Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk pada Berbagai Intensitas Naungan

(1)

PERTUMBUHAN BIBIT Rhizophora mucronata Lamk

PADA BERBAGAI INTENSITAS NAUNGAN

SKRIPSI

Oleh :

LOLA ADRES YANTI 071202001/ BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011


(2)

PERTUMBUHAN BIBIT Rhizophora mucronata Lamk

PADA BERBAGAI INTENSITAS NAUNGAN

SKRIPSI

Oleh :

LOLA ADRES YANTI 071202001 / BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai satu diantara beberapa syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk pada Berbagai Intensitas Naungan

Nama : Lola Adres Yanti NIM : 071202001 Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yunasfi, M. Si Nelly Anna, S. Hut, M. Si Ketua Anggota

Mengetahui,

Siti Latifah, S. Hut, M. Si, Ph.D Ketua Program Studi Kehutanan


(4)

ABSTRAK

LOLA ADRES YANTI: Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk pada Berbagai Intensitas Naungan, dibimbing oleh YUNASFI dan NELLY ANNA.

Rhizophora mucronata merupakan satu diantara beberapa pohon yang memiliki perakaran kuat serta mampu menahan gelombang laut. Kini keberadaan R. mucronata semakin habis. Satu diantara beberapa usaha yang dilakukan untuk merehabilitasi mangrove adalah pembibitan R. mucronata. Penelitian ini bertujuan mengetahui intensitas naungan terbaik untuk pertumbuhan R. mucronata. Penelitian dilakukan di Desa Sicanang, Kecamatan Medan Belawan dan di Laboratorium Biologi Tanah Hutan, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara yang dilaksanakan pada bulan Maret sampai bulan Juni 2011. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial dengan 5 perlakuan, yaitu intensitas naungan (0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%) yang diulang sebanyak 15 sehingga diperoleh 75 unit percobaan.

Hasil penelitian menunjukkan respons R. mucronata dengan intensitas naungan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap persentase hidup, tinggi, diameter, jumlah helai daun, luas daun total, dan biomassa total. Persentase hidup terbesar pada R. mucronata dengan intensitas naungan 0% dan 25% sebesar 95%. Tinggi bibit terbesar pada R. mucronata dengan intensitas naungan 75% sebesar 16.513 cm. Diameter terbesar pada R. mucronata dengan intensitas naungan 25% yaitu sebesar 0.533 cm. Jumlah helai daun terbesar pada bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 75% sebanyak 4.000. Luas daun total bibit terbesar pada R. mucronata dengan intensitas naungan 75% sebesar 128.579 cm2. Biomassa total terbesar pada R. mucronata dengan intensitas naungan 75% sebesar 0.813 gram.

Kata kunci : Mangrove, Pembibitan, Propagul Rhizophora mucronata Lamk, Intensitas naungan


(5)

ABSTRACT

LOLA ADRES YANTI: The Growth of Propagul Rhizophora mucronata Lamk to Intensity of Shading, under academic supervision by YUNASFI and NELLY ANNA.

Rhizophora mucronata is one tree that has strong roots and be able to withstand waves of ocean currents. One of the efforts made to rehabilitate degraded forest mangrove is doing seedbed propagules R. mucronata. The part of seedbed are media composition and good of various kinds of sizes . This research was conducted in the seedling location of Sicanang Belawan and Laboratory of Forest Soil Biology , Soil Departement, Agriculture Faculty, University of North Sumatera during 3 mouth i.e Maret-Juni 2011. This research use the group random design (GRD) with 5 treatment i.e 0% of shading, 25% of shading, 50% of shading, 75% of shading, and 100% of shading for 15 replication.

The results showed growth of propagules R. mucronata of intensity of shading to give real effecton seedling life percentation, height, seedling diameter, seedling leaf, total leaf area, and total biomass. High largest seed in the seed R. mucronata with 75% of shading that is equal to 16.513 cm. The diameter of the largest seed in the seed R. mucronata with 25% of shading is 0.533 cm. The high largest seedling leaf in seed R. mucronata with 75% of shading is 4.000. We have the largest seedling total leaf area in seedlings R. mucronata with 75% of shading that is equal to 128.579 cm2. Total biomass of the largest seed found in seed R. mucronata with 75% of shading that is equal to 0.813 grams.

Keyword : Mangrove, Seedbed, Propagul Rhizophora mucronata Lamk, Intensity of Shading


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Langsa pada tanggal 29 Januari 1990 dari Ayah Burhanuddin dan Ibu Sri Erlinda. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Langsa, dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur PMP. Penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Kehutanan. Selain mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Badan Kenaziran Mushola Kehutanan, sebagai asisten Klimatologi Hutan, Inventarisasi Hutan, dan Hidrologi Hutan.

Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di hutan mangrove Pulau Sembilan, Pangkalan Susu dan hutan dataran rendah Aras Napal, Kabupaten Langkat Sumatera Utara pada tanggal 11 Juni – 19 Juni 2009. Penulis melaksanakan praktik kerja lapangan (PKL) di Perhutani Unit III Garut, Jawa Barat dari tanggal 2 Januari - 2 Februari 2011.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk pada Berbagai Intensitas Naungan”.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua, Ayahanda Burhanuddin dan Ibunda Sri Erlinda serta adik-adik penulis atas doa dan dukungannya. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir Yunasfi, M.Si dan Nelly Anna, S. Hut, M. Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberi arahan dan masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, pelaksanaan penelitian, sampai pada ujian akhir. Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk Bapak Udin di Belawan yang telah memberikan tempat untuk penelitian saya, dan Bapak Pian di Percut yang telah membantu dalam penyediaan propagul R. mucronata.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian serta teman-teman mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, Juli 2011


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………. i

ABSTRACT……….. ii

RIWAYAT HIDUP………. iii

KATA PENGANTAR……….. iv

DAFTAR TABEL………... vii

DAFTAR GAMBAR………. viii

DAFTAR LAMPIRAN……… ix

PENDAHULUAN Latar Belakang……… 1

Kerangka Pemikiran……… 3

Tujuan Penelitian………. 4

Hipotesis Penelitian………. 4

Kegunaan Penelitian……… 5

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Fisik Hutan Mangrove……….. 6

Bakau Merah (Rhizophora mucronata)……….10

Pembibitan Tanaman Mangrove……… 11

Pengaruh Cahaya, Suhu, dan Kelembaban Terhadap Pertumbuhan Tanaman……….. 16

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat……… 23

Bahan dan Alat……….. 23

Metode Penelitian……….. 23

Prosedur Penelitian Penyiapan media tanam……… 24

Pemilihan propagul………... 24

Penanaman di polibag……….. 25

Parameter yang Diukur Persentase hidup……….. 25

Tinggi bibit………... 25

Diameter bibit………... 26

Jumlah daun………. 26

Luas daun total……….. 26

Biomassa total………. 26

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Persentase hidup R. mucronata…………...………..28


(9)

Jumlah daun bibit R. mucronata………. 31

Luas daun total bibit R. mucronata………... 32

Biomassa total bibit R. mucronata………... 33

Pembahasan……….. 34

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan……… 40

Saran………. 40 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

No.

Halaman

1. Pertumbuhan tinggi bibit R. mucronata (cm)…………...……….. 29

2. Pertumbuhan diameter bibit R. mucronata (cm)………...………. 30

3. Jumlah daun bibit R. mucronata………. 31

4. Luas daun total R. mucronata (cm2)……… 32


(11)

DAFTAR GAMBAR

No.

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian………... 4 2. Persentase hidup bibit R. mucronata terhadap intensitas

naungan……….. 28 3. Bentuk bibit R. mucronata pada 12 MST berbagai

intensitas naungan a. intensitas naungan 0%,

b. intensitas naungan 25%, c. intensitas naungan 50%, d. intensitas naungan 75% dan e. intensitas


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No.

Halaman

1. Data persentase hidup bibit R. mucronata dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 12 MST

(Minggu Setelah Tanam)………. 46 2. Data pertumbuhan tinggi bibit R. mucronata dengan intensitas

naungan pada pengamatan 1 sampai 12 MST

(Minggu Setelah Tanam)………. 47 3. Data pertumbuhan diameter bibit R. mucronata dengan

Intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 12 MST

(Minggu Setelah Tanam)………. 49 4. Data rata-rata jumlah helai daun bibit R. mucronata

dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai

12 MST (Minggu Setelah Tanam)………. 51 5. Data luas daun total bibit R. mucronata dengan

intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 12 MST

(Minggu Setelah Tanam)……….. 53 6. Data biomassa total bibit R. mucronata dengan intensitas

naungan pada pengamatan 1 sampai 12 MST

(Minggu Setelah Tanam)……….. 55 7. Data interval suhu di dalam paranet dengan intensitas

naungan pada pengamatan 1 sampai 12 MST


(13)

ABSTRAK

LOLA ADRES YANTI: Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk pada Berbagai Intensitas Naungan, dibimbing oleh YUNASFI dan NELLY ANNA.

Rhizophora mucronata merupakan satu diantara beberapa pohon yang memiliki perakaran kuat serta mampu menahan gelombang laut. Kini keberadaan R. mucronata semakin habis. Satu diantara beberapa usaha yang dilakukan untuk merehabilitasi mangrove adalah pembibitan R. mucronata. Penelitian ini bertujuan mengetahui intensitas naungan terbaik untuk pertumbuhan R. mucronata. Penelitian dilakukan di Desa Sicanang, Kecamatan Medan Belawan dan di Laboratorium Biologi Tanah Hutan, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara yang dilaksanakan pada bulan Maret sampai bulan Juni 2011. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial dengan 5 perlakuan, yaitu intensitas naungan (0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%) yang diulang sebanyak 15 sehingga diperoleh 75 unit percobaan.

Hasil penelitian menunjukkan respons R. mucronata dengan intensitas naungan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap persentase hidup, tinggi, diameter, jumlah helai daun, luas daun total, dan biomassa total. Persentase hidup terbesar pada R. mucronata dengan intensitas naungan 0% dan 25% sebesar 95%. Tinggi bibit terbesar pada R. mucronata dengan intensitas naungan 75% sebesar 16.513 cm. Diameter terbesar pada R. mucronata dengan intensitas naungan 25% yaitu sebesar 0.533 cm. Jumlah helai daun terbesar pada bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 75% sebanyak 4.000. Luas daun total bibit terbesar pada R. mucronata dengan intensitas naungan 75% sebesar 128.579 cm2. Biomassa total terbesar pada R. mucronata dengan intensitas naungan 75% sebesar 0.813 gram.

