Income Distribution Inequality in West Sumatera and The Related Factors

KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
DI SUMATERA BARAT
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

PUTRI IRINA MAYANG SARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ketimpangan Distribusi
Pendapatan di Sumatera Barat dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Putri Irina Mayang Sari
NIM H151114031

RINGKASAN
PUTRI IRINA MAYANG SARI. Ketimpangan Distribusi Pendapatan di
Sumatera Barat dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi. Dibimbing oleh SRI
MULATSIH dan IDQAN FAHMI.
Ketimpangan distribusi pendapatan merupakan masalah yang sering kali
menjadi topik penting karena kecenderungannya yang terus mengalami
peningkatan. Provinsi Sumatera Barat memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi
yang relatif tinggi, walaupun demikian provinsi ini juga mengalami masalah
peningkatan nilai Gini ratio yang berarti terjadi peningkatan ketimpangan
distribusi pendapatan. Adanya ketimpangan distribusi pendapatan dikhawatirkan
akan menyebabkan banyak permasalahan tidak hanya masalah ekonomi tetapi
juga masalah sosial bahkan politik. Untuk mengurangi ketimpangan distribusi
pendapatan di Sumatera Barat dapat dilakukan melalui pengurangan ketimpangan
distribusi pendapatan di tingkat Kabupaten/Kota karena otonomi daerah ada di
tingkat Kabupaten/Kota.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kondisi ketimpangan
distribusi pendapatan di tingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat sejak tahun
2006 sampai 2011. Selanjutnya, penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor
yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat. Hasil
analisis menggunakan perhitungan Gini ratio menunjukkan bahwa ketimpangan
distribusi pendapatan di tingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat sejak tahun
2006 sampai 2011 mengalami kecenderungan peningkatan. Regresi data panel
2006 sampai 2011 digunakan untuk memperoleh faktor-faktor yang memengaruhi
ketimpangan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi, pengeluaran
pemerintah untuk belanja pegawai dan gempa bumi terbukti memperburuk
terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan, sedangkan share sektor industri
terhadap PDRB, tenaga kerja sektor industri, pengeluaran pemerintah untuk
belanja non pegawai dan pertumbuhan penduduk dapat mengurangi terjadinya
ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat.
Rekomendasi kebijakan yang dapat disarankan dari penelitian ini adalah,
pertama, pemerintah tetap mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang
berbasis pada pemerataan melalui kontribusi sektor industri yang dominan dan
pengeluaran pemerintah untuk pembangunan. Kedua, mendorong sektor industri
terutama industri padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja lebih besar.
Ketiga, mengupayakan masyarakat memperoleh pendidikan dan menyediakan

sarana dan prasarana yang layak agar seluruh masyarakat memiliki kesempatan
yang sama dalam memperoleh pendidikan dan meningkatkan kemampuan untuk
dapat bekerja di sektor industri. Keempat, lebih fokus pada peningkatan
pengeluaran pemerintah non-belanja pegawai terutama untuk transfer sosial dan
pengeluaran publik. Kelima, menciptakan program pertumbuhan penduduk yang
lebih produktif. Seperti mencanangkan program, adanya sarjana pada setiap
keluarga miskin. Terakhir, mempersiapkan mekanisme bantuan dan transfer sosial
yang tepat sasaran ketika terjadi bencana. Efektifitas bantuan dan transfer sosial
juga harus dipertajam melalui evaluasi dan pengawasan.
Kata kunci: ketimpangan, distribusi pendapatan, Sumatera Barat

SUMMARY
PUTRI IRINA MAYANG SARI. Income Distribution Inequality in West
Sumatera and The Related Factors. Supervised by SRI MULATSIH and IDQAN
FAHMI.
Income distribution inequality is a problem that often becomes important
due to its tendency to have an increase. Province of West Sumatera has relatively
high economic growth, however, this province also experiencing an increase in
Gini ratio value which means income distribution inequality. Income distribution
inequality is feared to cause many problems, not only economical but also socio

politic. Income distribution inequality in West Sumatera can be reduced by
reduction of income distribution inequality in Regencies/Municipalities level due
to regional autonomy.
The objective of this research is to analyze income distribution inequality in
Regencies/Municipalities level from 2006 to 2011. Moreover, this research also
analyzes factors affecting income distribution inequality in West Sumatera.
Analysis result using Gini ratio calculation suggests that income distribution
inequality in Regencies/Municipalities level in West Sumatera from 2006 to 2011
tends to increase over the year. Panel data regression from 2006 to 2011 is used to
obtain factors affecting income distribution inequality. Economic growth,
government’s spending on personal expenditure and earthquake are proved to
have negative effect on income distribution inequality, while industrial sector’s
share towards GRDP (Gross Regional Domestic Product), workers on industrial
sector, government’s spending on non-personal expenditure and population
growth can reduce income distribution inequality in West Sumatera.
As for policy recommendation from this research; First, The government to
keep pursue economic growth which is based on equity through dominant
contribution in industrial sector and government’s spending on development.
Second, to push industrial sector especially in labor intensive part that is able to
absorb more workers. Third, to provide adequate education and infrastructure to

the people so that everyone has equal opportunity in getting income. Fourth, to
focus more on increment of government’s spending on non-personal expenditure
especially for social transfer and public spending. Fifth, to create more productive
population growth program, such as initiating a program to have one college
graduate from each poor family. Lastly, to prepare accurate assistance mechanism
and social transfer in case of natural disaster. The affectivity of assistance and
social transfer has to be sharpen through evaluation and monitoring.

