KRITIK SASTRA FEMINIS TERHADAP PANDANGAN LAKI-LAKI (SEIKICHI) PADA INFERIORITAS TOKOH UTAMA PEREMPUAN (OSEN) YANG BERPERAN SEBAGAI ISTRI DALAM NOVELLET KAZE NO OTO KARYA UNO CHIYO ( Melalui Metode Pendekatan Feminis Sosialis )

(1)

KRITIK SASTRA FEMINIS TERHADAP PANDANGAN LAKI-LAKI (SEIKICHI)

PADA INFERIORITAS TOKOH UTAMA PEREMPUAN (OSEN) YANG BERPERAN SEBAGAI ISTRI

DALAM NOVELLET KAZE NO OTO KARYA UNO CHIYO ( Melalui Metode Pendekatan Feminis Sosialis )

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana Pada jurusan Sastra Jepang

Fakultas Sastra

Universitas Komputer Indonesia

DESSY DWI ARYANI

NIM. 63802024

JURUSAN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS KOMPUTER INDENESIA 2007


(2)

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Pembatasan masalah ... 4

1.4Tujuan ... 5

1.5Manfaat ... 5

1.6Definisi Operasional ... 5

1.7Sistematika Penelitian ... 6

1.8Penelitian Terdahulu ... 7

BAB II LANDASAN TEORI ... 9

2.1 Feminisme ... 9

2.1.1 Pengertian Feminisme ... 9

2.2Kritik Sastra Feminis ... 10

2.2.1 Pengertian Kritik Sastra Feminis ... 10

2.2.2 Jenis-Jenis Kritik Sastra Feminis ... 11

2.2.2.1 Kritik Ideologis ... 11

2.2.2.2 Gynocritics / Ginokritik ... 12

2.2.2.3 Kritik Sastra Feminis Sosialis ... 12

2.2.2.4 Kritik Feminis Psikoanalitik ... 12

2.2.2.5 Kritik Sastra Lesbian ... 13

2.2.2.6 Kritik Sastra Ras / Etnik ... 13


(3)

v

2.3Kedudukan Perempuan Pada Zaman Taisho ... 14

2.4Pengertian Plot / Alur ... 16

2.5Pengertian Tema ... 18

2.6Pengertian Latar ... 18

2.7Pengertian Penokohan ... 18

2.8Pengertian Interaksi ... 19

2.8.1 Bentuk-Bentuk Interaksi ... 20

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

3.1Metode Penelitian ... 22

3.2Sumber Data ... 23

3.3Teknik Pengumpulan Data ... 23

3.4Teknik Pengolahan Data ... 23

3.5Tahapan Penelitian ... 24

3.6Objek Penelitian ... 24

3.6.1 Ringkasan Cerita ... 25

3.6.2 Penokohan ... 29

3.6.2.1 Tokoh Utama ... 29

3.6.2.1.1 Osen ... 29

3.6.1.1.2Seikichi ... 30

3.6.2.2 Tokoh Tambahan ... 31

3.6.2.2.1 Oyuki ... 31

3.6.2.2.2 Okaka ... 31

3.6.2.2.3 Otoko ... 32

3.6.2.2.4 Naokichi ... 32

3.6.2.2.5 Nakamura Gohei ... 32

3.6.2.2.6 Tuan Yamashiro ... 33

3.7 Plot / Alur ... 33

3.7.1 Tahap Awal ... 34


(4)

vi

3.7.3 Klimaks ... 36

3.7.4 Pemecahan Soal ... 37

3.8 Tema ... 38

3.9 Latar ... 38

3.9.1 Latar Tempat ... 38

3.9.1.1 Kota Kawanishi ... 39

3.9.1.2 Hiroshima ... 39

3.9.2 Latar Waktu ... 40

3.7.1.1Tahun Pertama ... 40

3.7.1.2Tahun Kedua ... 40

3.7.1.3Tahun Ketiga ... 41

BAB IV PEMBAHASAN ... 42

4.1Pola Pikir Seikichi Terhadap Kedudukan Inferioritas Istri ... 42

4.1.1 Seorang Istri Tidak Perlu Mengetahui Semuanya Tentang Suaminya ... 42

4.1.2 Seorang Istri Yang Telah Menikah Tidak Berhak Menentukan Apapun Yang Dilakukan Oleh Suaminya ... 44

4.1.3 Seorang Istri Tidak Mempunyai Wewenang Dalam Mengambil Keputusan Dalam Rumah Tangga ... 46

4.1.4 Status Seorang Istri Yang Telah Menikah Hanyalah Pelengkap Dalam Kehidupan Rumah Tangga ... 48 4.1.5 Seorang Perempuan Yang


