Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Media Ms Dengan Pemberian Benzil Amino Purin (Bap) Dan Naftalen Asam Asetat (Naa)

INDUKSI TUNAS MIKRO TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) DARI EKSPLAN NODUS PADA MEDIA MS DENGAN PEMBERIAN BENZIL AMINO PURIN (BAP) DAN NAFTALEN ASAM ASETAT (NAA)
SKRIPSI OLEH: PERMATA SARI HARAHAP 100301185/PEMULIAAN TANAMAN
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014

INDUKSI TUNAS MIKRO TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) DARI EKSPLAN NODUS PADA MEDIA MS DENGAN PEMBERIAN BENZIL AMINO PURIN (BAP) DAN NAFTALEN ASAM ASETAT (NAA)
SKRIPSI OLEH : PERMATA SARI HARAHAP 100301185/PEMULIAAN TANAMAN Skripsi merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014

Judul
Nama NIM Program Studi

: Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dari Eksplan Nodus pada Media MS dengan Pemberian Benzil Amino Purin (BAP) dan Naftalen Asam Asetat (NAA)
: Permata Sari Harahap : 100301185 : Agroteknologi

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Luthfi Aziz M. Siregar, SP., M.Sc., Ph.D Ketua

Ir. Yusuf Husni Anggota


Mengetahui :
Prof. Dr. Ir. T. Sabrina, M.Sc. Ketua Program Studi Agroteknologi

RINGKASAN EKSEKUTIF
Kebun Gunung Pamela berdiri pada tahun 1925 bersama CMO (Cultur Mascapay Onderling) dengan luas konsensi 5.525 Ha, sebagai komoditi awal adalah tanaman karet seluas ± 2500 Ha. Pembagian CMO pada saat itu adalah Kebun Gunung Para, Kebun Gunung Pamela dan Kebun Gunung Monako.
Permintaan bahan tanam (bibit) karet untuk peremajaan dan perluasan areal di PT. Perkebunan Nusantara III terus meningkat sejalan dengan adanya program revitalisasi perkebunan yang dicanangkan oleh Pemerintah. Kebutuhan bibit karet PTPN III diperkirakan mencapai hampir 1,6 juta bibit per tahun, sedangkan kemampuan penyediaannya masih sangat terbatas.
Perbanyakan bibit karet sampai saat ini dilakukan dengan cara okulasi, sehingga diperlukan ketersediaan batang atas dan batang bawah. Batang atas diperbanyak secara klonal dengan cara menempelkan mata tunas yang diambil dari tanaman karet di kebun kayu okulasi. Batang bawah merupakan tanaman asal biji (seedling) sehingga ketersediaannya sangat tergantung pada musim biji yang umumnya hanya berlangsung satu kali dalam setahun. Idealnya, batang bawah yang digunakan juga merupakan tanaman hasil seleksi. Akan tetapi, pada tanaman karet penggunaan batang bawah hasil seleksi dengan karakter unggul seperti kemampuan adaptabilitas dengan berbagai lingkungan tanah atau toleran terhadap patogen tanah, belum dilakukan selama ini karena teknik perbanyakan batang bawah secara klonal belum tersedia.
Dengan meningkatnya permintaan bibit karet diperlukan alternatif penyediaan batang bawah sebagai salah satu komponen bibit sehingga ketersediannya mencukupi dan tidak tergantung musim. Jawaban dari alternatif

penyediaan batang bawah adalah Kultur in Vitro yaitu cara perbanyakan klonal tanaman secara aseptik dan Microcutting merupakan salah satu teknik berbasis kultur in vitro tersebut. Teknologi microcutting telah dikembangkan oleh tim CIRAD-Perancis sepanjang tahun 1980-1990-an dan telah melakukan kerjasama dengan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) dan Balai Penelitian Karet Sungei Putih.
Laboratorium Penelitian di BPBPI saat ini baru dapat menghasilkan sekitar 500 planlet setiap bulan. Untuk perbanyakan skala besar diperlukan keterlibatan perusahaan perkebunan besar dan salah satu perusahaan yang tepat adalah PT. Perkebunan Nusantara III (PTPN III). PTPN III merupakan salah satu perusahaan perkebunan dengan komoditas utamanya adalah tanaman karet dan kelapa sawit. Sebagai perusahaan yang sehat, dinamis, berpandangan jauh ke depan serta tanggap dengan kemajuan teknologi, PTPN III merupakan institusi yang ideal dalam pengembangan teknologi microcutting untuk perbanyakan batang bawah klonal secara massal.
Pengembangan teknologi microcutting di PTPN III di mulai pada akhir tahun 2008 tepatnya pada tanggal 10 November 2008 melalui Surat Perjanjian Kerjasama di Bidang Perbanyakan In Vitro Tanaman Karet dan Penelitian Peningkatan Efisiensi Proses Perbanyakannya. Lingkup pekerjaan pada perjanjian kerjasama tersebut adalah: • Memberikan arahan pembangunan laboratorium kultur in vitro tanaman karet
di Kebun Gunung Pamela

• Melakukan penelitian peningkatan efisiensi proses perbanyakan tanaman karet dengan teknologi microcutting di Laboratorium Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Hasil akhir dari kerjasama tahun pertama ini adalah telah selesai
dilaksanakan pembangunan laboratorium kultur in vitro tanaman karet di kebun Gunung Pamela dan masih dilaksanakan penelitian berkelanjutan untuk peningkatan efisiensi proses perbanyakan tanaman karet dengan teknologi microcutting di BPBPI-Bogor.
Teknologi microcutting PTPN III terus dilanjutkan untuk tahun ke-II (tahun 2010) melalui Surat Perjanjian Kerjasama di Bidang Perbanyakan In Vitro Tanaman Karet dan Penelitian Peningkatan Efisiensi Proses Perbanyakannya. Hasil akhir dari kerjasama tahun ke-II masih belum memberikan hasil yang sesuai dengan target pencapaian. Sehingga kerjasama di Bidang Perbanyakan In Vitro Tanaman Karet masih perlu untuk dilanjutkan kembali.
Pengembangan teknologi microcutting PTPN III memasuki tahun ke-III pada tanggal 09 Januari 2012 yang ditandai dengan Surat Perjanjian Kerjasama Peningkatan Kinerja Perbanyakan In Vitro Bahan Tanaman Karet di Unit Pengkajian Kultur In Vitro Gunung Pamela.