Keyword: inequality, income distribution, West Sumatera

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
DI SUMATERA BARAT
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PUTRI IRINA MAYANG SARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Alla Asmara, SPt MSi

Judul Tesis : Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Sumatera Barat dan FaktorFaktor yang Memengaruhi

Nama
: Putri Irina Mayang Sari
NIM
: H151114031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Sri Mulatsih, MSc Agr
Ketua

Dr Ir Idqan Fahmi, MEc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr Ir Nunung Nuryartono, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 7 Februari 2014

Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Sumatera Barat dan FaktorFaktor yang Memengaruhi
Nama
: Putli lIina Mayang SaIi
NIM
: H151114031

Disetujui oleh  
Komisi Pembimbing  

(


Dr Ir Idqan Fahmi, MEc  
Anggota  

Dr Ir Sri Mulatsih. MSc Agr
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi  
Ilmu Ekonomi  

Dr IT Nun ng

セ。イエョッL@

セ@
MSi

Tanggal Ujian: 7 Februari 2014


Tanggal Lulus:

17 MAR 2014

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala berkat, rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil
menyelesaikan tesis yang berjudul Ketimpangan Distribusi Pendapatan di
Sumatera Barat dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi. Penulis menyadari bahwa
tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis akan mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan tesis ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada pihak-pihak
yang telah memberikan dukungan moral, spiritual dan material kepada penulis
dalam menyelesaikan penyusunan tesis ini, khususnya kepada:
1. Dr Ir Sri Mulatsih, MSc Agr selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir
Idqan Fahmi MEc selaku anggota komisi pembimbing yang selalu
memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat bermanfaat dalam
penyusunan tesis ini.
2. Dr Alla Asmara, SPt MSi selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Wiwiek

Rindayati, Msi selaku penguji perwakilan Mayor IE FEM SPs IPB atas saran
dan kritik yang membangun terkait penyempurnaan tesis ini.
3. Orang tua penulis Dr Ir Muhammad Irnad MSc dan Ir Sevina Rozalen serta
saurada penulis Arif Randi Ronaza dan Muhammad Andri Ronaza dan
seluruh keluarga besar penulis atas kasih sayang, pengertian, doa dan
dukungannya yang tidak pernah putus.
4. Rekan-rekan kelas IE FEM reguler angkatan VI dan V, BPS IE FEM Batch
IV serta Kemendag Batch I atas kebersamaan dan kerjasama selama
perkuliahan dan penyusunan tesis ini.
5. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini meskipun
namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Tesis ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir dan sebagai prasyarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor IE FEM SPs IPB. Meskipun
demikian, penulis sangat menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna
dimana dalam penyusunannya terdapat banyak kekurangan yang dikarenakan
berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun guna penyempurnaan tesis ini. Akhir kata, penulis berharap
bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan
bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Maret 2014

Putri Irina Mayang Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
5
Tinjauan Teori
5
Tinjauan Empiris
11
Kerangka Pemikiran
16
Hipotesis Penelitian
17
3 METODE PENELITIAN
17
Jenis dan Sumber Data
17
Metode Analisis Data
18
1. Analisis Deskriptif
18
2. Analisis Gini ratio
18
3. Analisis Data Panel
19
Pemilihan Model Data Panel Statis
23
Uji Asumsi
24
Evaluasi Model
25
Spesifikasi Model
26
4 GAMBARAN UMUM
27
Kondisi Geografis
27
Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita
28
Sektor Industri
30
Tenaga Kerja Sektor Industri
32
Pengeluaran Pemerintah
34
Pertumbuhan Penduduk
36
Potensi Gempa Bumi di Sumatera Barat
38
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
40
Ketimpangan Distribusi Pendapatan Masing-Masing Kabupaten/Kota di
Sumatera Barat
40
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Distribusi Pendapatan di
Sumatera Barat
41
6 SIMPULAN DAN SARAN
46
Simpulan
46
Saran
47

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

48
51
58

DAFTAR TABEL
1. Jenis data penelitian
2. Nilai dan arti statistik Durbin Watson (DW)
3. Pertumbuhan riil sektor ekonomi di Sumatera Barat (persen)
4. Distribusi persentase sektor industri pengolahan menurut sub-sektor
5. Laju pertumbuhan sektor industri pengolahan menurut sub-sektor
(persen)
6. Tenaga kerja sektor industri di tingkat Kabupaten/Kota tahun 2012
7. Belanja pemerintah daerah dan belanja pegawai di Sumbar tahun 2012
8. Pertumbuhan penduduk di Sumatera Barat
9.Gini ratio di tingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada 20062011
10. Hasil uji Hausman
11. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan

18
25
30
31
31
33
35
36
41
41
42

DAFTAR GAMBAR
1. Gini ratio Sumatera Barat tahun 2008-2012
2. Distribusi pendapatan di Sumatera Barat tahun 2012
3. Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan Gini ratio di Sumatera
Barat tahun 2008-2012
4. Kurva Lorenz
5. Kurva U-terbalik hipotesis Kuznets
6. Kerangka pemikiran
7. Peta wilayah Provinsi Sumatera Barat
8. PDRB Perkapita Sumatera Barat atas dasar harga berlaku dan konstan
serta pertumbuhannya tahun 2008-2012
9. Distribusi persentase PDRB menurut sektor lapangan usaha di
Sumatera Barat tahun 2011-2012
10. Perkembangan jumlah tenaga kerja di Sumatera Barat per-sektor
(orang)
11. Realisasi belanja apatur pemerintah Sumatera Barat tahun 2012
12. Jumlah penduduk menurut golongan umur tahun 2012
13. Jumlah penduduk ditingkat Kabupaten/Kota tahun 2012
14. Peta potensi gempa Sumatera Barat
15. Pangsa konsumsi menurut kelompok pengeluaran di Sumatera Barat
16. Ketimpangan dan pendapatan rata-rata Kab/Kota di Sumatera Barat

2
2
3
7
9
16
27
28
29
32
34
36
37
38
43
44

DAFTAR LAMPIRAN
1. Gini ratio masing-masing Kabupaten/kota di Sumatera Barat
2. Hasil uji hausman
3. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan menggunakan
metode Random Effect
4. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan menggunakan
metode PLS
5. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan menggunakan
metode Fixed Efeect
6. Uji Chow
7. Uji Normalitas