Kata kunci : Mangrove, Pembibitan, Propagul Rhizophora mucronata Lamk, Intensitas naungan


(14)

ABSTRACT

LOLA ADRES YANTI: The Growth of Propagul Rhizophora mucronata Lamk to Intensity of Shading, under academic supervision by YUNASFI and NELLY ANNA.

Rhizophora mucronata is one tree that has strong roots and be able to withstand waves of ocean currents. One of the efforts made to rehabilitate degraded forest mangrove is doing seedbed propagules R. mucronata. The part of seedbed are media composition and good of various kinds of sizes . This research was conducted in the seedling location of Sicanang Belawan and Laboratory of Forest Soil Biology , Soil Departement, Agriculture Faculty, University of North Sumatera during 3 mouth i.e Maret-Juni 2011. This research use the group random design (GRD) with 5 treatment i.e 0% of shading, 25% of shading, 50% of shading, 75% of shading, and 100% of shading for 15 replication.

The results showed growth of propagules R. mucronata of intensity of shading to give real effecton seedling life percentation, height, seedling diameter, seedling leaf, total leaf area, and total biomass. High largest seed in the seed R. mucronata with 75% of shading that is equal to 16.513 cm. The diameter of the largest seed in the seed R. mucronata with 25% of shading is 0.533 cm. The high largest seedling leaf in seed R. mucronata with 75% of shading is 4.000. We have the largest seedling total leaf area in seedlings R. mucronata with 75% of shading that is equal to 128.579 cm2. Total biomass of the largest seed found in seed R. mucronata with 75% of shading that is equal to 0.813 grams.

Keyword : Mangrove, Seedbed, Propagul Rhizophora mucronata Lamk, Intensity of Shading


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat (Wales, 2010).

Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.,) merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya (Irwanto, 2008).

Sumatera Utara merupakan wilayah yang terparah kerusakan hutan mangrove di seluruh Indonesia disusul Kalimantan. Secara nasional kerusakan hutan bakau di Sumut telah mencapai 62,7 persen (mencapai 52.35 Ha) dari luas 83.55 Ha yang ada di Sumut. Sedangkan sisa hutan bakau yang kondisinya masih baik tinggal 31.20 Ha (37,3 Persen) (Witoelar, 2007). Departemen Kehutanan menyadari akan pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung, maka melalui Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN RHL/Gerhan), direncanakan rehabilitasi terhadap sumberdaya tersebut sesuai dengan urutan prioritasnya, dengan menggunakan jenis tanaman yang


(16)

sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat setempat (Peraturan Menteri Kehutanan, 2004).

Berdasarkan informasi dan data lapangan, diketahui bahwa R. mucronata dan R. apiculata yang paling disukai untuk digunakan sebagai tanaman rehabilitasi. Manfaat R. mucronata adalah kayu digunakan sebagai bahan bakar dan arang. Tanin dari kulit kayu digunakan untuk pewarnaan, dan juga digunakan sebagai obat dalam kasus hematuria (perdarahan pada air seni). R. mucronata ditanam di sepanjang tambak untuk melindungi pematang. R. mucronata menghasilkan madu dari nektarnya, buah dimakan, mengandung selulosa dan xantat, produksi rayon viskosa (viscose rayon) untuk bahan dasar tekstil, kerangka ban, sabuk /alur untuk industri, dan selofan. Di antara beberapa jenis mangrove penghasil kayu Rhizophora spp., dimanfaatkan karena keawetan dan kekuatan. Kayu Rhizophora spp. digunakan untuk tiang, pancang, pasak, bangunan kapal, kerajinan tangan, gagang macam-macam alat, bantalan rel kereta api, mebel,dan bahan bangunan lainnya.

Faktor yang ikut menentukan keberhasilan Gerhan adalah tersedianya bibit yang berkualitas dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu. Benih R. mucronata mudah didapat karena berbunga dan berbuah sepanjang tahun. R. mucronata juga merupakan jenis yang cukup tinggi permintaannya di pasaran sehingga mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan baik dari faktor ekologi maupun dari faktor ekonominya. Menurut Mardani (2006) faktor yang tak kalah penting yaitu pengaturan media tanam dengan komposisi tertentu sehingga dapat menyediakan lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan akar dan pucuk. Menurut Octeri (2004) faktor lainnya adalah viabilitas propagul R.


(17)

mucronata yang dinyatakan dalam daya kecambah, vigor, persen berkecambah per hari, dan kecepatan tumbuh sangat bergantung pada tingkat kadar air propagulnya. Menurut Gorat (2010) pertambahan tinggi bibit R. mucronata dengan ukuran ≥ 60 cm sangat berbeda dengan bibit R. mucronata dengan ukuran yang lainnya (40 cm-44 cm ; 45 cm-49 cm ; 50 cm-54 cm dan 55 cm-59 cm) karena bibit yang ukurannya ≥ 60 cm memiliki cadangan makanan yang banyak.

Selain faktor ketersediaan bibit berkualitas, media tanam, viabilitas propagul, dan ukuran propagul, serta pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Khusus bagi semai yang baru disapih, naungan yang diberikan harus lebih berat karena sangat rentan terhadap sengatan sinar matahari. Periode waktu pemberian naungan tergantung dari jenisnya.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka penulis memandang perlu dilakukannya penelitian mengenai pengaruh intensitas naungan terhadap pertumbuhan R. mucronata. Penelitian ini diperlukan agar diperoleh bibit yang berkualitas untuk kegiatan rehabilitasi lahan.

Kerangka Pemikiran

R. mucronata sebagai objek penelitian dikarenakan banyak permintaan untuk rehabilitasi lahan mangrove sehingga sangat dibutuhkan bibit yang berkualitas dimana untuk mendapatkan bibit yang berkualitas perlu dilakukan pembibitan yang berkualitas pula. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan, dimana telah diteliti aspek-aspek pembibitan terbaik untuk R. mucronata. Penelitian ini mengkombinasikan aspek-aspek penelitian terbaik bagi pertumbuhan R. mucronata dimana komposisi media tanam terbaik dan ukuran


(18)

propagul terbaik. Namun belum diketahui intensitas naungan terbaik bagi R. mucronata ini. Sehingga penulis melakukan penelitian mengenai intensitas naungan yang sangat penting bagi pertumbuhan R. mucronata.

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Tujuan Penelitian

Menentukan intensitas naungan terbaik untuk pertumbuhan bibit R. mucronata Lamk.

Hipotesis Penelitian

Intensitas naungan 50 % berpengaruh paling baik untuk pertumbuhan bibit R. mucronata Lamk.

Konversi lahan

Industri Tambak

Hutan Mangrove

Pertanian dan Pemukiman

Rehabilitasi Lahan

Pembibitan Tanaman Mangrove Degradasi Lahan

Ukuran Propagul Ketersediaan dan viabilitas propagul


(19)

Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai informasi untuk pembibitan dalam menentukan intensitas naungan terbaik bagi bibit R. mucronata Lamk sehingga diperoleh bibit yang berkualitas bagi kegiatan rehabilitasi lahan.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan, baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu jenis tumbuhan, dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Ningsih, 2008).

Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropis dan subtropis yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak di jumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003).

Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat meliputi bagian tanah baik yang kering maupun yang terendam air laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak dan gelombang serta perembesan air laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di


(21)

darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah, perluasan permukiman serta intensifikasi pertanian (Djamali, 2004).

Jenis tumbuhan di hutan bakau member respons berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik, sehingga memunculkan zona-zona Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan denga

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi. Beberapa ahli mangrove menyatakan bahwa hal tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh pasang surut. Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi (Chapman, 1977). Di Indonesia, substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan R. mucronata dan A. marina. Jenis lain seperti R. stylosa tumbuh dengan baik pada substrat berpasir, bahkan pada pulau karang yang memiliki substrat berupa pecahan karang dan kerang (Ding Hou, 1958). Di Indonesia, R. stylosa dan S. alba tumbuh pada pantai yang berpasir, atau bahkan pada pantai berbatu. Pada kondisi tertentu, mangrove dapat juga tumbuh pada daerah pantai bergambut, misalnya di Florida, Amerika Serikat (Chapman, 1976).


(22)

Di Indonesia, kondisi ini ditemukan di utara Teluk Bone dan di sepanjang Larian– Lumu, Sulawesi Selatan, dimana mangrove tumbuh pada gambut dalam (>3m) yang bercampur dengan lapisan pasir dangkal (0,5 m) (Giesen dkk., 1991). Substrat mangrove berupa tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi (62%) juga dilaporkan ditemukan di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta (Hardjowigeno 1989 dalam Noer dkk. 2006).

Jenis kerap digempur ombak. Bakau R. apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa da pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (A. alba) di zona terluar atau zona pionir ini. Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui (Nypa fruticans), peudada (S. caseolaris) da yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan (Wales, 2010).

Fungsi hutan mangrove dapat dikelompokkan sebagai berikut fungsi fisik : hutan mangrove dalam menjaga garis pantai tetap stabil, melindungi pantai dan sungai dari bahaya erosi dan abrasi, menahan badai dari laut, menahan hasil proses penimbunan lumpur, menjadi wilayah penyangga serta berfungsi menyaring air laut menjadi air daratan yang tawar, serta mengolah limbah beracun, penghasil O2 dan penyerap CO2. Fungsi biologis : hutan mangrove


(23)

menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber pakan bagi plankton, tempat memijah dan berkembang biak satwa laut, tempat berlindung, bersarang dan berkembang biak burung dan satwa lain, sumber plasma nutfah dan sumber genetik, dan merupakan habitat alami bagi berbagai jenis biota. Fungsi ekonomis : hutan mangrove sebagai penghasil kayu, penghasil bahan baku industri, penghasil bibit ikan, nener, kerang, kepiting, bandeng melalui pola tambak silvofishery, dan sebagai tempat wisata, penelitian serta pendidikan (Irwanto, 2008).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah : (1) gerakan gelombang yang minimal, agar jenis tumbuhan mangrove dapat menancapkan akarnya, (2) salinitas payau (pertemuan air laut dan tawar), (3) endapan Lumpur (4) zona intertidal (pasang surut) yang lebar (Irwanto, 2008). Selain faktor di atas terdapat faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove yaitu (1) tanah : sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah endapan lumpur terakumulasi. Di Indonesia substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Jenis tanah yang mendominasi kawasan mangrove biasanya adalah fraksi lempeng berdebu, akibat rapatnya bentuk perakaran-perakaran yang ada. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp. (2) cahaya, salah satu faktor yang penting dalam proses fotosintesis dalam melakukan pertumbuhan tumbuhan hijau. Cahaya mempengaruhi respirasi, transpirasi, fisiologi dan juga sruktur fisik tumbuhan. Intensitas cahaya, di dalam kualitas dan juga lama penyinaran juga merupakan satu faktor penting untuk tumbuhan (3) suhu, pada Rhizophora spp., Ceriops spp., Exocoecaria spp. dan Lumnitzera spp., laju tertinggi produksi daun


(24)

baru adalah pada suhu 26-28 ºC, untuk Bruguiera spp adalah 27ºC dan Avicennia marina memproduksi daun baru pada suhu 18-20 ºC.

