Antifertilitas Ekstrak Pegagan (Centella asiatica) dan Reversibilitas Fungsi Reproduksi Pada Tikus (Rattus norvegicus) Jantan

ANTIFERTILITAS EKSTRAK PEGAGAN (Centella asiatica)
DAN REVERSIBILITAS FUNGSI REPRODUKSI PADA TIKUS
(Rattus norvegicus) JANTAN

NURCHOLIDAH SOLIHATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Antifertilitas
Ekstrak Pegagan (Centella asiatica) dan Reversibilitas Fungsi Reproduksi pada
Tikus (Rattus norvegicus) Jantan adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2013

Nurcholidah Solihati
NRP B362090031

RINGKASAN
NURCHOLIDAH SOLIHATI. Antifertilitas Ekstrak Pegagan (Centella asiatica)
dan Reversibilitas Fungsi Reproduksi pada Tikus (Rattus norvegicus) Jantan.
Dibimbing oleh BAMBANG PURWANTARA, IMAN SUPRIATNA dan ADI
WINARTO.
Pertumbuhan penduduk Indonesia selama 10 tahun terakhir cenderung
menurun dan hampir mencapai angka ideal dengan pertumbuhan 1% per tahun.
Keberhasilan tersebut didukung oleh program keluarga berencana dan kampanye
penggunaan kontrasepsi. Namun demikian, hampir seluruh metoda dan alat
konstrasepsi diperuntukan bagi wanita. Beberapa usaha perlu dilakukan dengan
mempromosikan kontrasepsi pria, untuk meningkatkan jumlah partisipan pria.
Tanaman obat telah digunakan secara meluas untuk pengobatan karena

memiliki lebih sedikit efek samping, mudah didapat dan lebih murah dibanding
pengobatan modern. Salah satu tanaman obat yang telah digunakan luas di
masyarakat adalah pegagan (Centella asiatica) yang digunakan untuk mengobati
luka dan meningkatkan fungsi kognitif. Berkaitan dengan reproduksi, telah
dilaporkan bahwa pegagan memiliki efek antifertilitas pada tikus jantan, namun
informasi yang tersedia masih terbatas. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini yaitu
untuk menganalisis efek antifertilitas ekstrak pegagan dan reversibilitas fungsi
reproduksi pada tikus jantan.
Pada tahap pertama, penelitian ini dilakukan secara eksperimental
menggunakan rancangan acak lengkap, terdiri dari 16 perlakuan kombinasi empat
dosis (0, 50, 150 dan 450 mg/kg BB) dan empat lama pemberian (28, 35, 42 dan
49 hari). Parameter yang diamati adalah populasi sel spermatogenik, kualitas
sperma dan kadar testosteron. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi
penurunan populasi spermatid akhir, konsentrasi sperma, motilitas dan kadar
testosteron setelah perlakuan ekstrak pegagan, namun nilai yang dihasilkan masih
berada pada kisaran yang normal. Diperoleh pula hasil bahwa perlakuan ekstrak
pegagan tidak berpengaruh terhadap populasi spermatogonia, spermatosit primer
dan abnormalitas sperma. Berdasarkan hasil ini diketahui bahwa dosis 450 mg/kg
BB menghasilkan nilai spermatid akhir dan konsentrasi sperma terendah
dibanding dosis lainnya. Lama pemberian selama 28 hari nampaknya lebih efisien

dibandingkan lama pemberian yang lebih panjang. Hasil penelitian menunjukkan
pula bahwa perlakuan pegagan sampai dosis 450 mg/kg BB dan lama pemberian
28 hari masih mampu mempertahankan kadar testosteron tikus berada pada
kisaran normal. Penurunan kadar testosteron yang terjadi berkaitan dengan
penghambatan spermatogenesis tahap akhir.
Berdasarkan hasil tersebut maka dilakukan tahap penelitian selanjutnya
untuk menggali efek antifertilitas pegagan dengan cara memberikan perlakuan
pada dosis yang lebih tinggi, dan mengetahui reversibilitas efek yang ditimbulkan
dengan cara memberikan perlakuan lama penghentian pemberian pegagan.
Penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap, dengan 8 perlakuan
kombinasi dosis-lama pemberian (450 mg/kg BB-21 hari, 600 mg/kg BB-21 hari,
450 mg/kg BB-28 hari, dan 600 mg/kg BB-28 hari) dan lama penghentian

pemberian pegagan (1 hari dan 12 hari). Parameter yang diamati terdiri dari
derajat spermatogenesis dan kualitas sperma. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terjadi penurunan derajat spermatogenesis dan kualitas sperma setelah
perlakuan namun masih berada pada kisaran normal. Penurunan derajat
spermatogenesis kemungkinan disebabkan terjadinya apoptosis. Hasil penelitian
ini juga menunjukkan bahwa lama penghentian pemberian pegagan selama 12 hari
meningkatkan derajat spermatogenesis dan kualitas sperma, kecuali pada

perlakuan 450 mg/kg BB selama 28 hari menunjukkan penurunan.
Penelitian selanjutnya dilakukan untuk mengetahui fertilitas yang
dihasilkan dengan cara mengawinkan tikus jantan yang telah diberi perlakuan
dengan tikus betina fertil pada akhir perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tikus jantan yang diberi perlakuan dosis 450 mg/kg BB memperlihatkan
kemampuan untuk mengawini betina, sehingga menghasilkan kebuntingan dan
anak, namun tidak demikian halnya dengan tikus jantan yang diberi perlakuan
dosis 600 mg/kg BB, dimana tidak ada satu ekor pun yang menunjukkan
kemampuan mengawini tikus betina. Setelah penghentian pemberian pegagan
selama 12 hari, tikus jantan yang diberi perlakuan 600 mg/kg BB menunjukkan
kemampuan mengawini tikus betina dan menghasilkan anak. Hal ini memberikan
indikasi bahwa tikus yang diberi dosis 600 mg/kg BB membutuhkan masa
pemulihan untuk mengembalikan kemampuan reproduksinya, namun hasil ini
belum cukup menjelaskan mengenai terjadinya reversibilitas.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat
indikasi antifertilitas yang dimiliki pegagan, dimana tahap perkembangan
spermatogenesis yang terpengaruh adalah tahap spermatid akhir dan spermatozoa.
Penurunan ini berkaitan dengan penurunan kadar testosteron meskipun masih
berada dalam kisaran normal. Demikian pula dengan derajat spermatogenesis
mengalami penurunan setelah pemberian ekstrak pegagan. Namun demikian,

fertilitas tikus jantan yang diberi ekstrak pegagan dengan dosis 450 mg/kg BB
masih dapat dipertahankan karena masih mampu mengawini tikus betina estrus
dan menghasilkan anak, sedangkan yang diberi dosis 600 mg/kg BB memerlukan
masa pemulihan untuk dapat mengawini dan menghasilkan anak. Hasil penelitian
ini belum cukup dapat menjelaskan reversibilitas efek antifertilitas pegagan,
namun demikian fertilitas tikus jantan yang diberi perlakuan dosis 600 mg/kg BB
kembali pulih setelah penghentian perlakuan dimana hal ini menjadi indikasi
terjadinya reversibilitas.
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat indikasi
potensi antifertilitas ekstrak pegagan pada tikus jantan, namun pada penelitian ini
efek antifertilitas yang dihasilkan tidak maksimal. Oleh karena itu, dimasa yang
akan datang upaya yang bisa dilakukan adalah melakukan identifikasi dan
purifikasi terhadap senyawa-senyawa aktif yang terkandung dalam pegagan yang
berperan dalam antifertilitas. Selain itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui efek pegagan terhadap sel-sel penghasil hormon testosteron pada selsel interstitial testis dan sel-sel endokrin (LH dan FSH) di hipofisa anterior
melalui teknik imunohistokimia untuk mengetahui keterkaitan hormonal terhadap
perubahan spermatogenesis yang terjadi.
Kata kunci: antifertilitas, fungsi reproduksi, pegagan, tikus

