Pendugaan Cadangan Karbon Above Ground Biomass (AGB) pada Tegakan Agroforestri di Desa Parbaba Dolok, Kabupaten Samosir

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Agroforestri
Agroforestri merupakan suatu sistem pengelolaan lahan untuk mengatasi masalah
ketersediaan lahan dan peningkatan produktivitas lahan. Masalah yang sering timbul
adalah alih fungsi lahan menyebabkan lahan hutan semakin berkurang. Agroforestri
diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut dan masalah ketersediaan pangan. Konsep
agroforestri merupakan rintisan dari tim Canadian International Development Centre,
yang bertugas untuk mengindentifikasi prioritas-prioritas pembangunan di bidang
kehutanan di negara-negara berkembang dalam tahun 1970-an. Oleh tim ini dilaporkan
bahwa hutan-hutan di negara tersebut belum cukup dimanfaatkan. Pemanfaatan di bidang
kehutanan sebagian besar hanya ditujukan kepada dua aspek produksi kayu, yaitu
eksploitasi secara selektif di hutan alam dan tanaman hutan secara terbatas
(Hairiah et all., 2002).
Agroforestri diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah
terdegradasi, melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta
menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Namun sistem Agroforestri
telah dipraktekan oleh petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad
dengan nama dan istilah yang berbeda-beda. Tujuan akhir program agroforestri adalah
meningkatkan kesejahteraan rakyat petani, terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan
memprioritaskan partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan

yang rusak dan berlanjut dengan memeliharanya. Program-program agroforestri
diarahkan pada peningkatan dan pelestarian produktivitas sumberdaya, yang akhirnya
akan meningkatkan taraf hidup masyarakat (Hairiah et all., 2002).

Universitas Sumatera Utara

B. Potensi Agroforestri Dalam Menyerap Karbon
Hutan sebagai salah satu sumber daya alam yang berperan penting dalam
menunjang kehidupan manusia, memiliki fungsi sebagai penyeimbang dalam konteks
ekologis, fungsi hidroorologis dan sumber plasma nutfah selain mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi. Hutan sebagai salah satu penyerap CO 2 yang cukup besar. Pohonpohon di dalam hutan menggunakan CO 2 dalam fotosintesis yang menghasilkan O 2 dan
energi. Sebagian energi tersebut disimpan dalam bentuk biomassa pohon. Fungsi hutan
sebagai penyerap CO 2 menyebabkan konservasi hutan secara global akan mengurangi
gas-gas di rumah kaca di atmosfer. CO 2 tersebut disimpan dalam biomassa hutan. Hampir
50% dari biomassa hutan tersusun atas karbon (Brown, 1997).
Emisi karbon tanah yang terjadi pada areal konversi yang mengalami degradasi
lahan dapat dikurangi dengan melakukan penanaman kembali seperti plantation,
agroforestry, reforestatiton, afforestation yang berarti diperlukan suatu manajemen hutan
yang baik. Demikian juga pemulihan kembali atau regenerasi pada areal pemanenan
kayu, tanah yang terganggu dan emisi karbon yang meningkat dapat ditangkap kembali

melalui proses fotosontesis (Brown, 1996).
Agroforestri merupakan suatu sistem pola tanam berbasis pohon dapat
mempertahankan cadangan karbon (C-stock) karena adanya akumulasi C yang cukup
tinggi dalam biomasa pepohonan. Selain dari pada itu sistem ini dapat mengurangi emisi
gas bila dibandingkan dengan sistem pertanian monokultur (Ketterings, 1999).
Widianto et al. (2003) menyatakan bahwa bila ditinjau dari cadangan karbon,
sistem agroforestri lebih menguntungkan daripada sistem pertanian berbasis tanaman
musiman. Hal ini disebabkan oleh adanya pepohonan yang memiliki biomassa tinggi dan
masukan serasah yang bermacam-macam kualitasnya serta terjadi secara terus-menerus.
Walaupun peran agroforestri dalam mempertahankan cadangan karbon di daratan masih
lebih rendah bila dibandingkan dengan hutan alam, tetapi sistem ini dapat merupakan

