Eksplorasi Harmful Algal Blooms (Habs) Dan Hubungannya Dengan Karakteristik Lingkungan Di Perairan Pesisir Sumatera Selatan

(1)

EKSPLORASI HARMFUL ALGAL BLOOMS (HABs) DAN

HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK LINGKUNGAN

DI PERAIRAN PESISIR SUMATERA SELATAN

RIRIS ARYAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Eksplorasi Harmful Algal Blooms (HABs) dan Hubungannya dengan Karakteristik Lingkungan di Perairan Pesisir Sumatera Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016 Riris Aryawati


(4)

RINGKASAN

RIRIS ARYAWATI. Eksplorasi Harmful Algal Blooms (HABs) dan Hubungannya dengan Karakteristik Lingkungan di Perairan Pesisir Sumatera Selatan. Dibimbing oleh DIETRIECH G BENGEN, TRI PRARTONO dan HILDA ZULKIFLI.

Perairan pesisir Sumatera Selatan merupakan wilayah perairan yang banyak bermuara sungai besar yang berperan penting dalam roda kehidupan masyarakat Sumatera Selatan. Hal ini akan mempengaruhi organisme dan biota yang ada di dalam perairan. Salah satunya adalah fitoplankton yang berperan sebagai produsen primer dalam tingkatan rantai makanan pada perairan tersebut. Apabila suatu perairan mendapat masukan nutrien yang terlalu tinggi sehingga menjadikan kondisi perairan terlalu subur (eutrofikasi), hal ini dapat menimbulkan ledakan fitoplankton yang pada akhirnya akan mengganggu ekosistem perairan. Ledakan fitoplankton ini dikenal dengan istilah Harmful Algal Bloom (HABs).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik perairan pesisir Sumatera Selatan, mengetahui jenis, kelimpahan dan sebaran fitoplankton, mendeterminasi sebaran fitoplankton potensial HABs dan mendeterminasi hubungan antara fitoplankton penyebab HABs dengan karakteristik lingkungan menurut dimensi ruang dan waktu di pesisir Sumatera Selatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik perairan pesisir Sumatera selatan memiliki variasi yang luas karena letak stasiun yang terletak di muara sungai dan di laut, juga karena faktor musim yang berbeda. Hasil analisis PCA memperlihatkan bahwa pada saat pasang, salinitas, fosfat dan pH menjadi penciri pada stasiun 7. Kekeruhan, nitrat dan silikat menjadi penciri pada stasiun 9. Pada saat surut hasil analisis komponen utama menunjukkan suhu menjadi penciri di stasiun 1, 3 dan 9. PH menjadi penciri di stasiun 7. Fosfat dan kekeruhan menjadi penciri pada stasiun 9 dan stasiun 10.

Hasil penelitian ini menemukan 52 genera fitoplankton, yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae (29 genera), Dinophyceae (8 genera) Cyanophyceae (7 genera) and Chlorophyceae (8 genus). Jumlah genera tertinggi dijumpai pada bulan November (24 genera) saat surut, dan terendah pada bulan Mei saat pasang (16 genera). Kelimpahan tertinggi dijumpai pada bulan Agustus dan September, dan terendah pada bulan Mei. Diindikasikan terdapat 19 genus fitoplankton yang dimungkinkan dapat membahayakan lingkungan perairan apabila berada dalam jumlah yang sangat tinggi (blooming). Delapan bersifat toksik, yang dapat memproduksi racun yang menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia yang mengkonsumsinya (Nitszchia, Alexandrium, Dinophysis, Protoperidinium, Prorocentrum, Anabaena, Microcystis dan Oscillatoria) dan sebelas tidak bersifat toksik tetapi merupakan alga yang dapat menyebabkan berbagai efek merusak pada ekosistem perairan, termasuk mengakibatkan kekurangan oksigen pada perairan dan menyumbat insang ikan karena bentuk selnya yang tajam dan berantai banyak (Bacteriastrum, Chaetoceros, Coscinodiscus, Dytilum, Odontella,

Rhizosolenia, Skeletonema, Thalassiosira, Thalassiothrix, Ceratium dan

Noctiluca). Hasil penelitian mengindikasikan bahwa telah terjadi blooming Skeletonema pada bulan Juli, Agustus dan September pada semua stasiun,


(5)

Chaetoceros pada bulan Agustus stasiun 4, dan Noctiluca pada bulan November stasiun 1.

Hasil analisis koresponden (CA), memperlihatkan hubungan antara kelimpahan genera fitoplankton potensial HABs dengan faktor lingkungan. Kelimpahan Skeletonema saat pasang dipengaruhi oleh silikat yang tinggi, nitrat, fosfat dan pH yang rendah. Kelimpahan Chaetoceros dipengaruhi oleh kekeruhan dan silikat yang rendah, suhu, pH, DO, fosfat dan nitrat yang tinggi. Noctiluca

dipengaruhi oleh salinitas yang tinggi. Saat surut kelimpahan Skeletonema

dipengaruhi oleh konsentrasi nitrat, fosfat dan silikat yang tinggi, serta suhu, salinitas, pH dan DO yang rendah. Kelimpahan Chaetoceros sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, pH dan DO yang tinggi serta nitrat, fosfat, silikat yang rendah.

Analisis diskriminan menunjukkan bahwa terdapat parameter pembeda pada kondisi pasang dan surut. Parameter tersebut adalah adalah suhu, kekeruhan, arus, salinitas, pH, fosfat, silikat, Skeletonema dan Chaetoceros.

Kata kunci: karakteristik perairan, fitoplankton, HABs, perairan pesisir Sumatera Selatan


(6)

SUMMARY

RIRIS ARYAWATI. Exploration of Harmful Algal Blooms ( HABs ) and Its Relationship with Characteristics of Coastal Water Environment in South Sumatra. Supervised by DIETRIECH G BENGEN, TRI PRARTONO dan HILDA ZULKIFLI.

The South Sumatra coastal water is the mouth place of some large rivers that have important roles in daily activities and life of South Sumatra people. These activities will affect biota in water column including phytoplankton, the important biota in top level of aquatic food chain. While a water get high nutrient input that cause eutrofication, it might harmful to aquatic ecosystem due to the blooming of phytoplankton. The phenomenon of algae blooming is known as

Harmful Algal Bloom (HABs).

This study aimed to investigate the characteristics of South Sumatera coastal water, species identification, abundance and distribution of phytoplankton, to determine the distribution of potential HABs phytoplankton and its relation with aquatic environment caharacteristics based on spasiotemporal aspects of South Sumatera coastal.

The results indicated that the characteristics of the South Sumatra coastal water have wide variations because of the location of the stations are distributed widely from the mouth of the river to the sea, and also due to the different seasons. The PCA analysis showed that at high tide condition, salinity, phospate and pH characterized station 7. At low tide, temperature was the main characteristic of stations 1, 3 and 9, then pH characterized station 7. Stations 9 and 10 were caharacterized by phospate and turbidity.

This study found 52 genera of phytoplankton, consisted of Bacillariophyceae (29 genera), Dinophyceae (8 genera), Cyanophyceae (7 genera) and Chlorophyceae (8 genera). The highest number of genera at low tide was found at November (24 genera) and at May during high tide condition (16 genera). The highest abundance of phytoplankton occured at August and September, and lowest at May.

There were 19 potential HABs consisted of 8 toxic genera (Nitzschia,

Alexandrium, Dinophysis, Protoperidinium, Prorocentrum, Anabaena,

Microcystis and Oscillatoria) and 11 potential harmful genera (Bacteriastrum,

Chaetoceros, Coscinodiscus, Dytilum, Odontella, Rhizosolenia, Skeletonema, Thalassiosira, Thalassiothrix, Ceratium and Noctiluca). The highest number of HAB genera at high tide occured at July and lowest at April, and the highest abundance was found at August and lowest at March. At low tide, the highest and lowest number of HAB genera occured at October and January respectively, then the highest abundance found at August and lowest at March.

The spasiotemporal analysis by PCA indicated that Microcystis, Nitzschia, Odontela, Bacteriastrum and Dytilum characterized stations 3, 5, 6, 8, 9, and 10 at July. During August and September showed the highest abundance of

Thalassiosira, Coscinodiscus, Rhizosolenia, Protoperidinium, Chaetoceros, Thalassiothrix and Skeletonema. At high tide, Anabaena, Thalassiosira, Thalassiothrix, Skeletonema, Chaetoceros, and Protoperidinium have the highest


(7)

abundance at stations 6 and 7 at July, August and September. At stations 2, 5 and 7 during July, and station 2 during August and September were characterized by

Nitzschia, Odontela, Coscinodiscus, Odontela and Dytilum. Station 9 at August was characterized by Dinophysis and Bacteriastrum. During November, stasiun 1 was characterized by the highest abundance of Noctiluca.

Furthermore, the CA analysis showed that the abundance of Skeletonema

was influenced significantly by high concentration of nitrate, phosphate and silicate, but low temperature, salinity , DO and pH at high tide. The abundance of

Chaetoceros and Noctiluca were affected substantially by low nitrate, phosphate and silicate, but high temperature, salinity , pH and DO. At low tide, Skeletonema

is affected by high concentration of nitrate, phosphate and silicate, but low temperature, salinity, pH and DO. Abundance of Chaetoceros strongly influenced by high temperature, salinity, pH and DO but low nitrate, phosphate, and silicate.