Bakau Merah (Rhizophora mucronata)

Nama lokal : bakau, bako-gandul, genjah, bandul, bakau-hitam, tanjang-lanang, tokke-tokke, bakao, bakau-laki, blukap, tongke-besar, lului, bakau-bakau, wako, bako, bangko, blukap. Bakau merah merupakan tumbuhan mayor hutan mangrove dimana bentuknya berupa pohon yang panjangnya bisa mencapai 25 meter.

Manfaat bakau merah ini adalah kayu digunakan sebagai bahan bakar dan arang. Tanin dari kulit kayu digunakan untuk pewarnaan, dan kadang-kadang digunakan sebagai obat dalam kasus hematuria (perdarahan pada air seni). Kadang-kadang ditanam di sepanjang tambak untuk melindungi pematang (Kusmana dkk., 2008).

R. mucronata menghasilkan madu dari nektarnya, buah dimakan, mengandung selulosa dan xantat, produksi rayon viskosa (viscose rayon) untuk bahan tekstil, kerangka ban, sabuk /alur untuk industri, selofan. Beberapa jenis mangrove penghasil kayu yang penting adalah Rhizophora spp., Bruguiera spp., Ceriops spp., Xylocarpus spp., Sonneratia spp., Avicennia spp., Lumnitzera spp. dan H. littoralis, dimana jenis tersebut dimanfaatkan karena keawetan kayunya dan kekuatannya. Semua jenis ini memberikan harga kayu yang diterima pasar, baik di tingkat lokal, nasional ataupun internasional. Kayu-kayu dari jenis ini digunakan untuk tiang, pancang, pasak, bangunan kapal, kerajinan tangan, gagang macam-macam alat, bantalan rel kereta api, mebel,dan bahan bangunan lainnya (Kusmana dkk., 2008).


(25)

Arsitektur tanaman adalah khas bagi setiap spesies yang menunjukkan dikontrol oleh genetik. Meskipun demikian juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti cahaya, temperatur, kelembaban, dan ketersediaan nutrien. Kajian model arsitektur penting bagi tanaman sebab selain untuk identifikasi juga berperan dalam fungsi lingkungan, misalnya sebagai tanaman pelindung, dipilih tanaman yang memiliki akar yang kuat, tajuk yang lebar dan mempunyai kerimbunan tajuk sehingga perlu dilakukan penanaman anakan dengan jarak tertentu (Dahlan dkk., 2009).

Keberhasilan perkembangan stek tanaman dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor dalam adalah ketersediaan air, kandungan cadangan makanan (karbohidrat) dalam jaringan sel dan hormon endogen di dalam jaringan stek. Sedangkan faktor luar (lingkungan) meliputi media perakaran, kelembaban, suhu, intensitas cahaya dan teknik penyiapan stek (Mulyani dkk., 1999).

Suhu umum rata-rata bagi pertumbuhan bakau merah (R. mucronata) adalah 20–30°C (68–86°F). Suhu rata-rata maksimum dari suhu musim kemarau adalah 23–38°C (73–100°F) sedangkan suhu rata-rata minimum dari suhu musim hujan adalah 13–18°C (55–64°F). Suhu minimum yang masih dapat ditoleransi adalah 10°C (50°F) (Duke, 2006).

Pembibitan Tanaman Mangrove

Rehabilitasi hutan mangrove adalah penanaman kembali hutan mangrove yang telah mengalami kerusakan. Agar rehabilitasi dapat berjalan secara efektif dan efisien perlu didahului survei untuk menetapkan kawasan yang potensial untuk rehabilitasi berdasarkan penilaian kondisi fisik dan vegetasinya. Kegiatan rehabilitasi dilakukan untuk memulihkan kondisi ekosistem mangrove yang telah


(26)

rusak agar ekosistem mangrove dapat menjalankan kembali fungsinya dengan baik. Upaya rehabilitasi harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang berhubungan dengan kawasan mangrove. Rehabilitasi kawasan mangrove dilakukan sesuai dengan manfaat dan fungsi yang seharusnya berkembang, serta aspirasi masyarakat.

Informasi teknik pembibitan mangrove memusat pada beberapa spesies mangrove mayor. Dari sekitar 60 spesies pohon dan semak mangrove mayor dan minor, serta sekitar 20 spesies tumbuhan asosiasi, hanya 12 spesies yang biasa digunakan untuk restorasi, yaitu Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, Bruguiera, Heritiera, Lumnitzera, Ceriops, Excoecaria, Xylocarpus, Nypa, Cassurina, dan Hibiscus. Penentuan spesies yang dipilih tergantung pada tekstur tanah, kadar garam, dan lama penggenangan, serta iklim mikro lainnya (Setyawan dkk., 2003).

Dalam penanaman mangrove, kegiatan pembibitan dapat dilakukan dan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah mangrove di sekitar lokasi penanaman banyak, kegiatan pembibitan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah di sekitar lokasi penanaman sedikit atau tidak ada, kegiatan pembibitan sebaiknya dilaksanakan. Adanya kebun pembibitan akan menguntungkan terutama bila penanaman dilaksanakan pada saat tidak musim puncak berbuah atau pada saat dilakukan penyulaman tanaman. Selain itu, penanaman melalui buah yang dibibitkan akan menghasilkan persentase tumbuh yang tinggi. Propagul/ benih yang akan ditanam harus sudah tersedia satu hari sebelum penanaman (Khazali, 1999).

Pertumbuhan tinggi bibit R. mucronata dengan ukuran ≥ 60 cm sangat berbeda dengan bibit R. mucronata dengan ukuran yang lainnya (40 cm-44 cm ;


(27)

45 cm-49 cm ; 50 cm-54 cm dan 55 cm-59 cm), karena bibit yang ukurannya ≥ 60 cm memiliki cadangan makanan yang banyak untuk menunjang pertumbuhannya, baik untuk pertumbuhan plumula dan radikula. Keberhasilan pembibitan bibit R. mucronata dipengaruhi oleh faktor seperti ketersediaan air, kandungan cadangan makanan (karbohidrat) dalam jaringan sel dan hormon endogen di dalam jaringan stek (Gorat, 2010).

Lokasi persemaian diusahakan pada tanah lapang dan datar. Selain itu, hindari lokasi persemaian di daerah ketam/kepiting atau mudah dijangkau kambing. Lokasi persemaian diusahakan sedekat mungkin dengan lokasi penanaman dan sebaiknya terendam air pasang lebih kurang 20 kali/bulan agar tidak dilakukan kegiatan penyiraman bibit. Dari luas areal yang ditentukan untuk tempat persemaian, sekitar 70% dipergunakan untuk keperluan bedeng pembibitan, sisanya 30% digunakan untuk jalan inspeksi, saluran air, gubuk kerja dan bangunan ringan lainnya. Ukuran tempat persemaian tergantung pada kebutuhan jumlah buah yang akan dibibitkan. Bahan tempat persemaian dapat menggunakan bambu. Atap/naungan dapat menggunakan daun nipah atau alang-alang dengan ketinggian antara 1-2 meter. Apabila di sekitar lokasi persemaian terdapat banyak kambing, maka bangunan persemaian harus dirancang agar kambing tidak masuk (Khazali, 1999).

Bedeng sapih adalah bedeng bersekat, berukuran tertentu, yang difungsikan untuk menampung polibag yang berisi semai /propagul. Semai/propagul ini bisa berasal dari semai yang disapih dari bedeng tabur atau semai dari biji atau stek yang langsung ditanam dalam polibag. Di bedeng sapih inilah semai dipelihara dari kecil hingga siap tanam. Idealnya, bedeng sapih


(28)

dilengkapi dengan naungan dengan intensitas tertentu. Di pasaran, naungan ini sudah umum dijumpai dengan nama perdagangan paranet atau sarlon. Namun demikian, naungan dapat dibuat secara sederhana dengan memasang jalinan daun rumbia atau daun kelapa (Kusmana dkk., 2008).

Bedeng sapih dibuat dengan ukuran bervariasi sesuai dengan kebutuhan, tetapi umumnya berukuran 5 x 1 m dengan bedeng ini dapat memuat kurang lebih 1200 kantong plastik (polibag) ukuran 15 x 20 cm atau 10 x 15 cm, dimana masing-masing kantong memuat satu benih. Bedeng dapat dibuat dengan mencangkul tanah dengan kedalaman 5-10 cm atau tanah yang datar diberi batas bambu agar kantung plastik atau botol air mineral bekas tidak jatuh. Antar bedeng sebaiknya ada jalan inspeksi untuk memudahkan pemeriksaan tanaman. Bibit Bakau atau tumu berumur sekitar 3-4 bulan siap untuk ditanam di lapangan. Sedangkan bibit api-api atau prepat siap ditanam setelah berumur sekitar 5-6 bulan. Saat ini permintaan terhadap bibit mangrove cukup banyak karena sudah berjalannya beberapa program penanaman mangrove di berbagai tempat (Khazali, 1999).

Bedeng dengan ukuran 1 m x 10 m akan dapat memuat 2.250 bibit (ukuran polibag 14 x 22 cm). Secara sederhana, pembatas (sekat) bedeng dapat menggunakan bambu atau tiang yang panjangnya disesuaikan dengan ukuran bedeng. Bedeng menghadap ke arah timur (membujur ke arah selatan-utara) dengan maksud agar seluruh bibit di dalam bedeng mendapatkan sinar matahari pagi yang merata dan optimal. Jarak antar bedengan adalah setengah hingga satu meter untuk jalan inspeksi dan memudahkan penyiraman. Khusus bagi semai yang baru disapih, naungan yang diberikan harus lebih berat karena sangat rentan


(29)

terhadap sengatan sinar matahari. Apabila naungan yang ada di bedeng sapih adalah paranet, maka sebaiknya diberi naungan tambahan berupa atap rumbia, tepat diatas semai yang baru disapih. Setelah beberapa minggu, naungan rumbia ini diambil hingga tinggal paranetnya (Kusmana dkk., 2008).

Untuk benih yang berukuran sedang hingga besar (misalnya bakau, tancang, putat laut, ketapang, dan nyamplung), penanaman sebaiknya dilakukan secara langsung dalam polibag. Penanaman langsung ini dinilai lebih efektif dan efisien karena tidak memerlukan penyemaian pada bedeng tabur dan penyapihan. Untuk tanaman mangrove, media tanam yang dipergunakan adalah lumpur atau lumpur berpasir, diutamakan yang berasal dari sekitar pohon induk.

