Tinea Fasialis Pada Anak

LAPORAN KASUS
TINEA FASIALIS PADA ANAK
KHAIRINA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................... I. PENDAHULUAN .................................................................................................. II. LAPORAN KASUS................................................................................................ III. DISKUSI ................................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................

i 1 1 3 6

Universitas Sumatera Utara

TINEA FASIALIS PADA ANAK
PENDAHULUAN Tinea fasialis adalah suatu infeksi dermatofita superfisialis yang mengenai daerah
wajah. Pada wanita dan anak-anak, infeksi dapat terjadi pada semua daerah wajah, termasuk pada daerah bibir bagian atas dan dagu, sedangkan pada pria keadaan seperti ini disebut sebagai tinea barbae. 1-3
Tinea fasialis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofita, yaitu Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton. Secara umum, penyebab tinea fasialis adalah Microsporum canis, di Asia penyebab tersering adalah Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton rubrum sedangkan di Amerika sering disebabkan oleh Trichophyton tonsurans.1,3,4
Keluhan utama adalah berupa rasa gatal. Pada bentuk klasik dari tinea fasialis, didapati lesi yang anuler, bulat atau lonjong, berbatas tegas dan biasanya terdapat satu lesi ataupun multipel. Beberapa lesi yang berdekatan dapat bergabung sehingga membentuk gambaran pinggir lesi yang polisiklik. Umumnya lesi berupa makula atau plak yang eritematosa dan berskuama dengan bagian pinggir lesi lebih aktif dan bagian tengah lebih tenang (central healing). Pada tepi lesi dijumpai papul-papul eritematosa atau vesikel.1,2,3,5
Diagnosis banding untuk tinea fasialis adalah kandidiasis, dermatitis kontak, granuloma anulare dan dermatitis seboroik.1,4 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan mikroskopik langsung dan kultur.2,3,5,6,7

Penatalaksanaan tinea fasialis adalah dengan menghindari faktor predisposisi sekaligus pemberian obat antijamur topikal maupun sistemik. Untuk obat topikal dapat digunakan mikonazol 2%, ketokonazol 2% dan terbinafin 1%. Pengobatan sistemik diberikan bila lesi luas dan gagal dengan pengobatan topikal. Anti jamur sistemik yang dapat diberikan adalah ketokonazol, itrakonazol, griseofulvin, flukonazol dan terbinafin.2-4,7
Berikut ini dilaporkan sebuah kasus tinea fasialis pada seorang anak perempuan yang berusia 11 tahun yang disebabkan oleh Tricophyton schoenleinii.
LAPORAN KASUS Seorang anak perempuan, berusia 11 tahun, datang berobat ke Poliklinik Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H.Adam Malik Medan pada tanggal 12 Mei 2009 dengan keluhan utama berupa bercak kemerahan disertai rasa gatal pada bagian bawah pipi sebelah kanan. Hal ini telah dialami penderita sejak 2 bulan yang lalu. Awalnya timbul hanya
Universitas Sumatera Utara

berupa bercak kecil saja, tetapi semakin lama semakin meluas. Penderita sudah pernah berobat di puskesmas di daerah tempat tinggalnya dan memperoleh pengobatan yang pasien tidak tahu namanya, tetapi tidak memperoleh kesembuhan. Penderita tidak memiliki binatang peliharaan dirumahnya. Penderita adalah anak kedua dari tiga bersaudara, dan tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit serupa.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, gizi baik, nadi: 76x/menit, frekuensi nafas: 18x/menit, suhu tubuh afebris, berat badan 25 kg.
Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai adanya plak eritema dengan pinggir aktif yang terdiri dari papul-papul eritema yang tersusun polisiklik, permukaan lesi ditutupi oleh skuama halus yang terdapat pada regio mandibularis dextra.
Gambar 1. Pasien pada saat pertama kali datang terdapat plak eritema dengan pinggir aktif yang terdiri dari papul-papul eritema yang tersusun polisiklik dan permukaan ditutupi skuama halus
Pada pasien dilakukan pemeriksaan KOH 10% dari kerokan kulit dan kultur jamur. Hasil pemeriksaan KOH 10% dijumpai adanya hifa dan spora. Pasien didiagnosis banding dengan tinea fasialis, kandidiasis kutis, dermatitis kontak, granuloma anulare dan dermatitis seboroik dengan diagnosis kerja dengan tinea fasialis.
Penatalaksanaan untuk pasien ini adalah krim ketokonazol 2% yang dioleskan pada lesi 2xsehari dan loratadin 1x10mg/hari selama 15 hari. Kemudian pasien diberi penjelasan mengenai pencegahan penularan dengan tidak memakai pakaian, bantal dan handuk bersamasama dengan anggota keluarga yang lain maupun dengan teman-temannya di sekolah. Penderita juga dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan. Pasien dianjurkan untuk kontrol ulang 2 minggu kemudian.
Kontrol ulang 3 minggu kemudian (tanggal 1 Juni 2009), plak eritema ,skuama dan rasa gatal tidak dijumpai lagi. Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai makula
Universitas Sumatera Utara