(5)

vii

Berusaha Menjadi Istri Dan Ibu Yang Baik Selalu Dianggap Rendah

Keberadaannya Dalam Rumah Tangga ... 50

4.2 Bentuk Interaksi Antar Tokoh Utama Dalam Novellet Kaze no Oto ……… 55

4.2.1 Proses Asosiatif ………. 55

4.2.1.1 Proses asosiatif yang terbagi dalam dua bentuk khusus ... 57

4.2.1.1.1 Bentuk Asimilasi. ... 57

4.2.1.1.2 Bentuk Alkulturasi ……… 59

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 65 SINOPSIS


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Kutha Ratna, Nyoman, Prof. Dr. S.U. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Uno, Chiyo. 1975. Ohan, Kaze no Oto. Japan: Chuokoron-Shinsha, Inc.

Djajanegara, Soenardjati. 2000. Kritik Sastra Feminis Sebuah Pengantar. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Okamura, Masu. 1983. Peranan Wanita Jepang. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Mansur, Fakih. 2003. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suharto, Sugiharti. 2002. Kritik Sastra Feminis, Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Austin dan Welk, Rene. 2000. Teori Kesusastraan Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.

Hakim, Lukman, Drs. 1999. Sosiologi Untuk SMU Kelas II. Bandung; PT Grafindo Media Pratama.

Maryati, Enok, Drs, M, S. 2000. Antropologi Untuk Kelas III. Bandung: PT. Grafindo Media Pratama.

Nelson, Andrew N. 2003. Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia. Terjemahan Tim Redaksi Kesaint Blanc. Jakarta: PT. Kesaint Blanc Indah Corp.

Fukuto, Tadashi. 1999. Masyarakat Jepang Dewasa Ini. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Shourin, Daigaku. 1958. Kamus Baru Bahasa Jepang-Indonesia. Tokyo: Japan Indonesia Association, Inc.

Shourin, Daigaku. 1958. Kamus Baru Bahasa Indonesia-Jepang. Tokyo: Japan Indonesia Association, Inc.


(7)

www.yahoo.com. Perbedaan Feminis Marxis Dengan Feminis Sosialis.


(8)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Dessy Dwi Aryani

Tempat dan Tanggal Lahir : Malang, 10 Desember 1983

Nomor Induk Mahasiswa : 63802024

Jurusan : Sastra Jepang

Jenis Kelamin : Perempuan

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Jl. Tubagus Ismail Dalam No. 18c BANDUNG

Berat Badan : 55 Kg

Tinggi Badan : 168 Cm

Status Marital : Belum kawin

Orang Tua :

1. Nama Ayah : Moch. Radjak

Pekerjaan : BNI 46

Alamat : Jl. Citarum II / 42 Probolinggo

2. Nama Ibu : Mirza Ilmiawati

Pekerjaan : Guru

Alamat : Jl. Citarum II / 42 Probolinggo

RIWAYAT PENDIDIKAN 1989 – 1990 : Taman Kanak-Kanak Corjesu, Malang 1990 – 1996 : SD Negeri Sukabumi V, Probolinggo 1996 – 1999 : SMP Negeri 2, Probolinggo

1999 – 2002 : SMU Katholik Mater Dei, Probolinggo


(9)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Feminisme

Salah satu agenda kemanusiaan yang mendesak untuk segera digarap adalah menjadikan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam sistem masyarakat. Feminisme memperjuangkan dua hal yang selama ini tidak dimiliki oleh kaum perempuan pada umumnya, yaitu persamaan derajat mereka dengan laki-laki dan otonomi untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya dalam banyak hal. Kedudukan perempuan dalam masyarakat lebih rendah dari laki-laki, bahkan mereka dianggap sebagai “the second sex”, warga kelas dua.

2.1.1 Pengertian Feminisme

Feminisme tidak seperti pandangan atau pemahaman lainnya. Feminisme tidak berasal dari sebuah teori atau konsep yang didasarkan atas formula teori tunggal. Itu sebabnya, tidak ada abstraksi pengertian secara spesifik atas pengaplikasian feminisme bagi seluruh perempuan disepanjang masa.

