Keaslian Penelitian Kerangka Teori dan Konsepsi

hukum pada umumnya dan ilmu hukum dibidang kenotariatan pada khususnya yaitu mengenai pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya. 2. Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat, aparat pemerintah yang terkait dengan penanganan Notaris, aparat penegak hukum yang berwenang secara hukum dalam melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap para Notaris berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai, “Kajian Hukum Terhadap Pemanggilan Notaris Oleh Penyidik Polri Berkaitan Dengan Dugaan Pelanggaran Hukum Atas Akta yang Dibuatnya” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya, dan secara akademis dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah Notaris, namun secara substansi pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan Notaris yang pernah dilakukan adalah : 1. Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik yang Mengandung Keterangan Palsu Studi Kasus di Kota Medan oleh : Yusnani 057011100. Universitas Sumatera Utara 2. Kajian Terhadap Penggunaan Hak Ingkar Notaris Dalam Pemberian Kesaksian Pada Perkara Perdata dan Pidana oleh : Asep Sudrajat 017011005. 3. Pertanggungjawaban Notaris terhadap akta yang mengandung sengketa Studi di Kota Medan oleh Gloria Gita Putri Ginting 037011029. 4. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat dan Berindikasi Perbuatan Pidana oleh : Agustining 087011001.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta- fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. 14 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahanpenunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. 15 Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dan oleh karena itu kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami Notaris sebagai pejabat umum dan kaitannya dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya yang mengakibatkan terjadinya pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri secara yuridis, artinya memahami objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum 14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press Jakarta, 1986, hlm. 6. 15 JJJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting M. Hisyam UI Press, Jakarta, 1996, hlm. 203. Universitas Sumatera Utara sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah Notaris, kewenangan, kewajiban dan larangan bagi Notaris maupun prosedur hukum pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya dengan didasarkan kepada penelitian lapangan terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah yang diteliti tersebut. 16 Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum kenotariatan, hukum perjanjian dan hukum pidana, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini. 17 Teori yang digunakan adalah teori keseimbangan dan keadilan hukum. Keseimbangan dan keadilan hukum sebagai landasan yuridis pelaksanaan tugas Notaris sebagai pejabat umum kepada masyarakat yang menggunakannya dalam pembuatan akta otentik sekaligus pula keseimbangan dan keadilan hukum terhadap pemanggilan dan pemeriksaan Notaris oleh penyidik Polri dalam kaitannya dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta otentik yang dibuatnya sesuai prosedur hukum yang berlaku dalam pemanggilan dan pemeriksaan Notaris sebagai Pejabat Umum oleh Penyidik Polri. 18 16 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 17. 17 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80. 18 Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 67. Universitas Sumatera Utara Apabila pemanggilan dan pemeriksaan Notaris oleh penyidik Polri tidak mengindahkan prosedur hukum yang berlaku, maka dikhawatirkan akan terjadi kesewenang-wenangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum adalah benteng untuk menghalangi kesewenang- wenangan. 19 Oleh karena itu agar segala upaya memberikan jaminan akan adanya kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang. Undang-undang tersebut antara lain meliputi Undang-Undang Jabatan Notaris UUJN Nomor 30 tahun 2004, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, kode etik Notaris, nota kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia INI Nomor Polisi B1056V2006, Nomor : 01MOUPP-INIV2006 tentang pembinaan dan peningkatan profesionalisme di bidang penegakan hukum, dan peraturan-peraturan pelaksana lainnya yang terkait dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum. 20 Dalam menganalisis masalah pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah tersebut 19 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hlm. 102. 