RIVALITAS ARAB SAUDI-IRAN DI YAMAN ERA ARAB SPRING 2010-2016

(1)

SKRIPSI

RIVALITAS ARAB SAUDI-IRAN DI YAMAN ERA ARAB SPRING

2010-2016

(Saudi ArabiaIran’s Rivalry in Yemen Arab Spring Era 2010-2016)

Oleh:

AHMAD FANANI 20070510031

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

RIVALITAS ARAB SAUDI-IRAN DI YAMAN ERA ARAB SPRING 2010-2016

Ahmad Fanani alamatefanani@gmail.com Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Abstrack

The competing powers of Saudi Arabia and Iran continue to redress and reverse the strategic imbalance and direction of the Middle East’s regional politics. The 1979 Iranian Revolution catapulted these two states into an embittered rivalry. The fall of Saddam Hussein following the 2003 U.S. led invasion, the establishment of a Shi’ite Iraq and the 2011 Arab Uprisings have further inflamed tensions between Saudi Arabia and Iran. Iran and Saudi Arabia have not confronted each other militarily, but rather have divided the region into two armed camps on the basis of political and religious ideology in seeking regional allies and promulgating sectarianism as they continue to exploit the region’s weak states in a series of proxy wars ranging from conflicts in Iraq to Lebanon.

The Saudi-Iranian strategic and geopolitical rivalry is further complicated by a religious and ideological rivalry, as tensions represent two opposing aspirations for Islamic leadership with two vastly differing political systems. The conflict is between SaudiArabia, representing

Sunni Islam via Wahhabism, and Iran, representing Shi’ite Islamthrough Khomeinism. The

Saudi-Iranian strategic and geopolitical rivalry is further complicated by a religious and ideological rivalry, as tensions represent two opposing aspirations for Islamic leadership with two vastly differing political systems. The conflict is between SaudiArabia, representing Sunni

Islam via Wahhabism, and Iran, representing Shi’ite Islamthrough Khomeinism. The

Saudi-Iranian rivalry has important implications conflict and stability in Yemen afterward Arab Spring Uprising. Therefore, this research seeks to address the question: What is led Saudi and Iranto

involve massively in Yemen’s Conflict afterward Arab Spring 2011-2016?


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gelombang musim semi Arab (Arab Sping) telah banyak mengubah konfigurasi politik di Timur Tengah. Gelombang yang di dasari oleh tuntutan akan demokratisasi ini telah melanda sebagian besar negara di Timur Tengah mulai dari Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, sampai Yaman. Selain memicu perubahan peta politik di internal negara-negara yang terkait, gelombang ini juga turut mempengaruhi perubahan situasi di kawasan, salah satunya rivalitas Arab Saudi dan Iran. Guncangan gelombang musim semi arab ini memanaskan kembali rivalitas kedua negara berpengaruh di kawasan tersebut.

Musim Semi Arab (Arab Spring) adalah rentetan gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi didunia Arab, meski tidak semuanya dilakukan oleh orang Arab. Dimulai sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir; perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, dan Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, dan Oman; dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat. Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab ini.

Rentetan protes ini terjadi dalam beberapa pola, diantaranya adalah pemberontakan sipil, kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisir, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran Internet oleh pemerintah. Banyak unjuk rasa yang ditanggapi secara keras oleh pihak berwajib maupun milisi


(14)

dan pengunjuk rasa yang pro-pemerintah. Slogan pengunjuk rasa yang didengungkan di dunia Arab itu adalah Ash-sha`b yurid isqat an nizam (―Rakyat ingin menumbangkan rezim ini‖).

Rangkaian peristiwa pada Arab Spring ini berawal dari protes pertama yang terjadi di Tunisia tanggal 18 Desember 2010 menyusul peristiwa pembakaran diri oleh Mohamed Bouazizi dalam protes atas korupsi oleh polisi dan pelayanan kesehatan. Dengan kesuksesan protes di Tunisia, gelombang kerusuhan menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, dan Yaman, kemudian ke negara negara lain. Sampai September 2012, unjuk rasa ini telah mengakibatkan penggulingan empat kepala negara.

Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang kabur ke Arab Saudi, mengakhiri kekuasaannya pada tanggal 14 Januari 2011 setelah protes revolusi Tunisia. Di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah 18 hari protes massal dan mengakhiri masa kepemimpinannya selama 30 tahun.

Pemimpin Libiya Muammar Gaddafi tumbang dari kekuasaannya pada 23 Agustus 2011, setelah Dewan Transisional Nasional (National Transitional Council, NTC) mengambil kendali pada Bab al Azizia sebuah barak militer yang menjadi markas Muammar Gaddafi. Dia terbunuh pada tanggal 20 Oktober 2011, di Sirte kota kelahirannya setelah NTC menguasi kota tersebut. Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh menandatangani persetujuan pengalihan kekuasaan GCC. Dari hasil pemilihan presiden Abd al-Rab Mansur al-Hadi secara formal menggantikannya sebagai presiden Yaman pada 27 Februari 2012.

Berbagai perubahan konfigurasi politik yang di hasilkan gelombang musim semi Arab diatas memicu kecurigaan yang tak berkesudahan antara Riyadh dan Teheran1. (dinna Wisnu)

1


(15)

Mereka saling mencurigai masing-masing melakukan ekspansi kekuatan dan terlibat dalam perebutan pengaruh di kawasan.

Selama hampir enam tahun Arab Spring bergulir dari akhir 2010, Saudi dan Iran telah terlibat dalam bentrok kepentingan di berbagai negara konflik. Bentrokan tersebut terjadi dalam berbagai pola dan intensitas yang berbeda.

Tahun 2011, Arab Saudi mengirimkan tentaranya untuk membantu Bahrain, sekutu dekat yang saat itu dilanda unjuk rasa besar-besaran. Saudi khawatir oposisi Syiah di Bahrain akan bersekutu dengan Iran dengan memanfaatkan situasi itu. Saudi dan Bahrain kemudian menuding Iran sengaja menggerakkan aksi kekerasan terhadap polisi Bahrain. Kawat diplomatik Amerika Serikat yang dibocorkan WikiLeaks menunjukkan bahwa para pemimpin Saudi, termasuk Raja Abdullah, mendorong AS untuk mengambil posisi tegas melawan program nuklir Iran.

Otoritas Saudi menuding sejumlah warga Syiah di Provinsi Timur, termasuk ulama Nimr Baqr al-Nimr yang dieksekusi mati pada 2 Januari lalu, bekerja sama dengan negara asing, merujuk pada Iran, dalam memancing pertikaian, setelah terjadi bentrokan antara polisi dan warga Syiah di kawasan itu. Secara terpisah, AS mengklaim berhasil menggagalkan rencana pembunuhan Duta Besar Saudi untuk AS oleh Iran. Saat itu, otoritas Saudi mengatakan, bukti soal rencana pembunuhan itu sangat banyak dan menegaskan Iran akan mendapat balasannya.

Tahun 2012, Arab Saudi menjadi pendukung utama kelompok pemberontak Suriah yang berusaha menggulingkan rezim Presiden Bashar al-Assad, yang merupakan sekutu Iran. Saudi terang-terangan menuding Assad telah melakukan genosida dan menyebut Iran memanfaatkan situasi untuk menduduki Suriah. Iran menuding balik Saudi sebagai pendukung terorisme.


(16)

Pada Maret 2015, otoritas Saudi memulai serangan udara di Yaman untuk memerangi pemberontak Houthi, yang merupakan sekutu Iran, yang berniat mengambil alih pemerintahan. Saat itu, Saudi menuding Iran sengaja memanfaatkan Houthi untuk mengkudeta pemerintah Yaman yang kala itu dipimpin Presiden Abd Rabbuh Mansur Hadi. Lagi-lagi, Iran pun menuding serangan udara Saudi menargetkan banyak warga sipil di Yaman.

Kebijakan luar negeri Arab Saudi selama ini selalu mengedepankan upaya perdamaian, tetapi terkait dengan konflik yang terjadi di Yaman Arab Saudi merupakan salah satu pihak luar yang ikut terlibat dalam konflik internal Yaman. Arab Saudi dan Yaman merupakan dua Negara yang memiliki hubungan sejarah konflik yang panjang, konflik perbatasan tidak terlepas oleh kedua belah pihak terkait dengan sengketa pulau-pulau di Laut Merah. Sebelum berintegrasi, Yaman Utara maupun Selatan memiliki hubungan yang kurang begitu harmonis dengan Arab Saudi. Arab Saudi menganggap keberadaan Yaman Utara yang Republik merupakan ancaman bagi kelangsungan kehidupan kerajaan (royalis) yang dianutnya.

Perang di Yaman antara kelompok Houthi dan pasukan pemerintah Yaman tak bisa lepas dari peta politik perseteruan sengit antara Arab Saudi dan Iran. Rivalitas sektarian antara kaum Sunni dan Syiah dalam perebutan kekuasan di Yaman juga mulai tampak. Hal itu Nampak dari apa yang dilakukan oleh Arab Saudi pada tanggal 26/3/2015, Arab Saudi dan sembilan negara Teluk resmi meluncurkan agresi militer di Sanaa, Yaman. Mereka berdalih, agresi itu untuk memerangi kelompok Houthi dan menyelamatkan pemerintah sah Yaman di bawah kepemimpinan Presiden Mansour Hadi.

Kelompok Houthi yang didominasi kaum Syiah dikenal sebagai sekutu utama Iran. Pemerintah Iran sendiri belum bereaksi setelah sekutunya di Yaman dikeroyok 10 negara Teluk.


(17)

Beberapa pengamat Timur tengah melihat rivalitas Saudi dan Iran ikut mewarnai perang di Yaman. Iran yang hampir mencapai kesepakatan nuklir dengan enam negara kekuatan dunia sudah membuat Arab Saudi resah.

Pemberontakan al-Houthi di Yaman yang terjadi sebenarnya merupakan kelanjutan peristiwa pembantaian Hussein al-Houthi di tahun 2004 silam. Pemerintah Yaman di selatan menuding al-Houthi ingin merubah sistem pemerintahan menjadi Imamah. Sedangkan Houthis yang didukung penduduk Yaman Utara menuding pemerintah Yaman melakukan diskriminasi dan marginalisasi ekonomi di kawasan Sa’da di utara Yaman. Motif ideologis juga berperan. Isu penyeimbangan antara komunitas Salafi dan Zaidi juga tersebar.2

Al-Houthi merupakan kelompok pemberontak yang berbasis di Yaman Utara. Pengikut al-Houthi terkenal dengan sebutan Houthis. Nama kelompok Syiah Zaidiyah itu diambil dari nama keluarga al-Houthi, dan Badaruddin al-Houthi termasuk pembesar keluarga itu yang merupakan pengikut Syiah Zaidiyah Jurudiyah dan salah satu ulama besar Syiah di kawasan. Hussein al-Houthi yang merupakan anak dari Badaruddin al-Houthi dan sekaligus pemimpin kelompok pejuang itu, meninggal dunia dalam pertempuran dengan tentara pemerintah Yaman.

Saat ini, kepemimpinan kelompok itu berada di tangan Abdul-Malik al- Houthi, putra dari Hussein al-Houthi. Meleburnya sebagian pengikut Zaidiyah ke dalam barisan pemberontak Houthi, bukan sepenuhnya karena kedekatan ideologi, tapi juga faktor kemiskinan Yaman Utara akibat ketidakadilan pemerintah di Yaman Selatan.

