KHAZANAH PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM PERSPEK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Teologi (tauhid) adalah salah satu bidang keilmuan istimewa yang ada dalam
khazanah keilmuan Islam—yang komprehenship-universal itu—bersandingan dengan
fikih (yurispudensi Islam), filsafat, tasawuf (mistisisme), dan lain sebagainya. Kalau
dilihat dari signifikansinya, dapat dikatakan bahwa teologi merupakan puncak dari
segala ilmu Islam sebab ia berkenaan langsung dengan Tuhan, di samping tasawuf.
Signifikansi ini bisa kita lacak dari etimologi dari terma teologi itu sendiri. Teo itu
berarti Tuhan, logi (logos) berarti ilmu; ilmu ketuhanan.
Teologi, tauhid, atau ilmu kalam merupakan bidang kajian ilmu yang akan
selalu menarik dan khas untuk dibahas. Menarik karena ia dikaji di abad modern,
sementara khazanah teologi Islam sudah berkembang sejak lama. Maka ia semakin
menarik, untuk kemudian bagaimana bisa kita mengkonteksualisasikan dengan zaman
kekinian, terutama menyangkut relevansi dan signifikansinya. Dikatakan khas, karena
teologi Islam berbeda dengan teologi-teologi pada agama lain. Teologi Islam begitu
kaya dan beragam. Dan inilah yang akan menjadikan Islam sebagai sebuah agama
dengan kekayaan pemikiran bagi peradaban Islam itu sendiri maupun dunia.
Selain Ahlusunnah (Sunni), dalam pemikiran teologi kita akan menemukan
ragam pemikiran teologi lain, beberapa di antaranya adalah Syi’ah, Khawarij,

Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah, dan lain-lain. Dalam tulisan ini, saya hanya akan
membahas teologi Islam dalam kaca mata Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah.

1

Sebelum beranjak pada pembahasan lebih lanjut mengenai ketiga pemikiran
teologi tersebut. Ada persoalan serius yang hingga dewasa ini, masih menyisakan dan
rentan memicu konflik dan disintegrasi, yakni eksklusivisme dan fanatisme. Bisa kita
bentangkan, bahwa pluralitas pemikiran teologi dalam sejarah pemikiran dan
peradaban Islam, itu belum—untuk enggan mengatakan tidak sama sekali—dijadikan
sebuah kekayaan dan anugerah tersendiri untuk menyemai persatuan dan
kebersamaan dalam keberagaman dan perbedaan.
Pluralitas dan perbedaan dalam ranah pemikiran teologi sekte per sekte, telah
menjadi catatan sejarah tersendiri dimana umat menjadi sasaran amuk eksklusivisme
dan fanatisme tersebut. Saya ambil satu contoh misalnya Mu’tazilah, sebagai sekte
dalam teologi yang punya kecenderungan rasional. Mu’tazilah dengan teologi
rasionalnya, telah dianggap sesat dan kafir oleh sekte lain; non-Mu’tazilah. Dan
celakanya, dari awalnya pemikiran teologi yang murni dari eksplorasi intelektual,
lambat laun digiring ke arah politik kekuasaan dan mazhab Negara.
Demikianlah barangkali, problem kita hari ini dan masa depan, yakni

pluralitas pemikiran dalam teologi dalam sejarah peradaban Islam yang hanya
dijadikan memperpanjang ekslusivisme dan fanatisme; teologi saya-lah benar yang
lain sesat dan kafir. Selanjutnya, tentang politisasi teologi ke arah politik dan mazhab
Negara.
Berdasarkan hal tersebut di atas, tulisan ini dibuat untuk mencoba merunut
sejarah awal-mula dan perkembangan tiga khazanah teologi dalam Islam (Khawarij,
Mur’jiah, dan Mu’tazilah) untuk kemudian digali sumber-sumber ajarannya, lalu
diidentifikasi sumber konfliknya, dan mencoba melakukan rekonstruksi dan

2

kontekstualisasi agar pluralitas khazanah keilmuan teologi Islam ini membuah
kemaslahatan umat.

