Pengolahan Air limbah Secara Anaerob

5.4.2 Faktor-faktor Lingkungan yang mempengaruhi Kinerja Anaerobik

1. Komposisi Air limbah Mikroorganisme anaerobik tidak hanya mendegradasi karbohidrat, protein dan lipid, tetapi juga beberapa senyawa petrokimia seperti benzoate, asam phtalat, asam glutarat, gliserol (Sahm, 1984). Senyawa aromatic yang lebih kompleks dapat didegradasi menjadi metana misalnya : pembentukan metana dari vanillin, asam ferulat, phenol dan 4-hidroksi benzoate. Saat ini nampaknya hanya sedikit senyawa organik yang tak dapat diuraikan oleh mikroorganisme anaerobik, yaitu lignin, n-parafin, dan beberapa plastik. Pemecahan zat organik secara langsung dihubungkan dengan produksi metana. Dari 1 kg COD yang terdegradasi, kira-kira terbentuk metana 350 L. Buswell dan Mueller

mengembangkan persamaan untuk menghitung produksi metana dan CO 2 dalam biogas dari penentuan komosisi kimia limbah yang terdegradasi :

C n H a O b + (n - a/b - b/2) H 2 O  (n/2 – a/8 + b/4) CO 2 + (n/2 + a/8 –b/4) CH 4

Persamaan tersebut menunjukkan kandungan metana dalam biogas dikorelasikan langsung dengan tahap oksidasi zat organik air limbah. Sebagai contoh jika alcohol diubah menjadi biogas, maka gas akan mengandung metana sekitar 75%. Jika karbohidrat yang digunakan maka kandungan metana berkisar 50%. Untuk limbah agro industri, konsentrasi metana yang dapat dihasilkan dari substrat karbohidrat yaitu sekitar 50%, dari asam lemak 68% dan dari protein 70%. Konsentrasi metana yang teramati dari prakteknya jauh lebih tinggi dari perhitungan di atas, karena ada bagian dari CO2 yang bereaksi pada fase cair. Pada umumnya 85-95% COD keluaran air limbah agro industri dapat terbiodegradasi secara anaerobik, seperti ditunjukkan oleh neraca karbon (gambar 5.9).

Pada gambar 5.9 terlihat bahwa lebih dari 80% karbon diubah menjadi biogas dan hanya 5-10% digunakan untuk produksi biomassa. Sintesa biomassa tertinggi terjadi pada air limbah karbohidrat, sedangkan sintesa lebih rendah pada limbah asam lemak dan protein (Weiland, 1988).

Carbon in biogas

0% -9 80

Carbon in influent

Carbon in effluent

Anaerobic Reactor

5 - 15%

5 - 10%

Carbon in anaerobic

surplus sludge

Gambar 5.9 Neraca Karbon Untuk Proses Biometanasi

Pertumbuhan bakteri selain memerlukan karbon dan sumber energi juga membutuhkan garam-garam organik untuk sintesa material. Massa sel bakteri (dasar kering) mengandung : 54% karbon, 20% oksigen, 10% hidrogen, 12% nitrogen, 2% fosfor, 1% sulfur dan sisanya sodium, kalium, kalsium, magnesium, beberapa trace element seperti besi, mangan, molybdenum, Zn, Cu, Ni, dsb.

Scherer, dkk (1980) menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroorganisme metanogenesa, Methanosarcina barkeri tergantung pada Co dan molybdenum. Schoheit, dkk (1978) menemukan bahwa pertumbuhan Methanobacterium thermautotrophicum tergantung pada nikel. Pembentukan sel 1 gram berat kering memerlukan sekitar 150 nmol nikel. Nikel umumnya diperlukan untuk mikroorganisme metanogenesa. Hal ini disebabkan karena MM mengandung kofaktor Tetrapyrole nikel, F 430 yang terlibat dalam pembentukan metana (Sahm, 1984).

Air limbah biasanya mempunyai nutrien mikro dan nutrien makro. Idealnya untuk proses anaerobik kandungan C : N : P = 700 : 5 : 1 (Sahm, 1984) atau 580 : 7 : 1 (Malina, dkk, 1992). Pada umumnya air limbah industri tak mencukupi kebutuhan nutriennya dan harus ditambah dari luar sistem. Proses anaerobik umumnya membutuhkan trace element yang lebih bervariasi dibandingkan sistem aerobik. Penambahan mikro nutrien (Fe, Ni, Co, Mo) pada sistem anaerobik seringkali merupakan kunci yang penting terutama selama tahap adaptasi (Iza, 1984).