Pada bulan Agustus 2009, tentara Yaman melancarkan serangan besar-besaran yang disebut Operasi Bumi Hangus, untuk menghadapi pemberontakan yang melawan pemerintah

2

―Siapa Suku Houthi di Yaman‖, dalam http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_ content&view =article&id=771:siapa-suku-houthi-di-yaman&catid=85:lintas-dunia&Itemid=284, diakses 22 April 2016


(18)

Yaman. Sebagian besar pertempuran terjadi di wilayah pemerintahan Sa’dah di barat laut Yaman. Pada 11 Agustus 2011, tentara Yaman melanggar kesepakatan gencatan senjata dan menyerang kelompok al-Houthi. Kebijakan represif pemerintah lewat Operasi Bumi Hangus hingga kini belum mampu menumpas perlawanan kelompok Syiah itu. Di pihak lain, kelompok alHouthi yang menempati dan menguasai kawasan pegunungan di provinsi Sa’dah, utara Yaman berhasil mengontrol 14 kabupaten dari 15 kabupaten di provinsi dan hanya kota Sa’dah yang belum dikuasai oleh kelompok pejuang itu.

Konflik yang terjadi di Yaman merupakan kelanjutan dari pemberontakan Syiah Houthi. Hingga tanggal 21 September 2014, ibukota Yaman, Sanaa jatuh ke tangan Houthi. Februari 2015, Presiden Yaman, Abd Rabbuh Mansour Hadi melarikan diri ke Aden dari ibukota Sanaa. Sebelumnya dia telah disandera sebagai tahanan rumah oleh pemberontak Houthi selama beberapa pekan. Dan pada Maret 2015, Presiden Mansour Hadi mengumumkan pemindahan ibukota dan menjadikan kota Aden sebagai ibukota negaranya. Dia juga menyatakan bahwa ibukota Sanaa telah menjadi ―kota yang diduduki‖ oleh pemberontak Syiah.

Karena desakan separatis Houthi yang kian kuat, akhirnya beliau mengirim surat ke beberapa negara teluk. Surat yang sangat menyentuh.Presiden Manshur Hadi menceritakan kondisi Yaman yang sudah berada di ambang kehancuran, sehingga membutuhkan pertolongan dari ―para saudaranya‖. Presiden menuliskan suratnya dengan sapaan ―al-Akh‖ (saudara) bagi para pemimpin negara teluk.3

Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Saud al Faisal mengatakan kerajaan Arab Saudi siap untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengatasi krisis politik di

3

―Arab Saudi Siap Lindungi Yaman‖, dalam http://www.waspada.co.id/2015/03/27/arab-saudisiap-lindungi-yaman, diakses 22 Maret 2016


(19)

Yaman.Kami ingin melindungi kedaulatan dan legitimiasi Pemerintah Yaman yang diwakili oleh Presiden Hadi.Kami berharap krisis itu dapat diselesaikan dengan damai dan kami siap untuk menjawab setiap permintaan Presiden Hadi, apapun itu untuk mendukungnya.

Pemimpin kelompok al-Houthi, Abdul-Malik al-Houthi menyatakan bahwa tentara Arab Saudi sejak awal pecahnya perang saudara di Yaman, aktif membantu pasukan pemerintah Yaman. Dikatakannya, Kebijakan anti warga Yaman yang ditujunjukkan oleh pemerintah Arab Saudi bukan masalah baru. Serangan Arab Saudi ke wilayah Yaman dengan dalih memerangi pejuang Syiah memiliki beragam dampak.Pada tingkat pertama, serangan itu merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Yaman dan melanggar aturan internasional.

Aksi sepihak pemerintah Arab Saudi telah meningkatkan solidaritas warga Ahlu Sunnah Yaman terhadap komunitas Syiah Houthi, sebab mayoritas warga Ahlu Sunnah Yaman menganut mazhab Imam Syafii dan memiliki banyak kesamaan dan kedekatan dengan mazhab Syiah. Mereka juga menentang kelompok Wahabi yang menguasai Arab Saudi.4

Pada Maret 2015, Arab Saudi melancarkan serangan militer besar-besaran di Yaman untuk memberantas para pemberontak Syiah Houthi. Saudi mengerahkan 100 pesawat tempur dan 150 ribu tentara untuk operasi militer ini. Dalam agresi ini, turut dibantu 8 negara arab serta dukungan Inggris dan Amerika. Selain itu, pesawat-pesawat dari Mesir, Maroko, Yordania, Sudan, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar dan Bahrain juga ikut serta dalam operasi besar-besaran ini. Kampanye ini tujuannya untuk mencegah para pemberontak Houthi menggunakan bandara-bandara dan pesawat untuk menyerang Aden dan bagian-bagian Yaman lainnya serta mencegah mereka menggunakan roket-roket. Sebelumnya dalam statemen bersama, lima negara Teluk

4

―Intervensi Arab Saudi Dalam Konflik Yaman‖, dalam http://indonesian.ws.irib.ir/ranah/telisik/item /33833-intervensi-arabsaudi-dalam-konflikyaman?tmpl=component&Print=1, diakses 22 Maret 2016


(20)

Arab: Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain dan Qatar telah memutuskan untuk bertindak melindungi Yaman dari apa yang mereka sebut sebagai agresi milisi Houthi yang didukung Iran.5

Rivalitas Saudi dan Iran di Yaman menarik di cermati karena di negara miskin tersebut sikap Saudi begitu keras dengan melakukan kampanye militernya, sikap yang oleh beberapa pengamat di pandang tak lazim mengingat selama ini Saudi cenderung melakukan pendekatan damai dalam menghadapi konflik.

Beberapa pengamat menyebut Iran dan Arab Saudi terlibat dalam perang proksi. Kedua negara tak berperang secara langsung, tapi turut terlibat jauh dalam konflik yang terjadi di negara-negara kawasan. Arab Saudi menyokong penuh rezim Bahrain dan Yaman, sedangkan Iran menyokong pihak oposisi di Bahrain dan Yaman. Iran juga mendukung penuh rezim Suriah, sedangkan Arab Saudi mensponsori pihak oposisi di Suriah.

Merujuk riwayat hubungan Saudi-Iran dan besarnya pengaruh keduanya dikawasan, menarik untuk mengkaji lebih jauh bagaimana Rivalitas Arab Saudi dan Iran Pasca di Yaman Pasca Arab Spring 2011-2016.

B. Rumusan Masalah

Mengapa Arab Saudi dan Iran begitu gigih bersaing dalam konflik di Yaman, Era Arab Spring 2010-2016?

C. Kerangka Teori

1. Sphere of Influence

5 ―Militer Arab Saudi dan 8 Negara Gempur Yaman Harga Minyak Dunia Langsung Naik‖, dalam

http://www.jurnalasia.com/2015/03/27/militer-arab-saudi-dan-8-negara-gempur-yamanharga-minyak-dunia-langsung-naik/#, diakses 17 April 2015


(21)

Sphere of Influence dalam politik internasional di maknai sebagai klaim dari sebuah negara secara ekslusif atau kontrol yang dominan atas sebuah area atau wilayah asing diluar wilayah yurisdiksinya. Istilah ini mengarah pada klaim politis untuk kontrol yang eksklusif dimana negara lain tidak akan mengakui, atau akan mengarah pada perjanjian hukum dimana negara lain akan menahan diri untuk tidak mengintervensi didalam lingkaran pengaruh yang ada.

Istilah ini mulai populer sejak tahun 1880an ketika ekspansi koloni dari Eropa masuk ke Afrika dan Asia. Tahap akhir dari ekspansi tersebut diwujudkan dalam perjanjian yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar. Perjanjian ini adalah untuk memperkuat lingkaran pengaruh yang ada. Perjanjian antara Inggris dan Jerman pada bulan Mei 1885 adalah yang pertama, menjadi pemisah dan batasan dari pengaruh kedua negara tersebut atas teluk guinea. Perjanjian ini kemudian diikuti oleh beberapa lainnya, yang mana ada pasal VII dari perjanjian antara Inggris dan Jerman pada tanggal 1 Juli 1890 tentang Afrika Timur yang bisa dikatakan serupa. Isinya sbb: Kedua kekuatan tidak akan mengintervensi satu sama lain sebagaimana yang telah disebutkan ada pasal 1-4. Satu kekuatan tidak akan berada pada lingkaran pengaruh kekuatan lain dalam mengakuisisi, membuat perjanjian, mengakui hak atau perlindungan, ataupun menghalangi perluasan pengaruh dari yang lain. Tidak akan ada perusahaan atau individu dari sebuah negara dapat beraktivitas didalam sphere of Influence negara lain, kecuali dengan seijin tuan rumah.

Ketika kolonialisme berakhir setelah Perang Dunia II, lingkaran pengaruh hilang artinya pada tingkatan perjanjian formal. sphere of Influence pada tingkatan yang lebih longgar atau non-formal mulai terjadi. Sebagai alat dari kekuatan besar atau kerajaan, sphere of Influence


(22)

kekuatan pesaing masuk di wilayah yang sama atau ketika wilayah yang dikontrol melakukan penolakan atas pengaruh yang ada.

Pada masa lampau, konflik antara Roma dan Carthage untuk pengaruh atas Mediterania barat berujung pada Perang Punic yang dimulai pada abad ketiga. Yang lebih baru adalah Doktrin Monroe (1823) memasukkan pengaruh AS di ―dunia baru‖, kecuali kolonisasi Eropa di Amerika dan upaya awal AS untuk mengintervensi kebijakan dari negara tetangga yang lebih kecil. Setelah Perang Dunia II, Uni Soviet membuat sebuah sphere of Influence sebagai fakta politis atas penguasaannya atas negara-negara di Eropa Timur dan indocina.

2. Politik Identitas

Untuk memahami pertarungan pengaruh Arab Saudi dan Iran di Yaman, selain mengacu pada sejarah politik dan tren kebijakan luar negeri saat ini di Timur Tengah, penting juga untuk mengkaji konsep identitas negara dan pengaruhnya dalam pengambilan kebijakan—terutama dalam hal ini kebijakan luar negeri—yang mendorong suatu negara menempatkan diri dalam rivalitas terhadap negara lain. Banyak pengamat yang melihat persaingan antara Arab Saudi dan Iran cenderung di pengaruhi oleh berbagai perbedaan antara keduanya yang mencakup: Sektarianisme, nasionalisme, ideologi revolusioner, persaingan atas hegemoni regional, politik perdagangan minyak, kebijakan terhadap kehadiran AS di Teluk, dan perselisihan haji.

Berbagai perbedaan identitas politik ini cukup fundamental dalam menjelaskan persaingan Saudi-Iran, pasang surut hubungan antara kedua negara, dan perubahan-perubahan pendekatan dalam kebijakan luar negeri keduanya. Politik identitas di sini mengacu pada anasir-anasir yang mencakup seputar identitas etnis, ras atau agama yang bisa dipakai sebagai klaim yang melegitimasi pemegang kekuasaan dalam memutuskan arah kebijakan negara. Anasir-anasir yang dimaksud melingkupi faktor ideasional dan material yang menunjukkan bagaimana


(23)

perubahan identitas negara—terutama dalam wacana kebijakan luar negeri resmi tampak mempengaruhi perubahan kebijakan, dan pergeseran pola persahabatan-permusuhan antara kedua negara.6

Penting untuk dicatat bahwa sebuah negara bisa terdiri dari tiga komponen struktural utama: 1) komponen ideasional, yang mencakup cita-cita luhur yang melandasi usaha pemenuhan fungsi dasar pemerintahan untuk menyediakan perlindungan dari ancaman internal dan eksternal, menghadirkan tertib aturan dan menyediakan kebutuhan pokok hidup; 2) Komponen Kelembagaan, yang meliputi eksekutif, legislatif dan yudikatif yang mengatur sistem dan hukum dasar, prosedur dan norma-norma; 3) komponen fisik, yaitu populasi yang menyediakan potensi sumber daya yang dapat dimobilisasi melalui pembangunan ekonomi dan memberikan kontribusi untuk negara dengan menyediakan modal manusia. Komponen fisik ini juga termasuk wilayah suatu negara dan semua alam resources.7

Identitas kolektif menyediakan individu dengan informasi yang mereka butuhkan dalam untuk membentuk opini tentang diri mereka sendiri dan lainnya. Selain itu, identitas terbentuk dalam kaitannya dengan dan dari interaksi dengan lainnya. Proses identifikasi identitas kolektif ini berjalan pada secara berkelanjutan melalui anasir negatif dan positif dan menentukan posisi pandang dalam melihat yang lain. Konsepsi identitas politik menjadi batasan dalam melihat yang lain sebagai liyan atau sebagai bagian dari Identitas yang sama.29 Identitas kolektif juga memberikan kerangka acuan yang menjadi penuntun arah dalam menentukan tindakan yang akan diambil. Identitas negara mempengaruhi kebijakan luar negeri dan sebaliknya, kebijakan luar negeri pada titik tertentu dapat mempengaruhi identitas negara. Dengan demikian, elit politik

6

Mary Kaldor. New and Old Wars: Organized Violence in a Global Era. (Stanford, CA: Stanford University Press, 2007), 80

7

Barry Buzan, People, States, and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post–Cold War Era. ECPR Classics (Colchester: ECPR Press, 2007), pgs. 83-88


(24)

yang berkuasa dapat memanipulasi politik identitas untuk membenarkan kebijakan termasuk perang.30

Politik identitas di Timur Tengah berbeda dengan kebanyakan kawasan lain. Di Timur Tengah, selain faktor kesukuan, politik identitas banyak di pengaruhi oleh isu-isu sektarianisme atau yang di sebut Ashabiyah.