B. Rumusan Masalah
Agar memudahkan pembahasan dalam tulisan ini, saya akan merusmuskan
beberapa masalah berikut ini:
1. Bagaimana sejarah kemunculan teologi Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah?
2. Dimana sumber konflik dalam teologi dalam Islam itu terjadi?
3. Bagaimana rekonstruksi dan kontekstualisasi sejarah pemikiran teologi Islam

(Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah) untuk era kekinian dan masa depan?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari ditulisnya makalah ini sekurang-kurangnya adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui dan memahami sejarah kemunculan teologi Khawarij, Murji’ah,
dan Mu’tazilah.
2. Mengetahui sumber konflik dalam sejarah teologi Islam.
3. Melakukan rekonstruksi dan kontekstualisasi cara pandang dan realitas untuk
masa kekinian dan masa depan agar pluralitas teologi itu menjadi kekayaan
tersendiri bagi Islam.

3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kemunculan Teologi Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah
1. Teologi Khawarij
Asal kata al-Khawarij adalah kharaja, artinya keluar. Nama itu diberikan

kepada golongan yang keluar dari jamaah Ali di saat Ali menerima tahkim dari
Mu’awiyah dalam pertempuran Shiffin. Dinamakan al-Khawarij, karena mereka
keluar dari rumah mereka dengan maksud berjihad di jalan Allah.1
Awalnya, sebelum berpisah menjadi kelompok Khawarij, mereka adalah
pengikut sahabat Ali bin Abi Thalib dan penentang Mu’awiyah. Namun ternyata,
inilah dinamika kehidupan yang niscaya, mereka—cikal bakal Khawarij—kemudian
membelot dan kecewa atas kebijakan Ali dengan menerima tahkim dari Mu’awiyah.
Kaum inilah yang dinamakan kaum Khawarij, kaum yang keluar, yakni keluar
dari Saidina Mu’awiyah dan ke luar dari Saidina Ali. Mereka mengadakan semboyan
“La hukma illa lillah!” (tak ada hukum kecuali dari Tuhan). 2 Al-Syahrastani
mengatakan, siapa saja yang memberontak melawan imam yang sah, yang `dianggap
legitimate (diterima) oleh masyarakat, maka dia disebut sebagai Khawarij.3
Hal senada dikatakan Said Aqiel Siradj, bahwa di tengah huru-hara politik
yang memorak-porandakan persatuan umat Islam tersebut, reaksi kaum Muslim
1

Ashshiddieqy dalam Jamali Sahrodi. 2009. Pengantar Falsafah Kalam. Cetakan ke-2. Cirebon: CV.
Pangger, h. 22.
2
Sirajuddin Abas. 1995. I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah. Jakarta: Cetakan ke-20. Pustaka

Tarbiyah, h. 153-154.
3
Al-Syahrastani. 2004. Al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Islam. Terjemahan Syuaidi
Asy’ari. Bandung: Mizan, h. 181.

4

sangat beragam. Faksi-faksi yang bertikai saat itu memberikan angin segar bagi
lahirnya banyak partai politik (al-hizb, firqah). Mula-mula mereka kecewa pada sikap
arbitrase atau tahkim. Mereka kemudian bereaksi keras, memisahkan diri dari Ali.
Sehingga mereka kemudian dikenal dengan nama “Khawarij”. Sementara para
pendukung setia khalifah Ali (kelompok tasyayyu’) memproklamasikan diri mereka
sebagai kelompok Syi’ah.4
Khawarij menjadi sekte Islam yang paling eksklusif dan fanatis. Mereka
mengkafirkan semua golongan yang berbeda dengannya. Khawarij menjadi sekte
dengan karakteristik berani, mudah tersinggung, militan, dan berani mati. Keyakinan
mereka berpusat pada jargon “La hukma illa lillah”.
Baginya, keputusan adalah hak Tuhan semata, maka keputusan harus diambil
sesuai dengan perintah Tuhan dalam al-Qur’an. Prinsip ini sebagaimana telah
diketahui berasal dari ketidaksetujuan mereka terhadap tahkim antara Ali dan