SUMMARY

NURCHOLIDAH SOLIHATI. The Antifertility of Pegagan (Centella asiatica)
and Reversibility on Reproductive Function of Male Rat (Rattus norvegicus).
Supervised by BAMBANG PURWANTARA, IMAN SUPRIATNA, and ADI
WINARTO.
The Indonesia population growth rate during the past 10 years tend to
decrease and nearly reach the ideal rate of one percent of growth per year. This
success was supported by family planning program and campaign of using
contraception. Unfortunately, almost all contraceptive tools and methods affect
women. Various effort needs to be done by promoting men contraception, in order
to increase participatory rate of men.
Medicinal plants have been used as alternative medicine with an
asumption that it perform less side effects, beside other consideration such as easy
to find and cheaper than the chemical and commercial medicines. One of the
medicinal plants that have been used widely in the community is pegagan
(Centella asiatica) that used to treat injuries and improve cognitive function.
Pegagan has been reported to have an antifertility properties in male rats.
However, the scientific reports on the use of this plant on reproduction purposes
are still limited. So that, the purpose of this study is to determine the antifertility
effect of pegagan extract and reversibility of reproductive capability in male rats.
In the first stage, this experiment was done experimentally with a

completely randomized design, consisting of 16 combinations of four treatment
doses (0, 50, 150 and 450 mg/BW) and four duration of administration (28, 35, 42
and 49 days). Parameters measured were population of spermatogenic cells, sperm
quality and testosterone levels. Results of the experiment showed that the
population of late spermatids, sperm concentration, sperm motility and
testosterone levels decreased following the treatment, although they were still in a
normal range. Results of the experiment also indicated that pegagan extract did
not affect the population of spermatogonia, primary spermatocytes and sperm
abnormality. It also showed that pegagan still be able to maintain testosterone
levels within the normal range. Based on these results, it can be concluded that the
dose of 450 mg/kg BW caused the lowest level of late spermatids and sperm
concentration if compared to the other paramaters. Twenty eight days
administration of pegagan appears to be most efficient duration of administration
than any longer time. Results of the experiment also indicated that treatment doses
of 450 mg/kg BW and duration of 28 days is still able to maintain testosterone
levels in the normal range. Decrease of testosterone levels is associated with
inhibition of late stages of spermatogenesis.
Based on these results, follow up experiment was carried out to explore the
antifertility effects of pegagan and its reversibility. The study was conducted with
a complete randomized design, with 8 treatment of combination of dose-duration

(450 mg/kg BW-21 day, 600 mg/kg BW-21 day, 450 mg/kg BW-28 days, and 600
mg/kg BW-28 days) and the cessation length of pegagan (1 day and 12 days).
Several parameters consisting of the degree of spermatogenesis and sperm quality
of male rats were determined. Results of the experiment showed that the degree of

spermatogenesis and sperm quality decreased after administration of pegagan. The
decrease of spermatogenesis may be due to apoptosis process. The results also
showed that 12 days cessation length of pegagan cause the increase of
developmental stage, quality of sperm, except for the treatment of 450 mg/kg BW
for 28 days.
Further study was conducted to determine fertility of male rats by mating
them with various fertile females at the end of treatment. Results of the
experiment showed that male rats treated with the doses of 450 mg/kg BW
showed mating ability with the female rat and then became pregnant and delivered
the litters, except male rats treated with the doses of 600 mg/kg BW. After 12
days of cessation length of pegagan, male rats treated with 600 mg/kg BW
demonstrated matting ability and produce the litters. This result showed an
indication that rats given the dose of 600 mg/kg BW require the recovery period
to restore reproductive capability. This result is not enough to explain the
reversibility.

Based on the results of these study it is strongly indicated that pegagan has
antifertility potential. The developmental stages of spermatogenesis affected by
pegagan are late spermatids and spermatozoa. This decrease was associated with
the decreased of testosterone levels, although still within the normal range.
Similarly, the degree of spermatogenesis decreased following the administration
of pegagan extract. However, the fertility of male rats given pegagan extract at a
dose of 450 mg/kg BW still be tenable. The female rats produce the litters, while
those given a dose of 600 mg/kg BW requires a recovery period to be able to mate
and produce the litters. Result of this study can not sufficiently explain the
reversibility of the antifertility effects of pegagan. However the fertility of male
rats treated with the doses of 600 mg/kg BW recovered after the cessation of
treatment.
Based on the results of this study, it is concluded that there are indication
of antifertility potentials after administration of pegagan extract on male rats, but
in this study has not obtained maximum antifertility effect. Therefore, further
efforts is necessary to identify and purify the active compounds contained in
pegagan which affect antifertility. It need future researches to determine the cells
that produce testosterone on testiscular interstitial cells and the endocrine cells
(LH and FSH) in the anterior hipophyse by imunohistochemistry technic to
determine the relevance of the hormonal changes that occur spermatogenesis.

Key words: antifertility, reproductive function, pegagan, rat

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

ANTIFERTILITAS EKSTRAK PEGAGAN (Centella asiatica)
DAN REVERSIBILITAS FUNGSI REPRODUKSI PADA TIKUS
(Rattus norvegicus) JANTAN

NURCHOLIDAH SOLIHATI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji luar pada Ujian Tertutup: 1. Dr drh Muhammad Agil, MScAgr
2. Dr dra Ietje Wientarsih, Apt MSc
Penguji luar pada Ujian Terbuka: 1. Prof Dr drh Tuty Laswardi Yusuf, MS
2. DrAgr Ir Siti Darodjah Rasad, MS

Judul Disertasi : Antifertilitas Ekstrak Pegagan (Centella asiatica) dan
Reversibilitas Fungsi Reproduksi Pada Tikus (Rattus
norvegicus) Jantan
Nama
: Nurcholidah Solihati
NIM
: B362090031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr drh Bambang Purwantara, MSc
Ketua

Prof Dr drh Iman Supriatna
Anggota

drh Adi Winarto, PhD PAVet
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 30 Oktober 2013

Tanggal Lulus:

Judul Disertasi

Nama
NIM

Antifertilitas Ekstrak Pegagan (Centella aSiatica) dan
Reversibilitas Fungsi Reproduksi Pada Tikus (Rattus
norvegicus) J antan
Nurcholidah Solihati
B362090031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr drh Bambang Purwantara, MSc
Ketua

セヲ

r drh Iman Supriatna
Anggota

drh Adi Winarto, PhD P A Vet
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi

Mohamad Agus Setiadi

Tanggal Ujian: 30 Oktober 2013

Syah, MScAgr

Tanggal Lulus:

23 DEC2013

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke-hadirat Allah SWT yang
maha pengasih dan penyayang, karena atas ridhoNya penulis dapat menyelesaikan
disertasi ini dengan judul: Antifertilitas Ekstrak Pegagan (Centella asiatica) dan
Reversibilitas Fungsi Reproduksi pada Tikus (Rattus norvegicus) Jantan.
Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1. Dr drh Bambang Purwantara, MSc, Prof Dr drh Iman Supriatna, dan drh Adi
Winarto, PhD PAVet selaku komisi pembimbing yang telah banyak
mencurahkan waktu dan pikiran untuk memberikan saran, masukan serta
arahan selama penulis menyusun disertasi ini.
2. Prof Dr Ir Ganjar Kurnia, DEA, selaku Rektor Universitas Padjadjaran yang
telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi.
3. Dr Ir Iwan Setiawan, DEA, selaku Dekan Fakultas Peternakan Universitas
Padjadjaran atas izin dan dukungan yang telah diberikan untuk melanjutkan
studi.
4. Prof Dr Ir Soeparna, MS, selaku Kepala Laboratorium Reproduksi Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran atas izin dan dukungan yang
telah diberikan untuk melanjutkan studi.
5. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas Beasiswa Pendidikan
Pascasarjana (BPPS) Dikti selama penulis menempuh pendidikan.
6. Pusat Studi Regional Biologi Tropis (SEAMEO BIOTROP) atas bantuan dana
penelitian melalui Ph.D Student Research Grant tahun 2012.
7. Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi, selaku Ketua Program Studi Biologi
Reproduksi atas izin yang telah diberikan selama menempuh studi.
8. Seluruh staf pengajar dan administrasi Program Studi Biologi Reproduksi atas
pengajaran dan bantuan yang diberikan selama penulis menempuh studi.
9. Kepala, staf dan laboran laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor atas bantuan yang telah diberikan selama penulis
melakukan penelitian.
10. Dr drh Muhammad Agil, MScAgr dan Dr dra Ietje Wientarsih, Apt MSc yang
telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup.
11. Prof Dr drh Tuty Laswardi Yusuf, MS dan DrAgr Ir Siti Darodjah Rasad, MS
yang telah berkenan menjadi penguji luar pada ujian terbuka.
12. Rekan-rekan di Program Studi Biologi Reproduksi Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor atas kerjasama dan dukungan yang telah diberikan
selama penulis menempuh studi.
13. Semua pihak yang telah membantu selama penulis melanjutkan studi.
Penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada ibunda
yang selalu mendoakan penulis, juga kepada ayahanda (alm) atas motivasi yang
telah diberikan. Penghargaan yang sama disampaikan kepada suami (Mulyadi,
S.Pt.) dan anak-anak tercinta (M Rifki Rasyid Pasha, M Aidil Faras, dan M Derifa
Aryan Khedira) atas segala doa, dukungan dan pengertian yang telah diberikan,
juga kepada bapak mertua dan ibu mertua (alm) serta seluruh keluarga besar atas
segala doa dan dukungannya selama ini.

Atas kebaikan yang telah diberikan dari semua pihak, penulis berdoa
semoga Allah SWT membalasnya dengan limpahan pahala, amien. Akhirnya,
penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis
sebagai bagian kecil dalam upaya pengembangan ilmu reproduksi, dan pada
umumnya bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Desember 2013

Nurcholidah Solihati

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Kerangka Pemikiran
Hipotesis
Manfaat Penelitian

1
3
3
4
4

TINJAUAN PUSTAKA

5

Sistem Reproduksi Jantan
Deskripsi Kontrasepsi Pria
Tanaman yang Memiliki Efek Antifertilitas
Tinjauan Tentang Pegagan (Centella asiatica)
Tinjauan Tentang Tikus (Rattus norvegicus)
PERKEMBANGAN SEL-SEL SPERMATOGENIK DAN
KUALITAS SPERMA PASCAPEMBERIAN EKSTRAK PEGAGAN
(Centella asiatica)
Abstract
Abstrak
Pendahuluan
Materi dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
Daftar Pustaka
KADAR TESTOSTERON PASCAPEMBERIAN EKSTRAK
PEGAGAN (Centella asiatica) PADA TIKUS JANTAN
Abstract
Abstrak
Pendahuluan
Materi dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
Daftar Pustaka

5
9
9
11
13

14
14
14
15
16
19
28
28
30
30
30
30
31
33
37
37

PERUBAHAN HISTOMORFOLOGI TUBULI SEMINIFERI
PASCAPEMBERIAN DAN PENGHENTIAN EKSTRAK
PEGAGAN (Centella asiatica)
Abstract
Abstrak
Pendahuluan
Materi dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
Daftar Pustaka
FERTILITAS TIKUS JANTAN PASCAPEMBERIAN DAN
PENGHENTIAN EKSTRAK PEGAGAN (Centella asiatica)
Abstract
Abstrak
Pendahuluan
Materi dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
Daftar Pustaka

40
40
40
41
42
44
51
51
53
53
53
54
55
56
61
61

PEMBAHASAN UMUM

62

SIMPULAN DAN SARAN

68

DAFTAR PUSTAKA

69

LAMPIRAN

74

DAFTAR TABEL

1

Rata-rata populasi sel spermatogonia dan simpangan baku
pada berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian
ekstrak pegagan
2 Rata-rata populasi sel spermatosit primer dan simpangan baku
pada berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian
ekstrak pegagan
3 Rata-rata populasi sel spermatid akhir dan simpangan baku
pada berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian
ekstrak pegagan
4 Rata-rata motilitas sperma dan simpangan baku pada berbagai
perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian ekstrak
pegagan
5 Rata-rata konsentrasi sperma dan simpangan baku pada
berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian
ekstrak pegagan
6 Rata-rata abnormalitas sperma dan simpangan baku pada
berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian
ekstrak pegagan
7 Rata-rata kadar testosteron dan simpangan baku pada
berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian
ekstrak pegagan
8 Derajat Spermatogenesis pascapemberian dan penghentian
pegagan
9 Motilitas sperma tikus pascapemberian pegagan dan setelah12
hari penghentian pemberian pegagan
10 Konsentrasi sperma tikus pascapemberian pegagan dan
setelah 12 hari penghentian pemberian pegagan
11 Abnormalitas sperma tikus pascapemberian pegagan dan
setelah 12 hari penghentian pemberian pegagan
12 Kejadian perkawinan antara tikus jantan dan betina dan
jumlah anak yang dihasilkan tikus betina