Ashabiyah adalah suatu konsep yang menjelaskan tentang kecenderungan kesetiaan penduduk suatu negara terhadap suatu aliran tertentu atau keluarga tertentu, misalnya Masyarakat Arab Saudi lebih setia pada keturunan saud atau aliran sunni atau masyarakat Iran Setia terhadap Ideologi Syiah. Dalam konteks rivalitas Arab Saudi dan Iran di Yaman, di Yaman mayoritas masyarakatnya adalah dari aliran syiah houti sedangkan pemimpinnya dari aliran sunni, maka dalam hal ini syiah houti yang menjadi mayoritas di yaman, sehingga ada keiginan dari masyarakat yaman dari ideology houti untuk dipimpin dari atu ideologi, maka untuk mencapai itu mereka melakukan revolusi terhadap pemimpin mereka dalam hal ini dari aliran Sunni.

D. Hipotesa

Dari uraian Latar belakang, rumusan masalah dan merujuk pada kerangka teori diatas maka dapat diambil Hipotesa:


(25)

Arab Saudi dan Iran terlibat secara massif dalam konflik di Yaman karena ada perebutan pengaruh dan kepentingan politik keduanya atas perkembangan situasi di Yaman yang di landasi oleh perbedaan identitas kolektif kedua negara.

E. Metodologi

1. Jangkauan Penelitian

Untuk memudahkan penelitian, penulis akan membatasi jangka waktu antara tahun 2010- 2016. Tahun 2010 dipilih sebagai awal penelitian karena pada tahun itulah fenomena Arab Spring dimulai yang lantas menumbangkan beberapa rezim otoritarian di negara-negara Timur tengah termasuk Yaman. Sedangkan pada tahun 2016, digunakan sebagai batas akhir penelitian dikarenakan pada tahun itu terjadi puncak dari rivalitas Arab Saudi dan Iran.

2. Metode Pengumpulan Data

Dalam menulis skripsi ini, penulis menggunakan metode deduksi, yaitu dengan mendasarkan pemikiran pada kerangka teori mapan yang digunakan sebagai sarana untuk merumuskan kesimpulan sementara atau hipotesa. Hipotesa yang telah dirumuskan kemudian akan dibuktikan melalui data-data empiris yang tersedia. Penulisan ini bersifat studi kepustakaan atau Library research dengan menggunakan media cetak seperti surat kabar, majalah, dan tabloid, serta media elektronik yaitu televisi dan internet. Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif, dimana data-data dan fakta-fakta yang diperoleh akan dianalisis oleh teori dengan sistematis agar bisa mengorelasikan diantara fakta-fakta tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan hasil karya tulis yang teratur dan sistematis, maka penulis membagi karya ini ke dalam 5 bab dengan sistematika sebagai berikut:


(26)

masalah, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, hipotesa, metodologi penulisan dan pengumpulan data, jangkauan penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Membahas profil, konfigurasi politik, dan perkembangan konflik yang terjadi di Yaman.

Bab III, peenulis akan membahas tentang profil Arb Saudi, Iran, dan riwayat hubungan keduanya.

Bab IV akan menyajikan analisa rivalitas Arab Saudi dan Iran pasca Arab Spring di Yaman dalam rentang 2010-2016.

Bab V merupakan bab terakhir yang akan menutup karya tulis ini, berisi rangkuman dari bab sebelumnya serta disusun dalam bentuk kesimpulan.


(27)

BAB II

KONFIGURASI DAN DINAMIKA POLITIK YAMAN: PRA DAN ERA

ARAB SPRING

Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan tentang beberapa hal diantaranya Membahas profil Yaman baik itu sebelum Arab Spring maupun di Era Arab Spring, konfigurasi politik, dan perkembangan konflik yang terjadi di Yaman antara Arab Saudi dan Iran.

A. Yaman Sebelum Arab Spring

Yaman merupakan negara Arab berpenduduk mayoritas muslim yang terletak di sudut barat daya semenanjung Arab. Wilayah Yaman berbatasan dengan Oman di sebelah timur, Laut Arab di sebelah selatan, Teluk Aden dan Laut Merah di sebelah barat dan Arab Saudi di sebelah utara. Meski tergolong miskin, Yaman mempunyai posisi strtegis karena menguasai Bab el Mandeb, salah satu jalur pelayaran minyak tersibuk di dunia, dan dianggap sebagai salah satu jalur minyak terpenting dunia. Sekitar 3,3 juta barel minyak dari Teluk Persia melewati selat ini setiap hari dalam perjalanan ke Eropa dan Amerika Utara.1

Negeri Yaman secara umum miskin sumber daya alam. Dibanding negara tetangganya, Arab Saudi, yang kaya dengan sumber daya mineral, cadangan energi yang dimiliki Yaman terbilang rendah. Departemen Energi AS mencatat hanya ada sekitar 3 miliar barel cadangan minyak di Yaman. Namun pemerintah Yaman mengklaim ada sekitar 11,9 miliar barel cadangan minyak di negeri tersebut. Yaman juga memiliki sekitar 480 miliar meter kubik cadangan gas alam.

Mayoritas penduduk Yaman tersebar di wilayah utara dan barat negeri ini, terutama di kota-kota besar seperti Sana’a dan Ta’izz. Wilayah ini—terutama berupa wilayah dataran tinggi

1

Michael Makovsky, Blaise Misztal, dan Jonathan Ruhe, Fragility and Extremism in Yemen, A Case Study of The Stabilizing Fragile States Project, Bipartisan Policy Center, Januari 2011.


(28)

yang gersang dengan sedikit ketersediaan sumber daya alam dan lahan pertanian beririgasi. Wilayah pesisir di bagian selatan dan timur negara itu—dan dataran rendah Laut Merah di barat—jauh lebih subur. Daerah ini sering disebut sebagai Yaman bagian bawah (Lower Yemen), dan kota pelabuhan Aden merupakan daerah perkotaan utamanya. Selebihnya, hamparan yang membentang di bagian timur negara itu sebagian besar adalah gurun panas terik yang jarang penduduknya, tetapi di dalamnya terkandung porsi yang signifikan dari cadangan minyak dan gas alam. Yaman dibagi menjadi 21 provinsi, yang sering disebut sebagai gubernuran.

Yaman merupakan negara kedua terpadat di Semenanjung Arab setelah Arab Saudi. Berdasar data 2014, penduduk Yaman tercatat sebanyak 25.956.000 dengan kepadatan 54/km2. Kepadatan penduduk ini terutama disebabkan oleh tingkat pertumbuhan yang cepat, penduduk negara itu telah tumbuh dua kali lipat dalam rentang hanya dua dekade. Kepadatan penduduk yang tinggi dan terbatasnya sumber daya alam di ini telah menjadi salah satu penyebab terjadinya banyak konflik di negara tersebut, selain faktor lain seperti keragaman etnis, dan faham.

Mayoritas penduduk Yaman adalah penganut ajaran Islam. Data International Religious Freedom yang di rilis tahun 2012 menunjukkan mayoritas muslim tersebut secara garis besar terbagi kedalam dua kelompk utama, yaitu Sunni dan Syiah dengan komposisi Sunni 60 % sedangkan Syiah 40%. Kaum Sunni sendiri didominasi oleh penganut madzhab Syafi’iyah yang berjumlah antara setengah sampai dua-pertiga dari total penduduk Yaman. Kelompok ini banyak menempati Yaman bagian selatan dan padang pasir terpencil di Timur.

Kelompok Syiah, yang didominasi oleh sekte Zaydi, banyak tersebar di Yaman utara, termasuk sebagian dari ibukota. Sa’dah, salah satu kota di Yaman utara, merupakan jantung kota


(29)

bagi orang-orang Zaidi. Banyak pemberontakan terhadap rezim penguasa pecah di kota ini, utamanya dipicu oleh ketidakpuasan warga pada situasi politik dan ekonomi.

Bangsa Yaman memiliki peradaban dan budaya yang cukup tua, eksistensinya telah tercatat sejak ribuan tahun yang lalu. Namun demikian, Yaman sebagai negara modern tergolong merupakan negara yang relatif masih muda. Negara ini baru di deklarasikan pada tahun 1990, setelah terjadi unifikasi antara Republik Arab Yaman, atau yang biasa disebut Yaman Utara, dan Republik Sosialis Yaman atau yang populer disebut Yaman Selatan. Baik Yaman Utara atas maupun Yaman Selatan memiliki beragam suku yang secara kultural mempunyai otonomi yang khas sampai tingkat tertentu. Kondisi ini menyebabkan banyak terjadi gesekan antar suku maupun golongan yang ada, bahkan jauh sebelum adanya unifikasi.

Masa lalu yang bermasalah ini berdampak pada ketidakpastian dan kerapuhan Yaman masa kini: pemerintah pusat tidak efektif, kesukuan yang kuat, pemberontakan di utara oleh kelompok Houthi, keinginan pemisahan di selatan, dan kemunculan cabang Al-Qaeda di beberapa provinsi di negara tersebut. Untuk lebih lengkapnya, selanjutnya penulis akan menyajikan riwayat sejarah Yaman modern dari mulai pembentukan Yaman Utara dan Selatan, sampai penyatuan keduanya ke dalam bentuk Negara Yaman yang sekarang.


(30)

1. Yaman Utara

Sebelum mencapai kemerdekaan, wilayah Yaman Utara berada di bawah kendali intermiten dari Kekhalifahan Utsmaniyah sampai tahun 1911. Wilayah ini didominasi oleh dua konfederasi suku besar, Hashid dan Bakil. Pada tahun 1911, setelah perang yang sengit antara pasukan Utsmaniyah dengan suku-suku dataran tinggi, Istanbul menandatangani Perjanjian Da’an dengan Imam Zaidi, Yahya Mahmud al-Mutawakkil, yang menyerahkan kekuasannya di sebagaian besar Yaman bagian utara. Setelah disintegrasi Kekhalifahan Utsmaniyah pada tahun 1918, Yahya mendeklarasikan wilayah ini menjadi negara Yaman independen berbentuk kerajaan, dengan ibukotanya di Ta’izz. Kerajaan Mutawakkiliyah di Yaman (sering disebut sebagai Yaman Utara) secara resmi merupakan pemerintahan teokrasi yang dipimpin oleh seorang Imam Zaidi.