Mu’awiyah. Semua keputusan terhadap tahkim dikembalikan kepada Allah, sesuai
dengan firman-Nya pada QS. Ali-Imran: 44, “Waman lam yahum bima anzal Allah
faulaika hum al-Kafirun” (Barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa
yang diturunkan Allah adalah kafir).5
Mereka berpendapat bahwa khalifah adalah hak mutlak bagi Allah saja, selain
tidak boleh dimiliki oleh seseorang atau suatu golongan. Karenanya, mereka tak
boleh diangkat melainkan orang yang cukup cakap dan ahli, dari mana saja dan siapa

4

Said Aqiel Siradj. 2009. Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi
bukan Aspirasi. Cetakan ke-2. Jakarta: Yayasan Khas, h. 80.
5
W. Montgomery Watt. 1987. Islamic: Philosophy and Theology. Universitas Press. Edinburg, h. 19.

5

saja.6 Padahal kemudian Khawarij mengangkat seseorang menjadi kepala yaitu
Abdullah bin Wahab ar-Rasyidi.
Paham teologi yang diyakini Khawarij selain cap kafir dan khalifah di tangan

Allah adalah soal keimanan yang ekstrem. Pendeknya, bagi kaum Khawarij sekalian
orang mu’min yang berbuat dosa, baik besar maupun kecil, maka orang itu wajib
diperangi dan boleh dibunuh, boleh dirampas hartanya.7 Termasuk jika ada orang
sakit dan orang tua yang tidak ikut perang maka orang itu menjadi kafir, wajib
dibunuh. Kaum Khawarij memfatwakan bahwa sekalian dosa adalah besar, tidak ada
yang bernama dosa kecil atau dosa besar. Sekalian pendurhakaan kepada Tuhan
adalah besar, tidak ada yang kecil menurut kaum Khawarij. 8 Dan Khawarij
menganggap bahwa anak-anak orang kafir meskipun meninggal dalam keadaan masih
bayi tidak akan masuk surga tetapi masuk neraka.
Dalam proses perkembangannya, Khawarij punya beragam sekte. Pertama,
al-Muhakkimah. Ini adalah sekte pertama yang asli keluar pertama yang keluar dari
barisan ali saat proses tahkim. Sementara imamnya adalah Abd Allah ibn Wahab arrasyidi. Kedua, Al-Azariqah. Imamnya Nafi’ ibn al-‘Azraq. Ketiga, An-Najdah,
dengan imamnya Najdah ibn Amir. Keempat, al-Ajaridah, dengan imamnya Abd alKarim ibn Ajrad. Dan lain seterusnya. Ulasan lebih detail bisa dibaca dibanyak
literatur.9

2. Teologi Murji’ah
6
7
8
9


Ashshiddieqy, dalam ibid, h. 23.
Sirajuddin Abas, ibid, h. 161.
Ibid, h. 162.
Salah satunya pada buku Jamali Sahrodi, ibid, h. 25-30. dan Al-Syahrastani, ibid, h. 181-211.

6

Reaksi lain atas sikap Khawarij datang dari cucu Ali, Abu Hasyim Hasan ibn
Muhammad al-Hanafiyyah yang menentang paham penguasa ini dalam kitabnya alIrja’. Baginya, pelaku dosa besar tidaklah kafir dan tidak pula memengaruhi
keimanan seseorang. Mereka masih mengharapkan (irja’) maghfirah atau ampunan
dari Allah Swt. Oleh karena itu paham ini sering disebut Murji’ah.10
Pendapat serupa dikemukakan oleh Harun Nasution, bahwa bagi mereka
sahabat-sahabat Nabi Saw yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat
dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar, dan mereka memandang lebih baik
untuk menunda (arja’a) persoalan-persoalan yang diperdebatkan tersebut ke hari
perhitungan di depan Allah. Kelompok ini dikenal sebagai kaum Murji’ah.11
Ditinjau dari sisi bahasa, kata murji’ah berasal dari kata kerja—raja’—artinya
menunda, menangguhkan, atau mengakhirkan.12 Murji’ah lahir pada abad ke-I
Hijriyah. Kelahiran sekte ini lahir tidak terlepas dari realitas ideologi dan politik yang