Pengertian feminisme itu sendiri menurut Najmah dan Khatimah sa’ida dalam bukunya yang berjudul “Revisi Politik Perempuan” (2003:34) menyebutkan bahwa :

Feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan yang terjadi baik dalam keluarga, di tempat kerja, maupun di masyarakat serta adanya tindakan sadar akan


(10)

laki-10

laki maupun perempuan untuk mengubah keadaan tersebut secara leksikal. Feminisme adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki “.

Pengertian feminisme dapat berubah dikarenakan oleh pemahaman atau pandangan para feminis yang didasarkan atas realita secara historis dan budaya, serta tingkat kesadaran persepsi dan perilaku. Bahkan diantara perempuan dengan jenis-jenis yang hampir mirip terdapat perbedaan pendapat dan perdebatan mengenai pemikiran feminis, sebagaian didasarkan atas alasan (misalnya akar kebudayaan) patriarkhi dan dominasi laki-laki, dan sampai resolusi final atas perjuangan perempuan akan non-eksploitasi lingkungan, kebebasan kelas, latar belakang, ras, dan gender.

2.2 Kritik Sastra Feminis

Sebagai gerakan modern, feminisme yang mulai berkembang pesat sekitar tahun 1960 di Amerika berdampak luas. Gerakan ini membuat masyarakat sadar akan kedudukan perempuan yang inferior. Dampak dari gerakan ini juga dapat dirasakan dalam bidang sastra. Perempuan mulai menyadari bahwa dalam karya sastra pun terdapat ketimpangan mengenai pandangan tentang manusia dalam tokoh-tokohnya. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan apa yang dinamakan kritik sastra feminis.

2.2.1 Pengertian Kritik Sastra Feminis

Kritik sastra feminis, adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisanya pada perempuan. Dasar pemikiran feminis dalam penelitian sastra,


(11)

11

adalah upaya pemahaman kedudukan peran perempuan seperti yang tercermin dalam karya sastra (Suharto,2002 : 15).

Kritik sastra feminis merupakan salah satu ilmu disiplin sebagai respon atas berkembang luasnya feminisme diberbagai penjuru dunia. Secara garis besar Culler menyebutkan kritik sastra feminis sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Yoder juga menyebutkan bahwa kritik sastra feminis itu bukan pengkritik perempuan atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan. Arti sederhana kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan.

Dalam buku “Pengertian Kritik Sastra Feminis” Soeharto mengutip pernyataan Yoder, (2002 : 5)

“Membaca sebagai perempuan berarti membaca dengan kesadaran untuk membongkar praduga dan idiologi kekuasaan laki-laki yang androsentrisme atau patriarkhat.”

2.2.2 Jenis – Jenis Kritik Sastra Feminis

Berikut ini merupakan jenis-jenis kritik sastra feminis yang berkembang di masyarakat menurut Dra. Ekarini, M.Pd. (2002:161).

2.2.2.1 Kritik Ideologis.

Kritik sastra feminis ini melibatkan perempuan, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca wanita adalah citra serta stereotipe wanita dalam karya sastra.


(12)

12

Kritik ini juga meneliti kesalah pahaman tentang perempuan dan sebab-sebab mengapa perempuan sering tidak diperhitungkan bahkan nyaris diabaikan.

2.2.2.2 Gynocritics atan ginokritik

Gynocritics atau ginokritik disebut juga dengan kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita. Jenis kritik sastra feminis ini berbeda dari kritik ideologis, karena yang dikaji disini adalah masalah perbedaan. Berarti studi yang ditulis oleh permpuan mengenai perbedaan antara tulisan perempuan dengan tulisan laki-laki.

2.2.2.3 Kritik Sastra Feminis Sosialis

Jenis kritik ini meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Selain itu kritik feminis ini mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.

2.2.2.4 Kritik Feminis Psikoanalitik

Kritik sastra ini diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada tokoh wanita, sedangkan tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya.


(13)

13

2.2.2.5 Kritik Feminis Lesbian.

Kritik ini bertujuan untuk mengembangkan definisi yang cermat tentang makna lesbian, kemudian akan ditentukan apakah definisi ini dapat diterapkan pada definisi penulis atau pada teks karyanya.

2.2.2.6 Kritik Feminis Ras atau Etnik

Sebagaimana halnya dengan pengkritik sastra ideologi dan pengkritik sastra lesbian, pengkritik sastra etnik ingin membuktikan keberadaan sekelompok penulis feminis etnik beserta karya-karyanya, baik dalam kajian perempuan maupun dalam kajian kanon sastra tradisional dan sastra feminis.