hiperpigmentasi. Hasil pemeriksaan kultur jamur dijumpai adanya Trichophyton Schoenleinii. Pasien didiagnosis kerja dengan tinea fasialis dan terapi dilanjutkan berupa krim ketokonazol 2% yang dioleskan 2x sehari dan pasien dianjurkan untuk kontrol ulang 1 minggu kemudian tetapi pasien tidak datang lagi untuk kontrol.
Gambar 2. Pasien pada saat kontrol kedua dijumpai makula hiperpigmentasi. Prognosis quo ad vitam ad bonam, quo ad functionam ad bonam, quo ad sanationam dubia ad bonam. DISKUSI
Diagnosis tinea fasialis pada penderita ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan KOH 10% dan kultur jamur.
Dari anamnesis diketahui bahwa penderita adalah seorang anak perempuan, berusia 11 tahun dengan keluhan utama berupa bercak kemerahan disertai rasa gatal pada bagian bawah pipi sebelah kanan yang telah dialami penderita sejak 2 bulan yang lalu. Awalnya timbul hanya berupa bercak kecil saja, tetapi semakin lama semakin meluas. Penderita sudah pernah berobat di puskesmas di daerah tempat tinggalnya dan memperoleh pengobatan yang tidak tahu namanya, tetapi tidak memperoleh kesembuhan. Penderita tidak memiliki binatang peliharaan dirumahnya dan tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit serupa. Menurut literatur, tinea fasialis sering terjadi pada anak-anak dengan sumber infeksi hewan piaraan khususnya kucing. 7 Sumber infeksi pada pasien ini tidak jelas.
Universitas Sumatera Utara


Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai adanya plak eritema dengan pinggir aktif yang terdiri dari papul-papul eritema yang tersusun polisiklik, permukaan lesi ditutupi oleh skuama halus yang terdapat pada regio mandibularis dextra. Pada literatur dikatakan bentuk klasik dari tinea fasialis, didapati lesi yang anuler, bulat atau lonjong, berbatas tegas dan biasanya terdapat satu lesi ataupun multipel. Beberapa lesi yang berdekatan dapat bergabung sehingga membentuk gambaran pinggir lesi yang polisiklik. Umumnya lesi berupa makula atau plak yang eritematosa dan berskuama dengan bagian pinggir lesi lebih aktif dan bagian tengah lebih tenang (central healing). Pada tepi lesi dijumpai papul-papul eritematosa atau vesikel.1,2,3,5
Pada pemeriksaan KOH 10% dari kerokan kulit dijumpai adanya hifa dan spora. Pada literatur dikatakan bahwa dari pemeriksaan KOH 10% akan tampak hifa panjang dengan atau tanpa percabangan dengan atau tanpa artospora. Dari pemeriksaan kultur dijumpai Trichophyton Schoenleinii. Tinea fasialis merupakan suatu varian dari tinea korporis dan mencakup 3-4% dari seluruh kasus tinea korporis, namum pada kepustakaan dikatakan bahwa Trichophyton Schoenleinii merupakan spesies dermatofita yang jarang meyebabkan tinea fasialis. Trichophyton Schoenleinii bersifat antropofilik, penularan dapat terjadi dengan kontak langsung ataupun penggunaan benda-benda seperti handuk dan pakaian secara bersama-sama. Trichophyton Schoenleinii dapat menyebabkan infeksi dermatofita di berbagai area tubuh, termasuk kuku. Infeksi pada kulit kepala menghasilkan tinea kapitis bentuk favosa, yang dapat menyebabkan skar.2,6
Tinea fasialis merupakan bentuk dermatofitosis yang paling sering menyebabkan kesalahan diagnosis.4 Penderita didiagnosis banding dengan tinea fasialis, kandidiasis kutis, dermatitis kontak, granuloam anulare dan dermatitis seboroik. Diagnosis banding kandidiasis kutis disingkirkan karena pada kandidiasis kutis, pemeriksaan KOH 10% akan menunjukkan budding dan pseudohifa.5 Diagnosis banding dermatitis kontak pada daerah wajah disingkirkan karena dermatitis kontak pada daerah wajah dapat disebabkan oleh pemakaian berbagai produk perawatan wajah maupun kosmetika, dan pada penderita ini tidak dijumpai adanya riwayat penggunaan bahan-bahan tersebut. Diagnosis banding granuloma anulare disingkirkan karena granuloma anulare merupakan suatu dermatosis kronis yang dapat sembuh sendiri, asimptomatik dengan gejala berupa papul-papul dan plak eritematosa yang tersusun anular, dengan disertai depresi sentral. Predileksi terbanyak terdapat pada wajah terutama daerah alis mata dan daerah lipatan nasolabial. Diagnosis banding dermatitis seboroik disingkirkan karena ruam dermatitis seboroik biasanya disertai dengan skuama
Universitas Sumatera Utara