berkembang dan berkecamuk saat itu. Murji’ah sangat dipengaruhi oleh arogansi
sekte Syi’ah yang mengkafirkan orang-orang kontra Ali dan sekte Khawarij yang—
selain mengkafirkan Ali—juga mengkafirkan Mu’awiyah dan kawan-kawan.
Motif dari kelahiran Murji’ah sebetulnya patut diacungi jempol, sebab ia
cenderung moderat di antara dua sekte ekstrem; Syi’ah dan Khawarij. Hal ini
dikemukakan oleh Sirajuddin Abbas, bahwa pada ketika situasi yang gawat lahirlah
sekumpulan umat Islam yang menjauhkan diri dari pertikaian, yang tidak mau ikut

10

Said Aqiel Siradj, ibid, h. 81.
Harun Nasution. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI
Press, h. 22.
12
Ahmad Amin dalam Jamali Sahrodi, ibid, h. 32.
11

7

menyalahkan orang lain, tidak ikut-ikut menghukum kafir atau menghukum salah,

tidak mau mencampuri persoalan, seolah-olah mereka “pangku tangan” saja.13
Sekumpulan sahabat Nabi, sepertu Abdullah bin Umar, Abi Barakah, Imran
bin Husein, Muhammad bin Shalah, Sa’ad bin Abi Waqash, Utsman bin Zaid, Hasan
bin Tsabit, Abdullah bin Salam, tidak ikut membai’ah (mengangkat) Saidina Ali dan
pula tidak mau menyokong Saidina Mu’awiyah Rda. Mereka lebih suka menjauhkan
diri dari politik yang kacau itu.14
Sementara paham teologi mereka misalnya ketika membahas keimanan.
Bahwa iman bagi Murji’ah adalah ma’rifat kepada Allah Swt dan para Rasul-Nya
dengan mengucap syahadah.15 Selain ma’rifat, baik berupa ketaatan melaksanakan
perintah Allah Swt atau menjauhi larangan-Nya, bukanlah termasuk iman. Jadi
mereka lebih mementingkan iman dalam hati daripada amal. Menurut mereka dengan
iman semacam ini seseorang akan terhindar dari azab api neraka. Mereka mempunyai
prinsip: Sesungguhnya perbuatan maksiat tidak akan membahayakan iman seseorang
sebagaimana ketaatan seseorang yang kafir tidak akan membawa manfaat.16
Pandangan senada dikatakan oleh Mohamad Hudaeri, bahwa menurut kaum
Murji’ah bahwa iman adalah pengetahuan dan pengakuan kepada Allah, Rasul-Nya
dan semua yang datang dari Allah. Pernyataan bahwa iman adalah pengetahuan dan
pengakuan merupakan manifestasi dasar keyakinan Murji’ah yang merasa tidak puas
dengan pandangan bahwa iman adalah sesuatu yang bersifat lahiriah. Murji’ah ingin
menegaskan bahwa iman adalah sesuatu yang terletak dalam hati manusia, suatu

13
14
15
16

Sirajuddin Abbas, ibid, h. 166.
Ibid, 167.
Ahmad Amin dalam Jamali Sahrodi, ibid, h. 33.
Al-Bazdawi dalam Jamali Sahrodi, ibid.

8

peristiwa rohaniah yang terjadi sangat dalam di dalam jiwa. Karena itu dalam
pandangan Murji’ah, perbuatan merupakan sesuatu yang sekunder dalam hal
keimanan.17
Mengenai keimanan, keislaman, dan kekafiran seseorang sama sekali tidak
ditentukan oleh perbuatannya. Asalkan hatinya mengucapkan keimanan kepada Allah
maka ia tidak kafir, seburuk apapun perbuatan yang ia lakukan di dunia, oleh sekte
Murji’ah tidak dianggap dosa besar, apalagi kafir. Kedudukan ia ditangguhkan sampai
nanti di akhirat, sebab hanya Allah yang tahu secara pasti kebenaran seseorang.
Dalam menyikapi hal ini, Harun Nasution juga menegaskan, menurut
Murji’ah bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir tetapi
tetap Islam. Sedang dosa besarnya ditunda dan diserahkan pada putusan Allah kelak
di akhirat. Jika ia diampuni, masuk surga dan jika tidak, maka ia masuk neraka,
sekalipun pada berikutnya juga masuk surga.18
Seperti halnya Khawarij, Murji’ah pun tepecah ke berbagai sekte. Mengutip
pendapat Jamali Sahrodi, sekte-sekte itu di antaranya Yunusiyah pimpinan Yunus asSamiri, Ghasaniyah pimpinan Ghasan al-Kufi, Ubaidiyah pimpinan Ubaid al-Mikdad.
Saubaniyah pimpinan Abu Sauban al-Murji’i, dan seterusnya.19

