalam memenuhi kebutuhan jagung disebabkan oleh masih rendahnya rata-rata produktivitas jagung nasional yaitu sekitar 4.24 ton per hektar (BPS, 2009). Padahal menurut Kasryno, et.al. (2007) bahwa potensi produktivitas jagung hibrida dapat mencapai 7 ton/ha. Produktivitas jagung nasional relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan produktivitas jagung negara produsen jagung seperti Amerika Serikat yang telah mencapai 10.34 ton/ha dan China yang telah mencapai 5.35 ton/ha (FAO, 2009).

Rendahnya produktivitas jagung secara rataan nasional tampaknya sejalan dengan hasil penelitian Bachtiar, et.al. (2007) yang mengungkapkan bahwa pada beberapa sentra produksi jagung seperti di Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Utara dan Jawa Timur masih banyak petani yang menanam varietas lokal dan varietas unggul lama yang benihnya telah mengalami degradasi secara genetik dan belum dimurnikan. Pada tahun 2009/2010, penggunaan benih jagung hibrida sekitar 50 persen dari total pemakaian benih jagung di Indonesia. Disamping itu, pemerintah pada tahun 2009/2010 juga telah mengalokasikan subsidi benih jagung unggul sebanyak 4 266 ton untuk area tanam seluas 225 534 hektar (Bisnis Indonesia, 2010a dan Bisnis Indonesia, 2010b). Permasalahan dalam penyebaran benih bermutu dalam hal ini adalah tidak tersedianya benih pada petani sesuai waktu tanam yang dibutuhkan dan harga benih unggul yang cenderung meningkat terutama benih jagung hibrida.

Menurut Ditjen Tanaman Pangan (Ekonomi dan Bisnis, 2008) bahwa salah satu penyebab rendahnya produksi jagung di sentra-sentra produksi nasional karena penggunaan benih jagung hibrida di kalangan petani masih rendah. Produktivitas jagung hibrida bisa mencapai 7 ton/ha atau bahkan lebih dari 7


(28)

ton/ha, sedangkan jagung komposit kurang dari 5 ton/ha bahkan untuk jagung lokal hanya 2-3 ton/ha.

Dalam rangka meningkatkan produksi jagung nasional telah dikembangkan teknologi produksi jagung hibrida. Namun realisasi pengembangan jagung hibrida sampai tahun 2009 baru mencapai 50 persen. Perkembangan persentase luas panen jagung varietas hibrida disajikan pada lampiran 3. Menurut Rusastra dan Kasryno (2007) bahwa keenganan petani untuk memanfaatkan teknologi produksi jagung hibrida ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) harga benih jagung hibrida mahal dan hanya dapat ditanam sekali, (2) kebutuhan pupuk lebih banyak, sehingga biaya produksinya menjadi tinggi, (3) umurnya lebih panjang, (4) menghendaki lahan yang relatif subur, (5) lemahnya permodalan petani sehingga tidak tersedia modal yang cukup untuk membeli benih, pupuk dan obat-oabatan yang dibutuhkan, (6) sering terlambatnya suplai benih sehingga tidak tepat waktu tanamnya, dan (7) kurangnya rangsangan produksi yang diberikan oleh pasar kepada petani jagung. Akibatnya produksi jagung yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Sentra produksi jagung di Indonesia yaitu terdapat di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Sumatera Utara dan NTT (Badan Litbang Pertanian, 2005). Bahkan dalam perkembangannya, 10 sentra produksi jagung terbesar termasuk Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo (Lampiran 4). Dengan demikian, di Pulau Jawa terdapat 3 Provinsi yang paling dominan produksinya yaitu: Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Adapun di Luar Jawa, sentra produksi tersebar mulai dari Provinsi di Pulau Sumatera


(29)

(Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat), di Pulau Sulawesi (Sulawesi Selatan, Gorontalo dan Sulawesi Utara), dan di Pulau Nusa Tenggara (NTT).

Di Provinsi Jawa Timur, luas panen jagung tahun 2009 sebesar 1.29 juta hektar, dengan tingkat produksi dan produktivitasnya masing-masing mencapai 5.30 juta ton dan 4.07 ton/ha (BPS, 2010). Adapun sentra produksi jagung di Jawa Timur berada di Kabupaten Probolinggo, Kediri, Malang, Tuban, Lumajang dan Nganjuk (BPS Jatim, 2008). Data perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas jagung di Jawa Timur di sajikan pada Lampiran 5.

Di Provinsi Jawa Barat, luas panen jagung tahun 2009 sebesar 136.20 ribu hektar, dengan tingkat produksi dan produktivitasnya masing-masing mencapai 784.61 ribu ton dan 5.76 ton/ha (BPS, 2010a). Wilayah pengembangan jagung di Jawa Barat berada di 8 Kabupaten yaitu di Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka, Bandung, Ciamis Tasikmalaya, Sukabumi dan Cianjur. Wilayah pengembangan jagung ini telah diidentifikasi dan diimplementasikan dalam program khusus pengembangan sentra jagung yang hampir mencakup seluruh wilayah Jawa Barat bagian timur yang membujur dari utara ke selatan sehingga merupakan Corn Belt (Sabuk Jagung) Provinsi Jawa Barat (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2008). Oleh karena itu, potensi pengembangan jagung di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat cukup besar baik melalui peningkatan produktivitas maupun dengan peningkatan areal tanam. Pengembangan areal tanam dapat ditingkatkan baik pada lahan sawah setelah pertanaman padi sawah, maupun dilahan kering pada saat awal musim penghujan. Data perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas jagung di Jawa Barat disajikan pada Lampiran 5.


(30)

Pemerintah saat ini terus berupaya mengurangi impor jagung nasional, dan meningkatkan produksi jagung nasional dalam rangka mencapai swasembada jagung nasional. Upaya untuk mencapai swasembada jagung dilakukan dengan peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan, pemberdayaan kelembagaan pertanian dan dukungan infrastruktur: pembiayaan, irigasi dan lainnya. Dengan semakin terbatasnya areal pertanian terutama di Pulau Jawa, maka peluang terbesar pencapaian sasaran tersebut yakni melalui peningkatan produktivitas, sehingga diperlukan penggunaan benih unggul bermutu terutama benih hibrida serta pemanfaatan pupuk berimbang dan organik (Ekonomi dan Bisnis, 2009).

Dalam hal peningkatan produktivitas jagung, pemerintah terus mendorong peningkatan produksi melalui penyebarluasan benih unggul dan peningkatan teknik budidaya jagung spesifik lokasi. Kegiatan riset dalam pengembangan jagung terus dilakukan pemerintah. Pada tahun 2000 pengeluaran riset jagung mencapai 0.19 milyar rupiah dan meningkat menjadi 13.8 milyar rupiah pada tahun 2009. Namun jika dilihat persentasenya atas pengeluaran sektor pertanian tahun 2009, hanya sekitar 0.17 persen.

