HUBUNGAN PANJANG TELAPAK KAKI DENGAN TINGGI BADAN PADA PRIA DEWASA SUKU LAMPUNG DI DESA NEGERI SAKTI PESAWARAN

(1)

HUBUNGAN PANJANG TELAPAK KAKI DENGAN TINGGI BADAN PADA PRIA DEWASA SUKU LAMPUNG

DI DESA NEGERI SAKTI PESAWARAN

(Skripsi)

Oleh

DEBORA FEBRINA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

HUBUNGAN PANJANG TELAPAK KAKI DENGAN TINGGI BADAN PADA PRIA DEWASA SUKU LAMPUNG

DI DESA NEGERI SAKTI PESAWARAN

Oleh

DEBORA FEBRINA

Tinggi badan merupakan salah satu identitas penting, yang dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan. Dalam kasus mutilasi, bencana alam, dll, sering ditemukan individu yang tidak lengkap lagi sehingga sulit diidentifikasi. Karena itu peneliti melakukan penelitian mengenai hubungan panjang telapak kaki dengan tinggi badan supaya dapat diperkirakan tinggi badan individu berdasarkan panjang telapak kakinya. Hasil penelitian ini juga bisa digunakan dalam pembuatan prosthesis kaki. Penelitian ini dilakukan pada Desember 2012 di Desa Negeri Sakti, dengan metode anlisis korelatif dan pendekatan cross sectional. Hasilnya, tinggi badan rata-rata pria dewasa Suku Lampung adalah 162,64 cm, rata-rata panjang telapak kaki pria dewasa Suku Lampung adalah 24,4 cm, dan terdapat hubungan (korelasi) antara tinggi badan dan panjang telapak kaki yang dibuktikan dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,578. Tinggi badan pria dewasa Suku Lampung dapat diperkirakan dengan rumus Y= 69,455 + 3,813x, dengan Y= tinggi badan dan x= panjang telapak kaki.


(3)

ABSTRACT

CORRELATION BETWEEN BODY HEIGHT AND FOOT LENGTH ON LAMPUNG MAN IN NEGERI SAKTI VILLAGE

PESAWARAN By

DEBORA FEBRINA

Body height is one of important identity influenced by genetic and environment factor. In mutilation cases, natural disaster, etc, often found incomplete corpse so come a difficulty in the identification. Because of that, researcher was attracted to analyze the correlation between foot length and body height to estimate the height of unidentified corpse. The result of this research can be used also in making foot prosthesis. This research was done in December 2012 at Negeri Sakti village. It uses correlative analysis method by cross sectional approach. The result shows average of body height 162,64 cm, average of foot length 24,4 cm, and there is correlation between foot length and body height proven by correlation coefficient (r) 0,578. Lampung man’s height can be estimated by Y=69,455 + 3,813x, with Y= body height and x= foot length.


(4)

HUBUNGAN PANJANG TELAPAK KAKI DENGAN TINGGI BADAN PADA PRIA DEWASA SUKU LAMPUNG

DI DESA NEGERI SAKTI PESAWARAN

Oleh

DEBORA FEBRINA Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(5)

Judul Skripsi : HUBUNGAN PANJANG TELAPAK KAKI DENGAN TINGGI BADAN PADA PRIA DEWASA SUKU

LAMPUNG DI DESA NEGERI SAKTI PESAWARAN

Nama Mahasiswa : Debora Febrina

Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011037

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI

dr. Evi Diana Fitri, Sp. F., SH. NIP. 197211082002122007

dr. Ari Wahyuni NIP.198406102009122007


(6)

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP. 195704241987031001


(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : dr. Evi Diana Fitri, Sp. F., SH.

Sekretaris : dr. Ari Wahyuni

Penguji

Bukan Pembimbing : dr. Masykur Berawi, Sp. A.

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP. 195704241987031001


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bumi Nabung Baru Kecamatan Bumi Nabung, Lampung Tengah pada tanggal 18 Februari 1992, sebagai anak kedua dari empat bersaudara, dari Bapak Hardo Kahono dan Ibu Martha Sibarani .

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD N 2 Bumi Nabung Baru, Lampung Tengah pada tahun 2003, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP N 1 Rumbia Lampung Tengah pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA N 1 Kotagajah Lampung Tengah pada tahun 2009.

Tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur ujian Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis menjadi asisten dosen anatomi dan pernah aktif pada organisasi PMPATD Pakis Rescue Team FK Unila periode 2009-2010.


(9)

Dengan penuh syukur kepada

Tuhan Allah,

kupersembahkan

Karya Kecilku Ini

Kepada

Keluargaku terkasih, Bapak, Ibu, Kak Allen,

Desta, dan Ruben yang terus mendukung dan

mendoakan aku. Kalian adalah orang-orang

berharga yang Tuhan tempatkan di sisiku.


(10)

SANWACANA

Syukur kepada Tuhan Allah Bapa karena anugerah dan kemurahan-Nya bagi saya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul Hubungan Panjang Telapak Kaki dengan Tinggi Badan pada Pria Dewasa Suku Lampung di Desa Negeri Sakti Kabupaten Pesawaran adalah salah satu syarat menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung; 2. Dr. Sutyarso, M.Biomed, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Lampung;

3. dr. Evi Diana Fitri, Sp. F., SH., selaku Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktu, memberikan kritik, saran serta nasihat yang bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini;

4. dr. Ari Wahyuni, selaku Pembimbing Pendamping yang telah meluangkan waktu, memberikan kritik, saran serta nasihat yang bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini;


(11)

ii

5. dr. Masykur Berawi, Sp. A., selaku pembahas atas waktu, ilmu, dan saran-saran dari Dokter demi perbaikan skripsi;

6. dr. Nurlis Mahmud, MM. atas waktu, kesabaran, motivasi, nasihat, dan bimbingannya selama ini;

7. Seluruh staf pengajar Program Studi Pendidikan Dokter Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada saya untuk menambah wawasan yang menjadi landasan bagi masa depan dan cita-cita;

8. Untuk semua staf dan karyawan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang membantu dalam proses pembelajaran semasa kuliah dan penyelesaian skripsi ini terutama Ibu Sofi, Mbak Mega, Pak Makmun, Mbak Ida, Pak Pangat, dan Bang Dai;

9. Keluargaku, Bapak dan Ibu, Kak Allen, Desta, dan Ruben atas dukungan, semangat, doa, motivasi, dan kasih sayang yang selalu menjadi alasanku untuk terus berjuang sampai saat ini;

10. Babangku, Pahala Simanjuntak atas doa, motivasi, dan teladan yang selalu diberikan dalam penyelesaian skripsi ini. Asa;

11. Kepala Desa, Sekdes, Kadus, dan RT Desa Negeri Sakti Kabupaten Pesawaran, Pak Sahabudin, Pak Henri, Pak Idham, dan Pak Hasan atas sambutan yang baik, waktu, dan bantuan yang bapak berikan kepada saya di Desa Negeri Sakti;

12. Semua warga Desa Negeri Sakti pada umumnya dan khususnya pada responden atas bantuan dan kerjasamanya;

13. Teman-teman satu tim, Muslim, Chenso, Agnes, Reza, Hawa atas kerja sama dan keceriaannya;


(12)

iii

14. Teman-teman yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, Lewi, Hema, Rani, Yeni, Laras, Apel, Diana, Bima, Nadia, Risti, K Juli, Nike, K Yeni, K Eki, dan Eci.