Discriminant analysis shows that there are distinguishing parameters on the condition of high tide and low tide. These parameters are is temperature, salinity, turbidity, currents, phosphat, silicate, pH, Skeletonema and Chaetoceros. Keywords: aquatic characteristics, phytoplankton, HABs, South Sumatera Coastal


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

RIRIS ARYAWATI

EKSPLORASI HARMFUL ALGAL BLOOMS (HABs) DAN

HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK LINGKUNGAN


(10)

Ujian Tertutup:

Penguji Luar Komisi: 1. Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA 2. Prof Dr Ir Muhammad Zainuri, DEA Sidang Promosi Terbuka:

Penguji Luar Komisi: 1. Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA 2. Prof Dr Ir Muhammad Zainuri, DEA


(11)

(12)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur dipersembahkan kepada Allah SWT dan sholawat serta salam untuk Nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya. Rasa syukur penulis sampaikan atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema dalam penelitian adalah ekologi fitoplankton potensial HABs, dengan judul Eksplorasi Harmful Algal Blooms (HABs) dan Hubungannya dengan Karakteristik Lingkungan di Perairan Pesisir Sumatera Selatan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech Geoffrey Bengen, DEA, Bapak Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc, dan Ibu Prof. Dr. Hilda Zulkifli, DEA, yang dengan penuh kesabaran dan ketulusan hati telah membimbing penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA dan Bapak Prof Dr Ir Muhammad Zainuri, DEA selaku anggota luar komisi yang telah berkenan menyumbangkan buah pikiran untuk memperkaya tulisan ini. Terima kasih kepada seluruh jajaran IPB, Rektor, Dekan Pascasarjana, Dekan FPIK, Ketua Program Studi IKL dan seluruh dosen IPB yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di instansi ini.

Terima kasih kepada Rektor Universitas Sriwijaya, Dekan FMIPA, Ketua Program Studi Ilmu Kelautan dan seluruh rekan-rekan dosen beserta staf UNSRI, khususnya Heron Surbakti, M.Si, Tengku Zia Ulqodry, M.Si, Ph.D dan Isnaini, M.Si atas bantuan dan dukunganya selama ini serta mahasiswa Kelautan UNSRI yang telah membantu di lapangan. Penghargaan dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan seperjuangan di IPB (Pak Tumpak, Wike, Iwan, Meutia, Khalid), semoga ilmu yang kita dapatkan bermanfaat bagi masyarakat luas dan menjadi ladang ibadah untuk kita semua ke depan.

Ungkapan terima kasih dan penghargaan secara khusus, penulis sampaikan kepada suamiku tercinta Suhartono, ST, MSi dan anak-anakku Sayyid Muhammad Umar Al-Haris, M. Ivan Samudera dan Rishanda Auliya Puteri serta Ayahandaku Bapak H. Jalaludin dan Bapak Soekar (Alm), Ibunda Sutini (Almh), Ibunda Pariyem (Almh) dan Ibunda Sunarsih serta ayah dan ibu mertuaku Bapak H.BS Soegeng (Alm), Ibu Hj. Tuminah (Almh) dan Ibu Hj. Zuraidah, juga untuk adik-adikku tercinta (Om Dian, Om Yoyok, Umi, Abi, Bunda, Bunda Icha, Bulik Uci dan Om Rus) serta seluruh keluarga, atas segala pengorbanan, doa dan kasih sayangnya.

Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan Allah SWT meridhoiNya. Amin.

Bogor, Agustus 2016


(13)

! "

# $

% $

& ' $

( ) & *

! +% + *

+% + , + ++ *

+ - + . ' ' /

" & & ) & 0 ) ) ) 1- 1

& ) ) ) )

,

, +,

, ' "

) % "2

$ ) & 0 ) ) ) 1- 1

1 & 1 1 ) ) ) )

) ) "3

, "3

, +, "/

, ' $4

) % *

* & & & 1 & 1 ) )

) ) ) ) *"

, *"

, +, *$

, ' **

) % 5

5 ) 5"

2 ) ) 24

) % 24

) 2

) & 2

2/ 6 7


(14)

( -! # +% + % . ' ' , % ,+ 2

& ! , # +% + , % ,+ 3

" ' % 8+ + ! , # +% + , ' ' /

$ , ' % $4

* ( , % # +% + %+ % , %

% % 9 4" : -"; $*

5 ( , % # +% + %+ % , %

% 9 4" : -"; $5

2 ( , % # +% + %+ % , % '

% % 9 4" : -"; $2

3 ( , % # +% + %+ % , % '

% 9 4" : -"; $3

/ 9 % ; *3

4 9 % ; *3

9 % ; *3

9 % ; */

" 9 %+ ; 54

$ 9 %+ ; 54

* 9 %+ ; 54

5 9 %+ ; 54

+ , ) )

) ' % - 94<; % % 9 ;

, % 9 ; ' % $

" ) ' %+ 94<; % % 9 === ;

, % 9- - -; % *

$ ) ' % - 9% ; % %

9 ; , % 9 ; ' % 5

* ) ' %+ 9% ; % % 9 === ;

, % 9- - -; % 2

5 ) ' % - 9 ; , % %

9 ; , % 9 ; ' % 3

2 ) ' %+ 9 ; % 9 === ;

, % 9- - -; % /

3 ) ' - % , % 9 ; , % 9 ;

8 % ' % 4

/ ) ' %+ % % % 9 === ;

, % 9- - -; %

4 ) ' % - + 9 1; 9 : - ; , %

9 ; , % 9 ; ' %

) ' %+ + 9 1; 9 : - ; % %

9 === ; , % 9- - -; % "

) ' % - 8 % 9 :, - ; , %


(15)

" ) ' %+ 8 % 9 :, - ; , % %

9 === ; , % 9- - -; % *

$ ) ' % - + 9 : - ; , %

9 ; , % 9 ; ' % 2

* ) ' %+ + , % %

9 === ; , % 9- - -; % 3

5 ) ' % - + #+ # 9 : - ; , %

9 ; , % 9 ; ' % /

2 ) ' %+ + #+ # 9 : - ; , % %

9 === ; , % 9- - -; % "4

3 ) ' % - + 9 : - ; , %

9 ; , % 9 ; ' % "

/ ) ' + 9 : - ; , % %

9 === ; , % 9- - -; % "

4 & , ' + 9 1 , <1 ; 9 : - ; , %

) ' > % "$

& , ' + 9 1 , <1 ; 9 : - ; , %

) . ' > % "$

& , ' + 9 : - ; 1 9 ; , <1 9 ;

, % % ) ) > % "*

" + %+ ' % # - %

, % % % "5

$ + %+ ' % # - %

, % % "2

* & % # +% + % , % %

% 9 ; , 9' > ; $

5 & % # +% + % , % % 9 === ;

, % 9- - -; 8 %+ $"

2 + %+ , % %

*4

3 + %+ , % %

) *

/ # < , % # % % *5

"4 # < , % # % *2

% % 2/

% % 34

" % % 3

$ % % % 3

* % + 9 1; % 3"

5 % 8 % % 3$

2 % % 3*

3 % #+ # % 35

/ % % 32

4 & % + # +% + 9 : -"; > %


(16)

& % + # +% + 9 : -"; > %

' % 4 " /4

" & % + # +% + 9 : -"; > %

' % 4 " % /

$ & % + # +% + 9 : -"; > %

' 4 " /

* & % + # +% + 9 : -"; > %

' 4 " % /"

5 & % + # +% + 9 : -"; > %

' ( 4 " /$

2 & % + # +% + 9 : -"; > %

' ( 4 " % /*

3 & % + # +% + 9 : -"; > %

' ( 4 " /5

/ & % + # +% + 9 : -"; > %

' ( 4 " % /2

4 & % + # +% + 9 : -"; > %

' 4 " /3

& % + # +% + 9 : -"; > %

' 4 " % //

& % + # +% + 9 : -"; > %

' ) % ' 4 " 44

" & % + # +% + 9 : -"; > %

' ) % ' 4 " % 4

$ & % + # +% + 9 : -"; > %

' 1 +' 4 " 4

* & % + # +% + 9 : -"; > %

' 1 +' 4 " % 4"

5 & % + # +% + 9 : -"; > %

' +? ' 4 " 4$

2 & % + # +% + 9 : -"; > %

' +? ' 4 " % 4*

3 & % + # +% + 9 : -"; > %

' ' 4 " 45

/ & % + # +% + 9 : -"; > %

' ' 4 " % 42

"4 & % + # +% + 9 : -"; > %

' ( 4 $ 43

" & % + # +% + 9 : -"; > %

' ( 4 $ % 4/

" & % + # +% + 9 : -"; > %

' ' 4 $ 4

"" & % + # +% + 9 : -"; > %


(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fitoplankton merupakan organisme yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan suatu perairan. Peran fitoplankton di perairan salah satunya sebagai produsen utama dalam rantai makanan. Fitoplankton di laut mempunyai peranan penting sebagai pembentuk dasar dari rantai makanan (food-chain) dan

bertanggung jawab dalam produksi primer (primary production).

Dalam keadaan normal fitoplankton sangat dibutuhkan oleh organisme pada tingkatan trofik di atasnya, tetapi apabila berada dalam jumlah yang sangat besar akan membahayakan. Hal inilah yang disebut sebagai Harmful Algal Blooms

(HABs). Graneli and Turner (2006) mendefinisikan Harmful Algae sebagai alga

yang dapat menyebabkan berbagai efek merusak pada ekosistem perairan, termasuk mengakibatkan kekurangan oksigen pada perairan, menyumbat insang ikan, atau keracunan akibat mengkonsumsi fitoplankton yang mengandung racun. Dampak langsung dari beberapa Harmful Algae adalah kekurangan oksigen di

perairan dalam, yang pada gilirannya, menyebabkan kematian massal hewan bentik dan membunuh ikan.

