FUNGSI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DALAM PEMBERIAN PERSETUJUAN TERHADAP PENYIDIK BAGI NOTARIS YANG TERSANGKUT KASUS PIDANA TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA.

(1)

TESIS

FUNGSI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS

DALAM PEMBERIAN PERSETUJUAN TERHADAP

PENYIDIK BAGI NOTARIS YANG TERSANGKUT

KASUS PIDANA TERHADAP AKTA YANG

DIBUATNYA

IDA BAGUS GEDE SURYA ARTAYOGA

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

(3)

ii

TESIS

FUNGSI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS

DALAM PEMBERIAN PERSETUJUAN TERHADAP

PENYIDIK BAGI NOTARIS YANG TERSANGKUT

KASUS PIDANA TERHADAP AKTA YANG

DIBUATNYA

IDA BAGUS GEDE SURYA ARTAYOGA NIM: 1392461015

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iii

FUNGSI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS

DALAM PEMBERIAN PERSETUJUAN TERHADAP

PENYIDIK BAGI NOTARIS YANG TERSANGKUT

KASUS PIDANA TERHADAP AKTA YANG

DIBUATNYA

Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana

IDA BAGUS GEDE SURYA ARTAYOGA NIM: 1392461015

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(5)

iv

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 20 JUNI 2016

Pembimbing I,

Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS. NIP. 19530914 197903 1 002

Pembimbing II,

Dr. I Gede Artha, SH., MH. NIP. 19580127 198503 1 002

Mengetahui :

Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana

Ketua,

Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum. NIP. 19640402 198911 2 001

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S.(K) NIP. 19590215 198510 2 001


(6)

v

TESIS INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL 3 Juni 2016

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor: 211/V/MKn/UN14.4/DT/2016

Ketua : Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS Sekretaris : Dr. I Gede Artha, SH.,MH

Anggota : 1. Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum 2. Dr. I Dewa Made Suartha, SH.,MH 3. I Made Widiada, SH.,M.Kn.


(7)

vi

PERNYATAAN PLAGIAT

Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa : Nama : Ida Bagus Gede Surya Artayoga

NIM : 1392461015

Program Studi : Kenotariatan

Judul Tesis : Fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam Pemberian Persetujuan terhadap Penyidik bagi Notaris yang Tersangkut Kasus Pidana terhadap Akta yang Dibuatnya. Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 20 Juni 2016 Yang membuat pernyataan,


(8)

vii

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmatNya-lah penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah ”Fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam Pemberian Persetujuan terhadap Penyidik bagi Notaris yang Tersangkut Kasus Pidana terhadap Akta yang Dibuatnya.” Penulisan Tesis ini sebagai salah satu kewajiban dan syarat menyelesaikan pendidikan serta memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Berkenaan dengan hal tersebut dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dan telah banyak membantu dalam pelaksanaan sampai penyusunan tesis ini, yaitu :

1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS, pembimbing pertama dan Dr. I Gede Artha, SH., MH, pembimbing kedua, yang telah memberikan bimbingan dan ide kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

2. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, Rektor Universitas Udayana, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Universitas Udayana.

3. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.


(9)

viii

4. Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universtitas Udayana atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister yang berada di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum., Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana dan Dr. I Made Sarjana, SH., MH, sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, atas kesempatan dan dukungan yang telah diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana.

6. Notaris/PPAT I Made Widiada, SH beserta staf notaris yang telah memberikan informasi dalam penyusunan tesis ini.

7. Panitia penguji tesis, yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

8. Staf Dosen Pengajar di Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang sudah banyak memberikan ilmu pengetahuan yang tidak ternilai harganya, baik secara langsung maupun tidak langsung selama perkuliahan.

9. Seluruh Pegawai Tata Usaha di Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah banyak membantu penulis dalam proses administrasi selama perkuliahan dan penyelesaian tesis ini.

10.Ayahanda tercinta Ida Bagus Made Dwija Wardana, SH. dan Ibunda tersayang Dewa Sri Ayuk Putu Agung, SH, Kakak tersayang Ida Ayu Superabha Dewi, SH, MKn, yang telah banyak membantu baik secara moril dan materiil, serta saudara-saudara lainnya yang tidak bisa disebutkan yang turut membantu.


(10)

ix

11.Ida Ayu Swanita Trinayani, SE sebagai yang terkasih yang senantiasa mendampingi penulis serta memberikan motivasi dalam penyusunan dan penyelesaian tesis ini.

12.Para sahabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah memberikan dorongan moril, semangat dan hiburan dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyajian materi tesis ini jauh dari sempurna mengingat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki, maka untuk segala kekurangannya mohon maaf. Akhir kata penulis berharap tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak

Denpasar, 20 Juni 2016 Penulis


(11)

x ABSTRAK

Notaris dalam menjalankan jabatannya sehari-hari adakalanya diminta untuk membuka isi (rahasia) akta, sehubungan akta yang dibuatnya tersangkut kasus pidana sehingga seringkali Notaris dipanggil menjadi saksi atau tersangka untuk membuka isi (rahasia) akta yang dibuatnya kepada penyidik Pasal 66 ayat (1) Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN-P) mengatur diperlukan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris untuk pemanggilan notaris tersebut. Namun masih ada ketidakjelasan pengaturan dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN-P dan dianggap bertentangan dengan norma yang berasal dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 yang tidak mengharuskan adanya persetujuan bagi penyidik untuk memeriksa notaris.

Berdasarkan kondisi tersebut, isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya (ius constitutum); dan (2) Bagaimana sebaiknya pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya (ius constituendum).

Berangkat dari adanya norma konflik dan norma kabur dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN-P, penelitian ini meggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang mengkaji dan menganalisa bahan hukum yaitu berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang terkait dengan fungsi Majelis Kehormatan notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya. Data yang diperoleh, dikelompokkan dan disusun secara sistematis, untuk selanjutnya data tersebut dianalisis, secara analisis kualitatif yaitu analisis yang berupa kalimat dan uraian untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya dalam konteks ius constitutum adalah untuk memberikan pemikiran apakah notaris yang bersangkutan memang tersangkut kasus pidana sehingga layak untuk dipanggil baik sebagai saksi maupun tersangka; dan (2) pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut karena pidana terhadap akta yang dibuatnya di masa yang akan datang (ius constituendum) mengacu pada Permenkumham No. 7 Tahun 2016 yang baru saja diterbitkan pada tanggal 5 Februari 2016 dan selanjutnya untuk memperkuat kepastian hukumnya Permenkumham No. 7 Tahun 2016 ini ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah agar termasuk dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.


(12)

xi ABSTRACT

Notary when running his daily function sometimes be required to enclosed the content (the secret) of the deed, just because the deed made by notary lodged a criminal case so notary quite often being asked as witness or as accused to reveal the content (the secret) of the deed to the investigating officer. Article 66 of paragraph (1) of Law No. 2 of 2014 on the Amendment of Law Number 30 of Year 2004 on the Notary Position (UUJN-P( arranged arranged required the approval of the Notary Honorary Council to summons the notary. But there is still some ambiguity arrangements in Article 66 paragraph (1) of UUJN-P and considered to be contrary to the norms derived from the Constitutional Court Decision No. 49 / PUU-X / 2012 which does not require the approval for investigators to examine the notary.

Based on that condition, the legal issues raised in this research are (1) how the arrangement of Notary Honorary Council function in terms of approval for notary who lodged a criminal case against the deed is made (ius constitutum) and (2) how should the arrangement of Notary Honorary Council function in terms of approval for notary who lodged a criminal case against the deed is made (ius constituendum).

Regarding to the conflict norm and unclearly norm in the Article 66 of paragraph (1) of UUJN-P, this research used the normative legal research which examines and analyzes the legal materials in the form of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials, related to the Notary Honorary Council function in the giving approval to investigators for notary who lodged a criminal case against the deed is made. The data obtained, grouped and arranged systematically and for subsequent data analysis, qualitative analysis is that the analysis in the form of sentences and descriptions to answer the issues raised in this research.