Universitas Sumatera Utara

suatu tawaran yang dapat memberikan harapan besar dalam meningkatkan cadangan
karbon pada lahan-lahan terdegradasi.
Potensi penyerapan karbon dari sistem agroforestri didasarkan kepada asumsi
bahwa komponen-komponen pohon dalam sistem agroforestri dapat menentukan rosot
karbon di atmosfer secara signifikan melalui kecepatan pertumbuhan dan produktifitas.
Dengan memperhitungkan pohon dalam produksi pertanian, agroforestri dapat

meningkatkan penyimpanan karbon pada lahan untuk kebutuhan tanaman pertanian.
Konsep agroforestri dinilai mempunyai nilai lebih pada komponen-komponen kesuburan
tanah, variasi spesies, dan konsepnya yang menyeluruh. Alasan utama yang mendasari
potensi agroforestri dalam mengurangi emisi karbon yaitu banyaknya lahan di daerah
tropis yang digunakan untuk kegiatan pertanian dan meningkatnya penerapan sistem
agroforestri dalam waktu yang panjang akan menghasilkan peningkatan potensi yang
nyata sebagai sumber biotik karbon dan meskipun jumlah karbon yang diserap per satuan
luas relatif lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam dan hutan tanaman, kayu yang
diproduksi sering dipakai sebagai kayu bakar menggantikan bahan bakar fosil.
Penggunaan kayu hasil agroforestri yang tidak untuk kayu bakar akan mengurangi
tekanan terhadap penebangan hutan alam dan kebutuhan bahan bakar dari sumber yang
tidak diperbaharui.
Konsep agroforestri yaitu suatu sistem pertanian berbasis pepohonan yang
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dan mempertahankan kelestarian alam
merupakan suatu alternatif yang paling sesuai dalam menjawab tantangan untuk
mencapai

tujuan

pembangunan


berkelanjutan.

Sistem

agroforestri

memiliki

keanekaragaman hayati yang tinggi dan menghasilkan jenis produk yang beragam baik
kayu maupun non-kayu. Kandungan biomassanya juga tinggi sehingga pembangunan
sistem agroforestri pada lahan-lahan kritis dan terlantar selain dapat memperlambat
terjadinya pemanasan global juga memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan
dan sosio-ekonomi masyarakat (Roshetko et al., 2002). Tabel 1 dijelaskan hasil penelitian

Universitas Sumatera Utara

yang sudah dilakukan oleh beberapa orang di beberapa daerah di Indonesia. Dari tabel
tersebut dikatakan jumlah cadangan karbon terbesar diperoleh dari hutan alam
dikarenakan keragaman jenis yang tinggi dan kerapatan kayu yang cukup beragam. Sama

halnya dengan kandungan cadangan karbon pada hutan lindung yang masih memiliki
keragaman jenis dan kerapatan kayu yang beragam. Hasil penelitian yang sudah ada
sebelumnya mengenai pendugaan cadangan karbon pada lahan agroforestri dapat kita
lihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Kandungan cadangan karbon di atas permukaan tanah pada berbagai sistem
penggunaan lahan di berbagai daerah di Indonesia
Jenis Penggunaan Lahan

Cadangan Karbon (ton/ha)

Hutan alam

204,92 - 264, 70

Hutan lindung

211,86

Hutan bekas kebakaran


7,5 - 55,3

Hutan Mangrove

54,1 - 182,5

Hutan bekas tebangan

171,8 - 249,1

Hutan gambut

200

Agroforestri 0 - 15 tahun

21,31

Agroforestri 15 - 40

tahun

80,78

Lokasi Penelitian
Kecamatan Sampit, Kalimantan
Tengah (Dharmawan dan Siregar,
2009)
Hutan Lindung Sungai Wain,
Kalimantan Timur (Noor'an , 2007)
Hutan Pendidikan Bukit Soeharto,
Kalimantan Timur (Hiratsuka et al,
2006
KPH Purwakarta, Jawa Barat
(Dharmawan dan Siregar, 2009)
Kabupaten Nunukan, Kalimantan
Timur (Rahayu et al, 2006)
Rataan seluruh tipe hutan gambut di
Indonesia (Agus, 2007)
Desa Karacak, Kabupaten Bogor