Blooming fitoplankton dapat menyebabkan kematian ikan akibat

kekurangan oksigen, pembusukan atau produksi biotoksin seperti PSP (Paralytic Shellfish Poisoning), Ciguatera, tetradotoksin, DSP (diarrhetic shellfish poisoning), NSP (neurotoxic shellfish poisoning), dan ASP (amnesic shellfish

poisoning) (Wiadnyana 1997; Graneli and Turner 2006). Jika manusia

mengkonsumsi ikan yang mengandung biotoksin, dapat mengalami keracunan bahkan kematian. Di samping itu adanya produk perikanan yang mengandung toksin dapat pula menyebabkan kerugian materi yang sangat besar bagi petambak dan nelayan (Mulyasari et al. 2003).

Racun-racun tersebut sangat berbahaya karena diantaranya menyerang sistem saraf manusia, pernapasan, dan pencernaan. Semua penyakit di atas berkaitan dengan konsumsi biota air khususnya kerang oleh manusia. Dan faktanya, semua jenis fitoplankton penghasil senyawa beracun di atas umumnya dapat dijumpai di perairan pesisir Indonesia (Praseno dan Sungestiningsih 2000). Lebih lanjut dinyatakan ada 37 spesies fitoplankton yang berpotensi HABs di perairan Indonesia. Sebagai contoh, menurut Setiapermana (1992), produksi biotoksin seperti PSP banyak dihasilkan oleh fitoplankton jenis Pyrodinium bahamense var compressum, di mana jenis ini merupakan jenis fitoplankton dari

daerah tropis. Hal ini menjadikan perairan di Indonesia, termasuk di perairan pesisir Sumatera Selatan berpotensi besar dapat dijumpai jenis fitoplankton toksik ini. Littik (1994) menyatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang rawan terhadap serangan “red tide”. Salah Satu kejadian “red tide” terbaru di wilayah Indonesia adalah di Teluk Lampung. Ledakan alga dari jenis Cochlodinium polykrikoides ini mulai terlihat pada

pertengahan bulan Oktober 2013 dan telah menyebabkan kematian massal ikan-ikan di wilayah tersebut. Cochlodinium polykrikoides merupakan fitoplankton

penyebab HABs yang baru ditemukan saat ini sebagai penyebab blooming

sepanjang sejarah HABs di Indonesia. Jenis ini sering ditemukan blooming di


(18)

Di Pesisir Sumatera Selatan, berdasarkan hasil penelitian Aryawati et al.

(2005) ditemukan beberapa jenis fitoplankton penyebab HABs, yaitu Ceratium sp, Pseudonitzschia sp, dan Skeletonema sp. Pada tahun 2006 di perairan Sungai

Musi terjadi peristiwa keracunan ikan secara massal yang oleh masyarakat setempat dinamakan “ikan mabok”. Penyebab keracunan ikan tidak diketahui secara pasti. Berdasarkan penelitian Isnaini et al. (2011) pada perairan Muara

Banyuasin yang dilakukan pada tahun 2005 dijumpai salah satu jenis fitoplankton penyebab HABs yakni jenis Gonyoulax sp dan kelimpahan tertinggi diatom yang

ditemukan dari seluruh stasiun pengamatan pada kedua musim yaitu genera

Skeletonema. Hasil penelitian Surbakti et al. (2011) ditemukan juga dua jenis

diatom berpotensi HABs (Pseudonitszchia dan Skeletonema) dan empat jenis

dinoflagellata toksik yaitu Ceratium, Dinophysis, Gymnodinium dan Pyrodinium. Perumusan Masalah

Pesisir Sumatera Selatan merupakan wilayah bermuaranya empat sungai besar di Sumatera Selatan, yaitu Sungai Musi, Sungai Mesuji, Sungai Lalan dan Sungai Banyuasin. Perairan ini dimanfaatkan manusia untuk berbagai macam kegiatan, salah satunya adalah kegiatan menangkap/ mencari ikan oleh nelayan. Masyarakat umumnya dan nelayan khususnya memanfaatkan perairan ini untuk memenuhi kebutuhan hidup. Potensi sumber daya laut di daerah ini cukup besar antara lain ikan, udang dan kerang. Berdasarkan data dari BPS Sumatera Selatan (2011) produksi perikanan laut dari tahun 2006 sampai tahun 2010 terjadi peningkatan dari 35.484,4 ton menjadi 40.936 ton.

Peningkatan penduduk yang terjadi di Sumatera Selatan akan menimbulkan dampak yang tidak kecil pada wilayah pesisir. Data dari BPS Sumatera Selatan (2011) menyatakan bahwa selama kurun waktu 2002-2010 terjadi peningkatan jumlah penduduk di Sumatera Selatan dari 6.430.188 menjadi 7.450.394 orang. Pertambahan penduduk yang cepat ini menyebabkan peningkatan kegiatan di segala sektor, antara lain industri, transportasi, penangkapan maupun budidaya. Dampak dari meningkatnya aktivitas manusia ini akan berakibat pada tingginya limbah yang dihasilkan. Apabila limbah yang dihasilkan tinggi akan memicu pertumbuhan fitoplankton dengan cepat. Apabila hal ini didukung oleh faktor lingkungan lain seperti suhu yang tepat, tersedianya oksigen, dan intensitas cahaya yang sesuai maka ledakan fitoplankton bisa saja terjadi. Ledakan fitoplankton ini dikenal dengan istilah Harmful Algal Blooms

(HABs). Hasil studi di perairan Hongkong menunjukkan adanya korelasi positif antara bertambahnya jumlah manusia dengan frekuensi kejadian ledakan blooming

alga (Lam and Ho 1989 dalam Hallegraeff 1995).

Pemicu utama terjadinya HABs adalah ketika suatu perairan mendapat masukan nutrien yang terlalu tinggi sehingga menjadikan kondisi perairan terlalu subur (eutrofikasi). Hal ini lebih lanjut menimbulkan ledakan fitoplankton termasuk juga fitoplankton toksik. Perairan pesisir Sumatera Selatan sebagai muara dari empat sungai besar merupakan urat nadi kegiatan industri, pertanian, aktifitas rumah tangga, dan budidaya perikanan di Sumatera Selatan yang kesemuanya berpotensi menghasilkan limbah organik pemicu eutrofikasi perairan menjadikannya juga sangat rentan akan timbulnya bencana Harmful Algal


(19)

3 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terlihat kecenderungan adanya peningkatan jumlah spesies HABs yang ditemukan dan juga kelimpahannya, hal ini didukung dengan adanya peningkatan konsentrasi nutrien pada setiap penelitian. Adanya jenis-jenis fitoplankton yang ditemukan di pesisir Sumatera Selatan yang dapat menimbulkan HABs dan adanya kecenderungan peningkatan jumlah spesies dan kelimpahan akan mengakibatkan kekhawatiran akan bencana ini.

Bila HABs terjadi di wilayah ini maka dapat menimbulkan kematian massal ikan karena terjadi penyumbatan insang atau kekurangan oksigen. Akan lebih berbahaya lagi apabila HABs yang terjadi ditimbulkan oleh jenis fitoplankton toksik yang dapat terakumulasi pada kerang maupun organisme laut lainnya sehingga dapat menimbulkan keracunan pada manusia yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang fitoplankton yang mempunyai peranan penting sebagai pembentuk dasar dari rantai makanan (food-chain) khususnya keberadaan fitoplankton berbahaya yang

dapat mengganggu keastabilan ekosistem perairan dan juga kesehatan manusia. Hal ini perlu dilakukan mitigasi sejak dini karena ada kecenderungan peningkatan spesies fitoplankton penyebab HABs, baik yang bersifat toksik maupun non toksik. Keadaan ini didukung oleh semakin tingginya kandungan hara di perairan oleh buangan limbah karena adanya aktivitas manusia yang terus bertambahseiring dengan bertambahnya populasi manusia, dan aktivitas tersebut akan terus meningkat di masa mendatang sesuai dengan laju pembangunan saat ini. Kondisi perairan pesisir Sumatera Selatan yang rentan terhadap blooming fitoplankton memerlukan adanya suatu penelitian untuk mendapatkan informasi tentang jenis, kelimpahan serta pola sebaran fitoplankton berbahaya (dari dimensi waktu dan ruang). Hal ini dilakukan sebagai deteksi awal keberadaan fitoplankton penyebab HABs yang ada di pesisir Sumatera Selatan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi fitoplankton yang berpotensi menyebabkan Harmful Algal Bloom (HABs) dan hubungannya dengan

karakteristik lingkungan di Perairan Pesisir Sumatera Selatan. Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengkaji karakteristik perairan pesisir Sumatera Selatan menurut dimensi ruang dan waktu

2. Mengetahui jenis, kelimpahan dan sebaran fitoplankton di pesisir Sumatera Selatan dalam ruang dan waktu.

3. Mendeterminasi sebaran spasio-temporal fitoplankton potensial HABs di perairan pesisir Sumatera Selatan secara spasio-temporal

4. Mendeterminasi hubungan antara fitoplankton penyebab HABs dengan karakteristik lingkungan


(20)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi awal bagi pengelolaan wilayah pesisir, khususnya potensi blooming fitoplankton di

perairan pesisir Sumatera Selatan sehingga dapat dilakukan tindakan-tindakan yang diperlukan agar tidak terjadi dampak merugikan bagi manusia.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi:

a. Pengukuran kandungan nutrien (nitrat, fosfat dan silikat)

b. Pengukuran kandungan bahan organik dari sungai yang masuk ke wilayah pesisir

c. Pengamatan dan pengukuran komunitas fitoplankton (identifikasi dan kelimpahan jenis).

d. Pengukuran parameter fisik-kimia oseanografi lainnya.