The research result indicated that (1) the arrangement of Notary Honorary Council function in terms of approval for notary who lodged a criminal case against the deed is made in the context of ius constitutum is to provide ideas whether the notary is lodged criminal cases that deserve to be summoned either as witnesses or suspects; and (2) the arrangement of Notary Honorary Council function in terms of approval for notary who lodged a criminal case against the deed is made in the future (ius constituendum) refers to the Regulation of the Minister of Justice and Human Rights No. 7 Year 2016 has just been published in February 5, 2016 and further to strengthen legal certainty of this Minister of Justice and Human Rights No. 7 Year 2016 upgraded into government regulations as defined by Article 7 of Law No. 12 Year 2011 on the Establishment Regulation Legislation.


(13)

xii RINGKASAN

Tesis ini menganalisis fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.

Bab I, menguraikan latar belakang masalah yang dalam hal ini Pengaturan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris juga memiliki ketidakjelasan (norma kabur) mengingat apakah fotocopy akta yang dapat diambil penyidik, penuntut umum dan hakim hanya sebatas akta yang tersangkut perkara pidana atau untuk semua akta, karena redaksi Pasal 66 ayat (1) huruf a ini bisa ditafsirkan penyidik, penuntut umum dan hakim dapat mengambil semua akta yang disimpan Notaris. Selain itu ketidakjelasan juga terjadi apakah ijin Majelis Kehormatan Notaris mutlak ataukah bisa disimpangi, mengingat setelah 30 hari ijin disampaikan, maka ijin tersebut tidak diperlukan lagi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada sub ini juga diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian.

Bab II, menguraikan tinjauan tentang notaris, akta notaris, majelis kehormatan notaris dan pengawasan terhadap notaris. Bab ini terdiri dari 4 Sub Bab yaitu Sub Bab pertama Tinjauan tentang Notaris yang terdiri dari Pengertian Notaris, Dasar Hukum, Kewenangan dan Kewajiban serta Larangan Notaris dan Pemberhentian Notaris. Sub Bab kedua tentang Akta Notaris. Sub Bab ketiga tentang Tinjauan tentang Majelis Kehormatan Notaris. Sub Bab keempat yaitu Pengawasan terhadap Notaris yang terdiri dari Pengertian Pengawasan, Pengawasan terhadap Notaris, Manfaat dan Norma serta Etika Pengawasan dan Kode Etik Notaris.

Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah yang pertama, mengenai pengaturan fungsi majelis kehormatan notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya berdasarkan hukum positif di indonesia (ius constitutum). Bab ini dibagi menjadi 4 Sub Bab yaitu Sub Bab pertama mengenai Akta Notaris sebagai Dasar Perbuatan Tindak Pidana. Sub Bab kedua mengenai Prosedur Penyidikan terhadap Notaris yang Dilaporkan Telah Melakukan Tindak Pidana. Sub Bab ketiga membahas Kewenangan Notaris Menjalankan Tugas Jabatan dalam Status sebagai Tersangka. Sub Bab keempat membahas Dasar Pengaturan Fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam Hukum Positif di Indonesia (Ius Constitutum) yang terdiri dari Kewajiban Penyidik untuk Meminta Ijin Majelis Kehormatan Notaris sebelum Meminta Keterangan dari Notaris dan Memeriksa Protokol Notaris dalam Praktik, Pemanggilan Notaris Berdasarkan Persetujuan Majelis Kehormatan Notaris dan Ketentuan Hukum Proses Penyidikan Terhadap Notaris sebagai Saksi dan Tersangka dalam Tindak Pidana.

Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah kedua terkait dengan pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya di masa yang akan datang. Bab ini dibagi menjadi 3 Sub Bab yang terdiri dari Sub Bab pertama tentang Pelanggaran yang dapat Dilakukan Notaris yang meliputi Pelanggaraan Prosedural dan Pelanggaran Pidana. Sub Bab


(14)

xiii

kedua membahas mengenai Pengawasan Terhadap Notaris oleh Majelis Kehormatan Notaris. Sub Bab ketiga membahas tentang Dasar Pengaturan Fungsi Majelis Kehormatan Notaris di Masa yang akan Datang (Ius Constituendum).

Bab V merupakan bab penutup yaitu menguraikan tentang simpulan dan saran dari penulis. Penulis menyimpulkan bahwa (1) Pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya dalam konteks ius constitutum adalah untuk memberikan pemikiran apakah notaris yang bersangkutan memang tersangkut kasus pidana sehingga layak untuk dipanggil baik sebagai saksi maupun tersangka. Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Jabatan Notaris memberi batasan waktu 30 (tiga puluh) hari kepada Majelis Kehormatan Notaris untuk memberi persetujuannya atau tidak memberi persetujuannya. Bila dalam batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang tersebut, maka tidak memberikan persetujuan, maka dapat dianggap Majelis Kehormatan Notaris telah menyetujui pemanggilan notaris. Hal ini menunjukkan adanya norma kabur; dan (2) Pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya di masa yang akan datang (ius constituendum) dengan melibatkan Majelis Pengawas. Perlu dilibatkannya Majelis Pengawas mengingat notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dibawah pengawasan Majelis Pengawas, sehingga apabila notaris dipanggil baik sebagai saksi maupun tersangka maka Majelis Pengawas yang mengetahui attitude dari notaris yang bersangkutan. Agar batasan 30 (tiga puluh hari) seperti yang diatur dalam Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Jabatan Notaris terpenuhi, maka di masa yang akan datang diatur bahwa dalam 3 (tiga) hari setelah adanya permohonan ijin, Majelis Kehormatan Notaris sudah meminta masukan Majelis Pengawas dan dalam 7 (tujuh) hari Majelis Pengawas sudah memberi masukan. Dengan ketentuan ini maka Majelis Kehormatan Notaris memiliki waktu 14 (empat belas) hari untuk bersidang dan waktu 7 (tujuh) hari untuk memberi putusan apakah notaris yang bersangkutan dapat diperiksa atau tidak. Sementara itu saran yang dapat disampaikan Agar ada pengaturan yang membedakan tentang batas waktu pemanggilan seorang notaris ketika untuk dipanggil sebagai sanksi atau sebagai tersangka. Agar Majelis Pengawas dilibatkan dalam pemanggilan notaris yang terlibat kasus pidana.


(15)

xiv DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ... i

SAMPUL DALAM... ii

PRASYARAT GELAR ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

LEMBAR PANITIA PENGUJI ... v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... vi

UCAPAN TERIMAKASIH ... vii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT... xi

RINGKASAN ... xii

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 15

1.3 Tujuan Penelitian ... 16

1.3.1 Tujuan Umum ... 16

1.3.2 Tujuan Khusus ... 16

1.4 Manfaat Penelitian... 16

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 16

1.4.2 Manfaat Praktis ... 16

1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran ... 17

1.5.1 Landasan Teoritis ... 17

1.5.1.1 Konsep Akta Notaris ... 17

1.5.1.2 Teori Fungsi ... 23

1.5.1.3 Teori Wewenang ... 26


(16)

xv

1.5.1.5 Teori Hukum Pembuktian ... 31

1.5.2 Kerangka Pemikiran ... 34

1.6 Metode Penelitian ... 36

1.6.1 Jenis Penelitian ... 36

1.6.2 Jenis Pendekatan ... 36

1.6.3 Sumber Bahan Hukum ... 37

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 39

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 39

BAB II TINJAUAN TENTANG NOTARIS, AKTA NOTARIS, MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DAN PENGAWASAN TERHADAP NOTARIS ... 41

2.1 Tinjauan tentang Notaris ... 41

2.1.1 Pengertian Notaris ... 41

2.1.2 Dasar Hukum ... 44

2.1.3 Kewenangan dan Kewajiban serta Larangan Notaris ... 45

2.1.4 Pemberhentian Notaris ... 49

2.2 Akta Notaris ... 50

2.3 Tinjauan tentang Majelis Kehormatan Notaris ... 58

2.4 Pengawasan terhadap Notaris ... 64

2.4.1 Pengertian Pengawasan ... 64

2.4.2 Pengawasan terhadap Notaris ... 64

2.4.3 Manfaat dan Norma serta Etika Pengawasan ... 68

2.4.4 Kode Etik Notaris ... 70

BAB III PENGATURAN FUNGSI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DALAM HAL PEMBERIAN PERSETUJUAN BAGI NOTARIS YANG TERSANGKUT KASUS PIDANA TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA (IUS CONSTITUTUM) ... 77

