Klasifikasi Di luar kota Tanjung Pura ada sebuah tempat di Kerangka Teori Dalam membicarakan fungsi dan kedudukan cerita

❏ Ismed Nur Folklor Batu Belah dan Persoalan Jender LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008 Halaman 74 bapak pun memutuskan untuk pulang saja ke rumahnya. Pada saat yang bersamaan, di kediaman si bapak tersebut, isterinya sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Kerepotan itu bertambah karena kedua anaknya sebentar-sebentar merengek eminta keperluannya. Si ibu sangat memanjakan kedua anak itu sehingga betapa pun repotnya, ia tetap memenuhi kebutuhan kedua anaknya itu.sampai suatu kali, ketika si ibu sedang mencuci pakaian, anak yang besar meminta makan. Karena si ibu merasa tidak bias meninggalkan pekerjaannya, ia menyuruh si anak untuk mengambil saja nasi yang sudah ditanak di belanga. Si anak pun menuruti kata si ibu, tetapi sewaktu si anak hendak mengambil lauk teman makannya ia tidak menemukan apa-apa di atas meja makan. Ia pun merengek kembali kepada ibunya. Si ibu yang masih sangat repot itu pun menyuruh si anak untuk mengambil belalang yang disimpan suaminya di lumbung padi mereka. Si anak pun mengikuti suruhan ibunya, ia menuju lumbung padi yang semasa paceklik dalam keadaan kosong dan di situlah bapaknya menyimpan belalang sebagai persiapan menghadapi paceklik. Akan tetapi, ia masih sangat kanak-kanak, ia tidak berhati-hati membuka pintu lumbung sehingga belalang yang sudang dikumpulkan bapaknya dengan susah payah beterbangan tak tersisa seekor pun. Tidak berapa lama antaranya si bapak pun tiba di rumah itu. Dalam keadaan kelaparan si bapak segera saja mencari nasi yang sudak ditanak isterinya. Begitu juga ketika ia tidak mendapatkan lauk di atas meja, ia pun segera menuju lumbung tempat ia menyimpan belalang yang dikumpulkannya. Alangkah terkejutnya dia ketika di tempat itu tak seekor belalang pun ditemukannya. Karena letih dan lapar ditambah rasa dongkol karena tidak memperoleh hasil buruan, ia pun mudah sekali kalap. Dicarinya sang isteri, ditemukannya sang isteri sedang mencuci. Diseretnya sang isteri tersebut, kemudian dipukulinya, tidak puas sampai di situ saja ia memotong kedua payudara isterinya untuk kemudian dipanggang untuk menjadi teman makan nasinya. Dalam keadaan berlumuran darah dan kesakitan yang luar biasa, sang isteri tertatih-tatih pergi meninggalkan rumah. Kedua anaknya sambil menangis mengikuti ibunya dari belakang. Si abang menggendong adiknya yang masih kecil itu. Si ibu masih terus melangkah menuju sebuah tempat yang dikenal masyarakat sebagai Batu Belah. Tempat tersebut berada di tengah-tengah persawahan, berupa batu yang sangat besar. Batu tersebut menelan siapa saja yang mau menjadi korbannya. Dalam keadaan yang putus asa si ibu menghadapi batu tersebut. Dari mulutnya keluarlah nyanyian dengan kata-kata,”Batu belah, batu bertangkup, sudah tiba janji kita masa yang lalu.” Kata-kata itu dinyanyikannya dengan suara lirih berkali-kali. Tak lama antaranya, belahan batu tersebut merekah dan terbuka. Tanpa ragu- ragu wanita malang itu masuk ke dalamnya. Kedua anaknya menyaksikan dari kejauhan dengan menjerit-jerit agar ibunya tidak meninggalkan mereka. Namun, ibunya yang sudah terluka lahir batin itu tetap pada pendiriannya. Perlahan-lahan batu itu pun menutup, menelan sang ibu malang. Sesudah batu itu tertutup, tempat itu pun kembali seperti sediakala tanpa sesuatu pun yang tersisa. Si anak hanya bisa menemukan beberapa helai rambut ibunya dari sela-sela batu. 2. KLASIFIKASI DAN KERANGKA TEORI

2.1 Klasifikasi Di luar kota Tanjung Pura ada sebuah tempat di

tengah-tengah persawahan terdapat sebuah batu besar yang disebut sebagai “Batu Belah”. Begitu juga seperti yang dikemukakan oleh Danandjaja 1986:66, kira-kira 35 kilometer di luar kota Takengon ada sebuah tempat yang diceritakan dalam cerita rakyat. Dalam kesusasteraan cerita semacam itu digolongkan sebagai legenda legende. Cerita Batu Belah tergolong sebagai legenda legende. Hooykaas 1952:123 menyebutkan bahwa legende adalah dongeng tentang sesuatu kejadian berhubungan dengan agama, dengan seorang yang taat, atau dengan seorang yang mengembangkan agama. Di samping itu, Fang 1991:4 menyebutkan cerita-cerita seperti itu sebagai cerita asal-usul. Cerita asal-usul seperti cerita penciptaan bumi, matahari, bulan, dan manusia pada masyarakat Batak, asal mulanya tanaman dan binatang pada masyarakat Melayu, dan asal-usul tempat pada masyarakat Melayu. Sementara itu, Danandjaja 1986:66 menyebutkan bahwa legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi.

2.2. Kerangka Teori Dalam membicarakan fungsi dan kedudukan cerita

rakyat dalam masyarakat dari aspek literernya pendekatan yang paling sesuai adalah sosiologi sastra. Ada sebuah paradigma yang dibangun oleh pendekatan ini, yaitu bahwa sastra dikemas dari material sebuah masyarakat, yakni ras, waktu, dan lingkungan, seperti yang dikemukakan oleh Hippolyte Taine dalam Suwondo, 2003:23. Baginya sastra bukanlah sekadar permainan imajinasi yang pribadi sifatnya, tetapi merupakan rekaman tata cara zamannya. “Paradigma” Taine ini dikenal dengan kritik genetik dan ia adalah ❏ Ismed Nur Folklor Batu Belah dan Persoalan Jender LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008 Halaman 75 pelopornya. Agak berbeda halnya dengan penerusnya Lucien Goldmann dalam Teeuw, 1984:152-153 yang berpegangan struktur teks karya sastra tersebut karena baginya sosiologi sastra tidak bertentangan dengan aliran strukturalis. Walaupun Goldmann dengan teori strukturalisme genetik tersebut terlihat lebih ilmiah, tetapi dalm pembicaraan ini agaknya teori yang dikembangkan Taine lebih tepat digunakan pada cerita rakyat yang bermula dari tradisi lisan. Selanjutnya juga disebutkan bahwa sastra selalu menyesuaikan atau disesuaikan dengan cita rasa masyarakat tempat karya sastra itu lahir. Hubungan sastra dengan masyarakatnya tak dapat dipisahkan dalam crita rakyat karena peranan sastra dalm kehidupan masyrakat besar sekali pada masa tradisi lisan tersebut merupakan sesuatu yang keberadaannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Cerita rakyat menurut William R. Bascom dalam Danandjaja, 1986: 19sekurang-kurangnya memiliki empat fungsi, yakni: a. Sebagai sistem proyeksi atau percermin angan-angan suatu kolektif; b. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; c. Sebagai alat pendidikan anak; dan d. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma akan selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya.

3. PEMBAHASAN