3. Teologi Mu’tazilah

17

Mohamad Hudaeri. 2005. Relasi Kuasa Teologi Murji’ah dan Bani Umayah. Serang: Jurnal alQalam P3M IAIN Hasanuddin, vol. 22 No. 3, h. 362.
18
Harun Nasution, ibid, h. 34.
19
Jamali Sahrodi, ibid, h. 35-36.

9

Perkataan “Mu’tazilah” berasal dari kata “I’tizal”, artinya menyisihkan diri.
Kaum Mu’tazilah berarti kaum yang menyisihkan diri. 20 Ada banyak pandangan
bahkan kontroversi para ahli dalam menelusuri keawalmulaan lahirnya (istilah)
Mu’tazilah. Jamali Sahrodi dalam bukunya Pengantar Falsafah Kalam (2009)
misalnya banyak mengutip para ahli soal pertentangan itu, yang ia sebut sebagai
sebuah kekaburan validitas sumber sejarah. Salah satunya ketika mengutip sejumlah
pertanyaan krusial yang dilontarkan oleh an-Nasyar, bahwa apakah nama Mu’tazilah
itu timbul secara tiba-tiba? Atau nama itu timbul pada majlis Hasan al-Bashri? Atau
juga, karena kaum muslimin dan Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah tidak menyukainya?
Lebih dari semuanya, apakah nama itu merupakan perkembangan sejarah bagi
prinsip-prinsip tertentu yang lahir dan kajian ilmiah dan pergulatan pemikiran (mind)
di sekitar nash-nash agama?21
Sirajudin Abbas, mengemukakan sekurangnya 4 sebab-sebab mengapa
kemudian kelompk ini dinamai Mu’tazilah. Salah satunya, ia menyebutkan bahwa
salah satu sebab yang bisa masuk akal adalah peristiwa Wasil bin ‘Atha saat berbeda
pendapat dengan gurunya, lalu ia menyisihkan diri.
Tetapi memang poros dari kata Mu’tazilah adalah menyisihkan atau
mengasingkan diri. Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Falah bahwa banyak
pendapat bahwa Mu’tazilah yang menyisihkan diri dari majelis guru, dari masyarakat,
tidak suka pakaian mewah, adalah tidak benar adanya, tetapi lebih subtantif dari itu

20
21

Sirajudiin Abbas, ibid, h. 174.
Jamali Sahrodi, ibid, h. 50.

10

adalah bahwa Mu’tazilah menyisihkan diri dari paham dan itikad umat Islam arus
utama saat itu.
Sementara paham teologi yang dikembangkan oleh Mu’tazilah dapat kita
identifikasi sebagai berikut. Pertama, bahwa Mu’tazilah menyetujui bahwa Allah itu
Esa, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Allah tidak berbentuk seperi makhluk. Tetapi
Allah tidak bersifat. Sirajuddin Abbas berpendapat bahwa bagi kaum Mu’tazilah,
Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan mendengar dengan Zat-Nya, Tuhan melihat
dengan Zat-Nya dan Tuhan berkata dengan Zat-Nya.22
Golongan Mu’tazilah menolak segala sifat yang kadim. Menurut mereja,
Tuhan “mengetahui” dengan zat-Nya, “berkuasa” dengan zat-Nya, “hidup” dengan
zat-Nya: bukan dengan “mengetahui” atau “berkuasa” atau “hidup”, yang dianggap
sifat atau entitas yang kadim (ma’an) yang ada pada-Nya.23
Kedua, rasionalisasi. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa buruk dan baiknya
ditentukan oleh aqal. Mana yang baik kata aqal baiklah dia dan mana yang buruk kata
aqal buruklah dia.24 Tetapi menurut Jamali Sahrodi, pemikiran rasional Mu’tazilah
hanya terikat pada al-Qur’an dan hadits mutawatir atau minimal hadits yang
diriwayatkan oleh 20 sanad. Al-Qur’an adalah makhluk Allah dan diungkapkan dalam
huruf atau suara yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. pada waktu, tempat
dan bahasa tertentu. Ayat-ayat-Nya yang menyebutkan tangan, wajah, mata Tuhan
dan yang seperti itu hendaklah dipahami secara metaforis. Selain itu menurut mereka,
Tuhan hanya berbuat baik dan mesti berbuat baik sebagai kewajiban-Nya untuk
22