3.1 Akta Notaris sebagai Dasar Perbuatan Tindak Pidana ... 77

3.2 Prosedur Penyidikan terhadap Notaris yang Dilaporkan Telah Melakukan Tindak Pidana ... 85


(17)

xvi

3.3 Kewenangan Notaris Menjalankan Tugas Jabatan dalam Status

sebagai Tersangka ... 97

3.4 Dasar Pengaturan Fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam Hukum Positif di Indonesia (Ius Constitutum) ... 99

3.4.1 Kewajiban Penyidik untuk Meminta Ijin Majelis Kehormatan Notaris sebelum Meminta Keterangan dari Notaris dan Memeriksa Protokol Notaris dalam Praktik ... 99

3.4.2 Pemanggilan Notaris Berdasarkan Persetujuan Majelis Kehormatan Notaris ... 108

3.4.3 Ketentuan Hukum Proses Penyidikan Terhadap Notaris sebagai Saksi dan Tersangka dalam Tindak Pidana ... 116

BAB IV PENGATURAN FUNGSI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DALAM HAL PEMBERIAN PERSETUJUAN BAGI NOTARIS YANG TERSANGKUT KASUS PIDANA TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA DI MASA YANG AKAN DATANG (IUS CONSTITUENDUM) ... 137

4.1 Pelanggaran yang dapat Dilakukan Notaris ... 137

4.1.1 Pelanggaraan Prosedural ... 137

4.1.2 Pelanggaran Pidana ... 148

4.2 Pengawasan Terhadap Notaris oleh Majelis Kehormatan Notaris .... 149

4.3 Dasar Pengaturan Fungsi Majelis Kehormatan Notaris di Masa yang akan Datang (Ius Constituendum) ... 164

BAB V PENUTUP ... 170

5.1 Simpulan ... 170

5.2 Saran ... 171


(18)

xvii

DAFTAR GAMBAR


(19)

(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Lembaga Kenotariatan adalah salah satu lembaga kemasyarakatan yang ada di Indonesia, lembaga ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia yang menghendaki adanya suatu alat bukti mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan atau terjadi diantara mereka.1 Terkait dengan hal ini semakin banyak kebutuhan akan jasa Notaris. Notaris sebagai abdi masyarakat mempunyai tugas melayani masyarakat dalam bidang perdata, khususnya dalam hal pembuatan akta otentik. Seperti yang dimaksud dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jo Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut Undang-Undang Jabatan Notaris), dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa :

“Akta Otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.”

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa :

“Akta Notaris yang selanjutnya disebut akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”

1

G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal. 2.


(21)

2

Fungsi dan peran Notaris dalam gerak pembangunan nasional yang semakin kompleks dewasa ini tentunya makin luas dan makin berkembang, sebab kelancaran dan kepastian hukum yang dijalankan oleh semua pihak makin banyak dan luas, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum yang dihasilkan oleh Notaris. Pemerintah dan masyarakat luas tentunya mempunyai harapan agar pelayanan jasa yang diberikan oleh Notaris kepadanya benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat dipertanggungjawabkan.2

Notaris mempunyai peran serta dalam aktivitas menjalankan profesi hukum yang tidak dapat dilepaskan dari persoalan-persoalan mendasar yang berkaitan dengan fungsi serta peranan hukum itu sendiri, dimana hukum diartikan sebagai kaidah-kaidah yang mengatur segala kehidupan masyarakat.3 Tanggung jawab Notaris yang berkaitan dengan profesi hukum tidak dapat dilepaskan pada pendapat bahwa dalam melaksanakan jabatannya tidak dapat dilepaskan dari keagungan hukum itu sendiri, sehingga Notaris diharapkan bertindak untuk merefleksikannya didalam pelayanannya kepada masyarakat.4

Seorang Notaris agar benar-benar menjalankan kewenangannya, Notaris harus senantiasa melakukan tugas jabatannya menurut hukum yang tertinggi dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak memihak. Notaris dalam menjalankan kewenangannya tidak boleh mempertimbangkan keuntungan pribadi, Notaris hanya boleh memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya, Notaris wajib bersikap tulus ikhlas terhadap klien dan

2

Suharwadi K. Lubis, 1994, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.35-36.

3 Ibid. 4

Wiratni Ahmadi, 2000, ”Pendidikan Magister Kenotariatan”, Makalah disampaikan pada pengenalan pendidikan Magister Kenotariatan Universitas Padjadjaran, Bandung, hal. 1-2


(22)

3

mempergunakan segala sumber keilmuwannya, apabila Notaris yang bersangkutan tidak menguasai bidang hukum tertentu dalam pembuatan akta, maka ia wajib berkonsultasi dengan rekan lain yang mempunyai keahlian dalam masalah yang sedang dihadapi, disamping itu Notaris juga wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang masalah klien karena kepercayaan yang telah diberikan kepadanya.5

Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum, seperti yang dimaksud Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada

seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Wewenang Notaris diatur dalam Pasal 15 menyebutkan :

(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:

5

Marisco A. Umbas, 2013, “Pelaksanaan Pengawasan terhadap Tugas dan

Fungsi Notaris,” Lex Privatum, Vol.I, No.4, hal. 68. 6

Philipus M. Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati, 1997, Tentang Wewenang, Penerbit Yuridika, Surabaya, hal. 1.


(23)

4

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

Akta;

f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat Akta risalah lelang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 15 ayat (1) dan (2) tersebut di atas mengatur tentang Wewenang Notaris, sedangkan dalam Pasal 15 ayat (3)-nya merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang (ius constituendum).

Mengingat peranan dan kewenangan Notaris yang sangat penting bagi lalu lintas hukum dalam kehidupan bermasyarakat, maka perilaku dan tindakan Notaris dalam menjalankan fungsi kewenangan, rentan terhadap penyalahgunaan yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat, sehingga lembaga pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris perlu diefektifkan. Ketentuan yang mengatur tentang pengawasan bagi Notaris diatur dalam Bab IX Pasal 67 sampai dengan Pasal 81 Undang-Undang Jabatan Notaris dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris sebagai peraturan pelaksanaannya. Ketentuan-ketentuan ini merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi kelemahan dan kekurangan dalam sistem pengawasan terhadap


(24)

5

Notaris, sehingga diharapkan dalam menjalankan profesi jabatannya, Notaris dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.7

Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak menutup kemungkinan bersinggungan dengan permasalahan hukum pidana yang melibatkan seorang Notaris. Hal ini bisa terjadi pada waktu notaris diminta untuk membuat akta oleh seorang client. Akta yang diminta ini mengandung suatu perbuatan pidana yang tidak disadari atau dilakukan dengan sengaja oleh Notaris dan Client yang bersangkutan tidak menerangkan kepada Notaris. Meskipun demikian, notaris harus bertanggungjawab atas akta yang dibuatnya tersebut. Jika notaris tidak menyadari bahwa akta yang dibuatnya mengandung unsur pidana, maka notaris yang bersangkutan akan dipanggil sebagai saksi.

Dasar hukum pemanggilan terhadap Notaris tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris Pasal 66, yaitu :

(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang:

(a) mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

(b) memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. (3) Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)

hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan.

(4) Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.

7

Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris, hal.3.