Upaya mendorong produksi jagung nasional juga selayaknya melalui pemberian rangsangan harga output kepada petani jagung. Kenyataan di lapangan bahwa seringkali harga jagung rendah dan cenderung ditekan secara sepihak oleh pabrik pakan/pedagang, tidak memberi rangsangan yang cukup kepada petani untuk menggunakan teknologi produksi yang lebih baik, sehingga produktivitasnya masih rendah. Harga jagung yang rendah juga tidak merangsang petani untuk menanam jagung dalam areal yang lebih luas. Menurut Ditjen


(31)

Tanaman Pangan (2008) bahwa keberhasilan peningkatan produsksi antara lain juga tidak terlepas dari kebijakan output dimana pemerintah pusat selalu mendorong terhadap pemerintah daerah agar menampung produksi jagung petani sehingga harga jagung di tingkat petani tidak jatuh pada saat panen. Seperti halnya diketahui, bahwa sejak tahun 1990 sudah tidak ada lagi pengaturan atas harga jagung melalui mekanisme harga dasar, karena dinilai tidak efektif dan tataniaga jagung dibebaskan sehingga harga jagung ditentukan oleh mekanisme pasar. Dengan mekanisme pasar tersebut akan menciptakan kompetisi antar pedagang yang diharapkan bisa memberikan keuntungan bagi petani.

Keberhasilan produksi jagung di dalam negeri tentu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri juga mengurangi impor jagung, akan tetapi dalam jangka panjang bisa diarahkan untuk ekspor mengingat kebutuhan jagung dunia yang semakin meningkat baik untuk bahan baku pangan, industri makanan serta bahan baku energi (bioetanol). Keberhasilan dalam peningkatan produksi jagung sangat ditentukan oleh adanya perubahan-perubahan dari berbagai aspek, baik teknis maupun ekonomis. Perubahan-perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap keputusan berproduksi petani jagung. Perubahan harga jagung dan harga input seperti pupuk dan pestisida sering berpengaruh terhadap alokasi relatif penggunaan input dan keputusan berproduksi.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian jagung khususnya tentang pengaruh perubahan harga dan infrastruktur terhadap penawaran output, permintaan input, dan daya saing usahatani jagung memiliki urgensi penting dengan alasan sebagai berikut:


(32)

1. Jagung merupakan komoditas tanaman pangan penting sebagai sumber karbohidrat dalam menunjang ketahanan pangan, dan informasi hasil penelitian khususnya tentang permintaan input, penawaran output dan daya saing yang berguna dalam pengembangan usahatani jagung.

2. Kebutuhan jagung untuk pangan, industri bahan makanan, bahan baku pakan dan bahan baku energi (bioetanol) semakin meningkat dari tahun ke tahun, sementara poduksi jagung nasional masih belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut (Zubachtirodin, et.al., 2007), maka untuk menutup kekurangan dilakukan impor jagung dari negara lain, oleh karena itu peningkatan produksi nasional memiliki peran yang sangat penting.

3. Pemerintah saat ini terus berupaya mengurangi impor jagung nasional, dan meningkatkan produksi jagung nasional dalam rangka mengukuhkan swasembada jagung nasional 2009, serta upaya yang dilakukan untuk mencapai swasembada jagung melalui: peningkatan produktivitas melalui introduksi benih unggul dan perbaikan teknik budidaya spesifik lokasi, perluasan areal tanam, pengamanan, pemberdayaan kelembagaan pertanian dan dukungan pembiayaan (Ekonomi dan Bisnis, 2009).

4. Peningkatan produksi jagung nasional memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan yang terus semakin meningkat, sehingga dalam analisis daya saing usahatani jagung domestik diarahkan untuk substitusi impor.

5. Kegiatan usahatani jagung dilakukan di sentra-sentra produksi jagung nasional, sehingga perlu diketahui apakah usahatani jagung memberikan keuntungan bagi petani jagung, setelah mempertimbangkan pengeluaran input usahataninya.


(33)

6. Berbagai informasi tentang perubahan harga output (jagung) dan harga input usahatani, pengaruh infrastruktur jalan dan pengeluaran riset dan pengembangan, perkembangan penggunaan input usahatani, elastisitas output dan input usahatani jagung diperoleh dari hasil penelitian yang bermanfaat dalam pengembangan produksi jagung.

Menurut Nicholson (1991) bahwa petani sebagai produsen yang rasional juga memaksimumkan keuntungan, atau dapat dikatakan dengan istilah berusahatani secara efisien. Upaya peningkatan produksi tidak akan menguntungkan bila penggunaan input produksi tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh dan modal telah dikeluarkan oleh petani. Petani yang rasional tidak hanya berorientasi pada produksi yang tinggi saja, namun lebih berorientasi pada semakin tingginya tingkat pendapatan atau keuntungan yang diperoleh.

1.2. Perumusan Masalah

Semakin meningkatnya permintaan jagung untuk pemenuhan kebutuhan pangan, industri bahan makanan, bahan baku pakan dan bahan baku energi (bioetanol), sementara produksi jagung nasional belum dapat mencukupi kebutuhan tersebut maka peningkatan produksi jagung nasional memiliki peran penting baik sebagai substitusi impor dan surplus produksi diarahkan untuk ekspor. Peningkatan produksi jagung dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas dengan dukungan teknologi poduksi, perluasan areal tanam di lahan sawah dan lahan kering, serta pengoptimalan pola tanam yang ada. Selain itu, dukungan kebijakan baik secara teknis maupun ekonomis, dan potensi sumberdaya manusia (petani) di sentra poduksi khususnya di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat cukup kondusif dalam meningkatkan produksi jagung.


(34)

Pada penelitian ini terdapat beberapa permasalahan yang akan diuraikan pada bahasan berikut ini.