Persemaian bibit mangrove (khususnya Rhizophora spp., Ceriops spp., dan

Bruguiera spp.) biasanya terletak di lokasi yang terkena pasang surut. Dalam

kondisi demikian maka penyiraman tidak perlu dilakukan. Walaupun tidak disiram, namun pemberian naungan tetap harus dilakukan, terutama dalam waktu 2 bulan pertama. Setelah itu, intensitas naungan sebaiknya dikurangi. Pengurangan intensitas naungan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan hingga bibit memiliki ketahanan untuk hidup di lokasi terbuka, sebagaimana kondisi sebenarnya di lapangan.

Ketinggian bedeng sapih perlu diatur (dengan cara digali atau ditimbun) dan harus diperhitungkan dengan fluktuasi ketinggian air laut (pasang surut), sehingga bedeng sapih tersebut bisa digenangi oleh air laut dengan frekuensi yang sesuai untuk masing-masing jenis (30-50 kali per bulan, tergantung jenisnya). Ketinggian bedeng sapih juga perlu diatur sedemikian rupa sehingga pada waktu terjadi pasang tertinggi, bibit terendam kira-kira sedalam ¾ dari tinggi anakan.


(30)

Untuk mencegah akar menembus dasar bedengan, maka dasar bedengan sebaiknya diberi lapisan lembaran plastik yang hitam dan agak tebal. Dengan cara ini maka kemungkinan serangan kepiting terhadap akar bibit dapat dihindari, disamping itu juga untuk menghindari kelayuan bibit pada waktu akan ditanam, karena bibit yang akarnya sudah menancap ke dasar bedeng akan segera layu bila dicabut. Cara lain untuk menghindari menancapnya akar ke dasar bedengan adalah dengan cara mengangkat bibit secara periodik sambil melakukan pengelompokan keseragaman bibit.

Untuk beberapa jenis mangrove (R. mucronata, R. apiculata, C. tagal, B.

gymnorrhiza) penyimpanan propagul dengan direndam dalam air payau dan disimpan ditempat teduh selama 5-10 hari. Selain dapat mempercepat proses perkecambahan dan meningkatkan persentase hidup tanaman, propagul akan terhindar dari serangan hama ketam atau kepiting (Wibisono dkk. 2006 dalam Kusmana dkk. 2008).

Pengaruh Cahaya, Suhu, dan Kelembaban terhadap Pertumbuhan Tanaman Cahaya merupakan faktor penting terhadap berlangsungnya fotosintesis, sementara fotosintesis merupakan proses yang menjadi kunci dapat berlangsungnya proses metabolisme yang lain di dalam tanaman (Kramer dan Kozlowski 1979 dalam Irwanto 2006).

Perilaku tertentu tumbuhan bisa dianggap sebagai respons terhadap bermacam-macam rangsangan yang mempengaruhi tumbuhan. Rangsangan itu bisa eksternal (lingkungan berupa daya tarik bumi, suhu, kelembaban, dan cahaya) atau internal (genetik) sebagai akibat proses metabolik atau proses untuk


(31)

melanjutkan keturunan. Respons tumbuhan terhadap rangsangan ditunjukkan dengan dua cara yaitu respons gerakan dan respons perkembangan (Heddy, 1996).

Efek cahaya matahari dalam proses perkembangan tanaman melalui photostimulasi biosintesis (seperti pembentukan klorofil dari photochlorophyllid, sintesis enzim, dan lain-lain), menentukan arah pertumbuhan (phototropism, kegiatan yang memerlukan cahaya matahari), berperan sebagai waktu dalam photonasty dan sebagai pemicu yang memicu perkembangan dari berbagai tingkatan pada tempat yang tepat di kehidupan tanaman (induksi cahaya) (Larcher, 1995).

Cahaya dan suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit di persemaian. Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan bibit tumbuh kerdil, daun kering dan gugur, bahkan dapat berakibat bibit mati. Sedangkan intensitas cahaya yang rendah atau kurang akan menimbulkan pengaruh yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan bibit serta menyebabkan etiolasi pada bibit (Marschner 1995 dalam Delvian 2006).

Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap. Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak memerlukan naungan dan yang lain mungkin memerlukan naungan mulai awal pertumbuhannya. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies lain menunjukkan perilaku yang berbeda. Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas


(32)

cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak (Suhardi dkk. 1995 dalam Irwanto 2006).

Lama pemberian naungan dan lama naungan dibuka di persemaian sebelum ditanam untuk jenis R. mucronata 3 – 4 bulan dan 1 bulan naungan dibuka; R. apiculata 3 – 4 bulan dan 1 bulan; B. gymnorrhiza 2 – 3 bulan dan 1 bulan; C. tagal 3 – 4 bulan dan 3 – 4 bulan; S. alba 2 bulan dan 3- 4 bulan naungan dibuka; S. caseolaris 2 bulan dan 3- 4 bulan; A. marina 2 bulan dan 1 – 2 bulan; X. granatum 2 bulan dan 1 – 2 bulan (Taniguchi 1999 dalam Kusmana dkk. 2008).

Pada fase bibit, semua jenis tanaman tidak tahan IC penuh, butuh 30-40%, diatasi dengan naungan. Naungan merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi intensitas cahaya yang terlalu tinggi. Naungan selain diperlukan untuk mengurangi intensitas cahaya yang sampai ke tanaman pokok, juga dimanfaatkan sebagai salah satu metode pengendalian gulma Di bawah penaung, bersih dari gulma terutama rumputan. Spesies toleran naungan : Aegiceras, Ceriops, Bruguiera, Osbornia, Xylocarpus, Excoecaria. Spesies intoleran naungan: Acrostichum, Acanthus, Aegialitis, Rhizophora, Lumnitzera, Sonneratia. Avicennia anakan intoleran naungan : Avicennia pohon toleran naungan.

Morfologi jenis memberikan respons terhadap intensitas cahaya juga terhadap naungan. Naungan memberikan efek yang nyata terhadap luas daun. Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada jika berada di tempat terbuka. Jumlah luas daun menjadi penentu utama kecepatan pertumbuhan. Daun-daun yang memiliki luas permukaan lebih besar memiliki pertumbuhan yang lebih cepat pula (Marjenah 2001 dalam Irwanto 2006).


(33)

Jumlah daun tanaman lebih banyak di tempat ternaung daripada di tempat terbuka. Jenis yang diteliti memberikan respons terhadap perbedaan intensitas cahaya. Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada tempat terbuka. Tanaman yang ditanam di tempat terbuka mempunyai daun yang lebih tebal daripada di tempat ternaung. Menurut Heddy (1996) dalam satu tanaman, daun yang terluar yang mendapat cahaya matahari penuh tumbuh lebih lebih kecil daripada daun yang sebelah dalam yang terlindung. Bila tumbuhan berada lama dalam cahaya yang lemah, ia akan mengalami etiolasi, yakni batangnya menjadi sangat panjang tanpa jaringan serabut penyokong yang cukup, daunnya keputih-putihan tanpa klorofil yang cukup. Namun apabila penyinaran yang berlebihan akan menimbulkan tumbuhan yang kerdil dengan perkembangan yang abnormal yang akhirnya berakhir dengan kematian.

Cahaya merupakan satu dari faktor-faktor lingkungan terpenting karena perannya dari proses fotosintesis. Daun-daun musim panas yang tipis dan lebar dan daun musim semi yang lebih tebal, yang beradaptasi terhadap derajat cahaya yang lebih tinggi. Di bawah tekanan cahaya yang rendah terbuka tiga pilihan (Fitter dan Hay, 1991) :

a. Pengurangan kecepatan respirasi, untuk menurunkan titik kompensasi (dimana pengikatan karbon untuk fotosintesis sama dengan kehilangan karena respirasi.

b. Peningkatan luas daun, untuk memperoleh satu permukaan yang lebih besar bagi absorbsi cahaya.

c. Peningkatan kecepatan fotosintesis setiap unit energi cahaya dan luas daun.


(34)

Daun merupakan organ tanaman tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Besarnya cahaya yang tertangkap pada proses fotosintesis menunjukkan biomassa, sedangkan besarnya biomassa dalam jaringan tanaman mencerminkan bobot kering. Bila luas daun meningkat, asimilat yang dihasilkan akan lebih besar pula. Luas daun yang besar menyebabkan laju asimilasi bersih meningkat, sehingga laju pertumbuhan nisbi juga meningkat dan bobot kering tanaman meningkat pula. Laju pertumbuhan nisbi adalah peningkatan bobot kering tanaman dalam suatu interval waktu tertentu saja, bukan pertambahan bobot kering tanaman. Nilai laju pertumbuhan nisbi erat kaitannya dengan efisiensi penyerapan cahaya oleh daun, dalam hal ini luas daun dan laju asimilasi bersih akan mempengaruhi laju pertumbuhan nisbi. Luas daun meningkat dengan diimbangi laju asimilasi bersih yang tinggi, akan menghasilkan laju pertumbuhan nisbi yang tinggi pula (Tohari dkk. 2004).

Menurut Salisbury (1992) dalam Zamroni dan Rohyani (2008) suhu dan kelembaban udara mempengaruhi jatuhan serasah tumbuhan. Naiknya suhu udara akan menyebabkan menurunnya kelembaban udara sehingga transpirasi akan meningkat, dan untuk menguranginya maka daun harus segera digugurkan. Menurut Triswanto (1997) dalam Zamroni dan Rohyani (2008) tumbuhan mangrove akan mengugurkan daun segarnya di bawah suhu optimum dan menghentikan produksi daun baru apabila suhu lingkungan di atas suhu optimum. Penelitian Hutchings dan Saenger (1987) dalam Zamroni dan Rohyani (2008) menunjukkan bahwa temperatur optimum untuk R. stylosa dan Ceriops spp. adalah 26-28 0C, dan Bruguera spp. adalah 27 0C. Suhu hutan mangrove Teluk Sepi yang diteliti di penelitian Zamroni dan Rohyani (2008) (27,8-31,7 0C) masih


(35)

merupakan suhu yang optimum bagi famili Rhizophoraceae. Pendapat lain juga dikatakan oleh Muhamaze (2008) bahwa temperatur rata-rata untuk pertumbuhan mangrove maksimal 320C pada siang hari dan minimal 230C pada malam hari. Sedangkan salinitas antara 22-26 ppm. Hasil analisa pengukuran salinitas yang diperoleh cocok untuk pertumbuhan mangrove.

