Pertumbuhan Bibit Avicennia marina pada Berbagai Intensitas Naungan

(1)

PERTUMBUHAN BIBIT Avicennia marina

PADA BERBAGAI INTENSITAS NAUNGAN

SKRIPSI

Oleh :

SANGAPTA RAS KELIAT 081202039/ BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2012


(2)

PERTUMBUHAN BIBIT Avicennia marina

PADA BERBAGAI INTENSITAS NAUNGAN

SKRIPSI

Oleh :

SANGAPTA RAS KELIAT 081202039/ BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai satu diantara beberapa syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2012


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pertumbuhan Bibit Avicennia marina pada Berbagai Intensitas Naungan

Nama : Sangapta Ras Keliat NIM : 081202039

Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yunasfi, M. Si Dr. Budi Utomo, SP. MP

Ketua Anggota

Mengetahui,

Siti Latifah, S. Hut, M. Si, Ph.D Ketua Program Studi Kehutanan


(4)

ABSTRACT

SANGAPTA RAS KELIAT: Seedling growth of Avicennia marina In Various Shades Intensity by YUNASFI and BUDI UTOMO.

Avicenia marina Represent the plant species in forest mangrove which can grow at all of location level alongside coastal area. One of the efforts to rehabilitate the forest mangrove is doing seedbed A. marina.

The design of this study using Random complete Design (RCD) with 4 treatments, ie, without shade, shade intensity of 25%, 50% shade intensity,and 75% intensity of shade. Each treatment was repeated as many as 10 to obtain 40 seeds of A. marina.

This study aims to determine the growth of seedlings A. marina good on a variety of shade intensity.

The results showed growth of seed A. marina give not real effection seedling to life percentation but give the real effection to height, seedling diameter, seedling leaf, total leaf area, and total biomass. High largest seed in the seed A. marina with 50% of shading that is equal to 16,27 cm. The diameter of the largest seed in the seed A. marina with 50% of shading is 0,49 cm. We have the largest seedling total leaf area in seedlings A. marina with 50% of shading that is equal to 94,97 cm2. Total biomass of the largest seed found in seed A. marina with 50% of shading that is equal to 0,54 grams.


(5)

ABSTRAK

SANGAPTA RAS KELIAT: Pertumbuhan bibit Avicennia marina pada berbagai intensitas naungan, dibimbing oleh YUNASFI dan BUDI UTOMO.

Avicenia marina Merupakan spesies tumbuhan di hutan mangrove yang dapat tumbuh pada semua tingkatan lokasi di sepanjang pesisir. Satu diantara beberapa usaha yang dilakukan untuk merehabilitasi mangrove adalah pembibitan

A. marina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan bibit A. marina yang baik pada berbagai intensitas naungan.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 4 perlakuan, yaitu intensitas naungan (0%, 25%, 50% dan 75) yang diulang sebanyak 10 sehingga diperoleh 40 unit percobaan. Hasil penelitian menunjukkan intensitas naungan tidak berpengaruh terhadap persentase hidup bibit A. marina namun berpengaruh terhadap tinggi, diameter, jumlah helai daun, luas daun total, dan biomassa total. Persentase hidup bibit A. marina dengan intensitas naungan yang berbeda adalah sama yaitu 100%. Tinggi bibit A. marina tertinggi terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 16,27 cm. Diameter bibit A. marina tertinggi terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 0,49 cm. Jumlah helai daun bibit A. marina terbanyak terdapat pada intensitas naungan 50% sebanyak rata-rata 6 helai. Luas daun total bibit A. marina terluas terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 94,97cm2. Biomassa total bibit A. marina terbesarterdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 0,54 gram.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pancur Batu pada tanggal 15 mei 1990 dari Ayah Kasim Keliat dan Ibu Nelce Br Tarigan. Penulis merupakan putra ketiga dari empat bersaudara.

Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pancur Batu, selanjutnya pada tahun yang sama penulis masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur UMB. Penulis memilih jurusan Budidaya Hutan, Program Studi Kehutanan. Selain mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum hidrologi hutan pada tahun 2011 dan pada tahun 2012, penulis juga aktif dalam mengikuti organisasi Ikatan Mahasiswa Karo Pertanian (IMKA) Mbuah Page FP USU dan Ikatan Mahasiswa Karo Kehutanan (IMKAHUT) USU. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti berbagai lomba yaitu tahun 2010 juara 1 catur dalam acara Porseni FP USU, tahun 2011 juara 3 catur dalam acara Dies Natalis FP USU, tahun 2012 juara 2 catur dalam acara Porseni FP USU dan tahun 2012 penulis juga menjadi juara 2 Lomba Berbalas Pantun dalam acara Dies Natalis USU yang Ke- 60.

Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) di Lau Kawar dan Taman Wisata Alam (TWA) Deleng Lancuk, Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara pada tanggal 13 Juni - 23 Juni 2010. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Taman Nasional Bali Barat dari tanggal 2 februari - tanggal 2 maret 2012.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pertumbuhan Bibit Avicennia marina pada Berbagai Intensitas Naungan”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yaitu Kasim Keliat dan Nelce Br Tarigan serta abang Eliakim Keliat, Natalianta Keliat dan adik Edi Putra Pranoto Keliat atas doa dan

dukungannya. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Yunasfi, M.Si dan Dr. Budi Utomo, SP. MP selaku ketua dan anggota

komisi pembimbing yang telah memberi arahan dan masukan berharga kepada penulis mulai dari menetapkan judul, pelaksanaan penelitian, sampai pada ujian akhir. Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk Pak Udin di Belawan yang telah memberikan tempat penelitian untuk penulis dan membantu dalam penyediaan benih A. marina.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian USU serta teman-teman mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu terutama mahasiswa jurusan Budidaya Hutan 2008 yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang kehutanan.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAC ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Fisik Hutan Mangrove ... 5

Api-api putih (Avicennia marina) ... 12

Pembibitan Mangrove ... 14

Pengaruh naungan ... 26

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ... 30

Bahan dan Alat ... 30

Metode Penelitian ... 30

Prosedur Penelitian Penyiapan media tanam ... 31

Pemilihan biji untuk dijadikan benih Avicennia marina ... 31

Penanaman di polibag ... 31

Parameter yang Diamati Persentase hidup bibit A. marina (%) ... 32

Tinggi bibit A. marina (cm) ... 32


(9)

Jumlah daun bibit A. marina (helai) ... 32

Luas daun total bibit A. marina (cm2 Biomassa total bibit A. marina (g) ... 33

) ... 33

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tinggi rata-rata bibit A. marina ... 38

Diameter rata-rata bibit A. marina ... 38

Jumlah daun rata-rata bibit A. marina ... 39

Luas daun total bibit A. marina ... 39

Biomassa total rata-rata bibit A. marina ... 40

Pembahasan Tinggi rata-rata bibit A. marina ... 41

Diameter rata-rata bibit A. marina ... 43

Jumlah daun rata-rata bibit A. marina ... 44

Luas daun total bibit A. marina ... 46

Biomassa total rata-rata bibit A. marina ... 48

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 50

Saran ... 50 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL


(10)

1. Pertumbuhan setiap parameter pengamatan dari bibit A. marina (cm) ... 34 2. Persentase peningkatan pertumbuhan bibit A. marina (cm) dari


(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1

. Buah dan susunan daun api-api ... 12 2. Gambar diagram batang dari setiap parameter yang diamati pada

pengamatan 1-13MST (Minggu setelah tanam) ... 35 3. Gambar persentase peningkatan setiap parameter yang diamati pada

pengamatan 1-13MST (Minggu setelah tanam) ... 37 4. Bentuk bibit A. marina dalam berbagai intensitas naungan

(a.intensitas naungan 0%, b. Intensitas naungan 25%, c. Intensitas naungan 50%, d. Intensitas naungan 75% dan


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No.

Halaman 1. Data persentase hidup bibit A. marina (%) dengan intensitas

naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MingguSetelah

Tanam (MST) ... 55 2. Data pertumbuhan tinggi rata-rata bibit A. marina (cm)

dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai

13 Minggu Setelah Tanam (MST) ... 56 3. Data pertumbuhan diameter rata-rata bibit A. marina (cm)

dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai

13 Minggu Setelah Tanam (MST) ... 57 4. Data jumlah daun rata-rata bibit A. marina (helai)

dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai

13 Minggu Setelah Tanam (MST) ... 58 5. Data luas daun total bibit A. marina (cm2

intensitas naungan pada pengamatan1 sampai 13 ) dengan

Minggu Setelah Tanam (MST) ... 59 6. Data biomassa total bibit A. marina (g) dengan

intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13

Minggu Setelah Tanam (MST) ... 60 7. Data persentase peningkatan pertumbuhan bibit A. marina

(g) dari setiap parameter pengamatandengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13


(13)

ABSTRACT

SANGAPTA RAS KELIAT: Seedling growth of Avicennia marina In Various Shades Intensity by YUNASFI and BUDI UTOMO.

Avicenia marina Represent the plant species in forest mangrove which can grow at all of location level alongside coastal area. One of the efforts to rehabilitate the forest mangrove is doing seedbed A. marina.

The design of this study using Random complete Design (RCD) with 4 treatments, ie, without shade, shade intensity of 25%, 50% shade intensity,and 75% intensity of shade. Each treatment was repeated as many as 10 to obtain 40 seeds of A. marina.

This study aims to determine the growth of seedlings A. marina good on a variety of shade intensity.

The results showed growth of seed A. marina give not real effection seedling to life percentation but give the real effection to height, seedling diameter, seedling leaf, total leaf area, and total biomass. High largest seed in the seed A. marina with 50% of shading that is equal to 16,27 cm. The diameter of the largest seed in the seed A. marina with 50% of shading is 0,49 cm. We have the largest seedling total leaf area in seedlings A. marina with 50% of shading that is equal to 94,97 cm2. Total biomass of the largest seed found in seed A. marina with 50% of shading that is equal to 0,54 grams.


(14)

ABSTRAK

SANGAPTA RAS KELIAT: Pertumbuhan bibit Avicennia marina pada berbagai intensitas naungan, dibimbing oleh YUNASFI dan BUDI UTOMO.