Sulfat diamati oleh beberapa peneliti merupakan penghambat bagi MM. Beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan hal tersebut :

 Sulfat Reducing Bacteria (SRB) dapat mendominasi MM di dalam substrat. Hal ini dihubungkan dengan fakta bahwa sedikit energi bebas yang berlebih dilepas selama

reduksi sulfat disbanding selama reduksi CO 2 menjadi metana.

 Penghambatan MM oleh sulfida yang terbentuk selama reduksi sulfat. Sulfat sendiri tidak cukup toksik untuk menyisihkan MM, kecuali jika konsentrasi sulfida yang larut

melebihi 200 mg/l, maka aktivitas MM akan sangat terhambat. Hanya sulfida terlarut yang menunjukkan toksisitas, karena terdapat dalam sel. Logam berat akan membentuk endapan yang sukar larut dengan sulfida, penambahan logam seperti besi memberikan kemudahan mengurangi konsentrasi sulfida terlarut. Sulfida juga data dirubah sebagai gas

H 2 S karena itu sulfida yang larut tergantung pada pH cairan dan komposisi gas. Logam-logam berat bersifat toksik bagi populasi mikroorganisme anaerobik pada konsentrasi yang sangat rendah. Toksisitas hanya mnyangkut ion logam bebas, karena itu toksisitas sangat bergantung pada anion kompleks dan pengendapan anion. Hal tersebut menyebabkan pembentukan garam sulfida menjadi penting, karena logam berat sulfida sangat sukar larut.

Solubilitas sulfida dari 3,7 x 10 -45 untuk FeS sampai 8,5 x 10 untuk CuS. Kira-kira untuk mengendapkan logam berat diperlukan 0,5 mg sulfida per mg logam berat. Jika sulfida yang

terjadi secara alami tak cukup mencegah toksisitas logam berat, sulfida ditambahkan dalam bentuk ferro sulfat. Sulfida yang berlebihan akan dikeluarkan sebagai besi sulfida. Jika penambahan logam berat masuk reaktor, logam-logam tersebut akan menarik sulfida dari besi karena besi sulfida adalah logam berat yang paling mudah larut. Selama pH di atas 6,4 maka besi akan diendapkan sebagai besi karbonat, dengan demikian mencegah terjadinya toksisitas besi terlarut. Tabel 5.11 menyajikan konsentrasi logam berat terlarut yang dapat menghambat proses anaerobik.

Tabel 5.11 Konsentrasi Logam Berat Terlarut yang Dapat Menghambat Pada Reaktor Anaerobik

Kation

Perkiraan konsentrasi (mg/L)

Fe ++ 1 – 10 Zn ++ 10 -4 Cd ++ 10 -7

Cu + 10 -12 Cu ++ 10 -16

Kloroform dan halogen lain merupakan penghambat bagi MM. Pada konsentrasi kira-kira 1 mg/l. Detergen pada konsentrasi 15 mg/l menyebabkan kesulitan pada reaktor anaerobik. Antibiotik monensin yang digunakan untuk aditif makanan ternak menyebabkan reduksi metanogenesa pada konsentrasi 1 g/l.

Untuk mencegah kegagalan proses anaerobik diperlukan identifikasi penghambat MM pada tahap awal. Parameter yang biasanya digunakan sebagai indikator penghambat.

 Penurunan 3 yield metana. Pada keadaan normal, yield metana sekitar 0,34-0,36 m CH

per kg COD yang tersisihkan pada 35 3 C atau 0,91 – 0,93 m CH

4 per karbon organik yang diubah.

 Kenaikan konsentrasi asam volatil pada keadaan normal lebih kecil dari 150 mg/l dalam reaktor. Kenaikan konsentrasi asam volatil di atas 500 mg/l menunjukkan laju pembebanan organik terlalu tinggi atau sistem telah terhambat. Kecenderungan naiknya

konsentrasi asam propionate adalah indikator yang baik bahwa MA telah terhambat.