1. Menurut Ditjen tanaman Pangan (2008) bahwa peningkatan produktivitas jagung juga tidak terlepas dari kebijakan terkait input, output dan kelembagaan pada usahatani jagung. Kebijakan yang terkait input usahatani antara lain adalah dalam hal subsidi pupuk dan benih, bantuan benih gratis, bantuan alsintan, akselerasi penerapan teknologi budidaya. Bantuan benih telah dilakukan pemerintah, yaitu pada tahun 2009/2010 telah dialokasikan subsidi benih jagung unggul sebanyak 4.27 ribu ton untuk area tanam seluas 225.53 ribu hektar. Sementara, dalam peride 2005-2009 besaran subsidi pupuk meningkat yaitu dari 0.90 triliun rupiah menjadi 16.46 triliun rupiah atau rata-rata naik sekitar 4.3 persen per tahun. Namun, meningkatnya jumlah besaran subsidi pupuk juga diiringi oleh meningkatnya jenis pupuk yang disubsidi dan juga meningkatnya biaya produksi pupuk. Akibatnya dengan keterbatasan angaran, maka harga HET (Harga Eceran Tertinggi) pupuk bersubsidi secara bertahap mengalami peningkatan. Jenis pupuk yang disubsidi tahun 2009 adalah pupuk: urea, SP36, ZA, NPK Phonska, NPK Pelangi, NPK Kujang dan pupuk organik (Nuryartono, 2009). Harga jagung tahun 2000 hanya mencapai Rp 989/kg, sedangkan harga pupuk urea dan benih masing-masing sebesar Rp 1 135/kg dan Rp 1 750/kg. Selanjutnya pada tahun 2008, harga jagung meningkat menjadi Rp 1 850/kg sedangkan harga urea menjadi Rp 1 200/kg dan harga benih sebesar Rp 5 000/kg. Dengan demikian bila dilihat dari segi rasio harga jagung terutama terhadap input benih kecenderungannya menurun yaitu dari 0.57 pada tahun 2000 menjadi 0.37 pada tahun 2008.


(35)

Permasalahannya adalah bagaimana pengaruh kenaikan harga pupuk dan benih terhadap penawaran output dan permintaan input usahatani jagung? 2. Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa sejak tahun 1990 sudah tidak ada

lagi pengaturan atas harga jagung melalui mekanisme harga dasar, karena dinilai tidak efektif dan tataniaga jagung dibebaskan sehingga harga jagung ditentukan oleh mekanisme pasar. Dengan mekanisme pasar tersebut diharapkan dapat menciptakan kompetisi antar pedagang yang diharapkan bisa memberikan keuntungan bagi petani. Fakta empiris seringkali menunjukkan bahwa harga jagung sering jatuh pada saat musim panen. Permasalahannya adalah bagaimana pengaruh perubahan harga jagung terhadap penawaran output dan permintaan input usahatani jagung?

3. Menurut Purwanto (2007) bahwa kebijakan peningkatan produksi jagung nasional antara lain juga perlunya upaya: perbaikan infrastruktur penunjang pertanian seperti irigasi, jalan usahatani dan lainnya, penyuluhan aplikasi teknologi produksi, bantuan permodalan pertanian, misal melalui penjaminan pinjaman, subsidi bunga, dan kredit lunak terhadap petani, dan peningkatan pemasaran hasil pertanian melalui peningkatan mutu hasil pertanian, sarana pemasaran hasil dan kelancaran proses pemasaran. Pembangunan jalan semakin pesat terutama di Pulau Jawa pada era Orde Baru, namun saat era otonomi daerah pengembangan infrastruktur jalan mengalami stagnasi. Oleh karena itu, bagaimana pengaruh perubahan infrastruktur jalan terhadap penawaran output dan permintaan input usahatani jagung?

4. Permintaan jagung untuk memenuhi kebutuhan pangan, industri bahan makanan, bahan baku pakan dan bahan baku energi (bioetanol) semakin


(36)

meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, total kebutuhan jagung mencapai 10.72 juta ton, kemudian meningkat menjadi 12.15 juta ton pada tahun 2006, dan menjadi 15.12 juta ton pada tahun 2009 (BPS dan FAO, 2009; Zubachtirodin, et.al., 2007; serta Badan Litbang Pertanian, 2005). Produksi jagung nasional pada tahun 2000 mencapai 9.68 juta ton, kemudian meningkat menjadi 11.61 juta ton dan menjadi 17.63 juta ton pada tahun 2009. Dengan fakta ini maka sebelum tahun 2009 bahwa selalu terjadi ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan jagung nasional. Akibatnya impor jagung Indonesia semakin meningkat sampai mencapai 1.83 juta ton tahun 2006 dan menurun menjadi 300 ribu ton tahun 2009. Untuk mendukung peningkatan produksi jagung, pemerintah juga mendorong riset tanaman jagung. Pada tahun 2000 pengeluaran riset jagung mencapai 0.19 milyar rupiah dan meningkat menjadi 13.8 milyar rupiah pada tahun 2009. Namun demikian persentase pengeluaran riset jagung terhadap pengeluaran sektor pertanian masih rendah, yaitu hanya sebesar 0.17 persen pada tahun 2009. Oleh karena itu, bagaimana pengaruh pengeluaran riset dan pengembangan jagung terhadap penawaran output dan permintaan input usahatani jagung? 5. Semakin meningkatnya kebutuhan jagung, sementara produksi jagung dalam

negeri belum memadai maka impor jagung masih cukup besar dilakukan. Oleh karena itu, peningkatan produksi jagung nasional memiliki urgensi penting sebagai substitusi impor. Untuk itu, bagaimana daya saing usahatani jagung dalam negeri?


(37)

1.3. Tujuan

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh harga dan infrastuktur terhadap penawaran output dan permintaan input, dan daya saing usahatani jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat. Secara spesifik tujuan penelitian adalah:

1. Menentukan elastisitas penawaran output dan permintaan input usahatani jagung;

2. Menentukan pengaruh perubahan harga output dan input terhadap penawaran output dan permintaan input;

3. Menentukan pengaruh perubahan pengeluaran riset dan pengembangan jagung serta infrastruktur jalan terhadap penawaran output dan permintaan input usahatani jagung;

4. Menentukan daya saing usahatani jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk bahan evaluasi serta perbaikan sistem usahatani jagung dalam rangka meningkatkan produksi dan pendapatan rumah tangga petani. Selain itu, diharapkan berguna sebagai bahan pertimbangan bagi pengemban kepentingan terutama penentu kebijakan dalam perumusan alternatif kebijakan pengembangan komoditas jagung, dan sebagai bahan masukan untuk studi analisis pengaruh harga dan infrastruktur terhadap penawaran output, permintaan input dan daya saing usahatani jagung lanjutan.


(38)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini terbatas pada analisis elastisitas permintaan input dan elastisitas penawaran output, pengaruh harga input dan output terhadap penawaran output dan permintaan input, pengaruh infrastruktur riset dan pengembangan jagung serta infrastruktur jalan terhadap produksi jagung, dan daya saing usahatani jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat.