Avicenia marina Merupakan spesies tumbuhan di hutan mangrove yang dapat tumbuh pada semua tingkatan lokasi di sepanjang pesisir. Satu diantara beberapa usaha yang dilakukan untuk merehabilitasi mangrove adalah pembibitan

A. marina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan bibit A. marina yang baik pada berbagai intensitas naungan.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 4 perlakuan, yaitu intensitas naungan (0%, 25%, 50% dan 75) yang diulang sebanyak 10 sehingga diperoleh 40 unit percobaan. Hasil penelitian menunjukkan intensitas naungan tidak berpengaruh terhadap persentase hidup bibit A. marina namun berpengaruh terhadap tinggi, diameter, jumlah helai daun, luas daun total, dan biomassa total. Persentase hidup bibit A. marina dengan intensitas naungan yang berbeda adalah sama yaitu 100%. Tinggi bibit A. marina tertinggi terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 16,27 cm. Diameter bibit A. marina tertinggi terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 0,49 cm. Jumlah helai daun bibit A. marina terbanyak terdapat pada intensitas naungan 50% sebanyak rata-rata 6 helai. Luas daun total bibit A. marina terluas terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 94,97cm2. Biomassa total bibit A. marina terbesarterdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 0,54 gram.


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas garam. Secara umum kawasan hutan mangrove tidak dipengaruhi oleh iklim, tetapi oleh pasang surut air laut. Menurut Harty (1997) dalam Hamzah dan Setiawan (2010), ekosistem mangrove memiliki tingkat produktivitas paling tinggi dibanding dengan ekosistem pesisir lainnya. Mangrove juga merupakan tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak bagi udang, ikan, kerang dan kepiting. Ekosistem mangrove juga bermanfaat bagi manusia baik secara langsung dan tidak langsung terhadap sosial-ekonomi penduduk sekitar. Selain itu, ekosistem mangrove juga berfungsi sebagai perangkap sedimen dan mencegah erosi serta penstabil bentuk daratan di daerah estuari.

Saat ini luas hutan mangrove Indonesia tinggal 3.5 juta ha. Kondisi mangrove yang masih baik hanya ada di Irian Jaya saja. Sedangkan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara menunjukkan sebagian besar mangrove telah mengalami kerusakan, baik karena konversi menjadi tambak, tambak garam, pemukiman, pertanian, industri maupun penebangan secara berlebihan. Mengingat besarnya kerugian akibat rusaknya mangrove, maka penting dikembangkan kegiatan penanaman mangrove, terutama diluar kawasan hutan. Agar penanaman ini berjalan dengan baik dan berhasil, masyarakat setempat haruslah terlibat secara penuh mulai dari perencanaan


(16)

kegiatan sampai pada pemeliharaan tanaman. Keterlibatan masyarakat ini penting karena merekalah yang sehari-hari berada dan berinteraksi dengan tanaman dan lokasi penanaman (Khazali, 1999).

Avicennia marina merupakan spesies tanaman mangrove yang sangat tahan terhadap salinitas tinggi, maka lokasi penanaman yang sesuai untuk jenis ini adalah di lokasi yang berhadapan langsung dengan laut dan memiliki substrat pasir berlumpur tebal. Jenis ini sangat potensial untuk dijadkan sebagai sabuk hijau sehingga sering digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Benih A. marina yang cocok untuk dibibitkan sebaiknya buah yang telah matang. Buah yang telah matang dapat dikenali dengan warna agak kekuning-kuningan dan kulit buahnya sedikit merekah. Selain itu, buah yang telah matang (dengan

berat minimal 1,5 gr) sangat mudah dilepas dari kelopaknya (Wibisono dkk., 2006).

Banyak spesies mangrove memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap. Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak memerlukan naungan dan yang lain mungkin memerlukan naungan mulai awal pertumbuhannya. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk

pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m2/hari (Suhardi dkk., 1995 dalam Irwanto, 2006).


(17)

Intensitas naungan pada setiap jenis tanaman mangrove berbeda-beda. Hal ini karena Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak. Avicenia marina merupakan spesies tumbuhan di hutan mangrove yang dapat tumbuh pada semua tingkatan lokasi di sepanjang pesisir. Spesies A. marina sangat toleran terhadap kandungan garam yang tinggi dalam tanah. Bibit A. marina baik di bedeng darat maupun di pasang surut, harus dinaungi dengan intensitas 50%. Pada saat yang sama, proses aklimatisasi dilakukan dengan cara membuka naungan secara bertahap hingga bibit tahan terhadap kondisi terbuka. (Wibisono dkk., 2006).

Penggunaan naungan berfungsi untuk melindungi bibit dari sengatan matahari secara langsung. Dengan demikian, bibit akan dapat tumbuh dengan baik. Namun bila bibit akan ditanam, naungan ini harus dikurangi atau dihilangkan. Spesifikasi bibit Avicennia marina yang cocok dan siap untuk ditanam adalah bibit yang sudah memiliki tinggi 30 cm dan dengan jumlah daun atau helai sebanyak 6 helai daun. Lama pembibitan untuk spesies ini biasanya memerlukan waktu selama 3-4 bulan. Bibit Avicennia spp. Dapat tumbuh baik pada tanah yang lembek dan berlumpur (Anwar, 2004).

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka penulis memandang perlu dilakukannya penelitian mengenai pengaruh intensitas naungan terhadap pertumbuhan A. marina. Penelitian ini diperlukan agar diperoleh bibit yang berkualitas untuk kegiatan rehabilitasi lahan.


(18)

Tujuan Penelitian

Menentukan intensitas naungan terbaik untuk pertumbuhan bibit Avicennia marina.

Hipotesis Penelitian

Intensitas naungan 50% berpengaruh paling baik untuk pertumbuhan bibit Avicennia marina.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai informasi untuk pembibitan dalam menentukan intensitas naungan terbaik bagi bibit Avicennia marina sehingga diperoleh bibit yang berkualitas bagi kegiatan rehabilitasi lahan.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove”(Macnae, 1968). Dalam Bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari (Kusmana dkk., 2003 dalam Irwanto, 2008).

Mangrove merupakan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang-surut antara garis pasang tertinggi dengan garis pasang-surut terendah di wilayah tropika dan subtropika. Tumbuh-tumbuhan tersebut berasosiasi dengan organisme lain (fungi, mikroba, alga, fauna dan tumbuhan lainnya) membentuk komunitas mangrove. Selanjutnya komunitas mangrove tersebut berinteraksi dengan faktor

abiotik (iklim, udara, tanah, air) membentuk ekosistem mangrove (Kusmana, 2010).


(20)

Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies dengan klasifikasi taksonomi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman ini mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi pasang surut. Tanaman tersebut mempunyai cara reproduksi dengan mengembangkan buah vivipar yang bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya. Daerah hutan mangrove dunia yang diperkirakan seluas 15.429.000 ha, 25 % nya meliputi garis pantai kepulauan Karibia dan sampai 75 % meliputi daerah pantai lainnya seperti di kawasan Amerika Selatan dan Asia. Di Indonesia sendiri luas hutan mangrove diperkirakan meliputi areal sekitar 4,25 juta ha atau sekitar 27 % luas mangrove di dunia. Sayangnya kondisi hutan mangrove yang

ada saat ini setengahnya telah mengalami kerusakan (The Nature Conservacy, 2003).

Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka saat ini, Hal ini karena luas hutan mangrove dunia hanya 2% dari permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem mangrove memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting; misalnya menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai atau tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove perlu dilakukan mengingat tingginya nilai


(21)

sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem mangrove. Restorasi dapat menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain Setyawan, 2002 dalam Setyawan dan Winarno, 2006).

Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.) merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Jenis api-api (Avicennia sp.) atau di dunia dikenal sebagai black mangrove merupakan jenis terbaik dalam proses menstabilkan tanah habitatnya karena penyebaran benihnya mudah, toleransi terhadap temperartur tinggi, cepat menumbuhkan akar pernafasan (akar pasak) dan sistem perakaran di bawahnya mampu menahan endapan dengan baik serta dapat mengurangi dampak kerusakan terhadap arus, gelombang besar dan angin (Irwanto, 2008).

Tumbuhan mangrove biasanya hidup dalam sebuah wilayah kolonisasi yang terlindung dimana terdapat endapan pasir yang diakibatkan oleh proses yang terjadi di sepanjang pantai. Sesudah tertanam dengan baik, tumbuhan mangrove dapat meningkatkan proses sedimentasi dengan cara menambah jumlah endapan lumpur. Tetapi, tumbuhan mangrove tidak dapat memicu terjadinya endapan lumpur dan tidak dapat tumbuh sebagai koloni atau bertahan dalam wilayah tepi pantai yang memiliki energi tinggi. Berbagai bencana yang menjadi penyebab erosi seperti badai, angin puting beliung, banjir dan tsunami seringkali


(22)

menyebabkan erosi dalam skala besar dan telah terbukti dari berbagai kejadian bahwa tumbuhan mangrove dapat mengurangi dampak yang mungkin ditimbulkan. Jika terjadinya erosi diselingi dengan periode yang cukup lama dimana endapan dapat terbentuk, maka kemungkinan besar tumbuhan mangrove akan dapat bertahan. Tetapi, jika penyebab erosi ini sering terjadi, maka wilayah pesisir pantai akan mudah hanyut dan tumbuhan mangrove dengan sendirinya akan musnah (Hanley et al., 2005)

Secara umum hutan mangrove didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara yang terpengaruh oleh pasang surut air laut, tergenang air laut, tetapi tidak terpengaruhi oleh iklim. Hutan mangrove terdapat pada tanah berlumpur, berpasir, atau tanah berpasir. Mangrove merupakan vegetasi khas di zona pantai, floranya berhabitus semak dan berhabitus pohon besar dan tingginya antara 50-60 dan hanya mempunyai satu stratum tajuk

(Istomo, 1992 dalam Nugroho, 2006)). Menurut Nirarita et al. (1996) dalam Nursal et al. (2005), hutan mangrove merupakan tipe vegetasi yang khas terdapat

di daerah pantai tropis. Vegetasi mangrove umumnya tumbuh subur di daerah pantai yang landai di dekat muara sungai dan pantai yang terlindung dari kekuatan gelombang. Karakteristik habitat yang menonjol di daerah hutan mangrove diantaranya adalah jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir, lahan tergenang air laut secara periodik, menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat seperti dari sungai, mata air dan air tanah, airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas sekitar 38 ppt.