20

21

22

23

25

26

34
47
49
49
50
60

DAFTAR GAMBAR

1
2
3

Tiga fase proses spermatogenesis, yaitu spermatocytogenesis,
meiosis, dan spermiogenesis
Hubungan antara hormon-hormon yang dihasilkan oleh selsel Sertoli, sel-sel Leydig, hipotalamus dan pituitary anterior
Jalur Sinyal Testosteron

6
7
8

Tanaman pegagan (Centella asiatica)
Penampang tubuli seminiferi testis yang berisi sel-sel
spermatogenik
6 Penampang tubuli seminiferi testis
7 Penampang tubuli seminiferi, menunjukkan gambaran derajat
spermatogenesis
8 Siklus estrus pada tikus betina penelitian
9 Sperma diantara sel-sel keratin dan leukosit setelah proses
perkawinan
10 Gambaran sel dari preparat ulas vagina tikus bunting
4
5

11
19
45
46
56
58
58

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4

Prosedur Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Sperma abnormal
Penampang tubuli seminiferi testis tikus putih
Foto-foto kegiatan penelitian

74
75
75
76

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Laju pertambahan penduduk Indonesia pada saat ini cukup
mengkhawatirkan. Penduduk bertambah sebanyak 3 sampai 4 juta jiwa setiap
tahun atau sekitar 10 ribu bayi lahir setiap hari. Berdasarkan sensus penduduk
tahun 2010 diketahui bahwa pertumbuhan penduduk melebihi proyeksi nasional,
yaitu 237.6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1.49 persen per
tahun. Jika laju pertumbuhan penduduk 1.49 persen per tahun maka akan terjadi
pertumbuhan penduduk sekitar 3.5 juta lebih per tahun. Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperkirakan bahwa jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2011 telah bertambah menjadi 241 juta jiwa lebih dan pada
tahun 2045 bisa menjadi sekitar 450 juta jiwa.
Diperlukan pengembangan teknologi untuk mengimbangi ancaman
ledakan penduduk, dimana penanggulangannya merupakan tanggung jawab
semua pihak, baik pemerintah, masyarakat dan swasta. Menyikapi laju
pertumbuhan penduduk Indonesia yang cepat tersebut diperlukan upaya
revitalisasi Keluarga Berencana. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah
meningkatkan peran kaum pria sebagai akseptor KB, dimana kesertaan KB pria
masih sebesar 1.5 persen dari sasaran yang ditetapkan sebesar 4.5 persen pada
tahun 2009.
Pemerintah dalam hal ini BKKBN berupaya sungguh-sungguh untuk
meningkatkan peran serta pria dalam ber-KB. Dalam visi dan misi pencapaian
Keluarga Berkualitas 2015 dikemukakan tentang peningkatan upaya mewujudkan
kesetaraan dan keadilan jender dalam pelaksanaan program KB nasional.
Demikian pula dalam rancangan sasaran program KB pada tahun 2010 dan tahun
2015 telah ditetapkan peran serta pria ber-KB sekitar 4.5 persen hingga 7.5
persen. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu didukung dengan ketersediaan obat
kontrasepsi yang sesuai untuk pria. Dalam hal ini, perlu dilakukan optimalisasi
upaya-upaya penelitian untuk mencari bahan-bahan kontrasepsi yang ideal untuk
memenuhi keperluan tersebut.
Suatu obat atau senyawa antifertilitas dapat dianggap ideal bila dapat
memberikan perlindungan terhadap fertilitas dan bahan tersebut efektif
menimbulkan sterilitas dalam jangka waktu yang diharapkan, dapat kembali
normal jika pemakaiannya dihentikan (reversibel), tidak menurunkan libido,
mempunyai pengaruh yang cukup lama, mudah digunakan, murah, dapat diterima
oleh masyarakat, tidak toksis dan tidak menimbulkan efek samping (Farnsworth
dan Waller 1982; Heidari et al. 2012). Sementara itu, salah satu alasan mengapa
kontrasepsi tidak popular di kalangan pria adalah adanya kekhawatiran bahwa
efek antifertilitas yang ditimbulkan akan bersifat permanen atau tidak reversibel.
Salah satu bahan kontrasepsi yang sedang diupayakan penggunaannya
adalah yang berasal dari tanaman obat. Hingga saat ini upaya-upaya penelitian
terus dilakukan untuk mendapatkan formulasi yang baku sehingga dapat
digunakan sebagai obat kontrasepsi secara meluas. Obat kontrasepsi yang berasal
dari tanaman mempunyai keuntungan antara lain toksisitasnya rendah, mudah

2

diperoleh, murah, dan kurang menimbulkan efek samping (Tadjuddin 1984 diacu
dalam Sutyarso 1992).
Indonesia memiliki banyak sekali tumbuhan yang sudah dibudidayakan
dan digunakan sebagai obat alam atau obat tradisional. Terdapat sekitar 225 jenis
tumbuhan dari 75 famili dapat digunakan sebagai bahan kontrasepsi (Adnan
2010).
Pegagan (Centella asiatica) atau disebut juga antanan merupakan salah
satu tanaman obat yang sudah digunakan secara meluas untuk mengobati berbagai
macam penyakit. Pegagan merupakan tanaman obat yang tumbuh liar di seluruh
Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman merambat yang biasa dikonsumsi
dalam bentuk segar sebagai lalapan. Terkait sebagai tanaman obat tradisional,
pegagan diakui memiliki efek farmakologis yang luas dan banyak digunakan
untuk mengobati berbagai macam penyakit. Penggunaan pegagan yang paling
populer yaitu untuk penyembuhan luka dan meningkatkan daya ingat.
Pegagan telah dilaporkan pula mengandung berbagai macam senyawa
aktif yaitu triterpenoid, minyak essensial, flavonoid dan komponen lain seperti
polisakarida, polyne-alkene, asam amino, asam lemak, sesquiterpen, alkaloid,
sterol, carotenoid, tanin, kloropil, pektin, garam inorganik, dll. (Zheng dan Qin
2007). Beberapa peneliti melaporkan bahwa berbagai jenis senyawa bioaktif yang
terkandung pada tumbuhan, terutama senyawa-senyawa yang berasal dari
golongan steroid, alkaloid, isoflavonoid, triterpenoid dan xanthon memiliki
aktivitas sebagai bahan antifertilitas (Farnsworth dan Waller 1982; Joshi et al.
2011). Hasil analisis kualitatif ekstrak pegagan yang dilakukan di laboratorium uji
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) menunjukkan bahwa
pegagan memiliki kandungan besar senyawa aktif seperti glikosida, saponin,
tanin, triterpenoid, dan alkaloid. Peneliti lain telah melaporkan pula bahwa
pegagan telah digunakan untuk pengobatan reproduksi secara tradisional, dimana
rebusan daun pegagan digunakan secara meluas di India dan Asia Timur untuk
kontrasepsi pria (Heidari et al. 2012).
Laporan penggunaan pegagan dalam bidang reproduksi masih terbatas
namun telah dilaporkan bahwa pegagan memiliki efek antispermatogenik dan
aktivitas antifertilitas pada tikus jantan (Noor dan Ali 2004), degenerasi
spermatozoa, penurunan jumlah sperma dan sperma motil pada tikus (Heidari et
al. 2007), beberapa degenerasi sel-sel spermatogenik dan penurunan spermatozoa
dalam lumen tubuli seminiferi (Yunianto et al. 2010).
Berdasarkan laporan tersebut diduga bahwa pegagan dapat dijadikan
sebagai kandidat obat alami untuk kontrasepsi pada pria. Namun demikian, masih
diperlukan serangkaian penelitian untuk memastikan hal tersebut, diantaranya
mengenai lama pemberian pegagan. Hal ini mengingat University of Marynd
Medical Center (UMMC) merekomendasikan penghentian untuk mengkonsumsi
pegagan selama dua minggu setelah penggunaan pegagan selama enam minggu.
Selain itu, ada pula yang menyebutkan bahwa pemberian pegagan tidak boleh
lebih dari empat minggu. Namun demikian informasi tersebut tidak disertai
penjelasan lebih lanjut.
Sejauh ini, informasi mengenai efek pegagan yang berkaitan dengan dosis
dan lama pemberian juga belum tersedia sehingga timbul permasalahan yaitu pada
dosis dan lama pemberian ekstrak pegagan berapakah yang secara optimal dapat
menghambat spermatogenesis dan sekaligus bersifat antifertilitas. Selain itu,