Tabel 2.2. Gambaran informasi umum Yaman Utara

No. Informasi Umum

1. Luas Wilayah 167.943 km²

2. Populasi 20.019.009

3. Bahasa Arab

4. Ibu Kota Sana’a

5. Riwayat Sejarah

5.1 Merdeka dari Imperium Ustmaniyah 1 November 1918

5.2 Bergabung dalam PBB 30 September 1947

5.3 Menjadi Republik Arab Yaman 26 September 1962


(31)

Berbasis di dan sekitar dataran tinggi gersang Yaman utara, kerajaan Yahya miskin sumber daya, tetapi kaya dalam jumlah penduduk, setidaknya dibandingkan dengan tetangga-tetangga terdekatnya. Kondisi ini mempunyai pngaruh signifikan bagi Yahya untuk mengatur bentuk kelembagaan, tradisi, dan aturan negara. Imamah ini didasarkan hukum Islam, tetapi hukum adat masih diberikan ruang sampai batas tertentu. Meskipun hukum-hukum adat ini membantu menengahi dan menyelesaikan sengketa antar-suku, konflik terus-menerus diantara suku dan antara suku-suku dengan pemerintah atas tanah dan sumber daya alam (khususnya air dan makanan) menyebabkan Yahya menyusun sebuah sistem dan kebijakan yang berorientasi pada kondisi-kondisi tersebut.

Pertama, dia merekrut tentara dari suku-suku dataran tinggi dan mendorong mereka untuk menjarah daerah yang lebih subur di Yaman utara. Selain untuk meringankan kekurangan sumber daya, praktek ini mengarahkan energi suku-suku untuk menjauh dari konflik dengan pusat kekuasaan. Kedua, ia menghadiahi suku-suku yang setia dengan memungkinkan mereka untuk merampas dan menjarah tanah dan desa-desa dari suku-suku yang tidak setia. Ketiga, ia mengimingi syeikh (pemimpin suku) lain yang vokal didalam konfederasi suku dengan tunjangan bulanan. Akhirnya, ia mengendalikan anak-anak dan saudara-saudara dari syekh yang tersandera tersebut sebagai pencegah terjadinya konflik suku berjalan diluar kendalinya.

Sementara strategi membagi dan menaklukkan ini memungkinkan negara Yaman baru itu untuk memperluas, membangun dan bertahan, namun hal itu kurang mampu menyelesaikan sengketa dengan suku-suku tetangga kerajaan itu. Hal ini sering menimbulkan konflik dengan suku-suku di Yaman bagian selatan dan daerah subur lainnya. Ketegangan ini turut memberikan pengaruh pada Yaman hari ini.


(32)

Sepanjang 1962 sampai 1970, banyak terjadi perang sipil di wilayah Yaman Utara. Imam Yahya terbunuh dalam kudeta tahun 1948 dan segera digantikan oleh putranya. Imam Ahmad, pengganti yang ditunjuk Yahya disebut Iblis karena banyaknya korupsi dan represi yang ekstrim, Imam Ahmad membangkitkan permusuhan dari para syekh, pemimpin militer, nasionalis Arab dan kaum reformis, sampai militer berusaha untuk menggulingkannya pada tahun 1955. Hal ini menciptakan krisis hingga berujung pada saat kematiannya pada tahun 1962. Dalam beberapa bulan terjadi perang saudara besar-besaran antara kelompok yang menginginkan perubahan sistem pemerintahan dengan bentuk republik. Kelompok pro republik ini dipimpin oleh Abdullah as-sallal dan para pendukung status quo kerajaan (royalis) dipimpin oleh putra Ahmad, Muhammad al-Badr, yang telah mencoba merebut kekuasaan ayahnya pada tahun 1959. Secara umum, komitmen kaum republikan untuk memodernisasi negara yang sangat terbelakang itu memenangkan dukungan dari Yaman bagian bawah dan kota-kota besar, sementara gerilyawan royalis didukung terutama oleh suku Zaidi di Yaman bagian atas.

Pemerintah republik baru yang mengangkat dirinya sendiri di Sana’a mendapat dukungan dari Mesir dan Uni Soviet. Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser memberikan dukungan penuh pada Sana’a dan Uni Soviet bahkan memberikan persenjataan tambahan dan uang $ 140 juta untuk pembangunan pelabuhan dan lapangan terbang. Sementara itu, Arab Saudi, Yordania dan Inggris mengirim uang dan senjata untuk kaum royalis. Pada puncak perang di pertengahan tahun 1965, Nasser telah mengirimkan hampir 75.000 pasukan utama Mesir ke Yaman Utara untuk menopang rezim Sallal dan untuk memicu pemberontakan anti-Inggris di daerah yang selanjutnya disebut Yaman Selatan yang diduduki. Namun, suku-suku Yaman telah menyebabkan kerusakan luar biasa pada militer Nasser. Pada saat mengundurkan diri pada tahun 1967, besarnya kerugian Mesir adalah sedemikian rupa sehingga Yaman dalam memori kolektif


(33)

orang-orang Mesir menjadi serupa dengan Vietnam bagi Amerika Serikat. Yaman Modern juga terkena dampak oleh warisan perang.

Kaum pendukung republik akhirnya menang setelah delapan tahun pertempuran brutal yang menewaskan sedikitnya 100.000 orang Yaman Utara dan sebanyak 26.000 tentara Mesir. Yaman Utara secara resmi menjadi Republik Arab Yaman, rezim lama ditinggalkan dan konstitusi baru yang berdasarkan syariah, diadopsi. Abdul Rahman al-Iryani, yang menggulingkan Sallal, pada tahun 1967 menjadi presiden sipil pertama dan satu-satunya di Yaman Utara. Abdul Rahman al-Iryani memimpin Yaman Utara dalam perang singkat melawan Yaman Selatan pada tahun 1972, sebelum digulingkan pada tahun 1974. Selama empat tahun kemudian negara itu mengalami tiga perubahan lain dalam kepemimpinan.

Presiden Ali Abdullah Saleh naik tahta melalui kudeta pada tahun 1978, dan segera terlibat dalam perang singkat yang kedua melawan Yaman Selatan. Di dalam negeri, ia menerapkan strategi memecah belah dan memerintah berdasarkan pada pendahulunya. Ia memadamkan dua upaya kudeta di tiga tahun pertama masa kepresidenannya. Pada tahun 1990, Republik Arab Yaman berubah nama menjadi Republik Yaman, setelah bergabung dengan Yaman Selatan.

2. Yaman Selatan

Kondisi Yaman Selatan berbeda dengan tetangganya, Yaman Utara. Sebelum menjadi negara merdeka, Yaman Utara adalah entitas semi-menyatu dibawah Kekhalifahan Utsmaniyah. Sebaliknya, sebelum merdeka wilayah Yaman Selatan merupakan federasi suku-suku independen yang sangat terfragmentasi dan sebagian juga merupakan sebuah koloni otonom yang berada dibawah kendali Kerajaan Inggris sampai akhir 1960-an.


(34)

Tabel 2.3. Informasi umum Yaman Selatan

1. Nama Resmi Republik Demokratik Yaman

2. Luas Wilayah 360.133 km²

3. Populasi 2,585,484

4. Bahasa Arab

5. Ibu Kota Aden

6. Mata Uang Dinar Yaman Selatan

Pada tahun 1839, Persekutuan India Timur Inggris (the British East India Company) menaklukkan pelabuhan Aden untuk digunakan sebagai tempat mengisi batu bara dalam perjalanan ke India. Awalnya, Inggris berharap untuk menghindari wilayah suku-suku di sekitarnya sama sekali. Namun, kekhawatiran dengan kehadiran Utsmaniyah yang berkembang di Yaman utara memacu Gubernur Jenderal India Inggris untuk menandatangani perjanjian konsultasi dan perlindungan dengan berbagai suku di Yaman bagian selatan yang dimulai pada tahun 1873. Pada tahun 1886, India Inggris telah menandatangani 90 perjanjian dengan beberapa suku di Yaman bagian bawah dan gurun timur jauh, membentuk apa yang selanjutnya disebut Protektorat Aden dan membentuk sebuah lingkaran pengaruh di Yaman selatan, meskipun tanpa menciptakan sebuah entitas politik yang koheren. Protektorat yang melampaui wilayah terdekat kota pelabuhan itu, juga meliputi kesultanan tradisional independen Hadhramout di padang pasir Timur. Secara historis, Hadhramout telah berdagang dengan India dan Asia Tenggara bukan Semenanjung Arab dan dengan demikian tidak menganggap dirinya terikat dengan suku-suku


(35)

dari Yaman bagian selatan. Sementara itu, pelabuhan Aden tetap menjadi entitas yang sama sekali terpisah dan diperintah secara langsung dari India Inggris.

Menjelang Perang Dunia I, London dan Istanbul menetapkan batas posisi mereka pada tahun 1914 dengan membuat apa yang disebut sebagai Jalur Ungu untuk membatasi lingkup pengaruh masing-masing di selatan Semenanjung Arabia. Seperti yang sering terjadi di wilayah tersebut, kekuatan-kekuatan luar memutuskan perbatasan di Yaman dengan sewenang-wenang, tanpa berkonsultasi dengan orang-orang Yaman, meskipun fakta bahwa garis tersebut membelah wilayah kesukuan yang telah ada. Jalur Ungu ini mendekati batas umum yang ada antara dua Yaman sampai penyatuannya pada tahun 1990.

Inggris lebih lanjut mengkotak-kotakkan Yaman Selatan dengan membagi Protektorat itu menjadi dua bagian Timur dan Barat pada tahun 1917, memindahkan kendali unit-unit ini dari India ke Kantor Luar Negeri Inggris di London dan kemudian membuat koloni mahkota Aden (Aden Crown Colony) yang terpisah pada tahun 1937. Sementara Aden menjadi pusat perdagangan global yang makmur (terutama untuk pengisian minyak), Inggris menciptakan Protektorat Aden Timur sebagai pemerintahan lebih kecil yang terpisah, untuk wilayah Hadhramout setelah menemukan cadangan minyak berpotensi signifikan di padang pasir timurnya. Hal ini adalah cocok alami untuk wilayah Hadhramout, mengingat medan yang sulit, lokasi terpencil, dan sejarah otonominya dari Yaman bagian bawah.

London mempertahankan sedikit porsi kendali atas wilayah ini dan wilayah kesukuan lainnya dengan menggabungkan bantuan keuangan dan bujukan lain dengan kampanye pemboman udara. Hal ini terutama berlaku di Protektorat Aden Barat, yang meliputi sebagian besar dari Yaman bagian bawah dan telah menanggung beban serangan dari Yaman bagian atas. Bahkan, Inggris membayar suku-suku di Protektorat Aden Barat untuk melawan Yaman Utara


(36)

dalam perang perbatasan yang tidak dideklarasikan -tapi merusak—pada 1950-an. Sebagaimana disebutkan oleh Perdana Menteri Harold Macmillan, “akan lebih baik untuk meninggalkan para syekh dan penguasa lokal dalam kondisi persaingan dan keterpisahan, di mana mereka bisa dimainkan antara satu dengan yang lain, daripada membentuk mereka menjadi satu kesatuan”. Upaya “pasifikasi” Inggris seperti ini di pedalaman menyebabkan kekalnya fragmentasi antar masing-masing suku dan selanjutnya turut berkontribusi memperdalam sifat otonom provinsi bagian timur Yaman modern, dan mempengaruhi sikap ketidakpercayaan yang dirasakan oleh daerah ini terhadap Sana’a hari ini.

Setelah Perang Dunia Kedua dan menarik diri mundur di India dan Suez, Inggris berharap untuk membuat sebuah pos utama di Timur Tengah dengan menyatukan Koloni Aden dengan beberapa protektorat yang ada disekitarnya. Sebagai bagian dari rencana ini, Inggris mendirikan markas untuk Pasukan Inggris Semenanjung Arab yang baru dibentuk, di Aden pada tahun 1958. Pada tahun 1962 -ketika seluruh pasukan Yaman Utara hanya berjumlah 12.000 orang 40.000 tentara Inggris ditempatkan di Aden. Namun, Inggris tidak banyak berbuat untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi Aden yang miskin atau menyalurkan penerimaan pajak secara efektif, sehingga hal itu mengucilkan sebagian besar rakyat. Dalam upaya untuk mengimbangi meningkatnya agitasi anti-Inggris dan mengkonsolidasikan cengkeramannya atas wilayah tersebut, London menyajikan suatu penyatuan berbentuk gambar daun dengan mengubah Protektorat Aden Barat menjadi Federasi Arab Selatan (termasuk koloni Aden) pada awal 1963. Federasi baru ini bahkan memiliki kekuatan 4.000 tentara yang dipimpin oleh orang Inggris. Yang penting, Protektorat Aden Timur tidak bergabung dengan federasi baru ini, tetapi tetap menjadi sebuah protektorat yang digabungkan lebih longgar (berganti nama menjadi Protektorat Arab Selatan pada tahun 1963).