ABSTRACT
PERMATA SARI HARAHAP, 2014 : Induction of Rubber Micro Shoot from Node Explant in MS Medium with Benzyl Amino Purine (BAP) and Naphthalene Acetic Acid (NAA), supervised by Luthfi A. M Siregar and Yusuf Husni.
The aimed of research to determine the best medium for micro shoot induction of rubber plant (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) from node explant in MS medium with Benzyl Amino Purine (BAP) and Naphthalene Acetic Acid (NAA). The research was carried out in the In Vitro Culture Laboratory, PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Gunung Pamela, Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Indonesia. The research began from April to June 2014. The research used Completely Randomized Design non factorial with sixteen treatments and six replications.
The results showed that combination of BAP and NAA concentrations gave significantly effect on percent of shoots emergence, shoots number, shoots length and shoots emergence age, but it hasn’t significantly effect on percent of leaves formation and leaves number. Each treatment has different result and it can be concluded that the best combination concentrated to produce leaf of microshoot rubber was MS + 1 mg/l BAP + 0 mg/l NAA.
Keywords: Rubber, Micro Shoot, BAP, NAA

ABSTRAK
PERMATA SARI HARAHAP, 2014 : Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet dari Eksplan Nodus pada Media MS dengan Pemberian Benzil Amino Purin (BAP) dan Naftalen Asam Asetat (NAA), dibimbing oleh Luthfi A. M Siregar dan Yusuf Husni.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan medium yang tepat pada induksi tunas mikro tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dari eksplan nodus pada medium MS dengan pemberian Benzil Amino Purin (BAP) dan Naftalen Asam Asetat (NAA). Penelitian ini dilaksanakan Laboratorium Kultur In Vitro PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Gunung Pamela, Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Indonesia. Penelitian ini dimulai pada bulan April 2014 sampai dengan Juni 2014. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 16 perlakuan dan 6 ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi konsentrasi BAP dan NAA berpengaruh nyata terhadap untuk persentase munculnya tunas, jumlah tunas, panjang tunas dan umur munculnya tunas, tetapi belum berpengaruh nyata terhadap persentase terbentuknya daun dan jumlah daun. Masing-masing perlakuan memiliki hasil yang berbeda dan dapat disimpulkan bahwa kombinasi konsentrasi terbaik untuk pertumbuhan daun pada tunas mikro tanaman karet ialah MS + 1 mg/l BAP + 0 mg/l NAA.
Kata kunci : Karet, Tunas Mikro, BAP, NAA

RIWAYAT HIDUP

Permata Sari Harahap dilahirkan di Medan pada tanggal 31 Mei 1992

anak dari pasangan Muslim Harahap, SP dan Mardiana Ritonga, S.Pd sebagai

anak ketiga dari tiga bersaudara.


Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah SD Swasta Al-

Washliyah 11 Medan lulus pada tahun 2004, SMP Negeri 15 Medan lulus tahun

2007 dan SMA Negeri 5 Medan lulus tahun 2010. Tahun 2010 diterima sebagai

mahasiswa melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan

Tinggi Negeri) pada Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah berkesempatan membantu

dosen menjadi asisten Laboratorium Teknologi Benih pada tahun 2012-2013,

Laboratorium Teknologi Benih pada tahun 2013-2014, Laboratorium

Bioteknologi Pertanian pada tahun 2013-2014. Selain itu penulis aktif dalam


organisasi HIMAGROTEK (2011-2012), UKM HIMADITA NURSERY FP

USU

(2011-2012) dan (2012-2013) serta melaksanakan Praktek Kerja

Lapangan (PKL) di PT. Perkebunan Nusantara II Kebun Sawit Seberang,

Langkat, pada Juli sampai Agustus 2013.

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) dari Eksplan Nodus pada Media MS dengan Pemberian Benzil Amino Purin (BAP) dan Naftalen Asam Asetat (NAA)”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Ayahanda Muslim Harahap, SP dan Ibunda Mardiana Ritonga, S.Pd. yang telah memberikan dukungan moril dan materiil kepada penulis. Serta kepada Harry Perdana Harahap, S.Sos, Dian Mustika Harahap, S.Pd, Afridayani Afnel S.KM sebagai saudara yang selalu memotivasi saya. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Luthfi Aziz Mahmud Siregar, SP., M.Sc., PhD., selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Yusuf Husni selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan, mulai dari penetapan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, September 2014
Penulis

DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF......................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vi
KATA PENGANTAR.................................................................................... vii
DAFTAR ISI................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 Latar belakang...................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ................................................................................. 5 Hipotesis Penelitian.............................................................................. 5 Kegunaan Penelitian............................................................................. 5
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 6 Pengenalan Tanaman Karet.................................................................. 6 Kultur Jaringan..................................................................................... 8 Eksplan................................................................................................. 10 Media Kultur ........................................................................................ 13 Lingkungan in vitro ............................................................................. 15 Zat Pengatur Tumbuh........................................................................... 17
BAHAN DAN METODE PENELITIAN .................................................... 21 Tempat dan Waktu ............................................................................... 21 Bahan dan Alat..................................................................................... 21 Metode Penelitian................................................................................. 21
PELAKSANAAN PENELITIAN ................................................................. 24 Sterilisasi Alat ...................................................................................... 24 Pembuatan Media................................................................................. 24 Sterilisasi Bahan Tanaman di Lapangan .............................................. 25 Pengambilan Bahan Tanaman.............................................................. 26 Sterilisasi Bahan Tanaman di Laboratorium........................................ 26 Persiapan Ruang Tanam....................................................................... 26 Penanaman ........................................................................................... 27

Pemeliharaan Eksplan .......................................................................... 27 Peubah Amatan .................................................................................... 28
Persentase Munculnya Tunas (%)............................................ 28 Jumlah Tunas (tunas) ............................................................... 28 Panjang Tunas (cm).................................................................. 28 Persentase Terbentuknya Daun(%) .......................................... 28 Jumlah Daun (helai) ................................................................. 28 Umur Munculnya Tunas (hari)................................................. 29
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ...................................................................................................... 30 Persentase Munculnya Tunas (%)............................................ 30 Jumlah Tunas (tunas) ............................................................... 31 Panjang Tunas (cm).................................................................. 32 Persentase Terbentuknya Daun(%) .......................................... 34 Jumlah Daun (helai) ................................................................. 34 Umur Munculnya Tunas (hari)................................................. 36 Pembahasan ......................................................................................... 37
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ............................................................................................46 Saran .......................................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

