Latar Belakang M asalah

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang M asalah

Pluralism e dalam kajian keagam aan m empunyai banyak pengertian, t inggal dari sudut apa pluralism e it u didefinisikan. M isalnya, pluralism e seringkali disetarakan dengan ist ilah “ kerukunan” , “ t oleransi” , atau “ hubungan dialogis” . M eski dalam kajian sosiologis, dapat diart ikan dengan “ kerukunan” , “ toleransi” , atau “ hubungan dialogis” , t et api dalam kajian keagam aan at au t eologia, pluralism e diart ikan dengan pelet akkan kebenaran agam a dalam posisi paralel at au sejajar. Berdasarkan sudut pandang ini, pluralisme sering bertukar m akna dengan istilah paralelism e, karena paralelism e juga dim aknai sebagai usaha untuk m endudukkan agam a-agam a secara sejajar dalam pencarian kebenaran dan t it ik-t it ik padanan dan pertem uan ant ar agam a. 1 Berdasarkan pengertian t ersebut, yaitu pert em uan ant ara agam a, di m ana sem ua kebenaran agama diletakkan secara paralel, m aka kebenaran agam a m enjadi relat if dan t ergant ung pemeluknya. Dengan dem ikian, paralelism e m elet akkan sem ua agam a dianggap sebagai jalan w ashilah yang 1 Armada Riyanto CM , Dialog Int erreligius, Yogyakarta: Kan isius, 2010, h lm . 240 2 berbeda, tetapi m em punyai subst ansi yang sam a, yakni mengabdi kepada Tuhan. Oleh sebab itu, agam a dianggap sebagai jalan yang dihasilkan dari gejala em piris pengalam an kesejarahan m anusia. Sedangkan dit injau dari sudut perennial, agam a dipaham i sebagai suat u jalan yang sah m enuju realit as ket uhanan. 1 Berangkat dari pem ikiran yang m enyat akan, bahw a agam a adalah gejala em piris m anusia, m aka kebenaran agam a, t erlet ak pada validit as kebenaran yang hanya tergant ung dari fungsi pragm at ism e. Apabila agam a t idak m enghasilkan fungsi pragm at isnya, m aka agam a dapat at au boleh diubah disesuaikan dengan fungsi pragm at ism e. Adapun yang dim aksudkan dengan “ fungsi pragm atis” adalah fungsi agam a dalam kehidupan nyat a m anusia. Bilam ana agam a t idak dapat m elayani kehidupan pragm at is m anusia, at au justru dianggap sebaliknya, yait u sebagai pengganggu, m aka klaim kebenaran trut h claim agam a perlu “ ditinjau kembali” , “ diragukan” , “ dikrit isi” apabila diperlukan agam a dapat diubah m enjadi agam a yang sesuai dengan kebutuhan m anusia. Oleh karena agam a m erupakan fungsi pragm at is, m aka diperlukan “ pem ikiran-pem ikiran segar” untuk m engat asi “ kekolotan” agam a. 1 1 Syam suddin Arif, Orient alis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani Press, 2008, h lm . 70. 1 Pandangan agama Islam yan g hanif d igambarkan dengan sosok pesant ren , sarung, kolot , jumud dan ket inggalan zaman leb ih banyak tergambar lewat karya sastra. Hal ini dapat dilih at dari buku karangan M ahbub Jamaluddin, Pangeran Bersarung Yo gyakarta: LkiS, 2005, hlm . 