Kebaruan Penelitian

Fitoplankton potensial HABs (Chaetoceros, Skeletonema, dan Noctiluca)

ditemukan pada musim berbeda yang sangat berkaitan dengan kualitas perairan.

Chaetoceros dan Skeletonema sangat melimpah pada saat surut di bulan Juli,

Agustus dan September. Skeletonema melimpah pada saat konsentrasi nitrat,

fosfat dan silikat perairan yang tinggi, serta suhu, salinitas, pH dan DO yang rendah; sedangkan Chaetoceros melimpah pada saat suhu, salinitas, pH dan DO

yang tinggi serta konsentrasi nitrat, fosfat, silikat perairan yang rendah dan arus yang lemah. Noctiluca melimpah di bulan November saat pasang dengan suhu,

salinitas, pH dan DO yang tinggi serta konsentrasi nitrat, fosfat, silikat perairan yang rendah dan arus yang lemah.


(21)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Umum Fitoplankton

Fitoplankton berkaitan erat dengan komponen plankton autotrofik yang hanyut di kolom air. Kata fitoplankton berasal dari bahasa Yunani dari kata phyton yang berarti "tumbuhan" dan plankton yang berarti "pengembara" atau "hanyut". Kebanyakan fitoplankton terlalu kecil dilihat dengan mata telanjang. Tetapi jika fitoplankton tersedia dalam jumlah yang sangat besar, kehadiran mereka dapat menimbulkan perubahan warna yang berbeda-beda pada perairan (discoloration of the water).

Walaupun banyak kelompok alga yang dikategorikan sebagai fitoplankton, secara umum di perairan hanya didominasi oleh 3 kelompok utama fitoplankton saja, yakni: Diatom, Cyanobacteria dan Dinoflagellata. Menurut Nybakken (1992) diatom (Bacillariophyceae) dan dinoflagellata (Dinophyceae) merupakan kelompok utama fitoplankton di laut. Diatom adalah golongan tumbuh-tumbuhan bersel tunggal yang mempunyai kulit yang mengandung silika (siliceous).

Fitoplankton ditemukan di seluruh samudera, danau dan laut yang terdapat di bumi. Meskipun demikian, secara lokal kelimpahan fitoplankton bervariasi secara horisontal, serta secara vertikal bervariasi menurut waktu setiap tahunnya. Kelimpahan dan distribusi fitoplankton sangat tergantung pada faktor-faktor seperti nutrien, parameter fisik kolom air, dan kelimpahan dari plankton yang lain. Secara umum, penyebab utama variasi sebaran fitoplankton adalah ketersediaan cahaya. Keberadaan fitoplankton di lautan sangat dipengaruhi oleh input energi matahari (kecuali yang melakukan kemosintesis). Dengan kata lain variasi kelimpahan cahaya secara geografis dan musim merupakan pembatas bagi produksi primer di lautan. Penyebab adanya variasi kelimpahan fitoplankton adalah ketersediaan nutrien (zat hara). Meskipun lautan-lautan di daerah tropik dan subtropik melimpah akan cahaya matahari, tetapi kawasan ini bisa dikatakan miskin akan ketersediaan nutrien-nutrien seperti nitrat, fosfat dan silikat. Fenomena miskin nutrien (poor nutrient) ini dapat diatasi bila terjadi proses

pengadukan (turbulent), up-welling, dan proses sirkulasi massa air laut lainnya

Di permukaan perairan plankton cenderung terdapat jumlah yang melimpah di sepanjang kolom airnya. Di lapisan dalam di mana tidak terjadi produktifitas primer, maka zooplankton dan bakterioplankton mengganti (instead)

makanannya dengan material organik yang tenggelam dari lapisan permukaan. Fenomena perubahan terus menerus (flux) material organik yang tenggelam

(organic material sinking) ini di daerah subtropis dapat disusul oleh suatu

fenomena yang dikenal dengan nama spring blooms (ledakan musim semi).

Fitoplankton dan Fenomena AlgalBloom

Blooming alga (algal bloom) adalah suatu proses peningkatan populasi

alga plankton (fitoplankton) secara cepat di dalam suatu perairan. Tidak ada ambang batas yang jelas tentang jumlah alga di saat terjadinya blooming. Andersen (1996) menyatakan bahwa blooming atau ledakan populasi


(22)

fitoplankton mencapai suatu kepadatan tertentu yang dapat membahayakan organisme di laut ataupun mengakibatkan terjadinya akumulasi toksin dalam tubuh organisme. Mulyasari et al. (2003) menjelaskan bahwa blooming terjadi

jika jumlah kelimpahan fitoplankton pada saat itu melebihi jumlah rata-rata fitoplankton per bulannya. Widiarti (2000) menemukan blooming Skeletonema

pada bulan Agustus dengan kelimpahan lebih dari 180.106 sel.m-3 kemudian

diikuti Pyrodinium (Oktober) dengan kelimpahan lebih dari 80.106 sel.m-3. Pada

bulan-bulan lainnya kelimpahan kedua jenis ini kurang dari 20. 106 sel.m-3

(Skeletonema) dan kurang dari 5. 106 sel.m-1 (Pyrodinium). Pada perairan Teluk

Ambon telah terjadi beberapa kali blooming alga pada bulan-bulan tertentu.

Sidabutar (2006) menyatakan bahwa telah terjadi blooming Trichodesmium erythraeum pada bulan Juli 1996 dengan kelimpahan 3.107sel.m-3 dan blooming Alexandrium pada bulan Oktober 1997 dengan kelimpahan 2.109 sel.m-3.

Penelitian yang dilakukan Pednekar (2012) di estuaria Mandovi dan Zuari, Indiamenyatakan telah terjadi ledakan populasi Skeletonema dengan jumlah sel

1,3.104 sel.m-3.

Beberapa peneliti mendefinisikan HABs sebagai suatu fenomena blooming

fitoplankton di suatu perairan yang dapat menyebabkan kematian biota lain dan juga perubahan struktur komunitas ekosistem perairan, keracunan dan kematian pada manusia. Toksin yang dihasilkan HABs dapat mengkontaminasi manusia melalui perantara kerang dan ikan.

Hallegraeff (1995) mengelompokkan HABs menjadi tiga tipe:

1. Tipe yang umumnya membuat perubahan warna pada air, membahayakan biota laut akibat terjadinya penurunan oksigen terlarut. Contoh: dinoflagellata

Gonyaulax polygramma, Noctiluca scintillans, Scrippsiella trochoidea,

cyanobacterium Trichodesmium erytrhraeum.

2. Tipe yang dapat menghasilkan racun dan membahayakan manusia. Contoh: dinoflagellata Alexandrium acatenella, A. Tamarense, Gymnodinium catenatum, Pyrodinium bahamense, Dinophysis acuta, D. acuminata, D. rotundata, Prorocentrum lima, diatom Pseudo-nitzschia multiseries, P. Australis, cyanobacteria Anabaena circinalis, Nodularia spumigena.

3. Tipe yang tidak membahayakan manusia tetapi membahayakan biota laut, karena merusak dan menyumbat sistem pernafasan (insang). Contoh: diatom

Chaetoceros convolutus, dinoflagellata Gymnodinium mikimotoi

Graneli and Turner (2006) menyatakan bahwa dari 5000 spesies fitoplankton yang ada, diketahui sejumlah 300 dapat mengakibatkan HABs dan 80 jenis yang dapat memproduksi racun. Pada saat blooming ini, beberapa spesies dinoflagellata merupakan penghasil neurotoxins, suatu senyawa yang dalam

jumlah tertentu dapat membunuh ikan-ikan, terakumulasi di dalam organisme filter feeders seperti shellfish, yang nanti pada gilirannya akan sampai kepada

manusia yang mengkonsumsinya.

Menurut Praseno dan Sugestiningsih (2000) terdapat 37 jenis fitoplankton yang memiliki potensi HABs di perairan Indonesia. Beberapa spesies fitoplankton penyebab HABs di perairan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Sidabutar (2006) mencatat telah terjadi blooming fitoplankton di perairan Indonesia

sebanyak 16 kejadian pada kurun waktu 1983 sampai 2005. Penyebab blooming


(23)

7 Cyanophyta. Beberapa contoh kejadian blooming fitoplankton secara lebih

lengkap disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1. Jenis-jenis fitoplankton penyebab HABs di perairan Indonesia

No Spesies No Spesies

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Dinoflagellata Alexandrium affine Alexandrium cohorticula Alexandrium tamiyavanichi Ceratium fusus Ceratium tripos Dinophysis acuminate Dinophysis acuta Dinophysis caudate Dinophysis miles Dinopysis rotundata Gambierdiscus toxicus Gonyaulax diegens Gonyaulax polyedra Gonyaulax polygramma Gonyaulax spinifera Gymnodinium catenatum Gymnodinium impudicum Gymnodinium pulchellum Noctiluca scintillans Ostreopsis lenticularis 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 Ostreopsis ovata Prorocentrum convacum Prorocentrum emarginatum Prorocentrum lima Prorocentrum micans Prorocentrum microcepHalus Prorocentrum triestinum Pyrodinium bahamense var compressum Raphydophyta Chatonella antique Chatonella subsalsa Diatom Chaetoceros socialis Chaetoceros convulotus Chaetoceros concavicorne Pseudonitzschia pungens Thalassiosira mala Cyanophyta Trichodesmium erythraeum Trichodesmium thiebautii

Sumber: Praseno dan Sugestiningsih (2000)

Pada Tabel 2 terlihat bahwa di perairan Indonesia kejadian blooming

sering terjadi antara bulan Juli sampai dengan Januari. Selama kurun waktu 12 tahun (1983-2005) di perairan Indonesia telah terdeteksi fitoplankton yang sering mengalami blooming adalah dari kelompok Dinoflagellata (Pyrodinium bahamense var compressum, Noctiluca scintillans dan Alexandrium sp), satu jenis

dari kelompok Cyanophyta (Trichodesmium erythraeum) dan satu jenis dari

kelompok diatom (Skeletonema). Dampak yang ditimbulkan oleh blooming alga

ini dapat berakibat kerugian pada lingkungan, kerugian finansial bahkan

kematian pada manusia.