20 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, hlm. 38. Universitas Sumatera Utara dibutuhkan pendekatan sistem Approach system. Maksud menggunakan pendekatan sistem adalah mengisyaratkan terdapatnya kompleksitas masalah hukum yang berkaitan dengan tugas dan jabatan Notaris sebagai pejabat umum, dengan tujuan untuk menghindarkan pandangan yang menyederhanakan masalah tugas dan jabatan Notaris sebagai pejabat umum tersebut, sehingga menghasilkan pendapat yang keliru. 21 Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, diatas mana dibangun tertib hukum. 22 Berdasarkan teori sistem ini, dapat dirumuskan bahwa sistem hukum kenotaariatan adalah kumpulan asas-asas hukum yang merupakan landasan, tempat berpijak di atas mana tertib hukum jabatan profesi Notaris itu dibangun. Dengan adanya ikatan asas-asas hukum tersebut, berarti hukum kenotariatan merupakan suatu sistem hukum. 23 Asas-asas hukum jabatan profesi Notaris harus bersumber daari Pancasila, sebagai asas Idiil Filosofis, UUD 1945 sebagai asas konstitusional struktural, dan undang-undang sebagai asas operasional teknis. Asas-asas tersebut memiliki tingkat-tingkat dilihat dari gradasi sifatnya yang abstrak. 24 Lembaga notariat timbul karena dibutuhkan oleh pergaulan di masyarakat, dimana hubungan hukum keperdataan dalam masyarakat membutuhkan alat bukti. Kebutuhan masyarakat akan alat bukti dalam hubungan hukum keperdataan tersebut 21 Komar Anda Sasmita, Notaris Selayang Pandang, Alumni Bandung, 1999, hlm. 24. 22 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni Bandung, 1986, hlm. 14-16. 23 Ibid, 1986, hlm. 14-16. 24 Ibid, hlm. 18. Universitas Sumatera Utara mendorong lahirnya lembaga notariat yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk dimana perlu bila Undang-Undang mengharuskan atau masyarakat menghendakinya, dapat membuat alat bukti tertulis guna dipergunakan sebagai alat bukti otentik dalam hubungan hukum keperdataan tersebut. Nama Notaris berasal dari bahasa Romawi yaitu “Notaris” dalam arti jamak Notari’i yang artinya segolongan orang-orang yang mengerjakan pekerjaan tulis-menulis seiring deengan perkembangan masyarakat dalam hubungan hukum keperdataannya, lama-kelamaan arti Notari’i berubah dan orang yang memiliki pekerjaan tulis menulis menjadi orang yang memiliki keahlian mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat dalam pekerjaan mereka sekarang pekerjaan menulis cepat ini dikenal dengan istilah stenografi” 25 Pada abad III jaman pemerintahan Ulpianus, diperkenalkan istilah “Tabelliones” disamping juga nama notari’i, yang artinya juga orang-orang yang menjalankan pekerjaan tulis-menulis, akan tetapi untuk kepentingan publik, yaitu membuat akta-akta, rekes-rekes, yang tugasnya hampir sama dengan pekerjaan Notaris sekarang ini. Bedanya adalah pada tabelliones tidak diangkat oleh kekuasaan umum, karena itu tabelliones bukan pejabat umum, artinya ia bukan pejabat negara sehingga hasil akta yang dibuatnya tidak otentik. 26 Pada tahun 568 sd 774 Masehi yaitu sewaktu Lango Barden berkuasa, para tabelliones ini ada yang diangkat menjadi Notari’i dan dipekerjakan pada konselerijen kerajaan, sehingga mereka merasa lebih terangkat derajatnya dan lebih terhormat, apalagi ditambah dengan masyarakat yang lebih suka menggunakan jasa 25 R. Soesanto, Op.cit, hlm. 49. 26 Ibid, hlm. 50. Universitas Sumatera Utara Notari’i daripada tabelliones. Oleh karena itu banyak dari tabelliones yang tanpa pengangkatan dari kerajaan mengangkat diri mereka sendiri menjadi Notari’i. Maka terjadilah kerancuan yang mengakibatkan istilah “tabellio” kemudian diganti dengan istilah “notarius” 27 . Dengan demikian ada 2 bentuk lembaga yaitu notarius dan notari’i yang mana keduanya diangkat menjadi pegawai negeri. Akhirnya tabellionat dan notariat golongan yang diangkat ini, bergabung menjadi suatu lembaga yang dinamakan “collegium” Notarius yang bergabung menjadi collegium inilah yang dianggap sebagai satu-satunya pejabat yang berhak membuat akta-akta baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan Notarius inilah yang memiliki tugas dan kewenangan yang sama dengan Notaris sekarang, meskipun terdapat perbedaan yaitu akta-akta yang dihasilkan oleh collegium ini tidak otentik dan tidak memiliki kekuatan eksekutorial”. 