2.2.3 Penerapan Kritik Sastra Feminis

Menurut Djajanegara bahwa, pada umumnya karya sastra yang menampilkan tokoh perempuan bisa dikaji dari segi feministik. Baik secara rekaan, lakon, maupun sajak sangatlah mungkin untuk diteliti dengan pendekatan feministik, asal saja ada tokoh perempuan. Jika tokoh perempuan itu dikaitkan dengan tokoh laki-laki tidaklah menjadi soal, apakah mereka berperan sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis atau tokoh bawahan.

Adapun cara penerapan kritik sastra feminis dalam meneliti sebuah karya sastra menurut Soenardjati Djajanegara adalah sebagai berikut :


(14)

14

1. Mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh perempuan yang terdapat pada

sebuah karya sastra.

2. Mencari status atau kedudukan tokoh perempuan tersebut didalam

masyarakat.

3. Mencari tahu tujuan hidup dari tokoh perempuan tersebut didalam masyarakat.

4. Memperhatikan apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dikatakan oleh tokoh-tokoh perempuan tersebut, sehingga kita dapat mengetahui perilaku dan watak mereka berdasarkan gambaran yang langsung diberikan oleh pengarangnya.

5. Meneliti tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh

perempuan yang sedang diamati. Kita tidak akan memperoleh gambaran secara lengkap mengenai tokoh perempuan tersebut tanpa memunculkan tokoh laki-laki yang ada disekitarnya.

2.3 Kedudukan Perempuan Jepang Pada Zaman Taisho

Dengan berakhirnya era Meiji pada pertengahan abad ke 19 dan bentuk negara yang terpusat. Pemerintahan Meiji saat itu membuat perubahan pesat untuk meninggalkan feodalisme Jepang yang lama dan menata sistem untuk menuju peradapan yang cerah. Akan tetapi pada saat itu kebudayaan feodal masih banyak dipegang oleh masyarakat Jepang, sehingga seorang wanita Jepang yang berperan sebagai istri masih banyak mengalami penderitaan.


(15)

15

Zaman Taisho merupakan peralihan dari zaman Meiji. Pada periode Taisho (1912-1925) masyarakatnya mempertanyakan adat lama dan permasalahannya, dan juga yang bereksperimen dengan budaya baru, dibawah pengaruh budaya barat.

Meskipun memang terjadi perbaikan akibat perubahan sosial pada saat itu, tetapi masih ada kendala-kendala yang dihadapi kaum perempuan Jepang dalam memperjuangan persamaan status terhadap kaum laki-laki.

Joharni Haryono (Kumpulan Artikel,1999 : 128) mengungkapkan ada tiga alasan yang menyebabkan perjuangan persamaan status di Jepang kurang stabil. Pertama, latar budaya yang sudah mengalir yang sangat sulit dikikis. Kedua, kaum laki-laki sendiri masih mengadakan pemilahan yang tidak berimbang terhadap kaum perempuan. Dan terakhir, cara pikir kaum perempuan itu sendiri, antara lain adalah belum hilangnya pandangan perempuan bahwa tugasnya hanya mengurus rumah dan menjaga anak sehingga permasalahan karir tampak agak diabaikan.

Masu Okamura dalam buku “Peranan wanita Jepang” menjelaskan bahwa ketika zaman kependudukan Jepang, kaum wanita pada umumnya didatangkan untuk menempati rumah-rumah penghibur tentara Jepang. Akan tetapi karena biasanya rumah-rumah tersebut dilingkari dengan tembok yang tinggi, sehingga masyarakat diluar tak dapat mengenali mereka. Sehingga masyarakat Jepang pada umumnya menggambarkan mereka sebagai wanita Jepang yang lemah lembut yang kehadirannya didunia ini semata-mata hanya untuk mengabdikan dirinya kepada kaum laki-laki.


(16)

16

Ketika Jepang memasuki zaman modernisasi, yaitu permulaan zaman Meiji, para Samurai dihapuskan sebagai suatu kelas feodal namun beberapa kebiasaan dan norma Samurai masih tetap diterapkan kepada semua kelas sosial lainnya, termasuk para petani, pedagang, dan pengrajin. Terhadap kaum wanitapun mereka melakukan kebiasaan para Samurai seperti dalam perkawinan, dimana perkawinan pada masa itu diatur oleh keluarga. Seorang wanita tidak mempunyai kebebasan untuk memilih calonnya sendiri.