No. Hal. 1. Persentase munculnya tunas (%) dalam medium MS + kombinasi BAP
dan NAA dari eksplan nodus 6 minggu setelah pengkulturan ..................... 30 2. Jumlah tunas (tunas) dalam medium MS + kombinasi BAP dan NAA
dari eksplan nodus 6 minggu setelah pengkulturan ..................................... 31 3. Panjang tunas (cm) dalam medium MS + kombinasi BAP dan NAA
dari eksplan nodus 6 minggu setelah pengkulturan ..................................... 33 4. Persentase terbentuknya daun (%)dalam medium MS + kombinasi BAP
dan NAA dari eksplan nodus 6 minggu setelah pengkulturan ..................... 35 5. Jumlah daun (helai) dalam medium MS + kombinasi BAP dan NAA
dari eksplan nodus 6 minggu setelah pengkulturan ..................................... 36 6. Umur munculnya tunas (hari) dalam medium MS + kombinasi BAP dan
NAA dari eksplan nodus 3 minggu setelah pengkulturan............................ 37
DAFTAR GAMBAR

No. Hal.
1. Pembibitan Karet dan Primary Culture Karet ............................................... 7 2. Induksi tunas dari eksplan buku (a) pada media MS dengan perlakuan A10
(1.5 mg/l BAP + NAA 0.1 mg/l) dan (b) A12 (1.5 mg/l BAP + NAA 0.5 mg/l) setelah 6 MST..................................................................................... 31 3. Induksi tunas dari eksplan buku (a) pada media MS dengan perlakuan A10 (1.5 mg/l BAP + NAA 0.1 mg/l) dan (b) A15 (2 mg/l BAP + NAA 0.25 mg/l) setelah 6 MST..................................................................................... 34 4. Induksi ketiga tunas dari eksplan buku (nodus) pada media MS dengan perlakuan A10 (1.5 mg/l BAP + NAA 0.1 mg/l) setelah 6 MST................ 36 5. Induksi tunas dari eksplan buku (a) pada media MS dengan perlakuan A6 (1 mg/l BAP + NAA 0.1 mg/l) dan (b) A10 (1.5 mg/l BAP + NAA 0.2 mg/l) pada umur 3 MST............................................................................... 37

DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal. 1. Data Pengamatan Persentase Munculnya Tunas (%)................................... 51 2. Data Transformasi Persentase Munculnya Tunas Arcsin √P....................... 52 3. Daftar Sidik Ragam Persentase Munculnya Tunas...................................... 52 4. Uji Jarak Berganda Duncan Persentase Munculnya Tunas.......................... 53 5. Data Pengamatan Jumlah Tunas 5 dan 6 MST (tunas) ................................ 53 6. Data Transformasi Jumlah Tunas 5 dan 6 √X+0.5 ...................................... 54 7. Daftar Sidik Ragam Jumlah Tunas 5 dan 6 MST ........................................ 54 8. Uji Jarak Berganda Duncan Jumlah Tunas 5 dan 6 MST ............................ 55 9. Data Pengamatan Panjang Tunas (cm) ........................................................ 55 10. Data Transformasi Panjang Tunas √X+0.5.................................................. 56 11. Daftar Sidik Ragam Panjang Tunas (cm) .................................................... 56 12. Uji Jarak Berganda Duncan Panjang Tunas................................................. 57 13. Data Pengamatan Persentase Terbentuknya Daun (%)................................ 58 14. Data Transformasi Persentase Terbentuknya Daun Arcsin √P .................... 58 15. Data Sidik Ragam Persentase Terbentuknya Daun...................................... 58 16. Daftar Pengamatan Jumlah Daun (helai) ..................................................... 59 17. Daftar Transformasi Jumlah Daun √X+0.5.................................................. 59 18. Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun................................................................ 60 19. Data Pengamatan Umur Munculnya Tunas (Hari)....................................... 54 20. Komposisi Media Murashige dan Skoog (MS)............................................ 61 21. Kegiatan Penelitian ...................................................................................... 62 22. Bagan Penelitian........................................................................................... 63 23. Lampiran Foto Penelitian............................................................................. 64

ABSTRACT
PERMATA SARI HARAHAP, 2014 : Induction of Rubber Micro Shoot from Node Explant in MS Medium with Benzyl Amino Purine (BAP) and Naphthalene Acetic Acid (NAA), supervised by Luthfi A. M Siregar and Yusuf Husni.
The aimed of research to determine the best medium for micro shoot induction of rubber plant (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) from node explant in MS medium with Benzyl Amino Purine (BAP) and Naphthalene Acetic Acid (NAA). The research was carried out in the In Vitro Culture Laboratory, PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Gunung Pamela, Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Indonesia. The research began from April to June 2014. The research used Completely Randomized Design non factorial with sixteen treatments and six replications.
The results showed that combination of BAP and NAA concentrations gave significantly effect on percent of shoots emergence, shoots number, shoots length and shoots emergence age, but it hasn’t significantly effect on percent of leaves formation and leaves number. Each treatment has different result and it can be concluded that the best combination concentrated to produce leaf of microshoot rubber was MS + 1 mg/l BAP + 0 mg/l NAA.

Keywords: Rubber, Micro Shoot, BAP, NAA

ABSTRAK
PERMATA SARI HARAHAP, 2014 : Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet dari Eksplan Nodus pada Media MS dengan Pemberian Benzil Amino Purin (BAP) dan Naftalen Asam Asetat (NAA), dibimbing oleh Luthfi A. M Siregar dan Yusuf Husni.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan medium yang tepat pada induksi tunas mikro tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dari eksplan nodus pada medium MS dengan pemberian Benzil Amino Purin (BAP) dan Naftalen Asam Asetat (NAA). Penelitian ini dilaksanakan Laboratorium Kultur In Vitro PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Gunung Pamela, Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Indonesia. Penelitian ini dimulai pada bulan April 2014 sampai dengan Juni 2014. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 16 perlakuan dan 6 ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi konsentrasi BAP dan NAA berpengaruh nyata terhadap untuk persentase munculnya tunas, jumlah tunas, panjang tunas dan umur munculnya tunas, tetapi belum berpengaruh nyata terhadap persentase terbentuknya daun dan jumlah daun. Masing-masing perlakuan memiliki hasil yang berbeda dan dapat disimpulkan bahwa kombinasi konsentrasi terbaik untuk pertumbuhan daun pada tunas mikro tanaman karet ialah MS + 1 mg/l BAP + 0 mg/l NAA.
Kata kunci : Karet, Tunas Mikro, BAP, NAA