28 Di Indonesia, Notaris mulai masuk pada permulaan abad 17, dengan adanya Oost Indische Compagnie, yaitu gabungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur yang dikenal dengan nama VOC Verenigde Oost Indische Compagnie dengan gubernur jenderalnya yang bernama Jan Pieter Zoon Coen, sekaligus pula mengangkat Melchior Kerchem sebagai Notaris pertama di Jakarta Batavia pada tanggal 27 Agustus 1620. 29 Sejak masuknya Notaris di Indonesia sampai tahun 1822, diatur dengan dua reglement yaitu dari tahun 1625 dan 27 Ibid, hlm. 51 28 Ibid, hlm. 52. 29 Komar Andasasmita, Op.cit, hlm. 1 Universitas Sumatera Utara tahun 1765. Pada tahun 1822 Staatsblad Nomor II dikeluarkan Instructie Voor de Notarissen in Indonesia yang terdiri dari 34 pasal. 30 Pada tahun 1860 pemerintah Hindia Belanda melakukan penyesuaian peraturan mengenai jabatan Notaris di Indonesia dengan peraturan yang berlaku di negeri Belanda, maka diundangkan peraturan jabatan Notaris Notaris Reglement Staatsblad 1860 Nomor 3 yang diundangkan tanggal 26 Januari 1860 dan mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Juli 1860. Peraturan jabatan Notaris tersebut terdiri dari 63 pasal yang merupakan kodifikasi terjemahan secara utuh dari Notaris wet yang berlaku di negeri Belanda sedangkan Notaris wet yang berlaku di Belanda merupakan kodifikasi dari Ventosewet yang berlaku bagi Notaris di Perancis. 31 Upaya yang terus-menerus dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan organisasi Ikatan Notaris Indonesia INI untuk membuat Undang-Undang yang bersifat nasional mengenai peraturan jabatan Notaris dan mengajukannya ke Dewan Perwakilan Rakyat DPR untuk menggantikan peraturan Jabatan Notaris peninggalan kolonial Belanda akhirnya membuahkan hasil setelah berjuang dan menunggu selama lebih dari tiga dasawarsa. Rancangan Undang-undang Jabatan Notaris yang diajukan oleh pemerintah bekerjasama dengan organisasi Ikatan Notaris Indonesia INI akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik 30 Ibid, hlm. 18. 31 Nico Winanto, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Contractor Documentation and Studies of Busines Law CDSBL, Yogyakarta, 2003, hlm. 18. Universitas Sumatera Utara Indonesia DPR-RI pada tanggal 14 September 2004. 32 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 tersebut mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 6 Oktober 2004 yang merupakan perwujudan unifikasi hukum kenotariatan. Ada tiga hal pokok berkaitan dengan pelaksanaan UUJN yaitu : pengawasan, perlindungan dan organisasi Notaris. 33 Dalam rangka pengawasan terhadap Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris, bahwa pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris, Majelis Pengawas Notaris anggotanya berjumlah 9 sembilan orang yang terdiri dari unsur pemerintah, organisasi Notaris, dan ahliakademi dengan anggota masing-masing sebanyak 3 tiga orang. Dalam rangka melakukan tugas pengawasan, menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris ditingkat pusat, propinsi wilayah dan tingkat kabupatenkota daerah. Selama ini telah dilakukan pembentukan Majelis Pengawas Pusat Notaris MPP, Majelis Pengawas Wilayah MPW di setiap propinsi, dan Majelis Pengawas Daerah MPD di sebagian daerah KabupatenKota. Dalam memberikan perlindungan hukum kepada Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan profesinya, MPWMPD memiliki kewenangan menetapkan boleh tidaknya seorang Notaris dipanggil oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta 32 Abdul Bari Azed, Undang-Undang Jabatan Notaris, Pembaharuan Bidang Kenotariatan, Media, Notariat, Edisi September – Oktober 2004, hlm. 6. 33 Hasbullah, Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum, http:www.dephumham.go.id templates.html. diakses tanggal 30 Juli 2009 Universitas Sumatera Utara yang dibuatnya, karena adanya pengaduan pihak lain di kemudian hari yang merasa dirugikan dengan dibuatnya akta tersebut. Prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas jabatan juga perlu dimiliki oleh Notaris dengan cara mengkopi segala surat- surat yang berhubungan dengan dasar hukum pembuatan akta tersebut dan menjahitkannya pada minuta akta tersebut. Dengan demikian Notaris telah melakukan upaya perlindungan hukum terhadap dirinya sendiri bila ternyata dikemudian hari akta yang dibuat Notaris tersebut menimbulkan permasalahan hukum khususnya hukum pidana. “ Sekalipun keahlian seorang Notaris dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksnakan tugas profesinya ia tidak semata-mata didorong oleh pertimbangan uang seorang Notaris yang Pancasilais harus tetap berpegang teguh kepada rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh dengan jumlah uang, dan tidak semata-mata hanya menciptakan alat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum, tapi mengabaikan rasa keadilan”. 