Hutan mangrove memiliki banyak manfaat. Secara fisik, hutan mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai dari pengaruh gelombang laut. Secara ekologi,


(23)

hutan mangrove berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi

beranekaragam biota perairan seperti ikan, udang, dan kepiting (Nursal et al., 2005). Hal serupa juga dijelaskan oleh Waryono (2002), bahwa

hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan habitat biota laut. Selain fungsi fisik dan fungsi ekologi yang telah dikemukakan diatas, hutan mangrove juga memiliki fungsi ekonomi. Menurut Iswahyudi (2008), fungsi ekonomis hutan mangrove yaitu hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu sperti madu, obat-obatan, minuman, makanan dan tanin, dan memberikan lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lain seperti lahan untuk pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi dan rekreasi. Hutan paya bakau biasanya ditemui di sepanjang pesisir pantai beriklim tropika dan subtropika di seluruh dunia yaitu pada kedudukan latitud 25°U dan 25°S (Boundry Ecosystem, 2008). Antara ciri yang utama bagi tumbuhan ini ialah kebolehan untuk hidup di kawasan yang belum ditumbuhi oleh tumbuhan lain(perintis). Ia mampu hidup di kawasan yang dibanjiri air masing-masing 2 kali sehari dan tanah berlumpur yang kurang oksigen. Sebagai contohnya Bruguiera cylindrica atau nama tempatan dikenali sebagai berus atau bakau putih,


(24)

Rhizophora apiculata (bakau minyak) dan Avicennia marina (api-api). Hutan paya bakau bukan saja melindungi daripada kikisan tanah tetapi mengumpulkan semua tanah yang terkikis dari laut. Apabila ombak menolak tanah atau lumpur dari laut ke daratan maka hutan paya bakau dengan sistem akarnya yang unik dapat mengumpul tanah tersebut. Ini merupakan fenomena yang unik, karena kecenderungan laut untuk menenggelami daratan. Hutan paya bakau merupakan tempat yang sesuai bagi pembiakan beberapa spesies seperti ikan, ketam, udang dan kerang. Hutan ini merupakan tempat kehidupan berkenaan menetas dan membesar bagi spesies- spesies tersebut sebelum kembali ke laut. Jika hutan ini tidak ada, maka dapat memberikan efek negatif bukan saja dampak secara tidak langsung tetapi juga dapat memberi dampak langsung atas ekonomi sebuah negara

akibat kehilangan pendapatan daripada industri perikanan (Mokhtar et al., 2009).

Hutan mangrove berbeda dengan hutan pantai yang jarang atau tidak pernah tergenang oleh pasang surutnya air. Komposisi jenis disetiap hutan mangrove berbeda, tergantung pada kandungan lumpur tanah, karakteristik pasang surut, jarak dari laut, salinitas, dan frekuensi penggenangan oleh air laut, serta gangguan dari manusia. Di Indonesia tidak kurang dari 73 jenis pohon penyusun struktur hutan mangrove. Yang banyak dikenal antara lain adalah Rhizhopora mucronata (bakau laki), R. Apiculata (bakau bini), Bruguiera gymnorrhiza (tancang), Sonneratia alba (preparat), Avicennia marina (api-api), Ceriops tagal (tengar), dan Xilocarpus mollucensis (nyirih) (Anwar, 2004).

Menurut Chapman (1975) dalam Kusmana (1996), Ada beberapa persyaratan utama agar mangrove dapat tumbuh dengan baik, yaitu: (1) suhu


(25)

udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu udara rata-rata dibulan terdingin lebih dari 20ºC, (2) arus laut yang tidak terlalu deras, (3) tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat, misalnya estuaria, teluk laguna, delta, (4) topografi pantai yang datar atau landai, (5) keberadaan air laut, (6) fluktuasi pasang-surut yang cukup besar yang berasosiasi dengan pantai yang bertopografi landai, dan (7) keberadaan lumpur dan tanah organik. Sedangkan menurut Irwanto (2008), Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah : (1) gerakan gelombang yang minimal, agar jenis tumbuhan mangrove dapat menancapkan akarnya, (2) salinitas payau (pertemuan air laut dan tawar), (3) endapan Lumpur (4) zona intertidal (pasang surut) yang lebar. Irwanto (2008) menambahkan selain faktor di atas

terdapat faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove yaitu (1) tanah : sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah

berlumpur, terutama di daerah endapan lumpur terakumulasi. Di Indonesia substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Jenis tanah yang mendominasi kawasan mangrove biasanya adalah fraksi lempeng berdebu, akibat rapatnya bentuk perakaran-perakaran yang ada. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp. (2) cahaya, salah satu faktor yang penting dalam proses fotosintesis dalam melakukan pertumbuhan tumbuhan hijau. Cahaya mempengaruhi respirasi, transpirasi, fisiologi dan juga sruktur fisik tumbuhan. Intensitas cahaya, di dalam kualitas dan juga lama penyinaran juga merupakan satu faktor penting untuk tumbuhan (3) suhu, faktor yang berperan dalam proses fisiologis seperti fotosintesis dan respirasi. Menurut Hutcing and Saenger (1987)


(26)

dalam Iswahyudi (2008), Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18– 20ºC, sedangkan pada Rh. stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26 - 28ºC. Suhu optimum untuk pertumbuhan Bruguiera spp. adalah 27ºC, Xylocarpus spp. berkisar antara 21-26ºC dan X. granatum pada suhu 28ºC.

Api – Api Putih (Avicennia marina) Klasifikasi:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Lamiales Family : Acanthaceae

Genus : Avicennia gambar 1: Buah dan susunan daun api-api Spesies : Avicennia marina

Nama setempat dari Avicennia marina adalah Api-api putih, api-api abang, sia-sia putih, sie-sie, pejapi, nyapi, hajusia, pai.A. marina merupakan belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, ketinggian pohon mencapai 30 meter. Memiliki sistem perakaran horizontal yang rumit dan berbentuk pensil (atau berbentuk asparagus), akanya merupakan akar nafas yang memiliki sejumlah lentisel. Bagian kulit luar kayu memiliki permukaan yang halus dengan burik-burik hijau-abu dan terkelupas dalam bagian-bagian kecil, sedangkan kulit dalam putih sampai krem. Ranting muda dan tangkai daun berwarna kuning dan tidak berbulu. Panjang daunnya berkisar 6-12 cm dengan lebar 2,5-5 cm. Bentuk buah


(27)

seperti almond, terkadang memiliki ujung berbentuk seperti piala pendek dengan panjang 1.5-2.5 cm. Umumnya tumbuh di daerah pertemuan sungai atau teluk landai dengan lumpur yang dalam. (Noor et al., 1999).

Api-api menyukai

di sepanjang tepianA. marina,

memperlihatkan toleransi yang tinggi terhadap kisaran di rawa air tawar hingga di substrat yang berkadar garam sangat tinggi. Kebanyakan jenisnya merupakan jenis pionir dan oportunistik, serta mudah tumbuh kembali. Pohon-pohon api-api yang tumbang atau rusak dapat segera tumbuh atau bersemi kembali, sehingga mempercepat pemulihan tegakan yang rusak. Akar napas api-api yang padat, rapat dan banyak sangat efektif untuk menangkap dan menahan lumpur serta pelbagai sampah yang terhanyut di perairan. Jalinan perakaran ini juga menjadi tempat mencari makanan bagi aneka

jet al., 1999)..

Akar napas (pneumatofore) yang ada pada pohon api-api (Avicennia marina) merupakan akar percabangan yang tumbuh dengan jarak teratur secara vertikal dari akar horizontal yang terbenam di dalam tanah. Reproduksinya bersifat kryptovivipary, yaitu biji tumbuh keluar dari kulit biji saat masih menggantung pada tanaman induk, tetapi tidak tumbuh keluar menembus buah sebelum biji jatuh ke tanah. Buah berbentuk seperti mangga, ujung buah tumpul dan panjang 1 cm, daun berbentuk ellips dengan ujung tumpul dan panjang daun sekitar 7 cm, lebar daun 3-4 cm, permukaan atas daun berwarna hijau mengkilat dan permukaan bawah berwarna hijau abu-abu dan suram.


(28)

Avicennia marina memiliki banyak manfaat. Menurut Bandaranayake (2002), Spesies ini dapat berkhasiat dalam mengobati aphrodiasiac, diuretic, anti malaria, dan sitotoksik, bagian buahnya mengobati hepatitis, dan kulit batang untuk mengobati leprosy. Menurut Hanley (2005), spesies A. marina adalah spesies yang berharga karena dapat menjadi payung atau pemberi naungan bagi berbagai spesies seperti Rhizhopora dan Bruguiera. Panjaitan (2009) menjelaskan bahwa Avicennia marina merupakan tanaman mangrove tumbuhan tingkat tinggi di kawasan pantai yang dapat berfungsi untuk menyerap bahan-bahan organik dan non-organik sehingga dapat dijadikan bioindikator logam berat terutama dalam mengakumulasi logam berat tembaga (Cu) dan timbal (Pb). Jenis ini sangat potensial untuk dijadikan sebagai sabuk hijau.

Pembibitan Tanaman Mangrove

Kegiatan rehabilitasi yang di lakukan di pantai maupun di hutan mangrove masih sering berakhir dengan kegagalan. Beberapa faktor penyebab yang umum dijumpai antara lain: rendahnya kualitas bibit, tidak sesuainya lokasi penanaman, kesalahan memilih jenis tanaman, serta pelaksana dilapangan yang kurang berpengalaman. Hal-hal tersebut terjadi dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai kegiatan rehabilitasi pantai maupan hutan mangrove. Disamping itu, minimnya pengalaman, terutama bagi para perencana dan pelaksana kegiatan di lapangan, juga diyakini berdampak terhadap rendahnya keberhasilan kegiatan rehabilitasi.