PENDAHULUAN
Latar Belakang Tanaman karet (Hevea brasiliensis) berasal dari negara Brazil. Tanaman
ini merupakan sumber utama bahan tanaman karet alam dunia. Jauh sebelum tanaman karet ini dibudidayakan, penduduk asli di berbagai tempat seperti Amerika Serikat, Asia, dan Afrika Selatan menggunakan pohon yang juga menghasilkan getah. Pohon karet pertama kali hanya tumbuh di Amerika Selatan, namun setelah percobaan berkali-kali oleh Henry Wickham, pohon ini berhasil dikembangkan di Asia Tenggara, dimana sekarang tanaman ini banyak dikembangkan di Asia sebagai sumber karet alami (Budiman, 2012).
Luas areal perkebunan karet yang dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara III (PTPN III) saat ini terdiri atas 45.327 ha kebun eksisting dan 9.150 ha kebun plasma. Dengan asumsi setiap tahun dilakukan peremajaan sebesar 5 % dari luas areal tersebut diperlukan bahan tanamn karet sebanyak 1,5 juta bibit per tahun. Kebutuhan bahan tanam tersebut sampai saat ini diperoleh melalui cara konvensional menggunakan batang bawah dari biji dan batang atas dari klon-klon yang direkomendasikan. Menyadari berbagai keterbatasan dalam penyediaan bibit secara konvensional antara lain keragaman batang bawah relatif tinggi, ketersediaan biji mulai berkurang dan tuntutan peningkatan produktivitas diperlukan inovasi teknologi dalam penyediaan bibit karet (Muluk, 2009).
Pengadaan bibit karet klonal dengan okulasi masih merupakan cara perbanyakan terbaik pada tanaman karet. Klon sebagai batang atas diperoleh melalui seleksi dan diperbanyak secara klonal melalui okulasi. Batang bawah merupakan tanaman dari benih. Benih tanaman karet termasuk benih rekalsitran

sehingga perlu dikelolah secara tepat dan tepat hingga ditanam di lahan pembibitan batang bawah (Mahardika, 2013).
Semua spesies Hevea memiliki jumlah kromosom ialah 2n = 36, dengan pengecualian satu triploid klon H. guinensis (2n = 54) dan adanya satu genotipe H. pauciflora dengan 2n = 18. Meskipun Hevea berperilaku sebagai diploid, itu diyakini menjadi amphidiploid (2n = 36; x = 9) yang stabil selama evolusi. Anggapan ini didukung oleh ketaatan tetravalents selama meiosis (Janick, 2007).
Berbeda dengan batang atas, batang bawah masih diambil dari biji tanaman. Biji berasal dari klon - klon, seperti GT 1, PB 260, RRIC 100, dan AVROS 2037. Digunakannya biji sebagai batang bawah memiliki beberapa dampak negatif, seperti perbedaan karakter awal dari genotipe. Batang bawah bervariasi bisa membuat batang atas mengalami diferensiasi sehingga akan berdampak pada produksi lateks, diameter batang, bentuk daun, dan tampilan morfologinya. Untuk memecahkan kasus ini, batang bawah harus homogen. Maka, batang bawah harus diperbanyak secara klonal dengan kultur jaringan tanaman (Pratama, 2008).
Teknik kultur jaringan telah digunakan untuk mengatasi masalah yang terkait dengan propagasi konvensional di banyak tanaman. Kultur tunas ujung telah berhasil digunakan dan keberhasilan terbesar telah dicapai dengan tanaman herba. Di antara tanaman keras berkayu yang telah disebarkan berhasil adalah tanaman buah seperti apel, peach, prunus dan pohon hutan ulmus, populus dan fagus. Metode ini memungkinkan laju multiplikasi berkali-kali lebih cepat

daripada metode konvensional dan paling tidak mungkin untuk menghasilkan tanaman genetik menyimpang (Gunatilleke dan Chandra, 1988).

Microcutting merupakan salah satu teknik mikropropagasi tanaman berbasis kultur in vitro dan telah berhasil diaplikasikan untuk perbanyakan tanaman karet asal biji (seedling) dengan menggunakan tunas aksilar sebagai eksplan. Keuntungan teknik tersebut adalah terbukanya peluang untuk menghasilkan batang bawah klonal yang selama ini belum pernah ada pada tanaman karet. Penggunaan batang bawah klonal akan meningkatkan keseragaman pertanaman karet di lapang, karena klon batang atas didukung oleh batang bawah yang sama dan lebih seragam, dibandingkan dengan batang bawah asal biji yang digunakan saat ini. Di samping itu, teknologi perbanyakan tersebut juga membuka peluang untuk melakukan seleksi terhadap batang bawah sesuai dengan karakter yang diinginkan, misalnya batang bawah dengan karakter tahan terhadap penyakit akar atau toleran terhadap kondisi lahan kering. Material bahan tanam tersebut kemudian dapat diperbanyak secara klonal. Penggunaan batang bawah unggul dan klonal berpeluang besar untuk meningkatkan produksi lateks dari batang atas karena diduga potensi produksi dapat ditampilkan secara optimal (Haris, dkk, 2009).
Perbanyakan dengan kultur in vitro pada apex dan tunas aksilar disebut microcutting. Teknik dasar untuk microcutting karet, pertama dengan menggunakan potongan batang bibit muda menggunakan nodus, kemudian dilanjutkan ke bahan klonal. Namun, pencegahan kontaminasi menjadi kesulitan besar. Budidaya tunas terisolasi terbukti menjadi solusi yang memuaskan. Proses yang dikembangkan di CIRAD terdapat beberapa fase yaitu: primary culture,