(25)

6

Bertitik tolak pada ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut di atas maka dapat di lihat ada 2 (dua) isu hukum. Pertama, Pasal 66 ayat (1) huruf a tidak menjelaskan akta yang mana yang bisa diambil penyidik, penuntut umum atau hakim. Apakah hanya sebatas akta yang tersangkut perkara pidana atau untuk semua akta. Redaksi Pasal 66 ayat (1) huruf a ini bisa ditafsirkan penyidik, penuntut umum dan hakim dapat mengambil semua akta yang disimpan Notaris. Kedua, berkaitan dengan ijin Majelis Kehormatan Notaris, apakah ijin ini mutlak ataukah bisa disimpangi. Bila dilihat dari bunyi Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4) yaitu majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan (Pasal 66 ayat (3)). Dalam hal Majelis Kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Majelis Kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan (Pasal 66 ayat (4)). Redaksi kedua ayat ini menunjukkan bahwa ijin Majelis Kehormatan Notaris, tidak mutlak harus diberikan, mengingat setelah 30 hari, penyidik, penuntut umum dan hakim dapat begitu saja mengambil fotocopy akta dan minuta dari Notaris.

Pemanggilan Notaris sebagai saksi, seharusnya pemanggilan tidak dapat dilakukan begitu saja. Menurut ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris pemanggilan Notaris ini harus mendapatkan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris. Perlunya persetujuan Majelis Kehormatan Notaris mengingat Notaris sebagai pejabat umum yang harus merahasiakan akta yang dibuatnya sebagaimana diuraikan berikut ini.


(26)

7

Sebagai tindak lanjut dari amanat Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris maka pada tanggal 5 Februari 2016 diterbitkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris (selanjutnya disebut Permenkumham No. 7 Tahun 2016 saja). Konsideran Permenkumham No. 7 Tahun 2016 ini menyebutkan bahwa peraturan ini dibuat untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66A ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Majelis Kehormatan Notaris. Pasal 1 angka 1 Permenkumham No. 7 Tahun 2016 yang menyebutkan Majelis Kehormatan Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

Sebagai jabatan kepercayaan notaris wajib merahasiakan isi akta dan segala keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya. Hal ini sejalan dengan sumpah jabatan yang diucapkan sebelum notaris melaksanakan jabatannya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Notaris tidak bisa secara bebas mengungkapkan atau membocorkan rahasia jabatannya kepada siapa pun kecuali terdapat peraturan perundang-undangan lain yang memperbolehkannya untuk membuka rahasia


(27)

8

jabatannya, sumpah jabatan tersebut ditegaskan sebagai salah satu kewajiban notaris yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menyatakan dalam menjalankan jabatanya, notaris berkewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Penggunaan hak untuk merahasiakan sesuatu yang berkaitan dengan jabatan diatur pula dalam hukum acara pidana, hukum perdata, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 170 ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa, mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau juga jabatannya diwajibkan untuk menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari penggunaan hak untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadanya.

Selanjutnya dalam Pasal 1909 ayat 2 KUHPerdata dinyatakan bahwa, segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya menurut undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagaimana demikian. Pasal 322 ayat 1 KUHPidana menyatakan bahwasanya, barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.

Dalam hal Notaris yang berkewajiban merahasiakan sesuatu yang berkaitan dengan jabatan maka notaris dikatakan memiliki hak ingkar untuk dijadikan saksi baik dalam peradilan perdata maupun peradilan pidana. Istilah hak


(28)

9

ingkar merupakan terjemahan dari verschoningsrech yang artinya adalah hak untuk dibebaskan dari memberi keterangan sebagai saksi dalam suatu perkara baik itu perkara perdata maupun perkara pidana. Hak ini merupakan pengecualian dari Pasal 1909 KUH Perdata bahwa setiap orang yang dipanggil menjadi saksi wajib memberikan kesaksian.

Tiap-tiap orang yang dipanggil sebagai saksi, mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan-keterangan. Seseorang yang berdasarkan undang-undang dipanggil sebagai saksi, yang sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagai saksi diancam pidana sebagai melakukan suatu kejahatan. Pengecualiannya ialah apabila seseorang yang dipanggil itu, mempunyai hak untuk menolak memberikan keterangan-keterangan sebagai saksi, berdasarkan hubungan-hubungan tertentu yang disebutkan dalam undang-undang.8

Dalam hukum acara perdata, Pasal 1909 KUH Perdata mewajibkan setiap orang yang cakap menjadi saksi, untuk memberikan kesaksian di muka pengadilan. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap mereka, yang berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan kesaksian yaitu sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1909 KUH Perdata dan Pasal 146 dan 277 HIR, mereka dapat mempergunakan haknya untuk mengundurkan diri sebagai saksi, dengan jalan menuntut penggunaan hak ingkarnya (verschoningsrecht).9

Dalam hukum acara pidana, ketentuan dalam Pasal 170 ayat (1) dan (2) KUHAP menyebutkan:

(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

8

A. Kohar, 1984, Notaris Berkomunikasi, Alumni, Bandung, hal. 42. 9


(29)

10

(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

Dalam hal pemanggilan Notaris sebagai tersangka atau yang terindikasi melakukan tindak pidana, maka pemanggilan notaris yang mensyaratkan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris patut untuk dipermasalahkan. Karena hal ini dapat dikatakan bertentangan Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Lebih jauh lagi persyaratan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris bertentangan dengan ketentuan Pasal 112 Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.

(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

Ketentuan Pasal 112 KUHAP tersebut dapat dikatakan bahwa penyidik berhak memanggil tersangka dan orang yang disangkakan ini wajib datang kepada penyidik. Ketentuan ini berlaku untuk setiap orang dan tanpa syarat apapun.

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mennyatakan bahwa pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris yang menyatakan untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah. Dalam perkembangan selanjutnya ketentuan Pasal 66 ini dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:


(30)

11

49/PUU-X/2012). Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak mengindahkan bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, notaris memiliki tanggungjawab terhadap akta yang dibuatnya sehingga notaris harus berhadapan langsung dengan Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim ketika harus berhadapan dengan pengadilan.

Atas Putusan MKRI para Notaris tidak perlu mempermasalahkannya, sebagai Warga Negara Indonesia yang taat hukum notaris harus tunduk dan patuh pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, karena Putusan Mahkamah

Konstitusi telah “final and binding” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Namun pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris masalah dimunculkan lagi tentang perlunya persetujuan bagi Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim untuk mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris. Jika pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 persetujuan tersebut berasal dari Majelis Pengawas Daerah, sedangkan pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 persetujuan berasal dari Majelis Kehormatan Notaris.

Dalam hal tersebut di atas pertanyaan yang bisa dimunculkan apa bedanya persetujuan melalui Majelis Pengawas Daerah dengan persetujuan melalui Majelis Kehormatan Notaris? Apakah hal ini tidak mengingkari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas mengingat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa dibutuhkannya persetujuan seperti yang diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014


(31)

12

telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Menurut penulis hal tersebut merupakan norma konflik yaitu norma yang berasal dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49/PUU-X/2012 yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 bertentangan dengan norma yang terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dimana norma dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49/PUU-X/2012 tidak mengharuskan adanya persetujuan bagi bagi Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim untuk mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notari sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 hal tersebut

masih memerlukan ”persetujuan” dari Majelis Kehormatan Notaris. Dalam hal ini seolah-olah Majelis Kehormatan Notaris berdiri di atas Mahkamah Konstitusi atau bahkan Undang-Undang Dasar 1945.

Pengaturan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris juga memiliki ketidakjelasan (norma kabur) mengingat apakah fotocopy akta yang dapat diambil penyidik, penuntut umum dan hakim hanya sebatas akta yang tersangkut perkara pidana atau untuk semua akta, karena redaksi Pasal 66 ayat (1) huruf a ini bisa ditafsirkan penyidik, penuntut umum dan hakim dapat mengambil semua akta yang disimpan Notaris. Selain itu ketidakjelasan juga terjadi apakah ijin Majelis Kehormatan Notaris mutlak ataukah bisa disimpangi, mengingat setelah 30 hari ijin disampaikan, maka ijin tersebut tidak diperlukan lagi.

Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan-perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa


(32)

13

penelitian yang berkaitan dengan pemanggilan Notarisbaik pemeriksaan terhadap Notaris maupun membuka rahasia akta, yaitu :

1. Penelitian Muhammad Ilham Arisaputra dengan judul ”Kewajiban Notaris Dalam Menjaga Kerahasiaan Akta Dalam Kaitannya dengan Hak Ingkar

Notaris”. Tesis pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2012. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana implementasi hak ingkar notaris dalam menjaga kerahasiaan akta berdasarkan UUJN?

b. Bagaimana kendala terhadap penggunaan hak ingkar notaris dalam menjaga kerahasiaan akta dalam kaitannya dengan hak ingkar berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris?

Penelitian Muhammad Ilham Arisaputra dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang kewajiban notaris dalam menjaga kerahasiaan akta. Perbedaannya jika penelitian Muhammad Ilham Arisaputra, mengkaitkan kewajiban notaris dalam menjaga kerahasiaan akta dengan hak ingkar notaris, maka pada penelitian yang akan dilakukan mengkaitkan kewajiban notaris dalam menjaga kerahasiaan akta dengan persetujuan Dewan kehormatan Notaris.

2. Penelitian Pricilia Yuliana Kambey dengan judul ”Peran Notaris Dalam Proses Peradilan Pidana”. Tesis Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, tahun 2013. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah keberadaan notaris sebagai pejabat umum dalam memberikan kesaksian terhadap suatu perkara menyangkut akta yang dibuatnya dalam proses peradilan pidana?


(33)

14

b. Bagaimanakah peran notaris dalam memberikan keterangan untuk membantu proses peradilan pidana dikaitkan dengan rahasia jabatannya?

Penelitian Pricilia Yuliana Kambey dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang keberadaan notaris sebagai pejabat umum dalam memberikan kesaksian terhadap suatu perkara menyangkut akta yang dibuatnya dalam proses peradilan pidana. Perbedaannya jika penelitian Pricilia Yuliana Kambey, menganalisis peran notaris dalam memberikan keterangan untuk membantu proses peradilan pidana dikaitkan dengan rahasia jabatannya, maka pada penelitian yang akan dilakukan meganalisis perlunya ijin Majelis Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.

3. Penelitian Yenny Lestari Wilamarta dengan judul “Rahasia notaris, hak ingkar dan perlindungan hukum bagi notaris yang membuka isi (rahasia) akta”. Tesis Program Magister Kenotariatan, Fakultas HukumUniversitas Indonesia, Tahun 2011. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut :

a. Apakah notaris diperbolehkan membuka isi (rahasia) akta yang dibuatnya kepada lembaga penyidik atau lembaga penuntut?

b. Apakah notaris dapat menggunakan hak ingkar yang terdapat dalam Undang-Undang Jabatan Notaris bila bertentangan dengan undang-undang lainnya?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap notaris yang membuka isi (rahasia) akta?


(34)

15

Penelitian Yenny Lestari Wilamarta dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang notaris yang membuka rahasia akta. Perbedaannya jika penelitian Yenny Lestari Wilamarta mengkaitkan rahasia notaris dengan hak ingkar dan perlindungan hukum bagi notaris yang membuka isi (rahasia) akta, maka pada penelitian yang akan dilakukan mengkaitkan rahasia notaris dengan perlunya ijin Majelis Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.

Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik substansi maupun metodologinya.

Bertitik tolak pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis

dengan judul ”Fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam Pemberian Persetujuan Terhadap Penyidik bagi Notaris yang Tersangkut Kasus Pidana Terhadap Akta yang Dibuatnya”.

1.2. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi Notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya (ius constitutum)?


(35)

16

2. Bagaimana sebaiknya pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya (ius constituendum)?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris terhadap akta yang dibuatnya yang tersangkut hukum pidana (ius contitutum).

2. Untuk mengetahui pengaturan yang sebaiknya terhadap fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris terhadap akta yang dibuatnya yang tersangkut hukum pidana (ius contituendum).

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan pengaturan pemanggilan notaris terkait akta yang dibuatnya tersangkut hukum pidana.

1.4.2. Manfaat Praktis

Sebagai masukan bagi Majelis Kehormatan Notaris dalam memberikan persetujuan atas pemanggilan notaris terkait akta yang dibuatnya tersangkut hukum pidana.


(36)

17

1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.5.1. Landasan Teoritis

Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Bernard Arief Sidharta, teori hukum merupakan teori yang secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat.10 Teori-teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah Teori Fungsi, Teori Wewenang, Teori Tanggungjawab dan Teori Hukum Pembuktian. Selain teori-teori tersebut, penelitian ini juga menggunakan konsep Akta Notaris untuk dijadikan pisau analisis dalam menjawab perumusan masalah penelitian.

1.5.1.1. Konsep Akta Notaris

Notaris dijadikan Pejabat Umum adalah ketentauan undang-undang menghendakinya, karena satu-satunya Pejabat umum yang melayani kepentingan umum, sesuai kewenangannya yang disebutkan dalam UUJN adalah pembuatan akta otentik, yang berkaitan dengan. Pasal 1868 KUHPer. Adapun Pasal 1868 KUHPer. Memuat definisi tentang akta otentik sebagai berikut:

10

Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 104.


(37)

18

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang

berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, maka suatu akta agar dapat dijadikan sebagai akta otentik harus memenuhi 3 persyaratan sebagai berikut:

a. Akta itu harus dibuat “oleh” atau “dihadapan” seorang Pejabat Umum; b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; c. Pejabat Umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Setelah mengethui syarat-syarat pembuatan akta otentik, maka selanjutnya perlu diketahui bahwa akta-akta Notaris itu ada dua macam, yaitu:

a. Akta yang dibuat oleh pejabat, yang disebut dengan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten), misalnya: Akta Risalah Rapat Perseroan Terbatas yang dibuat oleh Notaris; Berita Acara pembukaan Safe-deposit box dari suatu Perseroan Terbatas Perbankan; Berita Acara penarikan Undian;

Akta relaas atau akta pejabat itu menguraikan mengenai sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan serta dialami oleh pembuat akta itu, yakni Notaris itu sendiri, dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akta yang memuat uraian dari hal-hal yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat oleh Notaris (sebagai Pejabat Umum).

b. Akta yang dibuat dihadapan pejabat, yang sering disebut dengan akta partai (partij acten), misalnya perjanjian sewa menyewa atas sebidang tanah berikut bangunan dari anggota masyarakat, akta jual-beli, akta hibah


(38)

19

uang, akta wasiat, surat kuasa dan lain-lain. Dalam akta partai ini dicantumkan keterangan-keterangan dari orang-orang yang bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta itu.

Akta partai berisikan cerita dari hal-hal yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan itu, pihak yang bersaangkutan sengaja datang menghadap Notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan hukum itu dihadapan Notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dinyatakan oleh Notaris dalam suatu akta otentik.

Dalam hubungannya dengan hal yang diuraikan diatas, maka yang pasti secara otentik pada akta partij terhadap pihak lain adalah:

a. Tanggal dari akta itu;

b. Tanda tangan-tanda tangan yang ada dalam akta itu; c. Identitas dari orang-orang yang hadir;

d. Bahwa hal-hal yang tercantum dalam akti itu adalah sesuai dengan keadaan pada saat diterangkan oleh para penghadap kepada Notaris, agar dicantumkan dalam akta itu, sedangkan kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri, hanya pasti antara pihak-pihak yang bersangkutan sendiri.

Membuat akta partai (acte partij) inisiatif tidak berasal dari pejabat, melainkan dari pihak-pihak yang berkepentingan memberikan keterangan, sedangkan untuk akta pejabat (acte ambtelijk), maka pejabatlah yang aktif membuat akta tersebut atas permintaan dari para pihak yang berkepentingan. Oleh


(39)

20

karena itu, akta pejabat berisikan keterangan yang dilihat dan didengar sendiri serta ditulis oleh pejabat yang bersangkutan. Sedangkan akta partai berisikan keterangan para pihak sendiri yang diformulasikan serta disampaikan kepada pejabat, agar pejabat merampungkan maksud dan keterangannya dalam suata akta otentik.