Pertumbuhan alga yang berlebihan dapat mengganggu proses makan-memakan pada jaring makanan. Alga yang mati dan tenggelam ke dasar perairan akan merangsang pertumbuhan dekomposer, terutama bakteri. Proses pembusukan oleh dekomposer dapat mengakibatkan penurunan kadar oksigen pada lapisan air yang lebih dalam, dimana kondisi ini akan mengakibatkan terbunuhnya ikan-ikan atau adanya penggantian (replacement) oleh organisme-organisme yang lebih

toleran terhadap kadar nutrien yang terlalu tinggi dan kadar oksigen yang rendah. Kejadian terkini dari blooming alga di Indonesia terjadi di perairan Teluk

Lampung. Ledakan alga dari jenis Cochlodinium polykrikoides ini terlihat pada

pertengahan bulan Oktober 2013 dan telah menyebabkan kematian massal ikan-ikan budidaya di karamba jaring apung milik Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut. Umumnya blooming fitoplankton terjadi melalui suksesi beberapa

jenis fitoplankton. Valiela (1984) mendefinisikan suksesi sebagai proses pergantian satu komunitas dengan komunitas lainnya secara bertahap dan berurutan, dimana selain terjadi perubahan lingkungan juga terjadi perubahan pada komposisi dan keanekaragaman jenis.


(24)

Tabel 2. Kejadian blooming fitoplankton di perairan Indonesia

Tahun Kejadian

Lokasi Bloomingfitoplankton dan biota target Dampak November 1983 Agustus 1985 Juli 1987 Januari 1988

April s/d

November 1991 Januari 1995 Juli 1995 Juli 1996 Agustus 1996 Oktober 1997

Oktober s/d

November 1999 September 1999 Mei 1999 Oktober 2000 November 2004 Juni 2005 Selat Lewotobi, Flores Timur Teluk Kao Ujung Pandang Nunukan, Pulau Sebatik selatan Kaltim Pantai Lampung Timur, Pulau Pari Kepulauan Seribu Pantai Binaria Ancol Teluk Ambon Teluk Ambon Teluk Ambon Teluk Ambon Pulau Pari Kepulauan Seribu Perairan Kaltim Muara emberamo Irian Jaya Sulawesi Utara Teluk Jakarta Pantai Ancol, Marina

Pyrodinium bahamense var compressum

Ikan Selar

Pyrodinium bahamense var compressum

Pyrodinium bahamense var compressum

Kerang Meritrix meritrix

Pyrodinium bahamense var compressum

Kerang-kerangan

Trichodesmium erythraeum

Noctiluca scintillans

Pyrodinium bahamense var compressum

Kerang-kerangan

Trichodesmium erythraeum Noctiluca scintillans

Alexandrium sp

Trichodesmium erythraeum

Trichodesmium erythraeum Trichodesmium erythraeum Trichodesmium erythraeum

Skeletonema dan Noctiluca

Noctiluca scintillans

Keracunan 240 orang, meninggal 4 orang Tidak ada yang korban, ikan langka

4 orang meninggal Keracunan 65 orang, 2 meninggal

Kematian massal udang windu, bandeng dan biota yang hidup di dasar Kematian massal ikan Keracunan 33 orang, 2 meninggal Ikan langka Ikan langka Ikan langka Ikan langka Ikan langka Ikan langka Ikan langka

Kematian massal ikan-ikan dan biota lainnya Kematian massal ikan-ikan dan biota lainnya

Sumber: Sidabutar (2006)

Di pesisir Sydney, Australia, pada periode tahun 1978-1979 pernah terjadi

blooming fitoplankton, yang diawali dengan ledakan diatom berukuran kecil yang

membentuk rangkaian (Skeletonema, Thalassiosira, Leptocylindrus, Asterionella)

diikuti dengan diatom berukuran besar (Eucampia, Detonula, Lauderia) dan

terakhir ledakan dinoflagellata (Protoperidinium, Ceratium) (Rissik et al. 2009).

Di perairan Teluk Hurun, Lampung,pernah dilakukan penelitian serupa, diperoleh hasil bahwa blooming dimulai oleh Skeletonema (Agustus) kemudian

diikuti Pyrodinium (Oktober) dan diakhiri oleh Chaetoceros (November)

(Widiarti 2000). Hasil penelitian Widiarti (2000) menunjukkan bahwa

Skeletonema berkorelasi positif dengan fosfat di perairan, sedangkan Pyrodinium

dengan salinitas dan kandungan nitrat yang tinggi, serta dekat dengan areal mangrove, Chaetoceros menyukai salinitas yang rendah. Beberapa kejadian


(25)

9 Tabel 3. Beberapa contoh kejadian blooming fitoplankton di berbagai negara.

Tahun Kejadian Lokasi Penyebab blooming Pustaka

Sering terjadi pada bulan November-Desember

Morobe Harbour,

Papua New Guinea P. bahamense Maclean (1977)

Hampir setiap tahun

terjadi Laut Cina Umumnya dari jenisGymnodinium sp.,

Noctiluca scintillans, Skeletonema costatum

Yan et al. (2002)

Juli 2002 dan bertahan

beberapa bulan Pantai Lido Johor Bahru, Malaysia Prorocentrum minimum Rozirwan (2010)

Dimulai tahun 1981,

sampai 1996 Perairan Korea Karenia mikimotoi, Cochlodinium

polykrikoides

Kim (2010)

Faktor-Faktor Penyebab HABs

Banyak penyebab blooming alga antara lain akibat aktivitas manusia,

masukan nutrien yang berlebih, akibat kegiatan pertanian dan budidaya perairan,

over fishing, air ballast dan kemungkinan juga oleh adanya pengaruh perubahan

iklim global (Anderson et al. 2002). Sellner, et al. (2003) menyatakan bahwa blooming dari suatu organisme didasarkan pada dua faktor utama yaitu proses

alami, seperti sirkulasi air dan aliran sungai, dan faktor non alami yaitu adanya aktivitas manusia yang menyebabkan pemasukan antropogenik ke wilayah perairan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Lebih lanjut beberapa ahli

menyatakan bahwa keberadaan spesies HABs berkaitan dengan kondisi cuaca yang mempengaruhi parameter perairan seperti salinitas, suhu, arus, konsentrasi nutrien, pola musim, dan juga geomorfologi suatu wilayah (Tan et al. 2006 dan

Tilstone et al. 1994 dalam Pednekar et al. 2012).

Maclean (1977) dan Pednekar et al. (2012) menyatakan bahwa hujan

mempunyai peranan penting dalam distribusi spatiotemporal spesies alga berbahaya. Lebih lanjut Pednekar et al. (2012) menyatakan bahwa kelimpahan

spesies HAB berkaitan dengan peningkatan nutrien yang masuk ke perairan pesisir yang berasal dari muara sungai dan tingginya nutrien di wilayah ini merupakan hasil dari kegiatan antropogenik. Panggabean (1994) menyatakan bahwa umumnya red tide terjadi di perairan yang mengalami penyuburan

(eutrophic) sangat tinggi. Penyuburan dapat berasal dari limbah daratan atau

karena perubahan musim. Di negara subtropis penyuburan terjadi pada musim panas. Kenaikan suhu air laut, mengakibatkan naiknya nutrien dari dasar perairan dan selanjutnya terjadi pengadukan. Di negara tropis perubahan suhu tidak terlalu nyata. Penyuburan mungkin terjadi pada musim hujan. Kim (2010) memberikan gambaran bahwa blooming fitoplankton di perairan laut Korea dapat terjadi

apabila suhu air berkisar antara 24-26°C dan salinitas antara 32-33 psu.

Menurut Muawanah et al (2013) pada blooming di Teluk Hurun, Lampung

ditandai dengan peningkatan konsentrasi DIN terlebih dahulu dan terjadi penurunan secara tajam oleh karena pemanfaatan C. polykrikoides untuk


(26)

blooming. Lebih lanjut Muawanah et al (2013) menyatakan bahwa konsentrasi

DIN pada saat blooming C. polykrikoides diperoleh antara 0,016-1,219 mg.L-1 dan

ortho-fosfat antara 0,001 dan 0,150 mg.L-1. Hasil pengukuran parameter

lingkungan lainnya berturut-turut, salinitas 30-32 psu, suhu 27,9-29,8 °C, DO 4,30-5,64 mg.L-1 dan pH 7,45-7,99. Kim (2010) menyatakan bahwa blooming

fitoplankton C. Polykrikoides di perairan laut Korea dapat terjadi apabila suhu air

berkisar antara 24-26 °C dan salinitas antara 32-33 psu. Hal ini dapat diartikan bahwa C. Polykrikoides ternyata memiliki toleransi yang tinggi untuk blooming


(27)

3 KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS

SPASIO-TEMPORAL LINGKUNGAN PERAIRAN

PESISIR SUMATERA SELATAN

Pendahuluan

Perairan pesisir merupakan kawasan yang sangat penting untuk berbagai aktifitas pembangunan, seperti perikanan, pariwisata, industri dan sebagainya. Menurut Simanjuntak (1998), suatu perairan laut dapat dikatakan kaya akan sumberdaya perairan jika perairan tersebut memiliki kesuburan yang tinggi yang dapat dilihat dari produktifitas perairannya yang terkait erat dengan keberadaan fitoplankton. Semakin banyak fitoplankton pada suatu perairan maka semakin besar pula daya dukungnya bagi kehidupan komunitas penghuninya, sebaliknya fitoplankton yang sedikit menunjukkan daya dukung yang rendah pula. Keberadaan fitoplankton sangat dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia suatu perairan, terutama suhu, cahaya dan nutrien.