multiplikasi, perakaran dan aklimatisasi. Untuk tahap multiplikasi, eksplan primer dapat diinduksi kembali hingga 5 atau 6 kali. Tingkat multiplikasi microcutting hasilnya rendah. Setelah induksi perakaran, dikombinasikan dengan aklimatisasi dilakukan selama 4-6 minggu di rumah kaca sebelum transfer planlet ke lapangan. Mendanha, et al, ( 1998) menyatakan bahwa tunas diperoleh dari ketiak tunas pada media Murashige and Skoog dilengkapi dengan pengatur pertumbuhan dan pembentukan organ mirip dengan diinduksi auksin Skoog. Menginduksi kalus dari ketiak tunas pada daun tetapi gagal untuk menumbuhkan tunas (Janick, 2007).
Ada banyak formulasi yang media yang berbeda, empat media yang representatif. Murashige-Skoog (MS) dan Medium Linsmaier-Skoog telah digunakan secara luas untuk berbagai jenis budaya dan spesies, terutama pada tanaman herba. Untuk tanaman berkayu, pengenceran tiga sampai sepuluh kali dalam garam anorganik atau pergeseran media anorganik lainnya yang diharapkan. Woody Plant Medium (WPM) dikembangkan untuk tanaman berkayu dan Anderson (AND) sedang dikembangkan untuk tanaman fhotodendrons. Media Gamborg (B5) telah digunakan secara luas untuk kultur sel dan jaringan (Hartmann, dkk, 2002).
Pada media Murashige and Skoog (MS) merupakan media dengan komponen nutrient paling lengkap, sehingga menyebabkan harga media tersebut mahal namun tetap dicari. Berbagai permasalahan di atas merupakan alasan bagi peneliti untuk melakukan penelitian dengan melakukan tunas aksilar tanaman karet (H. brasiliensis Muell.Arg.) dengan teknik microcutting pada beberapa komposisi media tanam.

Tujuan Penelitian Untuk mendapatkan medium yang tepat pada induksi tunas mikro
tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dari eksplan nodus pada medium MS dengan pemberian Benzil Amino Purin (BAP) dan Naftalen Asam Asetat (NAA). Hipotesis Penelitian
Ada pengaruh kombinasi BAP dan NAA pada medium MS terhadap induksi tunas mikro dari eksplan nodus pada tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.). Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang memerlukan.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengenalan Tanaman Karet Sistematika bahan tanaman karet (H. brasiliensis Muell. Arg.) menurut
Steenis (2005) ialah : Kingdom : Plantae; Divisio: Spermatophyta; Subdivisio : Angiospermae; Kelas : Dicotyledoneae; Ordo : Euphorbiales; Famili : Euphorbiaceae; Genus : Hevea.
Akar tanaman karet berupa akar tunggang yang mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi ke atas. Dengan akar seperti itu pohon karet dapat berdiri kokoh, meskipun tingginya mencapai 25 meter (Setiawan dan Andoko, 2006).
Tanaman karet merupakan tanaman yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa 15-25 meter. Batang biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan tinggi di atas. Batang tanaman ini mengandung getah atau lateks (Syamsulbahri, 1996).
Tanaman karet adalah anggota famili Euphorbiaceae. Berbentuk pohon, tinggi 10-20 m, bercabang dan mengandung banyak getah susu. Daun berselangseling, tangkai daun panjang, 3 anak daun yang licin bertangkai, petiola pendek, hijau dan memiliki panjang 3,5-30 cm. Helaian anak daun bertangkai pendek dan berbentuk elips atau bulat telur, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing, sisi atas daun hijau tua dan sisi bawah agak cerah, panjangnya 5-35 cm dan lebar 2,512,5 cm (Sianturi, 2001).
Tanaman karet adalah tanaman berumah satu (monoceus). Pada satu tangkai bunga yang berbentuk bunga majemuk terdapat bunga jantan dan bunga


betina. Penyerbukannya dapat terjadi dengan penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang (Setyamidjaja,1993).
Karakteristik bunga jantan pada beberapa tetua karet cukup bervariasi, yaitu 295-500 bunga per tangkai dengan rata-rata 383,4 per tangkai dan 20652640 bunga per karangan dengan rata-rata 3482,6 bunga per karangan. Masingmasing bunga jantan dari setiap tetua tumbuh di setiap tangkai utama dan cabangcabangnya, untuk satu tangkai bunga tersusun atas tiga bunga jantan (trifolia) yang berwarna kuning (Syarifah dan Woelan, 2007; Mardianto, 2011).
Buah beruang tiga, jarang yang beruang 4 hingga 6 diameter buah 3-5 cm dan terpisah 3, 4, 6. Coci bekatup dua, pericarp berbentuk endokarp berkayu. Biji besar, bulat persegi empat, tertekan pada satu atau dua sisinya, berkilat, berwarna coklat muda, dengan noda-noda cokelat tua, panjang 2-3,5 cm dan lebar 1,5–3 cm dan tebal 1,5-2,5 cm (Sianturi, 2001).
Dalam satu kapsul buah karet umumnya terdapat 3 butir biji. Buah yang masih muda secara bertahap selama 4 minggu pertama dari sejak penyerbukan, dan buah mencapai ukuran maksimum pada umur 3 bulan setelah penyerbukan (Pustaka Litbang Deptan, 2012).
Gambar 1. Pembibitan Karet dan Primary Culture Karet (Sumber : Montoro, dkk, 2012)

Kultur Jaringan Teknik kultur jaringan dimulai ketika Schwan dan Schleiden
mengemukakan teori totipotensi yang menyatakan bahwa sel-sel bersifat otonom dan pada prinsinya mampu beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Jaringan tanaman dapat diisolasi dan di kultur hingga berkembang menjadi tanaman normal dengan melakukan manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan nutrisinya (Zulkarnain, 2009).
Kultur jaringan merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro. Yang dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan zat pengatur tumbuh, serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita, 2003).
Kultur jaringan akan lebih besar persentase keberhasilannya bila menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis belum mempunyai penebalan dari zat pectin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecilkecil. Kebanyakan orang menggunakan jaringan ini untuk tissue culture. Sebab, jaringan meristem keadaannya selalu membelah, sehingga diperkiran mempunyai zat hormon yang mengatur pembelahan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Perbanyakan mikro beberapa tanaman yang biasa diperbanyak secara vegetatif merupakan contoh aspek yang menarik dari penerapan kultur jaringan. Teknik kultur jaringan juga dapat diterapkan dalam pemuliaan tanaman untuk mempercepat pencapaian tujuan dan membantu dimana cara-cara konvensional menemui rintangan alamiah (Gunawan, 1995).