3

belum diketahui pula apakah efek antifertilitas ekstrak pegagan yang ditimbulkan
terhadap sistem reproduksi jantan bersifat sementara (reversibel) atau tidak, bila
ekstrak pegagan tersebut sudah tidak digunakan lagi. Demikian pula mengenai
efek pegagan terhadap fertilitas yang dihasilkan belum dilaporkan. Dalam hal ini,
perlu diteliti berbagai parameter yang dapat dijadikan acuan mengenai
kemungkinan penggunaan pegagan sebagai obat kontrasepsi untuk pria, antara
lain mengenai kualitas sperma, perubahan histomorfologi testis, kadar hormon
androgen (testosteron) dan fertilitas yang dihasilkan. Berlatarbelakang hal
tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mempelajari antifertilitas ekstrak
pegagan dan reversibilitas fungsi reproduksi pada tikus jantan.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis efek antifertilitas
ekstrak pegagan dan reversibilitas fungsi reproduksi pada tikus jantan.
Secara terperinci, tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menganalisis :
1) Adanya efek antifertilitas ekstrak pegagan
2) Dosis dan lama pemberian yang menyebabkan gangguan fertilitas.
3) Tingkat perkembangan spermatogenesis yang terpengaruh
4) Efek ekstrak pegagan terhadap kadar testosteron
5) Fertilitas setelah pemberian ekstrak pegagan
6) Reversibilitas fungsi reproduksi dari efek antifertilitas yang ditimbulkan

Kerangka Pemikiran

Fungsi reproduksi jantan yang normal tergantung pada fungsi normal
organ reproduksi jantan dan kelenjar-kelenjar assesoris. Testis adalah organ
reproduksi primer pada jantan dimana terjadi spermatogenesis dan
steroidogenesis. Kualitas dan kuantitas spermatozoa yang dihasilkan akan
tergantung pada fungsi normal struktur testikular dan hormon-hormon reproduksi.
Beberapa kandungan senyawa aktif yang dimiliki pegagan seperti glikosida,
triterpenoid, tanin, saponin dan alkaloid diduga dapat berpengaruh terhadap
spermatogenesis. Penelitian sebelumnya terhadap tanaman lain, melaporkan
bahwa kandungan triterpen dan saponin di dalam tanaman memberikan efek
perusakan pada sel-sel sperma, glukosida triterpen di dalam tanaman dapat
menghambat spermatogenesis dan cenderung bersifat antifertilitas pada jantan,
Tanin pada reproduksi jantan bekerja dalam proses transportasi, menyebabkan
penggumpalan sperma dan dapat menghalangi trasportasi sperma atau proses
spermatogenesis, golongan alkaloid dapat mempengaruhi spermatogenesis dengan
cara menekan sekresi hormon reproduksi yang diperlukan untuk berlangsungnya
spermatogenesis.
Penelitian sebelumnya terhadap pegagan telah melaporkan bahwa pegagan
memiliki efek antispermatogenik dan antifertilitas, namun sejauh ini belum
diketahui dengan jelas kapan fertilitas spermatozoa terganggu. Selain itu, belum

4

diketahui reversibilitas dari efek yang ditimbulkan dan efek terhadap fertilitas
yang dihasilkan setelah pemberian ekstrak pegagan.
Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan beberapa permasalahan
tersebut. Penelitian untuk mengetahui kapan fertilitas terganggu dapat didekati
dengan meneliti efek dosis dan lama pemberian ekstrak pegagan terhadap kualitas
semen dan perkembangan tahapan spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi,
dengan memberikan perlakuan kombinasi beberapa macam dosis dan lama
pemberian ekstrak pegagan. Selanjutnya, setelah menemukan kepastian efek
antifertilitas dari dosis dan lama pemberian ekstrak pegagan yang terpilih,
penelitian dilanjutkan untuk mengetahui efek tersebut bersifat sementara
(reversibel) atau tidak. Pendekatan yang dilakukan yaitu dengan memberikan
perlakuan masa pemulihan setelah pemberian ekstrak pegagan, yaitu dengan
memberikan perlakuan penghentian pemberian pegagan dan selanjutnya
melakukan pengujian terhadap kualitas semen dan perubahan histomorfologi
testis. Selain itu, untuk mengetahui efek ekstrak pegagan terhadap libido tikus
jantan, dilakukan pengukuran terhadap kadar hormon testosteron. Selanjutnya,
untuk mengetahui efek ekstrak pegagan tersebut terhadap fertilitas dilakukan
perkawinan antara jantan yang telah diberi perlakuan dengan betina fertil yang
dilakukan pada akhir perlakuan.

Hipotesis

1.
2.
3.
4.

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:
Ekstrak pegagan memiliki efek antispermatogenik
Ekstrak pegagan dapat menurunkan kadar testosteron
Ekstrak pegagan dapat menurunkan keberhasilan fertilisasi
Efek yang ditimbulkan bersifat reversibel