Bibit yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang mampu menunjang keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi. Apabila bibit yang digunakan berkualitas tinggi dan siap tanam, maka peluang keberhasilan tumbuh di lapangan


(29)

akan tinggi. Sebaliknya, penggunaan bibit berkualitas rendah hanya akan menyebabkan kegagalan kegiatan rehabilitasi. Cara membibitkan tanaman mangrove (misalnya bakau, api-api, pedada, tengal, dll) sangat berbeda dengan tanaman pantai lainnya (misalnya waru, ketapang, nyamplung, cemara, dll). Persemaian mangrove membutuhkan lokasi basah yang terpengaruh pasang surut. Karenanya, persemaian mangrove dapat juga disebut sebagai persemaian pasang surut. Sedangkan untuk jenis tanaman pantai, lokasi yang sesuai adalah lokasi kering, tidak mengalami genangan. Oleh karena itu, persemaian ini juga dikenal sebagai persemaian darat (Wibisono dkk., 2008).

Informasi teknik pembibitan mangrove memusat pada beberapa spesies mangrove mayor. Dari sekitar 60 spesies pohon dan semak mangrove mayor dan minor, serta sekitar 20 spesies tumbuhan asosiasi, hanya 12 spesies yang biasa digunakan untuk restorasi, yaitu Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, Bruguiera, Heritiera, Lumnitzera, Ceriops, Excoecaria, Xylocarpus, Nypa, Cassurina, dan Hibiscus. Penentuan spesies yang dipilih tergantung pada tekstur tanah, kadar garam, dan lama penggenangan, serta iklim mikro lainnya (Setyawan dkk., 2003).

Persemaian bibit mangrove (khususnya Rhizophora spp., Ceriops spp. dan Bruguiera spp.) biasanya terletak di lokasi yang terkena pasang surut. Dalam kondisi demikian maka penyiraman tidak perlu dilakukan. Walaupun tidak disiram, namun pemberian naungan tetap harus dilakukan, terutama dalam waktu 2 bulan pertama. Setelah itu, intensitas naungan sebaiknya dikurangi. Pengurangan intensitas naungan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan hingga bibit memiliki ketahanan untuk hidup di lokasi terbuka, sebagaimana kondisi sebenarnya di lapangan.


(30)

Dalam penanaman mangrove, kegiatan pembibitan dapat dilakukan dan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon atau buah mangrove disekitar lokasi penanaman banyak, kegiatan pembibitan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon atau buah disekitar lokasi penanaman sedikit atau tidak ada, kegiatan pembibitan sebaiknya dilaksanakan. Adanya kebun pembibitan akan menguntungkan terutama bila penanaman dilaksanakan pada saat tidak musim puncak berbuah atau pada saat dilakukan penyulaman tanaman. Selain itu, penanaman melalui buah yang dibibitkan akan menghasilkan persentase tumbuh yang tinggi. Bibit atau benih yang akan ditanam harus sudah tersedia satu hari sebelum diadakan penanaman. Buah bakau dan tumu bisa disemaikan terlebih dahulu sebelum ditanam dan bisa ditanam tanpa persemaian. Buah api-api dan prepat sebelum ditanam sebaiknya disemaikan terlebih dahulu. Penanaman secara langsung, terutama di pinggir laut, sulit dilaksanakan karena buah atau bijinya terlalu kecil sehingga mudah dibawa arus. Penanaman dengan sistem puteran dari permudaan alam, untuk kedua jenis ini dapat dilakukan dan berhasil dengan baik (Khazali, 1999).

Bedeng sapih adalah bedeng bersekat, berukuran tertentu, yang difungsikan untuk menampung polibag yang berisi semai atau propagul. Semai atau propagul ini bisa berasal dari semai yang disapih dari bedeng tabur atau semai dari biji atau stek yang langsung ditanam dalam polibag. Di bedeng sapih inilah semai dipelihara dari kecil hingga siap tanam. Idealnya, bedeng sapih dilengkapi dengan naungan dengan intensitas tertentu. Di pasaran, naungan ini sudah umum dijumpai dengan nama perdagangan paranet atau sarlon. Namun demikian, naungan dapat dibuat secara sederhana dengan memasang jalinan daun


(31)

rumbia atau daun kelapa (Kusmana dkk., 2008). Lama pemberian naungan dan lama naungan dibuka di persemaian sebelum ditanam untuk jenis R. mucronata 3– 4 bulan dan 1 bulan naungan dibuka; R. apiculata 3–4 bulan dan 1 bulan; B. gymnorrhiza 2–3 bulan dan 1 bulan; C. tagal 3–4 bulan dan 3–4 bulan; S. alba 2 bulan dan 3-4 bulan naungan dibuka; S. caseolaris 2 bulan dan 3-4 bulan; A.

marina 2 bulan dan 1–2 bulan; X. granatum 2 bulan dan 1–2 bulan (Taniguchi, 1999 dalam Kusmana dkk., 2008).

Bedeng sapih dibuat dengan ukuran bervariasi sesuai dengan kebutuhan, tetapi umumnya berukuran 1 x 5 m atau 1 x 10 m memanjang searah utara selatan. Dengan bedeng berukuran 1 x 10 m dapat memuat pot berupa kantong pelastik atau polybag (15 x 20 cm) sebanyak lebih kurang 2.550 buah untuk pot kantong pelastik berukuran 12 x 15 cm. Bedeng sapih diberi batas berupa belahan bambu, agar pot kantong pelastik tidak terguling apabila ditata dan ditempatkan dibedeng. Bedeng sapih diberi naungan dengan menggunakan daun nipah atau lainnya pada ketinggian 1 m. Tingkat naungan yang disarankan adalah sebesar kurang lebih 50 % (Anwar, 1997 dalam Anwar, 2004).

Pembatas (sekat) bedeng dapat menggunakan bambu atau tiang yang panjangnya disesuaikan dengan ukuran bedeng. Bedeng menghadap ke arah timur (membujur ke arah selatan-utara) dengan maksud agar seluruh bibit di dalam bedeng mendapatkan sinar matahari pagi yang merata dan optimal. Jarak antar bedengan adalah setengah hingga satu meter untuk jalan inspeksi dan memudahkan penyiraman. Khusus bagi semai yang baru disapih, naungan yang diberikan harus lebih berat karena sangat rentan terhadap sengatan sinar matahari. Apabila naungan yang ada di bedeng sapih adalah paranet, maka sebaiknya diberi


(32)

naungan tambahan berupa atap rumbia, tepat diatas semai yang baru disapih. Setelah beberapa minggu, naungan rumbia ini diambil hingga tinggal paranetnya (Kusmana dkk., 2008).

Untuk jenis-jenis mangrove yang propagulnya besar seperti Rhizophoraceae (bakau, tanjang, dan tengal), dan nyirih (Xilocarpus spp.), benih dapat langsung disemaikan sekaligus disapih pada pot kantong plastik yang telah berisi media tanam. Buah disemaikan sedalam 5 cm dalam pot. Untuk buah api-api (Avicennia spp.), kulit buah dibelah dua terlebih dahulu sebelum disemaikan. Apabila semai sudah berumur lebih kurang satu bulan atau ditandai dengan tinggi semai sekitar 10 cm atau telah keluarnya daun sebanyak 6 buah, semai dapat disapihkan kedalam kantong plastik yang telah ditempatkan dibedeng sapih. Spesifikasi bibit Avicennia marina yang cocok dan siap untuk ditanam adalah bibit yang sudah memiliki tinggi 30 cm dan dengan jumlah daun atau helai sebanyak 6 helai daun. Lama pembibitan untuk spesies ini biasanya memerlukan waktu selama 3-4 bulan. Bibit Avicennia spp. Dapat tumbuh baik pada tanah yang lembek dan berlumpur (Anwar, 2004).

Didalam kegiatan pembibitan ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu: (A) Pemilihan lokasi persemaian. Pemilihan lokasi persemaian harus diusahakan pada tanah yang lapang dan datar. Hindari daerah yang mudah dijangkau oleh ketam atau kepiting atau mudah dijangkau kambing. Lokasi persemaian diusahakan sedekat mungkin dengan lokasi penanaman dan sebaiknya terendam air pasang lebih kurang 20 kali per bulan agar tidak dilakukan kegiatan penyiraman bibit. (B) pembangunan tempat dan bedeng persemaian. Dari luas areal yang ditentukan untuk tempat persemaian, sekitar 70 % dipergunakan untuk


(33)

keperluan bedeng pembibitan, sisanya 30 % digunakan untuk jalan inspeksi, saluran air, gubuk kerja dan bangunan ringan lainnya. Ukuran tempat persemaian tergantung kepada kebutuhan jumlah buah yang akan dibibitkan. Bahan tempat persemaian dapat menggunakan bambu. Atap atau naungan dapat menggunakan daun nipah atau alang-alang dengan ketinggian antara 1-2 meter. Bedeng persemaian dapat dibuat dengan mencangkul tanah dengan kedalaman 5 - 10 cm atau tanah yang datar diberi batas berupa bambu agar kantong plastik atau botol air mineral bekas tidak jatuh. Antar bedeng sebaiknya ada jalan inspeksi untuk memudahkan peme-riksaan tanaman. (C) Pembuatan bibit. Dalam pembibitan, terlebih dahulu harus dipersiapkan media tanam yaitu tanah lumpur dari sekitar persemaian. Jenis api-api dan prepat benih harus disemaikan terlebih dahulu. Buah api-api, benih dapat ditebarkan langsung di bak persemaian atau kulit buah dibelah dua terlebih dahulu sebelum disemaikan di bak persemaian. Api-api (Avicennia spp.) cocok ditanam di daerah yangdidominasi pasir tapi mengandung lumpur dan terkena pasang surut rata-rata 20 hari/bulan. Jenis api-api merupakan jenis tanaman mangrove yang sangat kuat untuk menahan ombak karena sifat akarnya yangmuncul dari bawah keatas seperti pasak sehingga cocok ditanam di bagian terdepan garis pantai (Khazali, 1999).

Menurut Kusmana et al. (2005) dalam Iswahyudi (2008), Sruktur, fungsi, komposisi, distribusi spesies, dan pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove yaitu:


(34)

a.Fisiografi Pantai

Merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar hutan mangrove yang akan tumbuh.

b. Ikilm

Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi ekosistem mangrove, terutama terhadap perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor-faktor fisik, seperti tanah dan air. Iklim berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Umumnya hutan mangrove di Indonesia terdapat pada iklim dengan curah hujan tahunan dan bulanan yang tinggi, hal ini dapat mencegah akumulasi garam-garam tanah, sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan baik.

b.1. Cahaya.