Kultur in vitro tanaman karet (H. brasiliensis Muell. Arg.) dapat dilakukan dengan microcutting dan embriogenesis somatik. Teknologi in vitro microcutting karet dikembangkan untuk menghasilkan batang bawah klonal guna memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas batang bawah yang selama ini dihasilkan dari biji. Meningkatnya kebutuhan batang bawah menyebabkan ketersediaan biji tidak mencukupi lagi karena tergantung pada beberapa klon karet penghasil biji batang bawah dan pada musim biji yang hanya berlangsung satu kali dalam setahun. Di samping itu, kelemahan lain dari penggunaan bibit asal biji sebagai batang bawah adalah adanya keragaman batang bawah dan kekurang-mampuan kombinasi batang atas dan batang bawah menampilkan potensi produksi dan karakter unggul lain secara maksimal karena perbedaan tingkat juvenilitas (Sumaryono, dkk, 2012).
Di era tahun 1980-an, perbanyakan bahan tanam karet melalui kultur in vitro banyak dilakukan di CIRAD (France Agricultural Research Centre for International Development) Perancis, menggunakan dua macam teknik, yaitu somatik embriogenesis dan in vitro microcutting. Khusus untuk teknik in vitro microcutting keberhasilan dicapai dengan menggunakan eksplan yang berasal dari tanaman seedling muda. Sepanjang tahun 1988 sampai dengan 1993, sebanyak 50.000 planlet asal in vitro microcutting berhasil diperoleh, dan kemudian dikirimkan untuk pengujian aklimatisasi dan pengujian lapang ke beberapa lokasi di Afrika, antara lain Ivory Coast dan Gabon. Dari hasil pengujian tersebut diperoleh beberapa informasi penting, antara lain adalah sistem perakaran tanaman karet asal in vitro microcutting menyerupai sistem

perakaran tanaman karet asal seedling yaitu suatu kondisi yang sulit dicapai melalui perbanyakan stek konvensional di masa lalu (Haris, 2013).
Pada dasarnya kultur in vitro merupakan suatu proses perbanyakan sel, jaringan, organ atau protoplas dengan teknik steril. Keberhasilan teknologi in vitro masih terbatas pada beberapa tanaman tertentu saja. Kultur in vitro juga memberikan pengertian tentang studi fisiologi, biokimia, genetika, pertumbuhan dan perkembangan spesies tanaman pada tingkat molekuler (Nasir, 2000).
Keberhasilan tersebut membuka peluang perbanyakan tanaman karet secara in vitro, yang dapat dilakukan untuk dua tujuan. Pertama dan yang paling ideal adalah untuk perbanyakan klonal tanaman karet unggul secara massal sehingga bibit yang diperoleh tidak memerlukan batang bawah dan merupakan klon utuh (whole clone). Namun ternyata hal tersebut tidak mudah karena sebagian besar klon-klon karet yang direkomendasikan untuk ditanam dalam skala luas kurang responsif terhadap lingkungan kultur in vitro (Haris, 2013). Eksplan
Bahan tanaman yang dikulturkan lazim disebut eksplan. Dalam hal perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, eksplan merupakan faktor penting penentu keberhasilan. Umur fisiologis, umur otogenetik, ukuran eksplan, serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur (Yusnita, 2003).
Eksplan yaitu bagian tanaman yang dijadikan bahan inokulum awal yang ditanam dalam media yang akan menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan tertentu. Arah pertumbuhan dan perkembangan ditentukan oleh komposisi media


dan zat pengatur tumbuh yang digunakan (dalam hal jenis zat pengatur tumbuh dan konsentrasinya), bagian tanaman yang dijadikan eksplan, lingkungan tumbuhnya (Gunawan, 1995).
Sumber asal eksplan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan potensial morfogenetiknya. Eksplan yang berasal dari satu jenis organ misalnya, juga diketemukan adanya keragaman dalam regenerasinya. Ukuran eksplan untuk dikulturkan juga mempengaruhi keberhasilannya. Ukuran yang terlampau kecil akan kurang daya tahannya bila dikulturkan, sementara bila terlampau besar akan sulit mendapatkan eksplan yang steril. Setiap jenis tanaman maupun organ memiliki ukuran eksplan yang optimum untuk dikulturkan (Armini, dkk, 1992).
Ada beberapa informasi tentang mikropropagasi Hevea menggunakan eksplan yang berbeda, sebagian besar berasal dari bibit. Setelah itu, planlet dengan tunas dan akar berhasil dikembangkan oleh berbagai peneliti bernaman Gunatilleke, Carron, Sompong dan Muangkaewngam, Kyte dan Kleyn, Paranjothy dan Glandimethi yaitu diinduksi perakarannya di planlet yang berasal dari kultur jaringan, tetapi tidak dapat mematikan bahan dari klon, meskipun mereka regenerasi dari tunas dari tunas samping dari beberapa klon. Sebagian besar in vitro Hevea diarahkan melalui kultur pucuk, kultur nodus, embriogenesis somatik dan transformasi genetik (Dickson, dkk, 2011).
Biji yang akan dipergunakan untuk batang bawah berasal dari kebun karet klonal penghasil biji yang mempunyai hasil tinggi. Di Indonesia kebun biji umumnya tersebar di areal perkebunan besar atau proyek pengembangan karet. Syarat kebun sumber biji untuk batang bawah adalah terdiri dari klon monoklonal anjuran untuk sumber benih, kemurnian klon minimal 95%, umur tanaman

10-25 tahun, pertumbuhan normal dan sehat, penyadapan sesuai norma, luas blok minimal 15 ha, dan topografi relatif datar (Budiman, 2012).
Perbedaan diantara proliferasi tunas aksilar muda dan klon telah dilaporkan oleh Carron dkk pada tahun 1984 dimana proliferasi tunas yang tinggi peningkatannya pada bahan tanaman yang muda. Tanaman yang telah berhasil melalui kultur in vitro dari bahan klon sejak tahun 1985 oleh Carron meskipun tingkat proliferasi dari ini bahan belum dipublikasi (Seneviratne, dkk, 1998).
Eksplan pada tahap kultur primer merupakan potongan batang tanaman karet muda yang dipelihara dalam polibag di rumah kaca dan eksplan tersebut memiliki minimal satu mata tunas aksilar (axillary bud). Dalam kondisi in vitro, eksplan yang bebas dari kontaminan dan tumbuh baik dapat diperbanyak melalui subkultur berulang-ulang sehingga kultur primer merupakan tahap yang menentukan untuk keberhasilan dan keberlanjutan perbanyakan tanaman menggunakan teknologi tersebut (Haris, dkk, 2009).
Untuk mendapatkan bahan tanaman okulasi yang baik diperlukan entres yang baik dan dari kelompok klon anjuran. Klon-klon anjuran adalah klon-klon yang direkomendasikan untuk pertanaman komersial yang telah dilepas seperti :
a. Klon Penghasil Lateks : BPM 24, BPM 27, BPM 109, IRR 104, PB 217, dan PB 260.
b. Klon Penghasil Lateks Kayu : BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, dan IRR 118.
c. Klon Penghasil Kayu : IRR 70, IRR 71, IRR 72, dan IRR 78. Klon-klon anjuran lainnya yang sudah dilepas sperti BPM 1, BPM 1-7, BPM 109, AVROS 2037, GT 1, PR 255, PR 300, RRIM 600, RRIM 712 masih dapat

