BERSYUKUR ADALAH TAMPILAN NYATA ORANG BERIMAN

B I N A

A K I D A H

BERSYUKUR ADAL
AH TA MP
IL
AN
ADALAH
MPIL
ILAN
NY
ATA O
R ANG BERIM
AN
NYA
OR
BERIMAN
MOHAMMAD DAMAMI

fsp


pd

w.

htt
p:/
/w
w

De
mo
(

40

25 MUHARAM - 9 SHAFAR 1432 H

hal, yaitu: “membatasi medan keinginan”
dan “menikmati secara maksimal hal yang

dihadapi”. Yang dimaksud dengan
“membatasi medan keinginan” ini adalah
bahwa bertambahnya jumlah keinginan itu
tidak terbatas. Apa saja diingini, terutama
yang menyangkut keinginan “memiliki” dan
“menikmati”. Pembatasannya adalah
dengan memilah dan memilih, mana
keinginan yang benar-benar perlu. Untuk
proses memilah dan memilih ini faktor
penalaran harus difungsikan, bukan faktor
perasaan yang menjadi acuan. Inilah yang
disinggung Al-Qur’an sebagai berikut (Q.s.
Al-A’raf [7]: 31): wa kuluu wa’asy-rabuu wa
laa tusrifun innahu laa yuhibbu-‘l-musyrifiina
= Dan makanlah serta minumlah dan
janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orangorang yang berlebih-lebihan.
Berkaitan dengan komponen inti yang
kedua di atas, maka subkomponen yang
harus ada adalah “membatasi medan
keinginan” dan “menikmati secara maksimal

hal yang dihadapi”. Dua subkomponen ini
perlu dilatihkan dan dibiasakan.
Berdasarkan uraian menyeluruh di
atas, maka bagi seorang yang beriman,
pengertian “syukur” yang perlu diresapi
adalah bahwa dalam perjalanan hidup ini
perlu “kesadaran memiliki Tuhan” (komponen inti yang pertama) dan “kesadaran
untuk mengelola diri sendiri” (komponen
inti yang kedua). Kesadaran memiliki Tuhan
akan mempertajam “rasa terima kasih” dan
“menyatakan doa dan permohonan”
kepada Tuhan. Selanjutnya, kesadaran
mengelola diri sendiri akan mempertajam
“pembatasan medan keinginan” dan
kesanggupan “menikmati secara maksimal hal yang dihadapi”. Jadi, bersyukur
tidak sekedar mengucapkan hamdalah
(“al-hamdu li-’llaahi rabbi-’l-’aalamiin”) saja.
Perlu lebih dalam daripada itu. Bagaimana
dengan Anda selama ini?l


litm
erg
er.
co
m)

li nafsihi wa man kafara fi inna-‘l-laahaa
ghaniyyun hamiidun = Dan barangsiapa
bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya
(sendiri), dan barangsiapa kufur (tidak
bersyukur), maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya dan Maha Terpuji. Dengan
pernyataan ayat ini, jelas ditunjukkan bahwa
Allah SwT tidak minta bagian. Sebab Allah
SwT adalah Dzat yang sudah Maha Kaya
(ghaniyyun) dan yang sudah sangat Maha
Terpuji. Karena itu, Allah SwT sudah tidak
membutuhkan apa pun, termasuk pujian.
Selanjutnya, komponen inti yang
kedua, yaitu “kesadaran mengelola diri

sendiri”. Kesadaran ini sungguh-sungguh
penting pula. Bahwa hidup kita, umat
manusia, senantiasa dipenuhi oleh
bermunculannya keinginan. Keinginan
yang paling tampak adalah keinginan
memiliki dan keinginan menikmati.
Keinginan memiliki ini meliputi jumlah/
kuantitas (misalnya tabungan uangnya
banyak, rumahnya banyak, tanahnya luas,
perusahaannya beranak-pinak, kesehatannya prima, dan sebagainya) dan mutu/
kualitas (misalnya terlihat indah, terdengar
merdu, terbau harum, terasa enakmenyelerakan, terasa halus-empuk, terasa
nyaman badan, terasa segar-bugar, terasa
gembira-menyenangkan, terasa menyejukkan-menenangkan, dan sebagainya).
Kalau berbagai keinginan ini dibiarkan, maka
orang akan tergulung dan dipermainkan o.leh
“sang keinginan” itu sendiri. Pada
hakikatnya, justru keinginan itu sekedar
energi dan semangat untuk melakukan
gerak, usaha, dan bekerja, bukan sebagai

tujuan. 0leh sebab itu, kalau sampai terjadi
“sang keinginan” menjadi tujuan atau
penyetirnya, maka kondisi seperti itu benarbenar terbalik secara hakiki.
Agar apa yang disebut “keinginan” di
atas berjalan sebagaimana mestinya,
wajar, dan proporsional, maka perlu 2 (dua)

Vi
sit

T

idak jarang orang memahami istilah
“syukur” itu sedemikian sederhana
dan pragmatis. Seolah-olah kalau
ada orang mau berterima kasih kepada Allali
SwT dan mengucapkan lafal “al-hamdu li’llaahi rabbi-’l-’aalamiin” sudah dianggap cukup
untuk disebut sebagai orang yang “bersyukur”.
Apakah demikian itu pengertian “syukur” kalau
dilihat dari perspektif orang beriman?

Dari perspektif orang beriman,
bangunan atau struktur tampilan “syukur”
itu memiliki 2 (dua) komponen inti, yaitu
komponen “kesadaran memiliki Tuhan”
dan komponen “kesadaran mengelola diri
sendiri”. Setiap komponen inti tersebut
memiliki subkomponen yang mau tidak
mau harus ada dan harus dimunculkan.
Bagaimana penjelasan rincinya?
Komponen inti yang pertama, yaitu
“kesadaran memiliki Tuhan”. Kesadaran ini
sungguh-sungguh penting. Bahwa dalam
hidup ini perlu disadari adanya pihak yang
senantiasa menemani. Tetapi sekaligus
mengawasinya, yaitu Tuhan, Allah SwT.
Bagi orang beriman, karena dia selalu
merasa ditemani dan diawasi oleh Tuhan,
Allah SwT, maka apa pun yang diusahakan
dan dikerjakan merasa dirinya bukan satusatunya yang berusaha atau bekerja.
Temannya dan pengawasnya, yaitu Allah

SwT ikut andil besar terhadap keseluruhan
usaha dan pekerjaannya itu. Karena itu,
komponen inti yang pertama, yaitu
“kesadaran memiliki Tuhan” mengandung
subkomponen yang jumlahnya 2 (dua)
saja, yaitu: “sadar berterima kasih” dan
“sadar untuk terus berdoa/memohon” .
Kalau di atas dikatakan bahwa setiap
usaha dan pekerjaan itu terdapat andil dari
Allah SwT. Sekarang pertanyaannya
adalah “apakah Allah SwT memerlukan
bagian dari keberhasilan tersebut?” Hal ini
dijawab sendiri oleh Allah SwT lewat AlQur’an yang berbunyi (Q.s. Luqman [31]:
12): wa man yasykur fa innamaa yasykuru