Sirajuddin Abbas, ibid, h. 187.
Al-Syahrastani, ibid, h. 85.
24
Sirajudin, ibid, h. 184.
23

11

kepentingan manusia. Ia tidak bisa dilihat dengan mata jasmani, bahkan saja di dunia,
juga di akhirat. Manusia dalam pandangan mereka mempunyai kemampuan yang
cukup untuk mengetahui dengan akalnya kewajiban untuk bersyukur kepada Tuhan
dan mengamalkan kebaikan. Manusia memiliki kemauan bebas dan kebebasan
bertindak; dan terhadap kebebasannya itu Tuhan akan mengadilinya nanti di akhirat.25
Ketiga, soal pendosa besar. Persoalan ini dapat dilacak dari keyakinan Wasil
bin ‘Atha bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati atas dosanya
tidak lagi mukmin dan tidak pula kafi tetapi di antara kafir dan mukmin. Inilah yang
kemudian dikenal dengan jargon al-Manzilah bain al-Manzilatain.
Selain tiga pokok paemahaman teologi Mu’tazilah di atas, menurut Sirajuddin
Abbas, bahwa Mu’tazilah juga menolak adanya mi’raj Nabi Muhammad Saw, ‘asry,
malaikat Raqib dan Atid, tak ada timbangan amal, hisab, syafa’at, azab kubur, dan
lain-lain. Sedangkan al-Syahrastani mengatakan, bahwa ketika seorang mukmin
meninggal dunia, taat kepada hukum Allah dan bertobat, ia berhak mendapatkan
pahala, tsawab, dan imbalan (iwadh), tetapi memberikan sesuatu yang melebihi atau
melampaui pahala disebut tafadhdhaul.

B. Melacak Sumber Konflik dalam Teologi Islam
Di sini, saya ingin mencoba melacak sumber-sumber ketegangan dan konflik
dalam tubuh umat Islam dalam sejarah, terutama dalam teologi. Paling tidak ada dua
poin utama, yang kemudian ini menjadi sumber dan malapetaka tersendiri bagi umat

25

Jamali Sahrodi, ibid, h. 54.

12

Islam sehingga banyak merugikan masyarakat dengan rentannya perpecahan dalam
tubuh umat Islam. Sebagai berikut:
Pertama, adalah eksklufivisme. Cara pandang tertutup, tidak terbuka.
Maksudnya, hampir seluruh sekte teologi dalam Islam lahir akibat adanya sikap
ketertutupan yang mengarah kepada fanatisme. Dengan anggapan bahwa sekte
teologi saya-lah yang benar, sementara yang lain salah, bahkan kafir.
Salah satu penegasan tentang hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh
Mohamad Hudaeri bahwa, Khawarij memandang bahwa kelompoknya yang
merupakan mu’min sejati, yakni anggota sah komunitas muslim sebenarnya. Mereka
memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, Amr bin As, Abu Musa al-Asy’ari dan yang
lainnya yang menerima asbitrase (tahkim) adalah kafir karena telah berbuat salah dan
berbuat dosa, yakni dengan memutuskan suatu perkara bukan atas hukum Allah.26
Kedua, adalah politik praktis. Isyarat ini bisa kita lacak salah satunya pada
Mu’tazilah, ketika mereka mempunyai gerakan Mihnah27, gerakan pemaksaan
doktrinasi dan ideologisasi. Maka, sejak Mu’tazilah dijadikan sebagai mazhab
Negara, selama kurang lebih 16 tahun, Mu’tazilah kehilangan inklusivitas, mereka
justru merambah pada wilayah politik praktis untuk memaksakan semua gagasan
teologinya kepada masyarakat.
Jamali
mempengaruhi