Umumnya tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m²/hari. Intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi sedangkan intensitas cahaya yang rendah akan mengganggu jalannya fotosintesis sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu intensitas cahaya optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman dapat maksimal dan dapat menghasilkan bibit berkualitas baik. Pengaturan intensitas cahaya dapat dilakukan dengan pemberian naungan


(35)

sehingga dapat melindungi semai dari cahaya atau sinar matahari dan suhu yang berlebihan.

Menurut Takashima, et al. (1999), tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi, akan tetapi pada tingkat semai tanaman mangrove memerlukan naungan. Mayer dan Anderson (1952) dalam Simarangkir (2000) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh dengan intensitas cahaya 0% akan mengakibatkan pengaruh yang berlawanan, yaitu suhu rendah, kelembaban tinggi, evaporasi dan transportasi yang rendah. Tanaman cukup mengambil air, tetapi proses fotosintensis tidak dapat berlangsung tanpa cahaya matahari. Sedangkan Soekotjo (1976) berpendapat bahwa pengaruh cahaya terhadap pembesaran sel dan diferensiasi sel berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, ukuran daun serta batang.

Dibandingkan dengan lama penyinaran dan jenis cahaya, intensitas cahaya merupakan faktor yang paling berperan terhadap kecepatan berjalannya fotosintesis. Laju fotosintesis meningkat dengan meningkatnya kelembaban udara sekitar tanaman. Intensitas cahaya tinggi membawa perubahan-perubahan penting pada morfologi pohon yaitu pembentukan sistem akar dan peningkatan rasio akar dan batang, sedangkan daun akan menjadi lebih tebal karena intensitas cahaya tinggi merangsang pertumbuhan palisade. Intensitas cahaya tinggi juga dapat menurunkan pertumbuhan tinggi. Pertumbuhan tinggi lebih cepat pada tempat ternaung daripada tempat terbuka (Ulumiyah, et al., 2008).

b.2.

Jumlah, lama dan distribusi curah hujan merupakan faktor penting yang mengatur perkembangan dan distribusi tumbuhan mangrove. Selain itu Curah


(36)

hujan mempengaruhi faktor lingkungan seperti suhu air dan udara, salinitas, air permukaan tanah dan air tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Umumnya hutan mangrove di Indonesia terdapat pada iklim dengan curah hujan tahunan dan bulanan yang tinggi, dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah dengan curah hujan rata-rata 1500 - 3000 mm/tahun. Hal ini dapat mencegah akumulasi garam-garam tanah, sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan baik.

b.3. Suhu udara

Suhu merupakan faktor penting didalam proses fisiologis tumbuhan mangrove, seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20ºC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5ºC, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 10ºC. Suhu yang terlalu panas dapat merusak jaringan daun, evapotranspirasi meningkat dan tanah cepat mengering. Hutchings dan Saenger (1987) dalam Istomo (1992) menyatakan bahwa Avicennia marina yang ada di Australia memproduksi daun baru pada suhu 18 - 20 °C dan bila lebih tinggi suhunya, maka laju produksi daun baru akan lebih rendah. Sedangkan untuk Rhizophora stylosa, Ceriops spp., Excoacaria aggalocha dan Lumnitzera spp., laju tertinggi produksi daun baru pada suhu 26 – 28 °C, untuk Bruguiera spp., pada suhu 27 °C, Xylocarpus spp., pada suhu 21 – 26 °C, dengan pengecualian Xylocarpus granantum (28 °C).

b.4. Angin

Angin berpengaruh terhadap ekosistem mangrove melalui gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah sruktur mangrove,


(37)

serta meningkatkan evapontranspirasi. Angin yang kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman.

c. Pasang Surut

Pasang surut merupakan gerakan naik turunya permukaan laut sebagai akibat dari gaya tarik benda angkasa terutama bulan dan matahari terhadap massa air bumi. Salinitas air menjadi sangat tinggi saat pasang naik, dan menurun selama pasang surut. Perubahan salinitas air oleh pasang merupakan salah satu faktor pembatas distribusi spesies secara horizontal di mangrove, khususnya yang dipengaruhi oleh pasang campuran. Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Lama pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal. Pada areal yang selalu tergenang hanya Rh. Mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. Dan Xylocarpus spp. Jarang mendominasi daerah yang sering tergenang.

d. Gelombang dan Arus

Gelombang pantai merupak gelombang yang dipengaruhi oleh angin. Merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.


(38)

e. Salinitas

Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tumbuh dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 – 30 ppt. Beberapa spesies dapat tumbuh di daerah dengan salinitas sangat tinggi. Di Australia dilaporkan A. marina dan E. agallocha dapat tumbuh di daerah dengan salinitas maksimum 63 ppt., Ceriops spp. 72 ppt., Sonneratia spp. 44 ppt., Rh. apiculata 65 ppt dan Rh. stylosa 74 ppt.

f. oksigen terlarut

Tanah pada hutan mangrove berlumpur dan jenuh dengan air, sehingga kandungan oksigennya rendah atau bahkan dapat dikatakan tidak mengandung oksigen. Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari.

g.Tanah.

Jenis tanah pada hutan mangrove umumnya alluvial biru sampai coklat keabu-abuan. Tanah ini berupa tanah lumpur kaku dengan persentase liat yang tinggi, bervariasi dari tanah liat biru yang kompak dengan sedikit atau tanpa bahan organik, sampai tanah dengan lumpur coklat hitam yang mudah lepas karena banyak mengandung pasir dan bahan organik.


(39)

Hutan mangrove di Indonesia berkembang dengan baik di daerah-daerah pantai berlumpur, di muara sungai-sungai berlumpur, terpengaruh pasang–surut, dan umumnya pada garis pantai yang landai, terlindung dari hempasan ombak yang besar. Mangrove juga dapat tumbuh di tanah lempung yang pejal, kompak (firm clay soil, seperti Bruguiera spp.) gambut (peat, seperti Kandelia), berpasir (sandy soil, seperti Rhizophora stylosa), dan bahkan tanah berkoral yang kaya akan detritus, walaupun tidak terlampau baik perkembangannya (seperti Pemphis aciluda).

h. Nutrien

Nutrien mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik. Nutrien inorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien inorganik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui beberapa tahap degradasi mikrobial. Detritus organik berasal dari authochthonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan kotoran organisme) dan allochthonous (partikular dari air limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan laut.

i. Proteksi

Mangrove berkembang baik pada daerah pesisir yang terlindung dari gelombang yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dan lain-lain. Beberapa ahli ekologi mangrove berpendapat bahwa faktor-faktor lingkungan yang paling


(40)

berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh tinggi rata-rata muka laut.

Pengaruh Naungan

Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap. Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak memerlukan naungan dan yang lain mungkin memerlukan naungan mulai awal pertumbuhannya. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies lain menunjukkan perilaku yang berbeda. Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas

cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak (Suhardi dkk., 1995 dalam Irwanto, 2006).

Pada umumnya cahaya yang diperlukan oleh setiap jenis tanaman berbeda-beda. efek penggunaan naungan dapat mengurangi cahaya yang diterima tanaman, menurunkan suhu udara dan mempertahankan kelembaban tanah. Semai yang mendapat intensitas naungan yang tinggi memiliki kelembaban tanah yang tinggi sehingga tanah banyak mengandung air yang mampu mengoptimalkan proses fotosintesis. Peranan naungan disamping mengurangi kecepatan angin dan laju transpirasi, juga mengurangi laju evaporasi air dari permukaan tanah karena daya evaporasi udara yang menimbulkan kompetisi dalam pengambilan air dan nutrisi. Semakin besar tingkat naungan, menyebabkan intensitas cahaya yang diterima


(41)

tanaman semakin kecil, maka suhu udara rendah, kelembaban udara semakin tinggi (Magfoer danKoesrihartati, 1998).

Intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi sedangkan intensitas cahaya yang rendah akan mengganggu jalannya fotosintesis sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu intensitas cahaya optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman dapat maksimal dan dapat menghasilkan bibit berkualitas baik. Pengaturan intensitas cahaya dapat dilakukan dengan pemberian naungan atau shading sehingga dapat melindungi semai dari cahaya atau sinar matahari dan suhu yang berlebihan. Pada jenis intoleran, naungan yang terlalu rapat akan menyebabkan etiolasi sedangkan naungan yang kurang rapat akan mengurangi perlindungan bibit dari sinar matahari langsung, curah hujan yang tinggi, angin, dan fluktuasi suhu yang ekstrim (Schmidt, 2002 dalam Sudomo, 2009).

Intensitas naungan pada setiap jenis tanaman mangrove berbeda-beda. Hal ini karena Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak. Menurut Wibisono dkk. (2008), benih Avicennia marina paling baik berada pada intensitas naungan 50%. Berdasarkan hasil penelitian Yanti (2007), propagul R. mucronata yang akan digunakan sebagai penanaman dan rehabilitasi hutan mangrove paling baik berada pada intensitas naungan 75%. Hal ini karena pada intensitas naungan yang tinggi menyebabka bibit kekurangan cahaya sehingga bibit mengalokasikan pertumbuhan hanya pada tinggi, diameter, jumlah daun, luas daun total dan biomassa total. Bibit mengalokasikan pada beberapa parameter tertentu karena adaptasinya untuk memperoleh cahaya yang lebih dengan intensitas naungan


(42)

tinggi. Pada intensitas naungan 75% propagul R. mucronata memperoleh cahaya yang optimal dalam merangsang pertumbuhannya.

Aplikasi naungan dimaksudkan untuk memodifikasi lingkungan mikro tanaman, karena akan mengubah kuantitas dan kualitas faktor lingkungan yang ada antara lain radiasi matahari, suhu, dan kelembaban. Adaptasi tanaman terhadap naungan akan mempengaruhi morfologi, anatomi, dan fisiologi tanaman. Tanaman beradaptasi terhadap naungan melalui dua cara yaitu: peningkatan luas daun untuk meminimalkan penggunaan metabolit dan pengurangan jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan (Mohr dan Schopfer, 1995).

