19
i
= pengaruh kelompok cairan rumen ke-i α
j
= pengaruh faktor A ransum yang digunakan ke-j ß
k
= pengaruh faktor B waktu inkubasi ke-k
α
j
ß
k
= pengaruh interaksi faktor A ke-j dan faktor B ke-k
ijk
= eror penelitian untuk kelompok ke-i, faktor A ke-j, dan faktor B ke-k
2. Rancangan untuk percobaan kecernaan
Rancangan percobaan yang digunakan untuk kecernaan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok RAK dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Model
matematik dari rancangan adalah sebagai berikut :
Y
ij
= µ +
i
+ ß
j
+ ε
ij
Keterangan : Y
ij
= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
= rataan umum
i
= efek perlakuan ke-i ß
j
= efek kelompok ke-j
ij
= eror perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis menggunakan analisa ragam Analyses of Variance, ANOVA dan bila terjadi perbedaan dilanjutkan dengan uji
lanjut ortogonal kontras dan ortogonal polinomial Steel dan Torrie, 1993.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Konsentrasi NH
3
Amonia
Konsentrasi NH
3
diukur dengan menggunakan metode Mikrodifusi Conway Department of Dairy Science University of Wisconsin, 1996.
2. Konsentrasi VFA
Konsentrasi VFA diukur dengan menggunakan Teknik Destilasi Uap
Department of Dairy Science University of Wisconsin, 1996.
20
3. Degradabilitas Bahan Kering DBK dan Bahan Organik DBO
Degradabilitas Bahan Kering DBK dan Bahan Organik DBO diukur dengan metode Tilley dan Terry 1963 yang dimodifikasi oleh Sutardi 1979.
4. Koefisien Cerna Bahan Kering KCBK dan Bahan Organik KCBO
Koefisien Cerna Bahan Kering KCBK dan Bahan Organik KCBO diukur dengan metode Tilley dan Terry 1963 yang dimodifikasi oleh Sutardi 1979.
21
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum
Bahan pakan yang digunakan di dalam ransum perlakuan penelitian ini, merupakan limbah pertanian yaitu jerami padi dan dedak padi, limbah tempat
pelelangan ikan TPI yaitu tepung ikan, limbah agroindustri yaitu molasses dan minyak kelapa, dan hijauan leguminosa yaitu daun lamtoro, ubi kayu, dan turi, yang
belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga penggunaannya dapat menjadi pakan alternatif yang menguntungkan. Penanganan akan lebih mudah karena umumnya
limbah tersebut terpusat pada suatu daerah dengan jumlah yang banyak sehingga memudahkan peternak untuk mendapatkan pakan yang sesuai dengan kebutuhan
nutrisi ternak. Suplemen kaya nutrien dan ransum komplit yang dibuat dalam penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nutrien jerami padi agar lebih dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak untuk mengatasi rendahnya produksi hijauan pada musim kemarau.
Ransum berbasis jerami padi disusun dengan komposisi ransum dapat dilihat pada Tabel 3. Ransum P1 merupakan ransum kontrol hanya jerami padi saja.
Ransum P2 merupakan ransum P1 yang diberi suplemen dedak padi. Ransum P3 merupakan ransum P2 yang diberi SKN. Ransum P4 adalah ransum komplit berbasis
jerami padi yang telah diperkaya dengan penggunaan dedak padi dan berbagai bahan yang terdapat di dalam SKN. Kandungan nutrien ransum penelitian dapat dilihat
pada Tabel 4. Komposisi SKN terdiri atas dedak padi 60, daun ubi kayu 15, daun
lamtoro 9, daun turi 5, tepung ikan 10 dan mineral mix 1 berdasarkan BK. Berdasarkan hasil analisis laboratorium PAU IPB 2011, SKN memiliki
kandungan BK 78,74, PK 14,62, SK 22,10, LK 5,96, BETN 41,90, TDN 63,68, Ca 1,92, dan P 0,25 berdasarkan bahan kering BK Tabel 2.