Ketentuan Pasal 1870 KUHPer menyebutkan bahwa akta otentik memberikan bukti yang paling sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekaligus orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang tersurat di dalamnya; Akta otentik merupakan bukti yang cukup, atau juga disebut bukti yang sempurna,artinya isi dari akta tersebut oleh hakim harus dianggap benar, selama ketidak-benarannya tidak terbukti. Namun kekuatan bukti yang sempurna masih dapat digugurkan bila ada bukti lawan yang kuat dengan menuduh bahwa akta itu palsu, dan ternyata benar dalam akta Notaris yang minutanya disimpan oleh Notaris itu mengandung kepalsuan, misalnya ada pihak yang membubuhi tanda tangan palsu dan perihal kepalsuan tanda tangan tersebut dapat dibuktikan, sehingga gugurlah kekuatan bukti otentik dari akta Notaris tersebut.

Adapun syarat otentisitas dari akta Notaris adalah sebagai berikut: a. Para penghadap menghadap Notaris;

b. Para penghadap mengutarakan maksudnya;

c. Notaris mengkonstantir maksud dari para pengahadap dalam sebuat akta; d. Notaris membacakan susunan kata dalam bentuk akta kepada para


(40)

21

e. Para penghadap membubuhkan tandatangannya, yang berarti membenarkan hal-hal yang termuat dalam akta tersebut, dan penandatanganan tersebut harus dilakukan pada saat itu juga.

f. Dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali ditentukan lain oleh UU.

Akta yang bersangkutan apabila tidak memenuhi syarat otentisitas tersebut dimuka, maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Surat yang ditandan tangai oleh pihak-pihak secara di bawah tangan itu, sekalipun merupakan salah satu bukti surat tertulis, namun kekuatan bukti hukumnya agak lemah, karena bila ada pihak yang meragukannya, maka surat di bawah tangan ini tidak dapat menjamin tentanggal tanggal yang pasti pembuatan suratnya; surat di bawah tangan itu tidakmempunyai kekuatan eksekusi dan bila suratdibawah tangan itu hilang, baik asli maupun salinannya, maka sukar sekali pihak-pihak yang telah menanda tangani surat itu untuk membuktikan, bahwa antara mereka telah ada suatu ikatan perjanjian atau ada suatu perbuatan hukum yang saling mengikat.

Akta otentik yang dibuat oleh Notaris mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian, yakni:

a. Kekuatan pembuktian lahiriah

Akta yang dibuat dihadapan Pejabat Umum yang memenuhi ketentuan undang-undang itu membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Hal ini sesuai dengan ketentuan dari Pasal 1875 KUHPer., yang antara lain mengatakan bahwa surat dibawah tangan itu tidak dapat membuktikan dirinya itu demikian adanya, seperti hal-hal yang disebutkan dalam surat dibawah tangan itu; akta yang dibuat dibawah tangan baru berlaku atau


(41)

22

dianggap sah, apabila yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya, yang dengan sendirinya juga mengaku isi yang dimuat dalam surat dibawah tangan itu. Sedangkan akta otentik membuktikan sediri mengenai keabsahannya. Akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta otentik, sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu adalah tidak otentik.

b. Kekuatan pembuktian formal.

Membuktikan bahwa Pejabat Umum yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan sebagaimana yang tercantum dalam akta dan yang dilakukan serta disaksikannya dalam menjalankan jabatannya. Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke akte), akta itu membuktikan kebenaran dari hal-hal yang disaksikan, yakni dilihat, didengar dan juga 8 dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya.

c. Kekuatan pembuktian material.

Membuktikan antara pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi, dengan pengertian:

1) Bahwa akta itu apabila dipergunakan dimuka pengadilan, adalah cukup dan hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya/disamping itu;

2) Bahwa pembuktian sebaliknya diperkenankan dengan alat-alat pembuktian biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut undang-undang.11

11


(42)

23

1.5.1.2. Teori Fungsi

Teori fungsi digunakan dalam penelitian ini untuk memecahkan rumusan masalah pertama mengingat tesis ini membahas mengenai fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris terhadap akta yang dibuatnya tersangkut dengan hukum pidana. Menurut The Liang Gie fungsi merupakan sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifatnya, pelaksanaan ataupun pertimbangan lainnya.12 Definisi tersebut memiliki persepsi yang sama dengan definisi fungsi menurut Sutarto, yaitu fungsi adalah rincian tugas yang sejenis atau erat hubungannya satu sama lain untuk dilakukan oleh seorang pegawai tertentu yang masing-masing berdasarkan sekelompok aktivitas sejenis menurut sifat atau pelaksanaannya.13 Sedangkan pengertian singkat dari definisi fungsi menurut Moekijat, yaitu fungsi adalah sebagai suatu aspek khusus dari suatu tugas tertentu.14

Fungsi dan peran memiliki pengertian yang berbeda. Dalam pemikiran Wrenn, peran dengan fungsi itu berbeda. Peran, dikonseptualisasikan ke dalam suatu tujuan, sedangkan fungsi berarti proses. Konsep peran lebih ditekankan pada suatu bagian akhir yang dituju; sedangkan fungsi, menegaskan kegiatan atau aktivitas dalam rangka pencapaian tujuan.15

12

The Liang Gie, 2010, Unsur-unsur Administrasi: Suatu kumpulan Karangan, Edisi 2, Penerbit Supersukses, Yogyakarta, hal. 27.

13

Sutarto, 2010, Dasar-dasar Organisasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 22.

14

Moekijat, 2012, Peran dan Fungsi Manajemen, Remaja Rosdakarya, hal.95.

15

Wrenn, C.G., 2011, The World of the Contemporary Counselor, Houghton Mifflin, Boston, hal 35.


(43)

24

Bagi Wrenn, peran didefinisikan sebagai harapan-harapan (expectations) dan pengarahan-pengarahan perilaku yang dikaitkan dengan suatu posisi; sedangkan fungsi diartikan sebagai aktivitas yang ditunjukkan untuk suatu peran. Dengan kata lain, peran berkaitan dengan suatu posisi; sementara itu rincian perbuatan dalam menjalankan posisi berarti fungsi.16 Apabila peran sering kali ditegaskan melalui perilaku individu di dalam penampilan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan suatu posisi; maka fungsi merupakan aktivitas spesial atau khusus dari seseorang.

Salah satu fungsi Majelis Kehormatan Notaris adalah memberikan persetujuan dalam hal pemanggilan Notaris untuk proses peradilan, penyidikan, penuntut umum atau hakim. Dengan persetujuan tersebut mempunyai arti bahwa dengan tidak adanya persetujuan maka hal tersebut tidak dapat dilakukan (Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris). Selain itu berdasarkan Pasal 66 A dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris disebutkan bahwa fungsi lain dari Majelis Kehormatan Notaris adalah melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris.

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris pengawasan Notaris dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri setempat. Setelah berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut maka pengawas terhadap Notaris di bawah naungan langsung Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya dilimpahkan kepada Majelis Kehormatan Notaris.

16


(44)

25

Pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris menyebutkan pengertian pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.17

Rumusan tersebut yang menjadi tujuan pokok pengawasan adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang digariskan dalam peraturan dasar yang bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah ditentukan, bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pembentukan Majelis Kehormatan Notaris untuk menyelamatkan kepentingan masyarakat dari kerugian yang diakibatkan oleh Notaris yang tidak bertanggung jawab dan menjaga citra dan kewibawaan lembaga Notariat serta melindungi nama baik kelompok prifesi Notaris dari penilaian yang generaliris. Selain hal tersebut dengan adanya Majelis Kehormatan Notaris, maka mempunyai dampak positif yaitu akan membentuk suatu “Peradilan Profesi Notaris” yang dijalankan di setiap tingkatan secara berjenjang selain yang sudah ada pada organisasi profesi notaris sendiri. Dengan adanya peradilan tersebut, maka akan memberikan perlindungan hukum dan jaminan kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya secara profesional.18

17

Widiatmoko, 2007, Himpunan Peraturan Jabatan Notaris, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 20.