2. Temperatur Laju reaksi proses biologi sanagt tergantung pada temperatur. Kenaikan temperatur, yang

relatif dekat dengan rentang temperatur optimum, akan meningkatkan laju pertumbuhan spesifik mikroorganisme (Grady dan Lim, 1980).

Reaksi katalis secara biologi menunjukkan tiga daerah temperatur, yaitu : temperatur minimum (reaksi paling lambat yang mungkin terjadi), temperatur optimum (laju reaksi maksimum) dan temperatur maksimum (pada temperatur yang lebih tinggi tak akan terjadi reaksi lagi). Temperatur ini tergandung pada jenis mikroorganisme, yaitu ada yang disebut

psicrophilic o (optimum pertumbuhan < 20 C), mesophilic (optimum pertumbuhan 20 – 45 C) dan o termophilic (optimum pertumbuhan > 45 C).

Laju reaksi Mm sangat tergantung pada temperatur. Laju reaksi akan bertambah dengan

kenaikan temperatur di atas 10 o C. Dua kondisi optimum terjadi pada temperatur dekat 35 C

untuk mikroorganisme o mesophilic (33 C- 42 C) (Stamps, 1989), dan antara 55-60

C untuk termophilic o (Stamps, 1989 ; Malina dan Difilippo, 1971). Pada temperatur 70 c atau di

atasnya laju pertumbuhan MM akan turun. MM pengguna asetat yaitu Methanosarcina yang bersifat termophilic disebut sebagai MethanosarcinaTM-1 , dapat pula tumbuh pada temperatur lain, karena asetat sangat baik

terdegradasi menjadi biogas pada 60 o

C. Sampai sekarang semua MM lainnya digambarkan sebagai tipe mesophilic . Walaupun kenyataan bahwa produksi gas lebih banyak diperkirakan diperoleh pada rentang thermophilic , namun sangat jarang dilakukan.

Karena memerlukan energi yang besar untuk menjaga reaktor pada temperatur yang tinggi. Selain itu mikroorganisme thermophilic sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan disbanding mikroorganisme mesophilic .

Sistem anaerobik sebaiknya dioperasikan pada temperatur yang dijaga konstan. Fluktuasi ini tidak boleh melebihi 2 o C per hari (Mossey, 1980). Temperatur yang konstan diperlukan

karena perbedaan kelaukan dari tiga grup trofik. MA lebih cepat menyesuaikan terhadap perubahan kondisi daripada MM. Hal tersebut menyebabkan akumulasi produk asam-asam organik. Akibatnya akan terjadi ketidakseimbangan yang dapat menjurus pada kegagalan proses. Mempertimbangkan hal tersebut maka temperatur yang seragam lebih penting daripada menjaga temperatur yang memberikan laju maksimum.

3. Hubungan pH dan Asam Volatil Pertumbuhan mikroorganisme proses anaerobik sangat dipengaruhi pH. Hal ini akan

berpengaruh pada produksi gas metana. MM pengguna hidrogen sangat sensitif terhadap perubahan pH. Pada umumnya pertumbuhan MM akan terjadi pada rentang yang relatif dekat dengan pH optimum.

Proses konversi anaerobik pada umumnya beroperasi optimal pada ph mendekati netral. Pada pengamatan salah satu spesies MM dalam digester, rentang pertumbuhan menunjukkan pH dari 6,5 hingga 7,7 (Grady dan Lim, 1980). Rentang pH optimal pada pengolahan air limbah adalah pada pH 6 hingga 8. Hal ini disebabkan MM mempunyai pH optimum 6 hingga 8 untuk pertumbuhannya.

Penyimpangan dari kondisi pH optimum antara lain disebabkan oleh umpan dari substrat, produksi yang berlebihan dan akumulasi dari produk asam atau basa seperti asam-asam lemak organik.

Percobaan dilakukan dengan mengamati pengaruh substrat yaitu format terhadap MM pengguna hidrogen. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa MM hampir seluruhnya terhambat pada pH di bawah 6,2. Aktivitas mikroorganisme hidrogen menurun pada pH sedikit asam (6,3 hingga 6,6). Beberapa masalah akan timbul bila pH turun di bawah 6,5 (Sahm, 1984). Hal ini disebabkan asam-asam lemak berakumulasi menyebabkan turunnya pH. Ketika pH mencapai 4,5 maka tak ada gas metana yang diproduksi, karena pada pH 4,5 MM yang mungkin rusak tak dapat diperbaiki lagi.