15. Keluarga besar Permako Medis, atas doa dan dukungan yang diberikan, atas kehangatan dan canda tawanya;

16. Pengurus Permako Medis 2011/2012 dan 2012/2013 B Pal, Lewi, Hema, Rani, Yeni, Advi, Merry, Ogi, Patrick, Ria, Toni, Agatha, dan Olin atas doa dan motivasi serta bantuan kalian;

17. Teman-teman asdos anatomi, Ebi, Muslim, Dm, Nola, Kharisma, Umi, Iqbal atas motivasi dan keceriaannya;

18. Teman-teman kelompok tutorial 1, Hanif, Marlintan, Icha, Ryan, Reza, Yeni, Salman, Nola, dan Risti, atas dukungan dan keceriannya;

19. Penduduk Pondok Indah K Yeni, K Juli, Advi, Merry, Nur, Eci, Lia, Sofa, Nike, K Adel, Diana, K Okta, K Asih, Novita, Patrick, Hari, Desi, K Dina, Sari, Susi, Pupe, Anggi, Ruth, Iin, Rani, Megy, dan Ibu Indro sekeluarga atas doa, dukungan, kehangatan, dan keceriaan selama ini;

20. Teman-teman seperjuangan angkatan 2009 atas kebersamaannya selama ini. Semoga kita menjadi dokter-dokter yang professional;

21. Adik-Adik 2010, 2011, dan 2012, terimakasih atas dukungan dan doanya, tetap berjuang dan semangat! Amin


(13)

iv

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan skripsi ini. Saya berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Bandar Lampung, 31 Januari 2013 Penulis


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Permasalahan ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Kerangka Pemikiran ... 6

F. Hipotesis ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Anatomi Telapak Kaki ... 8

B. Kelainan pada Telapak Kaki ... 11

C. Kelainan pada Tulang ... 13

D. Pertumbuhan Tulang ... 14

E. Prosedur Identifikasi ... 17


(15)

G. Gambaran Suku di Indonesia dan Suku Lampung ... 23

III. METODE PENELITIAN ... 26

A. Desain Penelitian ... 26

B. Waktu dan Tempat ... 26

C. Populasi dan Sampel ... 26

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 27

E. Alat Penelitian ... 28

F. Prosedur Penelitian ... 29

G. Variabel Penelitian ... 31

H. Definisi Operasional ... 31

I. Pengolahan Data ... 32

J. Analisis Data ... 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Hasil ... 36

B. Pembahasan... 39

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 43

A. Kesimpulan ... 43

B. Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45


(16)

(17)

(18)

(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tinggi badan ditentukan olah kombinasi faktor genetik dan faktor lingkungan. Tinggi badan merupakan penjumlahan dari panjang tulang-tulang panjang dan tulang-tulang-tulang-tulang pelengkap, yang sangat penting secara antropologis untuk menentukan perbedaan rasial (Patel, 2012).

Perkiraan tinggi badan adalah penting untuk keperluan medikolegal, dimana penentuan tinggi badan merupakan langkah utama dalam proses identifikasi subyek ketika hanya sebagian tubuh saja yang ditemukan (Patel, 2012). Hasil penelitian ini juga penting dalam pembuatan prosthesis kaki. Prothesis harus dibuat secara proporsional dengan ukuran tinggi badan dan juga dengan ukuran penunjang tinggi badan yang lainnya sehingga terlihat serasi (Eckert, 1997).

Menentukan identitas individu yang dimutilasi, yang membusuk, dan yang terpotong bagian tubuhnya, menjadi sangat penting akhir-akhir ini, misalnya pada korban bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, angin topan, banjir, dan bencana yang dibuat manusia seperti serangan teror, ledakan bom,


(20)

2

kecelakaan masal, perang, pesawat jatuh, dll. Tinggi badan adalah salah satu elemen terpenting dalam proses identifikasi seseorang (Chikhalkar, 2010).

Penentuan tinggi badan berdasarkan panjang telapak kaki sebelumnya pernah diteliti oleh Ratishauser I.H.E. (1968), Kevin T.D. (1990) pada orang Eropa, Amar Singh (1990) di Medan, Patel S.M. (2007) dan Patel J.P (2012) pada daerah Gujarat, dan Mansur D.I. (2012) di Nepal. Rustishauser adalah yang pertama kali menunjukkan adanya reliabilitas dari estimasi tinggi badan berdasarkan panjang telapak kaki yang hampir sama besarnya dengan reliabilitas estimasi tinggi badan berdasarkan tulang panjang.

Tinggi badan pada manusia cendrung memiliki variasi yang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Variasi tersebut cendrung dipengaruhi oleh ras, jenis kelamin, usia, status gizi, generasi serta kelompok etnis. Tinggi rata-rata dari masing-masing populasi memiliki ragam yang berbeda (Hamilah, 1991).

Indonesia merupakan Negara yang memiliki beratus-ratus suku. Masing-masing dari tiap suku memiliki bentuk fisik dan kebudayaan yang khas (Koentjaraningrat,1989).

Di Indonesia, penelitian mengenai perkiraan tinggi badan berdasarkan panjang tulang sudah banyak dilakukan, langsung maupun perkutan (di atas kulit). Pengukuran langsung terhadap tulang dengan pengukuran perkutan memberikan sedikit perbedaan karena terdapat jaringan kulit dan lemak.


(21)

3

Terhadap Suku Lampung, sudah dilakukan penelitian untuk memperkirakan tinggi badan dengan mengukur panjang os ulna, tibia, dan humerus, tetapi untuk panjang telapak kaki belum dilakukan.

Tulang panjang pria dan wanita berbeda. Tulang panjang pria lebih panjang dan lebih masif dibandingkan dengan tulang wanita dengan perbandingan 100:90 (Krogmann, 1986). Dalam penelitian ini penulis hanya melakukan pengukuran pada pria karena keterbatasan peneliti. Selain itu, penulis sekarang kuliah di Provinsi Lampung, sehingga memilih Suku Lampung untuk memudahkan dalam melakukan penelitian.

Pusat kalsifikasi pada ujung-ujung tulang atau dikenal dengan epifise line akan berakhir seiring dengan pertambahan usia, dan pada setiap tulang, penutupan dari epifise line tersebut rata-rata sampai dengan umur 21 tahun (Byers, 2008). Untuk menghindari bias yang besar maka peneliti menetapkan subjek penelitian ini adalah pria dewasa, yaitu berusia lebih dari 21 tahun karena pada usia tersebut sudah tidak terjadi pertumbuhan tulang. Penelitian dilakukan di Desa Negeri Sakti Kabupaten Pesawaran karena di Desa tersebut mayoritas penduduknya adalah Suku Lampung. Dalam penelitian ini pengukuran akan dilakukan pada telapak kaki kanan dan kiri pria dewasa Suku Lampung di Desa Negeri Sakti Kabupaten Pesawaran.


(22)

4

B. Rumusan Masalah

Dalam kasus mutilasi misalnya, perlu dilakukan identifikasi, salah satu data yang penting adalah tinggi badan. Tiap suku memiliki ciri fisik yang berbeda. Perkiraan tinggi badan berdasarkan panjang telapak kaki belum dilakukan pada pria dewasa suku Lampung. Hal tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana hubungan panjang telapak kaki dengan tinggi badan pada pria dewasa Suku Lampung.

Berdasarkan latar belakang di atas, didapatkan rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan tinggi badan dengan panjang telapak kaki pria dewasa Suku Lampung?