18 Ibid.


(45)

26

1.5.1.3. Teori Wewenang

Teori wewenang digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab rumusan masalah pertama dan kedua yaitu mengenai wewenang Notaris untuk membuat akta otentik dan wewenang Majelis Kehormatan Notaris dalam fungsinya untuk memberikan ijin pengambilan akta yang disimpan Notaris dan pemeriksaan terhadap Notaris yang aktanya tersangkut hukum pidana.

Wewenang (atau sering pula disebut dengan istilah kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan.19 Sjahran Basah mengemukakan bahwa kewenangan seseorang atau pejabat pemerintah untuk melakukan suatu tindakan pemerintahan dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan baik secara langsung (atribusi) ataupun pelimpahan (delegasi dan sub delegasi) serta atas dasar penugasan (mandate).20 Pendapat ini juga dikemukakan oleh H.D. Van Wijk dan Wilem Konijnenbelt yang mengklasifikasikan cara perolehan kewenangan atas 3 (tiga) cara antara lain:

a. Atributie : “Teoleninning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een bestuurorgaan”, atau atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. b. Delegatie : “Overdracht van een bevoegdheid van he teen bestuurorgan

aan een ander”, atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

c. Mandate : “een bestuurorgan lat zijn bevoegdheid names hues uitoefenen door een ander”, artinya mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.21

19

Habib Hadjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal. 77.

20

Sjahran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, hal.7.

21

Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal. 45.


(46)

27

Dengan melihat kepada ada atau tidaknya suatu peralihan kewenangan, F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek berpendapat mengenai cara peralihan wewenang pada hakekatnya hanya melalui cara atribusi dan delegasi saja. Atribusi adalah pembangunan kekuasaan kepada bagian instansi dan pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh pembuat undang-undang (dalam arti material kepada organ administrasi negara).

Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah atas dasar peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini suatu badan juga telah memiliki wewenang secara mandiri membuat peraturan perundang-undangan (wewenang atribusi), menyerahkan kepada suatu badan untuk membuat peraturan perundang-undangan atas dasar kekuasaan dan tanggung jawabnya sendiri. Menurut Indroharto penerima wewenang atas dasar delegasi (delegataris) dapat pula mendelegasikan wewenang yang diterimanya dari pemberi wewenang asli (delegasi) kepada organ atau pejabat TUN lainnya.22

Bagir Manan dan A. Hamid S. Attamimi menyatakan teori wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan dibedakan atas atribusi dan delegasi.23 Pengertian atribusi wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan memuat unsur-unsur :

a. Penciptaan wewenang baru untuk membuat peraturan perundang-undangan;

22

Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 66.

23 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Kedudukan dan Fungsi

Keputusan Presiden Sistem Perundang-undangan dan Peranannya Dalam Akselerasi Pembangunan Ekonomi, Penerbit Alumni, Bandung, hal 206.


(47)

28

b. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk UUD atau pembentuk UU kepada suatu lembaga;

c. Lembaga yang menerima wewenang itu bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tersebut.24

Sedangkan pengertian delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan memuat unsur-unsur :

a. Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang-undangan; b. Wewenang itu diserahkan oleh pemegang wewenang atributif (delegans)

kepada lembaga lainnya (delegataris);

c. Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tersebut.

Wewenang atribusi dan delegasi terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang itu. Sedangkan perbedaannya adalah (1) pada delegasi selalu harus didahului adanya atribusi, sedangkan pada atribusi tidak ada yang mendahului dan (2) pada atribusi terjadi pembentukan wewenang, sedangkan pada delegasi terjadi penyerahan wewenang.25

Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Tanpa adanya kewenangan yang dimiliki, maka pejabat negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan atau tindakan pemerintahan. Menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan

24 Hamid S. Atamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik

Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV, Disertasi, Pasca Sarjana UI, Jakarta, hal 347-352

25

S.F. Marbun, 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi Dan Implementasinya Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 109-120.


(48)

29

kewenangan, yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy making) yaitu kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat-alat pemerintah atau kekuasaan yang menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik negara yang telah ditentukan (verwezenlijkking van de taak).26

1.5.1.4. Teori Tanggungjawab

Teori tanggungjawab digunakan dalam penelitian ini untuk memecahkan rumusan masalah yang pertama dan kedua mengingat permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai tanggungjawab Notaris jika akta yang dibuatnya tersangkut hukum pidana. tanggungjawab atau tanggungjawab hukum yang

dimaksudkan disini adalah terjemahan dari bahasa Inggris “Liability”.

Tanggung jawab dalam bahasa Inggrisnya adalah responsibility atau dalam bahasan Belanda adalah aansprekelijk, yang artinya adalah bertanggung jawab, terikat, bertanggung jawab menurut hukum atas kesalahan atau akibat suatu perbuatan.27 Ada pula istilah lainnya yang berkaitan adalah pertanggung jawaban yang dalam bahasa Inggris adalah accountability dan dalam bahasa Belanda adalah aansprakelijkheid yang artinya juga tanggung jawab, keterikan, tanggung jawab dalam hukum memikul tanggung jawab.28

Menurut Soehardi dikatakan bahwa dasar dari suatu tanggung jawab adalah suatu wewenang (authority) atau hak wewenang itu berkaitan dengan tugas

26

Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bina Aksara, Jakarta, hal. 30.

27

Fockema Andrea, diterjemahkan oleh Adiwinata A. Teloeki dan H. Boerchanudin St. Batoeh, 2007, Kamus Istilah Hukum, Cet. Pertama, Binacipta, Jakarta, hal. 6.

28


(49)

30

dan merupakan kekuasaan yang melekat pada tugas atau pekerjaan (responsibility, duty), sedangkan hak melekat pada pribadi. Untuk melaksanakan suatu tugas akan tergantung pada capability atau ability yang berfungsi secara memadai untuk melaksanakan suatu tugas atau suatu tanggung jawab (responsibility). Hasil hubungan antara responsibility dengan capability ini adalah suatu accountability atau suatu pertanggungjawaban.29

Setiap orang pada umumnya harus bertanggung jawab atas segala tindakan atau perbuatannya. Pengertian orang ini termasuk pula suatu rechtspersoon. Orang dalam artian yuridis adalah setiap orang yang mempunyai wewenang hukum, yang artinya adalah kecapakan untuk menjadi subyek hukum, atau sebagai pendukung hak dan kewajiban, maka untuk itu terlebih dahulu harus ditentukan dulu status seseorang dalam suatu hubungan hukum.30

Hubungan hukum mencerminkan adanya kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang melakukan hubungan hukum, ada kehadiran hukum akan berfungsi untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan kepentingan tersebut agar tidak saling bertubrukan (conflit of interest). Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Kekuasaan yang diberikan oleh hukum itu disebut sebagai hak. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang sangat erat, yang satu akan mencerminkan yang lain. Di satu sisi hak dan di sisi lainnya akan terlihat adanya kewajiban.31

29

Soehardi Sigit, 2008, Pengorganisasian, Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 25 -28.

30

Ali Chidir, 2007, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 7. 31

Satijipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 53.


(50)

31

Pasal 1365 KUH Perdata dikandung ajaran tentang tanggung jawab,

seperti dalam rumusan sebagai berikut: ”Setiap orang bertanggung jawab tidak

saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

Pasal 1365 KUH Perdata di atas, menunjukan bahwa dalam KUH Perdata dikenal ada 2 (dua) jenis tanggung jawab, yaitu :

a. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan, artinya seseorang dapat dimintai pertanggung jawaban atas kesalahan yang telah diperbuatnya dan akibat kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain;

b. Tanggung jawab berdasarkan risiko, artinya seseorang dapat dimintai pertanggung jawaban atas kerugian yang diderita oleh orang lain bukan karena kesalahan yang bersangkutan, melainkan sebagai resiko yang ditanggungnya karena kesalahan orang lain dan orang tersebut adalah menjadi bawahannya atau menjadi tanggungnya, atau dalam pengawasannya.

Tanggung jawab karena kesalahan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 1367 KUH Perdata merupakan bentuk klasik pertanggung jawaban perdata.