Analisis mengunakan data struktur ongkos usahatani jagung dari periode 1985-2009. Sumber data struktur ongkos usahatani jagung berasal dari : BPS, Pusat Data dan Informasi Pertanian (Pusdatin)-Kementerian Pertanian, Ditjen Tanaman Pangan, dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Timur serta Provinsi Jawa Barat. Data-data lain untuk analisis, yaitu: (1) data series waktu mengenai pengeluaran riset dan pengembangan untuk jagung (1985-2009) di peroleh dari Badan Litbang Pertanian-Kementerian Pertanian, dan (2) data series waktu mengenai infrastruktur jalan (panjang jalan) di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat), luas panen jagung diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Selain itu, untuk mendukung analisis ditambahkan informasi kualitatif hasil diskusi aparat Dinas Pertanian Tanaman Pangan di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat.

Penelitian ini menggunakan model ekonometrika yang dirumuskan dalam suatu persamaan fungsi keuntungan translog dengan estimasi model Zellner-SUR sebagaimana telah dilakukan antara lain oleh: Sidhu and Baanante (1981), dan Adeleke, et.al. (2008). Sementara itu, untuk melihat daya saing digunakan analisis keunggulan komparatif serta kompetitif, yaitu analisis DRC (Domestic Resources Cost) dan PCR (Private Cost Rasio) dari Matrik Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix) khususnya pada level usahatani (Monke dan Pearson, 1995).


(39)

2.1. Kebijakan Pengembangan, Kebutuhan dan Impor Jagung 2.1.1. Kebijakan Pengembangan Jagung

Jagung diusahakan pada lingkungan yang beragam yaitu dari lahan kering, sawah tadah hujan hingga sawah beririgasi. Areal pertanaman jagung telah mengalami pergeseran, pada tahun 1980-an dominan (78 persen) di tanam dilahan kering dan sisanya sebesar 11 persen ditanam dilahan sawah irigasi dan 10 persen ditanam disawah tadah hujan. Namun, saat ini diperkirakan areal pertanaman jagung di lahan sawah irigasi dan tadah hujan meningkat berturut-turut sebesar 10-15 persen dan 20-30 persen terutama di daerah produksi jagung komersial (Badan Litbang Pertanian, 2005).

Produksi jagung nasional masih bersifat musiman, dimana saat penen raya melimpah dan dilain pihak saat bulan-bulan tertentu paceklik. Hal ini sangat berkaitan dengan musim tanam yang dominan dilakukan pada musim hujan (Oktober-Maret), sedangkan pada musim kemarau (April-September) luas pertanaman relatif sedikit. Produksi jagung di Indonesia relatif tersebar di seluruh pelosok, dan dalam luasan yang belum memenuhi skala usaha yang mampu mensuplai produksi yang cukup untuk setiap saat dalam satu wilayah. Sehingga untuk memperoleh produksi yang relatif besar diperlukan proses pengumpulan (colecting) dari berbagai daerah yang terpencar.

Penerapan inovasi teknologi di tingkat petani cukup beragam, bergantung pada orientasi produksi (subsisten, semikomersial, komersial), kondisi kesuburan tanah, resiko yang dihadapi, dan kemampuan petani membeli atau mengakses sarana produksi. Penggunaan varietas pada tahun 2002 adalah 28 persen hibrida,


(40)

47 persen komposit unggul, dan 25 persen komposit lokal. Karena pertimbangan harga dan resiko yang dihadapi, cukup banyak petani yang menanam benih hibrida turunan (F2) (Badan Litbang Pertanian, 2005).

Menurut Djulin, et.al., (2005) bahwa hingga kini jagung masih dominan ditanam di lahan kering pada musim hujan, walaupun disisi lain juga terjadi perluasan jagung di lahan sawah pada musim kemarau. Masih dominannya pertanaman jagung di lahan kering dan dominannya penanaman dimusim hujan menyebabkan timbulnya permasalahan terkait mutu hasil dan fluktuasi harga yang relatif besar. Kondisi ini juga merupakan sebagai salah satu penyebab lambatnya adopsi teknologi jagung.

Hasil penelitian Djulin, et.al., (2005) juga menyebutkan bahwa usahatani jagung unggul (hibrida) di lahan sawah dan lahan kering memberikan hasil sebesar 6.14 ton/ha dan 4.62 ton/ha, dengan keuntungan yang diraih masing-masing sebesar 2.9 juta rupiah dan 2.1 juta rupiah per hektar. Penelitian lainnya Sumaryanto (2005) mengungkapkan bahwa rata-rata produktivitas usahatani jagung hibrida di DAS Brantas sebesar 5.2 ton/ha, dengan tingkat keuntungan yang diperoleh sebesar 2.1 juta rupiah per hektar.

Sementara itu, pengembangan jagung kedepan diarahkan untuk mencapai tujuan terciptanya Indonesia menjadi produsen jagung yang tangguh dan mandiri pada tahun 2025 dengan ciri-ciri produksi yang cukup dan efisien, kualitas dan nilai tambah yang berdaya saing, penguasaan pasar yang luas, meluasnya peran stakeholder, serta adanya dukungan pemerintah yang kondusif (Deptan, 2005). Untuk merealisasikan program tersebut ditempuh melalui strategi peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam (PAT), peningkatan efisiensi produksi,


(41)

penguatan kelembagaan petani, peningkatan kualitas produk, peningkatan nilai tambah, perbaikan akses pasar, pengembangan unit usaha bersama, perbaikan sistem permodalan, pengembangan infrastruktur, serta pengaturan tataniaga dan insentif usaha. Menurut Ditjen Tanaman Pangan (2008), bahwa faktor-faktor pendukung dalam peningkatan produksi jagung antara lain berupa: (1) iklim pengembangan yang kondusif, (2) harga komoditas jagung yang menarik, dan (3) kebijakan dan program pemerintah yang meliputi: subsidi pupuk dan benih, akselerasi penerapan inovasi dan teknologi usahatani, bantuan alsintan, fasilitasi penyuluhan dan sebagainya.

Selain itu, menurut Ditjen Tanaman Pangan (2010) bahwa upaya meningkatkan produksi jagung nasional akan menghadapi beberapa tantangan dan sekaligus peluang baik bersifat internal maupun eksternal. Pengembangan produksi jagung dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam. Beberapa tantangan dalam pengembangan jagung antara lain: (1) kebutuhan jagung yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yaitu untuk pangan dan bahan baku industri makanan, serta untuk pemenuhan kebutuhan pakan ternak dimana hasil produk peternakan untuk penyediaan protein hewani, (2) produksi jagung yang belum merata sepanjang tahun, dan saat ini masih dominan ditanam dilahan kering (tadah hujan), (3) jagung masih dianggap sebagai tanaman kedua setelah padi (secondary crop), padahal perannya sangat strategis dalam pemenuhan bahan baku pakan dan industri makanan (industrial crop), (4) untuk komoditas jagung masih belum terdapat jaminan harga jual seperti halnya pada komoditas padi yang telah memiliki referensi harga pembelian pemerintah, dan (5) penerapan teknologi yang


(42)

belum sepenuhnya sesuai anjuran, sementara introduksi teknologi spesifik lokasi cukup intensif disebarkan ke tingkat petani baik oleh pemerintah maupun swasta.