34 Sejak lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, dunia kenotariatan mengalami perkembangan hukum yang cukup signifikan dalam hal : 35 1. Perluasan kewenangan Notaris yaitu kewenangan yang dinyatakan dalam Pasal 15 ayat 2 butir f dan g Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris, yaitu kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, kewenangan untuk membuat akta risalah lelang serta perluasan wilayah kewenangan yuridiksi, berdasarkan Pasal 18 ayat 2 UUJN Nomor 34 Liliana Tedjasaputra, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2003, hlm. 86. 35 Muhammad Affandi Nawawi, Notaris Sebagai Pejabat Umum Berdasarkan UUJN Nomor 30 Tahun 2004, Mitra Media, Jakarta, 2006, hlm. 23. Universitas Sumatera Utara 30 Tahun 2004, yaitu Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah Propinsi dengan tempat kedudukan di KabupatenKota. 2. Pelaksanaan sumpah jabatan Notaris. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan Surat nomor : M.UM.01.06-139 tanggal 8 Nopember 2004 telah melimpahkan kewenangan melaksanakan Sumpah Jabatan Notaris kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 3. Notaris dibolehkan menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata, sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat 1 UUJN Nomor 30 tahun 2004. Dengan kata lain dalam menjalankan jabatannya Notaris bisa secara bersama-sama lebih dari satu orang dalam mendirikan suatu kantor notaris. 4. Masalah pengawasan Notaris, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 67 ayat 1 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 membentuk Majelis Pengawas Notaris. 5. Mengamanatkan agar Notaris berhimpun dalam satu wadah organisasi Notaris sesuai dengan Pasal 82 ayat 1 UUJN Nomor 30 Tahun 2004. Sebagaimana diketahui hingga saat ini hanya ada satu wadah notaris untuk berorganisasi yaitu INI sebagai wadah tunggal notaris di Indonesia. Pasal 2 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 menyatakan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan. Pada saat ini Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya Universitas Sumatera Utara meliputi bidang kenotariatan yang ditunjuk oleh pemerintah adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia HAM. Untuk dapat diangkatdilantik menjadi seorang Notaris harus telah memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Pasal 3 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 yaitu : 1. Warga Negara Indonesia 2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 3. Berumur paling sedikit 27 duapuluh tujuh tahun 4. Sehat jasmani dan rohani 5. Berijazah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan 6. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 duabelas bulan berturut-turut pada Kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi organisasi Notaris setelah lulus Strata dua Kenotariatan, dan 7. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Setelah memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut pada Pasal 3 UUJN diatas maka sebelum menjalankan tugas jabatannya, Notaris harus terlebih dahulu mengucapkan sumpahjanji menurut agama dan keyakinannya dihadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk yaitu paling lambat 2 dua bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatannya sebagai Notaris sesuai Pasal 5 dan 6 UUJN No. 30 Universitas Sumatera Utara Tahun 2004. Apabila jangka waktu 2 dua bulan sejak tanggal keputusan peengangkatan Notaris tersebut terlewati, maka keputusan pengangkatan sebagai Notaris dapat dibatalkan oleh Menteri. Persyaratan pengambilan sumpah jabatan Notaris tersebut telah semakin dinamis dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi HAM Nomor : M.UM.01.06-139 tanggal 8 Nopember 2004 yang intinya telah melimpahkan kewenangan untuk melaksanakan sumpah jabatan Notaris yang sebelumnya dilakukan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri atau dihadapan Kepala Daerah, sejak 8 Nopember 2004 sumpah jabatan Notaris tersebut dilaksanakan dihadapan Kepala Kantor wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Setelah resmi menjalan tugas jabatan sebagai seorang Notaris, pasca dilakukan pelaksanaan sumpah jabatan tersebut, maka Notaris juga tidak terlepas dari kode etik jabatannya yaitu kode etik Notaris. Kode etik Notaris adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia berdasarkan hasil kongres perkumpulan danatau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para pejabat sementara Notaris, Notaris pengganti dan Notaris pengganti khusus. 