Manfaat Penelitian

Hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk memberikan informasi mengenai :
1. Peran ekstrak pegagan dalam sistem reproduksi jantan, yaitu mengenai
kualitas semen, perubahan dalam testis dan hormonal.
2. Peran ekstrak pegagan sebagai bahan antifertilitas pada jantan.
3. Reversibilitas fungsi reproduksi berkaitan dengan efek antifertilitas
ekstrak pegagan.
4. Kemungkinan eksplorasi lebih lanjut untuk menentukan ekstrak pegagan
sebagai bahan kontrasepsi untuk pria.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Reproduksi Jantan
Reproduksi jantan merupakan suatu proses komplek yang melibatkan
testis, epididimis, kelenjar assesori dan hormon-hormon yang terkait.
Testis
Testis adalah organ reproduksi jantan yang terutama bertanggung jawab
untuk produksi spermatozoa melalui spermatogenesis dan produksi hormon
androgen melalui steroidogenesis. Produksi spermatozoa terjadi di tubuli
seminiferi testis yang dikontrol oleh testosteron yang dihasilkan oleh sel-sel
Leydig (interstitial) testis (Dolores dan Cheng 2004). Produksi tetosteron secara
langsung tergantung pada konsentrasi atau aktivitas luteinizing hormone (LH),
yang disekresikan oleh kelenjar pituitary anterior. Follicle stimulating hormone
(FSH) dilepaskan juga oleh hipofisa anterior, merangsang sel-sel Sertoli testis
yang memberikan dukungan dan nutrisi untuk perkembangan spermatozoa.
Spermatogenesis
Spermatogenesis adalah proses pembentukan sel spermatozoa, merupakan
suatu proses komplek dimana sel-sel germinal yang belum berdiferensiasi
mengalami multifikasi dan maturasi membentuk spermatozoa fungsional.
Spermatogenesis terdiri dari tiga fase yaitu: 1) fase spermatogonia, 2) fase
spermatosit, dan 3) fase spermatid (D’Cruz et al. 2010).
Senger (2003) menjelaskan bahwa spermatogenesis terjadi di tubuli
seminiferi dan terdiri dari sejumlah transformasi seluler dalam sel-sel germinal
yang sedang berkembang yang terjadi dalam epitel seminiferi. Dijelaskan pula
bahwa spermatogenesis dapat dibagi menjadi tiga fase (Gambar 1) yaitu:
1. Spermatocytogenesis, meliputi pembelahan mitosis yang melibatkan
proliferasi dan pemeliharaan spermatogonia. Pada fase ini, spermatogonia
mengalami suatu rangkaian pembelahan mitosis dan pembelahan mitosis
terakhir menyebabkan peningkatan spermatosit primer yang akan memasuki
pembelahan meiosis.
2. Proses meiosis
Pada fase ini melibatkan spermatosit primer dan spermatosit sekunder.
Spermatosit primer (2n) melakukan pembelahan meiosis pertama membentuk
2 spermatosit sekunder (n). Tiap spermatosit sekunder melakukan pembelahan
meiosis kedua, menghasilkan 2 spermatid yang bersifat haploid (n).
Pembelahan meiosis kedua menghasilkan spermatid haploid (n). Keempat
spermatid ini berkembang menjadi sperma matang yang bersifat haploid yang
semua fungsional.
3. Spermiogenesis/fase differensiasi
Spermiogenesis adalah transformasi morfologik spermatid menjadi
sepenuhnya berdifferensiasi yaitu spermatozoa. Pada fase ini, tidak terjadi
pembelahan sel selanjutnya, spermatid yang belum berdifferensiasi mengalami

6

transformasi yang menghasilkan spermatozoa yang telah berdifferensiasi
penuh, terdiri dari head/kepala, flagella/midpiece, dan principal piece.
Kepala sperma tebal mengandung inti haploid yang ditutupi badan khusus
yang disebut akrosom. Akrosom mengandung enzim hyaloronidase/protease
yang membantu sperma menembus sel telur. Bagian tengah sperma
mengandung mitokondria spiral yang berfungsi menyediakan energi untuk
gerak ekor sperma. Sperma yang matang akan menuju epididimis, kemudian
ke vas deferens, vesicula seminalis, urethra dan berakhir dengan ejakulasi.
Setiap proses spermatogenesis memerlukan waktu 65-75 hari pada manusia
sampai terbentuknya sperma yang fungsional, sedangkan pada tikus selama 48
hari. Sperma ini dapat dihasilkan sepanjang usia, sehingga tidak ada batasan
waktu, kecuali bila terjadi suatu kelainan yang menghambat produksi sperma.

Gambar 1

Tiga fase proses spermatogenesis, yaitu spermatocytogenesis,
meiosis, dan spermiogenesis (Senger 2003).

Pengaturan Hormonal dalam Spermatogenesis
Regulasi hormonal pada spermatogenesis diatur dengan baik melalui suatu
mekanisme umpan balik yang melibatkan hipotalamus, kelenjar hipofisis dan
testis. Hipotalamus mensintesis dan mensekresikan gonadotropin-releasing
hormone, yang menginduksi produksi dan pelepasan Luteinizing hormone (LH)
dan Follicle stimulating hormone (FSH) dari kelenjar hipofisis. Luteinizing
hormone menyebabkan sistesis testosteron di dalam sel-sel Leydig testis, yang
menimbulkan umpan balik negatif terhadap pelepasan hormon dari hipotalamus
dan hipofisis. Follicle stimulating hormone bekerja pada sel-sel Sertoli,
menghasilkan produksi androgen-binding protein, yang membantu testosteron
memasuki sertoli-sertoli junctional complexes (Ogbuewu et al. 2011).
Steroidogenesis adalah proses biologis dimana steroid diturunkan dari
kolesterol dan diubah menjadi steroid-steroid lain. Pada jantan, LH memainkan
suatu peran dalam fungsi reproduksi dengan memodulasi diferensiasi sel Leydig
testis dan steroidogenesis. Testosteron disekresikan oleh sel-sel Leydig, dan pada
gilirannya mendukung diferensiasi seksual jantan, androgenisasi pubertal, dan

7

fertilitas. Di dalam testis, reseptor-reseptor LH diekspresikan dalam sel-sel Leydig
selama perkembangan fetus, pada awal kehidupan postnatal, dan dari pubertas ke
masa dewasa (Ogbuewu et al. 2011).
Beberapa faktor yang dapat mengganggu steroidogenesis pada sel Leydig
yang distimulasi LH dapat menyebabkan dampak besar terhadap regulasi
endokrin spermatogenesis dan dapat menuju kepada infertilitas. Beberapa produk
tanaman diketahui untuk target sel-sel Leydig dan mengganggu fungsinya.
Banyak tanaman merusak steroidogenesis melalui target enzim yang terlibat
dalam proses-proses pada level sel-sel Leydig dan atau pada level poros
hipotalamus-hipofisis-gonad (Ogbuewu et al. 2011). Pengaturan hormonal dalam
spermatogenesis (Gambar 2) menunjukkan hubungan poros hypothalamushipofisa-testis dalam menghasilkan hormon untuk spermatogenesis.

Gambar 2 Hubungan antara hormon-hormon yang dihasilkan oleh sel-sel Sertoli,
sel-sel Leydig, hipotalamus dan pituitary anterior (Senger 2003).
Testosteron (T) dihasilkan oleh sel-sel Leydig dipindahkan ke dalam
sel-sel Sertoli dimana diubah menjadi dehydrotestosteron (DHT) dan
estrogen (E2). Testosteron dan estrogen dipindahkan oleh darah ke
hypothalamus dimana mereka memberikan umpan balik negatif
terhadap syaraf-syaraf GnRH. LH berikatan dengan reseptor di dalam
sel-sel Leydig interstitial dan FSH berikatan dengan sel-sel Sertoli.
Sel-sel Leydig menghasilkan testosteron yang dipindahkan ke
pembuluh darah yang berdekatan dan sel-sel Sertoli dimana
testosterone dikonversi menjadi DHT.