Sementara itu, peningkatan produksi memiliki peluang yang besar melalui: (1) peningkatan produktivitas jagung, dimana produktivitas saat ini masih dibawah produktivitas potensial dengan semakin meningkatnya penggunaan varietas unggul hibrida, (2) terdapatnya peran swasta yang aktif dalam dalam pengembangan industri benih, teknologi budidaya dan pemasaran hasil, (3) harga jagung yang semakin meningkat seiring dengan permintaan jagung yang semakin meningkat, (4) dukungan pemerintah daerah dalam pengembangan jagung, dan (5) masih memungkinnya perluasan areal pertanaman jagung pada lahan-lahan yang belum diusahakan dan yang belum dimanfaatkan secara optimal.

Upaya peningkatan produktivitas dibedakan atas tingkat produktivitas yang telah ada selama ini. Bagi daerah-daerah yang telah memiliki produktivitas tinggi diarahkan untuk dimantapkan, dan bagi daerah–daerah yang tingkat produktivitasnya masih rendah dilakukan uapaya akselerasi melalui penggunaan benih hibrida, benih komposit, penerapan teknologi spesifik lokasi, pemupukan berimbang, pengelolaan usahatani terpadu lahan kering. Perluasan areal tanam (PAT) diarahkan ke daerah di luar Jawa yang memiliki potensi cukup luas melalui penambahan baku lahan, mengoptimalkan lahan kering, rehabilitasi dan konservasi lahan, serta pengembangan lahan rawa/lebak/pasang surut.

Untuk mendukung tercapainya sasaran-sasaran tersebut, perlu dukungan aspek hulu antara lain penyediaan lahan, perbaikan pengairan, sarana produksi, alsintan, permodalan, dan infrastruktur jalan usahatani. Di bidang pengolahan dan pemasaran jagung diarahkan untuk mewujudkan tumbuhnya usaha pengolahan


(43)

dan pemasaran jagung yang dapat meningkatkan nilai tambah dan harga yang wajar ditingkat petani sehingga petani dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraanya. Untuk mendukung kebijakan tersebut, maka strategi yang akan ditempuh dalam pengembangan pengolahan dan pemasaran jagung tersebut diarahkan untuk: meningkatkan mutu dan nilai tambah jagung, meningkatkan harga jagung dan pembagian keuntungan (profit sharing) yang proposional bagi petani, tumbuhnya unit-unit pengolahan dan pemasaran jagung yang dikelola oleh kelompok tani/gabungan kelompok tani atau asosiasi jagung, meningkatkan efisiensi biaya pengolahan dan pemasaran serta memperpendek mata rantai pemasaran, mengurangi impor jagung dan meningkatkan ekspor jagung (Deptan, 2005).

Selanjutnya program pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil jagung yang dilaksanakan adalah : (1) pengembangan dan penanganan pasca panen dalam rangka meningkatkan mutu jagung. Program ini terkait dengan penerapan manajemen mutu sehingga produk yang dihasilkan sesuai persyaratan mutu pasar/ konsumen. Dalam kaitan tersebut diperlukan pelatihan dan penyuluhan yang intensif tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan mananjemen mutu, (2) pembangunan unit-unit pengolahan di tingkat petani/gapokatan/asosiasi, (3) penguatan modal, (4) penguatan peralatan mesin kegiatan pengolahan dan penyimpanan jagung, peralatan yang diperlukan antara lain pengering jagung (dryer), corn sheller (pemipil), mesin tepung, mesin bongol jagung (pemotong/pencacah bonggol), mixer (pencampur pakan) dan gudang, (5) membentuk dan memfasilitasi sistem informasi dan promosi, serta asosiasi jagung, (6) Pembangunan drying dan silo center di setiap lokasi sentra produksi


(44)

jagung, dan (7) Pengembangan industri berbasis jagung lokal dengan kekuatan sendiri.

Menurut Rusastra dan Kasryno (2005) bahwa terdapat beberapa kebijakan strategis yang perlu dilakukan dalam pengembangan usahatani jagung terutama pada agroekosistem lahan kering yaitu: (1) introduksi varietas komposit yang berdaya hasil tinggi, berumur genjah, tipe tanaman pendek, dan berbatang kokoh, (2) penerapan teknologi usahatani konservasi sistem budidaya lorong (alley cropping), (3) pemanfaatan pupuk kandang untuk meningkatkan bahan organik tanah, (4) penanaman tepat waktu pada awal musim hujan, (5) introduksi teknologi tanpa olah tanah dan hemat tenaga kerja, dan (6) intensifikasi program penyuluhan untuk memperbaiki kemampuan manajemen petani.

Menurut Purwanto (2007) bahwa kebijakan peningkatan produksi jagung nasional dapat dilakukan dengan upaya: (1) perbaikan infrastruktur penunjang pertanian seperti irigasi, jalan usahatani dan lainnya, (2) pengembangan kelembagaan pertanian, seperti kelompok tani, koperasi tani dan lainnya, (3) penyuluhan aplikasi teknologi produksi, (4) bantuan permodalan pertanian, misal melalui penjaminan pinjaman, subsidi bunga, dan kredit lunak terhadap petani, dan (5) pemasaran hasil pertanian melalui peningkatan mutu hasil pertanian, sarana pemasaran hasil dan sebagainya.

Adapun program peningkatan produksi dapat ditempuh melalui: (1) peningkatan produktivitas terutama melalui penyebaran benih unggul jagung hibrida dan komposit unggul, (2) perluas areal tanam yang diarahkan ke luar Jawa yang memiliki potensi cukup luas melalui pemanfaatn lahan sawah selama musim kemarau yang tidak ditanami padi serta mengoptimalkan dan penambahan luas


(45)

baku lahan kering, (3) pengamanan produksi atas gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) jagung, dampak fenomena iklim dan menekan kehilangan hasil saat penanganan panen dan pasca panen yang kurang benar, (4) penguatan kelembagaan agribisnis di tingkat petani, kelembagaan usaha dan pemerintah sesuai perannya masing-masing, dan (5) pembiayaan dalam pengembangan produksi jagung, melalui bantaun benih jagung hibrida, pengadaan sarana pupuk dan pembinaan melalui pola Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK), pendampingan teknologi, fasilitasi kredit pertanian dan program pengembangan jagung melalui kemitraan usaha (Purwanto, 2007).