Menurut Anderson et al (2002), Domingues (2005), Lionard et al (2005),

Harrison dan William (2008), Hasini et al (2012) nutrien adalah salah satu faktor

yang harus tersedia agar proses fotosintesis dapat berlangsung. Nitrat dan fosfat terlarut dianggap penting bagi organisme perairan, karena di dalam perairan sedikit sekali tetapi dibutuhkan oleh organisme perairan, sehingga menjadi faktor pembatas. Di sisi lain, kadar nutrien yang sangat tinggi dan melebihi kebutuhan normal organisme nabati akan menyebabkan keadaan lewat subur (eutrofikasi)

yang akan merangsang timbulnya blooming sehingga menyebabkan kematian

organisme-organisme perairan akibat keadaan air yang anaerob.

Kejadian seperti itu dapat terjadi di perairan tempat bermuaranya sungai-sungai yang mengangkut limbah industri maupun yang berasal dari aktifitas manusia lainnya sehingga dampaknya akan mempengaruhi ekosistem perairan tersebut. Demikian halnya dengan perairan pesisir Sumatera Selatan yang merupakan tempat bermuara dari beberapa sungai yang ada di Sumatera Selatan. Beberapa peneliti terdahulu, Aryawati et al. (2005) menjumpai kandungan nutrien

yang terukur sebesar 0.015 – 0.145 mg.L-1 (nitrat) dan 0,003 – 0,054 mg.L-1

(fosfat) dan saat itu ditemukan Ceratium sp dengan total kelimpahan 476 sel.m-3, Pseudonitzschia sp 1,3.103 sel.m-3 dan yang tertinggi adalah jenis Skeletonema sp

dengan kelimpahan 1,3.106 sel.m-3. Pada saat itu suhu berkisar 29-320 C dan

faktor lingkungan yang lain masih mendukung untuk pertumbuhan fitoplankton. Hasil penelitian Surbakti et al. (2011) ditemukan juga beberapa jenis

fitoplankton yang berpotensi mengakibatkan HABs, ada dua jenis diatom berpotensi HABs (Pseudonitszchia dan Skeletonema) dan empat jenis

dinoflagellata toksik yaitu Ceratium, Dinophysis, Gymnodinium dan Pyrodinium.

Konsentrasi nitrat yang terukur pada penelitian ini berkisar antara 2.8 – 21.30 mg.L-1, fosfat berkisar antara 0.01 – 2.25 mg.L-1, dan konsentrasi ammonia 0 –

0.05 mg.L-1.

Berkaitan dengan hal ini maka perlu dilakukan suatu penelitian tentang kondisi fisika kimia perairan pesisir Sumatera Selatan menurut dimensi ruang dan waktu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang distribusi nilai-nilai parameter yang diamati sebagai dasar untuk pengelolaan perairan pesisir Sumatera Selatan.


(28)

Bahan dan Metode Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Bulan Maret 2013 sampai Februari 2014 di Perairan pesisir Sumatera Selatan (Gambar 1) pada saat pasang dan surut pada sepuluh titik pengamatan untuk mendapatkan pola sebarannya dari segi dimensi ruang.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Pesisir Sumatera Selatan

Desain Penelitian

Penelitian dilakukan selama satu tahun di perairan pesisir Sumatera Selatan. Penelitian ini meliputi pengumpulan data kondisi kualitas lingkungan perairan termasuk pengukuran beban masukan bahan organik dari sungai ke laut (hal ini penting dilakukan karena nutrien yang diperlukan oleh fitoplankton berasal dari proses degradasi bahan organik).

Pengumpulan data parameter perairan (suhu, salinitas, kekeruhan, arus, pH, DO, nutrien) dilakukan setiap bulan selama satu tahun. Pengukuran beban masukan bahan organik dari sungai ke laut dilakukan empat kali dalam satu tahun yang mewakili musim.

Penentuan Lokasi Pengambilan Contoh

Penentuan lokasi pengambilan contoh (stasiun) ditentukan secara dipilih dengan pertimbangan dasar perairan yang tidak rata, pengaruh arus dari sungai ke arah laut, dengan asumsi bahwa air dari sungai akan membawa zat-zat nutrien yang kemudian akan terakumulasi di perairan pesisir sebelum jauh menyebar ke arah laut dan adanya perbedaan tingkat salinitas secara horisontal.


(29)

13

Pengambilan Contoh Air Laut dan Pengukuran Parameter Perairan

Sampel air diambil dengan water sampler lalu dimasukkan dalam botol

sampel untuk selanjutnya disimpan dalam kotak pendingin untuk dianalisa kandungan unsur haranya (nitrat, fosfat dan silikat) serta kandungan BOD dan COD. Pada saat pengambilan sampel juga dilakukan pengukuran parameter oseanografi secara in situ seperti suhu, salinitas, pH, turbiditas, oksigen terlarut

yang dilakukan dengan menggunakan CTD, pengukuran arah dan kecepatan arus dengan current meter.

Pengukuran Bahan Organik

Pengambilan sampel dan pengukuran bahan organik (BOD dan COD) dilakukan pada dua sungai di Sumatera Selatan yaitu Sungai Musi dan Sungai Banyuasin saat surut pada empat musim yang berbeda. Pengukuran BOD menggunakan metode langsung dengan DO meter yang merujuk kepada SNI 6989.72:2009 (2009). Pengukuran COD menggunakan metode spektrofotometri yang merujuk pada SNI 06-6989.2-2004 (2004).

Analisis Kimia Air

Pengukuran konsentrasi nitrat, fosfat dan silikat dilakukan dengan metode spektrofotometri menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 2004).

Analisis Data

Data yang telah diperoleh selanjutnya ditampilkan dalam grafik diolah dengan menggunakan Excel. Analisis PCA Biplot digunakan untuk menentukan pengelompokan dan parameter penciri berdasarkan zona pengamatan. PCA juga bermanfaat untuk mengasosiasikan suatu peran deskriptif dalam batasan kuantitatif dan kualitatif (Bengen 2000). Dalam analisis ini, zona pengamatan menjadi objek, dan parameter-parameter lingkungan sebagai parameter. Hal ini dilakukan untuk mengamati kesamaan dan korelasi linier antara objek dan parameter yang diamati. Analisis ini dapat pula digunakan untuk mengamati variasi dari masing-masing parameter. Untuk memudahkan perhitungan dalam analisis, digunakan alat bantu perangkat lunak XLstat 2014.

Hasil dan Pembahasan Suhu

Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al. 1997).

Aryawati et al. (2005) menyatakan bahwa suhu merupakan parameter yang

mempengaruhi dan berkolerasi secara linier dengan kelimpahan fitoplankton di perairan Banyuasin Sumatera Selatan. Peningkatan suhu perairan menyebabkan penurunan kepadatan dan komposisi jenis fitoplankton (Haumahu 2004). Hasil pengukuran diperoleh gambaran bahwa suhu permukaan di lokasi penelitian berkisar antara 27,3 – 33,0 °C (surut) dan 27,6-31,89 °C (pasang) (Lampiran 1). Secara umum suhu yang lebih tinggi dijumpai pada saat surut (Gambar 2 dan Gambar 3). Hal ini karena pada saat surut massa air lebih banyak berasal dari


(30)

masukan air sungai yang biasanya memiliki suhu yang lebih tinggi dari air laut umumnya.

Gambar 2. Sebaran spasial rata-rata suhu (0C) permukaan perairan saat surut (A)

dan pasang (B) selama 12 bulan pengamatan

Selain itu proses pemanasan di perairan lebih optimal terjadi pada saat surut karena massa air yang lebih sedikit dibanding saat pasang. Pada Gambar 2 terlihat juga bahwa kisaran suhu pada stasiun 3 dan 9 memiliki rentang yang lebar, hal ini karena dangkalnya perairan di stasiun ini. Dangkalnya perairan memiliki fluktuasi yang lebar terhadap nilai suhu, karena pengukuran dilakukan setiap bulan sehingga kondisi suhu perairan sangat tergantung pada faktor musim. Bila ditinjau dari pengamatan setiap bulannya, secara umum suhu tinggi pada musim kemarau dan penghujan dan menurun pada musim peralihan (Gambar 3).

Kondisi suhu di perairan ini baik untuk pertumbuhan fitoplankton. Menurut Raymont (1963), suhu optimum untuk pertumbuhan fitoplankton pada perairan tropis berkisar antara 25 – 32 °C. Hasil ini mirip dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti lainnya di perairan Indonesia (Sidabutar 1997; Widiarti 2000; Haumahu 2004; Hadikusumah 2008; Hasani et al. 2012; Isnaini 2012;

Mulyani et al. 2012). 28 29 30 31 32

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

S

u

h

u

(

°

C)

Stasiun Pengamatan

A

28 29 30 31 32

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

S

u

h

u

(

°

C)

Stasiun Pengamatan


(31)

15

Gambar 3. Sebaran temporal suhu(°C) permukaan perairan saat surut ( ___ ) dan pasang (- - -) menurut stasiun pengamatan

26 28 30 32 34

Apr Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S uhu ( ° C ) Stasiun 9 26 28 30 32 34 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S uhu ( ° C ) Stasiun 10 26 28 30 32 34 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S uhu ( ° C ) Stasiun 7 26 28 30 32 34

Apr Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S uhu ( ° C ) Stasiun 8 26 28 30 32 34 M ar A pr Me i

Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S uhu ( ° C ) Stasiun 5 26 28 30 32 34 M ar Apr Me i

Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S uhu ( ° C ) Stasiun 6 26 28 30 32 34

AprMeiJun Jul Agt SepOktNovDes Jan Feb

S uhu ( ° C ) Stasiun 3 26 28 30 32 34 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S uhu ( ° C ) Stasiun 4 26 28 30 32 34 M ar Apr Me i

Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S uhu ( ° C ) Stasiun 2 26 28 30 32 34 M ar A pr Me i

Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S uhu ( ° C ) Stasiun 1


(32)

Salinitas

Salinitas berpengaruh terhadap penyebaran plankton, baik secara vertikal maupun horisontal (Romimohtarto dan Juwana 2004). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat curah hujan tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang rendah sedangkan perairan yang memiliki penguapan yang tinggi, salinitas perairannya tinggi. Selain itu pola sirkulasi juga berperan dalam penyebaran salinitas di suatu perairan.