digunakan dengan beberapa pertimbangan antara lain dengan memperhatikan kepentingan pengguna untuk penanaman klon tersebut pada wilayah tertentu dan spesifikasi tertentu (Budiman, 2012). Media Kultur
Media tanam dalam kultur jaringan adalah tempat untuk tumbuh eksplan. Media tanam harus berisi semua zat yang diperlukan untuk menjamin pertumbuhan eksplan. Bahan-bahan yang diramu berisi campuran garam mineral, sumber unsur makro dan mikro, gula, protein, vitamin dan hormon tumbuh. Dengan demikian keberhasilan kultur jaringan jelas ditentukan oleh media tanam dan jenis tanaman. Campuran media yang satu mungkin cocok untuk jenis-jenis tanaman tertentu, tetapi tidak cocok untuk jenis-jenis tanaman lainnya (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Komponen media kultur yang lengkap ialah sebagai berikut : 1. Air destilasi (akuades) atau air bebas ion sebagai pelarut atau solven 2. Hara-hara makro dan mikro 3. Gula (umumnya sukrosa) sebagai sumber energi 4. Vitamin, asam amino, dan bahan organik lainnya 5. Zat pengatur tumbuh 6. Suplemen berupa bahan-bahan alami, jika diperlukan 7. Agar-agar atau gelrite sebagai pemadat media (Yusnita, 2003).
Media yang digunakan merupakan faktor yang mendukung keberhasilan dalam kultur. Media yang digunakan dapat berbentuk padat, semi padat, dan cair. Proses pengakaran lebih baik dilakukan dalam media padat sampai terbentuk

tanaman lengkap. Pembentukan bagian tanaman (morfogenesis) langsung maupun tidak langsung tergantung pada jenis dan konsentrasi yang tepat dari senyawa organik, anorganik dan zat pengatur tumbuh dalam suatu media kultur (Wattimena, et al, 1992).

Media yang digunakan secara luas adalah media Murashige & Skoog (MS) yang dikembangkan pada tahun 1962. Dari berbagai komposisi dasar ini kadang-kadang dibuat modifikasi, misalnya hanya menggunakan ½ dari konsentrasi dari garam-garam makro yang digunakan (½ MS) atau menggunakan komposisi garam makro berdasarkan MS, tetapi mikro dan vitamin berdasarkan komposisi Heller. Zat pengatur tumbuh yang akan digunakan disesuaikan dengan tujuan inisiasi kultur (Gunawan, 1995).
Penelitian terhadap pengaruh komposisi medium kultur dapat dimulai, misalnya menggunakan medium dasar MS dengan mencoba berbagai taraf unsurunsur makro, seperti ¼, ½. ¾, atau konsentrasi penuh (full strength). Apabila telah diperoleh hasil yang memuaskan maka dapat dilihat pula formulasi unsurunsur makro atau komposisi ion dari medium lain dan dicoba untuk melihat perbedaannya (Zulkarnain, 2009).
Paranjothy dan Gandhimathi (1975) menyatakan upaya pertama mereka pada kultur pucuk karet. Mereka mampu mengkulturkan ujung tunas dari bibit yang tumbuh dalam kultur aseptik pada modifikasi media MS dan menginduksi perakaran, proliferasi tunas dan pada tunas tidak didapatkan hasil oleh mereka. Carron dan lainnya menyatakan bahwa produksi planlet berasal dari pemotongan nodus pada bibit dan beberapa dari klon yang terpilih. Hanya beberapa planlet dapat diperoleh dari satu eksplan oleh Carron et al. Pada tahun 1982 dan 1985.

Jika metode ini akan berhasil digunakan dalam propagasi Hevea, harus ada proliferasi cepat dari tunas dari eksplan (Gunatilleke dan Chandra, 1988).
Perbandingan produksi akar yang lebih baik telah diamati pada medium MS setengah yang tidak ditambahkan hormon daripada fitohormon yang telah dilengkapi dengan konsentrasi dan kombinasi yang berbeda yang menghasilkan pembentukan akar yang lebih sedikit. Oleh karena itu, medium MS setengah (tanpa hormon) dipertimbangkan lebih baik untuk produksi akar dibandingkan dengan media MS (Islam, et al, 2005).
Sukrosa sering ditambahkan pada medium kultur jaringan sebagai sumber energi yang diperlukan untuk induksi kalus. Sukrosa dengan konsentrasi 2%-5% merupakan sumber karbon. Penggunaan sukrosa di atas kadar 3% menyebabkan terjadinya penebalan dinding sel. Pengaruh rangsangan dari gula terhadap pertumbuhan ditentukan juga oleh cara sterilisasinya. Penggunaan autoklaf untuk sterilisasi dapat memberikan pengaruh baik atau buruk terhadap pertumbuhan, tergantung dari gula yang digunakan dalam medium tersebut (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Tumbuhnya tunas aksilar dilihat dalam waktu satu minggu pada semua media dan tunas terminal tumbuh lebih cepat dari tunas aksilar. Daun membuka dan berubah menjadi hijau. Respon yang berulang pada setiap perlakuan yaitu variabel yang digunakan (Gunatilleke dan Chandra, 1988). Lingkungan in Vitro
Dalam teknik kultur jaringan tanaman, cahaya dinyatakan dengan dimensi lama penyinaran, intensitas dan kualitasnya. Prof. Murashige menyarankan untuk mengasumsikan kebutuhan lama penyinaran pada kultur jaringan tanaman

merupakan pencerminan dari kebutuhan periodisitas tanaman yang bersangkutan di lapangan. Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan (Yusnita, 2003).
pH adalah kondisi asam dan basa yang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu fungsi membran sel dan pH dari sitoplasma. Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan fisiologis sel, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor: 1. Kelarutan dari garam-garam penyusun media 2. Pengambilan dari zat pengatur tumbuh dan garam-garam lain. 3. Efisiensi pembekuan agar-agar Sel-sel tanaman membutuhkan pH sedikit asam barkisar antara 5,5 – 5,8. Pengaturan pH biasa dilakukan dengan menggunakan NaOH atau HCl (Gunawan, 1995).
Temperatur yang dibutuhkan untuk dapat terjadi pertumbuhan yang optimal umumnya adalah berkisar di antara 200-300C. Sedangkan temperatur optimum untuk pertumbuhan kalus endosperm adalah sekitar 250C. Faktor lingkungan, disamping faktor makanan (media tanam) yang cocok, dapat mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Lingkungan tumbuh yang dapat mempengaruhi regenerasi tanaman meliputi temperatur, penyinaran, kualitas panjang penyinaran, intensitas penyinaran, serta ukuran wadah kultur (Gunawan, 1995).
Suhu yang digunakan biasanya dilakukan pada laboratorium microcutting Kebun Gunung Pamela ialah suhu ruangan 260-280 C, pencahayaan selama 12jam/hari menggunakan lampu TL 40 W dengan intensitas cahaya sekitar