36 Di dalam UUJN Nomor 30 Tahun 2004 pengaturan tentang pemberhentian Notaris dari jabatannya oleh Menteri diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 14. 36 Kode Etik Notaris, Ikatan Notaris Indonesia INI Hasil Kongres Bandung pada Tanggal 28 Januari 2005. Universitas Sumatera Utara Pemberhentian tersebut dapat berupa pemberhentian sementara, dan pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat. Pasal 8 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 menyatakan bahwa Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena : 1. Meninggal dunia 2. Telah berumur 65 enampuluh lima tahun 3. Permintaan sendiri 4. Tidak mampu secara rohani danatau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatannya sebagai Notaris secar terus-menerus lebih dari 3 tiga tahun, atau 5. Merangkap jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Di dalam Pasal 9 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 menyatakan bahwa Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena : 1. Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang. 2. Berada dibawah pengampuan 3. Melakukan perbuatan tercela 4. Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Pasal 12 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 menyatakan bahwa Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usulan dari Majelis Pengawas Pusat apabila : Universitas Sumatera Utara 1. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2. Berada dibawah pengampuan secara terus-menerus lebih dari 3 tiga tahun. 3. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris, atau 4. Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Dalam Pasal 13 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap Incracht van gewijsde karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 lima tahun atau lebih. Dari pernyataan yang dikemukakan Pasal 13 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Notaris baru dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila keputusan atas hukuman pidana yang diterimanya 5 lima tahun atau lebih tersebut telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dengan demikian status hukum dari Notaris tersebut telah berubah dari terdakwa menjadi terpidana. 37 Dalam proses pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri dalam suatu perkara pidana, baik pemanggilan Notaris sebagai saksi maupun sebagai tersangka merupakan suatu proses penyelidikan dan penyidikan yang tujuannya adalah mencari 37 Hari Sasangka, Penyidikan, Penahanan dan Pra peradilan Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, hlm. 158. Universitas Sumatera Utara bukti permulaan yang cukup dan bukti-bukti lainnya yang akan membuat jelas dan terang suatu perbuatan pidana yang telah terjadi dan bagaimana perbuatan pidana yang telah terjadi tersebut dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 38 Berkaitan dengan hal tersebut di atas, perlu disinggung secara umum mengenai sistem peradilan pidana criminal justice system dalam sistem penegakan hukum pidana di Indonesia. 39 Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan sistem terpadu Integrated criminal justice system. Tujuan pokok gabungan fungsi dalam kerangka criminal justice system untuk menegakkan, melaksanakanmenjalankan dan memutuskan hukum pidana. Dengan demikian sistem peradilan pidana didukung dan dilaksanakan empat fungsi utama yaitu : 40 1. Fungsi pembuatan Undang-Undang Law making function. Fungsi ini dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah atau badan lain berdasarkan delegated legislation. Tujuan yang diharapkan adalah hukum yang diatur dalam Undang- Undang “tidak kaku” not rigid, sedapat mungkin fleksibel yang bersifat cukup akomodatif terhadap kondisi-kondisi perubahan sosial. 2. Fungsi penegakan hukum Law enforcement function. Tujuan objektif fungsi ini ditinjau dari pendekatan untuk tata tertib sosial social order. 3. Fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan Function of adjudication. 4. Fungsi memperbaiki terpidana The function of correction 38 Mortiman Proajohamidjojo, Laporan dan Pengaduan, Ghalia, Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 11. 