Berdasarkan hasil perhitungan, kandungan PK dan TDN dalam penelitian ini berkisar 4,21 - 10,79 dan 47,41 - 53,97. Kandungan PK terendah dimiliki oleh
Ransum P1 yang merupakan ransum kontrol sebesar 4,21, sedangkan kandungan PK untuk P2, P3, dan P4 berturut-turut adalah 4,92, 5,21, dan 10,79. Penambahan
22 suplemen dalam ransum dan menurunnya komposisi jerami padi pada ransum
tersebut akan sedikit meningkatkan kandungan PK Tabel 4. Semakin meningkatnya penggunaan suplemen dalam ransum perlakuan akan
meningkatkan kandungan BO kecuali untuk perlakuan ransum komplit P4. Tingginya kandungan abu pada P4 diduga sebagai akibat penggunaan molasses,
molasses mengandung abu sebesar 10,4 Tillman et al.,1997 sehingga meningkatkan kandungan abu ransum komplit. Peningkatan BO pada perlakuan P1,
P2, dan P3 ini disebabkan terjadinya penurunan kandungan abu dengan semakin meningkatnya penggunaan suplemen dalam ransum perlakuan.
Tabel 4. Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan
Nutrien Ransum dasar jerami padi + suplemen
TS P1 DP P2
DP dan SKN P3 RK P4
Bahan kering 87,50
88,10 87,83
81,75 Bahan organik
82,60 82,69
82,74 81,43
Abu 17,40
17,31 17,26
18,57 Protein kasar
4,21 4,92
5,21 10,79
Lemak kasar 1,44
1,88 1,99
3,25 Serat kasar
32,50 31,88
31,60 26,70
Beta-N 44,45
44,01 43,94
40,69 TDN
1
47,41 48,50
48,94 53,97
Calsium 0,42
0,37 0,42
2,35 Phospor
0,28 0,39
0,38 0,29
Keterangan : = BK; = Perhitungan berdasarkan data Sutardi 1980;
1
= Perhitungan nilai TDN dengan rumus TDN =25,6+0,53PK+1,7LK
–0,474SK+0,732BETN Sutardi, 1980; TS = tanpa suplemen; DP = dedak padi; SKN = suplemen kaya nutrien; RK = ransum komplit;
P1, P2, P3, P4 = perlakuan.
Selain dapat meningkatkan kandungan PK ransum, penambahan suplemen yang semakin tinggi dalam ransum merubah kandungan SK, dimana SK mengalami
penurunan tiap perlakuan dan perlakuan ransum komplit P4 memiliki SK yang terendah dibandingkan perlakuan yang lain Tabel 4. Rendahnya SK pada P4 diduga
sebagai akibat dari komposisi jerami padi pada ransum tersebut sebesar 40, lebih rendah dibandingkan perlakuan yang lain yang komposisi jerami padinya di atas 80
Tabel 3.
23
Fermentabilitas
Pakan yang masuk ke dalam rumen akan didegradasi dan difermentasi menjadi amonia NH
3
, VFA, dan CH
4
. Amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba Arora, 1989 dan bersama dengan kerangka C
sumber energi akan disintesa menjadi protein mikroba Hungate, 1966. Selain amonia, mikroba juga membutuhkan rantai karbon untuk pertumbuhannya dan ini
dapat disuplai dari asam lemak terbang atau VFA yang merupakan hasil fermentasi karbohidrat dan protein Mathius dan Sutrisno, 1994. Konsentrasi NH
3
dan VFA hasil penelitian disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Efek Perlakuan dan Waktu Inkubasi terhadap Rataan Konsentrasi Produk Fermentabilitas NH
3
dan VFA
Peubah Waktu
Inkubasi Ransum dasar jerami padi + suplemen
Rataan TS P1
DP P2 DP dan SKN P3
RK P4 mM
NH
3
1 Jam 2,34±0,20
2,56±0,01 2,55±0,03
3,41±0,10 2,71±0,47
C
3 Jam 2,76±0,02
2,61±0,01 2,67±0,04
3,58±0,12 2,91±0,45
B
5 Jam 2,96±0,01
3,37±0,07 3,81±0,02
3,83±0,16 3,49±0,42
A
Rataan 2,68±0,32
D
2,85±0,45
C
3,01±0,70
B
3,61±0,21
A
3,04±0,53 VFA
1 Jam 33,03±4,89
39,16±11,03 51,15±9,60
81,37±11,44 51,18±21,49
Bb
3 Jam 35,35±4,42
48,60±8,76 55,33±2,93
84,46±9,03 55,94±20,75
Ba
5 Jam 52,78±11,60
70,55±11,04 76,23±8,93
102,21±13,84 75,44±20,45
A
Rataan 40,39±10,80
D
52,77±16,11
C
60,90±13,44
B
89,35±11,25
A
60,85±21,86 Keterangan : P1 = Jerami padi 100 tanpa suplemen; P2 = Jerami padi 82,78 + Dedak padi
17,22; P3 = Jerami padi 80,39 + Dedak padi 16,72 + Suplemen kaya nutrien 2,89; P4 = Ransum komplit 100. Superskrip huruf besar pada baris dan kolom
yang sama menandakan sangat berbeda nyata P0,01. Superskrip huruf kecil pada baris dan kolom yang sama menandakan berbeda nyata P0,05.