Dalam “Peranan wanita Jepang” Masu Okamura mengatakan :

bahwa, “modernisasi itu mengurangi kebebasan dan persamaan kedudukan antara wanita dan pria. Sampai tahun 1948 menurut Undang-Undang yang berlaku pada saat itu seorang wanita haruslah tunduk kepada ayahnya, pada suaminya, dan pada masa tuanya kepada putranya. Seorang istri tidak dapat bertindak tanpa persetujuan dari suaminya”. (1983 : xi).

Hal lain yang amat menarik mengenai kehidupan keluarga di Jepang dalam buku “Peranan Wanita Jepang” Masu Okamura, 1983:xi adalah ibu merupakan pusat dari segala kegiatan da kehidupan keluarga Jepang. Orbit seorang istri adalah rumah tangga dan anak-anaknya, sedangkan orbit seorang suami adalah pekerjaanya dan teman-teman sekerjanya.

2.4 Pengertian Plot / Alur

Plot / alur sebuah cerita tentulah mengandung unsur urutan waktu. Baik dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu dalam sebuah cerita, sebuah teks naratif, tentulah ada awal kejadian, kejadian berikutnya dan barang kali ada pula akhirnya.


(17)

17

Burhan Nurgiyantoro, dalam bukunya “Teori pengkajian fiksi” (1995:113-114) mengutip beberapa pengertian tentang alur / plot seperti berikut ini :

1. Menurut Stanton adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yan lain.

2. Menurut Abrams mengemukakan bahwa plot / alur merupakan sebuah karya fiksi, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek tokoh baik yang verbal maupun nonverbal, yang dikemukakan sebelum dan sesudahnya belum tentu berhubungan lansung secara logis, bersebab akibat.

Namun alur sebuah karya fiksi, tidak selalu di saksikan secara kronologis dan patut jadi tahap awal cerita tidak di awal cerita atau di bagian awal teks, melainkan dapat terletak di bagian manapun. Oleh karena itu terdapat perbedaan jenis alur, pembedaan alur berdasarkan urutan waktu terdiri dari alur lurus atau maju, alur sorot balik atau mundur (flash back) dan alur campuran.

Alur maju berarti urutan peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, dari peristiwa yang pertama di ikuti peristiwa-peristiwa berikutnya, sedangkan alur mundur berarti urutan peristiwa-peristiwanya tidak melalui dari tahap awal secara logika, mungkin dimulai dari tahap tengah atau akhir, kemudian tahap awal. Alur campuran sudah pasti merupakan campuran dari kedua jenis alur tersebut.


(18)

18

2.5 Pengertian Tema

Tema Menurut Stanton, dan Kenny adalah makna yang dikandung oleh

sebuah cerita. (Burhan Nurgiyantoro,1995:67).

Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita.

Pengarang bisanya memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema, atau subtema berdasarkan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksi dengan lingkungan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna tertentu, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan dan menghayati makna hidup tersebut sebagaimana ia memandangnya.

2.6 Pengertian Latar

Menurut Abrams, latar atau setting disebut juga sebagai landasan tumpu yang mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang di ceritakan. (Burhan Nurgiyantoro, 1995:216).

2.7 Pengertian Penokohan

Penokohan adalah salah satu unsur intrinsik penting dalam mengkaji sebuah karya sastra fiksi, baik cerpen maupun novel. Dalam penokohan dibahas karakter dan watak tokoh-tokoh yang membangun cerita tersebut. Tokoh cerita (character) menurut Abrams adalah orang-orang yang ditafsirkan oleh pembaca memiliki suatu kualitas moral dan tindakan-tindakan atau kecenderungan tertentu yang


(19)

19

diekspresikan dalam ucapan dan perilakunya. Ia melihat bahwa pembacalah yang memberi arti pada semua tokohnya. (Burhan Nurgiyantoro, 1995 : 165-166)

Tokoh cerita atau karakter dalam bahasa Inggris disebut character yang artinya all those qualities which make one person or race of people different from another person or race of people (seluruh kualitas yang membuat seseorang atau sekelompok orang berbeda dari yang lainnya—A.S. Hornby, 1958 : 163). Karena itu jelaslah bahwa mencari karakter dari tiap tokoh adalah penting untuk dilakukan karena karakter tokoh itulah yang membuat tokoh itu menjadi istimewa dalam membangun sebuah alur cerita.