39 Ibid, hlm. 12. 40 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 90. Universitas Sumatera Utara Dari keempat fungsi utama dalam kegiatan sistem peradilan pidana tersebut di atas dapat disimpulkan ada empat instansi penegak hukum yang terintegrasi dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana tersebut yaitu Polri, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan LP. Dari uraian tersebut di atas tentang Integrated Criminal Justice System dapat dilihat berhasil tidaknya fungsi proses pemeriksaan sidang pengadilan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum JPU dan Hakim untuk menyatakan terdakwa “salah” serta “ memidananya”, sangat tergantung atas “hasil penyelidikan dan penyidikan” Polri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa eksistensi dari penyidik Polri merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari sistem peradilan pidana. Secara internasional hal inipun terlihat jelas dalam laporan Kongres perserikatan Bangsa- Bangsa PBB ke-51975 mengenai “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders”, Pencegahan kejahatan dan cara memperlakukan orang yang bersalah khususnya dalam membicarakan masalah “the emerging roles of the police and other law enforcement egenced”. Penegakan hukum yang adil oleh kepolisian Dalam keadaaan darurat yang menegaskan “It was recognized that the police were a component of the larger system of criminal justice to hich operated against criminality”. 41 Penegakan hukum oleh pihak kepolisian sebagai komponensubsistem dari suatu kesatuan besar sistem peradilan pidana. 41 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2007, hlm. 48. Universitas Sumatera Utara Status Polri sebagai komponen|unsur|sub sistem dari sistem persoalan pidana sudah cukup jelas terlihat dalam perundang-undangan yang berlaku saat ini, baik dalam KUHAP maupun dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor 28 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Perubahan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut diharapkan dapat memberi penegasan watak Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Tribrata dan Catur Prasetya sebagai sumber nilai kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang diayominya. 42 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diundangkan pada tanggal 8 Januari 2002, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, merupakan dasar pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen, Ketetapan MPR RI Nomor VIMPR2000 dan ketetapan MPR RI Nomor VIIMPR2000, yang menyatakan keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yang memelihara keamanan adan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. 42 Penjelasan Umum Angka 1, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Universitas Sumatera Utara Dalam melaksanakan fungsi penyelidikan dan penyidikan, Undang-Undang memberi “hak istimewa” atau “hak privilese” kepada Polri untuk memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah, menyita terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana. Akan tetapi dalam melaksanakan hak dan kewenangan istimewa tersebut harus taat dan tunduk kepada prinsip the right of due process Menjunjung tinggi Hak-hak tersangka dalam proses penegakan hukum. Setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi “ Supremasi hukum” dalam menangani tindak pidana. Tidak seorangpun yang berada dan menempatkan diri di atas hukum Law fair manuver, dan hukum harus diterapkan kepada siapapun berdasarkan prinsip perlakuan dan dengan cara yang jujur fair manuver Esensi due process adalah setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus mentaati hukum. Oleh karena itu due process tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bahagian ketentuan umum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain. 43 Permasalahan ini perlu disinggung, karena masih banyak keluhan yang disuarakan anggota masyarakat tentang adanya berbagai tata cara “penyelidikan” dan “ penyidikan” yang menyimpang dari ketentuan hukum acara. Atau “diskresi” kebijakan khusus yang dapat saja menyimpang dari kebijakan yang telah ditetapkan namun tetap dalam koridor hukum yang berlaku, yang dilakukan penyidik, sangat 43 R. Soesilo, Taktik dan Tehnik Penyidikan Perkara Kriminal, Politia, Bogor, 1998, hlm. 75. Universitas Sumatera Utara bertentangan dengan HAM yang harus ditegakkan dalam tahap pemeriksaan penyelidikan atau penyidikan. Oleh karena itu, tujuan mengemukakan permasalahan