1.5.1.5. Teori Hukum Pembuktian

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam proses Hukum Acara Pidana. Akan berakibat fatal jia seseorang yang didakwakan melakukan tindak pidana namun setelah dibuktikan melalui proses pembuktian dipersidangan, ia tidak terbukti bersalah. Untuk menghindari hal seperti itu Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari dan menemukan atau paling tidak agar mendekati kebenaran materill. Menurut Ansorie Abuan bahwa pembuktian ini adalah merpakan masalah yang pelik (ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian


(1)

71 Etika merupakan cabang filsafat yang membahas tentang nilai dan norma moral yang mengatur perilaku manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok dan institusi di dalam masyarakat. Oleh karena itu etika merupakan ilmu yang memberikan pedoman norma tentang bagaimana hidup manusia diatur secara harmonis, agar tercapai keselarasan dan keserasian dalam kehidupan baik antar sesama manusia maupun antar manusia dengan lingkungannya, juga mengatur tata hubungan antara institusi di dalam masyarakat dengan institusi lain dalam sistem masyarakat dan environment (lingkungannya).88 Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan dipergunakannya etika dalam pergaulan antar masyarakat pada hakikatnya agar tercipta suatu hubungan yang harmonis, serasi dan saling menguntungkan.

Notaris sebagai salah satu element manusia harus memperhatikan etika dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya, sehingga Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dengan penuh tanggung jawab dengan menghayati keluhuran martabat jabatannya dan dengan keterampilannya melayani kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu mengindahkan ketentuan undang-undang, etika, ketertiban umum dan berbahasa Indonesia yang baik oleh Notaris juga memerlukan suatu Kode Etik Notaris.89

Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Kode Etik Notaris 2015, hasil Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia, Banten, 29-30 Mei 2015, pengertian Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan

88

Ibid, hal. 66 89

Putri A.R., 2015, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Indikator Tugas-Tugas Jabatan Notaris yang Berimplikasi Perbuatan Pidana, Sofmedia, Jakarta, hal.5.


(2)

72 disebut ”perkumpulan” berdasarkan keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti pada saat menjalankan jabatan.

Hardjo Gunawan berpendapat bahwa ada beberapa alasan diperlukannya kode etik profesi, yaitu :

1. Kode etik profesi dipakai sebagai sarana kontrol sosial

2. Kode etik profesi mencegah pengawasan ataupun campur tangan dari luar terhadap intern perilaku anggota-anggota kelompok profesi tersebut, karena nilai-nilai etika;

3. Kode etik profesi penting untuk pengembangan patokan kehendak yang tinggi dari para anggota kelompok profesi tersebut yakni meningkatkan tingkat profesioanlismenya guna peningkatan mutu pelayanan yang baik dan bermutu kepada masyarakat umum yang membutuhkan jasa pelayanan mereka.90

Adanya Kode Etik dalam kalangan Notaris, pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik itu perlu dilakukan dengan cara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 Kode Etik dalam Kongres Luar Biasa INI Tahun 2015, yaitu :

1. Pada tingkat Kabupaten/Kota oleh Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah.

2. Pada tingkat Propinsi oleh Pengurus Wilayah dan Dewan Kehormatan Wilayah.

90


(3)

73 3. Pada tingkat Nasional oleh Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat.

Berdasarkan Pasal 9 Kode Etik dalam Kongres Luar Biasa INI Tahun 2015, dalam rangka penegakan Kode Etik dilakukan pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dalam hal :

1. Dewan Kehormatan Daerah/Dewan Kehormatan Wilayah/Dewan Kehormatan Pusat setelah menemukan fakta dugaan Pelanggaran Kode Etik sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 di atas, selambat-Iambatnya dalam waktu 14 (empat belas) han kerja Dewan Kehormatan yang memeriksa wajib memanggil secara tertulis anggota yang bersangkutan untuk memastikan terjadinya Pelanggaran Kode Etik oleh anggota perkumpulan dan membenikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk membenikan penjelasan dan pembelaan. Pemanggilan tersebut dikinimkan selambat-Iambatnya 14 (empat belas) han kerja sebelum tanggal pemeniksaan.

2. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak hadir pada tanggal yang telah ditentukan, maka Dewan Kehonmatan yang memeniksa akan memanggil kembali untuk yang kedua kali selambat-Iambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah pemanggilan pertama.

3. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak hadir pada pemanggilan Kehormatan yang memeriksa akan memanggil kembali untuk yang lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah pemanggilan kedua.

4. Apabila setelah pemanggilan ketiga (3) ternyata masih juga tidak hadir, maka Dewan Kehormatan yang memeriksa tetap bersidang dan


(4)

74 menentukan keputusan dan/atau penjatuhan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Kode Etik.

5. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dibuat berita ditandatangani oleh anggota yang bersangkutan dan Dewan Dalam hal anggota yang bersangkutan tidak bersedia pemeriksaan, maka berita acara pemeriksaan cukup ditandatangani oleh Dewan Kehormatan yang memeriksa.

6. Dewan Kehormatan yang memeriksa, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal sidang terakhir, diwajibkan untuk mengambil keputusan atas hasil pemeriksaan tersebut sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggarnya apabila yang terbukti ada pelanggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 Kode Etik dituangkan dalam Surat Keputusan.

7. Apabila anggota yang bersangkutan tidak terbukti melakukan Pelanggaran, maka anggota tersebut dipulihkan namanya dengan Surat Keputusan Dewan Kehormatan yang memeriksa.

8. Dewan Kehormatan yang memeriksa wajib mengirimkan Surat Keputusan tersebut kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah.

9. Dalam hal keputusan Sanksi diputuskan oleh dan dalam Kongres, waib diberitahukan oleh Kongres kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan


(5)

75 Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah.

10.Pemeriksaan dan pengambilan keputusan sdang, Dewan Kehormatan yang memeriksa harus:

a. Tetap menghormati dan menjunjung tinggi martabat anggota yang bersangkutan;

b. Selalu menjaga suasana kekeluargaan; dan c. Merahasiakan segala hal yang ditemukannya.

11.Sidang pemeriksaan dilakukan secara tertutup, sedangkan pembacaan keputusan dilakukan secara terbuka.

12.Sidang Dewan Kehormatan yang memeriksa sah jika dihadiri oleh lebih dari ½ (satu per dua) jumlah anggota. Apabila pada pembukaan sidang jumlah korum tidak tercapai, maka sidang diundur selama 30 (tiga puluh) menit. Apabila setelah pengunduran waktu tersebut korum belum juga tercapai, maka sidang dianggap sah dan dapat mengambil keputusan yang sah.

13.Setiap anggota Dewan Kehormatan yang memeriksa mempunyai hak untuk mengeluarkan satu suara.

14.Apabila pada tingkat kepengurusan Daerah belum dibentuk Dewan Kehormatan Daerah, maka tugas dan kewenangan Dewan Kehormatan Daerah dilimpahkan kepada Dewan Kehormatan Wilayah.

Dewan Kehormatan Daerah dalam rangka penegakan Kode Etik atau melimpahkan tugas kewajiban dan kewenangan. Dewan kehormatan Daerah kepada kewenangan Dewan Kehormatan Daerah terdekat dari tempat kedudukan


(6)

76 atau tempat tinggal anggota yang melanggar Kode Etik tersebut. Hal tersebut berlaku pula apabila Dewan Kehormatan Daerah tidak sanggup menyelesaikan atau memutuskan permasalahan yang dihadapinya.

Terhadap hal tersebut di atas, berdasarkan Pasal 6 Kode Etik dalam Kongres Luar Biasa I.N.I Tahun 2015 maka sanksi yang dapat dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa :

1. Teguran; 2. Peringatan;

3. Pemberhentian sementara dan keanggotaan Perkumpulan;

4. Pemberhentian dengan hormat clan keanggotaan Perkumpulan; dan 5. Pemberhentian dengan tidak hormat dan keanggotaan Perkumpulan.

Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik disesuaikan dengan kwantitas dan kwalitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.