Konsentrasi NH
3
Amonia
Protein pakan di dalam rumen akan didegradasi oleh mikroba, terutama bakteri proteolitik penghasil enzim protease, menjadi bentuk senyawa yang lebih
sederhana polipeptida. Polipeptida mengalami degradasi lebih lanjut menjadi asam amino, peptida rantai pendek oligopeptida, amonia NH
3
, dan CO
2
. Sebagian asam amino selanjutnya akan dideaminasi menjadi asam keto alfa yang menghasilkan
VFA, amonia, CH
4
dan CO
2
Sutardi, 1979. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi amonia dipengaruhi oleh
ransum perlakuan faktor A P0,01, waktu inkubasi faktor B P0,01, dan
24 interaksi antara kedua faktor P0,01, tetapi tidak dipengaruhi oleh kelompok yaitu
cairan rumen yang digunakan. Uji ortogonal kontras memperlihatkan adanya perbedaan diantara perlakuan dan waktu inkubasi yang diterapkan.
Uji ortogonal kontras pada faktor A menunjukkan bahwa penggunaan suplemen dapat meningkatkan konsentrasi amonia; konsentrasi amonia terendah
dihasilkan oleh ransum jerami padi JP saja P1 yang sangat berbeda nyata P0,01 dengan ransum JP dengan suplemen dedak padi P2. Kedua perlakuan
tersebut sangat berbeda nyata dengan ransum JP dengan suplemen SKN P3 dan ransum komplit P4 P0,01. Perlakuan ransum komplit P4 menghasilkan
konsentrasi amonia yang sangat berbeda nyata dengan perlakuan P3 P0,01. Uji ortogonal kontras pada faktor B perlakuan waktu inkubasi menunjukkan bahwa
meningkatnya waktu inkubasi dapat meningkatkan konsentrasi amonia. Konsentrasi amonia tertinggi dihasilkan pada waktu inkubasi 5 jam yang sangat berbeda nyata
P0,01 dengan waktu inkubasi 1 dan 3 jam. Hasil penelitian menunjukkan waktu inkubasi 5 jam menghasilkan rataan
konsentrasi amonia yang paling optimal yaitu 3,49 mM, sedangkan waktu inkubasi 1 dan 3 jam menghasilkan rataan konsentrasi amonia sebesar 2,71 dan 2,91 mM, hal
ini memperlihatkan bahwa waktu inkubasi 5 jam merupakan waktu yang optimal bagi mikroba rumen menggunakan amonia yang dihasilkan oleh pakan. Semakin
tingginya produksi NH
3
pada ransum yang disuplementasi, baik pada 1 sampai 5 jam waktu inkubasi tanpa suplementasi dapat dijelaskan dengan beberapa pendekatan :
1 pada 1 jam waktu inkubasi NH
3
yang diproduksi pada keempat macam ransum dipengaruhi oleh solubilitas ransum itu sendiri dan belum dipengaruhi oleh aktivitas
mikroba, mengingat pada saat itu merupakan langkah awal adaptasi dari mikroba. Kondisi ini diperjelas oleh Sutardi 1980 bahwa pada 1 - 1,5 jam waktu inkubasi
pakan merupakan awal penentu dari kadar NH
3
dan atau VFA suatu pakan yang berasal dari solubilitas dari pakan itu sendiri; 2 produksi NH
3
pada 3 jam inkubasi meningkat sebagai akibat dari pertumbuhan mikroba sudah mulai meningkat dengan
kondisi ekologi yang lebih mantap, sehingga aktivitasnya dalam mendegradasi pakan juga meningkat. Pernyataan ini didukung oleh Erwanto 1995 bahwa proses
fermentasi berjalan optimal bila seluruh rangkaian reaksi berjalan selaras coupled reaction; dan 3 pada 5 jam inkubasi juga terjadi peningkatan produksi NH
3
sejalan
25 dengan semakin meningkatnya aktivitas mikroba mendegradasi pakan atau ransum.
Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan Sutardi 1979 bahwa pada 3 sampai 4 jam setelah ternak ruminansia diberi makan secara in vivo dapat dijadikan sebagai
patokan dalam penentuan populasi mikroba rumen dan aktivitas puncak fermentasinya serta produk yang dihasilkannya seperti VFA dan atau NH
3
. Nuraeni 1993 menambahkan bahwa konsentrasi amonia
juga dapat dipengaruhi oleh waktu inkubasi.
Peningkatan rataan konsentrasi amonia pada perlakuan P1, P2, P3, dan P4 tidak terlalu signifikan, hal ini berkaitan dengan berbagai faktor. 1 Kandungan
protein tiap perlakuan tergolong rendah berkisar 4,21 - 10,79. Haaland et al. 1982 menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan protein ransum diharapkan produksi
amonia semakin meningkat. Menurut Shirley 1986 yang melaporkan bahwa tingkat kandungan PK di atas 13 dapat meningkatkan konsentrasi NH
3
cairan rumen. 2
Sumber protein pada ransum komplit dan suplemen kaya nutrien merupakan protein tidak terdegradasi atau Rumen Undegradable Protein
RUP di rumen yang berasal dari tepung ikan dan tepung daun daun ubi kayu, lamtoro, dan turi. Pada proses
pembuatan tepung ikan, adanya proses pemanasan dalam pengolahannya sehingga protein mengalami denaturasi atau terjadi perubahan struktur alaminya pemanasan
mengakibatkan protein membuka struktur aslinya yang mengakibatkan terjadinya perubahan kimiawi dan kelarutan proteinnya McDonald et al., 1982. Bahan pakan
penyusun tepung daun, yaitu daun lamtoro dan turi memiliki zat antinutrisi yaitu tanin, saponin dan mimosin. Tanin merupakan senyawa sekunder yang terdapat pada
tumbuhan legum dan dapat berikatan dengan protein, sehingga menyebabkan protein resisten terhadap degradasi oleh protease di dalam rumen. Menurut Barry dan Blaney
1987, komplek tanin protein yang terbentuk oleh ikatan hidrogen, stabil pada pH sekitar 4 - 7, namun selain pH tersebut, komplek ini akan terpisah. Protein diikat oleh
tanin dalam rumen, lalu setelah keluar dari rumen ikatan ini akan pecah di abomasum pH 2,5 - 3,5 dan duodenum pH 8 - 9 sehingga protein tersebut dapat dicerna dan
diserap Barry dan Blaney, 1987. McDonald et al. 2002 menyatakan sekitar 20 - 100 protein ransum dapat larut jika terdiri dari bahan pakan berupa hijauan tinggi
protein, bungkil, dan biji - bijian.
26 Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi amonia semua perlakuan berkisar
antara 2,68 - 3,61 mM, konsentrasi ini belum menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal yang berkisar antara 6 - 21 mM McDonald et al., 2002, 4 -
12 mM Sutardi, 1979, dan 3,57 - 15 mM Satter dan Slyter, 1974. Kondisi ini dikarenakan jerami padi merupakan bahan pakan yang sedikit dalam penyediaan
amonianya, bahan pakan penyusun SKN dan ransum komplit terdiri dari bahan pakan sumber protein yang sulit didegradasi dalam rumen yaitu tepung daun daun
lamtoro, daun turi, daun ubi kayu dan tepung ikan, dan taraf suplementasi yang rendah. Pernyataan ini didukung oleh Satter dan Slyter 1974, produksi amonia yang
kurang dari 3,57 mM menunjukkan bahwa protein pakan sulit dirombak oleh mikroba rumen.
0,0 0,5
1,0 1,5
2,0 2,5
3,0 3,5
4,0 4,5
1 2
3 4
5 6
Waktu Inkubasi Jam K
o n
se n
tr a
si N
H
3
m M
P1 P2
P3 P4
Gambar 3. Hubungan konsentrasi NH
3
mM dengan interaksi antara perlakuan ransum dengan waktu inkubasi Jam
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa adanya interaksi antara faktor A perlakuan dan faktor B waktu inkubasi dalam menghasilkan konsentrasi NH
3
. Pada Gambar 3, interaksi P1, P2, dan P3 dengan waktu inkubasi dalam menghasilkan
konsentrasi NH
3
dalam penelitian ini mengikuti persamaan kuadratik yaitu Y = -
27 0,0282X
2
+ 0,324X + 2,0422 dengan nilai R
2
= 0,8634 86,34 untuk P1, Y = 0,087X
2
- 0,32X + 2,791 dengan nilai R
2
= 0,9888 98,88 untuk P2, dan Y = 0,1265X
2
- 0,442X + 2,8615 dengan nilai R
2
= 0,9978 99,78 untuk P3, sedangkan interaksi P4 dengan waktu inkubasi dalam menghasilkan konsentrasi NH
3
mengikuti persamaan linear yaitu Y = 0,1065X + 3,2872 dengan nilai R
2
= 0,6987 69,87.