(37)

Gerakan-gerakan ini gagal untuk memadamkan meningkatnya ketidakstabilan. Didorong oleh sebagian pasukan Nasser di Yaman Utara, serikat pekerja di Aden dan para pemimpin suku di seluruh wilayah selatan mulai melancarkan pemogokan, kerusuhan dan serangan anti-Inggris. Inggris mengumumkan keadaan darurat di seluruh wilayah itu pada akhir 1963 (Darurat Aden) karena pasukannya menghadapi berbagai konflik. Dari tahun 1963 sampai tahun 1967, tentara Inggris, milisi Marxis dan suku pedesaan yang miskin semua berperang satu sama lain dalam bentrokan yang sangat brutal di jalan-jalan kota dan melintasi benteng pegunungan di Federasi Arab Selatan yang baru dibentuk. Mesir mempersenjatai dan membayar kelompok Marxis dan para pemimpin suku untuk membentuk koalisi pemberontak seperti Serigala Merah Radfan yang memberikan banyak korban pada pasukan Inggris di daerah pedalaman dan kota-kota. Situasi di Inggris menjadi tidak dapat dipertahankan secara strategis karena jatuhnya banyak korban jiwa dan pers di London mengecam perang yang berlarut-larut tanpa akhir yang terlihat. Pada tahun 1966, Inggris mengumumkan akan meninggalkan Yaman secara keseluruhan pada tahun 1968, tetapi kemudian mengundurkan diri dengan segera pada tahun 1967.

Kepergian Inggris yang tergesa-gesa ini menciptakan kekosongan kekuasaan di Aden karena hal itu menjadi jelas bahwa permusuhan terhadap pendudukan Inggris adalah penyebab bersama yang terendah untuk menyatukan Yaman selatan. Dua kelompok Marxis terkemuka— Front Pembebasan Nasional (NLF) dan Front Pembebasan Pendudukan Yaman Selatan (FLOSY)—berperang satu sama lain untuk menguasai wilayah yang baru dibebaskan tersebut. Akhirnya NLF menang dan secara nominal memegang kendali, namun berbagai faksi dalam NLF kemudian berperang satu sama lain sampai tahun 1970. Pada saat itu, faksi Marxis NLF yang paling radikal merebut kekuasaan dari faksi berkuasa yang lebih moderat dan mendeklarasikan Republik Demokratik Rakyat Yaman (PDRY).


(38)

NLF berubah menjadi Partai Sosialis Yaman (YSP) yang berkuasa dan menetapkan membangun negara dalam suatu wilayah yang terbagi antara bekas zona penyangga Inggris atas suku-suku autarkis dan sebuah pelabuhan industri makmur yang dipimpin oleh elit perkotaan. Menurut konstitusi PDRY yang baru, proyek ini berpusat pada pembebasan masyarakat dari kemunduran tribalisme di Yaman Selatan dan Utara.

Meskipun, kaum Marxis yang bertanggung jawab di Aden telah bekerja dengan keras untuk memecah tradisi suku, namun, proyek mereka kandas saat berhadapan dengan sejarah politik terfragmentasi di kawasan itu, dan surat perintah rezim jarang yang melampaui ibukota. Pada saat yang sama, YSP melanjutkan praktek Inggris dalam mengobarkan ketidakstabilan di Yaman Utara. Di atas semua ini, pertarungan politik di antara para pemimpin YSP adalah begitu endemik kudeta terjadi pada tahun 1978 dan 1980.

3. Unifikasi Yaman:

Penggabungan dua Yaman pada tahun 1990 merupakan penyatuan dua entitas yang dalam banyak hal mempunyai perbedaan substansial. Yaman Utara secara resmi adalah sebuah rezim republik konservatif yang berkuasa atas masyarakat yang sangat bersifat kesukuan, sementara Yaman Selatan adalah sebuah negara Marxis yang secara fanatik berusaha untuk mengubah masyarakatnya sejalan dengan imaji sosialis.

Sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an, banyak terjadi gesekan antara dua faksi pembentuk ini, dan perang perbatasan meletus pada tahun 1972 dan 1979. Sana’a menghabiskan periode ini untuk membangun hubungan dengan Arab dan dunia Barat ia adalah anggota pertama dari Liga Arab yang melanjutkan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat setelah Perang Enam Hari, sementara Aden menjadi klien utama—dan yang paling radikal—bagi Uni Soviet di Timur Tengah. Pada tahun 1986, sebanyak 5.000 penasihat Soviet ditempatkan di Yaman


(39)

Selatan, dan Aden menjadi basis strategis bagi pasukan angkatan laut dan udara Soviet (seperti halnya yang terjadi pada pasukan Inggris di dekade sebelumnya).

Yaman Selatan juga memelihara hubungan yang kuat dengan kaum komunis Cina dan Kuba, dan mendukung pemberontak Marxis dengan kekerasan di negara tetangga Oman di awal 1970-an. Bahkan monarki yang sangat konservatif Arab Saudi mendukung rezim sosialis PDRY sebagai sarana mengungkung Yaman Utara dan mencegah munculnya negara kesatuan di perbatasan barat daya nya.

Yaman Selatan melemah secara politik dan militer oleh perang saudara yang brutal antara faksi-faksi sosialis yang saling bersaing pada tahun 1986, yang mengakibatkan kematian 10.000 orang.

Harapan untuk pemulihan telah didukung oleh operasi eksplorasi dan produksi minyak secara ekstensif oleh Soviet di provinsi-provinsi bagian timur pada akhir tahun 1980, tetapi setelah itu tiba-tiba Yaman Selatan kehilangan Soviet sebagai penyelamat ketika Moskow harus berurusan dengan disintegrasi dalam diri mereka sendiri. Akibatnya, Yaman Selatan menyepakati integrasi dengan Yaman Utara setelah menjadi jelas bahwa Soviet tidak akan mampu memberi dukungan lebih lama lagi.

Mengingat pecahnya secara tiba-tiba Uni Soviet pada tahun 1991, negosiasi penyatuani awal yang telah berlangsung sejak tahun 1980-an menemukan momentumnya. Secara signifikan, proses penyatuan ini mengharuskan setidaknya demokratisasi yang terbatas, karena hal ini tampaknya menjadi cara yang paling pragmatis untuk rekonsiliasi ekonomi dan politik yang berbeda antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. Meskipun Yaman Selatan hanya menyumbang seperlima dari penduduk Yaman bersatu, partai yang berkuasa di Yaman Utara (GPC) sepakat untuk berbagi kekuasaan yang relatif sama dengan YSP selama masa transisi sebelum pemilihan


(40)

umum dapat digelar. Namun, sifat tergesa-gesa dari penggabungan itu meninggalkan banyak masalah yang belum terselesaikan: pemilu yang tertunda, unit-unit militer gagal untuk berintegrasi, ekonomi yang goyah dan kontrol atas pendapatan ekspor energi yang dibiarkan mengambang.

4. Perang sipil, 1994

Perang sipil pertama pecah pada bulan April 1994. Mantan presiden Yaman Selatan, Ali Salem al-Beidh dan perdana menterinya, Haidar Abu Bakar al Attas, mendeklarasikan Republik Demokratik Yaman (DRY) yang independen untuk menggantikan bekas PDRY, dan menghidupkan kembali Aden sebagai ibukota mereka. Arab Saudi mendukung DRY untuk membalik mundur kemunculan Yaman bersatu, yang dengan demikian Saudi dapat melanjutkan kebijakan lamanya yang memastikan sebuah Yaman yang kondusif tapi tidak terlalu kuat. Selain itu, negara-negara satelit bekas Soviet menyediakan suplay artileri, tank dan jet tempur bekas Soviet bagi mantan klien mereka di Aden. Namun, tidak ada pemerintah asing yang mengakui DRY, dan Aden jatuh ke pasukan utara pada Juli 1994.

Meskipun singkat, konsekuensi perang itu cukup signifikan. Sebagai akibat dari kemenangan yang cepat oleh pihak Utara, Saleh memperketat cengkeraman rezim pada sumber daya alam negara itu yang sebagian besar terletak di bekas Yaman Selatan, menyingkirkan sebagaian besar orang-orang Selatan dari jaringan patronnya dan menempatkan orang-orang Utara sebagai penanggung jawab ekonomi dan keamanan di Selatan. Hal ini membuat semua menjadi lebih mudah dengan adanya fakta bahwa infrastruktur minyak bekas Yaman Selatan telah beroperasi lagi pada awal 1990-an.

Selama perang itu, kebijakan keamanan Saleh turut berperan memperdalam kesenjangan utara-selatan dengan merekrut apa yang disebut sebagai “tentara populer” dari putra-putra suku,


(41)

jihadis yang berpindah-pindah tempat, dan mantan mujahidin sebagai milisi proxy untuk membantu mencegah bangkitnya orang-orang sosialis Yaman Selatan. Akibatnya, saat ini legitimasi rezim di sebagian besar wilayah selatan terancam, dan kekerasan yang terinspirasi separatisme dan pembalasan terhadap pemerintah merupakan tema yang selalu berulang di provinsi-provinsi wilayah selatan.

B. Yaman Di Era Arab Spring

Revolusi Yaman sebagai bagian dari Arab Spring terjadi setelah Revolusi Tunisia dan berbarengan dengan Revolusi Mesir dan beberapa protes massa lain di kawasan Timur Tengah dan Afrika pada tahun 2011. Pada fase awal, protes di Yaman terkait dengan tidak adanya lapangan pekerjaan, kondisi ekonomi, korupsi dan usulan pemerintah untuk memodifikasi konstitusi Yaman. Tuntutan para pendemo kemudian berkembang dengan menyerukan agar Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh mengundurkan diri. Penyebrangan secara massal dari militer maupun dari pemerintahan Saleh secara efektif menjadikan banyak wilayah negara berada diluar kendali pemerintah, dan para pendemo bertekad untuk menentang otoritasnya.

Demonstrasi yang besar dengan lebih dari 16.000 pendemo dilaksanakan di Sana’a, ibukota Yaman, pada 27 Januari 2011. Pada tanggal 2 Februari, Saleh mengumumkan bahwa dia tidak akan mengikuti pemilihan presiden pada tahun 2013 dan dia tidak akan mewariskan kekuasaannya pada putranya. Pada tanggal 3 Februari, 20.000 massa memprotes pemerintah di Sana’a, sementara itu demontrasi yang lain terjadi di Aden, sebuah kota pelabuhan di Yaman selatan, pada “Hari Kemarahan” . Sementara itu para prajurit, anggota “Konggres Rakyat Umum” (General People’s Congress) yang bersenjata, dan banyak pendemo yang pro pemerintah berkumpul di Sana’a. Pada suatu hari “Jumat Kemarahan” tanggal 18 Februari, 10 ribu penduduk Yaman mengambil bagian dalam demonstrasi anti pemerintah di Taiz, Sana’a dan Aden. Pada


(42)

hari “Jumat Tidak Kembali” tanggal 11 Maret, pendemo menyerukan pengusiran Saleh di Sana’a, dimana tiga orang terbunuh. Demo-demo yang lain dilakukan di kota-kota lain, termasuk Al Mukalla, dimana satu orang terbunuh. Pada tanggal 18 Maret, para pendemo di Sana’a ditembaki yang meyebabkan 52 orang meninggal.