Penokohan mencakup siapa saja tokoh cerita, wataknya, penempatan dan penggambarannya dalam cerita sehingga pembaca dengan jelas memahami siapa tokoh itu. Meskipun tokoh-tokoh itu adalah fiksi, keberadaannya tidak boleh mengada-ada, harus mencerminkan keberadaan seseorang yang punya bentuk dan perasaan, dengan kata lain, gambaran manusia seutuhnya. Tokoh cerita menempati posisi strategis untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan penciptanya, apakah itu suatu pesan, amanat, ajaran moral, atau hal lainnya.

2.8 Pengertian Interaksi

Menurut H. Bonner dalam bukunya social psychology, interaksi adalah hubungan yang dinamis yang menyangkut hubungan antara perseorangan, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok lainnya dimana kelakuan


(20)

20

individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya.

W.A. Gerungan dalam bukunya “Pengertian Interaksi”, 2004 : 62 menyebutkan bahwa interaksi merupakan kunci dalam sendi-sendi kehidupan, karena tanpa interaksi tidak mungkin terjadi aktifitas dalam kehidupan. Manusia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

2.8.1 Bentuk-Bentuk Interaksi

Bentuk-bentuk interaksi dapat berupa kerja sama (cooperation),

persaingan (competition), bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Menurut Gillin dan Gillin bentuk interaksi dapat digolongkan menjadi dua macam sebagai berikut :

1. Proses asosiatif (process of association) yang terbagi dalam tiga bentuk khusus, yaitu :

a. Akomodasi (accommodation) atau adaptasi (adaptation), yaitu kenyataan adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara individu dengan kelompok yang berhubungan dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

b. Asimilasi, yaitu proses yang ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan antara individu atau kelompok yang meliputi kesatuan tindak sosial dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.


(21)

21

c. Akulturasi, yaitu perbauran dua unsur yang berbeda tanpa menghilangkan


(1)

Ketika Jepang memasuki zaman modernisasi, yaitu permulaan zaman Meiji, para Samurai dihapuskan sebagai suatu kelas feodal namun beberapa kebiasaan dan norma Samurai masih tetap diterapkan kepada semua kelas sosial lainnya, termasuk para petani, pedagang, dan pengrajin. Terhadap kaum wanitapun mereka melakukan kebiasaan para Samurai seperti dalam perkawinan, dimana perkawinan pada masa itu diatur oleh keluarga. Seorang wanita tidak mempunyai kebebasan untuk memilih calonnya sendiri.

Dalam “Peranan wanita Jepang” Masu Okamura mengatakan :

bahwa, “modernisasi itu mengurangi kebebasan dan persamaan kedudukan antara wanita dan pria. Sampai tahun 1948 menurut Undang-Undang yang berlaku pada saat itu seorang wanita haruslah tunduk kepada ayahnya, pada suaminya, dan pada masa tuanya kepada putranya. Seorang istri tidak dapat bertindak tanpa persetujuan dari suaminya”. (1983 : xi).

Hal lain yang amat menarik mengenai kehidupan keluarga di Jepang dalam buku “Peranan Wanita Jepang” Masu Okamura, 1983:xi adalah ibu merupakan pusat dari segala kegiatan da kehidupan keluarga Jepang. Orbit seorang istri adalah rumah tangga dan anak-anaknya, sedangkan orbit seorang suami adalah pekerjaanya dan teman-teman sekerjanya.

2.4 Pengertian Plot / Alur

Plot / alur sebuah cerita tentulah mengandung unsur urutan waktu. Baik dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu dalam sebuah cerita, sebuah teks naratif, tentulah ada awal kejadian, kejadian berikutnya dan barang kali ada pula akhirnya.


(2)

Burhan Nurgiyantoro, dalam bukunya “Teori pengkajian fiksi” (1995:113-114) mengutip beberapa pengertian tentang alur / plot seperti berikut ini :

1. Menurut Stanton adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yan lain.

2. Menurut Abrams mengemukakan bahwa plot / alur merupakan sebuah karya fiksi, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek tokoh baik yang verbal maupun nonverbal, yang dikemukakan sebelum dan sesudahnya belum tentu berhubungan lansung secara logis, bersebab akibat.