Menurut Simarangkir (2000), pertumbuhan diameter tanaman berhubungan erat dengan laju fotosintesis akan sebanding dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima dan respirasi. Akan tetapi pada titik jenuh cahaya, tanaman tidak mampu menambah hasil fotosintesis walaupun jumlah cahaya bertambah. Selain itu produk fotosintesis sebanding dengan total luas daun aktif yang dapat melakukan fotosintesis. Daniel, et al. (1992) mengemukakan bahwa terhambatnya pertumbuhan diameter tanaman karena produk fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses pembentukan sel meristematik kearah diameter batang, terutama pada intensitas cahaya yang rendah.

Jumlah daun tanaman lebih banyak di tempat ternaung daripada di tempat terbuka. Jenis yang diteliti memberikan respons terhadap perbedaan intensitas cahaya. Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada tempat terbuka. Tanaman yang ditanam di tempat terbuka mempunyai daun yang lebih tebal daripada di tempat ternaung. Menurut Heddy (1996) dalam satu


(43)

tanaman, daun yang terluar yang mendapat cahaya matahari penuh tumbuh lebih lebih kecil daripada daun yang sebelah dalam yang terlindung. Bila tumbuhan berada lama dalam cahaya yang lemah, ia akan mengalami etiolasi, yakni batangnya menjadi sangat panjang tanpa jaringan serabut penyokong yang cukup, daunnya keputih-putihan tanpa klorofil yang cukup. Namun apabila penyinaran yang berlebihan akan menimbulkan tumbuhan yang kerdil dengan perkembangan yang abnormal yang akhirnya berakhir dengan kematian. Marjenah (2001) mengemukakan bahwa naungan memberikan efek yang nyata terhadap luas daun. Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada jika berada pada tempat terbuka. Fitter dan Hay (1992) mengemukakan bahwa jumlah luas daun menjadi penentu utama kecepatan pertumbuhan.


(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Setiap parameter pengamatan baik tinggi, diameter, jumlah daun, luas daun total dan biomassa total bibit mengalami perbedaan pada setiap intensitas naungan yang berbeda. Hasil uji DMRT pada taraf 5% menunjukkan bahwa intensitas naungan memberikan pengaruh nyata pada setiap parameter pengamatan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

Parameter pengamatan Intensitas naungan Satuan

0% 25% 50% 75%

Tinggi rata- rata bibit 8,52a 12,36b 16,27c 12,55b (cm) Diameter Rata-rata bibit 0,39a 0,41a 0,49b 0,42a (cm) Jumlah daun Rata-rata

bibit

3a 5b 6b 5b (helai)

Luas Daun Total rata-rata bibit

31,76a 66,39b 94,97c 86,78bc (cm2

Biomassa total rata-rata bibit

)

1,16 2,17 5,38 2,98 (g)

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan berbeda nyata menurut uji Duncan Multiple RangeTest (DMRT) pada taraf 5 %.


(45)

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6

0% 25% 50% 75%

D ia m e te r ra ta -r at a b ib it Intensitas Naungan 0% 25% 50% 75% 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0% 25% 50% 75%

T in ggi r a ta -r at a b ib it Intensitas Naungan 0% 25% 50% 75%

Hasil yang terlihat pada tabel diatas dapat dijadikan diagram batang yang ada pada gambar 2 dibawah ini.

Gambar 2. Diagram batang setiap parameter yang diamati pada pengamatan 1-13 MST (Minggu setelah tanam). 0 1 2 3 4 5 6 7

0% 25% 50% 75%

Ju m la h D a u n ( h el a i) Intensitas Naungan 0% 25% 50% 75% 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6

0% 25% 50% 75%

B ioma ss a t ot a l ra ta -r at a b ib it Intensitas Naungan 0% 25% 50% 75% 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0% 25% 50% 75%

R at a -r a ta Lua s D a un To ta l bi bi t Intensitas Naungan 0% 25% 50% 75%


(46)

Berdasarkan tabel dan diagram batang di atas dapat diketahui bahwa setiap parameter yang diamati memiliki nilai yang berbeda pada setiap intensitas naungan yang berbeda. Data setiap parameter pengamatan baik tinggi rata-rata, diameter rata-rata bibit, jumlah daun, luas daun total rata-rata bibit, dan biomassa total bibit A. marina dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MST. Dari tabel dan diagram batang tersebut dapat dilihat pertumbuhan tinggi rata-rata bibit A. marina tertinggi adalah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu 16,27 cm dan terendah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu 8,52 cm. Pertumbuhan diameter rata-rata bibit A. marina yang tertinggi terdapat pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu 0,49 cm dan terendah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu 0,39 cm. Jumlah daun terbanyak terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata sebanyak 6 helai sedangkan jumlah daun yang paling sedikit terdapat pada intensitas naungan 0% yaitu rata-rata sebanyak 3 helai. Luas daun total bibit A. marina yang terluas adalah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu 94,97 cm2 dan terendah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu 31,76 cm2

Perbedaan perlakuan intensitas naungan A. marina memberikan pengaruh nyata terhadap setiap parameter yang diamati baik tinggi rata-rata bibit, diameter rata-rata bibit, jumlah daun, luas daun total, dan biomassa total bibit A. marina. Persentase peningkatan pertumbuhan bibit A. marina dari setiap parameter yang diamati berbeda pada setiap perlakuan intensitas naungan yang berbeda. Berikut . Biomassa total rata-rata bibit A. marina yang terbesar adalah pada bibit A. marinadengan intensitas naungan 50% yaitu 0,54 gram dan terendah pada bibit A. marinadengan intensitas naungan 0% yaitu 0,38 gram.


(47)

adalah peningkatan persentase pertumbuhan bibit A. marina dari setiap parameter yang diamati pada setiap intensitas naungan yang berbeda yang disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Persentase peningkatan pertumbuhan bibit A. marina dari setiap parameter yang diamati pada setiap intensitas naungan yang berbeda.

Parameter pengamatan Intensitas naungan Satuan

0% 25% 50% 75%

Tingi rata-rata bibit - 45,07 90,96 47,30 (%)

Diameter Rata-rata bibit - 5,13 25,64 7,69 (%)

Jumlah daun Rata-rata bibit

- 66,67 100 66,67 (%)

Luas Daun Total rata-rata bibit

- 109,04 199,02 173,24 (%)

Biomassa total rata-rata bibit

- 87,07 363,79 156,90 (%)

Gambar 3. Diagram batang peningkatan persentase pertumbuhan bibit A. marina dari setiap parameter yang diamati pada pengamatan 1-13 MST (Minggu setelah tanam).

0 50 100 150 200 250 300 350 400

tinggi diameter jumlah daun luas daun total

biomassa total

0% 25% 50% 75%


(48)

Tinggi rata-rata bibit A. marina (cm)

Pertambahan tinggi bibit A. marina mengalami perbedaan pada setiap perlakuan intensitas naungan. Pertumbuhan tinggi rata-rata bibit A. marina tertinggi adalah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu 16,27. Hal ini disertai dengan persentase peningkatan tinggi dari bibit A. marina yang paling tinggi juga terdapat pada intensitas naunga 50% yaitu 90,96%. Pertumbuhan tinggi rata-rata bibit A. marina terendah terdapat pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu 8,52 cm. Data tinggi rata-rata bibit A. marina dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MST. Hasil analisis sidik ragam, tinggi rata-rata bibit A. marina dapat dilihat pada lampiran 2, sedangkan persentase peningkatan tinggi bibit A. marina dapat dilihat pada lampiran 7.

Diameter rata-rata bibit A. marina (cm)

Pertambahan diameter bibit A. marina mengalami perbedaan pada setiap perlakuan naungan. Pertumbuhan diameter rata-rata bibit A. marina tertinggi adalah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu 0,49 cm. Hal ini disertai dengan persentase peningkatan diameter dari bibit A. marina yang paling tinggi juga terdapat pada intensitas naunga 50% yaitu 25,64%. Pertumbuhan diameter rata-rata bibit A. marina terendah terdapat pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu 0,39 cm. Data diameter rata-rata bibit A. marina dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MST. Hasil analisis sidik ragam, diameter rata-rata bibit A. marina dapat dilihat lampiran 3, sedangkan persentase peningkatan diameter bibit A. marina dapat dilihat pada lampiran 7.


(49)

Jumlah daun rata-rata A. marina(helai)

Perbedaan perlakuan intensitas naungan A. marina memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun rata-rata bibit A. marina. Jumlah daun rata-rata bibit A. marina berbeda pada setiap intensitas naungan. Jumlah daun terbanyak terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu memiliki rata-rata jumlah daun sebanyak 6 helai daun. Hal ini disertai dengan persentase peningkatan rata-rata jumlah daun dari bibit A. marina yang paling banyak juga terdapat pada intensitas naunga 50% yaitu 100%. Jumlah daun bibit A. marina yang paling sedikit terdapat pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu sebanyak 3 helai daun. Data jumlah daun rata-rata bibit A. marina dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MST. Hasil analisis sidik ragam, jumlah daun rata-rata bibit A. marina dapat dilihat pada lampiran 4, sedangkan persentase peningkatan diameter bibit A. marina dapat dilihat pada lampiran 7. Perbedaan perlakuan intensitas naungan A. marina memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun rata-rata bibit A. marina.

Luas daun total rata-rata bibit A. marina (cm2

Perbedaan perlakuan intensitas naungan A. marina memberikan pengaruh nyata terhadap luas daun total rata-rata bibit A. marina. Luas daun total rata-rata bibit A. marina terluas terdapat pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu 94,97 cm

)

2

.Hal ini disertai dengan persentase peningkatan luas daun total bibit A. marina yang paling banyak juga terdapat pada intensitas naunga 50% yaitu 100%. Luas daun total rata-ratabibit A. marina yang terendah terdapat pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu 31,76 cm2 . Data luas daun


(50)

total bibit A. marina dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MST. Hasil analisis sidik ragam luas daun total bibit A. marina dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan persentase peningkatan luas daun total bibit A. marina dapat dilihat pada lampiran 7.