381 3 Untuk m engatasi kekolot an t ersebut, m aka diperlukan standar unt uk m enent ukan kebenaran pragm at is m anusia bukan dari agam a it u sendiri, m elainkan dari nilai-nilai “ obyektif” dan bersifat “ universal” . Hal it u dapat dilihat sepert i dalam paham hum anisme, liberalism e, sekularisme yang seringkali dim odifikasikan dengan istilah “ dem okratisme” . Ideologi dem okrastism e m eski dapat dikat akan suatu paham yang dit erim a oleh ham pir seluruh bangsa-bangsa saat ini, tet api ist ilah ini t idak cukup diart ikan secara polit is sem at a, sepert i ist ilah m et ode pem ilihan seorang pem impin. Lebih dari itu dem okrat ism e yang dikait kan dengan agam a, m aka “ demokrasi” m em punyai makna yang lebih luas, m eliput i “ pem ikiran gagasan” , “ nilai” , “ ideologi” sam pai “ karakt er” personal. Sehingga demokrasi dapat diartikan kesediaan untuk berkomprom i, kesediaan m enerim a pendapat orang lain, dan dapat diklaim sebagai cara hidup, m aupun t oleransi. 1 Konsep dasar demokrasi yang meliputi ajaran yang m elet akkan kebebasan m anusia dalam m enentukan pilihannya, sebagai suatu “ nilai” , m aka demokrasi dapat dikat akan sebagai sebuah anjuran moral untuk m em berikan ruang bagi orang lain untuk m engembangkan potensi pribadinya. Sebagai ideologi, dem okrasi sebagai sebuah paham yang m em berikan m anusia dalam 1 Fuad Fachruddin, Agama Dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman M uhammadiyah Dan Nahdlatul Ulama, Jakarta: Pustaka Alvabet , 2006, h lm . 27 4 m engekspresikan diri, dan sebagai karakt er. Berdasarkan pada pem aham an t ersebut , m aka dem okrasi sering dim aknai dengan ket erbukaan diri selebar- lebarnya untuk menerim a pendapat at au gagasan dari luar. Sehingga, m akna “ demokrasi” m enjadi bert um pang t indih dengan ist ilah “ liberalism e” at aupun “ inklusivism e” . 1 M enurut Francis Fukuyam a dalam “ The End of Hist ory” , sepert i dikut ip Adian Husaini, yang m enyat akan, bahw a di tengah iklim global, maka sem ua agam a harus m enyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang dit er im a secara universal t ersebut. Dengan kat a lain kem enangan “ demokrasi” dapat dijadikan diklaim sebagai ideologi final. Dalam m akalahnya, Fukuyam a, m encat at , bahwa set elah Barat m enaklukkan rival ideologisnya, m onarkhi heredit er, fasism e, dan komunisme, dunia telah m encapai konsensus yang luar biasa t erhadap demokrasi liberal. Ia berasum si, bahw a demokrasi liberal adalah sem acam tit ik akhir dari evolusi ideologi at au bent uk final dari bent uk pem erintahan. 2 Fukuyam a sebagaim ana dikut ip Adian Husiani m enyorot dua kelompok agam a yang m enurut nya sangat sulit m enerim a dem okrasi, yait u Yahudi Ort odks dan Islam Fundam ent alis. Keduanya disebut sebagai “ t ot alist ic 1 M asdar Hilm y, dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Eksemplar M oderatisme Islam Indonesia Refleksi dan Ret rospeksi atas M oderat isme NU dan M uhammadiyah , dalam sit us resm i Pascasarjana IAIN Sunan Ampel ht tp : pasca.sunan-ampel.ac.id ?p=1694, d iakses 27 April 2012 2 Francis Fukuyam a, The End of Hist ory and th e Last M an, h lm . xi d alam Ad ian Husaini, Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemon i Krist en Ke Dom inasi Sekular-Liberal, Jakart a: Gem a In sani, 2005, h lm . 79-80. 5 religions ” yang ingin m engat ur sem ua aspek kehidupan, baik yang bersifat pribadi, publik, m aupun w ilayah polit ik. M eskipun agam a-agam a it u dapat m enerim a demokrasi, t et api sangat sulit m enerim a liberalism e, khususnya t ent ang kebebasan beragam a. 1 Oleh karena itulah, agam a harus dapat diselaraskan dengan kehidupan m odern. Apabila t idak, m aka akan t erjadi keterbelakangan atau m unculnya m asalah-m asalah baru, karena bagaim ana pun juga, dogmatika agam a t idak m ungkin bert ahan m enghadapi gelombang pluralit as nilai yang diakibatkan oleh sem akin rekat nya komunikasi dan hubungan interpersonal, lintas bangsa, agam a dan ras. Dari logika ini m aka sem ua agam a hendak digiring ke arah suprem asi t eologi global. 