2. Bagaimana rumus regresi antara panjang telapak kaki dan tinggi badan pada pria dewasa Suku Lampung?

3. Berapakah rata-rata tinggi badan pria dewasa Suku Lampung? 4. Berapakah rata-rata panjang telapak kaki pria dewasa Suku

Lampung?


(23)

5

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan panjang telapak kaki dengan tinggi badan pada pria dewasa Suku Lampung.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis hubungan panjang telapak kaki dengan tinggi badan pria dewasa Suku Lampung.

2. Mencari rumus regresi khusus untuk tinggi badan pria dewasa Suku Lampung berdasarkan panjang telapak kaki.

3. Mendapatkan rata-rata tinggi badan pria dewasa Suku Lampung.

4. Mendapatkan rata-rata panjang telapak kaki pria dewasa Suku Lampung. 5. Mendapatkan gambaran IMT pria dewasa Suku Lampung.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, menambah ilmu pengetahuan tentang metode penelitian, bidang anatomi dan antropometrik serta menerapkan ilmu yang didapat. 2. Bagi masyarakat, memperluas wawasan di bidang kesehatan.

3. Bagi instansi terkait, memperkirakan tinggi badan mayat yang tidak utuh dengan menggunakan panjang telapak kaki (Kedokteran Forensik), serta bermanfaat untuk kepentingan pembuatan prosthesis kaki.

4. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai acuan untuk penelitian yang serupa.


(24)

6

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Menurut Notoatmojo (2002), kerangka teori pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara teori-teori yang ingin diamati untuk diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan. Berdasarkan teori yang telah dijelaskan diatas, maka dapat digambarkan kerangka teori penelitian dalam diagram sebagai berikut.

Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi badan (Patel, 2012). Genetik

Lingkungan: 1. Nutrisi

2. Sosioekonomi 3. Aktivitas Fisik

Tinggi Badan Perbedaan Ras/ Suku


(25)

7

2. Kerangka Konsep

Gambar 2 Kerangka konsep.

F. Hipotesis

Dari paparan di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan panjang telapak kaki dengan tinggi badan

pria dewasa Suku Lampung.

2. Terdapat rumus regresi khusus untuk menentukan tinggi badan pria dewasa Suku Lampung.

Variabel Bebas: Panjang telapak

kaki

Variabel Terikat: Tinggi badan Variabel Terkendali:

 Jenis Kelamin

 Usia

 Suku


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Telapak Kaki

Kaki manusia merupakan struktur mekanis yang kuat dan kompleks, kaki terdiri dari 26 tulang dan 33 sendi yang mana 20 dari sendi ini artikulasinya aktif, serta terdiri atas ratusan otot, tendon, dan ligamen. Kaki manusia dapat di bagi lagi menjadi 3 bagian, yaitu hindfoot (kaki belakang), midfoot (kaki tengah), dan forefoot (kaki depan) (Snell, 1997).

Hindfoot dimulai dari talus atau tulang pergelangan kaki, dan calcaneus atau tulang tumit. Dua tulang panjang dari tungkai bawah terhubung dengan bagian atas dari talus, dan dibentuk oleh sendi subtalar, sementara calcaneus yang merupakan tulang terbesar di kaki diposisikan oleh lapisan lemak di bagian inferior kaki (Klenerman, 1976).

Hanya satu tulang, yaitu talus yang bersendi dengan tulang-tulang tungkai bawah. Talus terdiri dari sebuah corpus tali, collum tali, dan caput tali. Talus terletak di atas bagian duapertiga anterior calcaneus dan juga bersendi dengan tibia, fibula, dan os naviculare. Permukaan proksimal talus menanggung berat tubuh yang diteruskan melalui tibia (Moore, 2002).


(27)

9

Calcaneus adalah tulang kaki yang paling besar dan paling kuat. Ke proksimal, tulang ini bersendi dengan talus dan ke arah anterior dengan os

cuboideum. Sustentaculum tali adalah sebuah taju yang menyerupai papan rak dan menonjol dari tepi atas permukaan medial calcaneus untuk membantu menyokong talus. Permukaan lateral calcaneus memiliki sebuah rigi serong yang dikenal sebagai trochlea fibularis. Bagian posterior calcaneus memiliki sebuah tonjolan tuber calcanei dengan processus medialis tuberis calcanei, processus lateralis tuberis calcanei, dan prosesus anterior tuberis calcanei. Sewaktu berdiri hanya processus medialis tuberis calcanei bertumpu pada bumi (Moore, 2002).

Sementara di midfoot terdapat lima buah tulang yang irreguler, yaitu tulang cuboid, naviculare, dan tiga tulang cuneiforme yang membentuk lengkungan pada kaki yang mana berfungsi sebagai penahan terhadap syok. Midfoot dihubungkan dengan bagian hindfoot dan forefoot oleh fascia plantaris (Klenerman, 1976).

Os naviculare terletak antara caput tali dan os cuneiforme. Os cuboideum adalah tulang paling lateral pada baris ossa tarsi distal. Anterior dari tuberositas ossis cuboidei pada permukaan lateral dan inferior terdapat sebuah alur pada os cuboideum. Ketiga os cuneiforme adalah os cuneiforme medial, os cuneiforme intermedium, dan os cuneiforme lateral. Masing-masing os cuneiforme ke posterior bersendi dengan os naviculare dan ke anterior dengan basis metatarsalis yang sesuai. Di samping itu os cuneiforme lateral bersendi dengan os cuboideum (Moore, 2002).


(28)

10

Forefoot dibentuk oleh kelima jari jari kaki bagian proksimalnya berhubungn dengan lima tulang panjang yang membentuk metatarsal dan distal metatarsal bersendi dengan phalanx Setiap jari kaki memiliki tiga phalanx kecuali jempol kaki yang hanya memiliki dua phalanx. Sendi yang menghubungkan antar phalanx disebut sendi interphalangeal. Dan yang menghubungkan antara metatarsal dan phalanx disebut sendi metatarsophalangeal (Klenerman, 1976).

Ossa metatarsi terdiri dari lima ossa metatarsi yang diberi angka mulai dari sisi medial kaki. Masing-masing tulang terdiri dari sebuah basis metatarsalis pada ujung proksimal, corpus metatarsalis, dan caput metatarsalis pada ujung distal. Basis metatarsalis I-V bersendi dengan os cuneiforme dan os cuboideum. Dan caput metatarsale tersebut bersendi dengan phalanx proksimal. Pada permukaan plantar caput ossis metatarsalis 1 ossa sesamoidea medial dan lateral yang menonjol. Basis metatarsalis memiliki sebuah tuberositas yang menganjur lewat tepi lateral os cuboideum (Moore, 2002).

Seluruhnya terdapat 14 phalanx: jari kaki pertama terdiri dari 2 phalanx (phalanx proksimalis dan phalanx distalis); keempat jari kaki lainnya masing-masing terdiri dari 3 phalanx (phalanx proksimalis, media, dan distalis). Pada masing-masing phalanx dapat dibedakan sebuah basis phalangis pada ujung proksimal, corpus phalangis, dan caput phalangis pada ujung distal. Phalanx jari kaki pertama (digitus primus [hallux]) adalah pendek, lebar, dan kuat (Moore, 2002).


(29)

11

Gambar 3 Tulang Pada Telapak Kaki (Gore and Spencer, 2004).