Salinitas pada lapisan permukaan saat penelitian berkisar antara 0,085 – 32.629 psu (surut) dan 0,095-33,051 psu (pasang) (Lampiran 2). Secara umum kondisi salinitas di pesisir Sumatera Selatan memiliki nilai sedikit lebih tinggi pada saat pasang dibandingkan saat surut (Gambar 4 dan 5). Pada saat pasang perairan banyak dipengaruhi oleh massa air dari laut yang bersalinitas tinggi sehingga kondisi perairan memiliki salinitas yang lebih tinggi di saat pasang dibandingkan saat surut yang banyak mendapat pengaruh dari massa air sungai. Kondisi salinitas di perairan ini hampir sama dengan kondisi perairan Indonesia lainnya yang memiliki sungai-sungai besar yang bermuara di laut (Azis 2007; Isnaini 2012; Sembiring et al.

2012; Supiyati et al. 2012).

Gambar 4. Sebaran spasial rata-rata salinitas (psu) permukaan perairan saat surut (A) dan pasang (B) selama 12 bulan pengamatan

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

S

al

in

itas

(p

su

)

Stasiun Pengamatan

B 0.0

5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

S

al

in

itas

(p

su

)

Stasiun Pengamatan


(33)

17 0 5 10 15 20 25 30 35 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S al ini tas (ps u) Stasiun 10

Gambar 5. Sebaran temporal salinitas (psu) permukaan perairan saat surut ( ___ ) dan pasang (- - -) menurut stasiun pengamatan

0 5 10 15 20 25 30 35 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S al ini tas (ps u) Stasiun 1 0 5 10 15 20 25 30 35 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S al ini tas (ps u) Stasiun 2 0 5 10 15 20 25 30 35 A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S al ini tas (ps u) Stasiun 3 0 5 10 15 20 25 30 35 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S al ini tas (ps u) Stasiun 4 0 5 10 15 20 25 30 35

Mar Apr Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S al ini tas (ps u) Stasiun 5 0 5 10 15 20 25 30 35

Mar Apr Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S al ini tas (ps u) Stasiun 6 0 5 10 15 20 25 30 35

Mar Apr Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S al ini tas (ps u) Stasiun 7 0 5 10 15 20 25 30 35 A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S al ini tas (ps u) Stasiun 8 0 5 10 15 20 25 30 35 A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b S al ini tas (ps u) Stasiun 9


(34)

Kekeruhan

Nilai turbiditas pada permukaan perairan pesisir Sumatera selatan berkisar antara 11,061-418,205 NTU (surut) dan 0,163-228,145 NTU (pasang) (Lampiran 3). Pada saat surut dijumpai kondisi yang lebih keruh dibanding saat pasang, hal ini karena pengaruh material yang berasal dari daratan dan adanya pengadukan dari dasar perairan karena kondisi yang lebih dangkal dibanding pada saat pasang.

Secara umum nilai turbiditas yang besar dijumpai pada saat surut dibanding saat pasang (Gambar 6 dan Gambar 7). Nilai turbiditas berbanding lurus dengan nilai TSS (total padatan tersuspensi). Penelitian yang dilakukan Firdaus et al. (2015) di wilayah ini memperoleh hasil bahwa nilai TSS lebih tinggi

pada saat surut dibandingkan saat pasang. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kekeruhan lebih tinggi pada saat surut dibandingkan saat pasang. Hal ini disebabkan masukan dari sungai yang membawa partikel-partikel halus dan adanya proses pengadukan karena perairan lebih dangkal pada saat surut. Besarnya nilai turbiditas menunjukkan tingkat kekeruhan yang tinggi. Tingginya tingkat kekeruhan di daerah muara sungai ini disebabkan oleh banyaknya masukan dari daratan dan juga landainya daerah ini yang mengakibatkan terangkatnya sedimen dasar perairan pada saat terjadi turbulensi. Nybakken (1992) menyatakan bahwa kekeruhan akan menyebabkan penurunan penetrasi cahaya yang mengakibatkan menurunnya fotosintesis dan produktifitas primer fitoplankton.

Gambar 6. Sebaran spasial rata-rata kekeruhan (NTU) di perairan permukaan saat surut (A) dan pasang (B)selama 12 bulan pengamatan

0 50 100 150 200 250 300

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

K

e

ke

ru

h

an

(N

TU

)

Stasiun Pengamatan

B 0

50 100 150 200 250 300

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

K

e

ke

ru

h

an

(N

TU

)

Stasiun Pengamatan


(35)

19

Gambar 7. Sebaran temporal kekeruhan (NTU) perairan saat surut ( ___ ) dan pasang (- - -) menurut stasiun pengamatan

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b K e ker uhan (NT U ) Stasiun 1 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s Jan Fe b K e ker uhan (NT U ) Stasiun 2 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b K e ker uhan (NT U ) Stasiun 3 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s Jan Fe b K e ker uhan (NT U ) Stasiun 4 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b K e ker uhan (NT U ) Stasiun 5 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s Jan Fe b K e ker uhan (NT U ) Stasiun 6 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s Jan Fe b K e ker uhan (NT U ) Stasiun 7 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Apr Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b K e ker uhan (NT U ) Stasiun 8 0 50 100 150 200 250 300 350 400 A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b K e ker uhan (NT U ) Stasiun 9 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b K e ker uhan (NT U ) Stasiun 10


(36)

Derajat keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Nilai pH suatu perairan dapat mencerminkan keseimbangan antar asam dan basa dalam perairan tersebut. Nilai pH berkisar antara 10-14, pH 7 adalah batasan tengah antara asam dan basa (netral). Semakin tinggi pH suatu perairan maka makin besar sifat basanya, demikian juga sebaliknya, semakin rendah nilai pH maka semakin asam suatu perairan.

Pada penelitian ini nilai pH berkisar antara 5,85-8,98 (surut) dan 6,12-8,98 (pasang) (Lampiran 4). Secara umum pH dijumpai sedikit lebih tinggi pada saat pasang (Gambar 8 dan Gambar 9), karena pengaruh masuknya air laut yang bersifat basa. Umumnya pH di perairan laut dan pesisir berkisar antara 7,70-8,4. Nilai pH pada penelitian ini memiliki kemiripan dengan nilai pH di beberapa wilayah perairan Indonesia (Soedibjo 2006; Prianto et al. 2013).

pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya (Nybakken 1992). Nilai pH perairan merupakan parameter yang dikaitkan dengan konsentrasi karbon dioksida (CO2) dalam ekosistem. Semakin tinggi konsentrasi karbon dioksida, pH

perairan semakin rendah. Konsentrasi karbon dioksida ditentukan pula oleh keseimbangan antara proses fotosintesis dan respirasi. Fotosintesis merupakan proses yang menyerap CO2, sehigga dapat meningkatkan pH perairan. Respirasi

menghasilkan CO2 ke dalam ekosistem, sehingga pH perairan menurun. Karbon

dioksida dalam ekosistem perairan dihasilkan melalui proses respirasi oleh semua organisme dan proses perombakan bahan organik dan anorganik oleh bakteri. Romimohtarto dan Juwana (2004) menyatakan bahwa perubahan pH sedikit saja dapat menyebabkan perubahan dalam reaksi fisologis berbagai jaringan maupun pada reaksi enzim dan lain-lain.

Gambar 8. Sebaran rata-rata pH di perairan saat surut (A) dan pasang (A) secara spasial selama 12 bulan pengamatan

0 2 4 6 8 10

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

p

H

Stasiun Pengamatan

A

0 2 4 6 8 10

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

p

H

Stasiun Pengamatan


(37)

21

Gambar 9. Sebaran temporal pH permukaan perairan saat surut ( ___ ) dan pasang (- - -) menurut stasiun pengamatan

0 2 4 6 8 10 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b pH Stasiun 1 0 2 4 6 8 10 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b pH Stasiun 2 0 2 4 6 8 10 A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b pH Stasiun 3 0 2 4 6 8 10 A pr Mei Ju n

Jul Agt Sep Okt Nov De

s

Jan Fe

b pH Stasiun 4 0 2 4 6 8 10

Mar Apr Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b pH Stasiun 5 0 2 4 6 8 10

Mar Apr Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b pH Stasiun 6 0 2 4 6 8 10 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b pH Stasiun 7 0 2 4 6 8 10 A pr Me i

Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b pH Stasiun 8 0 2 4 6 8 10 A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b pH Stasiun 9 0 2 4 6 8 10 M ar

Apr Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b

pH


(38)

Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut (DO) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari fotosintesa dan absorbsi atmosfer/udara. Oksigen terlarut di suatu perairan sangat berperan dalam proses penyerapan makanan oleh makhluk hidup dalam air. Sumber utama oksigen dalam air laut adalah dari udara melalui proses difusi dan proses fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air lainnya pada siang hari. Nybakken (1992) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh temperatur dan kecerahan, semakin rendah temperatur perairan semakin tinggi kelarutannya, dengan kata lain kandungan oksigen dalam kolom air akan semakin rendah.