Peningkatan luas daun pada dasarnya merupakan kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman naungan. Peningkatan luas daun merupakan upaya tanaman dalam mengefisiensikan penangkapan energi cahaya untuk fotosintesis secara normal pada kondisi intensitas cahaya rendah. Taiz dan Zeiger (1991) dalam Djukri dan Purwoko (2003) menyatakan daun tanaman toleran naungan memiliki struktur sel-sel palisade kecil dan ukurannya tidak jauh berbeda dengan sel-sel bunga karang, sehingga daun lebih tipis. Struktur tersebut lebih berongga dan akan menambah efisien dalam menangkap energi radiasi cahaya untuk proses fotosintesis. Pernyataan ini didukung oleh Djukri dan Purwoko (2003) secara genetik, tanaman yang toleran terhadap naungan mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan. Taiz dan Zeiger (1991) dalam Djukri dan Purwoko (2003) menyatakan distribusi spektrum cahaya matahari yang diterima oleh daun di permukaan tajuk (1900 umol m-2s-1) lebih besar dibanding dengan daun di bawah naungan (17.7 umol m-2s-1). Pada kondisi ternaungi cahaya yang dapat dimanfaatkan untuk proses fotosintesis sangat sedikit. Naungan dapat mengurangi enzim fotosintetik yang berfungsi sebagai katalisator dalam fiksasi CO

2 dan menurunkan titik kompensasi cahaya.

Pemberian naungan akan mengurangi radiasi yang diterima tanaman dan mengakibatkan adanya perubahan-perubahan unsur-unsur iklim seperti suhu udara


(36)

dan kelembaban udara di sekitar daerah pertanaman (Widiastoety dan Bahar, 1995). Khusus untuk Jakarta, menurut penelitian Widiastoety dan Bahar (1995), penggunaan naungan yang akan memberikan intensitas cahaya sebesar 75%, 65% dan 55% sama baiknya bagi pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan panjang daun serta pertambahan/pembentukan tunas anakan anggrek Dendrobium. Hanya parameter lebar daun yang memberikan respons yang berbeda pada ketiga jenis naungan tersebut, yaitu semakin tinggi intensitas cahaya yang diterima maka semakin kecil lebar daun tanaman anggrek Dendrobium. Menurut Hanafi dkk (2005) meskipun adanya taraf naungan yang berbeda, cahaya matahari masih dapat menyinari tanaman karena cahaya matahari mempunyai panjang gelombang yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan tanaman untuk fotosintesis. Proses fotosintetik, klorofil hanya menangkap sinar merah dan sinar biru-violet saja yang dibagi menjadi dua sistem, fotosintesis I yang diaktifkan oleh cahaya merah jauh (680-700 nm) dan fotosintesis II diaktifkan oleh cahaya merah (650 nm).


(37)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari Maret – Juni 2011 di Pembibitan Desa Sicanang, Kecamatan Medan Belawan. Kegiatan pengovenan bibit (daun, batang, cabang, dan akar) dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah Hutan, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah propagul R. mucronata Lamk ukuran ≥ 60 cm, polibag 10 cm x 30 cm, tanah lumpur di sekitar lokasi pembibitan, amplop cokelat, label, plastik kaca. Alat yang digunakan adalah jangka sorong, kamera, bambu, paranet 100%, 75%, 50%, dan 25%, oven, timbangan, software Autocad, serta alat-alat lain yang mendukung penelitian ini.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial yang terdiri atas 5 perlakuan dengan 15 ulangan sehingga didapat 75 unit percobaan. Model linier yang digunakan adalah:

Yij = µ + τi + βj + Єij Keterangan:

Yij = Nilai pengamatan pada ulangan ke-j yang mendapat perlakuan intensitas naungan ke-i.

µ = Nilai rataan

τi = Pengaruh perlakuan intensitas naungan ke-i βj = Pengaruh ulangan (kelompok) ke-j


(38)

Єij = Galat percobaan pada ulangan ke-j dalam perlakuan intensitas naungan ke-i

Apabila perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjutan berdasarkan uji jarak DMRT (Duncan’s Multiple Range Test). Perlakuan yang digunakan adalah :

N0 = Tanpa naungan (0 %)

N1 = Paranet dengan intensitas naungan 25 % N2 = Paranet dengan intensitas naungan 50% N3 = Paranet dengan intensitas naungan 75%

N4 = Paranet dengan intensitas naungan 100% (Kontrol)

Prosedur Penelitian

Pelaksanaan penelitian terdiri atas beberapa tahap yaitu : 1. Penyiapan media tanam

Media yang digunakan adalah tanah lumpur (alluvial) di sekitar lokasi pembibitan yang telah dikompositkan. Tanah ini berasal dari tambak dimana menjadi tempat pembibitan. Dipilih 10 titik dari tambak kemudian diambil tanah sedalam 0-20 cm sebanyak 2 kg. Kemudian dimasukkan dalam 1 karung dan diaduk 20 kg tanah tersebut. Karung yang digunakan adalah karung yang bersih. Dari 20 kg tanah tersebut diambil untuk 75 polibag berukuran 10 cm x 30 cm.

2. Pemilihan propagul

Propagul yang digunakan adalah propagul R. mucronata Lamk yang sehat. Dipilih hipokotil berwarna hijau muda atau kuning, panjang > 60 cm, dipilih


(39)

propagul yang bebas dari penyakit (Kitamura dkk. 1997 dalam Setyawan dkk. 2003).

3. Penanaman di polibag

Polibag disiapkan, kemudian dimasukkan tanah lumpur ke polibag. Dibuat lubang sedalam 7 cm dan dimasukkan propagul yang sebelumnya telah direndam di air payau dan disimpan di tempat teduh selama 5-10 hari. Polibag yang digunakan berukuran 10 x 30 cm. Kemudian polibag diberi tanda sesuai dengan perlakuan yang diberikan dan diletakkan di bedeng sapih yang telah disiapkan.

Parameter yang Diamati

Pengamatan pertama dilakukan 3 minggu setelah penanaman kemudian dilakukan tiap 2 minggu sekali dengan parameter yang diamati adalah :

1. Persentase hidup (%)

Persentase hidup dihitung dengan membandingkan antar jumlah bibit yang hidup dan jumlah bibit yang ditanam pada awal penelitian. Pengambilan data dilakukan pada akhir penelitian (Yusmaini dan Suharsi, 2008).

Persentase Hidup (%) = 100%

Ditanam yang

Propagul Jumlah

Hidup yang Bibit Jumlah

x

2. Tinggi bibit (cm)

Pengukuran tinggi bibit diukur dengan penggaris. Pengukuran tinggi diukur mulai dari pangkal tunas yang telah diberi tanda sampai titik tumbuh. Pengambilan data tiap 2 minggu sekali. Data yang diperoleh kemudian dianalisis


(40)

dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) (Yusmaini dan Suharsi, 2008).

3. Diameter bibit (cm)

Pengukuran diameter bibit dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran dilakukan pada ketinggian 1 cm dari pangkal tunas yang telah diberi tanda. Pengambilan data dilakukan 2 minggu sekali bersamaan dengan pengambilan data tinggi bibit (Gorat, 2010).

4. Jumlah daun (Helai)

Perhitungan jumlah daun dilaksanakan 2 minggu sekali bersamaan dengan pengukuran diameter dan tinggi bibit. Data yang digunakan adalah data pada pengamatan terakhir (Yusmaini dan Suharsi, 2008).

5. Luas daun total (cm2)

Pengukuran luas daun total diambil pada saat pengambilan data terakhir dan pengukuran dilakukan pada seluruh daun yang telah membuka sempurna pada bibit. Daun digambar pada kertas millimeter, kemudian hasilnya di-scan. Setelah daun di-scan, luas daun dihitung dengan menggunakan program AutoCad (Gorat, 2010).

6. Biomassa total (gram)

Pengamatan berat kering total bibit (biomassa) dilakukan setelah kegiatan pengamatan parameter lain berakhir, dengan cara pemisahan bagian atas (cabang, batang, daun) dengan bagian bawah (akar). Kemudian disatukan, ditimbang beratnya dan dimasukkan ke dalam kantong koran yang telah diberi lubang dan


(41)

bagian bawah (akar) dioven pada suhu 70 0C selama 48 jam, kemudian ditimbang. Biomassa yang diukur dalam penelitian adalah biomassa total (Kusuma, 2003).

Biomassa total dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Biomassa total (g) =

oven kering Berat

oven kering Berat -awal Berat


(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Persentase hidup R. mucronata (%)

Persentase hidup bibit R. mucronata dengan intensitas naungan yang tertinggi adalah pada bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 0% dan 25% yaitu 95% dan terendah pada bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 50% yaitu 80%. Data persentase hidup bibit R. mucronata dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 12 MST. Hasil analisis sidik ragam, tinggi bibit R. mucronata dapat dilihat Lampiran 1. Intensitas naungan R. mucronata tidak berpengaruh nyata terhadap persentase hidup bibit R. mucronata. Berikut data persentase hidup bibit R. mucronata disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Persentase hidup bibit R. mucronata terhadap intensitas naungan Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 0% dan 25% mempunyai nilai yang terbesar yaitu 95%, sedangkan yang terendah yaitu pada bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 50% yaitu 80%. Hasil uji DMRT taraf nyata 5 % pada Gambar 2 di atas


(43)

menunjukkan bahwa pertumbuhan propagul R. mucronata dengan intensitas naungan berbeda nyata antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain.

Tinggi bibit R. mucronata (cm)

Pertumbuhan tinggi bibit R mucronata dengan intensitas naungan yang tertinggi adalah pada bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 75% yaitu 16.513 cm dan terendah pada bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 0% yaitu 8.087 cm. Data tinggi bibit R. mucronata dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 12 MST. Hasil analisis sidik ragam, tinggi bibit R. mucronata dapat dilihat Lampiran 2. Intensitas naungan R. mucronata memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi bibit R. mucronata. Berikut pertumbuhan tinggi bibit R. mucronata disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pertumbuhan tinggi bibit R. mucronata (cm)

Perlakuan Tinggi bibit R. mucronata (cm)

Intensitas Naungan 0% 8.087a

Intensitas Naungan 25% 13.360b

Intensitas Naungan 50% 11.693b

Intensitas Naungan 75% 16.513c

Intensitas Naungan 100% 11.553b

Total 61.206

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf, kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %.

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 75% mempunyai nilai yang terbesar yaitu 16.513 cm, sedangkan yang terendah yaitu pada bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 0% yaitu 8.087 cm. Hasil uji DMRT taraf nyata 5 % pada Tabel 1 di atas


(44)

menunjukkan bahwa pertumbuhan propagul R. mucronata dengan intensitas naungan berbeda nyata antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain.