B. Kelainan pada Telapak Kaki

Kelainan bentuk pada telapak kaki bisa berupa kelainan kongenital, akibat penyakit sistemik, atau akibat kecelakaan yang menyebabkan terjadinya deformitas. Terdapat banyak jenis kelainan pada telapak kaki. Talipes planovalgus disebabkan bagian midfoot kaki menyentuh permukaan tanah atau disebut dengan kaki yang rata. Pada umur pertama pada bayi hal ini masih dianggap normal dan memiliki plantarfleksi yang maksimal. Tetapi


(30)

12

jika hal ini ditemukan pada orang dewasa terdapat kelainan pembentukan arkus medialis, yang seharusnya terbentuk pada tahun ketiga ketika bayi (Klenerman, 1976).

Gambar 4 Kelainan pada telapak kaki (Sholeh, 2009).

Pada talipes cavovarus, bagian forefoot teradduksi ke bagian tengah dan bagian metatarsal teradduksi relatif dan midfoot hanya terlihat sedikit menaik jika dilihat pada anteroposterior. Pada kondisi kelainan otot betis juga dapat menyebabkan kelainan bentuk telapak kaki, misalnya talipes equinovalgus dimana bagian tumit terlihat sangat kecil dan bagian forefoot teradduksi ke medial sehingga penampakannya seperti berjinjit. Umumnya kelainan ini dijumpai saat kelahiran atau justru ketika terdapat kelainan dan anak tidak bisa berjalan normal (Klenerman, 1976).


(31)

13

C. Kelainan pada Tulang

Kelainan pada tulang dapat mempengaruhi tinggi badan seseorang. Kelainan bisa terjadi sejak masih dalam kandungan ataupun karena faktor penyakit yang diperoleh setelah dilahirkan maupun setelah dewasa. Sehingga kita mengenal kategori tinggi badan manusia (Snell, 1997).

Gigantisme disebabkan karena kelainan hormon pertumbuhan yang dapat mengakibatkan pertumbuhan tulang terjadi dengan sangat cepat. Sebaliknya, kekurangan hormon dalam jumlah besar menyebabkan terjadinya penutupan lempeng epifiseal terlalu cepat sehingga tulang tidak bertambah panjang lagi akibatnya ukuran tinggi badan menjadi sangat pendek (Snell, 1997).

Selain itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinggi badan manusia adalah derajat deformitas, terutama apabila seseorang mengalami patah tulang hebat sehingga mempengaruhi tinggi badan. Penyakit Riketsia juga mempengaruhi tinggi badan, pada penyakit ini terjadi gangguan mineralisasi pada tulang sehingga terjadi pertumbuhan tulang rawan berlebihan dan pelebaran lempeng epifiseal sehingga menyebabkan pembengkokkan tulang panjang ekstremitas bawah dan deformitas pelvis akibat jeleknya mineralisasi dan lunaknya matriks osteoid, serta tekanan dari berat badan (Devison, 2008).

Usia juga berpengaruh dalam penentuan tinggi badan, diantaranya osteoporosis, skoliosis, dan lordosis yang diakibatkan oleh penurunan fungsi


(32)

14

metabolik tubuh, gangguan gizi, endokrin, yang akan mempengaruhi struktur tulang (Snell, 1997).

Tabel 1 Pengelompokan Tinggi Badan Menurut Martin (Glinka, 2008). Klasifikasi Laki-laki (cm) Perempuan (cm)

Kerdil < 129,9 < 120,9

Sangat Pendek 130,0 – 149,9 121,0 – 139,9 Pendek 150,0 – 159,9 140,0 – 148,9 Di Bawah Sedang 160,0 – 163,9 149,0 – 152,9 Sedang 164,0 – 166,9 153,0 – 155,9 Di Atas Sedang 167,0 – 169,9 156,0 – 158,9 Tinggi 170,0 – 179,9 159,0 – 167,9 Sangat Tinggi 180,0 – 199,9 168,0 – 186,9

Raksasa >200 >187,0

D. Pertumbuhan Tulang

Kerangka/tulang pada tubuh manusia adalah jaringan hidup yang sepertiga bagiannya adalah air (Parker, 1992). Seperti jaringan ikat lainnya, tulang terdiri atas sel-sel, serabut-serabut dan matriks. Mempunyai pembuluh darah yang masuk membawa oksigen dan zat makanan serta keluar membawa sisa makanan. Struktur dasar tulang pada umumnya terdiri atas epifise, metafise, dan diafise (Palmer, 1995). Epifise adalah pusat kalsifikasi pada ujung-ujung tulang, metafise adalah bagian diafisis yang berbatasan dengan lempeng epifiseal, dan diafise sendiri adalah pusat pertumbuhan tulang yang ditemukan pada batang tulang.

Pada tulang-tulang panjang ekstremitas (alat gerak) terjadi perkembangan secara osifikasi endokondral, dan osifikasi ini merupakan proses lambat dan tidak lengkap dari mulai dalam kandungan sampai usia sekitar 18-20 tahun


(33)

15

atau bahkan dapat lebih lama lagi (Snell, 1997). Pertumbuhan manusia dimulai sejak dalam kandungan, sampai usia kira-kira 10 tahun anak pria dan wanita tumbuh dengan kecepatan yang kira-kira sama. Sejak usia 12 tahun, anak pria sering mengalami pertumbuhan lebih cepat dibandingkan wanita, sehingga kebanyakan pria yang mencapai remaja lebih tinggi daripada wanita. Pusat kalsifikasi pada ujung-ujung tulang atau dikenal dengan epifise line, akan berakhir seiring dengan pertambahan usia, dan pada setiap tulang, penutupan dari epifise line tersebut rata-rata sampai dengan umur 21 tahun (Byers, 2008).

Secara teori disebutkan bahwa umumnya pria dewasa cenderung lebih tinggi dibandingkan wanita dewasa dan juga mempunyai tungkai yang lebih panjang, tulangnya yang lebih besar dan lebih berat serta massa otot yang lebih besar dan padat. Pria mempunyai lemak subkutan yang lebih sedikit, sehingga membuat bentuknya lebih angular. Sedangkan wanita dewasa cenderung lebih pendek dibandingkan pria dewasa dan mempunyai tulang yang lebih kecil dan lebih sedikit massa otot. Wanita lebih banyak mempunyai lemak subkutan. Wanita mempunyai sudut siku yang lebih luas, dengan akibat deviasi lateral lengan bawah terhadap lengan atas yang lebih besar (Snell, 1997).

Seluruh permukaan tulang, kecuali permukaan yang mengadakan persendian, diliputi oleh lapisan jaringan fibrosa tebal yang dinamakan periosteum. Periosteum banyak mengandung pembuluh darah, dan sel-sel pada permukaannya yang lebih dalam bersifat osteogenik. Periosteum khususnya


(34)

16

berhubungan erat dengan tulang-tulang pada tempat-tempat perlekatan otot, tendon, dan ligamen pada tulang (Snell, 1997).

Gambar 5 Sketsa radiologis bagian caput tulang(Palmer, 1995).

Gambar 6 Gamabaran komponen tulang panjang pada potongan sagital (Byers, 2008).


(35)

17

E. Prosedur Identifikasi

Pada tahun 1883 Alphonse Bertillon, dokter berkebangsaan Prancis, menemukan sistem identifikasi yang tergantung kepada karakter yang tetap dari bagian tubuh tertentu. Ia menemukan bahwa pengukuran berubah sesuai dengan karakteristik dan dimensi dari struktur tulangnya. Bertillon menyimpulkan bahwa apabila seseorang dapat dikenali melalui ciri khususnya. Metode ini menjadi amat terkenal sejak metode dan digunakan oleh polisi Perancis untuk mengidentifikasi kriminal dan terbukti dengan dapat ditemukannya sejumlah besar pelaku kriminal (Amir, 2008).