2 Dengan globalisasi, m aka batas geografis, kultural, religi, dan kebangsaan sem akin dekat dan m erekat . Dengan m erekatnya hubungan m anusia, m aka diperlukan sebuah ideologi tunggal yang diharapkan m ampu at au dapat m enyatukan seluruh um at m anusia. Sehingga diperlukan nilai-nilai yang bersifat hum anis, dan dapat m enjadi ide yang disepakati oleh semua m anusia dalam beragam agam a dan kultur bangsa di dunia. 1 Ad ian Husaini, W ajah Peradaban Barat, hlm . 82 2 An is M alik Thaha, Tren Pluralisme Agama, Jakart a: Perspekt if, 2005, hlm . 141 6 Dalam nalar atau pem ikiran seperti di at as, m aka akan dapat dit em ukan logika “ paralelitas” semua agam a. Paralelit as m enempat kan semua agam a dilet akkan secara sejajar, dan sam a-sam a mem punyai kew ajiban unt uk m elakukan penyesuaian, apapun itu agam anya. Dalam paham paralelisme, m enyebut kan bahw a tidak ada agam a yang lebih unggul atau pun lebih t erbelakang daripada yang lainnya, “ kebenaran” sebuah agam a dikembalikan kepada “ m ent alit as” um at nya. Apabila um m atnya m em punyai m entalit as yang selaras dengan kehidupan modernit as, m aka dapat dikatakan dengan “ m aju” , apabila t idak, m aka dikat akan dengan “ ket erbelakangan” , “ jumud” , “ kolot” , dan beragam ist ilah lainnya. Dengan m emunculkan logika seperti ini yang pada akhirnya akan m elat arbelakangi munculnya pluralism e teologi global. Teologi global m embangun basis ideologisnya pada “ fakt a” sosiologis. Pluralitas dan t eologi global sepert i diuraikan di at as, m aka kehidupan m asyarakat besert a interaksi di dalam nya m au t idak m au akan mengalam i perubahan yang sangat m endasar. Dengan dialam inya perubahan dalam hubungan int eraksi m anusia, m aka diperlukan juga perubahan pada basis dogm atika keagam aan. Dogm at ika keagam aan, t idaklah m engendalikan perubahan m asyarakat . M elainkan sebaliknya, perubahan m asyarakat it ulah yang sem est inya m em pengaruhi perubahan pada dogm at ika. 7 Berdasarkan uraian di at as, dapat ditarik kesimpulan bahw a ham pir sem ua pem ikiran keagam aan yang dijadikan w acana alternat if, m em punyai logika yang hampir sam a, dari pem ikiran M oham m ed Abid Al-Jabiri sam pai M oham m ed Arkoun. Al-Jabiri dan Arkoun menyuguhkan bahw a realit as kehidupan m anusia yang m enent ukan dogm atika, sehingga perubahan pada level realit as sosial kem asyarakatan hendaknya m am pu m erombak pada level dogm atika aspek norm ativit as. Sasaran krit ik dari para pem ikir liberal keagam aan tersebut, yakni dengan m elakukan krit ik epist em ologis, at au pada level paradigm a pengetahuan at au pola fikir. Beberapa hal yang m enjadi fokus krit ik Al-Jabiri dan Arkoun m asih seputar m asalah pola pikir ist idlal, yait u pola pikir yang m elet akkan validit as kebenaran yang berpedoman pada “ t eks” yang bersifat tetap. Sedangkan krit ik serupa juga dilakukan oleh Hassan Hanafi, bahw a kont ekslah yang sem estinya m endahului t eks. Krit ik Hasan Hanafi m engandung pengert ian bahw a