Dimulai pada akhir April 2011, Saleh yang awalnya menyetujui sebuah perjanjian yang diprakarsai oleh Dewan Kerjasama Teluk (Gulf Cooperation Council, GCC), kemudian mundur lagi beberapa jam sebelum jadwal penandatanganan, sampai tiga kali. Setelah ketiga kalinya, pada 22 Mei 2011, GCC mengumumkan penangguhan upaya-upaya untuk memediasi di Yaman. Pada 23 Mei 2011, sehari setelah Saleh menolak untuk menandatangani perjanjian transisi tersebut, Syeikh Sadiq al-Ahmar ketua federasi suku Hasyid, salah satu dari suku-suku yang paling kuat di negara itu, mengumumkan dukungannya pada oposisi dan para pendukungnya yang bersenjata memulai konflik dengan pasukan keamanan loyalis di ibukota Sana’a.

Pertempuran jalanan yang hebat terjadi, termasuk tembakan artileri dan mortar. Saleh dan beberapa orang lain terluka dan setidaknya lima orang meninggal pada saat terjadi pemboman istana Presiden pada 3 Juni 2011 ketika sebuah bahan peledak menghancurkan sebuah masjid yang digunakan oleh para pejabat pemerintah tingkat tinggi untuk sholat. Laporan belum dapat memastikan apakah serangan tersebut disebabkan oleh tembakan atau bom yang ditanam. Pada hari berikutnya, Wakil Presiden Abdul Rab Mansul al Hadi mengambil alih sebagai pejabat presiden, sementara Saleh terbang ke Saudi Arabia untuk perawatan. Massa merayakan pemindahan kekuasaan Saleh tersebut, tetapi pejabat-pejabat Yaman bersikeras bahwa ketiadaan Saleh hanya sementara dan dia akan segera kembali ke Yaman untuk melanjutkan tugasnya.

Pada awal Juli 2011 pemerintah menolak tuntutan-tuntutan oposisi, termasuk pembentukan sebuah dewan transisi dengan tujuan secara formal memindahkan kekuasaan dari


(43)

pemerintah sekarang ke pemerintah sementara yang dimaksudkan untuk mengawasi pemilu demokratis yang pertama di Yaman. Sebagai tanggapannya faksi-faksi oposisi mengumumkan pembentukan dewan transisi mereka sendiri yang beranggotakan 17 orang pada 16 Juli 2011, meskipun Pertemuan Gabungan Partai-partai (Joint Meeting Parties, JMP) yang telah difungsikan sebagai payung bagi banyak kelompok oposisi Yaman selama pemberontakan tersebut, mengatakan bahwa dewan tersebut bukan representasi mereka dan tidak sesuai dengan “rencana” mereka untuk negara tersebut.

Pada tanggal 23 November 2011, Saleh menandatangani sebuah perjanjian pemindahan kekuasaan yang diprakarsai oleh GCC di Riyadh, yang dengannya dia akan memindahkan kekuasaannya ke Wakil Presiden dalam 30 hari dan meninggalkan posnya sebagai presiden pada Februari 2012, sebagai pertukaran dengan kekebalan hukum baginya.Walaupun kesepakatan GCC tersebut diterima oleh JMP, namun ditolak oleh banyak pendemo dan Houthi.

Sebuah pemilihan presiden telah dilaksanakan di Yaman pada 21 Februari 2012. Sebuah laporan mengklaim bahwa pemilu tersebut diikuti 65 persen dari pemilihnya, dan Hadi memenangkan suara 99,8%. Abd Rabb Mansur al Hadi diambil sumpahnya di parlemen Yaman pada 25 Februari 2012. Saleh kembali pada hari yang sama untuk menghadiri pelantikan presiden Hadi. Setelah beberapa bulan demonstrasi, Saleh mengundurkan diri dari presiden dan secara formal memindahkan kekuasaan pada penggantinya, yang mengakhiri 33 tahun pemerintahannya.

Selama bertahun-tahun, Yaman dirongrong oleh berbagai kelompok militan yang bertikai satu sama lain, diantara kelompok Syiah al-Houthi yang menguasai provinsi di sebelah Utara Yaman, gerakan separatis di wilayah Selatan, al-Qaeda di Semenanjung Arab, faksi-faksi dalam


(44)

militer dan ditambah lagi dengan simpatisan mantan Presiden Ali Abullah Saleh yang lengser dari jabatannya pada revolusi Yaman 2011 silam.

Korupsi, kesenjangan sosial, lemahnya kontrol pemerintah, kemiskinan serta minimnya infrastruktur merupakan hal utama yang menyebabkan gerakan separatis tumbuh subur di Yaman.

Protes rakyat Yaman 2014 merupakan sederertan aksi-aksi demonstrasi di Yaman yang akhirnya meningkat menjadi konflik bersenjata. Protes tersebut dimulai pada tanggal 18 Agustus 2014 saat terjadi serangkaian demonstrasi Houthi di Sana’a menolak kenaikan harga BBM. Pada tanggal 21 September 2014, kelompok Houthi mengambil alih kendali Sana’a. Perdana Menteri Mohammad Basindawa mengundurkan diri dan Houthi menandatangani sebuah kesepakatan untuk pembentukan pemerintah bersatu yang baru dengan partai-partai politik lainnya. Protes tersebut ditandai dengan adanya pertentangan antara Houthi dengan pemerintah dan juga pertentangan antara Houthi dengan Al Qaeda di semenanjung Arab (AQAP).

Protes tersebut terjadi mengikuti suatu fase ekspansi Houthi yang berpuncak pada pengambilan alih Amran sebuah ibukota provinsi, oleh Houthi pada 8 Juli 2014. Kelompok Houthi mengalahkan 310 Brigade Armored dan membunuh komandannya Hameed Al Koshebi.

Namun demikian, penyebab segera dari protes adalah kenaikan harga BBM hampir 100% akibat keputusan pemerintah Yaman pada 29 Juli 2014 untuk memotong subsidi BBM. Pada tahun 2013, biaya untuk subsidi BBM yang dikeluarkan pemerintah Yaman sebesar $3 miliyar, hampir sepertiga belanja negara. Sabagai tanggapan atas pemangkasan subsidi tersebut, Houthi memulai protes untuk mengembalikan subsidi dan pembentukan pemerintahan baru.

Protes pertama terjadi pada 18 Agustus 2014, ketika Houthi mendirikan markas protes di Sana’a. Puluhan ribu orang berpartisipasi dalam protes tersebut, yang segera diikuti dengan


(45)

adanya kekerasan. Pada 10 September 2014, tujuh orang pendemo ditembak oleh pasukan keamanan. Pertentangan yang terjadi lagi pada 18 September menyebabkan 40 pendemo dan anggota milisi Sunni meniggal.

Pada tanggal 19 September 2014, pemberontak menyerang Sana’a dan pada 21 September 2014 maju memasuki kota tersebut dan menduduki kantor-kantor pemerintahan. Hal ini menyebabkan pengunduran diri Perdana Menteri Yaman Mohammed Basindawa, dan digantikan oleh Ahmad Awad bin Mubarak. Pertempuran tersebut menyebabkan kematian 123 orang dari kedua belah pihak. Houthi bersama dengan beberapa kelompok politik lain, menandatangani sebuah kesepakatan Perjanjian Perdamaian dan Pesekutuan yang menetapkan formasi pemerintahan bersatu yang baru.

Pada tanggal 22 September, sedikitnya 240 orang terbunuh dalam pertempuran di Sana’a. Pertempuran tetap berlanjut setelah penandatangan perjanjian pembagian kekuasaan. Pada tanggal 9 Oktober 2014 sebuah bom bunuh diri terjadi di Tahrir Square sebelum rapat umum yang telah dijadwalkan dimulai. Serangan tersebut menewaskan 47 orang dan melukai 75 orang yang sebagian besar adalah pendukung Houthi. Pejabat pemerintah meyakini serangan tersebut dilakukan oleh AQAP.

Pada 18 Agustus 2014, Houthi melakukan serangkaian demonstrasi menentang kenaikan harga bahan bakar. Pada 21 September, pasukan Houti berhasil menguasai Sana’a, setelah Perdana Menteri Mohammed Basindawa mengundurkan diri dan pimpinan Houthi berhasil menggalang kesepakatan dengan partai politik lainya untuk membentuk gabungan pemerintahan baru.

Houthi adalah gerakan Syiah Zaidiyah yang didirikan oleh Hussein Badreddin al-Houthi. Nama resmi gerakan yang bermarkas di Sa’dah ini sebenarnya adalah Ansarullah, sedangkan


(46)

sebutan Houthi mengikuti nama pendiri dan pemimpin pertamanya Badreddin al-Houthi. Pemberontakan pertama Houthi terjadi pada tahun 2004 menentang Presiden Yaman saat itu, Ali Abdullah Saleh. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan dan Badreddin Houthi harus membayar mahal atas penentanganya ini. Setelah kematian Houthi, komando gerakan ini dilanjutkan oleh saudaranya, Abdul Malik al-Houthi.2

Basis massa Houthi utamanya berasal dari suku-suku dari Yaman Utara yang merupakan penganut Syiah. Mereka dikenal dengan karakternya yang keras, berani, tangguh, dan kemampuan menembak yang jitu. Meski demikian, dimasa awal kemunculanya sebenarnya mereka dikenal sebagai organisasi yang moderat dan dekat dengan kelompok Sunni dibanding kelompok Syiah lainnya.3

Perubahan bentuk organisasi Houthi merupakan bentuk respon mereka atas beberapa isu populis yang menjerat Yaman. Anasir-anasir yang mempengaruhi radikalisasi gerakan Houhti tersebut antara lain: derasnya pengaruh ideologi Arab Saudi di Yaman, gerakan Houthi ditujukan sebagai counter hegemoni atas ideologi Arab ini. Isu lain yang menjadi sorotan utama Houthi adalah kedekatan pemerintah Yaman dengan Amerika Serikat. Selain itu, Houthi jug menyoroti isu korupsi yang makin menggurita dan kebijakan diskriminatif pemerintah yang memarjinalkan penduduk Sa’dah yang merupakan basis konstituen Houthi. 4

Houthi menolak dianggap sebagai gerakan kesukuan, dan sistem organisasi Houthi dibangun dalam skema desentralisasi yang membatasi kekuasaan di pusat struktur. Dua hal ini

2

"5 Things to Know About the Houthis of Yemen". 12 February 2015. http://blogs.wsj.com/briefly/2015/02/12/5-things-houthis-yemen/ diakses pada 2 April 2016

3"Yemen's Abd-al-Malik al-Houthi". BBC. 3 October 2014.

http://www.bbc.co.uk/monitoring/yemens-abd-almalik-alhouthi. Diakses pada 2 April 2016

4

"Profile: The crisis in Yemen" http://www.thenational.scot/world/profile-the-crisis-in-yemen.1317. Diakses pada 2 April 2016


(47)

membuat mereka menuai banyak dukungan, banyak warga Yaman dari beragam latar belakang yang ikut bergabung dalam gerakan ini karena sifat mereka yang tak sentralistis ini.

Houthi diperkirakan memiliki antara 1.000 sampai 3.000 pejuang pada tahun 2005, dan meningkat menjadi 10.000 orang pada 2009. Jumlah ini melonjak tajam pada tahun 2010, Yemen Post mengklaim jumlah milisi Houthi ini mencapai 100.000.5 Pada tahun 2015, diperkirakan memperoleh banyak anggota baru yang berasal dari luar daerah basis mereka.

Houthi merupakan organisasi yang di gerakkan oleh kelompok Zaidi, sebuah cabang dari Syiah yang mempunyai penganut cukup banyak di Yaman. Jumlah penganut Zaidi mencapai 45% dari total populasi di negara tersebut, sedangkan yang terafiliasi dalam gerakan Houthi berkisar sekitar 30% dari total populasi. Sejah mencatat, Zaidi memerintah negeri Yaman (Utara) selama 1.000 tahun lebih sampai tahun 1962. Selama periode tersebut, mereka mempertahankan kemerdekaan dengan tangguh dan banyak terlibat dalam pertempuran melawan kekuatan-kekuatan asing yang pada saat itu mengendalikan wilayah Yaman bagian selatan.