Biomassa total rata-rata bibit A. marina (g)

Perbedaan perlakuan intensitas naungan A. marina memberikan pengaruh nyata terhadap biomassa total rata-rata bibit A. marina. Biomassa total rata-rata bibit A. marina yang terbesar adalah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu 0,54 gram. Hal ini disertai dengan persentase peningkatan biomassa total rata-rata bibit A. marina yang paling besar juga terdapat pada intensitas naunga 50% yaitu 363,79%. Biomassa total rata-rata bibit A. marina yang terendah terdapat pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu 0,38 gram. Data biomassa total bibit A. marina dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MST. Hasil perhitungan biomassa total bibit A. marina dapat dilihat pada Lampiran 6 sedangkan persentase biomassa total rata-rata bibit A. marina dapat dilihat pada lampiran 7.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 4. Bentuk bibit A. marina dalam berbagai intensitas naungan. (a. intensitas naungan 0%, b. intensitas naungan 25%, c. intensitas naungan 50% dan d. intensitas naungan 75% pada 13 MST (Minggu Setelah Tanam).


(51)

Pembahasan

Tinggi rata-rata bibit A. marina

Persentase hidup bibit A. marina pada intensitas naungan 0%, 25%, 50% dan 75% memiliki nilai yang sama yaitu 100%. Pemberian perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap persentase hidup bibit. Hal ini sesuai dengan pernyatan Hanley et al. (2005) yang menyatakan bahwa A.marina dapat tumbuh pada semua tingkatan lokasi di sepanjang pesisir. Menurut Anwar (2004) bibit Avicennia spp. dapat tumbuh baik pada tanah yang lembek dan berlumpur. Pertumbuhan bibit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik. Setiap biji memiliki genetik yang berbeda walaupun berasal dari satu pohon induk yang sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mohr dan Schopfer (1995) yang menyatakan bahwa kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap lingkungan ditentukan oleh sifat genetik tanaman. Secara genetik, tanaman yang toleran terhadap naungan mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan.

Intensitas naungan 50% adalah intensitas naungan yang terbaik yang memberikan persentase peningkatan tertinggi dari setiap parameter pertumbuhan bibit A. marina yang diamati. Menurut Schmidt (2002) dalam Sudomo (2009), Intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi sedangkan intensitas cahaya yang rendah akan mengganggu jalannya fotosintesis sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu intensitas cahaya optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman dapat maksimal dan dapat menghasilkan bibit berkualitas baik. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan


(52)

dapat diketahui bahwa intensitas naungan 50% adalah yang terbaik untuk pertumbuhan bibit A. marina. Hal ini dapat dilihat dari persentase peningkatan tertinggi dari setiap parameter pertumbuhan bibit A. marina baik persentase peningkatan tinggi, diameter, jumlah daun, luas daun total dan persentase peningkatan biomassa yang tertinggi terdapat pada intensitas naungan 50%.

Pertumbuhan tinggi rata-rata bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% merupakan pertumbuhan bibit tertinggi yaitu sebesar 16, 27cm. Sedangkan pertumbuhan tinggi rata-rata bibit terendah terdapat pada intensitas naungan 0% yaitu sebesar 8,52cm. Perbedaan naungan memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Hal ini berkaitan langsung dengan intensitas, kualitas dan lama penyinaran cahaya yang diterima untuk tanaman melaksanakan proses fotosintesis.

Intensitas cahaya yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Kondisi lingkungan yang panas menyebabkan panjang tanaman pendek, daunnya kecil-kecil, jumlah bunga sedikit dan diameter kanopi yang sempit. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Gardner et al. (1985) bahwa intensitas radiasi yang terlalu tinggi dapat menekan kerja auksin, sebaliknya suhu terlalu rendah akan memacu kerja auksin, tertekannya kerja auksin dapat mengurangi pertumbuhan tanaman. Hal ini karena hormon auksin yang berada di pucuk tanaman tidak dapat bekerja secara aktif sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat. Pernyataan di atas didukung oleh Ulumiyah, et al. (2008), Intensitas cahaya tinggi dapat menurunkan pertumbuhan tinggi. Pertumbuhan tinggi lebih cepat pada tempat ternaung daripada tempat terbuka.


(53)

Menurut Marjenah (2001), intensitas cahaya yang relatif sedikit, tanaman cenderung memacu pertumbuhan tingginya untuk memperoleh sinar yang diperlukan untuk proses fisiologi. Kekurangan intensitas cahaya menyebabkan jumlah energi yang tersedia untuk penggabungan karbondioksida dan air sangat rendah, akibatnya pembentukan karbohidrat hasil fotosintesis yang digunakan untuk pembentukan senyawa lain juga rendah. Pernyataan di atas didukung oleh Widiastoety et al. (2000) yang menyatakan bahwa intensitas cahaya yang kurang menyebabkan laju fotosintesis menurun, sehingga hasil fotosintesis dapat habis terombak oleh proses respirasi, cadangan makanan berkurang sehingga pertumbuhan tanaman dapat terhambat. Fitter dan Hay (1991) mengemukakan bahwa cahaya merupakan satu dari faktor-faktor lingkungan terpenting karena perannya dari proses fotosintesis.

Diameter rata-rata bibit A. marina

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa data diameter rata-rata tertinggi adalah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu sebesar 0,49 cm, disusul bibit A. marina dengan intensitas naungan 75% sebesar 0,42 cm, kemudian bibit A. marina dengan intensitas naungan 25% sebesar 0,41 cm dan yang terendah adalah bibit dengan intensitas naungan 0% yaitu sebesar 0,39 cm. Perbedaan diameter rata-rata bibit mengalami perbedaan antara satu naungan dengan naungan yang lain disebabkan besarnya cahaya yang diterima berbeda

pada setiap intensitas naungan. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Simarangkir (2000) bahwa pertumbuhan diameter tanaman berhubungan erat

dengan laju fotosintesis akan sebanding dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima dan respirasi. Akan tetapi pada titik jenuh cahaya, tanaman tidak


(54)

mampu menambah hasil fotosintesis walaupun jumlah cahaya bertambah. Pernyataan di atas didukung oleh Daniel et al. (1992) dalam Irwanto (2006) yang menyatakan bahwa terhambatnya pertumbuhan diameter tanaman karena produk fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses pembentukan sel meristematik kearah diameter batang, terutama pada intensitas cahaya yang rendah.

Diameter bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% lebih baik dibandingkan dengan intensitas naungan 75% dan intensitas naungan yang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wibisono (2008) yang menyatakan bahwa baik di bedeng darat maupun pasang surut, A. marina harus dinaungi dengan intensitas 50%. Hal yang sama dikemukakan oleh Anwar (2004) bahwa tingkat naungan yang disarankan untuk pembuatan bedeng sapih atau semai adalah lebih kurang 50%.

Menurut Magfoer dan Koesrihartati (1998), efek penggunaan naungan dapat mengurangi cahaya yang diterima tanaman, menurunkan suhu udara dan mempertahankan kelembaban tanah. Semai yang mendapat intensitas naungan yang tinggi memiliki kelembaban tanah yang tinggi sehingga tanah banyak mengandung air yang mampu mengoptimalkan proses fotosintesis. Semakin besar tingkat naungan, menyebabkan intensitas cahaya yang diterima tanaman semakin kecil, maka suhu udara rendah, kelembaban udara semakin tinggi.

Jumlah daun rata-rata bibit A. marina

Perhitungan jumlah daun rata-rata yang dilakukan diperoleh bahwa jumlah daun rata-rata terbanyak terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu sebesar 6 helai daun, sedangkan pada intensitas naungan 25% dan 75% memiliki jumlah


(55)

daun rata-rata yang sama yaitu sebesar 5 helai daun. Jumlah daun rata-rata terendah adalah bibit dengan intensitas naungan 0% sebesar 3 helai daun. Daun-daun yang ternaungi memiliki jumlah klorofil yang lebih banyak dibanding jumlah klorofil pada daun-daun yang mendapat cahaya matahari secara langsung sehingga jumlah daun lebih banyak pada tempat yang ternaungi. Tanaman ternaungi akan mengurangi sistem perakaran untuk membentuk daun yang lebar dan tipis. Daun Tanaman yang ternaungi menggunakan lebih banyak energi untuk menghasilkan pigmen pemanen cahaya yang memungkinkannya mampu menggunakan semua cahaya dalam jumlah terbatas yang mengenainya.

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, dapat terlihat bahwa bibit A. marina yang hidup pada kondisi ternaungi memiliki struktur daun yang lebih besar dan tipis dibandingkan dengan bibit A. marina yang hidup pada kondisi tidak ternaungi. Hal ini sesuai pernyataan Marjenah (2001) yang mengemukakan bahwa jumlah daun tanaman lebih banyak di tempat ternaung daripada di tempat terbuka. Ditempat terbuka mempunyai kandungan klorofil lebih rendah dari pada tempat ternaung. Daun tanaman yang ada dalam naungan menggunakan lebih banyak energi untuk menghasilkan pigmen pemanen cahaya yang memungkinkannya mampu menggunakan semua cahaya dalam jumlah terbatas yang mengenainya. Pernyataan ini didukung oleh Salisbury dan Ross (1995) yang mengemukakan bahwa intensitas cahaya yang tinggi akan meningkatkan kadar karotenoid, kandungan nitrogen, dan mempengaruhi struktur anatomi daun. Intensitas cahaya yang tinggi akan mengakibatkan permukaan daun menjadi lebih terbuka, namun intensitas cahaya yang sangat tinggi akan menurunkan kadar klorofil daun.


(56)

Fitter dan Hay (1998) serta Taiz dan Zeiger (2002) menyatakan bahwa daun tanaman yang ternaungi menjadi lebih tipis dibanding daun tanaman yang tidak ternaungi. Hal ini disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil. Sugito (1999) menyatakan bahwa daun yang tipis dimaksudkan agar lebih banyak radiasi matahari yang dapat diteruskan ke bawah sehingga distribusi cahaya merata sampai pada bagian daun bagian bawah. Penurunan tebal daun diiringi dengan pelebaran atau penambahan luas daun dimaksudkan agar penerimaan cahaya matahari lebih banyak. Pernyataan lain yang mendukung adalah menurut Dwijoseputro (1980) yang menyatatakan bahwa Perbedaan jumlah daun yang tumbuh dibawah naungan dipengaruhi oleh adanya perbedaan intensitas cahaya yang diperoleh sehingga energi foton yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis menjadi berkurang. Laju fotosintesis berkurang mengakibatkan fotosintat yang dihasilkan berkurang sehingga pertumbuhan vegetatif terutama pertumbuhan daun terhambat. Pada tingkat naungan yang ekstrim untuk tanaman tertentu bisa mengakibatkan kematian jaringan tanaman dan diikuti kematian tanaman itu sendiri.