Gangguan ph biasanya ditandai dengan kenaikan asam-asam volatil secara mencolok kesetimbangan dapat dikembalikan dengan cara merduksi laju umpan reaktor beberapa hari atau dengan penambahan senyawa-senyawa alkali seperti Ca(OH) 2 . Konsentrasi asam-asam volatil dan alkalinitas selama proses anaerobik tergantung konsentrasi dan komposisi air limbah. Pada air limbah yang lebih encer maka asam volatil dan alkalinitas relatif lebih Gangguan ph biasanya ditandai dengan kenaikan asam-asam volatil secara mencolok kesetimbangan dapat dikembalikan dengan cara merduksi laju umpan reaktor beberapa hari atau dengan penambahan senyawa-senyawa alkali seperti Ca(OH) 2 . Konsentrasi asam-asam volatil dan alkalinitas selama proses anaerobik tergantung konsentrasi dan komposisi air limbah. Pada air limbah yang lebih encer maka asam volatil dan alkalinitas relatif lebih

volatil sebagai asam asetat dibanding alkalinitas sebagai CaCO 3 disarankan lebih kecil dari 0,1 (Sahm, 1984).

5.4.3 Bioreaktor Anaerob dan Penerapannya

Beberapa sistem pengolahan air limbah yang memenfaatkan proses anaerobik disajikan pada gambar 5.10. Reaktor saringan anaerobik ( Anaerobic Filter Reactor ) mirip dengan saringan percik aerobik. Lapisan biomassa tumbuh pada permukaan medium penunjang dengan aliran air dapat dari atas atau bawah. Proses kontak anaerobik reaktor mirip dengan sistem lumpur aktif,

terdiri dari sebuah reaktor kemudian diikuti dengan tangki pengendap ( clarifier ) dan sebagian dari lumpur dibalikkan ke dalam reaktor. Reaktor unggun-terfluidisasi anaerobik ( anaerobic fluidize-bed reactor ) menggunakan pasir sebagai media penunjang pertumbuhan mikroorganisme. Aliran dari bawah ke atas, sehinggga bioparticle (pasir + lapisan luar mikroorganisme) berada dalam keadaan terfluidisasi. Upflow Anaerobik-Sludge Blanket (UASB) agak mirip dengan unggun terfluidisasi, hanya saja tidak diperlukan media penunjang. Mikroorganisme anaerobik membentuk gumpalan ( floc ) yang menyerupai selimut ( blanket ).

Pada umumnya, reaktor unggun-terfluidisasi adalah sistem yang paling efisien, tetapi juga paling mahal. Tabel 5.13 memperlihatkan kinerja ( performance ) reaktor unggun terfluidisasi dengan reaktor saringan dan UASB untuk air limbah dengan konsentrasi 13.700 mg COD/l yang berasal dari pabrik kertas.

Efisiensi pengurangan COD untuk proses anaerobik berkisar antara 85-90%. Tetapi yang perlu dicatat adalah aliran masuk ke dalam reaktor mengandung COD yang tinggi, sehingga aliran keluar belum memenuhi standar yang ada, untuk itu diperlukan pengolahan lebih lanjut, misalnya dengan proses aerobik. Penggunaan sistem anaerobik pada pengolahan limbah industri disajikan pada tabel 5.12.

Anaerobic Filter Offgas Reactor

Effluent Packed Bed

Effluent recycle

Wastewater

Anaerobic Contact

Solid recycle

Effluent Fluidized bed (sand)

Effluent recycle

Wastewater

Upflow Anaerobic

Offgas

Sludge Blanket (UASB)

Effluent

Sludge blanket Wastewater

Gambar 5.10 Berbagai Jenis Reaktor Yang Digunakan Untuk Mengolah Air

Limbah Secara Anaerobik

Tabel 5.12 Penggunaan Proses Anaerobik dalam Skala Industri

AF DSFF

act

Alcohol distillery

Beet sugar

Brewery

Cellulose condensate

Chemical

Citric acid

Confectionery

Domestik sewage

Enzyme manufacture

Fish processing

Guar gum

Landfill leachate

Meat processing