Pendekatan dan strategi gerakan Houthi dalam banyak hal disinyalir mirip dengan Hezbollah di Lebanon, gerakan yang juga berbasis pada aliran yang sama dan didukung Iran. Keduanya mempunyai doktrin militer dan imaji perjuangan yang sama yang berkiblat pada revolusi Iran. Sebagai konsekuensinya, Houthi sering kali di tuduh berafiliasi dan didukung oleh Iran.6

Houthi sendiri menegaskan bahwa gerakan mereka merupaka reaksi perlawanan terhadap ekspansi salafiyah di Yaman, sekaligus sebagai upaya membela komunitasnya dari diskriminasi yang dilakukan rezim penguasa. Pemerintah Yaman menuduh pemberontakan Houthi bertujuan untuk mendestabilkan pemerintahan, menggulingkan rezim dan menggantinya dengan hukum

5

Almasmari, Hakim (10 April 2010). "Editorial: Thousands Expected to die in 2010 in Fight against Al-Qaeda"

6

"Houthis seek to impose a new reality on Yemen". The National. 23 September 2014. http://www.thenational.ae/opinion/houthis-seek-to-impose-a-new-reality-on-yemen


(48)

agama yang dianut Zaidi. Pemerintah juga menuding bahwa Houthi mempunyai keterikatan dengan kekuatan pendukung di luar, dalam hal ini pemerintah Iran.


(49)

BAB III

DINAMIKA HUBUNGAN POLITIK ARAB SAUDI DAN IRAN

Rivalitas antara Arab Saudi dan Iran tak mucul begitu saja dalam ruang hampa, melainkan terbentuk oleh sejarah panjang sejak keduanya menjadi negara modern. Pernah menjalin hubungan yang cukup harmonis, sejak revolusi Iran pada 1979, praktis hubungan keduanya cenderung diwarnai oleh berbagai konflik dan ketegangan. Sebagai dua negara yang memegang peranan kunci di Timur Tengah, keduanya saling berebut pengaruh untuk menjadi negara hegemon yang mengendalikan negara-negara kecil di kawasan.

Meski nyaris tak pernah terlibat dalam pertempuran militer secara langsung, tapi keduanya banyak bentrok kepentingan di berbagai negara yang tengah berkonflik. Untuk memahami kondisi mutahir rivalitas dua negara berpengaruh ini, penting untuk melacak kembali riwayat hubungan keduanya. Catatan riwayat hubungan keduanya penting untuk memberikan gambaran secara utuh sehingga bisa didapatkan konteks yang tepat. Sebelum membahas lebih jauh tentang dinamika hubungan Arab Saudi dan Iran, penting untuk terlebih dulu disajikan gambaran tentang profil kedua negara.

A. Profil Arab Saudi

Arab Saudi adalah negara berpenduduk mayoritas muslim yang terletak di semenanjung arab dengan bentuk pemerintahan monarki absolut. Arab Saudi terletak di antara 15°LU - 32°LU dan antara 34°BT - 57°BT, berbatasan dengan Yordania dan Irak di utara, Kuwait di timur laut, Qatar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab di timur, Oman di tenggara, dan Yaman di selatan. Luas


(50)

kawasannya adalah 2.240.000 km².1 Arab Saudi merangkumi empat perlima kawasan di Semenanjung Arab dan merupakan negara terbesar di Asia Timur Tengah. Arab Saudi terkenal sebagai sebuah negara yang datar dan mempunyai banyak kawasan gurun. Gurun yang terkenal ialah di sebelah selatan Arab Saudi yang dijuluki "Daerah Kosong" (dalam bahasa Arab, Rub al Khali), kawasan gurun terluas di dunia. Namun di bagian barat dayanya, terdapat kawasan pegunungan yang berumput dan hijau. Hampir tidak ada sungai atau danau permanen di negeri ini, tetapi terdapat sangat banyak wadi. Beberapa daerah subur dapat ditemukan dalam endapan aluvial di wadi, basin dan oasis.

Arab Saudi terkenal sebagai negara tempat kelahiran Nabi Muhammad serta tumbuh dan berkembangnya agama Islam sehingga pada benderanya terdapat dua kalimat syahadat yang berarti "Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya".

Pada tanggal 23 September 1932 Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Sa'ud memproklamasikan berdirinya Kerajaan Arab Saudi atau Saudi Arabia (Mamlakah Al-'Arabiyah Al-Sa'udiyah) dengan menyatukan wilayah Riyadh, Najd (Nejed), Ha-a, Asir dan Hijaz. Abdul Aziz kemudian menjadi raja pertama pada kerajaan tersebut. Dengan demikian dapat dipahami, nama Saudi berasal dari kata nama keluarga Raja Abdul Aziz Al-Sa'ud.

Arab Saudi menggunakan sistem Kerajaan atau Monarki. Hukum yang digunakan adalah hukum Syariat Islam dengan berdasar pada pengamalan ajaran Islam berdasarkan pemahaman salafush shalih (para sahabat Nabi dan yang mengikuti mereka dengan baik) dan secara umum bermazhab Hambali. pemahaman ini sebagai pemahaman sahabat Nabi terhadap Al Qur'an dan Hadits, sehingga sering menyebutnya sebagai pemahaman Salafi. Memiliki hubungan

1


(51)

internasional dengan negara negara lain baik negara negara Arab, negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam, maupun negara-negara lain.

Perindustrian umumnya bertumpu pada sektor Minyak bumi dan Petrokimia terutama setelah ditemukannya sumber sumber minyak pada tanggal 3 Maret 1938. Selain itu juga untuk mengatasi kesulitan sumber air selain bertumpu pada sumber air alam (oase) juga didirikan industri desalinasi Air Laut di kota Jubail. Sejalan dengan tumbuhnya perekonomian maka kota-kota menjadi tumbuh dan berkembang. Kota-kota-kota yang terkenal di wilayah ini selain kota-kota suci Mekkah dan Madinah adalah Kota Riyadh sebagai ibukota kerajaan, Dammam, Dhahran, Khafji, Jubail, Tabuk dan Jeddah.

Sebagai negara yang berpengaruh di kawaan, sumber kekuatan utama Saudi diperoleh dari pendapatan mereka atas minyak. Kekayaan yang sangat besar yang didapat dari minyak ini juga menjadi sumber pembentuk kekuatan dan pengaruh keluarga Kerajaan Saudi, baik di dalam maupun luar negeri.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Saudi dahulu merupakan wilayah perdagangan terutama di kawasan Hijaz antara Yaman-Mekkah-Madinah-Damaskus dan Palestina. Pertanian dikenal saat itu dengan perkebunan kurma dan gandum serta peternakan yang menghasilkan daging serta susu dan olahannya. Pada saat sekarang digalakkan sistem pertanian terpadu untuk meningkatkan hasil-hasil pertanian.

Pada masa-masa awal berdirinya, Kerajaan Saudi adalah salah satu negara termiskin di dunia, bergantung pada pendapatan pertanian dan haji yang terbatas. Namun, kondisi tersebut mulai berubah ketika pada tahun 1938 ditemukan cadangan minyak yang besar di wilayah Al-Ahsa, sepanjang pantai Teluk Persia, dan eksplorasi mulai di lakukan pada tahun 1941 di bawah


(52)

Aramco US-dikendalikan (Arabian American oil Company). Minyak menghujani Arab Saudi dengan kemakmuran ekonomi dan pengaruh politik yang besar secara internasional. Kehidupan budaya berkembang pesat, terutama di Hijaz, yang merupakan pusat untuk surat kabar dan radio. Namun, masuknya besar pekerja asing di Arab Saudi dalam industri minyak meningkatkan kecenderungan yang untuk xenophobia. Pada saat yang sama, pemerintah menjadi semakin boros dan mewah. Pada tahun 1950 telah menyebabkan defisit besar pada anggaran belanja pemerintah dan menghadirkan pinjaman luar negeri yang berlebihan.

Pada tahun 1973, Arab Saudi memimpin boikot minyak terhadap negara-negara Barat yang mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur melawan Mesir dan Suriah. Harga minyak meningkat empat kali lipat. Pada tahun 1975, Faisal dibunuh oleh keponakannya, Pangeran Faisal bin Musaid dan digantikan oleh saudara tirinya Raja Khalid. Saudi wilayah administratif Arab dan jalan raya peta.

Pada tahun 1976, Arab Saudi telah menjadi produsen minyak terbesar di dunia pemerintahan Khalid melihat kemajuan pembangunan ekonomi dan sosial pada tingkat yang sangat cepat, mengubah infrastruktur dan sistem pendidikan negara;. Dalam hal kebijakan luar negeri, Pemerintah Riyadh mulai membangun hubungan dekat dengan Amerika Serikat.

Pada tahun 1979, terjadi dua peristiwa penting yang mengundang perhatian dan memiliki pengaruh jangka panjang terhadapa kebijakan luar negeri dan dalam negeri Saudi. Yang pertama adalah Revolusi Islam Iran. Dikhawatirkan bahwa Revolusi Iran akan memicu minoritas Syiah di negara itu yang terkonsentrasi di Provinsi Timur (yang juga merupakan lokasi dari ladang minyak) untuk melancarkan pemberontakan di bawah pengaruh Iran yang sealiran dengan


(53)

mereka. Memang sempat ada beberapa pemberontakan anti-pemerintah di wilayah tersebut seperti pemberontakan Qatif pada 1979.

Peristiwa kedua adalah pendudukan masjidil haram di Mekah oleh ekstremis Islam. Para ekstremis tersebut kecewa terhadap pemerintah yang mereka anggap banyak melakukan korupsi dan mulai berperilaku tak islami. Pemerintah kembali menguasai masjid setelah 10 hari. Mereka yang ditangkap kemudian dieksekusi.

Merespon peristiwa ini, keluarga kerajaan mengeluarkan beberapa kebijakan baru untuk menegakkan ketaatan lebih ketat dari norma-norma agama dan sosial tradisional di negara tersebut (misalnya, penutupan bioskop) dan untuk memberikan peran yang lebih besar kepada para ulama dalam pemerintahan.

Di masa pemerintahan Raja Fahd, Saudi terus mengembangkan hubungan dekat dengan Amerika Serikat dan meningkatkan pembelian peralatan militer Amerika dan Inggris. Kekayaan besar yang dihasilkan oleh pendapatan minyak mulai memiliki dampak yang lebih besar pada masyarakat Saudi. Ini menyebabkan modernisasi di bidang teknologi, urbanisasi, pendidikan umum massal dan penciptaan media baru. Meskipun ada perubahan dramatis dalam kehidupan sosial dan ekonomi negara, kekuasaan politik terus dimonopoli oleh keluarga kerajaan. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan di antara banyak orang Saudi yang mulai mengharapkan pembukaan ruang partisipasi yang lebih luas dalam pemerintahan.2

Pada 1980-an, Arab Saudi menghabiskan $ 25 miliar untuk mendukung Saddam Hussein dalam Perang Iran-Irak. Namun, Arab Saudi mengutuk invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990 dan meminta AS untuk campur tangan. Raja Fahd mengizinkan Amerika dan pasukan koalisi

2


(54)

mendirikan pangkalan militer di negaranya. Dia mengundang pemerintah Kuwait dan banyak warganya untuk tinggal di Arab Saudi, tapi diusir warga Yaman dan Yordania karena dukungan pemerintah mereka ke Irak.3 Pada tahun 1991, pasukan Arab Saudi diduga terlibat dalam aksi serangan bom di Irak dan invasi darat untuk membantu membebaskan Kuwait.

Hubungan Arab Saudi dengan Barat mulai menimbulkan kekhawatiran dikalangan sebagian ulama dan mahasiswa, dan memunculkan sikap anti-Barat. Hal ini, sampai batas tertentu menyebabkan peningkatan terorisme Islam di Arab Saudi, serta serangan teroris Islam di negara-negara Barat oleh orang Arab. Osama bin Laden adalah seorang warga Saudi (sampai dilucuti kewarganegaraannya pada tahun 1994). 15 dari 19 pembajak yang terlibat dalam serangan 9/11 di New York, Washington dan Virginia adalah warga negara Saudi.