51
52
53
54
55
56
57

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hubungan ketimpangan distribusi pendapatan dan kinerja perekonomian
terus menjadi perdebatan tidak hanya dikalangan ekonom melainkan juga oleh
para pembuat kebijakan (Eicher dan García-Peñalosa 2000). Pada satu sisi tingkat
pertumbuhan pendapatan perkapita merupakan suatu hal yang sangat penting dan
dibutuhkan karena menjadi tolok ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan
sebuah negara. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses perubahan kondisi
perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih
baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai
proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam
bentuk kenaikan pendapatan nasional. Namun demikian, pada sisi lain tingkat
pertumbuhan pendapatan perkapita sering dihubungkan dengan peningkatan
ketimpangan distribusi pendapatan. Pengaruh pendapatan perkapita terhadap
ketimpangan distribusi pendapatan, terkenal dengan hubungan inverted U-shape
yang banyak diketahui dengan sebutan kurva Kuznets. Penelitian tentang kurva ini
pertama sekali dilakukan oleh Kuznets pada tahun 1955 dan menyatakan bahwa
pada tahap awal pembangunan, pertumbuhan pendapatan perkapita cenderung
akan mempertinggi ketimpangan distribusi pendapatan (Barro 2008).
Untuk mencapai tujuan kebijakan pembangunan ekonomi yang efektif,
mengurangi tingkat ketimpangan distribusi pendapatan sama pentingnya dengan
meningkatkan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi negara secara
keseluruhan (Kassa 2003). Adanya peningkatan ketimpangan distribusi
pendapatan akan sangat merugikan masyarakat, bahkan tingginya pertumbuhan
ekonomi tidak memiliki banyak arti bagi masyarakat dengan tingkat pendapatan
rendah. Birdsall (2006) menyatakan bahwa dampak dari adanya ketimpangan
distribusi pendapatan adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang akan cenderung
melambat. Hal ini didukung oleh temuan Basdevant et al. (2012) yang
mengungkapkan distribusi pendapatan merupakan faktor penentu utama yang
memengaruhi durasi pertumbuhan ekonomi selain keterbukaan perdagangan dan
kelembagaan politik. Tidak meratanya distribusi pendapatan juga merupakan awal
dari munculnya masalah kemiskinan. Hal ini sesuai dengan pendapat Arsyad
(1997) yang mengatakan bahwa banyak negara sedang berkembang yang
mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi kemudian menyadari bahwa
pertumbuhan yang semacam itu tidak bermanfaat dalam memecahkan masalah
kemiskinan. Selain itu, Todaro dan Smith (2006) mengungkapkan bahwa
ketimpangan distribusi pendapatan yang tidak merata akan menyebabkan
inefisiensi ekonomi, alokasi asset tidak efisien dan melemahkan stabilitas sosial
dan solidaritas. Inefisiensi ekonomi muncul akibat semakin kecilnya populasi
yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pinjaman atau sumber kredit, sehingga
mereka tidak mampu menyediakan pendidikan yang memadai untuk anakanaknya maupun memulai dan mengembangkan bisnis. Ketimpangan yang tinggi
juga akan mengurangi tingkat tabungan secara keseluruhan karena tingkat
tabungan marginal tertinggi biasanya ditemukan pada kelas menengah.

2
Sekretaris Jenderal Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) menyebutkan adanya ketimpangan distribusi pendapatan
merupakan masalah serius yang perlu mendapat prioritas penting bagi pemerintah
agar segera diatasi (Beritasore.com 2012). Oleh karena itu, ketimpangan distribusi
pendapatan merupakan topik yang penting untuk diteliti.
Tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang dikuti oleh peningkatan
ketimpangan distribusi pendapatan terjadi di Sumatera Barat. Kajian Ekonomi
Regional Sumatera Barat menyatakan pertumbuhan ekonomi provinsi ini pada
triwulan I tahun 2013 mencapai 7.2%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan
dengan pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun yang sama yaitu 6.0% (Bank
Indonesia 2013). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut juga diikuti oleh
peningkatan Gini ratio yang merupakan ratio dalam pengukuran ketimpangan
distribusi pendapatan. Badan Pusat Statistik (BPS 2008-2012) mencatat pada
tahun 2008, Gini ratio Sumatera Barat berada pada angka 0.29, kemudian
meningkat ditahun 2009 menjadi 0.30 dan ditahun 2012 Gini ratio Sumatera Barat
mencapai 0.36 (Gambar 1).

Sumber: BPS 2008-2012

Gambar 1. Gini ratio Sumatera Barat tahun 2008-2012
Jika dilihat dari data distribusi pendapatan di Sumatera Barat pada tahun
2012, 45% pendapatan dinikmati oleh 20% penduduk golongan pendapatan
tinggi, 36% pendapatan dinikmati oleh 40% penduduk golongan pendapatan
menengah sedangkan hanya 19% pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk

Golongan
pendapatan
tinggi
45%

Golongan
pendapatan
rendah
19%

Golongan
pendapatan
menengah
36%

Sumber: BPS Susenas 2012

Gambar 2. Distribusi pendapatan di Sumatera Barat tahun 2012

3
golongan pendapatan rendah (Gambar 2). Ini mencerminkan bahwa, walaupun
terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, namun manfaatnya lebih banyak
dinikmati oleh penduduk pada golongan dengan pendapatan tinggi saja.

Perumusan Masalah
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi menjanjikan kesejahteraan yang
lebih baik bagi perekonomian secara keseluruhan. Sumatera Barat merupakan
provinsi yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi relatif tinggi. Akan tetapi
tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut diiringi oleh
peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur melalui Gini ratio.
Gambar 3 memperlihatkan perkembangan pertumbuhan ekonomi dan Gini ratio di
Sumatera Barat. Tingkat pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat sejak tahun
2008 sampai 2012 selalu bernilai positif walaupun mengalami penurunan pada
tahun 2009 akibat adanya tekanan krisis ekonomi global. Pada tahun 2008
pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat mencapai 6.88% menurun menjadi
4.28% di tahun 2009 kemudian di tahun 2012 kembali meningkat menjadi 6.35%.
Di sisi lain Gini ratio di Sumatera Barat sejak tahun 2008 sampai 2012 juga
menunjukkan perkembangan adanya peningkatan (Gambar 3).

Sumber: BPS 2008-2012

Gambar 3. Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan Gini ratio di Sumatera
Barat tahun 2008-2012
Untuk mengurangi terjadinya peningkatan ketimpangan distribusi
pendapatan di Sumatera Barat dapat dilakukan melalui pengurangan ketimpangan
distribusi pendapatan di tingkat Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Barat.
Kabupaten/Kota memiliki peran yang sangat penting sejak diberlakukannya
desentralisasi kebijakan melalui otonomi daerah. Otonomi daerah dapat diartikan
sebagai kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan

4
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
(Wikipedia 2014). Oleh karena itu, dengan adanya otonomi daerah, pemerintah
daerah dapat merespon lebih cepat mekanisme kebijakan yang harus ditetapkan
dalam melakukan penanggulangan peningkatan ketimpangan distribusi
pendapatan di Sumatera Barat.
Ray (1998) mengungkapkan bahwa, setidaknya terdapat dua faktor yang
mendasari penelitian mengenai ketimpangan pendapatan, pertama adalah faktor
intrinsik yaitu untuk mengukur tingkat ketimpangan itu sendiri. Ukuran
ketimpangan tersebut digunakan sebagai bahan evaluasi dari kebijakan yang
bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Kedua, keterkaitan antara
ketimpangan pendapatan dan variabel-variabel makro ekonomi seperti tingkat
pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi.
Distribusi pendapatan di Sumatera Barat yang bergerak semakin timpang,
mengindikasikan adanya peran faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya
ketimpangan tersebut. Pemahaman mengenai faktor-faktor mendasar yang
memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan akan membantu para pengambil
kebijakan, khususnya pemerintah daerah Sumatera Barat dalam merancang pilihan
kebijakan untuk memperkecil ketimpangan distribusi pendapatan disamping tetap
mempertahankan pola pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Dari uraian pada latarbelakang, permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi ketimpangan distribusi pendapatan pada masingmasing Kabupaten/Kota di Sumatera Barat?
2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ketimpangan distribusi
pendapatan di Sumatera Barat?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di tingkat
Kabupaten/Kota di Sumatera Barat.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan distribusi
pendapatan di Sumatera Barat.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada
pembaca mengenai kondisi ketimpangan distribusi pendapatan untuk tingkat
Kabupaten/Kota di Sumatera Barat serta dapat memaparkan dengan jelas faktorfaktor apa saja yang memengaruhi adanya ketimpangan distribusi pendapatan
tersebut. Dengan adanya informasi tersebut diharapkan dapat memberikan
gambaran mengenai kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat
dan menjadi pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menentukan strategi
pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan pengurangan ketimpangan

5
distribusi pendapatan agar setiap masyarakat dapat memperoleh kesejahteraan
yang lebih baik.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini hanya dibatasi pada ketimpangan
distribusi pendapatan di Sumatera Barat yang di proksi menggunakan pengeluran
rumah tangga, tanpa melihat ketimpangan antar Kabupaten/Kota di Sumatera
Barat. Sehingga bahasan dalam penelitian ini hanya meliputi Sumatera Barat tidak
menjelaskan tentang kondisi Kabupaten/Kota di Sumatera Barat.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah ukuran ketimpangan yang
digunakan hanya menggunakan pendekatan rumah tangga dengan indikator Gini
ratio (ketimpangan distribusi pendapatan), tanpa mempertimbangkan adanya
ukuran ketimpangan lainnya. Dimana masalah ketimpangan distribusi pendapatan
hanya merupakan bagian kecil dari masalah ketimpangan yang sebenarnya jauh
lebih luas, yaitu yang mencakup ketimpangan kekuasaan, prestise, status, gender,
kepuasan kerja, kondisi kerja, derajat partisipasi, kebebasan memilih serta dimensi
lain dari masalah tersebut yang berkaitan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Literatur mengenai evolusi atau perubahan ketimpangan dalam distribusi
pendapatan pada awalnya didominasi oleh temuan Simon Kuznets yang disebut
dengan Hipotesis Kuznets pada tahun 1955. Dengan menggunakan data antar
Negara (cross section) dan data runtun waktu di setiap Negara (time series),
Kuznets menemukan relasi antara ketimpangan pendapatan dan partumbuhan
pendapatan per kapita berbentuk “U” terbalik (Inverted U Hypothesis). Beliau
berpendapat bahwa mula-mula ketika pembangunan dimulai, distribusi
pendapatan akan makin tidak merata, namun setelah mencapai suatu tingkat
pembangunan tertentu, distribusi pendapatan makin merata.
Hayami (2001) mengemukakan bahwa ketimpangan pendapatan dapat
didefinisikan sebagai distribusi pendapatan yang tidak merata antar rumah tangga.
Rumah tangga dipilih sebagai unit observasi untuk ketimpangan karena unit
individu adalah rumah tangga. Ketimpangan pendapatan antar rumah tangga
umumnya diukur dengan distribusi pendapatan berdasarkan tingkat pendapatan
antar rumah tangga. Semakin kecil persentase pendapatan yang diperoleh
kelompok dengan tingkat pendapatan tertinggi dan semakin besar persentase
pendapatan pada kelompok dengan tingkat pendapatan terendah menunjukkan
distribusi pendapatan yang semakin merata atau dengan kata lain ketimpangan
pendapatan yang semakin rendah. Selain itu, Ray (1998) mengungkapkan bahwa
ketimpangan ekonomi merupakan suatu kondisi disparitas mendasar dimana

6
seseorang memiliki pilihan sementara individu lain tidak memiliki pilihan yang
sama.
David Ricardo yang mengemukakan teori ekonomi klasik menyatakan
pendapatan nasional dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu upah sebagai
balas jasa tenaga kerja, keuntungan sebagai balas jasa pemilik modal dan sewa
sebagai keuntungan pemilik lahan. Ricardo menekankan bahwa aktor ekonomi
yang berperan pada pembagian pendapatan nasional adalah pekerja, pemilik
modal dan tuan tanah. Hasil analisis Ricardo memperkirakan bahwa ketimpangan
akan meningkat seiring proses pertumbuhan ekonomi berdasarkan akumulasi
modal dalam perekonomian modern atau industrialisasi karena porsi terbesar dari
pertumbuhan ekonomi akan dinikmati oleh para tuan tanah yang kaya selama
supply produk pangan bersandar pada produksi domestik.
Setengah abad kemudian, Marx memperkirakan peningkatan ketimpangan
sepanjang proses pembangunan dalam perekonomian kapitalis. Perkembangan
proses industrialisasi membuat penggunaan lahan pada era Marx tidak sepenting
pada era Ricardo, oleh karena itu Marx mengkategorikan distribusi pendapatan
nasional pada upah dan keuntungan yang menggambarkan pendapatan yang
diperoleh pekerja dan pemilik modal. Marx menemukan bahwa jika peningkatan
keuntungan lebih besar dibandingkan kenaikan upah, maka pendapatan nasional
lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal dan akan meningkatkan kemiskinan
pada kelompok pekerja.
Todaro dan Smith (2006) mengungkapkan bahwa distribusi pendapatan
merepresentasikan besarnya porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu
atau rumah tangga dalam suatu wilayah. Besarnya pendapatan yang diterima
individu tergantung pada tingkat produktivitas dan peranannya dalam aktivitas
perekonomian. Distribusi pendapatan sebagai suatu ukuran dibedakan menjadi
dua ukuran pokok, baik untuk tujuan analisis maupun untuk tujuan kuantitatif
yaitu:
1. Pendapatan ”personal” atau distribusi pendapatan berdasarkan ukuran atau
besarnya pendapatan. Distribusi pendapatan personal berdasarkan
besarnya pendapatan adalah ukuran yang paling sering digunakan oleh ahli
ekonomi. Distribusi ini hanya membahas orang per orang atau rumah
tangga dan total pendapatan yang diterima, sedangkan dari mana
pendapatan yang diperoleh tidak diperhitungkan. Selain itu juga diabaikan
sumber-sumber pendapatan yang menyangkut lokasi (apakah di wilayah
desa atau kota) dan jenis pekerjaan.
2. Distribusi pendapatan “fungsional” atau distribusi pendapatan menurut
bagian faktor distribusi. Distribusi fungsional melihat pangsa pendapatan
menurut faktor produksi yakni menghitung total pendapatan yang
diperoleh setiap faktor produksi baik tanah, tenaga kerja, maupun modal.
Sistem distribusi ini mempertimbangkan individu-individu sebagai
totalitas yang terpisah-pisah.