ini, sebagai ajakan untuk meningkatkan “ketaatan” mematuhi penegakan the right of due process of law. 44 Agar konsep dan esensi due process dapat terjamin penegakan dan pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum, harus “memedomani” dan “mengakui” recognized, “menghormati” to respect for, dan melindungi to protect serta “ menjamin” dengan baik “doktrin inkorporasi” incorporation doctrin, yang memuat berbagai hak, antara lain sebagian diantaranya telah dirumuskan dalam Bab VI KUHAP : 45 1 The right of self incrimination. Tidak seorangpun dapat dipaksa menjadi saksi yang memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana. 2 “ Dilarang mencabut” atau “menghilangkan” deprive “hak hidup” life, “ kemerdekaan” liberty atau “harta benda” property tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara without due process of law. 3 Setiap orang harus “terjamin hak terhadap diri” person, “kediaman, surat-surat” atas pemeriksaan dan penyitaan yang “tidak beralasan” unreasonable searches and seizures. 4 “ Hak konfrontasi” the right to confront dalam bentuk “pemeriksaan silang” cross-examine dengan orang yang menuduh melaporkan. 44 M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 91 45 Ibid, hlm. 92 Universitas Sumatera Utara Dari pengamatan maupun dari suara-suara yang sering kedengaran, pemeriksaan penyidikan jarang memberi kesempatan “konfrontasi” atau cross-examination. Hal ini sangat bertentangan dengan HAM serta dapat merugikan kepentingan tersangka untuk membela kepentingannya. 5 “ Hak memperoleh pemeriksaan peradilan” yang cepat the right to a speedy trial. Pelanggaran atas hak ini pada tahap penyidikan sering muncul ke permukaan. Ada laporan pengaduan yang tidak pernah ditangani. Pemeriksaan penyidikan tersangka yang tidak jelas ujung pangkalnya. Tidak dihentikan dalam bentuk SP3, tetapi juga tidak dilimpahkan pada Jaksa Penuntut Umum JPU. Atau pemeriksaan tambahan yang tidak pernah disempurnakan. Dalam kasus-kasus yang seperti ini, sering menimbulkan benturan kepentingan antara pelapor dan tersangka. “Pelapor” atau “korban” merasa dirinya “dizalimi” dan “diabaikan”. Sebaliknya tersangka juga terkatung-katung nasibnya dalam kegelisahan yang tidak menentu. 6 “ Hak perlindungan yang sama” dan “perlakuan yang sama dalam hukum” equal protection and equal treatment of the law. Terutama dalam menangani kasus yang sama similar case, harus ditegakkan asas perlindungan dan perlakuan yang sama. Memberi perlindungan dan perlakuan yang berbeda adalah tindakan “ diskriminatif”. 7 “ Hak mendapat bantuan penasihat hukum” the right to have assistance of counsil dalam pembelaan diri. Hak ini merupakan prinsip yang diatur dalam Pasal 56 KUHAP. Dan apa yang diatur dalam Pasal 56 ini merupakan bagian Universitas Sumatera Utara yang tidak terpisah dari asas presumption of innocence praduga tidak bersalah serta berkaitan dengan pengembangan Miranda Rule yang juga telah diadaptasi dalam KUHAP, seperti : - Melarang penyidik melakukan praktek pemaksaan yang kejam untuk memperoleh “pengakuan” brutality to coerce confession. - Melarang penyidik melakukan intimidasi kejiwaan Psychological intimidation. Berbarengan dengan larangan dimaksud, kepada tersangka diberikan hak untuk “diperingati hak konstitusionalnya” warning of his constitutional rights atau disebut Miranda Warning yang harus disampaikan aparat penegak hukum kepadanya berupa : - Hak untuk tidak menjawab a right to remain in silent; - Hak didampingi menghadirkan penasihat hukum a right to the presence of an attorney or the right to counsil. Kedua hak ini hanya dapat “dihapus” atau “dikesampingkan” berdasar “ kemauan sadar” dan “sukarela” knowingly and voluntarely dari tersangka. 46 Kaitan antara kedua “hak” di atas dengan Miranda Warning adalah apabila tersangka secara tegas menyatakan dia “didampingi penasihat hukum” dalam pemeriksaan penyidikan, tersangka dapat mempergunakan the right to remain in silent hak untuk tidak menjawab sampai dia didampingi penasihat hukum sesuai dengan Miranda Rule yang diatur dalam Pasal 56 KUHAP, yang bersifat “imperatif”. 46 R. Soesilo, Op.cit, hlm. 76 Universitas Sumatera Utara Mengabaikan ketentuan ini, mengakibatkan : “tuntutan JPU tidak dapat diterima”. 