Berbagai kebijakan diatas pada intinya adalah agar keuntungan/pendapatan usahatani jagung dapat lebih meningkat. Upaya peningkatan produksi jagung harus senantiasa diikuti upaya peningkatan efisiensinya. Proses produksi usahatani dikatakan efisien apabila faktor-faktor produksi yang digunakan dalam usahatani tersebut dialokasikan. Masalah alokasi faktor produksi ini erat kaitannya dengan tingkat keuntungan yang akan dicapai. Keuntungan maksimum tercapai pada saat nilai produktivitas marjinal dari faktor produksi (input) sama dengan biaya korbanan marjinal atau harga input yang bersangkutan.

2.1.2. Kebutuhan dan Impor Jagung

Peranan jagung bagi Indonesia, dengan jumlah penduduk yang banyak dan industri peternakan dan industri pakan yang berkembang cukup pesat sangat beralasan untuk memprioritaskan produksi jagung nasional. Selain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, juga berpeluang untuk diekspor ke pasar internasional. Pemenuhan kebutuhan jagung bila mengandalkan impor akan berisiko tinggi, dan akan berdampak terhadap indutri peternakan (pakan) dalam


(46)

negeri. Fluktuasi ketersediaan dan harga pakan ternak yang sering muncul di Indonesia, salah satu penyebabnya adalah karena pengaruh fluktuasi pasokan bahan baku jagung.

Menurut Tangendjaya, et.al., (2005) bahwa Indonesia dalam sepuluh tahun kedepan akan menghadapi permintaan jagung yang relatif besar untuk kebutuhan jagung dalam negeri, terutama untuk bahan baku industri pakan yang semakin meningkat. Permasalahan besar adalah teknologi dan agribisnis jagung di Indonesia masih jauh dari harapan untuk dapat mendukung permintaan tersebut. Jika teknologi dan agribisnis tetap bertahan seperti sekarang maka diperkirakan Indonesia akan mengimpor jagung yang cukup besar pada sepuluh tahun mendatang. Solusi atas hal ini, adalah melalui pemacuan sistem agribisnis jagung nasional agar menjadi lebih maju dengan perbaikan manajemen lahan, ukuran usaha yang lebih rasional dan penggunaan teknologi produksi secara intensif.

Kebutuhan jagung nasional secara total sangat tinggi yaitu pada tahun 2000 mencapai 10 juta ton, dan tahun 2009 mencapai 15 juta ton. Sementara produksi jagung pada tahun 2000 mencapai 9.68 juta ton, sehingga untuk menutupi kebutuhan maka dilakukan impor yang besarnya mencapai 1.29 juta ton. Namun, pada tahun 2009 produksi jagung nasional sudah diatas kebutuhan yaitu sebesar 17.59 juta ton dan impor menurun menjadi 300 ribu ton. Impor jagung nasional pada periode 2000-2009 mengalami penurunan yaitu sekitar 10.22 persen per tahun (Lampiran 1). Jika produksi jagung terus dipertahankan atau ditingkatkan, maka ke depan impor jagung nasional akan semakin menurun. Namun sebaliknya, jika produksi jagung nasional stagnan sementara kebutuhan terus meningkat maka impor jagung akan meningkat. Pada perkembangan


(47)

selanjutnya, ternyata impor jagung justru semakin meningkat dimana menurut data GPMT impor jagung pada tahun 2010 mencapai 1.5 juta ton, dan pada akhir tahun 2011 diperkirakan dapat mencapai 2,5 juta ton. Meningkatnya impor jagung, akan semakin terkuras untuk pembiayaan impor dan menurunkan keuntungan usahatani jagung domestik. Oleh karena itu, diperlukan upaya kesinambungan untuk meningkatkan produksi jagung dalam negeri.

Menurut Swastika (2006), bahwa dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap impor jagung, maka solusi pemecahannya antara lain: (1) melakukan promosi secara intensif atas penggunaan benih jagung hibrida, sehingga produktivitas jagung nasional akan meningkat, (2) pengembangan kerjasama yang saling menguntungkan diantara perusahaan benih dengan petani jagung dan pabrik pakan serta makanan ternak, (3) penyediaan paket kredit bersubsidi untuk petani dengan prosedur pinjaman yang sederhana, dan (4) konsolidasi petani melalui penguatan kelompok tani dalam rangka memperbaiki posisi tawar petani.

2.2. Model Fungsi Keuntungan, Penawaran Output, Permintaan Input, dan Daya Saing Komoditas Pertanian

2.2.1. Model Fungsi Keuntungan, Penawaran Output, dan Permintaan Input

Secara umum, keuntungan didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan (current revenue) dikurangi biaya (total cost). Debertin (1986) mendefinisikan keuntungan adalah nilai total produk (TVP) dikurangi total biaya (TC). Model fungsi keuntungan jangka pendek di kembangkan awal oleh Lau and Yotopaulus (1972). Keuntungan maksimum tercapai pada saat nilai produk marginal sama


(48)

dengan harga input (marginal factor cost). Model fungsi keuntungan dinormalkan oleh harga output menjadi fungsi keuntungan UOP (Unit Output Price).

Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi sehubungan dengan fungsi keuntungan tersebut adalah: (1) petani dianggap sebagai unit analisis dan setiap petani individu mempunyai motif untuk memaksimumkan keuntungan, (2) petani dianggap sebagai price taker dalam pasar output dan input variabel, dan (3) fungsi produksi adalah concave dalam input variabel bahwa setiap petani menggunakan input yang sama, artinya produktivitas input pada setiap petani adalah sama (Lau and Yotopaulus, 1972). Adapun pertimbangan teoritis yang berkaitan dengan fungsi keuntungan UOP, menurut Puerta (2009) adalah: (1) menurun dan convex terhadap harga-harga input tidak tetap yang dinormalkan dengan harga output, (2) menaik terhadap jumlah input tetap, dan (3) menaik terhadap harga nominal output.

Menurut Lau and Yotopaulus (1972) bahwa antara fungsi produksi dan keuntungan adalah satu set yang saling berhubungan karena keduanya merupakan dual transformasi. Berdasarkan pendekatan tersebut maka dapat diturunkan fungsi permintaan input dan penawaran output.

Dalam penelitian empiris, terdapat 2 model ekonometrika yang sering digunakan yaitu: fungsi keuntungan Translog dan Cobb-Douglas. Dalam penelitian ini akan digunakan fungsi keuntungan translog. Pada kenyataannya seseorang petani atau produsen menentukan keputusannya berdasarkan harga-harga yang terjadi. Dengan kata lain bahwa dengan anggaran atau pendapatan yang terbatas maka untuk pengambilan keputusan berproduksinya maka yang menjadi faktor penentunya adalah harga input dan harga output.