Ukuran Ketimpangan Pendapatan
Ada beberapa ukuran distribusi pendapatan personal yang sering
digunakan untuk menganalisis dan membandingkan ketimpangan pendapatan
antar waktu dan antar wilayah. Beberapa diantaranya adalah ukuran kuintil, desil,

7
persentil, rasio Kuznets, ukuran Bank Dunia, kurva Lorenz dan Gini ratio. Ukuran
kuintil, desil maupun persentil dilakukan dengan mengelompokkan pendapatan
perkapita penduduk yang telah diurutkan dari yang terendah sampai yang tertinggi
serta dibagi ke dalam 5 kelompok (kuintil), 10 kelompok (desil) dan 100
kelompok (persentil). Pangsa pendapatan dari setiap kelompok dihitung dari
persentase jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap kelompok dibagi dengan
total pendapatan penduduk di wilayah tersebut.
Rasio Kuznets merupakan rasio jumlah pendapatan yang diterima oleh
20% penduduk berpenghasilan tinggi dibagi dengan jumlah pendapatan 40%
penduduk berpenghasilan rendah. Semakin tinggi nilai rasio Kuznets
menunjukkan tingkat ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang semakin
tinggi atau tingkat pemerataan yang semakin rendah. Hampir sama dengan rasio
Kuznets, ukuran Bank Dunia membagi pendapatan yang diterima penduduk
menjadi tiga kelompok, yakni 40% penduduk berpenghasilan rendah, 40%
penduduk berpenghasilan menengah, dan 20% penduduk berpenghasilan tinggi.
Kategori ketimpangan ditentukan dengan melihat besarnya proporsi pendapatan
yang diterima oleh 40% penduduk yang berpendapatan rendah. Kriterianya adalah
ketimpangan tinggi jika proporsinya < 12%; ketimpangan sedang jika berkisar 1217%; dan ketimpangan rendah jika >17% (Todaro dan Smith, 2006).
100

bidang I

Gini ratio =
persentase pendapatan

bidang I + II

50

garis pemerataan
I

II

0

50

100

persentase popolasi
Sumber: Todaro dan Smith 2006

Gambar 4. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan hubungan kuantitatif antara penduduk atau
rumah tangga sebagai penerima pendapatan dengan jumlah pendapatan yang
diterima selama periode tertentu (Gambar 4). Sumbu horizontal menunjukkan
jumlah populasi penduduk atau rumah tangga penerima pendapatan dan sumbu
vertikal menunjukkan jumlah persentase pendapatan yang diterima oleh setiap
kelompok yang disusun secara kumulatif (dari kelompok penduduk atau rumah
tangga yang berpendapatan terendah hingga yang tertinggi). Garis diagonal utama

8
mencerminkan garis pemerataan pendapatan. Kurva Lorenz yang semakin
mendekati garis diagonal utama, menunjukkan distribusi pendapatan yang
semakin merata atau ketimpangan yang semakin rendah. Kurva Lorenz yang
berimpit dengan garis pemerataan menunjukkan tingkat pemerataan yang
sempurna atau tidak terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Sebaliknya,
jika kurva Lorenz semakin menyimpang atau semakin menjauh dari garis
pemerataan maka ketidakmerataan semakin besar atau ketimpangan semakin
meningkat.
Ukuran formal kesenjangan pendapatan yang diturunkan dari kurva
Lorenz adalah Gini ratio. Gini ratio merupakan rasio luas wilayah bidang I pada
kurva Lorenz dengan luas wilayah segitiga dibawah garis 450 (bidang I+II). Gini
ratio merupakan ukuran ketimpangan yang memenuhi empat prinsip pengukuran,
sehingga dapat digunakan untuk membandingkan ketimpangan distribusi
pendapatan antar waktu maupun antar wilayah (Todaro dan Smith, 2006).
Keempat kriteria atau prinsip pengukuran tersebut didefinisikan sebagai berikut:
1. Prinsip anonimitas (anonimity principle), artinya ukuran ketimpangan
seharusnya tidak tergantung pada siapa yang mendapatkan pendapatan yang
lebih tinggi atau apakah itu orang kaya atau miskin.
2. Prinsip independensi skala (scale independence pronciple), ukuran
ketimpangan tidak tergantung pada ukuran perekonomian suatu negara dan
cara mengukur pendapatannya. Artinya, tidak tergantung apakah kondisi
negara kaya atau miskin serta diukur dalam dolar atau mata uang lainnya.
3. Prinsip independensi populasi (population independence principle), ukuran
ketimpangan tidak tergantung pada jumlah penduduk suatu negara/wilayah,
sehingga perekonomian Indonesia tidak boleh dikatakan lebih
merata/timpang dari Vietnam hanya karena jumlah penduduk Indonesia
lebih banyak.
4. Prinsip transfer Pique-Dalton (Pique-Dalton transfer principle), jika
diasumsikan semua pendapatan lain konstan maka dengan mentransfer
sejumlah pendapatan dari orang kaya kepada orang miskin maka akan
dihasilkan distribusi pendapatan yang baru dan lebih merata.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Adanya kecenderungan peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan
setiap tahunnya mengakibatkan banyak peneliti mencoba menganalisis faktorfaktor yang memengaruhi ketimpangan tersebut. Pada penelitian ini, faktor-faktor
yang memengaruhi ketimpangan dikelompokkan menjadi beberapa bagian utama,
yaitu:
1) Pertumbuhan dan tingkat pembangunan
Banyak peneliti yang telah mencoba mencari hubungan antara GDP
perkapita dan pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan sejak pertengahan
tahun 1950. Dimulai oleh penemuan Kuznets pada tahun 1955 yang sampai saat
ini sangat fenomenal menyatakan bahwa pada tahap awal pembangunan, baik
pertumbuhan ekonomi maupun ketimpangan akan cenderung mengalami
peningkatan. Sederhananya, Kuznets mengungkapkan akan terjadi perubahan
secara bertahap dari keadaan dimana ketimpangan dan tingkat pendapatan yang
rendah menjadi keadaan dengan tingkat pendapatan tinggi dan adanya