Seiring perkembangan, autopsi Forensik dilakukan tidak hanya dilakukan terhadap tubuh yang masih utuh saja, karena tidak semua mayat ditemukan dalam kondisi utuh. Seringkali mayat yang ditemukan sudah dalam keadaan terpotong potong dan rusak. Dalam keadaan tubuh tidak lagi sempurna teori atau rumus yang menyatakan hubungan tentang tulang-tulang tertentu dengan tinggi badan merupakan acuan yang tidak lagi dapat dipungkiri (Amir, 2008).

Pada keadaan tubuh tidak lagi utuh pengukuran tinggi badan secara kasar dapat diperkirakan melalui:

1. Jarak dari vertex ke simfisis pubis dikali 2 atau panjang dari simfisis pubis sampai ke salah satu tumit, dengan posisi tumit diregangkan. 2. Mengukur panjang salah satu lengan dari salah satu ujung jari tengah,

sampai ke akromion di klavikula dan dikali dua lalu ditambah 34 cm. 3. Panjang femur dikali 2.


(36)

18

4. Panjang humerus dikali 6.

Apabila pengukuran hanya menggunakan tulang dalam keadaan kering maka umumnya terjadi pemendekan sebanyak 2 milimeter, dan apabila tulang dalam keadaan segar maka lakukan penambahan 2,5 sampai 4 cm untuk mengganti jarak antara sambungan sendi sendi (Devison, 2009).

Penentuan tinggi badan berdasarkan panjang telapak kaki sebenarnya telah diteliti oleh beberapa ahli Antropologi Forensik, tetapi seringkali tidak dapat diterapkan di Indonesia karena terdapat perbedaan tinggi badan orang Indonesia dengan orang Eropa dan Indian (Limanjaya, 2010).

Tabel 3 Rumus Tinggi Badan Menurut Patel (Patel,2007).

Tabel 4 Tabel Perkiraan Tinggi Badan Menurut Davis (Davis, 1990).

DVI atau Disaster Victim Identification menerangkan metode identifikasi yang telah distandarkan secara Internasional dan diadopsi di Indonesia.


(37)

19

Terdapat 2 golongan identifikasi, yaitu pertama disebut dengan Primary Identifiers yang terdiri dari sidik jari (fingerprint), rekam medik gigi (dental record), dan DNA (Deoxyribo Nucleid Acid), serta yang kedua disebut dengan Secondary Identifiers yang terdiri dari pemeriksaan medik (medical), property, dan photography (Ishak, 2007).

Pada pemeriksaan medik dilakukan pemeriksaan fisik jenazah secara keseluruhan yang meliputi bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, warna tirai mata, cacat tubuh serta kelainan bawaan, jaringan parut bekas luka operasi, tato dan sebagainya (Idries, 1993).

Dalam pemeriksaan forensik penentuan tinggi badan seseorang individu sangatlah penting, terutama bila hanya sepotong bagian tubuh jenazah saja yang ditemukan. Oleh sebab itu begitu banyak formula pemeriksaan yang dirumuskan untuk mengukur atau memperkirakan tinggi badan seseorang (Wahid, 1993).

F. Antropometri

Dalam pengamatan sehari-hari akan membawa kita kepada pengalaman bahwa manusia, walaupun satu spesies, bervariasi juga. Kenyataan ini mendorong orang untuk melihat perbedaan-perbedaan ini makin teliti dan metode yang paling tepat adalah ukuran, dimana di samping ketepatan, memungkinkan juga objektivitas. Dengan demikian, lahirlah sebidang ilmu yang disebut antropometri. Antropometri berasal dari kata Anthropos yang


(38)

20

berarti man (orang) dan Metron yang berarti measure (ukuran). Jadi antropometri merupakan pengukuran terhadap manusia (mengukur manusia) (Glinka, 1990).

Johan Sigismund Elsholtz adalah orang pertama yang menggunakan istilah antropometri dalam pengertian sesungguhnya (tahun 1654). Ia adalah seorang ahli anatomi berkebangsaan Jerman. Pada saat itu ia menciptakan alat ukur yang disebut “anthropometron”, namun pada akhirnya Elsholtz menyempurnakan alat ukurnya dan inilah cikal bakal instrumen atau alat ukur yang sekarang kita kenal sebagai antropometer (Glinka, 2008).

A B

Gambar 7 (A) Papan Osteometri (Knaight, 1996).

(B) Antropometer menurut Martin (Glinka, 2008).

Pada abad 19, penelitian di bidang antropometri mulai berkembang dari perhitungan sederhana menjadi lebih rumit, yaitu dengan menghitung indeks. Indeks adalah cara perhitungan yang dikembangkan untuk mendeskripsikan bentuk (shape) melalui keterkaitan antar titik pengukuran. Perhitungan indeks, titik pengukuran dan cara pengukuran berkembang pesat yang


(39)

21

berdampak pada banyaknya variasi cara klasifikasi. Hal ini berdampak pada tidak adanya standarisasi, terutama pada bidang osteometri (pengukuran tulang-tulang). Tidak adanya standarisasi ini membuat para ahli tidak bisa membandingkan hasil penelitiannya karena standar pengukuran, titik pengukuran serta indeks yang berbeda-beda (Glinka, 2008).

Upaya standarisasi mulai dilakukan pada pertengahan abad 19 berdasarkan studi Paul Broca yang mana upaya tersebut telah dilakukan sejak awal 1870-an, dan kemudian disempurnakan melalui kongres ahli antropologi Jerman pada 1882 di Frankfurt yang kemudian dikenal sebagai “Kesepakatan Frankfurt”, yaitu menentukan garis dasar posisi kepala atau kranium ditetapkan sebagai garis Frankfurt Horizontal Plane atau Dataran Frankfurt (Gambar 8) (Glinka, 2008).

Gambar 8 Dataran Frankfurt (Glinka, 2008).

Garis C adalah Dataran Frankfurt yang merupakan bidang horizontal sejajar dengan dasar atau lantai yang melalui titik paling bawah pada satu lekuk


(40)

22

mata (umumnya paling kiri) dan titik paling atas pada dua lubang telinga luar (porion pada tengkorak, tragion pada manusia hidup). Dataran ini merupakan patokan penilaian dan pengukuran baik pengukuran tinggi badan maupun pengukuran sudut.

Perkembangan berikutnya dibuat oleh antropologi Jerman lainnya yaitu Rudolf Martin yang pada tahun 1914 menerbitkan buku yang berjudul “Lehrbuch der Anthropologie”. Selanjutnya pada tahun 1981 bersama Knussmann, Rudolf Martin memperbaharui buku tersebut (Glinka, 2008).

Masyarakat lama umumnya telah menggunakan satuan ukuran dengan lebar jari, lebar telapak tangan, jengkal, hasta, depa, langkah kaki dan sebagainya. Namun Rudolf Martin dalam bukunya menjelaskan dengan teliti masing-masing titik anatomis yang dipergunakan. Masing-masing-masing titik diberikan nama serta simbolnya, yang terdiri dari satu sampai tiga huruf. Jarak antara titik-titik antropometris ini menjadi ukuran antropometris, yang dilambangkan dengan simbol kedua titik atau ujung, misalnya simbol v ialah vertex, sty ialah stylion yang merupakan titik paling distal pada ujung processus styloideus. Disamping itu masing-masing ukuran lazimnya disertai nomor sesuai numerus pada buku Martin (Glinka, 2008).