Sahrodi
khalifah

mengatakan,

bahwa

al-Ma’mun, agar

kelompok

Mu’tazilah

gagasan al-Qur’an

itu

berhasil
makhluk

26

Mohamad Hudaeri, ibid, h. 359.
Secara etimologi Mihnah berarti mencoba, menguji, memeriksa. Gerakan ini memiliki misi untuk
memeriksa pemahaman telogi masyarakat umum dalam kaca mata Mu’tazilah. Gerakan ini yang pada
akhirnya menjurus pada pemaksaan. Imbas paling ektrem dari gerakan ini adalah banyak pihak tertama
para ulama yang diperlakukan keras, bahkan dibunuh.
27

13

disebarluaskan ke seluruh pelosok negeri, dan sebaiknya menjadi anutan seluruh
anggota masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut harus diterapkan lebih dahulu
kepada para ulama pikih, ahli hadits, pejabat, dan pegawai pemerintahan serta para
pemuka masyarakat lainnya. Sebab, mereka adalah elemen yang berpengaruh di
masyarakat, apalagi hal ini berkaitan dengan aqidah. Apabila ada yang berpendapat
al-Qur’an bukan makhluk, tetapi qadim orang itu telah dianggap syirik.28

C. Rekontrusksi dan Kontekstualisasi Teologi Islam
Rekonstruksi dan kontekstualisasi teologi Islam adalah niscaya. Ia adalah cara
pandang baru dalam menatap dunia yang baru yang berjalan dinamis. Rekonstruksi
diperlukan bukan untuk memberangus paham teologi masing-masing aliran, akan
tetapi ia lebih kepada membangun ulang dengan ada sipirit penyesuaian, terutama
dalam berbagai distorsi yang ada dalam sejarah.
Atas dasar itulah maka Said Aqiel Siradj mengatakan, bahwa perbedaan di
luar itu hanyalah bersifat furu’iyyah. Oleh karena itu, berbagai diskusi mujadalah
tidak perlu diperpanjang. Prinsip “ikhtilafu ummati rahmah” (perbedaan pendapat di
antara umatku adalah rahmat) harus dijadikan barometer dalam menyikapi beberapa
kontroversi tersebut.29
Begitu juga kontekstualisasi amat diperlukan dalam rangka penyesuaian
konteks ruang dan waktu terhadap konteks kekinian, bahkan masa depan. Bahwa

28
29

Jamali Sahrodi, ibid, h. 79.
Said Aqiel Siradj, ibid, 82.

14

berbagai paham itu berbeda adalah tidak terlepas daripada faktor ruang dan waktu
dimana pemahaman itu lahir dan mengemuka.
Maka ikhtiar menuju rekonstruksi dan kontekstualisasi itu beberapa di
antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, membangun sikap keterbukaan (inklusivisme). Cara pandang kita
harus terbuka, terbuka dalam arti siap menerima apapun perbedaan yang ada.
Konsekeuensi dari inklusivisme adalah bersedia duduk bersama sebagai saudara.
Alhasil dari sikap inkusif ini, semua ragam teologi dalam Islam pada hal aqidah bisa
saja berbeda paham sesuai dengan keyakinan masing-masing, tetapi dalam aspek
pokok seperti bahwa Allah itu Esa, Mahakuasa, dan seterusnya adalah sama dan
sepaham. Maka yang dikedepankan adalah titik temu bukan titik beda, apalagi timbul
titik tengkar.
Kedua, membangun dialog persaudaraan. Dialog mendorong berbagai pihak
untuk bersikap terbuka dan jujur dengan pemahaman masing-masing. Dialog bisa
meminimalisir sikap saling curiga dan memusuhi. Dengan dialog juga, orang per
orang dapat saling mengenal, satu sama lain mengenal karakternya masing-masing.
Maka, dialog itu akan membuahkan satu prinsip, jika ada prestasi saling
mengapresiasi, jika ada distorsi saling menasehati dan melengkapi.
Keempat, membangun apresiasi intelektual. Masing-masing aliran memiliki
perbedaan. Perbedaan yang berujung pada konflik adalah akibat tidak memahami alur
intelektual yang berkembang. Maka, di antara masing-masing aliran teologi Islam
akan dapat saling memahami perbedaan paham selama ini dengan saling membangun