9

Gini ratio

ketimpangan ekonomi. Perubahan ini yang banyak dikenal dengan sebutan
inverted U-shaped (kurva U-terbalik) yang menghubungkan antara GDP perkapita
dan ketimpangan distribusi pendapatan (Gambar 5).

ketimpangan
meningkat

ketimpangan
menurun

pendapatan perkapita
Sumber: Kuznets 1955

Gambar 5. Kurva U-terbalik hipotesis Kuznets
Kuznets menyatakan bahwa pertanian mewakili sebagian besar
perekonomian dan juga ditandai oleh rendahnya tingkat ketimpangan pada periode
awal pembangunan. Seiring terjadinya proses pembangunan, maka struktur
perekonomian secara berangsur-angsur beralih pada sektor sekunder bahkan
tersier. Perubahan menuju sektor sekunder dan tersier pada dasarnya memiliki dua
efek dalam jangka pendek (Nikoloski 2009). Efek pertama adalah perubahan itu
akan mempercepat pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada peningkatan PDB
perkapita. Efek kedua dan yang paling dramatis adalah bahwa perubahan tersebut
akan menyebabkan peningkatan tingkat ketimpangan. Akibatnya, pada tahap awal
pembangunan, PDB per kapita dan ketimpangan akan berkorelasi positif. Seiring
proses pembangunan, terjadi pengalihan sumber daya yang lebih banyak dari
sektor pertanian ke sektor industri, bahkan jasa dan berangsur-angsur akan
mengurangi ketimpangan pendapatan antara sektor industri dan pertanian karena
terjadi perpindahan tenaga kerja ke sektor industri. Akibatnya, tercipta hubungan
jangka panjang yang negatif antara ketimpangan pendapatan dan PDB perkapita.
2) Faktor Makroekonomi
Pada kelompok ini yang termasuk faktor yang memengaruhi ketimpangan
distribusi pendapatan salah satunya adalah tingkat pengeluaran pemerintah. Peran
pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan distribusi pendapatan dipengaruhi
oleh komposisi pengeluaran tersebut, terutama pada bagian transfer sosial untuk
pengeluaran public (Cornia dan Kiiski 2001). Sebagai contoh, apabila hutang
external meningkat, maka bunga pembayaran juga akan meningkat yang
menyebabkan berkurangnya transfer sosial dan terjadi efek redistribusi pada
pengeluaran sektor publik yang juga akan mengalami penurunan. Sehingga dalam

10
kasus ini, pengeluaran pemerintah justru tidak memiliki pengaruh terhadap
pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan.
Dalam Wells (2006), Sylwester pada tahun 2002 melaporkan terdapat
hubungan yang negatif antara ketimpangan dan pengeluaran pemerintah bidang
pendidikan. Sedangkan penelitian lain oleh Checchi pada tahun 2000 dan
Deininger & Squire pada tahun 1998 menemukan pengeluaran pemerintah dalam
bidang pendidikan berhubungan positif terhadap ketimpangan, walaupun
hubungan sebab akibat yang dihasilkannya sangat ambigu. Penelitian lain juga
dilakukan oleh Shanahan pada tahun 1994 yang bahkan mengemukakan bahwa
tidak terdapat hubungan antara pengeluaran bidang pendidikan dengan
ketimpangan pendapatan. Namun, Bouillon, Legovini, & Lustig pada tahun 2001
menyatakan ekspansi pendidikan (pengeluaran pemerintah bidang pendidikan)
dapat memperlebar kesenjangan tingkat pendidikan yang pada akhirnya juga akan
berkontribusi terhadap terjadinya peningkatan dalam ketimpangan distribusi
pendapatan.
3) Faktor Demografi
Kelompok ini meliputi proses pembangunan demografi, seperti
pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk dan tingkat modal manusia
(termasuk pada tingkat pendidikan dan kondisi kesehatan penduduk).
Ketimpangan cenderung lebih rendah pada negara yang penduduknya lebih padat
dibandingkan dengan negara dengan tingkat kepadatan yang lebih rendah. Daerah
dengan jumlah penduduk rendah akan mengalami kemungkinan yang kuat untuk
terjadinya konsentrasi lahan yang mendorong peningkatan ketimpangan melalui
capital income (Kaasa 2003). Sylwester (2003) menyatakan daerah dengan tingkat
kepadatan yang tinggi mencermikan keadaan penduduk yang lebih beragam dan
produktifitas tinggi sehingga akan tercipta mobile society pada wilayah tersebut
yang berakibat pada distribusi pendapatan yang akan lebih merata.
Tingkat modal manusia dan pendidikan merupakan faktor yang sangat
penting (Eicher dan Garcia-Penalosa. 2000, Bouillon, Legovini, & Lustig 2001).
Beberapa penelitian seperti De Gregorio dan Lee pada tahun 2002, Park pada
tahun 1996, Psacharopoulos, Morley, Fiszbein, Lee, dan Wood pada tahun 1995,
dan Ram pada tahun 1984 menemukan hubungan yang negatif antara
ketimpangan pendapatan dan rata-rata tingkat pendidikan suatu negara.
Sedangkan peneliti lain seperti Deininger & Squire pada tahun 1998 menemukan
hubungan positif antara keduanya. Barro pada tahun 1999 mempelajari dampak
dari tingkat pendidikan terhadap ketimpangan menemukan hubungan yang negatif
untuk tingkat pendidikan dasar dan hubungan positif untuk tingkat pendidikan
tinggi (Wells 2006). Cornia dan Kiiski (2001) menyimpulkan bahwa terdapat
indikasi hubungan antara pengembangan pendidikan dan ketimpangan seperti
kurva U-terbalik. Pada fase awal pembangunan, pertumbuhan tingkat pendidikan
penduduk meningkatkan ketimpangan karena hanya tenaga kerja terampil saja
yang mendapatkan pendapatan lebih tinggi. Semakin berkembangnya
pembangunan maka tercipta pemerataan tingkat pendidikan pendudukan yang
membawa pada distribusi pendapatan yang lebih merata sehingga ketimpangan
akan berkurang (Cornia dan Kiiski 2001).