(41)

23

A B

Gambar 9 (Glinka, 2008) (A) Pengukuran Beberapa Ukuran Panjang Lengan.

(B) Beberapa Titik Anatomis Tubuh.

G. Gambaran Suku Indonesia dan Suku Lampung

Penduduk Indonesia terdiri dari 300 kelompok etnis atau suku bangsa. Di antara suku bangsa yang paling besar jumlahnya yaitu: Suku Jawa, Sunda, Bali, Batak, Dayak, Minangkabau, Madura dan lain-lainnya. Karena keaneka-ragaman suku bangsa inilah, bangsa Indonesia mempunyai semboyan Nasional yang diambil dari bahasa Sansekerta yaitu "Bhineka Tunggal Ika" yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Suku Jawa adalah kelompok suku terbesar di Indonesia dengan jumlah mencapai 41% dari total populasi. Orang Jawa kebanyakan berkumpul di Pulau Jawa, akan tetapi jutaan jiwa telah bertransmigrasi dan tersebar ke berbagai pulau di Nusantara bahkan bermigrasi ke luar negeri seperti ke Malaysia dan Suriname. Suku Sunda, Suku Melayu, dan Suku Madura adalah


(42)

24

kelompok terbesar berikutnya di negara ini. Banyak suku terpencil, terutama di Kalimantan dan Papua, memiliki populasi kecil yang hanya beranggotakan ratusan orang. Sebagian besar bahasa daerah masuk dalam golongan rumpun Bahasa Austronesia, meskipun demikian sejumlah besar suku di Papua tergolong dalam rumpun bahasa Papua atau Melanesia. Berdasarkan data Sensus 2000, suku Tionghoa Indonesia berjumlah sekitar 1% dari total populasi.Warga keturunan Tionghoa Indonesia ini berbicara dalam berbagai dialek bahasa Tionghoa, kebanyakan bahasa Hokkien dan Hakka (Daud, 2012).

Suku bangsa Lampung konon berasal dari Skala Brak, yang sekarang merupakan bagian wilayah Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Utara. Asal kata “Lampung” sendiri konon berasal dari kata “terapung” yang berkaitan dengan turunnya dari langit tokoh ternama „Si Lampung Ratu Bulan‟. Pendapat lain menghubungkan kata itu dengan ucapan “to-lang-p‟ao -whang” yang ada dalam catatan Cina. Akhirnya ucapan “to-lang-p‟ao -whang” berubah menjadi Lampung.

Suku Lampung adalah suku yang menempati seluruh Provinsi Lampung dan sebagian Provinsi Sumatra Selatan bagian selatan dan tengah. Suku bangsa Lampung dibedakan menjadi 2 sub-suku bangsa yakni Lampung Pepadun, dan Lampung Peminggir. Lampung Pepadun berada di Kecamatan Kota Bumi, Abung Barat, Sukadana, Terbanggi Besar, Gunung Sugih. Sedangkan, Lampung Peminggir berada di daerah Labuhan Maringgai, Liwa, Kenali,


(43)

25

Pesisir, Cukuh Balak, Talang Padang, Kota Agung, Wonosobo (Laguntu, 2012).


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, A., 2008. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Ketiga. Medan: Bagian Forensik FK USU.

Bartillon Anthropometry, 2006. Bartillon Signalement Anthropomoetrique. Avalaible from: http://www.uh.edu/engines/bertillon_signalement_antropometrique.png (Accessed 21 Oktober 2012).

Byers S.N. 2008. Basics of Human Osteology and Odontology. In: Introduction to Forensic Anthropology. Third Edition. Boston. 28-59.

Dahlan, M. Sopiyudin. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta

Dahlan, M. Sopiyudin. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.

Daud, Apriadi Rachmat. 2012. Ada 1.128 Suku Bangsa Di Indonesia

http://ayahalif.blogspot.com/2012/09/ada-1128-suku-bangsa-di-indonesia.html (Accessed 29 Januari 2013).

Devision, Reinhard John. 2009. Penetuan Tinggi Badan Berdasarkan Panjang Lengan Bawah. Tesis. Uneversitas Sumatera Utara. Medan

Glinka J., Artaria M.D., Koesbardiati T. 2008. Metode Pengukuran Manusia. Airlangga. Surabaya. 1-66.

Glinka J. 1990. Antropometri dan Antroposkopi. Edisi 3. Fisip Universitas Airlangga. Surabaya. 1-77.

Gore, Alvin I. and Spencer, Jeanne P. 2004. The Newbornfoot. American Academy of Family Physician. http://www.aafp.org/afp/2004/0215/p865.html (Accessed 29 Januari 2013)


(45)

46

Hamilah, DK. 1991. Pola Pertumbuhan Jaringan Lunak Kranifacial serta kaitannya dengan Pola Pertumbuhan Jaringan Keras Kraniofacial dan Pertumbuhan Umum : Kajian Sefalometrik Pada Anak Usia 6-8 Tahun. Disertasi FKG Usakti. Jakarta.

Idries A.M. 1992. Identifikasi. Dalam: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Binarupa Aksara.

Ishaq M. 2007. DVI Overview: Recent Development in Indonesia. Dalam: Disaster Victim Identification Workshop. Medan.

Klennerman, 1976. Foot and its disorder.First Edition.Oxfort: Blackwell Scientific Publications

Koentjaraningrat. 1989. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbit Djambatan. Jakarta

Krogman W.M., Iscan M.Y.1986. Osteometry. In: The Human Skeleton In Forensic Medicine. Charles C. Thomas Publisher. Illionis. 518-532.

Laguntu, Winarsih. 2008. Ragam Budaya Nusantara. Diakses pada tanggal 29 Januari 2013 http://winarsihsmansab.blogspot.com/2012/06/pendidikan-dan-kesenian-orang-lampung.html

Limanjaya, Anita. 2010. Perkiraan Tinggi Badan Berdasarkan Panjang Telapak Kaki pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Skripsi.

Notoatmojo, Soekidjo.2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. Palmer P.E.S., Cockshott W.P., Hegedus V. Foto Tulang. Dalam: Petunjuk

Membaca Foto Untuk Dokter Umum. Alih Bahasa L. Hartono. EGC. Jakarta. Parker S. 1992. Seri Eyewitness-Kerangka. Edisi Bahasa Indonesia. Terjemahan

Andreas Manalu. PT.Bentara Antar Asia. Jakarta. 1-63.

Patel, S.M., 2007. Estimation Height from Measurement of Foot Length in Gujarat Region. Dalam: J. Anat. Soc. India. 56(1) 25-27 2007.

Height. Human Height Measurement Position. Avalaible from: http://medind.nic.in/jae/t07/i1/jaet07i1p25.pdf (Accessed 24 October 2012). Patel, J.P., Estimation Height from Measurement of Foot Length in Gujarat Region

dalam Internationan journal of biological & medical research. 2012;3(3); 2121-2125 available from:


(46)

47

ght_from_measurement_of_foot_length_in_gujarat_region.pdf (accesed 28 October 2012)

Sastroasmoro, Sudigdo.2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Binarupa Aksara. Jakarta

Sholeh, Awal. 2009. Kelainan Bentuk Telapak Kaki. Site Education, News, and Promotion. http://awalsholeh.blogspot.com/2009/06/mendeteksi-dan-menangani-cacat-kelainan.html (Accessed 29 Januari 2013)

Snell R.S. 1998. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Bagian 2. Edisi 3. Alih Bahasa Adji Dharma, Mulyani. EGC. Jakarta. 113-270.