30μmol foton/m2/detik, kelembaban relatif berkisar antara 65-80%. Faktor pendukung lain pada lingkungan in vitro ialah pencegahan kontaminasi yang tinggi mencapai 60% melalui salah cara yaitu pengganti hefa filter pada Laminar Air Flow Cabinet dan Air Conditioner ruangan selama 6 bulan sekali. Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh (ZPT) didefinisikan sebagai senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (10-6-10-5 mM) yang disintesiskan pada bagian tertentu tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis (Wattimena, et al, 1992).
Pengaruh auksin dan hormon tumbuhan lainnya dalam mengatur pertumbuhan atau pembentukan daun belum diketahui dengan jelas. Sedangkan kerja atau peranan sitokinin sendiri belum dimengerti dan tidak cukup bukti-bukti yang jelas untuk menguatkan hasil dari suatu proses biokimia (Davies, 1987).
Terdapat kisaran interaksi yang luas antara kelompok auksin dengan kelompok sitokinin. Kedua kelompok zat pengatur tumbuh tersebut berinteraksi pula dengan senyawa senyawa kimia lainya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, seperti cahaya dan suhu. Pada kondisi tertentu auksin dapat bereaksi dengan menyerupai sitokinin, atau sebaliknya (Kyte, 1983). Meskipun demikian, baik auksin maupun sitokinin, keduanya sering kali diberikan secara bersamaan pada medium kultur untuk menginduksi pola morfogenesis tertentu, walaupun rasio yang dibutuhkan untuk induksi perakaran maupun pucuk tidak selalu sama, terdapat keragaman yang tinggi antar genus, antar spesies, bahkan antar kultivar

dalam hal jenis takaran auksin dan sitokinin untuk menginduksi terjadinya morfogenesis (Kyte,1983;Torres,1989) (Zulkarnain, 2009).
Pertumbuhan tanaman secara alami dikendalikan oleh hormon endogen dan hormon ini terdapat pada tanaman dalam jumlah yang kecil. Pemberian senyawa-senyawa sintetik tersebut akan mengubah keseimbangan hormon dalam tanaman hingga menimbulkan suatu respon tertentu (Manurung, 1995).
Melalui spesifikasinya, bahan kimia untuk tambahan dalam merangsang perakaran yang telah teruji di banyak genera, ketika tingkat dari nutrisi yang cukup tinggi dan tidak terbatas. Berbagai auksin yang aktif yaitu IAA, IBA, dan NAA. Ternyata, IBA sering lebih efektif daripada IAA. Baik IAA dan IBA merupakan auksin perangsang perakaran. IBA menyediakan keberhasilan total yang lebih terhadap perakaran daripada IAA. Karena IAA itu sendiri, perakarannya terstimulasi dengan rangsangan yang lebih besar lagi yang harus dilanjutkan dengan produksi dari etilen (Jacob, 1979).
Auksin yang paling banyak digunakan pada kultur in vitro adalah indole-3 acetic acid (IAA), α-naphthalencetic acid (α-NAA), dan 2,4dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Jenis-jenis auksin yang lain seperti 2,4,5-trichlorophenoxyacetic acid (2,4,5-T), indole-3-butyric acid (IBA), dan ρ-cholorophenoxyacetic acid (4-CPA) juga merupakan senyawa yang efektif, tetapi penggunaannya tidak sebanyak tiga jenis auksin yang disebut terlebih dahulu. 2,4,5- T dapat meningkatkan pembentukan kalus pada kultur in vitro, tanaman biji-bijian, sedangkan IBA sangat efektif untuk menginduksi perakaran. IAA merupakan auksin yang disintesis secara alamiah di dalam tubuh tanaman,

namun senyawa ini mudah mengalami degradasi akibat pengaruh cahaya dan oksidasi enzimatik (Zulkarnain, 2009).
Gunawan (1995), mengemukakan bahwa level auksin dalam eksplan tergantung dari bagian tanaman yang diambil dan jen

Dokumen yang terkait

Respon Pertumbuhan Stump Karet (Hevea Brassiliensis Muell Arg.) Terhadap Pemberian Growtone Pada Berbagai Komposisi Media Tanam

7 52 92

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Pada Komposisi Media Dan Genotipe Berbeda

0 43 86

Induksi Tunas Mikro TanamanKaret (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Medium WPM dengan Pemberian Benzil Amino Purin (BAP) Dan Naftalen Asam Asetat (NAA)

0 44 74

Respons Morfologi Benih Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Tanpa Cangkang terhadap Pemberian PEG 6000 dalam Penyimpanan pada Dua Masa Pengeringan

2 90 58

Respons Pertumbuhan Stum Mata Tidur Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Dengan Pemberian Air Kelapa Dan Pupuk Organik Cair.

15 91 108

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Media Ms Dengan Pemberian Benzil Amino Purin (Bap) Dan Naftalen Asam Asetat (Naa)

0 0 15

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Media Ms Dengan Pemberian Benzil Amino Purin (Bap) Dan Naftalen Asam Asetat (Naa)

0 0 15

Induksi Tunas Mikro TanamanKaret (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Medium WPM dengan Pemberian Benzil Amino Purin (BAP) Dan Naftalen Asam Asetat (NAA)

0 0 12

Induksi Tunas Mikro TanamanKaret (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Medium WPM dengan Pemberian Benzil Amino Purin (BAP) Dan Naftalen Asam Asetat (NAA)

0 0 13

Induksi Tunas Mikro TanamanKaret (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Medium WPM dengan Pemberian Benzil Amino Purin (BAP) Dan Naftalen Asam Asetat (NAA)

0 0 13