11
4) Bencana Alam
Pada dasarnya, bencana alam dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu
yang dapat diprediksi sampai batas tertentu dan yang tidak dapat diprediksi.
Bencana alam seperti angin topan, banjir dan tsunami merupakan bencana alam
yang dapat diprediksi dan diketahui sejak dini akan lebih menguntungkan
masyarakat atau kelompok dengan tingkat pendapatan lebih tinggi. Yamamura
(2013) berpendapat bahwa masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi akan
cenderung memilih untuk tinggal pada daerah yang jarang mengalami bencana.
Disisi lain, masyarakat yang berpendapatan rendah ataupun miskin tidak dapat
memilih untuk tinggal di daerah yang aman dari bencana. Akibatnya mereka akan
cenderung langsung terkena bencana alam. Selain itu, sebelum terjadinya bencana
masyarakat miskin cederung tidak mampu berinvestasi untuk melakukan
pencegahan bencana karena mereka memiliki keterbatasan penghasilan. Bencana
alam juga cenderung akan menyebabkan peningkatan kemiskinan (RodriguezOreggia et al. 2013).
Jenis bencana lain yang memiliki tipe berbeda dengan angin topan, banjir
dan tsunami yaitu gempa bumi yang kurang terprediksi dengan baik juga
memperburuk keadaan masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah. Masyarakat
dengan penghasilan tinggi memiliki peluang lebih besar untuk dapat
mempersiapkan tindakan yang harus dilakukan untuk menghadapi bencana yang
tidak dapat diprediksi seperti membangun bangunan tahan gempa, bahkan apabila
sulit untuk mengetahui area mana yang akan terkena gempa (Yamamura 2013).
Oleh karena itu, baik itu bencana alam yang dapat diprediksi sejak awal maupun
bencana alam yang tidak dapat diprediksi hanya akan lebih merugikan kelompok
atau masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah. Yang terpenting, dampak ini
tidak tergantung pada apakah bencana alam dapat diprediksi atau tidak. Besar
kemungkinan bagi masyarakat miskin terluka parah bahkan meninggal dunia
sehingga tidak mampu bekerja yang menyebabkan penurunan pendapatannya, dan
disisi lain masyarakat cenderung lebih aman dan tetap bisa melakukan pekerjaan
seperti biasa setelah terjadinya bencana, yang mana ini berarti bahwa tingkat
pendapatannya tidak dipengaruhi oleh bencana alam. Maka dapat disimpulkan
bahwa ketimpangan distribusi pendapatan akan semakin melebar setelah
terjadinya bencana alam.

Tinjauan Empiris
Terdapat banyak literatur yang mengkaji faktor-faktor yang berkontribusi
pada terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Penelitian pertama yang
menjadi perintis penelitian-penelitian berikutnya mengemukakan adanya kurva
U-terbalik untuk hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
distribusi pendapatan adalah temuan Kuznets (1955). Dengan kata lain,
meningkatnya pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan peningkatan pada
ketimpangan pada tahap awal pembangunan, akan tetapi, kemudian akan
berpindah pada suatu keadaan dimana pertumbuhan ekonomi akan mendorong
penurunan ketimpangan. Akan tetapi hasil penelitian ini banyak ditentang dan
dibantah oleh peneliti-peneliti selanjutnya.

12
Kassa (2003) dalam penelitiannya mencoba menemukan faktor-faktor
yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan pada negara yang
mengalami transisi ekonomi. Kassa menggunakan Principal Component Analysis
(PCA) dalam menganalisis banyak variabel yang berbeda disamping untuk
menghindari terjadinya multikolinieritas. Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini mencakup GDP perkapita, pertumbuhan penduduk, persentase
penduduk perkotaan, kepadatan penduduk, persentase penduduk dibawah 15
tahun, inflasi, pengangguran, persentase sektor privat, persentase sektor industri,
persentase sektor pertanian, dan sektor jasa terhadap GDP, pengeluaran
pemerintah, pengeluaran pemerintah untuk human capital sebagai persentase
terhadap GDP dan partisipasi sekolah dasar. Variabel tersebut dipilih
menggunakan analisis korelasi dan kemudian dikelompokkan menggunakan
analisis PCA. PCA menghasilkan empat komponen utama, yaitu tingkat proses
pembangunan demografi, tingkat pembangunan negara, tingkat proses transisi dan
modal manusia sebagai indikator utama yang berkontribusi terhadap terjadinya
ketimpangan distribusi pendapatan.
Penelitian lain yang juga membahas tentang ketimpangan pendapatan
adalah yang dilakukan oleh Yamamura (2013). Penelitian ini sedikit berbeda
dengan penelitian-penelitian lainnya dimana Yamamura melihat pengaruh
bencana alam terhadap ketimpangan pendapatan. Yamamura mengungkapkan
bahwa, walaupun benca alam ditemukan memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi, akan tetapi dampaknya terhadap ketimpangan pendapatan
belum banyak dibahas, oleh karena itu Yamamura menggunakan data crosscountry panel selama periode 1965 sampai 2004 untuk mengkaji bagaimana
bencana alam memengaruhi ketimpangan pendapatan. Hasil penelitiannya
menemukan bahwa, walaupun bencana alam memiliki efek jangka pendek
terhadap peningkatan ketimpangan pendapatan, efek ini akan menghilang dalam
jangka menengah.
Nikoloski (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Economic and
Political Determinants of Income Inequality menggunakan metode GMM untuk
mencari hubungan ketimpangan distribusi pendapatan dengan faktor ekonomi dan
politik. Nikoloski tidak menemukan adanya hubungan antara meningkatnya
demokrasi terhadap penurunan ketimpangan. Sedangkan terdapat hubungan yang
kuat antara sumber daya alam yang melimpah, diukur menggunakan produksi
minyak dan gas serta eksport logam dan biji besi terhadap meningkatnya
ketimpangan pendapatan. Selain itu, ditemukan juga hubungan yang kuat antara
industrialisasi terhadap penurunan ketimpangan. Nikoloski juga menemukan
hubungan untuk keberadaan kurva Kuznets. Dimana beliau menemukan bukti
bahwa GDP perkapita dalam jangka pendek meningkatkan tingkat ketimpangan
distribusi pendapatan dan kemudian akan menurun dalam jangka panjang. Beliau
juga membangun hubungan positif antara ketimpangan dan pengembangan sektor
keuangan serta keterbukaan perdagangan berhubungan dengan penurunan
ketimpangan.
Sylwester (2003) dengan penelitiannya yang berjudul Income Inequality
and Population Density 1500 AD: A Connection. Menggunakan data cross section
negara Sylwester menganalisis hubungan antara kepadatan penduduk regional di
1500 AD dan ketimpangan pendapatan. Sylwester menemukan hubungan negatif
antara kepadatan penduduk dan ketimpangan distribusi pendapatan. Wilayah

