Dengan demikian pengaturan sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 UUJN, sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis hanya dapat dijatuhkan oleh MPW
dan sanksi pemberhentian sementara dari jabatan Notaris hanya dapat dilakukan oleh MPP, sedangkan sanksi berupa pemberhentian tidak hotmat dari jabatan Notaris serta
pemberhentian dengan hormat dari jabatan Notaris hanya dapat dilakukan oleh Menteri ayas usulan dari MPP.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Umum yang
Dijatuhi Sanksi
Akta Notaris merupakan salah satu hasil pelaksanaan tugas jabatan Notaris sesuai kewenangan yang diberikan kepada Notaris. Dalam penjatuhan sanksi terhadap
Notaris, jika berupa sanksi perdata dikarenakan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan akta Notaris batal demi
hukum merupakan sanksi yang berkaitan dengan produk dari Notaris yang diajukan oleh pihak atau penghadap yang namanya tersebut dalam akta atau para ahli
warisnya. Sanksi tersebut dijatuhkan karena Notaris melanggar ketentuan yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN. Sanksi administratif yang dijatuhkan oleh Majelis
Pengawas karena Notaris melanggar ketentuan-ketentuan tertentu yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN.
Akta Notaris tidak dapat dinilai atau dinyatakan secara langsung secara sepihak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal
demi hukum oleh para pihak yang namanya tercatat dalam akta atau oleh orang lain yang berkepentingan dengan akta tersebut. Akta Notaris mempunyai kekuatan
Universitas Sumatera Utara
pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum, karena melanggar ketentuan-ketentuan tertentu yang disebutkan dalam Pasal 84 UUJN.
Penilaian akta seperti itu tidak dapat dilakukan oleh Majelis Pengawas, Notaris, atau para pihak yang namanya tersebut dalam akta atau pihak lain, tapi
penilaian akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan batal demi hukum harus melalui prosedur gugatan ke pengadilan umum
untuk membuktikan, apakah akta Notaris melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 UUJN atau tidak. Dengan demikian Majelis Pengawas tidak mempunyai
kewenangan untuk melaksanakan isi Pasal 84 UUJN. Para pihak atau penghadap yang menilai atau menganggap atau mengetahui
bahwa akta Notaris telah melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 UUJN, maka para pihak yang memberikan penilaian seperti itu harus dapat membuktikannya
melalui proses peradilan gugatan dan meminta penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga agar dapat membuktikan penilaiannya, dengan menunjukkan ketentuan atau
pasal mana yang dilanggar oleh Notaris. Dalam Pasal 1865 KUH Perdata, secara tegas dinyatakan setiap orang yang
mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya
hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu. Atas gugatan ini, jika penggugat dapat membuktikan gugatannya dan
pengadilan memutuskan akta yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum, kemudian hakim
Universitas Sumatera Utara
membebankan ganti rugi kepada Notaris untuk membayar kepada penggugat. Dalam gugatan ini semua tingkat peradilan dapat ditempuh oleh Notaris, sampai ada putusan
yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Prosedur seperti tersebut harus dilakukan agar tidak terjadi penilaian sepihak
atas suatu akta Notaris, karena akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, yang dapat dinilai dari aspek lahiriah, formal dan materil. Notaris
dalam membuat akta atas permintaan para pihak berdasarkan pada tata cara atau prosedur dalam pembuatan akta Notaris. Ketika para penghadap menganggap ada
yang tidak benar dari akta tersebut, dan menderita kerugian sebagai akibat langsung dari akta tersebut, maka pihak yang bersangkutan harus menggugat Notaris dan wajib
membuktikan bahwa akta Notaris tidak memenuhi aspek lahiriah, formal dan material dan membuktikan kerugiannya. Dengan kata lain, penilaian akta Notaris mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum tidak dari satu pihak saja, tapi harus dilakukan oleh atau melalui dan dibuktikan di pengadilan.
Dalam hal pengadilan memutuskan suatu akta mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum, maka atas putusan
pengadilan tersebut Notaris dituntut biaya, ganti rugi, dan bunga. Sebaliknya, ternyata gugatan tersebut tidak terbukti atau ditolak, maka Notaris yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan kepada mereka atau pihak yang telah menggugatnya. Hal ini sebagai upaya untuk mempertahankan hak dan kewajiban Notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya, berkaitan dengan akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat dapat menjatuhkan sanksi administratif terhadap Notaris sesuai kewenangannya. Baik
sanksi teguran lisan atau teguran tertulis dari Majelis Pengawas Wilayah, dan sanksi pemberhentian sementara jabatannya oleh Majelis Pengawas Pusat.