Diameter bibit R. mucronata (cm)

Pertumbuhan diameter bibit R. mucronata dengan intensitas naungan yang terbesar adalah pada bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 25% yaitu 0.533 cm dan terendah pada bibit R. mucronata dengan intensitas 0% yaitu 0.417 cm. Data diameter bibit R. mucronata dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 12 MST. Hasil analisis sidik ragam, diameter bibit R. mucronata dapat dilihat Lampiran 3. Intensitas naungan R. mucronata memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter bibit R. mucronata. Berikut pertumbuhan diameter bibit R. mucronata disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pertumbuhan diameter bibit R. mucronata (cm)

Perlakuan Diameter bibit R. mucronata (cm)

Intensitas Naungan 0% 0.417a

Intensitas Naungan 25% 0.533c

Intensitas Naungan 50% 0.503bc

Intensitas Naungan 75% 0.505bc

Intensitas Naungan 100% 0.470b

Total 2.428

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf, kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %.

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 25% mempunyai pertambahan diameter yang terbesar yaitu 0.533 cm, sedangkan yang terendah yaitu pada bibit R. mucronata dengan intensitas 0% yaitu 0.417 cm. Hasil uji DMRT taraf nyata 5 % pada Tabel 2 di


(45)

atas menunjukkan bahwa diameter propagul R. mucronata dengan intensitas naungan berbeda nyata antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain.

Jumlah daun R. mucronata (helai)

Rata-rata jumlah daun bibit R. mucronata dengan intensitas naungan yang terbesar adalah pada bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 75% yaitu 4.000 dan terendah pada bibit R. mucronata dengan intensitas 0% yaitu 3.333. Data rata-rata jumlah daun bibit R. mucronata dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 12 MST. Hasil analisis sidik ragam, rata-rata jumlah daun bibit R. mucronata dapat dilihat Lampiran 4. Intensitas naungan R. mucronata memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun bibit R. mucronata. Berikut jumlah daun bibit R. mucronata disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata jumlah daun bibit R. mucronata

Perlakuan Jumlah daun bibit R. mucronata

Intensitas Naungan 0% 3.333a

Intensitas Naungan 25% 3.933b

Intensitas Naungan 50% 3.867b

Intensitas Naungan 75% 4.000b

Intensitas Naungan 100% 3.867b

Total 19

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf, kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %.

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 75% mempunyai rata-rata jumlah daun yang terbesar yaitu 4.000, sedangkan yang terendah yaitu pada bibit R. mucronata dengan intensitas 0% yaitu 3.333. Hasil uji DMRT taraf nyata 5 % pada Tabel 3 di atas


(46)

menunjukkan bahwa jumlah daun propagul R. mucronata dengan intensitas naungan berbeda nyata antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain.

Luas daun total bibit R. mucronata (cm2)

Luas daun total bibit R. mucronata dengan intensitas naungan yang terbesar adalah pada bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 75% yaitu 128.579 cm2 dan terendah pada bibit R. mucronata dengan intensitas 0% yaitu 51.361 cm2 . Data luas daun total bibit R. mucronata dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 12 MST. Hasil analisis sidik ragam, luas daun total bibit R. mucronata dapat dilihat Lampiran 5. Intensitas naungan R. mucronata memberikan pengaruh nyata terhadap luas daun total bibit R. mucronata. Berikut luas daun total bibit R. mucronata disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas daun total R. mucronata (cm2)

Perlakuan Luas daun total bibit R. mucronata (cm2)

Intensitas naungan 0% 51.361a

Intensitas naungan 25% 99.383b

Intensitas naungan 50% 81.607b

Intensitas naungan 75% 128.579c

Intensitas naungan 100% 62.484a

Total 423.414

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf, kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %.

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 75% mempunyai rata-rata luas total daun yang terbesar yaitu 128.579 cm2 sedangkan yang terendah yaitu pada bibit R. mucronata dengan


(47)

atas menunjukkan bahwa luas daun total propagul R. mucronata dengan intensitas naungan berbeda nyata antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain.

Biomassa total bibit R. mucronata (g)

Biomassa total bibit R. mucronata dengan intensitas naungan yang terbesar adalah pada bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 75% yaitu 0.813 gram dan terendah pada bibit R. mucronata dengan intensitas 0% yaitu 0.529 gram. Data biomassa total bibit R. mucronata dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 12 MST. Hasil analisis sidik ragam, biomassa total bibit R. mucronata dapat dilihat Lampiran 6. Intensitas naungan R. mucronata memberikan pengaruh nyata terhadap biomassa total bibit R. mucronata. Berikut biomassa total bibit R. mucronata disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Biomassa total bibit R. mucronata (g)

Perlakuan Biomassa total R. mucronata (g)

Intensitas naungan 0% 0.529a

Intensitas naungan 25% 0.695b

Intensitas naungan 50% 0.809b

Intensitas naungan 75% 0.813b

Intensitas naungan 100% 0.662ab

Total 3.508

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf, kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %.

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 75% mempunyai rata-rata biomassa total yang terbesar yaitu 0.813 gram sedangkan yang terendah yaitu pada bibit R. mucronata dengan intensitas 0% yaitu 0.529 gram. Hasil uji DMRT taraf nyata 5 % pada Tabel 5 di


(48)

atas menunjukkan bahwa biomassa total propagul R. mucronata dengan intensitas naungan berbeda nyata antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain.

Bentuk bibit R. mucronata yang dibibitkan dengan intensitas naungan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 3.

e

a b c d

Gambar 3. Bentuk bibit R. mucronata pada 12 MST berbagai intensitas naungan a. intensitas naungan 0%, b. intensitas naungan 25%, c. intensitas

naungan 50%, d. intensitas naungan 75% dan e. intensitas naungan 100%.

Pembahasan

Persentase hidup bibit R. mucronata yang tertinggi adalah bibit dengan intensitas naungan 0% dan 25% yaitu sebesar 95% sedangkan yang terendah adalah bibit dengan intensitas naungan 50% sebesar 80%. Pertumbuhan bibit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik. Setiap propagul memiliki genetik yang berbeda walaupun berasal dari satu pohon induk yang sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Irwanto (2008), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah gerakan gelombang yang minimal, salinitas payau,


(49)

endapan lumpur (tanah), zona intertidal (pasang surut) yang lebar. Selain faktor di atas terdapat faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove yaitu cahaya, suhu, dan yang paling penting adalah faktor genetik dari mangrove itu sendiri.

Pertumbuhan tinggi bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 75% merupakan pertumbuhan dengan rata-rata tertinggi yaitu sebesar 16.513 cm. Sedangkan pertumbuhan bibit dengan intensitas lain memiliki pertumbuhan yang bervariasi. Hal ini disebabkan oleh bibit kekurangan cahaya dengan intensitas naungan tinggi sehingga bibit mengalokasikan pertumbuhan hanya pada tinggi dan jumlah daun serta luas daun total. Bibit mengalokasikan pada beberapa parameter tertentu karena adaptasinya untuk memperoleh cahaya yang lebih dengan intensitas naungan tinggi. Cahaya adalah faktor yang sangat penting bagi kegiatan metabolisme dalam jaringan tanaman. Kramer dan Kozlowski (1979) dalam Irwanto (2006) menyatakan cahaya merupakan faktor penting terhadap berlangsungnya fotosintesis, sementara fotosintesis merupakan proses yang menjadi kunci dapat berlangsungnya proses metabolisme yang lain di dalam tanaman. Pernyataan di atas didukung oleh Fitter dan Hay (1991) bahwa cahaya merupakan satu dari faktor-faktor lingkungan terpenting karena perannya dari proses fotosintesis. Daun-daun musim panas yang tipis dan lebar dan daun musim semi yang lebih tebal, yang beradaptasi terhadap derajat cahaya yang lebih tinggi.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter tertinggi adalah pada bibit dengan intensitas naungan 25% yaitu sebesar 0.533 cm dan yang terendah adalah bibit dengan intensitas naungan 0% yaitu sebesar 0.417 cm. Perbedaan diameter bibit tidak jauh berbeda antara satu naungan dengan naungan


(50)

yang lain disebabkan oleh ukuran bibit yang digunakan berasal dari bibit yang memiliki panjang > 60 cm. Ukuran bibit memiliki peran dalam ketersediaan karbohidrat atau cadangan makanan dalam propagul. Semakin besar ukuran bibit maka semakin bagus pertumbuhan bibit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gorat (2010) pertumbuhan bibit R. mucronata dengan ukuran ≥ 60 cm sangat berbeda dengan bibit R. mucronata dengan ukuran yang lainnya (40 cm-44 cm ; 45 cm-49 cm ; 50 cm-54 cm dan 55 cm-59 cm), karena bibit yang ukurannya ≥ 60 cm memiliki cadangan makanan yang banyak untuk menunjang pertumbuhannya, baik untuk pertumbuhan plumula dan radikula. Pernyataan Gorat (2010) didukung pula oleh Kramer dan Kozlowski (1960) yang menyatakan bahwa keberhasilan pertumbuhan suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh cadangan makanan yang ada dalam jaringan sel tanaman tersebut.

Perhitungan rata-rata jumlah daun yang dilakukan diperoleh bahwa dengan intensitas naungan 75% memiliki rata-rata jumlah daun tertinggi yaitu sebesar 4.000 sedangkan terendah adalah bibit dengan intensitas naungan 0% sebesar 3.333. Jumlah daun pada intensitas naungan 75% lebih banyak dibandingkan intensitas naungan yang lain dikarenakan tanaman beradaptasi untuk memperoleh cahaya yang lebih banyak dengan intensitas cahaya yang rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Heddy (1996) jumlah daun tanaman lebih banyak di tempat ternaung daripada di tempat terbuka. Jenis yang diteliti memberikan respon terhadap perbedaan intensitas cahaya. Pernyataan ini didukung pula oleh Marschner (1995) dalam Delvian (2006) bahwa cahaya dan suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit di persemaian. Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan bibit tumbuh kerdil, daun kering dan gugur, bahkan


(51)

dapat berakibat bibit mati. Sedangkan intensitas cahaya yang rendah atau kurang akan menimbulkan pengaruh yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan bibit serta menyebabkan etiolasi pada bibit.