Kadar DO yang terukur pada penelitian ini berkisar antara 2,630-8,740 mg.L-1 (surut) dan 3,490-8,217 mg.L-1 (pasang) (Lampiran 5). Nilai ini menurut

Wardana (1995) masih cukup mendukung kehidupan organisme perairan secara normal karena memiliki nilai lebih dari 2 mg.L-1. Hasil ini juga memiliki

kemiripan dengan beberapa penelitian yang dilakukan di perairan Indonesia (Sembiring et al. 2012). Oksigen di perairan bersumber baik melalui difusi dari udara maupun dari hasil proses fotosintesis oleh organisme nabati, seperti fitoplankton dan tumbuhan air lainnya di zona eufotik. Oksigen dikonsumsi oleh tumbuhan dan hewan secara terus-menerus selama aktivitas respirasi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam air laut adalah masuknya limbah yang dalam proses penguraiannya banyak membutuhkan oksigen. Limbah jenis ini umumnya berasal dari kegiatan-kegiatan penduduk.

Gambar 10. Sebaran spasial rata-rata oksigen terlarut (DO) (mg.L-1) di perairan saat

surut (A) dan pasang (B)selama 12 bulan pengamatan

0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

D

O

(m

g

.L

-1)

Stasiun Pengamatan

B 0.0

2.0 4.0 6.0 8.0 10.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

D

O

(m

g

.L

-1)

Stasiun Pengamatan


(39)

23

Gambar 11. Sebaran temporal oksigen terlarut (DO)(mg.L-1) permukaan perairan

saat surut ( ___ ) dan pasang (- - -) menurut stasiun pengamatan

0 2 4 6 8 10 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b D O (m g .L -1) Stasiun 1 0 2 4 6 8 10 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b D O (m g .L -1) Stasiun 2 0 2 4 6 8 10 A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b D O (m g .L -1) Stasiun 3 0 2 4 6 8 10 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b D O (m g .L -1) Stasiun 4 0 2 4 6 8 10 M ar A pr M e i

Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b D O (m g .L -1) Stasiun 5 0 2 4 6 8 10 M ar A pr Me i

Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b D O (m g .L -1) Stasiun 6 0 2 4 6 8 10 M ar A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b D O (m g .L -1) Stasiun 7 0 2 4 6 8 10 A pr

Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s Jan Fe b D O (m g .L -1) Stasiun 8 0 2 4 6 8 10 A pr

Mei Jun Jul Ag

t Se p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b D O (m g .L -1) Stasiun 9 0 2 4 6 8 10

Mar Apr Mei Jun Jul Ag

t S e p O k t

Nov De

s

Jan Fe

b D O (m g .L -1) Stasiun 10


(1)

( )*(

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

! ! $ $ ! $ $ " "! $ # $

$ $ $ $ $ $ $ $ # # $

" " ! $ $ $ " # $ $ $ $

# $ $ ## # " " "# $ # "# " "

! " "! ! " " $ # # # !

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ ! ! $ $ ! $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

! $ $ $ $ ! $ ! $ $ $

" $ $ $ " " $ $ $ $ $ $

" $ " " $ $ $ $ $ $ $ $

# $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

# $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ # " "! $ $

% & # # " ! " "# $ " "# ! ! # #

' $ $ $ $ " " $ $ $ ! $

( ) $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( * $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

+ & ! $ $ $ $ $ $ $ $ !

,* ! # "# " " !!# # !! " !!# "# ! !

, $ ! $ $ $ $ $ $ ! $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

- " "! " " # # " " "# " " "## # # # $ # #

- . " " # # " $ $ " " $ ! $ # # " $

- $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

)*(

. $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ " " $ ! ! ! $ " "# ! " "

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% $ $ $ $ " " " " " # ! " " $

( $ $ $ $ $ ! ! $ $ $

( $ " " $ ! $ $ $ $ ! $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

+) )*(

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( * $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, ) $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ ! $

+* )*(

/ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

' $ $ $ $ $ $ $ $ $ $


(2)

!

!

.

*

- *

*

$

/

0

2

! "

! # $ % & '

( )*(

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ " "! " $ $ $ ! $ " "

" "# ! " # " "! ! " " $ ! " " " "

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" " $ ! $ ! $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

! $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" ! " " $ $ $ $ $ " " $ $

# $ " " $ $ $ $ $ $ $ $

# $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ # # $ $ $ $ $ $ $

% & # # " ! " # " "# " " $ " " ! $

' $ $ $ $ $ $ $ $

( ) $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( * $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

+ & ! $ $ $ $ $ $ $ !

,* ! ! """ " # ! !# "# $ " # ! " "! !

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ " " $ $ $ $

- ! !# # " " " "# " "# $ ! # # #

- . " # # " " "# " " $ $ " "# # $

- $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

)*(

. $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

! # # $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ ! # # $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

+) )*(

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( * $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, ) $ $ $ $ $ $ $ " " $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

+* )*(

/ $ $ $ $ # $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

' $ $ $ $ $ $ $ $ $ $


(3)

( )*(

$ $ $ ! $ ! $ ! $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

! " " $ $ $ $ $ $ $ $

! ! ! ! $ $ " "# # # " " "# " "#

# " "# " " " " ! # ! " "

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ ! $ $ $ " " ! $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

! $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ " " $

# $ $ $ $ ! $ $ $ $ $

# $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% & ! " " ! " "! # # ! # " " "# " "

' $ $ " " " " $ $ ! " "

( ) $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( * $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

+ & $ $ $ ! " " " " $ " " $

,* " ## # ! #! !# ! ! # "# "# " # #!

, $ $ $ $ $ $ $ ! $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

- # " ! # # !! # " "## # ! " "##

- . " "! " " " "# " "! # # ! ! " # ! " "!

- $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

)*(

. $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

!! " "# # $ ! $ " " # $

$ ! $ $ $ $ $ $ $ $

% $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ ! $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

+) )*(

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ !

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ ! $

( * $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, ) $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

+* )*(

/ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

' $ $ $ $ $ $ $ $ $ #


(4)

!

.

*

- *

*

$

/

0

6 0

! "

! # $ % & '

( )*(

! $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ # $ $ $ $ $ $ $ $

$ " # ! ! # # " # # " " $

! ! " # " " $ ! # # $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

! " " $ $ ! ! $ ! $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

! $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

# $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

# $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% & " # ! $ $ ! " " $ " " "! #

' " " $ $ $ $ " " $ " " $ !

( ) $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( * $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

+ & " " ! $ # $ $ $ $ ! " #

,* "! #! ! " "! ! ! # ! ! $ !

, $ $ $ $ $ $ $ $ " " " "

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

- # "# !! " # # " "! " " " $ $

- . ! ! ! # # # # # " # ! ! $ $

- $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

)*(

. $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" " " " $ $ $ " " $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ ! $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

+) )*(

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( * $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, ) $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ !

+* )*(

/ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ "! # ! $ !

% $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

' $ " ! $ " !!# ! $ $ $ $ $


(5)

( )*(

! ! $ ! $ $ $ ! " " $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

! $ " # ! $ $ " !!# ! $

$ $ $ " " $ # # " "## ! $ $

$ " # $ " " ! " "## ! $ $ $

" # ! # # " "# ! " "! " "# # # " "# " "#

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

! " " $ $ $ # ! ! " " $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

! $ $ $ ! $ $ ! $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ ! $ $ $ $

# " " $ $ ! $ $ $ $ $ $

# $ $ # # " $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% & !! " # ! ! " "! ! " # ! " " "! $ $

' ! " " ! " " ! ! " "# $ ! " "

( ) ! $ $ $ $ $ $ $ $ $

( * $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

+ & ! $ $ " " # " "# # " "

,* ! ! ! ! # " !# ! # # " # "# " ! !

, " " ! ! ! " " $ ! $ $ !

, $ ! $ $ $ $ $ $ $ $

- ! # " " ! " ! # " " # ! # "! !

- . "# " "## #! " " ! " " " ! # # !!

- $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

)*(

. $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

# $ ! $ ! $ $ $ " "

$ $ $ $ $ $ $ $ ! $

% $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( ! $ $ $ ! " " $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

+) )*(

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

( * $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, ) $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

, $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

+* )*(

/ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

" $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

$ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

% $ $ $ $ $ $ $ $ $ $

' $ # ## "# ! ## "# ! ! ! ## $ $ $


(6)

, - . /

0

&

,

, 1 ,

2 /

(

,

2

# ,

7

2

,

,

0

8

&

,

,

0

,

&

, ,

8

,

,

" , & *

, 9

.

6

&

,

9

.

) 4

5 *

* *

,

& ,

!!"

,

, & *

, 9

.

*

& +

8

9

&

%* * ,

7

,

!!

.

8

*

,* *

, & *

, 9

.

9

&

%* * ,

*

,

!

%

/

, ,

+

8

,

*

,

5

*

2

,

&

, ,

(

%&& $59.(9 :

0

9 ,*

&

0

8

0

-

8

, & *

, 9

.

) 4

/ 8 7

8

!!

% ,

7

8 ,

8 / 0

0 *

* *

7

0

,

,

,

8 ,

;

"

0

)

1

,

,

<

0

, ;

0 * 2

3

=*

'*

(

! #

$ 0 8 ,

;

(

*

0

)

4

0 ,

,

3

,

,

*

5 4

,

67

2