(Yuli, 2003)
Desa Karacak, Kabupaten Bogor
(Yuli, 2003)

C. Biomassa
Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme
(tumbuhan) per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa bisa dinyatakan dalam ukuran
berat, seperti berat kering dalam satuan gram, atau dalam kalori. Oleh karena kandungan
air yang berbeda setiap tumbuhan, maka biomassa diukur berdasarkan berat kering. Unit
satuan biomassa adalah gr per m2 atau ton per ha (Brown, 1997).
Biomassa merupakan hasil fotosintesis berupa selulosa, lignin, gula bersama
dengan lemak, pati, protein, damar, fenol dan berbagai senyawa lainnya. Begitu pula

Universitas Sumatera Utara

unsur hara, nitrogen, fosfor, kalium dan berbagai unsur lain yang dibutuhkan tumbuhan
melalui perakaran. Biomassa inilah yang merupakan kebutuhan makhluk di atas bumi
melalui mata rantai antara binatang dan manusia dalam proses kebutuhan CO 2 yang diikat
dan O 2 yang dilepas. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomassa yang
terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan/cabang, daun, akar,dan sampah hutan

(serasah), hewan dan jasad renik (Arief, 2001).

Biomassa atau bahan organik merupakan suatu bagian yang dapat
digunakan sebagai bahan bakar, sebagai sumber energi untuk memasak, dan
memanaskan. Kandungan energi dari selulosa adalah 4.500 kkal/kg (18,8 MJ/kg),
sedangkan kayu adalah 4.200 kkal/kg (17,6 MJ/kg). Kuantitas energi potensial
dari proses fotosintesis yang diserap oleh tumbuhan digunakan untuk membentuk
biomassa. Penggunaan biomassa sebagai bahan bakar akan menghadapi beberapa
kelemahan diantaranya adalah nilai kalor rendah, kelembaban tinggi, BJ rendah,
dan

secara

fisik

jarang

yang

homogeni


dan

tidak

padat

(White dan Plaskett, 1981 dalam Onrizal, 2004).
Produksi Biomassa merupakan proses yang ditetapkan secara khusus
melalui keseimbangan antara karbon yang diambil melalui proses fotosintesis dan
proses hilangnya karbon melalui resfirasi. Karbon merupakan produk dari
produksi biomassa yang dibentuk dikurangi dengan total yang hilang melalui
jaringan akar halus, daun, dan cabang serta karena adanya penyakit, sisanya
tergabung dalam struktur yang tersimpan di dalam pohon. Penyerapan air dan
elemen penting lainnya akan berpengaruh terhadap keseimbangan karbon dan
pengalokasian karbon (Raymond dan Phillips, 1983; Johnsen, et al, 2001).
Biomassa dapat menstimulasikan penyerapan karbon melalui proses
fotosintesis dan penghilangan karbon melalui resfirasi. Penyerapan karbon bersih

Universitas Sumatera Utara


disimpan dalam organ tumbuhan. Fungsi dan model biomassa direpresentasikan
melalui persamaan dengan tinggi dan diameter pohon (Boer, et aJ., 1996,
Kusmana, 1997, Johnsen, et al, 2001).
Komponen cadangan karbon daratan terdiri dari cadangan karbon di atas
permukaan tanah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah dan cadangan
karbon lainnya. Cadangan karbon di atas permukaan tanah terdiri dari tanaman
hidup (batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan
bawah) dan tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun,
cabang, ranting, bunga, buah yang gugur, arang sisa pembakaran). Cadangan
karbon di bawah permukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati,
organisme tanah dan bahan organik tanah.Pemanenan hasil kayu (kayu bangunan,
pulp, arang atau kayu bakar), resin, buah-buahan, daun untuk makanan temak
menyebabkan berkurangnya cadangan karbon dalam skala plot, tetapi belum tentu
demikian jika kita perhitungkan dalam skala global. Demikian juga halnya
dengan hilangnya bahan organik tanah melalui erosi (Rahayu et al, 2009).
Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu biomassa di atas
permukaan tanah (above ground biomass) dan di bawah permukaan tanah (below

ground biomass). Atau dapat dinyatakan bahwa biomassa di atas permukaan tanah
adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu yang dikaitkan dengan
fungsi sistem produktifitas, usia tegakan, dan penyebaran organik (Kusmana et al.,
1992).

Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di
kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan
karbon (rosot karbon = karbon sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman
semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan

Universitas Sumatera Utara

berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan
karbon tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan
CO 2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) serasah, namun
pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang
melepaskan CO 2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya
menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka
jumlah karbon tersimpan akan merosot. Berkenaan dengan upaya pengembangan
lingkungan bersih, maka jumlah CO 2 di udara harus dikendalikan dengan jalan
meningkatkan jumlah serapan CO 2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan
pelepasan (emisi) CO 2 ke udara serendah mungkin. Jumlah karbon tersimpan dalam
setiap penggunaan lahan tanaman, serasah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai
cadangan karbon (Hairiah et al., 2007).
Tumbuhan akan mengurangi karbon di atmosfer (CO 2 ) melalui proses
fotosintesis dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan. Sampai waktunya karbon
tersebut tersikluskan kembali ke atmosfer, karbon tersebut akan menempati salah satu
dari sejumlah kantong karbon. Semua komponen penyusun vegetasi baik pohon, semak,
liana dan, epifit merupakan bagian dari biomassa atas permukaan. Di bawah permukaan
tanah, akar tumbuhan juga merupakan penyimpan karbon selain tanah itu sendiri. Pada
tanah gambut, jumlah simpanan karbon mungkin lebih besar dibandingkan dengan
simpanan karbon yang ada di atas permukaan. Karbon juga masih tersimpan pada bahan
organik mati dan produk-produk berbasis biomassa seperti produk kayu baik ketika masih
dipergunakan maupun sudah berada di tempat penimbunan. Karbon dapat tersimpan
dalam kantong karbon dalam periode yang lama atau hanya sebentar. Peningkatan jumlah
karbon yang tersimpan dalam karbon pool ini mewakili jumlah karbon yang terserap dari
atmosfer.

Universitas Sumatera Utara

Penetapan

biomasa

tanaman

tersebut

seringkali

melibatkan

perusakan

(destructive) lahan dan membutuhkan biaya dan tenaga banyak, sehingga ketersediaan
data biomasa terutama akar sangat terbatas. Guna mengurangi perusakan lahan, estimasi
biomasa batang pohon (khususnya untuk kondisi hutan) telah banyak dilakukan yaitu
menggunakan persamaan alometrik yang telah dikembangkan oleh Brown (1997) dan
peneliti lainnya. Estimasi ini dibuat berdasarkan penggunaan berbagai persamaan aljabar
dan beberapa parameter pengukuran secara destructive. Namun demikian, persamaan
tersebut hanya berlaku untuk kondisi iklim dan jenis tanaman yang spesifik, sehingga bila
digunakan pada kondisi baru hasil estimasinya seringkali dua kali lebih tinggi dari pada
kondisi sebenarnya di lapangan.

D. Metode Allometrik untuk Menduga Cadangan Karbon
Keberadaan karbon merupakan bagian penting dari siklus kehidupan di bumi.
Ada empat reservoir karbon utama yaitu atmosfer, daratan, lautan dan sedimen. Beberapa
dekade terakhir terjadi ketidakseimbangan neraca karbon global akibat semakin
bertambahnya populasi manusia. Pemanenan karbon melalui perubahan penggunaan
lahan, pembakaran biomassa, penambangan bahan bakar fosil dan pencemaran di laut
menyebabkan peningkatan jumlah karbon di atmosfer. Bagian terbesar dari karbon yang
berada di atmosfer adalah gas karbon dioksida, metan dan kloroflorokarbon. Gas-gas
tersebut adalah gas rumah kaca yang berperan dalam pemanasan global (Yulianti, 2009).
Cadangan karbon pada ekosistem daratan terbagi menjadi karbon di atas
permukaan dan karbon di bawah permukaan atau dalam tanah. Karbon di atas permukaan
tanah meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter <
5 cm, tumbuhan menjalar dan gulma), nekromassa (bagian pohon atau tanaman yang
sudah mati) dan serasah (bagian tanaman yang gugur berupa daun dan ranting). Karbon
bawah permukaan meliputi biomassa akar dan bahan organik tanah (sisa tanaman, hewan

Universitas Sumatera Utara

dan manusia yang mengalami dekomposisi) serta hamparan lahan gambut (Hairiah dan
Rahayu, 2007).