realit as kehidupan m anusia sangat m enent ukan, bagaim ana suatu norm at ivitas t erbangun. Bukan sebaliknya, realitas harus dinilai dan diat ur berdasarkan norm at ivit as yang terbakukan 8 dalam bent uk teks. Dengan dem ikian, pem ikiran yang dikembangkan oleh Hasan Hanafi ini dikenal dengan konsepsi konteks m endahului t eks. 1 Kajian terhadap pem ikiran t eologi global di dunia Barat dapat dilihat dari t eori shift ing paradigm , sebuah konsep filsafat ilm u yang dikembangkan oleh Thom as Kuhn, sebagai dasar w acana dekonst ruksi keagam aan. Teori shifting paradigm , yang m enyat akan bahw a suatu paradigm a penget ahuan m anusia akan selalu m engalam i perubahan apabila t erjadi beberapa anom ali. Dengan dem ikian, m aka diperlukan paradigm a alternat if yang akan m enggant ikan paradigm a lam a dan dapat m enjawab anom ali yang terdapat dalam paradigm a lam a t ersebut . 2 Dalam konsep t eologi global, konsepsi shif ting paradigm , hendak m engatakan bahw a norm at ivitas yang dibangun dalam lem baga keagam aan adalah paradigm a lam a yang banyak m enemukan anom ali-anom ali pada t ingkat realit as, sehingga m emerlukan paradigm a alternatif yang akan m enggant ikan paradigm a lam a. Paradigm a alt ernat if t ersebut diharapkan dapat menjaw ab anom ali-anom ali yang dit em ukan dalam paradigm a lam a. Atau dapat dikat akan bahw a paradigma lam a t idak akan m am pu m enjaw ab t unt ut an zam an global, karena paradigm a lama hanyalah paradigm a yang 1 Budhy M unawar-Rachman , Argumen Islam Unt uk Liberalisme, Jakarta: Grassindo, 2010, h lm . 95. 2 Lin da Sm ith William Raeper, Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang, Yo gyakarta: Kan isius, 2000, h lm . 246-247. 9 dianut sebagai sebuah paradigm a yang hanya m am pu m enjaw ab t unt ut an zam annya, yaitu zam an pert engahan. Sedangkan pada iklim globalisasi, dengan kehidupan yang jauh berbeda dengan zam an pert engahan, m em erlukan paradigm a t erbaru yang sesuai dengan kehidupan m asyarakat global. Apabila dalam paradigm a lam a, klaim kebenaran m asih diperlukan atau tidak m enjadi sebuah anom ali, t et api dalam iklim global, klaim kebenaran akan m enjadi sebuah anom ali besar, sehingga perlu ditafsirkan ulang, dikrit isi, at au m ungkin dihilangkan dalam paradigm a berfikir yang baru. Logika dalam t eologia global bertent angan dengan logika sophia perennial , padahal keduanya m erupakan logika yang dikembangkan oleh penganut pluralism e. Dalam t eologi global m elet akkan pentingnya pergeseran nalar keagam aan yang disesuaikan dengan tuntutan zam an. Sedangkan sophia perennial tidak berlandaskan pada logika sosio-hist oris di atas, m elainkan berlandaskan pada landasan filosofis m etafisis yang lebih bersifat spekulat if . Yang dim aksudkan dengan landasan filosofis adalah landasan yang t erbangun untuk m enemukan hakikat sesuat u, t erutam a yang berada di balik gejala keagam aan m et afisis. Karena hanya berdasarkan pada “ kearifan hati” yang bersifat abstraks, t anpa diikuti dengan proses penalaran kognit if atau bukt i 10 em piris, m aka m et ode yang dipakai oleh para penganut sophia perennialis, m enurut hem at penulis, bersifat spekulat if. Sophia perennialis m engembangkan sebuah argum entasi pluralism e adalah dengan m engem balikan setiap pengalam an keagam aan, dengan