(49)

Fungsi keuntungan Translog telah digunakan oleh beberapa peneliti seperti: Sidhu and Baanante (1981); Simatupang (1988), Nwachuku and Onyenweake (2005), dan Adeleke, et.al., (2008). Chand and Kaul (1986) memberikan catatan atas penggunaan fungsi keuntungan Cobb Douglas. Pada penggunaan fungsi keuntungan Cobb Douglas antara lain memiliki karakteristik: (1) bahwa dugaan elastisitas harga atas permintaan input yang berhubungan dengan harga sendiri yang selalu elastis, dan (2) dugaan elastisitas permintaan harga silang akan selalu negatif, yang berarti bahwa hubungan antar input akan selalu bersifat komplementer. Sidhu and Baanante (1981) menemukan elastisitas permintaan input yang berhubungan dengan harga output adalah negatif, sehingga seluruh faktor input bersifat komplementer.

Sementara itu, fungsi penawaran output dan permintaan input pada penelitian ini diturunkan langsung dari fungsi keuntungan. Dengan menggunakan prinsip Hotteling Lemma, turunan parsial keuntungan maksimal terhadap perubahan harga output merupakan fungsi penawaran output dan turunan parsial keuntungan maksimal terhadap perubahan harga input merupakan fungsi permintaan input. Menurut Debertin (1986), bahwa permintaan input pada suatu proses produksi pertanian tergantung atas beberapa faktor seperti: (1) harga output yang diproduksi, (2) harga input produksi yang bersangkutan, (3) harga input subtitusi dan komplementernya, dan (4) parameter fungsi produksi itu sendiri, khususnya elastisitas produksi dari masing-masing input.

Menurut Lau dan Yotopoulus (1972) bahwa terdapat beberapa keunggulan menggunakan pendekatan dual (fungsi keuntungan), yaitu: (1) fungsi penawaran output dan permintaan input dapat diturunkan secara langsung dengan mudah, (2)


(50)

penurunan fungsi penawaran output dan permintaan input dari fungsi keuntungan memberikan hasil yang sama jika fungsi tersebut diturunkan dari fungsi produksi, dan (3) analisis dengan menggunakan fungsi keuntungan dapat menghindari masalah bias pada persamaan simulatan. Hal ini disebabkan karena pada fungsi keuntungan semua peubah eksogen terletak disebelah kanan dan peubah endogen terletak disebelah kiri persamaan.

2.2.2. Daya Saing Komoditas Pertanian

Suatu negara memproduksi dan mengekpor suatu komoditas adalah karena adanya keunggulan komparatif. Teori keunggulan komparatif pertama kali diperkenalkan oleh David Ricardo tahun 1817. Menurut Ricardo perdagangan antar dua negara akan menguntungkan dua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif yang dimaksud adalah memiliki biaya yang lebih efisien dalam memproduksi suatu komoditas (Krugman dan Obstfeeld, 2000; serta Salvatore, 1997).

Teori keunggulan komparatif Ricardo memiliki kelemahan yaitu menganggap bahwa tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi yang mempengaruhi harga komoditas yang diproduksi. Oleh karena itu, teori ini disempurnakan oleh G. Haberler melalui teori opportunity cost yang menyatakan bahwa suatu negara yang memiliki opportunity cost paling rendah dalam memproduksi suatu komoditas akan memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditas tersebut. Teori komparatif berdasarkan opportunity cost tersebut kemudian disempurnakan lagi oleh Heckscher dan Ohlin yang kemudian dikenal dengan teori Heckscher–Ohlin. Menurut teori ini, keunggulan komparatif suatu


(1)

LNRWZ1 1 -0.16009 0.088915 -1.80 0.1462 LNRWZ2 1 0.09187 0.108188 0.85 0.4436 LNRWZ3 1 -0.08696 0.059360 -1.46 0.2168 LNRWZ4 1 -0.02665 0.133694 -0.20 0.8517

The SAS System The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label LNZ1Z2 1 0.271022 0.133183 2.03 0.1116

LNZ1Z3 1 0.016226 0.224834 0.07 0.9459 LNZ1Z4 1 -0.58257 0.223918 -2.60 0.0599 LNZ2Z3 1 -0.09468 0.095752 -0.99 0.3787 LNZ2Z4 1 0.228440 0.162678 1.40 0.2329 LNZ3Z4 1 0.122096 0.186625 0.65 0.5487

D 1 1.011610 0.280596 3.61 0.0227 Dummy Prov.

Durbin-Watson 1.452365 Number of Observations 50 First-Order Autocorrelation 0.168818

Lampiran 9. Lanjutan

The SAS System The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation Model SSNROFN Dependent Variable SSN Label

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 0.119838 0.039640 3.02 0.0044 Intercept


(2)

LNRUR 1 0.016245 0.005267 3.08 0.0037 Harga urea LNRT 1 -0.00219 0.002542 -0.86 0.3948 Harga TSP LNRW 1 0.020344 0.005629 3.61 0.0008 Upah T.Kerja LNZ1 1 -0.02122 0.005317 -3.99 0.0003 Biaya Lain LNZ2 1 -0.00410 0.008585 -0.48 0.6357 Luas panen

LNZ3 1 -0.00300 0.004783 -0.63 0.5342 Pengeluaran Riset Jagung

LNZ4 1 -0.00484 0.009812 -0.49 0.6248 Inf. Jalan D 1 0.018858 0.016917 1.11 0.2716 Dummy Prov.

Durbin-Watson 1.518662 Number of Observations 50 First-Order Autocorrelation 0.265453

Lampiran 9. Lanjutan

The SAS System The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation

Model SUNROFN Dependent Variable SUN Label

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 0.115453 0.110327 1.05 0.3016 Intercept LNRUR 1 -0.03219 0.016176 -1.99 0.0618 Harga urea LNRT 1 0.01101 0.005888 1.87 0.0946 Harga TSP LNRS 1 0.016245 0.005267 3.08 0.0037 Harga benih LNRW 1 0.026953 0.016739 1.61 0.1152 Upah T.Kerja LNZ1 1 -0.03737 0.009393 -3.98 0.0003 Biaya Lain LNZ2 1 0.00782 0.019035 0.41 0.6835 Luas panen LNZ3 1 -0.00073 0.011443 -0.06 0.9497 Pengeluaran Riset Jagung LNZ4 1 -0.00743 0.020879 -0.36 0.7237 Inf. Jalan D 1 0.016378 0.037884 0.43 0.6678 Dummy Prov.