Biomassa tanaman digunakan sebagai dasar untuk menduga karbon atas
permukaan. Teknik untuk mengukur biomassa bisa dilakukan dengan metode
dekstruktif dan dengan menggunakan persamaan allometrik. Penggunaan metode
dekstruktif sangat memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang panjang
terutama jika dilakukan terhadap vegetasi hutan. Oleh karena itu salah satu
metode pemecahannya dapat digunakan persamaan alometrik yang telah disusun
dari tanaman sejenis. Persamaan ini menghubungkan biomassa tanaman dengan
diameter dan tinggi tanaman. Karbon atas permukaan dapat diduga jika biomassa
telah

diketahui.

Persamaan

allometrik

merupakan

persamaan

yang

menghubungkan dimensi-dimensi dari pohon dengan nilai biomassa pohon. Setiap
tanaman yang berbeda akan memiliki pola yang berbeda untuk membentuk
persamaan allometrik ini (Pearson et al., 2007).
Pada ekosistem daratan, cadangan karbon disimpan dalam 3 komponen pokok yaitu:
1. Bagian hidup (biomassa): massa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu
batang, ranting dan tajuk pohon (berikut akar atau estimasinya), tumbuhan bawah
atau gulma dan tanaman semusim.
2. Bagian mati (nekromassa): masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih
tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), kayu tumbang/tergeletak di permukaan
tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang belum terlapuk.
3. Tanah (bahan organik tanah): sisa makhluk hidup (tanaman, hewan, dan manusia)
yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah
menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm.

Universitas Sumatera Utara

Ketiga komponen karbon berdasarkan keberadaannya di alam dapat dibedakan menjadi 2
kelompok yaitu:
a. Karbon di atas permukaan tanah, meliputi:

- Biomassa pohon. Proporsi terbesar cadangan karbon di daratan umumnya
terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan
perusakan selama pengukuran, biomassa pohon dapat diestimasi dengan
menggunakan persamaan allometrik yang didasarkan pada pengukuran
diameter batang (dan tinggi pohon, jika ada).
- Biomassa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar
yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan
atau gulma. Estimasi biomassa tumbuhan bawah dilakukan dengan
mengambil bagian tanaman (melibatkan perusakan).
- Nekromassa. Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah
tumbang dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen
penting dari C dan harus diukur pula agar diperoleh estimasi cadangan
karbon yang akurat.
- Seresah. Seresah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun
dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah.
b. Karbon di dalam tanah, meliputi:

-

Biomassa akar. Akar mentransfer karbon dalamjumlah besarlangsung ke
dalam tanah, dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah
hutan biomasa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter
> 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar
halus yang lebih pendek daur hidupnya. Biomassa akar dapat pula

Universitas Sumatera Utara

diestimasi berdasarkan diameter akar (akar utama), sama dengan cara
untuk mengestimasi biomasa pohon yang didasarkan pada diameter batang
-

Bahan organik tanah. Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada
dipermukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh
organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan
bahan organik tanah.
Metode pendugaan cadangan karbon atas permukaan dengan pendekatan

biomassa merupakan salah satu metode yang bisa diterapkan (Gibbs et al., 2007).
Biomassa dapat diduga melalui pengukuran lapangan yang intensif atau
dikembangkan dengan persamaan allometrik yang telah disusun sebelumnya
(Brown, 1997). Model pendugaan biomassa dapat disusun berdasarkan parameter
tinggi dan diameter pohon (Johnsen et al., 2001).
Bentuk percabangan dan produksi biomassa pohon dalam sistem
agroforestri dipengaruhi oleh pengelolaannya seperti pemangkasan, pengaturan
jarak tanam, pemupukan, dan penyiangan. Dengan demikian, persamaan
allometrik yang digunakan untuk menaksir biomassa pohon berbeda dengan yang
digunakan untuk pohon yang tumbuh di hutan.