Tim Pengajar Gizi Klinik. 2007. Antropometri Ilmu Gzi Klinik. Bagian Ilmu Kedokteran Keluarga FK UI. Jakarta

Wahid S.A.1993. Identifikasi. Dalam: Patologi Forensik. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. 1993: 13-48, 56-78.


(47)

(48)

(49)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan metode analitik korelatif, dengan pendekatan cross sectional, dimana data yang menyangkut variabel bebas atau risiko dan variabel terikat atau variabel akibat serta variabel perancu, akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2002).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan data dilakukan di Desa Negeri Sakti Kabupaten Pesawaran pada bulan Desember 2012.

C. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian seluruh pria dewasa suku Lampung yang ada di Desa Negeri Sakti Kabupaten Pesawaran yang memenuhi kriteria populasi. Sampel penilitian yang dipilih adalah perwakilan anggota yang termasuk dalam populasi penelitian. Sampel tersebut dipilih berdasarkan concecutive sampling, yaitu mengambil sampel yang terjangkau, yang sesuai dengan


(50)

27

ketentuan atau persyaratan sampel, dari populasi tertentu (Amirin, 2011).

Menurut Dahlan (2009), penentuan besar sampel untuk penelitian yang bertujuan mencari hubungan antara variabel independen dan variabel dependen yang keduanya berskala numerik adalah dengan menggunakan rumus penentuan besar sampel analitis korelatif, yaitu :

� = � +�

0,5�� 1 +� 1− �

2

+ 3

Keterangan :

Kesalahan tipe I = ditetapkan sebesar 1 %, hipotesis satu arah sehingga � = 1,645.

Kesalahan tipe II = ditetapkan sebesar 10 %, maka � =2,326. Koefisisien Korelasi = 0,65 (kepustakaan).

Dengan demikian jumlah sampel minimal adalah 29. Dalam penelitian ini akan digunakan 50 sampel.

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi populasi yang menjadi subjek penelitian adalah sebagai berikut:

a. Pria dewasa yang berusia lebih dari 21 tahun.

b. Dua generasi di atas berasal dari Suku Lampung, yaitu orang tua serta kakek dan nenek.


(51)

28

d. Bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian yang dibuktikan dengan informed consent.

2. Kriteria Eksklusi

a. Subjek tidak bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian yang dibuktikan dengan informed consent.

b. Memiliki kelainan kaki dan tulang yang mempengaruhi tinggi badan dan panjang telapak kaki.

c. Subjek bukan penduduk Desa Negeri Sakti Kabupaten Pesawaran.

E. Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan adalah :

1. Microtoise untuk mengukur tinggi badan dengan satuan sentimeter (cm).

2. Informed consent untuk membuktikan kesedian dari sampel menjadi subjek penelitian.

3. Formulir untuk mencatat identitas subjek dari hasil pengukuran.

4. Antropometer atau sigmat (vernier caliper) untuk mengukur panjang telapak kaki. Alat yang digunakan adalah vernier caliper. Alat ini mampu mengukur panjang maksimal 30 cm dengan ketelitian 0,05 mm dan tersusun menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan pegangan yang bersifat statis, sedangkan bagian yang kedua merupakan pegangan yang mobil, yang dapat digeser ke atas dan ke bawah, masing-masing


(52)

29

pegangan ini memiliki jarum penunjuk yang memungkinkan ukuran ditentukan.

F. Prosedur Penelitian

Gambar 10 Prosedur Penelitian.

1. Pengumpulan data dan pengisian kuisioner

Sebelum dilakukan pengukuran, responden diinformasikan mengenai apa yang hendak dilakukan dalam penelitian dan diberikan pengarahan mengenai pengisian formulir. Formulir memuat data tentang nama responden, alamat, umur, suku ayah, suku ibu, panjang telapak kaki kanan dan kiri, serta tinggi badan. Setelah mengisi isian, subjek akan memasuki tahap pengukuran.

2. Pengukuran tinggi badan

Pengukuran tinggi badan dilakukan pada siang hari untuk menghindari adanya variasi diurnal, dimana tinggi badan pada pagi hari lebih besar daripada siang hari. Pengukuran dilakukan pada sisi permukaan tanah yang datar. Dalam pengkuran responden diminta berdiri tegak, leher diluruskan dan kaki dirapatkan. Posisi mata memandang lurus ke depan. Bahu dalam keadaan rileks, bagian belakang bahu dan pantat menyentuh Pengumpulan Data dan Pengisian Kuisioner Pengukuran Tinggi Badan Pengukuran Panjang Telapak Kaki Pengolahan Data


(53)

30

ke tembok. Tangan berada disamping. Tangan siku pengukur diturunkan sampai menyentuh puncak kepala (vertex). Posisi lutut bagian medial dan mata kaki dalam keadaan rapat.

Tinggi badan didefenisikan sebagai jarak antara puncak kepala (verteks) hingga ke tumit dalam posisi tegak. Pembacaan pengukuran dilakukan oleh pengukur dengan melihat angka yang tertera pada microtoise dan posisi mata sejajar dengan tangkai pengukur tinggi badan. Hasil dicatat dalam satuan sentimeter sampai satu angka di belakang koma.

Gambar 11 Gambar pengukuran tinggi badan dan pengukuran tinggi titik anatomis lainnya (Glinka, 2008).

3. Pengukuran Panjang Telapak Kaki

Dalam pengukuran panjang telapak kaki, dipilih telapak kaki kanan dan kiri. Posisi sampel duduk diatas kursi yang nyaman agar memudahkan pengukuran. Tandai dengan spidol ujung belakang tuber calcanei (Pternion) dan bagian ujung depan phalanx I/ II (Acropodion). Jarak antara kedua tanda ini diukur dengan kaliper geser dan hasil


(54)

31

pengukurannya dicatat dalam formulir penelitian dalam satuan sentimeter sampai dua angka di belakang koma.

Gambar 12 Acuan Pengukuran Antropometri (Firgianti, 2012).

G. Variabel penelitian

Menurut Sastroasmoro (2008) variabel independen adalah variabel yang apabila nilainya berubah akan mempengaruhi variabel lain. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah panjang telapak kaki. Variabel dependen yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah tinggi badan.

H. Definisi Operasional

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas maka dibuat definisi operasional sebagai berikut:

Acropodion


(55)

32

Tabel 5 Definisi Operasional Masing-Masing Variabel.

No. Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala 1. Tinggi

Badan

Jarak antara ujung kepala (vertex) sampai dengan tumit (calcaneus) pada posisi berdiri

tegak saat

dilakukan pengukuran.

Microtoise Centi meter Rasio

2. Panjang Telapak Kaki

Jarak anatara ujung belakang tuber calcanei (Pternion) sampai dengan ujung depan phalanx I/II (Acropodion).

Vernier Caliper

Centi meter Rasio

3. Pria Dewasa

Pria yang telah berusia lebih dari 21 tahun yang sudah, belum, atau pernah menikah saat penelitian.

- - Ordinal

4. Suku Lampung

Orang yang

mempunyai garis ketrunan dua generasi di atasnya berasal dari suku Lampung, yaitu orang tua serta kakek dan nenek dari responden.


(56)

33

I. Pengolahan Data

Proses pengolahan data menggunakan komputer terdiri dari beberapa langkah, yaitu:

1. Pengeditan, yaitu mengoreksi data untuk memeriksa kelengkapan dan kesempurnaan data.

2. Pengkodean, memberikan kode pada data sehingga mempermudah pengelompokan data.

3. Pemasukan data, memasukan data ke dalam program computer. 4. Tabulasi, menyajikan data dalam bentuk tabel.

Pengolahan dilakukan juga dengan memvisualisasikan data yang diperoleh dalam bentuk tabel, teks, dan grafik dengan menggunakan perangkat komputer.