(3)

Durbin-Watson 1.751647 Number of Observations 50 First-Order Autocorrelation 0.102616

Lampiran 9. Lanjutan

The SAS System The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation

Model STNROFN Dependent Variable STN Label

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr >|t| Label Intercept 1 0.025582 0.040017 0.64 0.5263 Intercept LNRT 1 -0.00632 0.004772 -1.32 0.1930 Harga TSP LNRW 1 0.019514 0.006087 3.21 0.0026 Upah T.Kerja LNRUR 1 0.01101 0.005888 1.87 0.0946 Harga urea LNRS 1 -0.00219 0.002542 -0.86 0.3948 Harga benih LNZ1 1 -0.01071 0.003356 -3.19 0.0028 Biaya Lain LNZ2 1 -0.00614 0.006859 -0.90 0.3758 Luas panen LNZ3 1 0.000334 0.004110 0.08 0.9355 Pengeluaran Riset Jagung LNZ4 1 -0.00368 0.007487 -0.49 0.6260 Inf. Jalan D 1 0.035308 0.013668 2.58 0.0135 Dummy Prov.

Durbin-Watson 1.444507 Number of Observations 50 First-Order Autocorrelation 0.24393


(4)

Lampiran 9. Lanjutan

The SAS System The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation Model SWNROFN Dependent Variable SWN Label

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 0.739127 0.141320 5.23 0.0001 Intercept LNRW 1 -0.06681 0.021547 -3.10 0.0035 Upah T.Kerja LNRUR 1 0.026953 0.016739 1.61 0.1152 Harga urea LNRS 1 0.020344 0.005629 3.61 0.0008 Harga benih LNRT 1 0.019514 0.006087 3.21 0.0026 Harga TSP LNZ1 1 -0.16009 0.088915 -1.80 0.0793 Biaya Lain LNZ2 1 0.091867 0.108188 0.85 0.4009 Luas panen LNZ3 1 -0.08696 0.059360 -1.46 0.1507 Pengeluaran Riset Jagung LNZ4 1 -0.02665 0.133694 -0.20 0.8430 Inf. Jalan D 1 0.140283 0.209387 0.67 0.5067 Dummy Prov

Durbin-Watson 1.592746 Number of Observations 50 First-Order Autocorrelation 0.286525


(5)

Lampiran 10. Persentase Biaya Produksi Masing-Masing Input Usahatani

Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun 1985-2009

(%)

Tahun

Benih

Urea

TSP

Pest

Pupuk

lainnya

Biaya

Lain

Tenaga

Kerja

1985

6.882

17.335

3.733

0.791

4.158

18.837

48.265

1986

6.208

16.646

2.829

0.483

3.363

14.804

55.666

1987

8.483

17.805

3.240

0.869

3.618

20.685

45.301

1988

8.103

16.720

3.499

1.130

2.361

25.217

42.970

1989

6.626

19.553

3.954

0.964

1.578

22.640

44.684

1990

10.656

14.348

10.782

1.637

1.649

25.958

34.970

1991

8.177

21.060

5.304

0.673

2.055

20.318

42.413

1992

7.401

21.110

5.722

0.307

3.256

17.562

44.643

1993

6.383

18.411

3.778

0.306

2.800

28.193

40.128

1994

8.007

21.209

4.903

0.325

3.238

19.956

42.364

1995

12.548

22.483

5.428

0.210

0.414

21.741

37.176

1996

12.276

26.646

4.966

0.175

0.405

20.018

35.514

1997

11.930

23.582

7.074

0.458

2.913

19.170

34.873

1998

9.859

28.659

5.492

0.552

3.915

13.295

38.228

1999

9.416

28.692

5.366

0.537

3.792

14.990

37.207

2000

10.383

25.059

5.223

0.577

4.807

18.253

35.698

2001

10.751

24.401

5.050

0.826

6.762

19.873

32.337

2002

13.180

23.188

4.638

1.025

7.664

21.455

28.850

2003

13.980

21.462

4.746

0.919

8.978

23.835

26.080

2004

13.215

20.541

4.237

0.862

10.917

27.964

22.265

2005

15.119

17.323

4.000

0.734

7.244

29.437

26.143

2006

15.828

13.567

4.381

0.650

5.653

33.352

26.569

2007

13.343

12.231

3.336

0.552

11.564

23.172

35.803

2008

14.396

12.451

1.556

0.492

10.213

26.983

33.909

2009

9.181

5.042

1.097

0.301

2.635

15.994

65.749


(6)

Lampiran 11. Persentase Biaya Produksi Masing-Masing Input Usahatani

Jagung di Provinsi Jawa Barat, Tahun 1985-2009

(%)

Tahun

Benih

Urea

TSP

Pest

Pupuk

lainnya

Biaya

Lain

Tenaga

Kerja

1985

5.192

9.276

3.696

2.006

3.393

22.342

54.095

1986

5.360

6.587

3.518

0.528

4.914

10.727

68.366

1987

6.777

10.026

5.310

1.222

5.187

9.802

61.676

1988

5.833

7.991

4.684

1.817

4.573

16.633

58.470

1989

8.123

12.585

6.782

0.362

3.058

10.587

58.503

1990

8.533

10.666

5.412

2.371

7.313

12.468

53.237

1991

6.604

11.818

6.170

1.271

2.072

13.013

59.052

1992

8.881

14.386

8.997

1.120

4.917

12.240

49.461

1993

10.220

11.451

5.951

0.919

4.241

11.284

55.935

1994

10.457

13.479

7.425

3.545

1.775

9.673

53.647

1995

10.297

18.006

8.690

0.961

0.397

11.614

50.035

1996

8.544

17.085

7.776

0.945

0.600

13.995

51.055

1997

9.178

15.908

8.688

1.591

0.587

14.856

49.192

1998

7.480

12.705

8.708

1.673

1.977

9.789

57.669

1999

6.942

10.756

7.452

1.509

1.773

11.252

60.315

2000

5.287

10.904

5.926

1.204

2.370

9.321

64.987

2001

4.252

10.106

5.614

0.981

2.830

8.010

68.207

2002

4.973

11.289

5.187

1.202

2.746

7.432

67.171

2003

4.550

11.122

4.316

1.859

3.492

9.603

65.057

2004

2.672

10.006

4.356

2.156

3.925

9.305

67.579

2005

6.044

8.396

3.827

1.435

1.375

8.326

70.596

2006

5.810

6.454

2.898

0.850

1.221

5.775

76.992

2007

6.107

5.232

2.176

0.521

1.232

5.464

79.268

2008

6.997

4.384

1.850

0.506

1.405

4.684

80.174

2009

6.820

2.399

0.936

0.069

1.221

4.008

84.548