E. Estimasi Cadangan Karbon Menggunakan Data Penginderaan Jauh
Fungsi hutan sebagai penyerap karbon membuat informasi mengenai jumlah
karbon yang tertahan pada suatu kawasan hutan (stok karbon) menjadi penting. Salah satu
cara menghitung kuantitas kandungan karbon tersimpan dalam biomassa hutan diatas
permukaan tanah didasarkan pada pengukuran lapangan di tingkat plot kemudian nilai
biomassa ini dikonversi menjadi kandungan karbon.

Universitas Sumatera Utara

Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh, misalnya citra Landsat, SPOT
maupun Aster bersama dengan data lapangan memiliki potensi yang baik dalam
pengembangan model estimasi cadangan karbon hutan. Penggunaan teknik penginderaan
jauh dimaksudkan untuk memberikan penilaian umum tentang penutupan vegetasi, tidak
hanya tentang lokasi proyek tetapi juga daerah di sekitarnya.
Saat ini terdapat tiga pendekatan untuk menduga atau memonitor biomassa, yaitu
modeling, pengukuran lapangan, dan penginderaan jauh. Diantara tiga pendekatan,
pengukuran langsung di lapangan dipertimbangkan lebih dapat dipercaya dan lebih teliti
dibandingkan dengan dua pendekatan lainnya. Meskipun demikian, pendekatan ini mahal
dan resolusi spasial data dalam studi di lapangan terbatas. Dengan memadukan data
spasial dan atribut kedalam SIG, maka integrasinya (Penginderaan Jauh dan SIG) akan
menawarkan suatu metoda untuk menduga biomassa pada skala wilayah yang sangat
besar, dimana ketersediaan data kehutanan terbatas.
Data sinar tampak (visible) dan infra merah (infrared) dari satelit penginderaan
jauh optis secara umum digunakan untuk klasifikasi tutupan lahan sedangkan data
pankromatik dapat menyediakan informasi tekstur yang sangat berguna untuk
menentukan jenis kanopi hutan dan batas tegakan (stand boundaries) (Roswiniarti, 2008).
Secara garis besar, tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Pengolahan awal data satelit; mencakup koreksi atmosfer, koreksi
radiometrik, dan koreksi geometri.
2. Klasifikasi data satelit berdasarkan tutupan lahannya; memilih sistem klasifikasi
tutupan lahan yang sesuai dengan kondisi studi area. Kelas tutupan lahan yang
umum digunakan adalah hutan primer, hutan sekunder, perkebunan/semak/ belukar,
dan lahan terbuka.

Universitas Sumatera Utara

3. Perhitungan indeks vegetasi dari citra untuk menganalisa kondisi vegetasi, misalnya
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan EVI (Enhanced Vegetation
Index).
4. Survei vegetasi untuk mengetahui jumlah biomasa di lapangan berdasarkan kelas
hasil klasifikasi tutupan lahan. Inventarisasi biasanya dilakukan pada plot-plot
pengukuran lapangan untuk mendapatkan jumlah biomassa diatas dan dibawah
permukaan tanah.
Umumnya pendugaan biomassa di lapangan dilakukan dengan menggunakan
persamaan allometrik. Biomassa yang diukur umumnya berupa biomassa pohon tegakan
(diatas permukaan tanah) yang dihitung berdasarkan penjumlahan biomassa batang,
cabang, dan daun.

5. Analisa data surveivegetasi untuk mendapatkan rata-rata biomasa berbagai
jenis tutupan lahan
6. Penghitungan karbon untuk seluruh jenis tutupan lahan (berdasarkan hasil klasifikasi
data satelit) dan analisa potensi biomasa.
7. Korelasi antara NDVI dan data survei vegetasi.
Hasil pengideraan jauh dengan resolusi sedang mungkin sangat bermanfaat untuk
membagi area proyek menjadi kelas-kelas vegetasi yang relatif homogen. Hasil
pembagian kelas ini menjadi panduan untuk proses survey dan pengambilan data
lapangan. Untuk mendapatkan estimasi biomassa dengan tingkat keakuratan yang baik
memerlukan hasil pengideraan jauh dengan resolusi yang tinggi, tetapi hal ini akan
menjadi metode alternatif dengan biaya yang besar (Roswiniarti, 2008).

Universitas Sumatera Utara