MPW hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, dan sanksi seperti ini bersifat final Pasal 73 ayat 1 huruf e dan ayat 2 UUJN. MPP
hanya dapat menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara saja Pasal 77 huruf c UUJN. Dengan demikian sanksi tersebut merupakan kewenangan MPW dan MPD.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, Majelis Pengawas Notaris dapat membentuk Majelis Pemeriksa dengan kewenangan untuk memeriksa menerima
laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris. Dalam Pasal 31 ayat 1 dan 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, ditemukan pengaturan bahwa Majelis Pemeriksa Notaris Wilayah dan Pusat yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Notaris Wilayah
dan Pusat, jika dalam melakukan pemeriksaan Notaris terbukti bahwa yang bersangkutan melanggar pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris,
maka Majelis Pemeriksa Wilayah atau Pusat dapat menjatuhkan sanksi, berupa : teguran lisan dan teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan
hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat. Kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tertentu hanya ada pada MPW
berdasarkan UUJN, tapi disisi lain Majelis Pemeriksa Wilayah dan Pusat berwenang pula untuk menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana tersebut di atas.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Pasal 33 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, bahwa Notaris yang dijatuhi sanksi
oleh Majelis Pemeriksa Wilayah dapat melakukan banding ke MPP. Putusan Majelis Pemeriksa Pusat adalah final dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,
kecuali putusan tentang pengusulan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri Pasal 35 ayat 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. Putusan Majelis Pemeriksa Pusat tersebut dilaporkan kepada MPP untuk diteruskan kepada
Menteri Pasal 35 ayat 3 dan 4 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004.
Pengaturan sanksi administratif ini terjadi disinkronisasi antara pengaturan sanksi administratif yang tercantum dalam UUJN dengan Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, tersebut dari segi kewenangan. Menurut Pasal 73 ayat 1 huruf e dan ayat 2 UUJN,
kewenangan MPW hanya dapat menjatuhkan sanksi teguran lisan dan teguran tertulis. Sanksi seperti ini final, artinya tidak ada upaya hukum lain, dan MPP hanya dapat
menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatannya Pasal 77 huruf c UUJN. Dengan demikian, kewenangan menjatuhkan sanksi seperti tersebut di atas
hanya ada pada MPW dan MPP, tapi ternyata dalam Pasal 31 ayat 1 dan 2 Peraturan Menteri itu disebutkan pula bahwa Majelis Pemeriksa Wilayah dan Pusat
dari hasil pemeriksaannya dapat menjatuhkan sanksi berupa : teguran lisan dan
Universitas Sumatera Utara
teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat.
Dengan demikian, Majelis Pemeriksa dapat menjatuhkan sanksi yang lebih luas dibandingkan dengan sanksi yang dapat dijatuhkan oleh MPW dan MPP kepada
Notaris, sehingga ada dua instansi yang dapat menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, yaitu MPW dan MPP atau majelis pemeriksa wilayah dan majelis pemeriksa pusat.
Substansi peraturan menteri di atas tidak tepat untuk dilaksanakan karena mencampuradukkan kewenangan MPW dan Majelis Pemeriksa Wilayah serta Majelis
Pemeriksa Pusat dalam menjatuhkan sanksi, sehingga yang tepat harus dijadikan pedoman adalah aturan hukum yang lebih tinggi yaitu UUJN.
Instansi utama untuk menjatuhkan sanksi terhadap Notaris yaitu majelis Pengawas Notaris, sedangkan Tim Pemeriksa dan Majelis Pemeriksa merupakan
bagian internal yang dibuat oleh Majelis Pengawas dengan kewenangan tertentu yang tetap berada dalam kendali Majelis Pengawas. Oleh karena itu seharusnya Majelis
Pemeriksa hanya berwenang untuk menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris, melakukan pemeriksaan dan persidangan secara terbuka,
dan jika menurut hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa terbukti bahwa Notaris yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris,
maka kemudian Majelis Pemeriksa melaporkannya kepada Majelis Pengawas, dan disertai dengan usulan untuk menjatuhkan sanksi-sanksi tertentu kepada Notaris yang
bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
Sanksi yang dijatuhkan oleh Majelis Pengawas tersebut, Notaris diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan kepada Majelis Pengawas yang
menjatuhkan sanksi kepadanya. Jika tidak puas dapat mengajukan banding kepada instansi Majelis Pengawas yang lebih tinggi. Gugatan ke pengadilan tata usaha
negarapun dapat dilakukan jika putusan Majelis Pengawas tetap tidak memuaskan Notaris yang bersangkutan.