Suhu pada intensitas naungan 75% berkisar 31.1-36 0C dengan kelembaban 58-79% sedangkan intensitas naungan 0% berkisar 29.9-35 0C dengan kelembaban 57-78%. Suhu pada intensitas naungan 75% lebih tinggi dibandingkan intensitas yang lain dan yang terendah adalah suhu dengan intensitas naungan 0%. Suhu ini masih merupakan suhu optimum pertumbuhan tanaman mangrove. Hal ini sesuai dengan pernyataan Duke (2006) yang menyatakan bahwa suhu umum rata-rata bagi pertumbuhan bakau merah (R. mucronata) adalah 20–30°C (68–86°F). Suhu rata-rata maksimum dari suhu musim kemarau adalah 23–38°C (73–100°F) sedangkan suhu rata-rata minimum dari suhu musim hujan adalah 13–18°C (55–64°F). Suhu minimum yang masih dapat ditoleransi adalah 10°C (50°F). Pendapat lain menyatakan suhu hutan mangrove Teluk Sepi yang diteliti di penelitian Zamroni dan Rohyani (2008) (27,8-31,7 0C) masih merupakan suhu yang optimum bagi famili Rhizophoraceae. Muhamaze (2008) menyatakan bahwa temperatur rata-rata untuk pertumbuhan mangrove maksimal 320C pada siang hari dan minimal 230C pada malam hari.

Perhitungan luas daun total yang tertinggi adalah bibit dengan intensitas naungan 75% sebesar 128.579 cm2 sedangkan yang terendah adalah 0% sebesar 51.361 cm2. Luas daun merupakan kemampuan adaptasi daun terhadap intensitas cahaya tinggi dan rendah. Semakin mudah cahaya diperoleh maka daun semakin kecil namun semakin sulit cahaya diperoleh maka luas daun semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widiastoety dan Bahar (1995), semakin tinggi


(52)

intensitas cahaya yang diterima maka semakin kecil lebar daun tanaman anggrek Dendrobium. Pernyataan ini didukung oleh Marjenah (2001) dalam Irwanto (2006) daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada jika berada di tempat terbuka. Jumlah luas daun menjadi penentu utama kecepatan pertumbuhan. Pernyataan lain yang mendukung kedua pernyataan di atas menurut Heddy (1996) dalam satu tanaman, daun yang terluar yang mendapat cahaya matahari penuh tumbuh lebih kecil daripada daun yang sebelah dalam yang terlindung. Bila tumbuhan berada lama dalam cahaya yang lemah, ia akan mengalami etiolasi, yakni batangnya menjadi sangat panjang tanpa jaringan serabut penyokong yang cukup, daunnya keputih-putihan tanpa klorofil yang cukup. Namun apabila penyinaran yang berlebihan akan menimbulkan tumbuhan yang kerdil dengan perkembangan yang abnormal yang akhirnya berakhir dengan kematian.

Biomassa total tertinggi adalah bibit dengan intensitas naungan 75% sebesar 0.813 gram sedangkan biomassa terendah adalah bibit dengan intensitas naungan 0% sebesar 0.529 gram. Biomassa total bergantung pada semua parameter lain yakni tinggi bibit, diameter bibit, jumlah daun, dan luas total daun. Parameter inilah yang paling menentukan. Biomassa menunjukkan banyaknya cahaya yang tertangkap oleh bibit untuk proses fotosintesis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tohari dkk (2004) besarnya cahaya yang tertangkap pada proses fotosintesis menunjukkan biomassa, sedangkan besarnya biomassa dalam jaringan tanaman mencerminkan bobot kering. Bila luas daun meningkat, asimilat yang dihasilkan akan lebih besar pula. Luas daun yang besar menyebabkan laju asimilasi bersih meningkat, sehingga laju pertumbuhan nisbi juga meningkat dan


(53)

bobot kering tanaman meningkat pula. Laju pertumbuhan nisbi adalah peningkatan bobot kering tanaman dalam suatu interval waktu tertentu saja, bukan pertambahan bobot kering tanaman. Nilai laju pertumbuhan nisbi erat kaitannya dengan efisiensi penyerapan cahaya oleh daun, dalam hal ini luas daun dan laju asimilasi bersih akan mempengaruhi laju pertumbuhan nisbi. Luas daun meningkat dengan diimbangi laju asimilasi bersih yang tinggi, akan menghasilkan laju pertumbuhan nisbi yang tinggi pula.

Intensitas naungan yang diteliti adalah intensitas naungan 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100% dengan keadaan suhu dan kelembaban yang berbeda pada tiap naungan namun bibit tetap mendapatkan panjang gelombang yang sesuai dengan kemampuan bibit menangkapnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hanafi dkk. (2005) meskipun adanya taraf naungan yang berbeda, cahaya matahari masih dapat menyinari tanaman karena cahaya matahari mempunyai panjang gelombang yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan tanaman untuk fotosintesis. Proses fotosintetik, klorofil hanya menangkap sinar merah dan sinar biru-violet saja yang dibagi menjadi dua sistem, fotosintesis I yang diaktifkan oleh cahaya merah jauh (680-700 nm) dan fotosintesis II diaktifkan oleh cahaya merah (650 nm).


(54)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Persentase hidup bibit R. mucronata yang tertinggi adalah bibit dengan intensitas naungan 0% dan 25% yaitu 95% dan yang terendah adalah bibit dengan intensitas naungan 50% yaitu 80%. Pertumbuhan bibit R. mucronata yang paling baik dari parameter pertumbuhan tinggi dan jumlah helai daun adalah berasal dari propagul dengan intensitas naungan 75% yaitu 16.513 cm dan 4.000 sedangkan yang paling rendah berasal dari propagul dengan intensitas naungan 0% yaitu 8.087 cm dan 3.333. Kemudian pertumbuhan bibit R. mucronata yang paling baik dari parameter diameter adalah propagul dengan intensitas naungan 25% yaitu 0.533 cm sedangkan yang paling rendah adalah intensitas 0% yaitu 0.417 cm. Parameter biomassa total dan luas daun total tertinggi adalah bibit R. mucronata dengan intensitas naungan 75% yaitu 0.813 gram dan 128.579 cm2 sedangkan yang terendah adalah bibit dengan intensitas naungan 0% yaitu 0.529 gram dan 51.361 cm2.

Saran

Untuk pembibitan R. mucronata yang akan digunakan sebagai penanaman dan rehabilitasi hutan mangrove sebaiknya digunakan intensitas naungan 75%.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation, dalam Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia, Noor, R.Y., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. PHKA/WI-IP, Bogor.

Chapman, V.J. 1977. Wet Coastal Ecosystems. Ecosystems of the World: 1,

dalam Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia, Noor, R.Y., M.

Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. PHKA/WI-IP, Bogor.

Dahlan, Z., Sarno, dan A. Barokah. 2009. Model Arsitektur Akar Lateral dan Akar Tunjang Bakau (Rhizophora apiculata Blume.). Jurnal Penelitian Sains 12(2)

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Ding Hou. 1958. Rhizophoraceae. Flora Malesiana, dalam Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia, Noor, R.Y., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. PHKA/WI-IP, Bogor.

Djamali, R.A. 2004. Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702) Persepsi Masyarakat Desa Pantai Terhadap Kelestarian Hutan Mangrove (Studi Kasus di Kabupaten Probolinggo. IPB Pasca Sarjana. Bogor.

Duke, N.C. 2006. Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, R. × annamalai, R. × lamarckii (Indo–West Pacific stilt mangrove). Permanent Agriculture Resources 2 (1)

Fitter, A.H. dan R.K.M. Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. UGM Press. Yogyakarta.

Giesen, W., M. Baltzer, dan R. Baruadi. 1991. Integrating Conservation with Land-use Development in Wetlands of South Sulawesi, dalam Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia, Noor, R.Y., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. PHKA/WI-IP, Bogor.

Gorat, J. 2010. Pertumbuhan Propagul Rhizophora mucronata Lamk dari Berbagai Ukuran. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Hanafi, N. D., S. Umar, dan I. Bachari. 2005. Pengaruh Tingkat Naungan pada Berbagai Pastura Campuran terhadap Produksi Hijauan. Jurnal Agribisnis 1(3)

Hardjowigeno, S. 1989. Mangrove Soils of Indonesia. Dalam prosiding simposium Mangrove Management: its Ecological and Economic


(56)

Considerations, Bogor, Indonesia, dalam Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia, Noor, R. Y., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. PHKA/WI-IP, Bogor.

Heddy, S. 1996. Hormon Tumbuhan. Ed. 1 Cet. 3. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Irwanto. 2008. Hutan Mangrove dan Manfaatnya. Http: http://pengertian-definisi.blogspot.com

Khazali, M. 1999. Panduan teknis : Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetlands International - Indonesia Programme. Bogor.

Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, dan S. Baba. 1997. Handbook of Mangrove in Indonesia : Bali and Lombok, Denpasar, dalam Ekosistem Mangrove di Jawa : Restorasi, Setyawan, A.D., Kusumo, W., dan Purin, C.P. 2003.. Biodiversitas. 5: 105-118

Kramer, D.J. dan T.T Kozlowsky. 1960. Physiology of Trees, dalam Pengkajian Penerapan Teknik Budidaya Rhizophora mucronata dengan Stek Hipokotil, Mulyani, N., C. Kusmana, dan Supriyanto. 1999. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 5 : 57-65

Kramer, P.J. dan T.T. Kozlowski. 1979. Physiology of Woody Plants, dalam Pengaruh Perbedaan Naungan Terhadap Pertumbuhan Semai Shorea sp di Persemaian, Irwanto. 2006. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Kusmana, C., I.C. Wibowo, S.W. Budi, R., I.Z. Siregar, T. Tiryana, dan S.

Sukardjo. 2008. Manual of Mangrove Silviculture in Indonesia. Korea International Cooperation Agency The Rehabilitation Mangrove Forest and Coastal Area Damaged By Tsunami in Aceh Project.

Kusuma, A.S. 2003. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Rootone –F dan NAA terhadap Keberhasilan Tumbuh Stek Manglid (Magnolia blumei Prantl). Skripsi. IPB. Bogor.

Larcher, W. 1995. Physiological Plant Ecology : Ecophysiology and Stress Physiology of Functional Groups. Third Edition. Springer. New York. Macnae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps

and forests in the Indo-West Pacific region, dalam Inventarisasi Hutan Mangrove Sebagai Bagian Dari Upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Deli Serdang, Ningsih, S.S. 2008. Tesis. USU e-Repository. Medan.

Mardani, D.Y. 2006. Pengaruh Jumlah Ruas dan Komposisi Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Bibit Stek Nilam (Pogostemon cablin. Benth). Skripsi. Institut Pertanian (INTAN). Yogyakarta


(57)

Marjenah. 2001. Pengaruh Perbedaan Naungan di Persemaian Terhadap Pertumbuhan dan Morfologi Dua Jenis Semai Meranti, dalam Pengaruh Perbedaan Naungan Terhadap Pertumbuhan Semai Shorea sp di persemaian, Irwanto. 2006. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants, dalam Pengaruh

Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Naungan Terhadap Pertumbuhan Bibit Kayu Manis (Cinnamomum burmanii BL.), Delvian. 2006. Peronema Forestry Science Journal. 2 : 10-15.