Konsentrasi VFA
VFA total merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia yang menyediakan 70 - 80 kebutuhan energi ternak Maurice, 1987. Asam lemak atsiri
VFA merupakan hasil fermentasi karbohidrat dalam rumen dan terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pemecahan karbohidrat kompleks menjadi gula
sederhana. Tahap berikutnya adalah fermentasi gula sederhana menjadi produk fermentasi diantaranya VFA Preston dan Leng, 1987. Total VFA dihasilkan selain
dari proses fermentasi karbohidrat asam asetat, asam propionat dan asam butirat, juga berasal dari proses fermentasi protein berupa asam lemak rantai cabang asam
isobutirat, asam valerat dan asam isovalerat. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi VFA sangat dipengaruhi
P0,01 oleh ransum perlakuan faktor A, waktu inkubasi faktor B, dan kelompok yaitu cairan rumen yang digunakan, tetapi tidak dipengaruhi oleh interaksi antara
kedua faktor. Uji ortogonal kontras memperlihatkan adanya perbedaan diantara perlakuan dan waktu inkubasi yang diterapkan.
Uji ortogonal kontras pada faktor A perlakuan ransum menunjukkan bahwa penggunaan suplemen dapat meningkatkan konsentrasi VFA total. Konsentrasi VFA
total terendah dihasilkan oleh ransum jerami padi saja P1, yang sangat berbeda nyata P0,01 dengan ransum JP dengan suplemen dedak padi P2, SKN P3 dan
ransum komplit P4. Ketiga suplemen juga menghasilkan konsentrasi VFA total yang sangat berbeda nyata P0,01. Uji ortogonal kontras pada faktor B perlakuan
waktu inkubasi menunjukkan bahwa meningkatnya waktu inkubasi dapat meningkatkan konsentrasi VFA total. Konsentrasi VFA total tertinggi dihasilkan
pada waktu inkubasi 5 jam yang sangat berbeda nyata P0,01 dengan waktu inkubasi 1 dan 3 jam.
Waktu inkubasi yang optimal menghasilkan konsentrasi VFA tertinggi adalah waktu inkubasi 5 jam yaitu sekitar 52,78 - 102,21 mM dengan rataan 75,44 mM.
28 Lamanya waktu inkubasi dapat mempengaruhi produksi VFA yang dihasilkan,
proses metabolisme karbohidrat akan menghasilkan konsentrasi VFA yang tinggi pada awal inkubasi. Hungate 1966 menyatakan bahwa VFA naik pada jam ke-4
sampai ke-5 kemudian menurun lagi hingga mencapai jumlah yang sama dengan ketika berada pada awal fermentasi.
Menurut Danirih 2004, suplementasi ke dalam ransum dapat memproduksi VFA total optimum sebesar 126,25 - 144,77 mM pada
waktu inkubasi 2 - 4 jam. Rahmawati 2001 menyatakan semakin lamanya waktu inkubasi menyebabkan konsentrasi VFA menurun karena telah digunakan oleh
mikroba rumen untuk membentuk protein mikroba. Hasil uji lanjut ortogonal polinomial menunjukkan bahwa hubungan antara
konsentrasi VFA total dengan waktu inkubasi dalam penelitian mengikuti persamaan kuadratik Y = 7,3725X
2
- 19,971X + 217,31, dengan nilai R
2
= 0,677; Y adalah nilai duga konsentrasi VFA total mM dan X adalah waktu inkubasi dalam penelitian
jam, hal ini berarti, berdasarkan turunan dari persamaan tersebut, terlihat bahwa konsentrasi VFA total maksimum akan terjadi pada waktu inkubasi 1,35 jam dengan
nilai diterminasi 67,7. Kondisi ini dikarenakan solubilitas dari suplemen dedak padi dan SKN pada ransum berbasis jerami padi di dalam rumen bukan dikarenakan
aktivitas dari mikroba rumen tersebut. Hal ini senada dengan Sutardi 1980 bahwa pada 1 - 1,5 jam waktu inkubasi pakan merupakan awal penentu dari kadar NH
3
dan atau VFA suatu pakan yang berasal dari solubilitas dari pakan itu sendiri. Terjadinya
peningkatan konsentrasi VFA pada waktu inkubasi yang berbeda Gambar 4 ini dikarenakan kondisi ekologi mikroba rumen yang lebih mantap sehingga
meningkatnya aktivitas mikroba rumen dalam mencerna ransum berbasis jerami padi. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penelitian Novianto 2009 bahwa pada 6
jam waktu inkubasi, konsentrasi VFA total jerami padi lebih tinggi dibandingkan dengan rumput gajah dan serat sawit 110,9 vs 82,3 dan 88 mM jika difermentasi
oleh bakteri pencerna serat dari rayap dan rumen domba. Lamanya waktu inkubasi memberikan kesempatan kepada bakteri untuk memaksimalkan mencerna serat
kasar. Selain itu, tingginya kandungan selulosa dari jerami padi kemungkinan akan lambat difermentasi dan adanya silika juga dapat melambatkan fermentasi sehingga
produksi VFA yang tinggi baru dapat dicapai pada saat 6 jam inkubasi.