Islamisme dan anti-barat bukan satu-satunya sumber ketidakpuasan warga kepada pemerintah. Meskipun sekarang sangat kaya, perumbuhan ekonomi Arab Saudi relatif stagnan. Pajak yang tinggi dan angka pengangguran dalam skala besar telah berkontribusi melahirkan ketidakpuasan. Hal ini telah tercermin dalam kenaikan kerusuhan sipil, dan ketidakpuasan dengan keluarga kerajaan.

Pada tahun 2005, Raja Fahd meninggal dan digantikan oleh Abdullah. Sebagai Raja baru, Abdullah memperkenalkan sejumlah paket reformasi ekonomi yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan negara pada pendapatan minyak. Paket tersebut tercermin dalam tiga kebijakan utama: deregulasi terbatas, dorongan investasi asing, dan privatisasi.

Pada bulan Februari 2009, Abdullah mengumumkan serangkaian perubahan kebijakan pemerintah untuk peradilan, angkatan bersenjata, dan berbagai kementerian. Pada tanggal 29


(55)

Januari 2011 ratusan demonstran berkumpul di kota Jeddah, kritik terhadap infrastruktur miskin kota setelah banjir yang mematikan menyapu kota, menewaskan sebelas orang. Polisi menghentikan demonstrasi setelah sekitar 15 menit dan ditangkap 30 sampai 50 orang. 4

Sejak 2011, Arab Saudi telah dipengaruhi oleh protes Musim Semi Arab sendiri. Sebagai tanggapan, Raja Abdullah mengumumkan pada 22 Februari 2011 serangkaian kebijakan insentif bagi warga sebesar $ 36.000.000.000, dari yang $ 10.700.000.000 dialokasikan untuk perumahan. Beberapa tahanan didakwa atas kejahatan keuangan diampuni. Pada tanggal 18 Maret tahun yang sama, Raja Abdullah mengumumkan paket $ 93.000.000.000, termasuk 500.000 rumah baru, dan pembukaan 60.000 lapangan pekerjaan baru.5

Dalam hal politik, pemilihan kota diadakan pada tanggal 29 September 2011, meskipun hak pilih hanya untuk laki-laki. Baru pada 2015, perempuan memperoleh hal untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan kota, dan juga untuk dicalonkan sebagai Dewan Syura.6

1. Sistem Politik Arab Saudi

Arab Saudi adalah negara monarki absolut. Undang-Undang Dasar Arab Saudi diadopsi dari dekrit Raja pada tahun 1992, dimana Raja harus tunduk kepada hukum Syariat dan Quran, sedangkan Quran dan Sunnah diposisikan sebagai konstitusi negara. Sistem politik Arab Saudi tidak mengenal partai politik atau pemilihan umum nasional. Kondisi ini memunculkan banyak kritik yang menganggapnya sebagai kediktatoran totaliter. The Economist menempatkan pemerintah Saudi pada urutan kelima negara yang paling otoriter dari 167 negara yang dinilai

4

Anthony H. Cordesman (2009). Saudi Arabia: National Security in a Troubled Region. hal. 50–52.

5

"Saudi ruler offers $36bn to stave off uprising amid warning oil price could double". The Daily Telegraph (London). 6

Donna Abu (18 March 2011). "Saudi King to Spend $67 Billion on Housing, Jobs in Bid to Pacify Citizens"

http://www.bloomberg.com/news/2011-03-18/saudi-arabian-king-abdullah-boosts-spending-as-protests-sweep-arab-world.html. Diakses pada 2 April 2016


(56)

pada 2012, sementara itu Freedom House memberikan rating terendah "Tidak Bebas", 7.0 ( "1 = terbaik, 7 = terburuk") pada 2013.

Dengan tidak adanya pemilu nasional dan partai politik, politik di Arab Saudi berlangsung di dua arena yang berbeda: di internal keluarga kerajaan, keluarga Al Saud, dan antara keluarga kerajaan dengan sisanya dari masyarakat secara luas. Di luar keluarga Al-Saud, partisipasi dalam proses politik sangat terbatas pada segmen yang relatif kecil.

Dalam sistem pemeintahan Saudi, Raja merupakan pemegang otoritas legislatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus. Raja juga merangkap sebagai perdana menteri, dan memimpin Dewan Menteri (Majlis al-Wuzarā'), yang terdiri dari wakil perdana menteri dan menteri-menteri lainya.

Keluarga kerajaan mendominasi sistem politik. sejumlah besar keluarga memungkinkan untuk mengontrol sebagian besar posisi penting di kerajaan dan memiliki peran dan kewenangan di semua tingkat pemerintahan. Jumlah pangeran diperkirakan sedikitnya 7.000, dengan kekuasaan dan pengaruh yang paling sebanyak 200 orang keturunan laki-laki dari Ibn Saud. Kementerian-kementerian strategis umumnya disediakan untuk keluarga kerajaan, sebagaimana posisi gubernur di tiga belas daerah yang strategis.

Keluarga kerajaan secara politis dapat dibagi kedalam beberapa faksi berdasarkan klan, ambisi pribadi dan perbedaan ideologi. Faksi klan yang paling kuat dikenal sebagai 'Sudairi Seven', yang terdiri dari almarhum Raja Fahd dan saudara kandung serta keturunan mereka. Pada sisi ideologis mencakup perbedaan sikap dalam memandang isu-isu seputar reformasi, dan apakah peran ulama harus ditingkatkan atau dikurangi.

Dalam indeks persepsi korupsi internasional yang dikeluarkan pada tahun 2010, Arab Saudi mendapakan skor 4,7 (pada skala dari 0 sampai 10 di mana 0 adalah "sangat korup" dan 10


(1)

Dalam studi hubungan internasional dikenal konsep sphere of influence yang dimaknai sebagai klaim dari sebuah negara secara ekslusif atau kontrol yang dominan atas sebuah area atau wilayah asing diluar wilayah yurisdiksinya.

Merujuk pada konsep daerah pengaruh tersebut, Rivalitas antara Kerajaan Arab Saudi dan Iran di Yaman merupakan representasi mutakhir dari perebutan daerah pengaruh di kawasan teluk. Perubahan rezim di Yaman bisa menggeser peta daerah pengaruh Saudi dan Iran, dalam hal ini Yaman yang sebelumnya berada dibawah pengaruh Saudi, terancam dengan peristiwa pendudukan Houthi yang mendeklarasikan Dewan Revolusi.

Houthi merupakan organisasi yang di gerakkan oleh kelompok Zaidi, sebuah cabang dari Syiah yang mempunyai penganut cukup banyak di Yaman. Houthi sendiri menegaskan bahwa gerakan mereka merupaka reaksi perlawanan terhadap ekspansi salafiyah di Yaman, sekaligus sebagai upaya membela komunitasnya dari diskriminasi yang dilakukan rezim penguasa. Pemerintah Yaman menuduh pemberontakan Houthi bertujuan untuk mendestabilkan pemerintahan, menggulingkan rezim dan menggantinya dengan hukum agama yang dianut Zaidi. Pemerintah juga menuding bahwa Houthi mempunyai keterikatan dengan kekuatan pendukung di luar, dalam hal ini pemerintah Iran.

Naiknya Houthi telah merubah konfigurasi politik di internal negara Yaman dimana kelompok Syiah mendapatkan momentum untuk mengakses kuasa. Houthi yang mempunyai kedekatan ideologis dan diduga berafiliasi dengan Iran, akan mengurangi radius pengaruh Arab Saudi di satu sisi, dan memperluas daerah pengaruh Iran di sisi lain. Meski merupakan negara miskin, namun Yaman merupakan negara yang mempunyai kepadatan cukup tinggi dengan populasi lebih dari 25 juta penduduk. Jika dibiarkan, perubahan konfigurasi politik Yaman ini


(2)

berpotensi menggeser peta rivalitas pengaruh Saudi dan Iran di kawasan. Mempertimbangkan hal tersebut, maka reaksi keras Saudi terhadap pergolakan di Yaman bisa di pahami.

Berdasarkan pembahasan pada bab iv, rivalitas Saudi dan Iran ini dipengaruhi oleh faktor yang sangat mendasar yaitu identitas kolektif yang melekat pada masing-masing negara. Identitas negara mempengaruhi kebijakan luar negeri dan sebaliknya, kebijakan luar negeri pada titik tertentu dapat mempengaruhi identitas negara.

Politik identitas di Timur Tengah berbeda dengan kebanyakan kawasan lain. Di Timur Tengah, selain faktor kesukuan, politik identitas banyak di pengaruhi oleh isu-isu sektarianisme atau yang di sebut Ashabiyah. Setelah gesekan panjang dan mendalam sejak masa kekhalifahan, kini konflik dua aliran besar dalam Islam tersebut paling tampak berlangsung dalam wujud rivalitas antara dua negara islam, yaitu Arab Saudi dan Iran. Saudi yang mayoritas Sunni dan Iran yang Syiah menjadi representasi mutakhir pertarungan dua aliran ini. Keduanya secara sadar dan tegas saling mengklaim diri dan kebijakan mereka sebagai "negara Islam yang benar."


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Buzan, Barry. 2007. People, States, and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post–Cold War Era. Colchester: ECPR Press Cox, Robert W. 1987. Production, Power, and World Order: Social Forces in the

Making of History, New York: Columbia University Press.

Hettne,B. The New Regionalism : A Prologue. In Hettne,B. (ed), The New

Regionalism and the Future of Security Development, Vol.4. London : Macmillan.2000 Jatmika, Sidik. 2015. Pengantar Studi Kawasan Timur Tengah, Yogyakarta,

Maharsa.

Kuncahyono, Trias, 2013, Musim Semi di Suriah Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Mary Kaldor. 2007. New and Old Wars: Organized Violence in a Global Era. Stanford, CA: Stanford University Press

Nainggolan, Poltak Partogi. Ed. 2004. Konflik Dan Perkembangan Kawasan Pasca Perang Dingin. Jakarta: P3I Setjen DPRRI

________________________. 2014. Masalah-masalah di Kawasan Menjelang Realisasi Komunitas ASEAN 2015, Jakarta: Azza Grafika

Sahide, Ahmad. 2011. Ketegangan Politik Sunni-Syiah. Yogyakarta: The Phinisi Press

Sihbudi, Riza, 1995, Profil Negara-Negara Timur Tengah, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.

Sulaiman, Dina Y. 2013. Prahara Suriah - Membongkar Persekongkolan Internasional. Jakarta: Pustaka Iman.

Yatim, Badri. 2002. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Fenomena Arab Spring: Identitas Budaya Politik Timur Tengah, dan Demokrasi


(4)

Jurnal:

Kaven L. Afrasiab, "Saudi-Iran Tension Fuel Wider Conflict" Asia Times, 6 December 2006.

Michael Makovsky, Blaise Misztal, dan Jonathan Ruhe, Fragility and Extremism

in Yemen, A Case Study of The Stabilizing Fragile States Project, Bipartisan Policy Center, Januari 2011.

Joy Winkie Viola (1986). Human Resources Development in Saudi Arabia: Multinationals and Saudization.

Internet:

Dinna Wisnu, Konlfik Tak Bertepi: Arab Saudi vs Iran,”

http://www.koransindo.com/news.php?r=0&n=18&date=2016-01-06. Siapa Suku Houthi di Yaman”, dalam

http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_ content&view =article&id=771:siapa-suku-houthi-di-yaman&catid=85:lintas-dunia&Itemid=284, diakses 22 April 2015. "Houthis seek to impose a new reality on Yemen". The National. 23 September

2014. http://www.thenational.ae/opinion/houthis-seek-to-impose-a-new-reality-on-yemen.

"Iran's Ahmadinejad dismisses Wikileaks cables release". BBC News. 29

November 2010. http://www.bbc.co.uk/news/world-us-canada-11860435. Di akses pada 18 April 2016


(5)

1

LAMPIRAN

Gambar 1.1: Peta Timur Tengah


(6)

2