8

Hormon-hormon yang terkait dengan proses spermatogenesis (Senger
2003) yaitu:
1. GnRH dari hypothalamus, yaitu FSH-RH dan LH-RH
2. FSH dan LH dari hipofisa anterior.
Hormon FSH berfungsi untuk merangsang pembentukan sperma secara
langsung serta merangsang sel sertoli untuk meghasilkan ABP (Androgen
Binding
Protein)
untuk
memacu
spermatogonium
melakukan
spermatogenesis. Hormon LH berfungsi merangsang sel Leydig untuk
memperoleh sekresi testosteron.
3. Steroid dari gonad jantan (testis), yaitu testosteron dan estrogen.
Menurut Walker (2011) terdapat beberapa jalur bagaimana testosteron
berperan dalam spermatogenesis, yaitu classical pathway dan non-clasical
pathway (Gambar 3). Pada classical pathway, testosteron berdifusi melalui
membran plasma dan mengikat reseptor androgen. Selanjutnya reseptor androgen
berpindah menuju nucleus dimana dia berikatan dengan androgen response
elements (AREs). Aktivasi classical pathway membutuhkan sekitar 30 sampai 45
menit untuk mengawali perubahan dalam ekspresi gen. Pada non-classical
pathway setidaknya terdapat dua mekanisme aksi tetosteron di sel Sertoli, yaitu 1)
Ca influx pathway dan 2) aktivasi Src, EGFR, kinase dan CREB.

Gambar 3 Jalur Sinyal Testosteron

9

Deskripsi Kontrasepsi Pria
Kontrasepsi pada pria secara garis besar dapat dibagi menjadi 1) cara
mekanis, dan 2) cara medikamentosa. Secara mekanis dengan cara pemakaian
kondom dan secara operatif dengan vasektomi. Salah satu cara medikamentosa
adalah dengan penggunaan hormon.
Kontrasepsi pria dengan cara pemberian hormon memiliki sasaran poros
umpan balik endokrin untuk menekan spermatogenesis. Gonadotropin dari
hipofisis ditekan melalui pemberian testosterone atau suatu derivat androgen,
sering diberikan dalam kombinasi dengan bahan antigonadotropin yang lain
(misalnya progestin atau GnRH antagonis) (Matthiesson dan McLachlan 2006).
Tujuan kontrasepsi hormonal adalah mengubah lingkungan endokrin
sehingga kontrol hormonal untuk spermatogenesis dapat dihambat. Metode
kontrasepsi hormonal pria dapat berperan menurunkan jumlah sperma melalui
penekanan sekresi gonadotropin yang berakibat menurunkan testosteron testis dan
menghambat spermatogenesis.
Metode kontrasepsi pada pria belum dapat diterima secara meluas.
Menurut data BKKBN, kesertaan pria Indonesia dalam KB hanya sekitar 1.5
persen pada tahun 2009. Beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut
diantaranya karena kurang efektif dan kurang reversible (Matthiesson dan
McLachlan 2006). Oleh karena itu upaya-upaya untuk melakukan penelitian
terhadap bahan kontrasepsi pria yang dapat diterima masyarakat sangat perlu
dilakukan, salah satunya dengan melakukan eksplorasi terhadap tanaman obat
yang berpotensi sebagai bahan antifertilitas.

Tanaman yang Memiliki Efek Antifertilitas
Beberapa pendekatan untuk induksi infertilitas telah diteliti dalam periode
panjang yang meliputi pendekatan hormonal, kimia dan immunologis. Pada masa
kini usaha-usaha untuk menggali tanaman obat untuk kontrasepsi sedang
digalakan. Sejumlah tanaman telah diidentifikasi dan dievaluasi dari ekstrak dan
bahan aktif dari berbagai bagian tanaman seperti biji, akar, daun, bunga atau
batang. Penelitian yang telah dilakukan selama periode 25 tahun (1980 sampai
2005) menunjukkan bahwa terdapat 105 tanaman yang memiliki aktivitas
antifertilitas pada jantan (Gupta dan Sharma 2006). Beberapa tanaman yang telah
diidentifikasi adalah: Hibiscus rosa sinensis, Gossypium herbaceum, Tripterygium
wilfordii Hook. F., Carica papaya Linn., Andrographis paniculata Wall. Ex Nees,
Solanum surattense Burm f., Embelia ribes Burm. f., Catharanthus roseus G.
Don,, Abrus precatorius Linn., Azadirachta indica A. Juss, Momordica charantia,
Allium sativum, Piper longum, Ocimum sanctum, Thespesia populnea, Justisia
gendarusa (Arifiantini 1996; Gupta dan Sharma 2006; Ogbuewu et al. 2011).
Beberapa tanaman dengan status lebih aktif adalah sebagai berikut (Gupta
dan Sharma 2006):
1. Gossypium herbaceum Linn., (Family-Malvaceae, Levant Cotton)
Kandungan gossypol dapat menurunkan kadar testosteron dan LH serum
tergantung pada dosis dan lama pemberian. Gossypol berpengaruh langsung
terhadap testes dan menginduksi azoospermia atau oligospermia. Gossypol

10

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

juga memblok pembentukan cAMP pada sperma yang menyebabkan
penghambatan motilitas sperma. Gossypol menurunkan aktivitas sekresi
kelenjar assesori.
Tripterygium wilfordii Hook. F.
Menyebabkan perubahan degeneratif dalam epitel tubuli seminiferi dan
menurunkan testosteron plasma. Triptolide, kandungan aktif tanaman tersebut
dapat menyebabkan infertilitas post-testicular dan menghasilkan beberapa
kerusakan pada cauda epididimis sperma. Zat aktif lain, tripchlorolide
menghambat aktivitas hyaluronidase testes dan epididimis pada tikus.
Carica papaya Linn.
Efek kontrasepsi tanaman ini terutama post-testicular, tanpa mempengaruhi
profil toksikologis dan libido hewan. Pemberian ekstrak biji papaya dapat
menekan motilitas dan jumlah sperma cauda epididimis pada tikus. Selain itu
dapat menurunkan kontraktil tubulus cauda epididimis yang dapat
menghambat transport sperma di cauda epididimis. Ekstrak biji papaya juga
merubah ultrastruktural di dalam testis dan epididimis tikus.
Andrographis paniculata Wall. Ex Nees
Kandungan utama tanaman ini yaitu andrographilode berpengaruh terhadap
spermatogenesis dengan cara menahan cytokinesis pembelahan sel-sel
spermatogonia. Selain itu menyebabkan penurunan jumlah sperma, motilitas
dan terjadi abnormalitas sperma.
Solanum surattense Burm f.
Solasodin, suatu alkaloid steroid dari tanaman tersebut menyebabkan
perubahan di dalam membran akrosom sperma dan menurunkan motilitas
sperma. Selain itu dapat menyebabkan perubahan degeneratif pada epitel
seminiferi dan elemen-elemen spermatogenik pada tikus jantan.
Embelia ribes Burm. f.
Menyebabkan aktivitas spermicidal, berpengaruh buruk terhadap motilitas
sperma, kualitas dan kuantitas semen, dan menurunkan kadar hormon.
Embelin sebagai zat aktif tanaman ini dapat merubah histology dan kandungan
testis dan dinyatakan memiliki sifat antiandrogenik.
Catharanthus roseus G. Don
Ekstrak daun tanaman ini menyebabkan antispermatogenesis dan
antiandrogenesis pada tikus jantan.
Abrus precatorius Linn.
Serbuk biji tanaman ini menghambat konsepsi pada manusia. Perubahan
degeneratif terlihat pada testosteron tikus, kelinci dan monyet. Selain itu
menyebabkan perubahan morfologi sperma, menurunkan motilitas dan
metabolisme sperma yang berkaitan dengan angka fertilitas. Fraksi steroid dari
biji tanaman ini menyebabkan penurunan berat testis, jumlah sperma dan
degenerasi pada tahap akhir spermatogenesis pada testis tikus.
Azadirachta indica A. Juss.
Ekstrak daun tanaman ini menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi testis
dan spermatozoa pada tikus jantan. Terjadi perubahan histologis dan biokimia
di dalam caput dan cauda tikus, dan memiliki aktivitas antiandrogenik karena
menurunkan kadar testosteron serum. Perubahan morfologis terjadi pada
kepala sperma dan akrosom berkaitan dengan defisiensi androgen.

