Pengertian Gadai Syariah Pembahasan 1. Tinjauan Umum tentang Gadai Syariah

3

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diajukan oleh penulis adalah: 1. Bagaimakah pelaksanaan gadai dengan sistem syariah di Perum Pegadaian ? 2. Bagaimanakah prospek pegadaian syariah ?

C. Pembahasan 1. Tinjauan Umum tentang Gadai Syariah

Terbitnya PP10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP1032000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah. Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor- kantor Cabang Pegadaian Syariah Unit Layanan Gadai Syariah ULGS sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ULGS Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.

2. Pengertian Gadai Syariah

Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagaitanggungan utang. Pengertian ar- rahn dalam bahasa Arab adalah atstsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, 4 berdasarkan 20 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal.132 firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir 74 ayat 38 yaitu : “Setiap orang bertanggung jawab atas apa yarg telah diperbuatnya.” 21 Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.22 Pengertian gadai rahn secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu, makna gadai rahn dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan rungguhan. Sedangkan pengertian gadai rahn dalam hukum Islam syara adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalm 21 Rahmat Syafei, 3. Landasan Konsep Sebagaimana halnya instritusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasan yang dipakai adalah : Al-Quran Surat Al Baqarah : 283 Jika kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secara tunai sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang. Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai 5 sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya hutangnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu para saksi menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Selain itu, Syaikh Muhammad ‘Ali As-Sayis dalam Zainuddin Ali mengungkapkan bahwa rahn dapat dilakukan ketika dua pihak yang bertransaksi sedang melakukan perjalanan musafir, dan transaksi yang demikian ini harus dicatat dalam sebuah berita acara ada orang yarg menuliskannya dan ada orang yang menjadi saksi terhadapnya. Bahkan ‘Ali As-Sayis menganggap bahwa dengan rahn, prinsip kehatihatian sebenarnya lebih terjamin ketimbang bukti tertulis ditambah dengan persaksian seseorang.27 Sekalipun demikian, penerima gadai murtahin juga dibolehkan tidak menerima barang jaminan marhun dari pemberi gadai rahin, dengan alasan bahwa ia meyakini pemberi gadai rahin tidak akan menghindar dari kewajibannya. Sebab, substansi dalam peristiwa rahn adalah untuk menghindari kemudaratan yang diakibatkan oleh berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah pihak ketika keduanya melakukan transaksi utang -piutang.28 Fungsi barang gadai marhun pada ayat di atas adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima gadai murtahin meyakini bahwa pemberi gadai rahin beriktikad baik untuk mengembalikan pinjamannya marhun bih dengan cara menggadaikan barang atau benda yang dimilikinya marhun, serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya itu.29 Sekalipun ayat tersebut, secara literal mengindikasikan bahwa rahn dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal ini, bukan berarti dilarang bila dilakukan oleh orang yang menetap danatau bermukim. Sebab, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah merupakan suatu persyaratan keabsahan transaksi rahn. Apalagi, terdapat sebuah hadis yang mengisahkan bahwa Rasulullah saw. menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya, pada saat beliau tidak melakukan perjalanan. Hadis Nabi Muhammad saw Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam membuat rumusan gadai syariah adalah hadis Nabi Muhammad saw., yang antara lain diungkapkan sebagai berikut. a. Hadis Aisyah ra, yang diriwayatkan oieh Imam Muslim, yang berbunyi: 6 Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyarm berkata : keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari ‘Aisyah berkata: bahwasanya Rasulullah saw membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.30 HR.Muslim b. Hadis dari Anas bin Malik ra. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi: Telah meriwayatkan kepada kami Nashr bin Ali Al-Jahdhami, ayahku telah meriwayatkan kepadaku, meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Qatadah dari Anas berkata: Sungguh Rosulullah saw. menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan menukarnya dengan gandum untuk keluarganya.31 HR. Ibnu Majah c. Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yang berbunyi: Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Muqatil, mengabarkan kepada kami Abdullah bin Mubark, mengabarkan kepada kami Zakariyya dari Sya’bi dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, bahwasannya beliau bersabda: Kendaraan dapat digunakan dan hewan ternak dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan. Penggandai wajib memberikan nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan manfatnya.32 HR. Al-Bukhari d. Hadis riwayat Abu Hurairah ra., yang berbunyi: Barang gadai tidak boleh disembunyikan dari pemilik yang menggadaikan, baginya risiko dan hasilnya.33 HR. Asy-Syafii danAd-Daruquthni 3. Ijma Ulama Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw, yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw. tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang, Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad saw. yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. kepada mereka. 7 Fatwa Dewan Syariah Nasional Fatwa Dewan Syariah Nastonal Majelis Ulama Indonesia DSN-MUI menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah, di antaranya dikemukakan sebagai berikut. a. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25DSNMUIIII2002, tentang Rahn; b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 26DSNMUIIII2002, tentang Rahn Emas; c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 09DSNMUIIV2000 tentang Pembiayaan Ijarah; d. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 10DSNMUIIV2000 tentang Wakalah; e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 43DSNMUIVIII2004 tentang Ganti Rugi.

4. Pelaksanaan Gadai Syariah RAHN di Perum Pegadaian