Dalam tataran yang ideal, bahwa seharusnya semua jenjang Majelis Pengawas mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan, teguran
tertulis, pemberhentian sementara, dan sanksi pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat. Atas semua bentuk sanksi tersebut dapat
diajukan keberatan kepada instansi yang menjatuhkan sanksi tersebut dan jika tidak puas dapat mengajukan banding kepada instansi yang lebih tinggi dalam hal ini MPW
dan terus ke MPP. Jika semua prosedur ini sudah dipenuhi namun tetap tidak memuaskan Notaris yang bersangkutan, maka Notaris dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat putusan MPP. Dalam hal ini harus ditentukan bahwa selama pemeriksaan di pengadilan tata usaha negara berjalan untuk
sementara waktu Notaris tidak dapat menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris sampai ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengaturan sanksi yang dijatuhkan Majelis Pengawas Notaris tidak ada peluang untuk melakukan upaya hukum seperti tersebut di atas. Jika kesempatan
Universitas Sumatera Utara
seperti tidak diatur atau tidak ada, maka upaya hukum tersebut dapat ditempuh dengan gugatan langsung ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
135
Selanjutnya, Majelis Pengawas Daerah MPD mempunyai kewenangan khusus yang tidak dipunyai oleh MPW dan MPP, yaitu sebagaimana yang tersebut
dalam Pasal 66 UUJN, bahwa MPD berwenang untuk memeriksa Notaris sehubungan dengan permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk mengambil fotokopi
minuta atau surat-surat lainnya yang dilekatkan pada minuta atau dalam protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, juga pemanggilan Notaris yang berkaitan
dengan akta yang dibuatnya atau dalam protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Hasil akhir pemeriksaan MPD yang dituangkan dalam bentuk
Surat Keputusan, berisi dapat memberikan persetujuan atau menolak permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim.
Dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, ditegaskan
bahwa Majelis Pengawas Daerah MPD wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 empat
belas hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan, dan apabila dalam jangka waktu 14 empat belas hari terlampaui tidak ada surat keputusan MPD tentang
persetujuan atau menolak permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, maka
135
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Peradilan Tata Usaha Negara PERATUN menegaskan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa sengketa tata
usaha negara, setelah semua upaya hukum berupa keberatan administrasi dan banding telah ditempuh.
Universitas Sumatera Utara
Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui untuk dilakukan pemeriksaan terhadap Notaris yang bersangkutan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim
tersebut. Notaris mendapat perlindungan yang proporsional ketika menjalankan tugas
jabatan sebagai Notaris, salah satunya berdasarkan ketentuan atau mekanisme implementasi Pasal 66 UUJN yang dilakukan MPD. Pada sisi lain juga berharap ada
proses yang adil, transparan, beretika, dan ilmiah ketika MPD memeriksa Notaris atas permohonan pihak lain kepolisian, kejaksaan, pengadilan. Namun hal tersebut
sangat sulit untuk dilaksanakan karena para anggota MPD yang terdiri unsur-unsur yang berbeda, yaitu 3 tiga orang Notaris, 3 tiga orang akademisi, dan 3 tiga
orang birokrat Pasal 67 ayat 3 UUJN, yang berangkat dari latar belakang yang berbeda, sehingga dapat terjadi persepsi yang berbeda ketika memeriksa Notaris.