29 Pada Gambar 4 dapat dilihat interaksi P1, P2, P3, dan P4 dengan waktu
inkubasi dalam menghasilkan konsentrasi VFA mengikuti persamaan kuadratik yaitu Y = 1,8878X
2
- 6,387X + 37,525 dengan nilai R
2
= 0,6208 62,08 untuk P1, Y = 1,5637X
2
- 1,537X + 39,137 dengan nilai R
2
= 0,6694 66,94 untuk P2, Y = 2,0882X
2
- 6,26X + 55,32 dengan nilai R
2
= 0,7145 71,45 untuk P3, dan Y = 1,8328X
2
- 5,787X + 85,324 dengan nilai R
2
= 0,4391 43,91 untuk P4.
20 40
60 80
100 120
140
1 2
3 4
5 6
Waktu Inkubasi Jam K
o n
se n
tr a
si V
F A
m M
P1 P2
P3 P4
Gambar 4. Hubungan konsentrasi VFA mM dengan interaksi antara perlakuan ransum dengan waktu inkubasi Jam
Konsentrasi rata - rata VFA total yang dihasilkan dari perlakuan P1 sebesar 40,39 mM. Hasil ini belum termasuk produksi normal VFA menurut McDonald et al.
1995, dengan rataan sebesar 70 - 150 mM. Perlakuan penambahan suplemen dapat meningkatkan konsentrasi VFA total pada P2, P3, dan P4. Komposisi pakan
suplemen yang digunakan pada perlakuan P2, P3, dan P4 memiliki nilai fermentabilitas yang lebih baik daripada jerami padi, sehingga penambahan dedak
padi, tepung daun, tepung ikan, minyak kelapa, molasses, dan mineral mix meningkatkan konsentrasi VFA total dari perlakuan P1. Produksi VFA cairan rumen
dipengaruhi oleh sumber energi Bampidis dan Robinson, 2006 dan jenis pakan,
30 VFA yang tinggi menunjukkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat
mudah larut dari pakan McDonald et al., 1995. Dalam rumen, karbohidrat hampir sepenuhnya difermentasi menjadi VFA sehingga memasok sumber energi bagi
pertumbuhan mikroba rumen Bergman, 1990. Pengaruh karbohidrat mudah terfermentasi terhadap kadar VFA cairan rumen masih beragam antar peneliti.
Percobaan Hristov et al. 2005 menghasilkan total VFA ransum yang mengandung dekstrosa jagung lebih rendah daripada ransum dengan sumber karbohidrat lainnya.
Golombeski et al. 2006 menghasilkan total VFA yang sama antara ransum yang mengandung gula mudah terfermentasi dan ransum tanpa gula. Khosarani et al.
2001 yang menggunakan barley sebagai sumber karbohidrat nonstrukturalnya, memperoleh total VFA cairan rumen yang lebih tinggi daripada yang menggunakan
jagung. Persamaan hasil percobaan sebelumnya dengan percobaan ini adalah penggunaan karbohidrat mudah larut dari pakan seperti dedak padi, molasses,
minyak kelapa CPO, barley, dan pakan sumber karbohidrat mudah larut lainnya dapat meningkatkan konsentrasi VFA total.