Namun alur sebuah karya fiksi, tidak selalu di saksikan secara kronologis dan patut jadi tahap awal cerita tidak di awal cerita atau di bagian awal teks, melainkan dapat terletak di bagian manapun. Oleh karena itu terdapat perbedaan jenis alur, pembedaan alur berdasarkan urutan waktu terdiri dari alur lurus atau maju, alur sorot balik atau mundur (flash back) dan alur campuran.

Alur maju berarti urutan peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, dari peristiwa yang pertama di ikuti peristiwa-peristiwa berikutnya, sedangkan alur mundur berarti urutan peristiwa-peristiwanya tidak melalui dari tahap awal secara logika, mungkin dimulai dari tahap tengah atau akhir, kemudian tahap awal. Alur campuran sudah pasti merupakan campuran dari kedua jenis alur tersebut.


(3)

2.5 Pengertian Tema

Tema Menurut Stanton, dan Kenny adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. (Burhan Nurgiyantoro,1995:67).

Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita.

Pengarang bisanya memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema, atau subtema berdasarkan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksi dengan lingkungan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna tertentu, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan dan menghayati makna hidup tersebut sebagaimana ia memandangnya.

2.6 Pengertian Latar

Menurut Abrams, latar atau setting disebut juga sebagai landasan tumpu yang mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang di ceritakan. (Burhan Nurgiyantoro, 1995:216).

2.7 Pengertian Penokohan

Penokohan adalah salah satu unsur intrinsik penting dalam mengkaji sebuah karya sastra fiksi, baik cerpen maupun novel. Dalam penokohan dibahas karakter dan watak tokoh-tokoh yang membangun cerita tersebut. Tokoh cerita (character) menurut Abrams adalah orang-orang yang ditafsirkan oleh pembaca memiliki suatu kualitas moral dan tindakan-tindakan atau kecenderungan tertentu yang


(4)

diekspresikan dalam ucapan dan perilakunya. Ia melihat bahwa pembacalah yang memberi arti pada semua tokohnya. (Burhan Nurgiyantoro, 1995 : 165-166)

Tokoh cerita atau karakter dalam bahasa Inggris disebut character yang artinya all those qualities which make one person or race of people different from another person or race of people (seluruh kualitas yang membuat seseorang atau sekelompok orang berbeda dari yang lainnya—A.S. Hornby, 1958 : 163). Karena itu jelaslah bahwa mencari karakter dari tiap tokoh adalah penting untuk dilakukan karena karakter tokoh itulah yang membuat tokoh itu menjadi istimewa dalam membangun sebuah alur cerita.

Penokohan mencakup siapa saja tokoh cerita, wataknya, penempatan dan penggambarannya dalam cerita sehingga pembaca dengan jelas memahami siapa tokoh itu. Meskipun tokoh-tokoh itu adalah fiksi, keberadaannya tidak boleh mengada-ada, harus mencerminkan keberadaan seseorang yang punya bentuk dan perasaan, dengan kata lain, gambaran manusia seutuhnya. Tokoh cerita menempati posisi strategis untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan penciptanya, apakah itu suatu pesan, amanat, ajaran moral, atau hal lainnya.

2.8 Pengertian Interaksi

Menurut H. Bonner dalam bukunya social psychology, interaksi adalah hubungan yang dinamis yang menyangkut hubungan antara perseorangan, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok lainnya dimana kelakuan


(5)

individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya.

W.A. Gerungan dalam bukunya “Pengertian Interaksi”, 2004 : 62 menyebutkan bahwa interaksi merupakan kunci dalam sendi-sendi kehidupan, karena tanpa interaksi tidak mungkin terjadi aktifitas dalam kehidupan. Manusia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

2.8.1 Bentuk-Bentuk Interaksi

Bentuk-bentuk interaksi dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Menurut Gillin dan Gillin bentuk interaksi dapat digolongkan menjadi dua macam sebagai berikut :

1. Proses asosiatif (process of association) yang terbagi dalam tiga bentuk khusus, yaitu :

a. Akomodasi (accommodation) atau adaptasi (adaptation), yaitu kenyataan adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara individu dengan kelompok yang berhubungan dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

b. Asimilasi, yaitu proses yang ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan antara individu atau kelompok yang meliputi kesatuan tindak sosial dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.


(6)

c. Akulturasi, yaitu perbauran dua unsur yang berbeda tanpa menghilangkan kepribadian asal masing-masing.