15

apresiasi intelektual. Karena ujung pangkal dari perbedaan adalah persoalan cara
pandang.
Kelima, menjalin kerja sama sosial-masyarakat. Ini adalah ikhtiar konkrit
yang mesti dimasifkan. Bahwa problem kemiskinan, kebodohan, dan problem
kemanusiaan lainnya merupakan problem bersama yang mesti diselesaikan bersama.
Maka kerja sama sosial-mayarakat ini dapat merekatkan solidaritas dan kesejahteraan
sosial.
Atas ikhtiar rekonstruksi dan kontekstualisasi di atas, kiranya sipirit sejarah
teologi Islam lampau bisa menjadi amunisi untuk mencetak kembali kejayaan umat
Islam. Dari Khawarij, kita bisa belajar tentang militansi, dari Murji’ah kita bisa
belajar moderasi, dari Mu’tazilah kita bisa belajar rasionalisasi. Saya yakin jika ketiga
spirit yang menjadi cirri khas masing-masing aliran ini digabungkan maka akan
membuahkan satu gagasan yang mengesankan. Demikian.

16

BAB III
PENUTUP

Dari awal hingga akhir pembahasan ini, kita akan sadar bahwa perbedaan
dalam pluralitas adalah anugerah dan kekayaan tersendiri. Termasuk, perbedaan pada
ragam aliran teologi dalam Islam, bahwa Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah adalah
berbeda tetapi semuanya adalah saudara sesama Islam.
Sejarah panjang ketiga aliran teologi Islam itu dapat memberikan gambaran
sekaligus pelajaran kepada kita yang hidup di zaman modern, bahwa jangan sampai
sisi kelam masa itu jangan sampai kita warisi, tetapi mari kita jadikan spirit untuk
semakin memperbaiki kualitas diri dan masyarakat menuju kesetaraan dan keadilan
sosial.
Saya sendiri berharap, jika sekarang dan masa depan kehidupan umat Islam
akan semakin maju. Asalkan, tetap menghargai perbedaan—sebagai titik beda—dan
menyongsong kebersamaan—sebagai titik temu. Demikian. Wallahu’alam bi alShawab. []

17

Daftar Pustaka

Al-Syahrastani. 2004. al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Islam.
Terjemahan Syuaidi Asy’ari. Bandung: Mizan.
Jamali Sahrodi. 2009. Pengantar Falsafah Kalam. Cetakan ke-2. Cirebon: CV.
Pangger.
Harun Nasution. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press.
Mohamad Hudaeri. 2005. Relasi Kuasa Teologi Murji’ah dan Bani Umayah. Serang:
Jurnal al-Qalam P3M IAIN Hasanuddin, vol. 22 No. 3, h. 362.
Sirajuddin Abas. 1995. I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah. Jakarta: Cetakan ke-20.
Pustaka Tarbiyah.
Said Aqiel Siradj. 2009. Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam
sebagai Inspirasi bukan Aspirasi. Cetakan ke-2. Jakarta: Yayasan Khas.
W. Montgomery Watt. 1987. Islamic: Philosophy and Theology. Universitas Press.
Edinburg.

18

KHAZANAH PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM:
PERSPEKTIF KHAWARIJ, MURJI’AH, DAN MU’TAZILAH

MAKALAH
Untuk Mata Kuliah Sejarah Pemikian dan Peradaban Islam
Dosen Pengampu: Dr. H. Ahmad Asmuni, MA

Disusun oleh:
MUHAMAD HAERUDIN
14126110049

Program Pascasarjana
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon
2013
19

20