Degradabilitas
Degradabilitas menunjukkan tingkat degradasi oleh mikroba rumen. Daya degradasi bahan pakan berhubungan erat dengan penyediaan zat makanan bagi
ternak. Semakin besar daya degradasi suatu bahan makanan maka semakin besar pula zat makanan yang diperoleh ternak, berlaku juga sebaliknya. Rataan DBK dan
DBO hasil penelitian disajikan pada Tabel 6.
Degradabilitas Bahan Kering DBK dan Bahan Organik DBO
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa DBK dan DBO dipengaruhi oleh ransum perlakuan faktor A P0,01, waktu inkubasi faktor B P0,01, dan
kelompok yaitu cairan rumen yang digunakan P0,05, tetapi tidak dipengaruhi oleh interaksi antara kedua faktor. Uji ortogonal kontras memperlihatkan adanya
perbedaan diantara perlakuan dan waktu inkubasi yang diterapkan. Uji ortogonal kontras pada faktor A perlakuan ransum menunjukkan bahwa
penggunaan suplemen dapat meningkatkan nilai DBK dan DBO. Nilai DBK dan DBO terendah dihasilkan oleh ransum jerami padi JP saja P1 yang berbeda nyata
P0,05 dengan ransum JP dengan suplemen dedak padi P2. Kedua perlakuan P1
31 dan P2 sangat berbeda nyata P0,01 dengan perlakuan ransum JP dengan SKN P3
dan ransum komplit P4 yang dimana perlakuan ransum komplit P4 sangat berbeda nyata P0,01 dengan perlakuan ransum JP dengan SKN P3. Uji
ortogonal kontras pada faktor B perlakuan waktu inkubasi menunjukkan bahwa meningkatnya waktu inkubasi dapat meningkatkan nilai DBK dan DBO. Nilai DBK
dan DBO tertinggi dihasilkan pada waktu inkubasi 5 jam saja, yang sangat berbeda nyata P0,01 dengan waktu inkubasi 1 dan 3 jam.
Tabel 6. Efek Perlakuan dan Waktu Inkubasi terhadap Rataan Degradabilitas Bahan Kering dan Bahan Organik
Peubah Waktu
Inkubasi Ransum dasar jerami padi + suplemen
Rataan TS P1
DP P2 DP dan SKN P3
RK P4
DBK 1 Jam
14,11±1,21 14,62
±0,19 17,65
±0,28 20,23
±0,92 16,65±2,85
Bb
3 Jam 14,72
±0,45 15,61
±0,47 18,47
±0,30 20,73±0,63
17,38±2,75
Ba
5 Jam 16,32
±1,05 16,68
±0,17 19,05
±0,52 23,57±3,05
18,91±3,34
A
Rataan 15,05±1,14
Cb
15,64±1,03
Ca
18,39±0,71
B
21,51±1,80
A
17,65±2,88 DBO
1 Jam 12,98±1,22
14,11 ±0,54
16,41±0,26 19,16±0,84
15,66±2,73
B
3 Jam 14,01±0,66
14,46 ±0,65
16,89±0,72 19,22±0,57
16,15±2,41
B
5 Jam 14,82±0,97
16,10±0,73 17,59±0,77
21,42±3,01 17,48±2,86
A
Rataan 13,93±0,92
Cb
14,89±1,06
Ca
16,96±0,59
B
19,93±1,29
A
16,43±2,55 Keterangan : P1 = Jerami padi 100 tanpa suplemen; P2 = Jerami padi 82,78 + Dedak padi
17,22; P3 = Jerami padi 80,39 + Dedak padi 16,72 + Suplemen kaya nutrien 2,89; P4 = Ransum komplit 100. Superskrip huruf besar pada baris dan kolom
yang sama menandakan sangat berbeda nyata P0,01. Superskrip huruf kecil pada baris dan kolom yang sama menandakan berbeda nyata P0,05.
Berdasarkan hasil penelitian, waktu inkubasi 5 jam merupakan waktu inkubasi yang optimal menghasilkan nilai degradabilitas tertinggi dibandingkan
waktu inkubasi yang lain P0,01, hal ini karena BK dan BO yang terdegradasi semakin tinggi sejalan lamanya proses fermentasi, jika fermentasi terjadi lebih lama
maka aktivitas mikroba rumen dalam mendegradasi pakan semakin meningkat. Kondisi ini sesuai dengan Lubis 1992 yang menyatakan pengukuran degradasi
dalam rumen sangat ditentukan oleh faktor kelarutan bahan pakan dan waktu inkubasi.