Dalam pemeriksaan MPD tidak bisa membedakan antara Notaris sebagai objek dan akta sebagai objek. Jika MPD menempatkan Notaris sebagai objek, maka
MPD berarti akan memeriksa tindakan atau perbuatan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, yang pada akhirnya akan menggiring Notaris pada kualifikasi turut
serta atau membantu terjadinya suatu tindak pidana. Sudah tentu tindakan seperti ini tidak dapat dibenarkan, karena suatu hal yang sangat menyimpang bagi Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya untuk turut serta atau membantu melakukan atau menyarankan dalam akta untuk terjadinya suatu tindak pidana dengan para
pihakpenghadap. Dalam kaitan ini, tidak ada aturan hukum yang membenarkan MPD mengambil tindakan dan kesimpulan yang dapat mengkualifikasikan Notaris turut
Universitas Sumatera Utara
serta atau membantu melakukan suatu tindak pidana bersama-sama para pihakpenghadap, MPD bukan instansi pemutus untuk menentukan Notaris dalam
kualifikasi seperti itu. MPD harus menempatkan akta Notaris sebagai objek, karena Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya berkaitan untuk membuat dokumen hukum, berupa akta sebagai alas bukti tertulis yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata,
sehingga menempatkan akta sebagai objek harus dinilai berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan pembuatan akta. Jika terbukti ada pelanggaran, maka akan
dikenai sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 84 dan 85 UUJN. Dengan demikian bukan wewenang MPD jika dalam melakukan tugasnya
mencari unsur-unsur pidana untuk menggiring Notaris dengan kualifikasi turut serta atau membantu melakukan suatu tindakan atau perbuatan pidana.
Batasan MPD dalam melakukan pemeriksaan yaitu dengan objeknya akta Notaris, maka batasan MPD dalam melakukan pemeriksaan akan berkisar pada :
136
a. Kekuatan pembuktian lahiriah akta Notaris. Dalam memeriksa aspek lahiriah dari
akta Notaris, maka MPD harus dapat membuktikan otentitas akta Notaris tersebut. MPD harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek lahiriah dari
akta Notaris. Jika MPD tidak mampu untuk membuktikannya, maka akta tersebut harus dilihat “apa adanya” bukan dilihat “ada apa”.
b. Kekuatan pembuktian formal akta Notaris. Dalam hal ini MPD harus dapat
membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan, dan didengar oleh
136
Habib Adjie, Op.cit, hlm. 157-158.
Universitas Sumatera Utara
Notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikandisampaikan dihadapan Notaris. Dengan
kata lain MPD tetap harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika MPD tidak mampu untuk membuktikannya,
maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun termasuk oleh MPD sendiri. c.
Kekuatan pembuktian materil akta Notaris. Dalam kaitan ini MPD harus dapat membuktikan, bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang
sebenarnya dalam akta akta pejabat, atau para pihak yang telah benar berkata dihadapan Notaris menjadi tidak berkata benar, MPD harus melakukan
pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris. Jika MPD tidak mampu untuk membuktikannya maka akta tersebut benar adanya.
Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti. Sehingga siapapun hakim, jaksa, kepolisian, bahkan Notaris dan MPD
sendiri terikat untuk menerima akta Notaris apa adanya tidak dapat menafsirkan lain atau menambahkanmeminta alat bukti lain untuk menunjang akta Notaris, sebab
undang-undang menunjuk Notaris sebagai Pejabat Umum untuk membuat akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna jika ternyata tanpa dasar hukum yang jelas
mengenyampingkan akta Notaris sebagai alat bukti yang sempurna. Keputusan MPD atas dasar Surat Keputusan yang dibuat oleh MPD untuk
meloloskan Notaris diperiksa oleh pihak penyidik, kejaksaan, atau di pengadilan, sebagai implementasi Pasal 66 UUJN, tidak ada kemungkinan untuk mengajukan
keberatan untuk dilakukan pemeriksaan ke instansi majelis yang lebih tinggi, seperti
Universitas Sumatera Utara
ke Majelis Pemeriksa Wilayah MPW atau ke Majelis Pemeriksa Pusat MPP, karena mekanisme seperti itu, khusus untuk pelaksanaan Pasal 66 UUJN tidak
ditentukan atau tidak ada upaya hukum keberatan atau banding. Meskipun demikian, jika Notaris diloloskan oleh MPD, maka Notaris yang bersangkutan dapat
mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN dengan objek gugatan yaitu Surat MPD yang meloloskan Notaris tersebut, hal ini akan menjadi
sengketa tata usaha negara. Itu dapat dilakukan karena MPD berkedudukan sebagai badan atau Jabatan Tata Usaha Negara TUN dan telah mengeluarkan suatu
keputusan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara.