47 Pendirian dan penerapan yang demikian, dapat dilihat dalam salah satu putusan peradilan MA No. 1565 KPid1991, 16 September 1993. Dalam kasus ini, proses pemeriksaan penyidikan melanggar Pasal 56 ayat 1 KUHAP, yakni penyidikan berlanjut terhadap tersangka tanpa didampingi penasihat hukum. Pelanggaran itu dijadikan alasan kasasi, dan dibenarkan oleh peradilan tingkat kasasi, dengan pertimbangan : Apabila syarat-syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan PU dinyatakan tidak dapat diterima. Dari pertimbangan ini ditegaskan, pelanggaran atas Miranda Rule yang digariskan Pasal 56 ayat 1 mengakibatkan penyidikan “tidak sah” illegal. Sehubungan dengan semakin gencarnya tuntutan peningkatan HAM dalam penegakan hukum, dan salah satu diantara tuntutan itu berkenaan dengan kualitas penegakan Miranda Rule dan Miranda Principle, sudah selayaknya Polri menyiapkan SDM yang memahami dengan baik aspek-aspek pengertian dan penerapan Miranda Rule secara komprehensif. 48 Miranda Warning atau Miranda Rule adalah suatu perlindungan terhadap tersangka dalam suatu perbuatan pidana yang pada mulanya berasal dari hukum anglo saxon khususnya Amerika dimana ketika itu seorang tersangka bernama Miranda ditangkap oleh pihak penyidik, namun tidak dihargai hak-haknya sebagai seorang tersangka. Pada waktu itu Miranda ditahan secara 47 Ibid, hlm. 77 48 Ibid, hlm. 78 Universitas Sumatera Utara sewenang-wenang tanpa didasarkan kepada aturan hukum yang jelas. Sejak peristiwa tersebut, maka di Amerika dibuatlah suatu peraturan yang menghormati hak-hak tersangka pada saat dilakukan penangkapan maupun penahanan dengan tetap menggunakan asas praduga tak bersalah presumption of innocent. Sejak peristiwa itu pula peraturan tersebut dikenal dengan istilah Miranda Warning atau Miranda Rule yang intinya meskipun telah dilakukan penangkapan dan penahanan terhadap seorang tersangka namun harus tetap menghormati hak-hak asasi dari seorang tersangka yang ditangkap ataupun ditahan tersebut.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bahagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Dengan demikian konsepsi dapat diartikan pula sebagai sarana untuk mengetahui gambaran umum pokok penelitian yang akan dibahas sebelum memulai penelitian observasi masalah yang akan diteliti. 49 Konsep diartikan pula sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional. 50 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian. 51 49 John W, Creswell, Research Design, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Alih Bahasa Angkatan III dan IV Kajian Ilmu Kepolisian KIK – UI Bekerjasama dengan Nur Khabibah, Kata Pengantar Parsudi Suparlan, KIK Press, Jakarta, 1994, hlm. 79. 50 Sumadi Surya Barata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 28. 51 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984, hlm. 133. Universitas Sumatera Utara Pentingnya definisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus dibuat beberapa definisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu : Kajian Hukum adalah : suatu proses penelitian, penelaahan, pengujian secara lebih mendalam secara hukum mengenai pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya. 52 Pemanggilan adalah pemberitahuan tertulis kepada Notaris oleh penyidik Polri dalam rangka penyelidikan danatau penyidikan terhadap dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Notaris tersebut berkaitan dengan tugas jabatannya. 53 Penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyelidikan. 54 Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang- Undang ini. 55 52 Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 46. 53 Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hlm. 29. 54 Pasal 1 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. 55 Pasal 1 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Universitas Sumatera Utara Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. 56 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 57 Dugaan pelanggaran hukum adalah suatu dugaan yang disangkakan kepada Notaris berupa pelanggaran hukum dibidang hukum pidana atau dugaan melakukan tindak pidana berkaitan dengan akta yang dibuat oleh dan atau dihadapan Notaris tersebut. 58 Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN Nomor 30 Tahun 2004. 59 Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN Nomor 30 Tahun 2004. 60 56 Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 57 Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 58 Hadari Djanawi Tahir, Pokok-pokok Pikiran Dalam KUHAP, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 59. 59 Pasal 1 Ayat 1 UUJN Nomor 30 Tahun 2004. 60 Pasal 1 Ayat 7 UUJN Nomor 30 Tahun 2004. Universitas Sumatera Utara

G. Metode Penelitian