Dalam penelitian ini akan digunakan ketentuan perhitungan taraf kesalahan

(α) sebesar 0,01 dan (ß) sebesar 0,1. Semua data yang diperoleh akan dilakukan perhitungan secara manual untuk kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan program SPSS. Hasil yang diperoleh akan dihitung dengan menggunakan beberapa metode analisis statistik sebagai berikut : 1. Pengukuran tinggi badan dan panjang telapak kaki masing-masing

responden untuk kemudian dihitung rata-ratanya dan dicari simpang bakunya.


(57)

34

3. Uji kesamaan antara panjang telapak kaki kanan dan kiri dengan uji t berpasangan.

4. Untuk mengetahui keeratan antara tinggi badan dengan panjang telapak kaki digunakan rumus koefisien korelasi Pearson apabila data normal, bila tidak normal dilakukan transformasi, akhirnya bila tetap tidak normal dapat menggunakan korelasi Spearman.

R = n ∑ xy - ( ∑ x )( ∑ y )

√ ( n ∑ x2 ) – ( ( ∑ x)2 )( n ∑ y2 –( ∑ y)2 )

Keterangan: r = Koefisien Korelasi n = Jumlah Sampel

y = Tinggi Badan dalam cm

x = Panjang Telapak Kaki dalam cm

5. Untuk mendapatkan hubungan antara tinggi badan dengan panjang telapak kaki digunakan analisis regresi.

Y = a + bx

Keterangan: a = konstanta

b = koefisien regresi

J. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan meliputi : 1. Analisis Univariat

Analisis ini digunakan untuk menjelaskan secara deskriptif variabel-variabel yang diteliti, baik variabel-variabel bebas maupun variabel-variabel terikat.


(58)

35

2. Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat yaitu untuk mengetahui ada tidaknya hubungan panjang telapak kaki dengan tinggi badan pada pria dewasa Suku Lampung, selanjutnya dihitung keeratannya menggunakan rumus koefisien korelasi Pearson, terakhir diformulasikan rumus regresi khusus untuk Suku Lampung.


(1)

ke tembok. Tangan berada disamping. Tangan siku pengukur diturunkan sampai menyentuh puncak kepala (vertex). Posisi lutut bagian medial dan mata kaki dalam keadaan rapat.

Tinggi badan didefenisikan sebagai jarak antara puncak kepala (verteks) hingga ke tumit dalam posisi tegak. Pembacaan pengukuran dilakukan oleh pengukur dengan melihat angka yang tertera pada microtoise dan posisi mata sejajar dengan tangkai pengukur tinggi badan. Hasil dicatat dalam satuan sentimeter sampai satu angka di belakang koma.

Gambar 11 Gambar pengukuran tinggi badan dan pengukuran tinggi titik anatomis lainnya (Glinka, 2008).

3. Pengukuran Panjang Telapak Kaki

Dalam pengukuran panjang telapak kaki, dipilih telapak kaki kanan dan kiri. Posisi sampel duduk diatas kursi yang nyaman agar memudahkan pengukuran. Tandai dengan spidol ujung belakang tuber calcanei (Pternion) dan bagian ujung depan phalanx I/ II (Acropodion). Jarak antara kedua tanda ini diukur dengan kaliper geser dan hasil


(2)

pengukurannya dicatat dalam formulir penelitian dalam satuan sentimeter sampai dua angka di belakang koma.

Gambar 12 Acuan Pengukuran Antropometri (Firgianti, 2012).

G. Variabel penelitian

Menurut Sastroasmoro (2008) variabel independen adalah variabel yang apabila nilainya berubah akan mempengaruhi variabel lain. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah panjang telapak kaki. Variabel dependen yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah tinggi badan.

H. Definisi Operasional

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas maka dibuat definisi operasional sebagai berikut:

Acropodion


(3)

Tabel 5 Definisi Operasional Masing-Masing Variabel.

No. Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1. Tinggi Badan

Jarak antara ujung kepala (vertex) sampai dengan tumit (calcaneus) pada posisi berdiri

tegak saat

dilakukan pengukuran.

Microtoise Centi meter Rasio

2. Panjang Telapak Kaki

Jarak anatara ujung belakang tuber calcanei (Pternion) sampai dengan ujung depan phalanx I/II (Acropodion).

Vernier Caliper

Centi meter Rasio

3. Pria Dewasa

Pria yang telah berusia lebih dari 21 tahun yang sudah, belum, atau pernah menikah saat penelitian.

- - Ordinal

4. Suku Lampung

Orang yang

mempunyai garis ketrunan dua generasi di atasnya berasal dari suku Lampung, yaitu orang tua serta kakek dan nenek dari responden.


(4)

I. Pengolahan Data

Proses pengolahan data menggunakan komputer terdiri dari beberapa langkah, yaitu:

1. Pengeditan, yaitu mengoreksi data untuk memeriksa kelengkapan dan kesempurnaan data.

2. Pengkodean, memberikan kode pada data sehingga mempermudah pengelompokan data.

3. Pemasukan data, memasukan data ke dalam program computer. 4. Tabulasi, menyajikan data dalam bentuk tabel.

Pengolahan dilakukan juga dengan memvisualisasikan data yang diperoleh dalam bentuk tabel, teks, dan grafik dengan menggunakan perangkat komputer.

Dalam penelitian ini akan digunakan ketentuan perhitungan taraf kesalahan (α) sebesar 0,01 dan (ß) sebesar 0,1. Semua data yang diperoleh akan dilakukan perhitungan secara manual untuk kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan program SPSS. Hasil yang diperoleh akan dihitung dengan menggunakan beberapa metode analisis statistik sebagai berikut : 1. Pengukuran tinggi badan dan panjang telapak kaki masing-masing

responden untuk kemudian dihitung rata-ratanya dan dicari simpang bakunya.


(5)

3. Uji kesamaan antara panjang telapak kaki kanan dan kiri dengan uji t berpasangan.

4. Untuk mengetahui keeratan antara tinggi badan dengan panjang telapak kaki digunakan rumus koefisien korelasi Pearson apabila data normal, bila tidak normal dilakukan transformasi, akhirnya bila tetap tidak normal dapat menggunakan korelasi Spearman.

R = n ∑ xy - ( ∑ x )( ∑ y )

√ ( n ∑ x2 ) – ( ( ∑ x)2 )( n ∑ y2 –( ∑ y)2 )

Keterangan: r = Koefisien Korelasi n = Jumlah Sampel

y = Tinggi Badan dalam cm

x = Panjang Telapak Kaki dalam cm

5. Untuk mendapatkan hubungan antara tinggi badan dengan panjang telapak kaki digunakan analisis regresi.

Y = a + bx

Keterangan: a = konstanta

b = koefisien regresi

J. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan meliputi : 1. Analisis Univariat

Analisis ini digunakan untuk menjelaskan secara deskriptif variabel-variabel yang diteliti, baik variabel-variabel bebas maupun variabel-variabel terikat.


(6)

2. Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat yaitu untuk mengetahui ada tidaknya hubungan panjang telapak kaki dengan tinggi badan pada pria dewasa Suku Lampung, selanjutnya dihitung keeratannya menggunakan rumus koefisien korelasi Pearson, terakhir diformulasikan rumus regresi khusus untuk Suku Lampung.