Muhamaze. 2008. Introduction to Mangrove Ecosystem (Mengenal Ekosistem Mangrove), dalam Kontribusi Parameter Oseanografi Fisika terhadap Distribusi Mangrove di Muara Sungai Pangkajene, Saru, A. 2009. Jurnal Sains dan Teknologi 9 : 210-217

Ningsih, S.S. 2008. Inventarisasi Hutan Mangrove Sebagai Bagian Dari Upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Deli Serdang. Tesis. USU e-Repository. Medan.

Octeri, Z. 2004. Kadar Air Kritis Propagul R. mucronata Dalam Hubungannya Dengan Viabilitas Propagul. Skripsi. IPB. Bogor

Peraturan Menteri Kehutanan. 2004. Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Hutan Mangrove Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. P. 03/MENHUT-V/2004. Bagian keempat.

Salisbury. 1992. Fisiologi Tumbuhan, dalam Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat, Zamroni, Y. dan I. S. Rohyani. 2008. Biodiversitas 9 : 284-287

Setyawan, A.D., Kusumo, W., dan Purin, C.P. 2003. Ekosistem Mangrove di Jawa : Restorasi. Biodiversitas. 5: 105-118

Suhardi. 1995. Effect of Shading, Mycorrhiza and Organic Matter On The Growth Of Hopea gregaria Seedling, dalam Pengaruh Perbedaan Naungan Terhadap Pertumbuhan Semai Shorea sp di persemaian, Irwanto. 2006. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Taiz, L. and Zeiger, E. 1991. Plant Physiology, dalam Pengaruh Naungan Paranet terhadap Sifat Toleransi Tanaman Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott), Djukri, dan B.S. Purwoko. 2003. Ilmu Pertanian 10(2) : 17-25

Taniguchi, K.S., Takashima, dan O. Suko. 1999. The silviculture manual for mangrove, dalam Manual of Mangrove Silviculture in Indonesia. Korea International Cooperation Agency The Rehabilitation Mangrove Forest and Coastal Area Damaged By Tsunami in Aceh Project, Kusmana. C., I.C. Wibowo, S.W. Budi, R., I.Z. Siregar, T. Tiryana, dan S. Sukardjo. 2008. Korea International Cooperation Agency (KOICA)


(58)

Tohari, Libria, dan W. Endang, S. 2004. Pengaruh Intensitas Cahaya dan Kadar Daminosida Terhadap Iklim Mikro dan Pertumbuhan Tanaman. Ilmu Pertanian Vol. 11 No. 2 : 33-42.

Triswanto, A. 1997. Tinjauan Pendekatan Ekologis dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove di Provinsi NTB, dalam Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat, Zamroni, Y. dan I. S. Rohyani. 2008. Biodiversitas 9 : 284-287

Wales,J. 2010. Hutan Bakau. Diakses dari (2/12/2010).

Wibisono, I.T.C., E.B. Priyanto, dan I.N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Praktis Rehabilitasi Pantai: Sebuah Pengalaman Merehabilitasi Kawasan Pesisir. dalam Manual of Mangrove Silviculture in Indonesia. Korea International Cooperation Agency The Rehabilitation Mangrove Forest and Coastal Area Damaged By Tsunami in Aceh Project.

Widiastoety, D. dan Farid, A. Bahar. 1995. Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan Anggrek Dendrobium. J. Hort. 5(4): 72-75.

Witoelar. R. 2007. Sumut Daerah Terparah Kerusakan Hutan Bakaunya Disusul Kalimantan. Diakses dari http://hariansib.com/?p=10952 (2/12/2010)

Yusmaini, F. dan T.K.Suharsi. 2008. Pengaruh Jenis Bahan Stek dan Penyungkupan terhadap Keberhasilan Stek Stevia (Stevia rebaudiana Bertoni M.). Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura. IPB. Bogor.


(59)

(60)

Lampiran 1. Data persentase hidup bibit R. mucronata dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 12 MST (Minggu Setelah Tanam)

Perlakuan Persentase Hidup (%)

0% 95

25% 95

50% 80

75% 90

100% 90

Total 450


(61)

Lampiran 2. Data pertumbuhan tinggi bibit R. mucronata dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 12 MST (Minggu Setelah Tanam)

Ulangan Intensitas Naungan Total

Rata-rata

0% 25% 50% 75% 100%

1 6.10 11.70 8.50 18.70 13.90 58.90 11.78 2 8.00 10.00 13.80 18.70 9.90 60.40 12.08 3 6.50 14.00 11.00 11.40 12.30 55.20 11.04 4 8.70 13.80 6.50 19.10 9.30 57.40 11.48 5 6.50 9.70 5.50 22.30 7.90 51.90 10.38 6 8.50 12.50 16.60 16.30 10.30 64.20 12.84 7 7.70 14.60 8.00 18.00 18.60 66.90 13.38 8 6.50 11.30 14.70 21.70 10.00 64.20 12.84 9 7.50 12.80 16.00 11.10 11.70 59.10 11.82 10 8.90 17.20 14.90 19.00 16.60 76.60 15.32 11 6.00 17.50 10.60 14.80 7.50 56.40 11.28 12 12.80 9.60 14.80 13.60 16.50 67.30 13.46 13 9.00 15.50 13.10 17.60 9.70 64.90 12.98 14 9.30 14.50 8.50 14.70 7.40 54.40 10.88 15 9.30 15.70 12.90 10.70 11.70 60.30 12.06 Total 121.30 200.40 175.40 247.70 173.30 918.10 183.62

Rata-rata

8.09 13.36 11.69 16.51 11.55 61.21 12.24

Hasil sidik ragam tinggi rata-rata R. mucronata dengan intensitas naungan Sumber

Keragaman

db Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hit F tabel

Perlakuan 4 563.04 626.99 78.95 2.54

Blok 14 111.18 140.76 17.72 1.72

Galat 56 563.32 7.94

Total 75 12476.31 10.06

Keterangan : F Hitung > F Tabel, Intensitas naungan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi bibit.


(62)

Lampiran 2. Lanjutan Intensitas

Naungan

N Taraf 5 % Keterangan

a b c

0% 15 8.09 a

25% 15 13.36 b

50% 15 11.69 b

75% 15 16.51 c


(1)

Lampiran 4. Lanjutan Intensitas

Naungan

N Taraf 5% Keterangan

a b

0% 15 3.33 a

25% 15 3.93 b

50% 15 3.87 b

75% 15 4.00 b


(2)

Ulangan Perlakuan Total Rata-rata

0% 25% 50% 75% 100%

1 21.53 68.63 85.42 128.12 68.81 372.51 74.50 2 65.30 90.83 126.53 139.89 47.91 470.47 94.09 3 47.31 105.77 7.68 88.63 68.71 318.09 63.62 4 75.78 80.80 61.45 129.27 74.96 422.27 84.45 5 69.58 94.90 34.90 91.68 73.11 364.17 72.83 6 29.40 109.38 111.53 118.86 61.82 430.98 86.20 7 36.69 119.68 62.64 164.52 31.12 414.63 82.93 8 28.48 110.00 93.59 134.79 57.33 424.20 84.84 9 51.99 107.63 113.74 95.20 65.18 433.74 86.75 10 30.69 105.51 95.08 195.54 51.67 478.49 95.70 11 22.59 117.49 79.00 123.30 90.72 433.10 86.62 12 79.93 52.18 105.69 114.57 57.62 409.99 82.00 13 71.46 113.27 100.42 123.69 56.45 465.29 93.06 14 63.25 87.32 72.68 162.96 70.03 456.25 91.25 15 76.44 127.35 73.75 117.67 61.82 457.03 91.41 Total 770.41 1490.75 1216.42 1928.69 937.26 6343.53 1268.71

Rata-rata

51.36 99.38 86.89 128.58 62.48 428.69 85.74

Hasil sidik ragam luas daun total R. mucronata dengan intensitas naungan Sumber

Keragaman

Db Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hit F tabel

Perlakuan 4 56333.42 14083.35 22.54 2.54

Blok 14 5383.35 384.52 0.62 1.72

Galat 56 34992.11 624.859

Total 75 634547.1

Keterangan : F Hitung > F Tabel, Intensitas naungan berpengaruh nyata terhadap perhitungan luas daun total bibit.


(3)

Lampiran 5. Lanjutan Intensitas

Naungan

N Taraf 5 % Keterangan

a b c

0% 15 51.36 a

25% 15 99.38 b

50% 15 81.61 b

75% 15 128.58 c


(4)

Ulangan Intensitas Naungan Total Rata-rata

0% 25% 50% 75% 100%

1 0.57 0.66 0.63 0.66 0.58 3.10 0.62

2 0.65 0.55 0.49 0.82 0.44 2.95 0.59

3 0.70 0.58 0.83 0.53 0.59 3.23 0.65

4 0.85 0.64 0.65 1.51 0.60 4.26 0.85

5 0.46 0.84 0.68 0.97 0.75 3.70 0.74

6 0.51 0.74 0.61 1.02 0.60 3.47 0.69

7 0.42 0.66 0.68 0.46 0.71 2.93 0.59

8 0.42 0.60 0.70 0.99 0.50 3.21 0.64

9 0.34 0.55 0.57 0.76 0.77 2.99 0.60

10 0.42 1.02 0.67 0.50 0.63 3.24 0.65

11 0.66 0.65 0.81 0.82 0.80 3.74 0.75

12 0.61 0.62 1.60 0.82 0.66 4.31 0.86

13 0.18 0.88 0.80 0.63 0.79 3.28 0.66

14 0.67 0.75 1.03 1.11 0.73 4.29 0.86

15 0.47 0.69 1.39 0.59 0.78 3.91 0.78

Total 7.94 10.43 12.14 12.18 9.92 52.61 10.52

Rata-rata

0.53 0.70 0.81 0.81 0.66 3.51 0.70

Hasil sidik ragam biomassa total R. mucronata dengan intensitas naungan Sumber

Keragaman

db Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hit F tabel

Perlakuan 4 0.83 0.21 4.59 2.54

Blok 14 0.69 0.05 1.08 1.72

Galat 56 2.54 0.05

Total 75 40.98

Keterangan : F Hitung > F Tabel, Intensitas naungan berpengaruh nyata terhadap biomassa total bibit.


(5)

Lampiran 6. Lanjutan Intensitas

Naungan

N Taraf 5% Keterangan

a b

0% 15 0.529 a

25% 15 0.695 b

50% 15 0.809 b

75% 15 0.813 b


(6)

Perlakuan

Suhu (Celcius)

Kelembaban (%) 0% 29.9 - 35 57 - 78.7

25% 33 - 34 65 - 71

50% 30 - 34.5 62.9 - 85

75% 31.1 - 36 58 - 79