kekuningan dan berminyak. Dan pada ketiga penyakit tersebut tidak dijumpai adanya hifa dan spora pada pemeriksaan KOH 10%.7
Penatalaksaan terdiri dari pemberian penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai penyakit ini. Infeksi jamur sangat menular sehingga untuk mencegah penularan disarankan agar penderita tidak memakai pakaian, bantal dan handuk bersama-sama dengan anggota keluarga yang lain maupun dengan teman-temannya di sekolah. Penderita juga dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan. Pada kasus infeksi jamur superfisial, pemilihan penggunaan obat anti jamur sistemik maupun topikal bergantung pada luas, berat ringannya infeksi, penyakit penyerta, efikasi terapi, interaksi obat, maupun efek samping. Umumnya bila lesi terbatas pada kulit glabrosa digunakan anti jamur topikal, sedangkan infeksi yang luas atau mengenai kuku dan rambut digunakan anti jamur sistemik.2 Penatalaksanaan yang diberikan pada penderita adalah krim ketokonazole 2% yang dioleskan 2 x sehari dan loratadin 1x sehari selama 15 hari. Ketokonazole bekerja dengan menghambat enzim 14-αdemetilase pada pembentukan ergosterol, membran sel jamur. Anti histamin loratadin diberikan untuk mengurangi rasa gatal. Pada saat kontrol ulang bercak kemerahan berkurang dan rasa gatal tidak dijumpai lagi dan meninggalkan bercak hiperpigmentasi. Pemberian anti jamur topikal memberikan hasil yang baik pada kasus ini.
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA
1. Hay RJ, Ashbee HR. Mycology. Dalam : Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-8. UK : Wiley Blackwell; 2010. h. 36.1-36.93.
2. Goedadi M, Suwito H, Tinea Korporis dan Tinea Kruris. Dalam : Budimulja U, Kuswadi, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P. Widaty S, penyunting. Dermatomikosis Superfisialis. Kelompok Studi Bermatomikosis Indonesia; Jakarta penerbit FK-UI, 2001:29-33.
3. Szepietowski JC. Tinea faciei. 25 Januari 2012. Diunduh dari : http//:www.emedicine.com.
4. James WD, Berger TG, Elston DM, editor. Andrew’s diseases of the skin clinical dermatology, Edisi ke-10. United States of America : Saunders Elsevier; 2006.
5. Verma S, Heffeman MP. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis Onychomycosis, Tinea Nigra,Piedra. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill; 2008. P.180721
6. Weeks J, Moser SA, Elewski BE, Superficial Cutaneus Fungal Infection. Dalam : Dismukes WE, Pappas PG, Sobel JD, penyunting. Clinical Mycology; United States of America : Oxford University Press, 2003; 367-398.
7. Kane KS, Ryder JB, Johnson Ra, Baden HP, Stratigos A.Color atlas & synopsis of pediatric dermatology. New York: McGraw-Hill; 2002.
Universitas Sumatera Utara