pengalam an yang bersifat suci, m enggetarkan hat i, m enyent uh, dan sangat berm akna, sert a t idak dapat t ergam barkan dalam bahasa, tetapi dapat diekspressikan m elalui sikap lahir. “ Pengalam an Yang Suci” m erupakan unsur t er tinggi dalam agama, dan terdapat dalam semua agam a. Pengalam an yang suci tersebut adalah pengalam an bertem unya seorang pribadi dengan “ Yang Real” , di m ana pengalam an pribadi-pribadi m anusia dengan “ Yang Real” diw ujudkan dalam ekspressi luar yang selanjut nya disebut dengan istilah eksoteris. Sedangkan aspek kedalam an bat in at au pengalam an bert em unya seorang pribadi dengan “ Yang Real” yang bersifat pribadi disebut dengan ist ilah esoteris. 1 Pem ikiran sophia perennialis di atas, dapat dit em ukan dalam pemikiran dikem bangkan oleh Seyyed Hossein Nasr. Nasr berpandangan, bahw a ia t idaklah m engikuti arus m odernisasi, namun bert indak sebaliknya dengan m enolak arus m odernisasi dan globalisasi yang m ereka anggap t elah 1 Bu dhy M unaw ar-Rachman, Argumen Islam Unt uk Pluralisme, h lm . 194. 11 m engetepikan agam a dan m enjauhkan set iap pribadi m anusia dengan “ Yang Real” . 1 Sesungguhnya, ant ara teologi global dengan sophia perennial, t erdapat perbedaan yang cukup m endasar. Nam un, kedua jenis konsep tersebut dapat “ disatukan” dalam sebuah pem ikiran pluralism e dengan m et ode eklekt if. Teologi global dan sophia perennial dapat disat ukan dalam pemikiran pluralism e sebagaim ana penyat uan berbagai paham filsafat yang saling bert entangan ant ara sat u dengan yang lainnya. Sehingga kontradiksi yang ada di dalam aliran filsafat t ersebut m enjadi t idak t erlihat , bahkan seakan saling m endukung ant ara sat u dengan lainnya. M etode penyatuan beberapa paham filsafat m eski bert ent angan dalam satu bent uk pem ikiran ut uh, dinam akan dengan metode eklektif. M etode eklektif ini banyak digunakan oleh para pem ikir Islam , sepert i Hassan Hanafi dan M oham m ed Arkoun, di mana pem ikiran kedua t okoh ini juga dikembangkan oleh Am in Abdullah. Di samping it u, Am in Abdullah juga mengembangkan konsep pluralisme. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa t ulisan yang m engembangkan dua pola nalar pluralism e. Dalam sat u tulisan, Am in Abdullah m enulis tentang kajian “ ont ologis m etafisis keagam aan” , yang m engambil logika “ sophia perennial,” 2 1 Emanu el Wo ra, Perenialisme: Krit ik atas M odernisme Post modernisme, Yo gyakarta: Kan isius, 2006, hlm . 71 2 Sebagaimana dapat d ilihat dari t ulisan Am in Abdullah dalam buku Studi Agama: Normat ivit as Atau Historisit as? , Yogyakarta: Pu staka Pelajar, 2011, h lm . 35 12 t et api dalam tulisan-tulisan lainnya, ia banyak menyajikan banyak logika yang lazim dipakai oleh para pem ikir dar i pengembang teologia global, sepert i John Hick dan W illfred C. Sm it h. 11 Berdasarkan beberapa konsep dan pem ikiran Am in Abdullah yang diuraikan di at as, m aka m enurut hem at penulis m engkaji pem ikiran Am in Abdullah cukup menarik. Dalam m engkaji pem ikiran Am in Abdullah ini, penulis m elakukan kajian t ent ang hubungan dua bentuk pem ikiran pluralism e, yaitu sophia perennialis dan t eologia global, dalam sat u konstruks pemikiran keislam an Am in Abdullah, t erut am a yang dikembangkan dalam “ Jaring-jaring Laba-laba” .

B. Perumusan M asalah