Hasil uji ortogonal polinomial menunjukkan bahwa hubungan antara nilai DBK dan DBO dengan waktu inkubasi dalam penelitian mengikuti persamaan linier
Y = 2,2556X + 63,82, dengan nilai R
2
= 0,7368 dan Y = 1,8158X + 60,272 dengan nilai R
2
= 0,6492; Y adalah nilai duga DBK dan DBO dan X adalah waktu
32 inkubasi dalam penelitian jam, hal ini berarti, setiap tambahan 1 jam waktu
inkubasi akan menghasilkan peningkatan DBK dan DBO sebesar 2,2556 dan 1,8158 dengan nilai diterminasi 73,68 dan 64,92.
5 10
15 20
25 30
35
1 2
3 4
5 6
Waktu Inkubasi Jam N
il a
i D
B K
P1 P2
P3 P4
5 10
15 20
25 30
1 2
3 4
5 6
Waktu Inkubasi Jam
N il
a i
D B
O
P1 P2
P3 P4
Gambar 5. Hubungan Nilai DBK dan DBO dengan interaksi antara perlakuan ransum dengan waktu inkubasi Jam
Pada Gambar 5 dapat dilihat interaksi P1, P2, dan P3 dengan waktu inkubasi dalam menghasilkan konsentrasi DBK dalam penelitian ini mengikuti persamaan
linier yaitu Y = 0,5509X + 13,397, dengan nilai R
2
= 0,503 50,3 untuk P1, Y =
33 0,5167X + 14,087, dengan nilai R
2
= 0,9042 90,42 untuk P2, Y = 0,352X + 17,333, dengan nilai R
2
= 0,7331 73,31 untuk P3, hal ini berarti, setiap tambahan 1 jam waktu inkubasi akan menghasilkan peningkatan DBK sebesar 0,5509 untuk
P1, 0,5167 untuk P2, dan 0,352 untuk P3. Sedangkan untuk P4 mengikuti persamaan kuadratik yaitu Y = 0,2923X
2
- 0,9177X + 20,854, dengan nilai R
2
= 0,4355 43,55, hal ini berarti, berdasarkan turunan dari persamaan tersebut,
terlihat bahwa nilai DBK maksimum akan terjadi pada waktu inkubasi 1,57 jam. Interaksi P1 dan P3 dengan waktu inkubasi dalam menghasilkan konsentrasi
DBO dalam penelitian ini mengikuti persamaan linier yaitu Y = 0,4592X + 12,557, dengan nilai R
2
= 0,4247 42,47 untuk P1, dan Y = 0,2948X + 16,076, dengan nilai R
2
= 0,4227 42,27 untuk P3, hal ini berarti, setiap tambahan 1 jam waktu inkubasi akan menghasilkan peningkatan DBO sebesar 0,4592 untuk P1 dan
0,2948 untuk P3. Efek interaksi P2 dan P4 dengan waktu inkubasi terhadap DBO dalam penelitian ini mengikuti persamaan kuadratik yaitu Y = 0,1616X
2
- 0,4732X + 14,426, dengan nilai R
2
= 0,6917 69,17 untuk P2, dan Y = 0,2671X
2
- 1,0372X + 19,929, dengan nilai R
2
= 0,2919 29,19 untuk P4, hal ini berarti, berdasarkan turunan dari persamaan tersebut, terlihat bahwa nilai DBO maksimum akan terjadi
pada waktu inkubasi 1,46 jam untuk P2 dan 1,94 jam untuk P4. Nilai rataan DBK dan DBO terendah terdapat pada perlakuan P1 yaitu 15,05
dan 13,93 P0,05 dibandingkan dengan perlakuan P2. Pemberian jerami padi tanpa penambahan suplemen dan waktu inkubasi yang pendek merupakan faktor
penyebabnya. Jerami padi memiliki komponen SK yang tinggi, SK biasanya kaya akan lignin dan selulosa Sutardi, 1980. Selulosa berfungsi sebagai penguat pada
batang tumbuhan, lignin untuk melindungi selulosa dari aksi kimiawi maupun biologis, sedangkan hemiselulosa pengikat selulosa dengan lignin Lee, 1992.
Jerami padi terdiri atas 37,7 selulosa, 22,0 hemiselulosa dan 16,6 lignin Dewi,
2002. Kandungan lignin yang tinggi memperlambat aktivitas mikroba rumen