11

Tinjauan Tentang Pegagan (Centella asiatica)
Deskripsi
Pegagan merupakan tanaman liar yang banyak tumbuh di perkebunan,
ladang, tepi jalan, pematangan sawah ataupun di ladang agak basah. Pegagan
tumbuh merayap menutupi tanah, tidak memiliki batang, tinggi tanaman antara 10
sampai 50 cm. Pegagan memiliki daun satu helaian yang tersusun dalam roset
akar dan terdiri dari 2 sampai 10 helai daun. Daun berwarna hijau dan berbentuk
seperti kipas, buah berbentuk pinggang atau ginjal. Pegagan juga memiliki daun
yang permukaan dan punggungnya licin, tepinya agak melengkung ke atas,
bergerigi, dan kadang-kadang berambut, tulangnya berpusat di pangkal dan
tersebar ke ujung serta daunnya memiliki diameter 1 sampai 7 cm (Winarto dan
Surbakti 2003).
Pegagan memiliki tangkai daun berbentuk seperti pelepah, agak panjang
dan berukuran 5 sampai 15 cm. Pada tangkai daun pegagan dipangkalnya terdapat
daun sisik yang sangat pendek, licin, tidak berbulu, berpadu dengan tangkai daun.
Pegagan memiliki bunga putih atau merah muda yang tersusun dalam karangan
yang berbentuk payung. Buah pegagan berbentuk lonjong atau pipih, berbau
harum dan rasanya pahit, panjang buah 2 sampai 2.5 mm. Buah pegagan
berdinding agak tebal, kulitnya keras, berlekuk dua, berusuk jelas, dan berwarna
kuning (Winarto dan Surbakti 2003).

Gambar 4 Tanaman pegagan (Centella asiatica)

Klasifikasi Pegagan
Berdasarkan deskripsi yang telah diuraikan, klasifikasi dari pegagan
adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub-divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dikotiledonae
Ordo
: Umbellales
Famili
: Umbelliferae
Genus
: Centella
Spesies
: Centella asiatica (L.) Urban
(Winarto dan Surbakti 2003).

12

Kandungan Bahan Aktif dan Khasiat Pegagan
Pegagan mengandung berbagai macam senyawa aktif yaitu triterpenoid,
minyak essensial, flavonoid dan komponen lain seperti polisakarida, polyynealkene, asam amino, asam lemak, sesquiterpen, alkaloid, sterol, carotenoid,
tannin, kloropil, pektin, garam inorganik, dll. Triterpenoid terdiri dari asam
asiatic, asiaticoside, asam madecassic, madecassoside, brahmoside, asam brahmic,
brahminoside, thankuniside, isothankuniside, centteloside, asam madsiatic, asam
centic, asam cenellic, asam betulinic, asam indocentic, dll. (Zheng dan Qin 2007).
Kandungan terbesar dari pegagan adalah asam asiatic, asiaticoside, asam
madecasic dan madecassoside (Inamdar et al. 1996). Asiaticoside adalah
glycoside triterpene dan diklasifikasikan sebagai suatu antibiotik. Madecassoside
adalah suatu glycoside, yang merupakan agen anti inflamasi hebat.
Telah diketahui bahwa efek farmakologi utama dari pegagan diketahui
berasal dari kandungan senyawa triterpenoid. Beberapa peneliti melaporkan
bahwa berbagai jenis senyawa bioaktif yang terkandung pada tumbuhan,
utamanya senyawa-senyawa yang berasal dari golongan steroid, alkaloid,
isoflavonoid, triterpenoid dan xanthon memiliki aktivitas sebagai bahan
antifertilitas (Farnsworth dan Waller 1982; Joshi et al. 2011).
Pegagan diakui memiliki efek farmakologis yang luas, yang digunakan
untuk penyembuhan luka, cacat mental, atherosklerosis, fungicidal, antibakteri,
antioksidan dan antikanker. Pegagan dilaporkan juga digunakan dalam
pengobatan inflamasi, diare, asma, tuberculosis dan berbagai kerusakan kulit,
lepro

Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

Uji Aktivitas Penghambatan Pembentukan Batu Ginjal (Anti Nefrolitiasis) Ekstrak Etanol dari Herba Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) pada Tikus Putih Jantan

0 61 88

Aktivitas antifertilitas ekstrak etanol 70% daun pacing (costus spiralis) pada tikus sprague-dawley jantan secara in vivo

1 32 0

Uji aktivitas hepatoprotektor ekstrak air pegagan (Centella asiatica) terhadap tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol

0 10 41

Gambaran histologis sel spermatogenik pada tikus setelah pemberian ekstrak pegagan (Centella asiatica)

0 2 22

EFEK PEMBERIAN GERUSAN DAUN PEGAGAN ( Centella asiatica (L) Urban ) TERHADAP KECEPATAN KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus).

0 0 14

EFEK EKSTRAK ETANOL PEGAGAN (Centella asiatica L.urban) TERHADAP INFLAMASI MUKOSA GASTER PADA TIKUS (Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI STRES IMOBILISASI KRONIK.

0 1 12

Pengaruh Ekstrak Etanol Pegagan (Centella asiatica L.urban) terhadap Kerusakan Tubulus Seminiferus Testis Tikus (Rattus norvegicus) yang Diinduksi Stres Imobilisasi Kronik.

0 0 12

EFEK DIURESIS EKSTRAK PROPOLIS PADA TIKUS PUTIH JANTAN (RATTUS NORVEGICUS)

0 1 48

PENGARUH EKSTRAK DAUN PEGAGAN (Centella asiatica (L) Urban) TERHADAP FERTILITAS TIKUS PUTIH BETINA (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR

0 0 12