13
dengan tingkat kepadatan tinggi diprediksi memiliki tingkat ketimpangan
pendapatan relatif lebih rendah. Hasil penelitian ini didukung oleh alasan bahwa
wilayah dengan tingkat kepadatan tinggi memiliki keberagaman lebih tinggi yang
mendorong terjadinya mobile society yang berdampak pada pengurangan
ketimpangan distribusi pendapatan.
Gustafsson dan Johansson (1997) melakukan penelitian yang berjudul
“What Makes Income Inequality Vary Over Time in Different Countries?”.
Gustafsson dan Johansson berusaha menemukan faktor yang memengaruhi
perkembangan distribusi pendapatan di negara-negara OECD menggunakan
analisis “unbalanced panel” untuk 16 negara pada tahun 1966 sampai 1994.
Ketimpangan pendapatan yang digunakan diukur melalui rasio Gini atau setara
dengan pendapatan disposable. Gustafsson dan Johansson mengungkapkan bahwa
terdapat banyak faktor yang memengaruhi perkembangan ketimpangan.
Penurunan dalam sektor industri menjadi pendorong terjadinya ketimpangan.
Hasil tersebut lebih signifikan dibandingkan dengan hubungannya dengan inflasi
dan tingkat PDB. Selanjutnya, ditemukan bahwa meningkatnya perdangangan dari
negara sedang berkembang akan mendorong peningkatan pula dalam
ketimpangan. Terakhir, tingkat ketimpangan yang rendah muncul apabila
sebagian besar tenaga kerja bergabung dalam serikat buruh serta adanya sektor
publik yang lebih besar.
Penelitian lainnya tentang faktor yang memiliki dampak terhadap
distribusi pendapatan dilakukan Sarel (1997). Sarel, mengembangkan kerangka
penelitian cross-section untuk memeriksa hubungan antara variabel
makroekonomi dengan tren pada distribusi pendapatan. Variabel makroekonomi
yang secara signifikan memiliki efek negative terhadap ketimpangan adalah
tingginya pertumbuhan ekonomi, tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat investasi
yang tinggi, depresiasi real (akan lebih penting pada negara dengan pendapatan
rendah) dan peningkatan dalam term of trade.
Afonso et al. (2008) dalam penelitiannya tentang determinan distribusi
pendapatan dan efisiensi pengeluaran publik. Penelitian ini menguji dampak dari
pengeluaran publik, pendidikan dan institusi pada distribusi pendapatan pada
wilayah dengan ekonomi maju. Afonsi juga mengevaluasi efisiensi pengeluaran
publik dalam redistribusi pendapatan dengan menggunakan pendekatan non
parametric yaitu DEA (Data Envelopment Analysis). Hasil penelitian ini
menyebutkan bahwa kebijakan publik secara signifikan memengaruhi distribusi
pendapatan terutama melalui pengeluaran sosial, secara tidak langsung melalui
kualitas yang tinggi pada tingkat pendidikan/modal manusia dan lembagalembaga ekonomi yang sehat.
Jaumotte et al. (2008) juga mengkaji tentang peningkatan ketimpangan
pendapatan dengan judul penelitian, “Rising Income Inequality: Technology, or
Trade and Financial Globalization?”. Dalam penelitiannya Jaumotte mengupas
tentang hubungan antara perdagangan dan globalisasi keuangan dan peningkatan
ketimpangan yang sering terjadi di beberapa negara belakangan ini. Jaumotte
menyimpulkan bahwa technological progress memiliki dampak yang besar
terhadap ketimpangan dibandingkan dengan globalisasi. Terbatasnya peran
globalisasi memperlihatkan dua kecenderungan yang saling bertolak belakang,
yaitu: pertama, peran globalisasi perdagangan berkaitan dengan penurunan
ketimpangan, kedua, peran globalisasi keuangan (khususnya: Foreign Direct

14
Investment) justru berkaitan dengan peningkatan ketimpangan. Temuan utama
dalam penelitian ini adalah, globalisasi dan kemajuan tekhnologi mengakibatkan
peningkatan penerimaan pada modal manusia, sehingga hal ini menekankan
pentingnya pendidikan dan pelatihan baik pada negara maju maupun sedang
berkembang dalam rangka mengatasi meningkatnya ketimpangan.
Kemudian pada tahun 2006, Wells melakukan penelitian dengan judul
“Education’s Effect on Income Inequality : A Further Look”. Wells
mengemukakan bahwa pendidikan memiliki pengaruh yang sangat signifikan
terhadap ketimpangan pendapatan. Efek pendidikan terhadap ketimpangan
pendapatan dipengaruhi oleh tingkat kebebasan ekonomi suatu negara dan secara
spesifik kebebasan ekonomi akan memengaruhi tingkat partisipasi sekolah.
Penelitian lain dilakukan oleh Bulir pada tahun 1998. Dalam
penelitiannya, Bulir menjadikan model Kuznets sebagai tolok ukur dalam
ketimpangan distribusi pendapatan. Bulir menemukan bahwa stabilitas harga,
financial deepening, tingkat pembangunan, tenaga kerja dan redistribusi fiskal
dapat mempertinggi pemerataan pendapatan pada suatu negara. Sementara, efek
stabilitas harga seragam untuk semua tingkat PDB per kapita, efek pada financial
deepening ditemukan meningkat sejalan dengan adanya peningkatan pada tingkat
pembangunan. Selain itu, pengetatan kebijakan moneter tidak menunjukkan
adanya efek yang dominan, seperti rendahn