137
Hasil akhir dari pemeriksaan yang dilakukan oleh MPD berupa Surat Keputusan yang merupakan suatu penetapan tertulis. Surat Keputusan tersebut
bersifat konkrit, individual, final, dan menimbulkan akibat hukum. Konkrit artinya objek yang diputuskan bukan suatu hal yang abstrak, tapi dalam hal ini objeknya
yaitu akta tertentu yang diperiksa oleh MPD yang dibuat oleh Notaris bersangkutan. Individual artinya keputusan tidak ditujukan kepada umum atau kepada semua orang,
tapi kepada nama Notaris yang bersangkutan. Final artinya sudah definitif, yang tidak memerlukan persetujuan dari pihak lain atau institusi atasannya, sehingga hal ini
dapat menimbulkan akibat hukum tertentu bagi Notaris yang bersangkutan.
137
Van der Wel dalam Philipus M. Hadjon, dkk., op.cit., hlm. 141, menjelaskan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara memiliki berbagai macam karakter :
1. De rechtsvastellende beschikkingen, yaitu suatu keputusan yang menyatakan bahwa hukumnya
demikian; 2.
De constitutieve beschikkingen, yang terdiri dari : Belastende beschikkingen, yaitu keputusan yang memberi beban; dan Begunstigende beschikingen, yaitu keputusan yang menguntungkan.
3. De afwijzende beschikkingen keputusan penolakan.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan semacam ini hanya berlaku untuk Surat Keputusan MPD sebagai penerapan dari Pasal 66 UUJN.
Dengan demikian tindakan MPD yang memutuskan meloloskan Notaris untuk diperiksa oleh pihak lain sebagai pelaksanaan Pasal 66 UUJN, jika tidak memuaskan
bagi Notaris atau berkeberatan dengan alasan yang diketahui oleh Notaris sendiri, maka Notaris yang bersangkutan dapat menggugat MPD ke Pengadilan Tata Usaha
Negara. Surat Keputusan MPD tersebut merupakan objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara.
138
Adanya gugatan tersebut, Notaris tidak perlu dulu untuk memenuhi keputusan MPD tersebut
139
sampai ada keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dari Pengadilan Tata Usaha Negara atau dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara jika dalam tahap banding dan putusan Mahkamah Agung jika Kasasi. Hal tersebut dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan hukum untuk para
Notaris, dan konsekuensi kedudukan MPD seperti itu. Dengan demikian bukan suatu hal yang tidak mungkin, jika MPD tidak mampu menempatkan diri dalam
menjalankan tugasnya dengan baik sesuai aturan hukum yang berlaku. Maka suatu
138
Pasal 53 ayat 1 dan ayat 2 PERATUN dan Perubahannya, menegaskan orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara
dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi danatau direhabilitasi. Alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan tersebut adalah : a Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; b Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
139
Pengajuan gugatan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 67 ayat 1 PERATUN, bahwa penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda
selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
Universitas Sumatera Utara
saat MPD akan banjir gugatan ke PTUN dari para Notaris yang menempatkan MPD sebagai tergugat secara institusional.
Perlindungan hukum yang disebutkan di atas mempunyai batasan-batasan tertentu, yaitu hanya berlaku ketika Notaris menjalankan tugas jabatannya sesuai
dengan wewenang Notaris dan tidak berlaku jika tindakan Notaris tidak dalam menjalankan tugas jabatannya atau tidak sesuai dengan wewenang Notaris.
Contohnya seorang Notaris dalam kapasitasnya sebagai pribadi atau sebagai pengusaha terlepas dari tugas jabatannya sebagai Notaris yang dalam melakukan
usahanya tersebut mempergunakan atribut Notarisnya. Tindakan Notaris seperti itu dapat dikategorikan sebagai melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan
dan martabat jabatan Notaris Pasal 12 huruf c UUJN. Jika ternyata yang bersangkutan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukum pidana penjara 5 lima tahun atau lebih Pasal 13 UUJN, maka hal tersebut dapat dijadikan dasar oleh Majelis
Pengawas Pusat Notaris untuk mengusulkan kepada Menteri agar Notaris yang bersangkutan diberhentikan dengan tidak hormat sebagai Notaris.
Dengan demikian, UUJN memberikan perlindungan hukum bagi Notaris sepanjang menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan wewenang Notaris dan tidak
berlaku jika Notaris melakukan suatu tindakan tidak dalam menjalankan tugas jabatannya selaku Notaris atau diluar wewenang Notaris.
Universitas Sumatera Utara
C. Kewenangan Notaris Menjalankan Tugas Jabatan Dengan Status Sebagai