Menurut Marschner (1995) dalam Delvian (2006), cahaya dan suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit di persemaian. Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan bibit tumbuh kerdil, daun kering dan gugur, bahkan dapat berakibat bibit mati. Sedangkan intensitas cahaya yang rendah atau kurang akan menimbulkan pengaruh yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan bibit serta menyebabkan etiolasi pada bibit.


(57)

Luas daun total rata-rata bibit A. marina

Perhitungan luas daun total yang tertinggi adalah bibit dengan intensitas naungan 50% sebesar 94,97cm2, sedangkan yang terendah adalah 0% sebesar 31,376cm2

Menurut Djukri dan Purwoko (2003) naungan mengakibatkan peningkatan luas daun sebagai upaya tanaman dalam mengefisiensikan penangkapan energi cahaya untuk fotosintesis secara normal pada kondisi intensitas cahaya rendah. Pernyataan tersebut didukung oleh Sirait (2006) yang menyatakan bahwa dalam kondisi ternaungi, salah satu bentuk adaptasi tanaman adalah dengan memperluas daun untuk memaksimalkan jumlah cahaya yang dapat diserap. Dengan demikian bahan baku yang dihasilkan dalam fotosintesis lebih banyak digunakan untuk perkembangan pucuk daripada akar. Alur transportasi hasil fotosintesis adalah

. Luas daun merupakan kemampuan adaptasi daun terhadap intensitas cahaya tinggi dan rendah. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi tidak baik bagi tanaman karena menyebabkan daun menjadi tebal dan kecil sedangkan daun yang didalam naungan, terlihat lebih tipis dan permukaan daun lebih luas. Hal ini karena daun yang ternaung menyebabkan hormon auksin dapat bekerja secara aktif untuk memperluas daun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Marjenah (2001) dalam Irwanto (2006) bahwa daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan dari pada jika berada di tempat terbuka. Hal ini karena daun-daun yang ternaung mempunyai jumlah klorofil yang lebih banyak, sedangkan daun-daun ditempat terbuka mempunyai kandungan klorofil yang lebih rendah. Pernyataan ini didukung pula oleh Gardner et al. (1985) yang mengemukakan berkurangnya persentase penyinaran yang diterima tanaman menyebabkan luas daun meningkat.


(58)

dari daun menuju ke bagian lain yang memerlukan seperti batang dan akar melalui pembuluh floem. Dengan mekanisme tersebut, pada kondisi naungan akar akan memperoleh fotosintat yang lebih sedikit dibandingkan dengan pucuk.

Jumlah luas daun menjadi penentu utama kecepatan pertumbuhan. Heddy (1996) menyebutkan dalam satu tanaman, daun yang terluar yang mendapat cahaya matahari penuh tumbuh lebih kecil daripada daun yang sebelah dalam yang terlindung. Bila tumbuhan berada lama dalam cahaya yang lemah, ia akan mengalami etiolasi, yakni batangnya menjadi sangat panjang tanpa jaringan serabut penyokong yang cukup, daunnya keputih-putihan tanpa klorofil yang cukup. Namun apabila penyinaran yang berlebihan akan menimbulkan tumbuhan yang kerdil dengan perkembangan yang abnormal yang akhirnya berakhir dengan kematian.

Biomassa Total rata-rata bibit A. marina

Biomassa tanaman merupakan akumulasi produk fotosintesis maupun penyerapan hara dalam bentuk senyawa organik penyusun seluruh jaringan pada organ vegetatif maupun generatif tanaman. Sitompul dan Guritno (1995) menyebutkan bahwa Pengukuran berat basah tanaman dilakukan secara langsung setelah tanaman dipanen agar tidak kehilangan air. berat basah tanaman adalah berat tanaman pada saat masih hidup. Selain bahan organik, kandungan air pada jaringan tanaman akan mempengaruhi berat basah tanaman

Menurut Lakitan (1996), Berat kering total tanaman merupakan akibat efisiensi penyerapan dan pemanfaatan radiasi matahari yang tersedia, sepanjang musim pertumbuhan oleh tajuk tanaman. berat kering tanaman mencerminkan


(59)

akumulasi senyawa organik yang berhasil disintesis tanaman dari senyawa anorganik, terutama air dan karbondioksida. Besarnya cahaya yang tertangkap pada proses fotosintesis menunjukkan biomassa, sedangkan besarnya biomassa dalam jaringan tanaman mencerminkan berat kering.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, Biomassa total rata-rata tertinggi adalah bibit dengan intensitas naungan 50% sebesar 0,54 gram sedangkan biomassa total rata-rata terendah adalah bibit dengan intensitas naungan 0% sebesar 0,35 gram. Biomassa total bergantung pada semua parameter lain yakni tinggi bibit, diameter bibit, jumlah daun, luas daun total dan akar dari bibit tanaman. Biomassa menunjukkan banyaknya cahaya yang tertangkap oleh bibit untuk proses fotosintesis. Menurut Lakitan (2008), Bobot basah di lahan ternaungi lebih banyak mengandung klorofil (terutama klorofil b) per satuan berat daun. Klorofil yang lebih banyak ini berkaitan dengan lebih banyak grana yang terbentuk pada daun ternaung sehingga bobot basah dan kering total per tanaman lahan ternaungi lebih tinggi daripada di lahan tanpa naungan. Pernyataan ini didukung oleh Fitter dan Hay (1991), Peningkatan berat kering terjadi karena laju fotosintesis berupa fotosintat yang merupakan hasil akhir dari proses metabolisme. Produk akhir dari proses fotosintesis adalah gula. Gula merupakan materi dasar penyusun materi organik di dalam sel tanaman seperti senyawa struktural, metabolik, dan cadangan makanan yang penting. Bagian-bagian sel tanaman seperti sitoplasma, inti sel dan dinding sel tersusun atas materi organik tersebut. Proses ini mengakibatkan akumulasi bahan kering tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tohari dkk. (2004), Bila luas daun meningkat, asimilat yang dihasilkan akan lebih besar pula. Luas daun yang besar menyebabkan laju


(1)

Lampiran 6. Data total biomassa bibit A. marina dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MST (Minggu Setelah Tanam)

Bagian Perlakuan

0% 25% 50% 75%

Berat awal (g) Berat kering oven(g) Berat awal (g) Berat kering oven (g) Berat awal (g) Berat kering oven (g) Berat awal (g) Berat kering oven (g)

Daun 10,7 4,2 20,8 9,5 31,4 6,7 24,9 6,5

Akar 8,1 3,8 17,7 5,5 58,6 27,3 23,6 8,4

Batang 7,8 3,6 16,1 6,7 31,7 19,8 21,7 14,9

Rumus Biomassa total= Berat Kering Oven

Lampiran 6. Lanjutan. Data total biomassa bibit A. marina

1. Intensitas Naungan 0% (g):

 Biomassa Daun= 4,2

 Biomassa Akar = 3,8

 Biomassa batang= 3,6

Jadi Biomassa Total Rata-rata Bibit = (4,2+3,8+3,6):10= 1,16g


(2)

 Biomassa Daun= 9,5

 Biomassa Akar= 5,5 

 Biomassa batang= 6,7

 Jadi Biomassa Total Rata-rata Bibibit = (9,5+5,5+6,7):10=2,17g

3. Intensitas Naungan 50% (g):

 Biomassa Daun= 6,7 

 Biomassa Akar= 27,3 

 Biomassa batang= 19,8

 Jadi Biomassa Total Rata-rata Bibibit = (6,7+27,3+19,8):10= 5,38g

4. Intensitas Naungan 75% (g):

 Biomassa Daun= 6,5  Biomassa Akar= 8,4  Biomassa Batang= 14,9


(3)

Lampiran 7. Data persentase peningkatan pertumbuhan bibit A. marina dari setiap parameter pengamatan dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MST (Minggu Setelah Tanam)

Parameter pengamatan Intensitas naungan Satuan

0% 25% 50% 75%

Tingi rata-rata bibit - 45,07 90,96 47,30 (%)

Diameter Rata-rata bibit - 5,13 25,64 7,69 (%)

Jumlah daun Rata-rata bibit

- 66,67 100 66,67 (%)

Luas Daun Total rata-rata bibit

- 109,04 199,02 173,24 (%)

Biomassa total rata-rata bibit

- 87,07 363,79 156,90 (%)

 Persentase peningkatan tinggi bibit A. marina

Intensitas naungan 25%= 12,36-8,52

X 100%

8,52 = 45,07%

Intensitas naungan 50% = 16,27-8,52 X 100% 8,52

= 90,96%

Intensitas naungan 75%= 12,55-8,52 X 100% 8,52


(4)

 Persentase peningkatan diameter bibit A. marina

Intensitas naungan 25%= 0,41-0,39

X 100%

0,39 = 5,13%

Intensitas naungan 50%= 0,49-0,39

X 100%

0,39 = 25,64% Intensitas naungan 75%= 0,42-0,39

X 100%

0,39 = 7,69%

 Persentase peningkatan jumlah daun bibit A. marina

Intensitas naungan 25%= 5 - 3

X 100%

3 = 66,67% Intensitas naungan 50%= 6 - 3

X 100%

3 = 100%

Intensitas naungan 75%= 5 - 3

X 100%


(5)

= 66,67%

 Persentase peningkatan luas daun total bibit A. marina

Intensitas naungan 25%= 66,39 – 31,76

X 100%

31,76 = 109,04% Intensitas naungan 50%= 94,97 – 31,76

X 100%

31,76 = 199,02%

Intensitas naungan 75%= 86,78– 31,76

X 100%

31,76 = 173,24%

 Persentase peningkatan Biomassa total bibit A. marina

Intensitas naungan 25%= 2,17– 1,16

X 100%

1,16 = 87,07% Intensitas naungan 50%= 5,38– 1,16

X 100%

1,16 = 363,79% Intensitas naungan 75%= 2,98– 1,16


(6)

1,16 = 156,90%