Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Utara Jawa Barat

ANALISIS EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM)
DI KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN (KPH) BANDUNG UTARA
JAWA BARAT

BAHRUZIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Efektivitas
Kelembagaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Di Kesatuan
Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Utara Jawa Barat adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Bahruzin
NIM H351100124

RINGKASAN
BAHRUZIN. Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Utara Jawa
Barat. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT dan EKA INTAN KUMALA PUTRI
Penetapan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
dirumuskan melalui Surat Keputusan (SK) Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001.
PHBM adalah suatu sistem pengelolaan hutan yang dilakukan bersama oleh
Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan
(stakeholder). Pengaruh masyarakat desa hutan (MDH) terhadap aspek sosial dan
ekonomi masyarakat Jawa Barat cukup signifikan (Heryawan 2011).
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis proses terbentuknya
kelembagaan PHBM dan stakeholder yang terlibat; Menganalisis efektivitas
kelembagaan PHBM dalam mencapai tujuannya; Menganalisis dampak PHBM

terhadap aspek perekonomian dan ekologi bagi masyarakat desa hutan. Penelitian
dilakukan di KPH Bandung Utara. LMDH yang dijadikan sampel penelitian
adalah LMDH yang terdekat dengan hutan (LMDH Cipada dan Kertawangi) dan
LMDH yang berada paling jauh dengan hutan (LMDH Cikole dan Cihideung).
Penentuan lokasi LMDH yang diteliti dilakukan secara purposive sampling.
Responden dalam penelitian ini sebanyak 15 stakeholder responden key person
dan 420 orang petani. Teknik pemilihan responden stakeholder melalui teknik
snowball sampling dan pemilihan responden MDH dilakukan dengan
menggunakan random sampling.
Jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis
data yaitu data primer dan data sekunder (Sugiyono 2008). Data primer, yakni
data yang diperoleh secara langsung di lapangan untuk mengetahui proses
pembentukan kelembagaan PHBM, efektivitas kelembagaan PHBM dan
dampaknya terhadap ekonomi dan ekologi. Data tersebut diperoleh melalui
kuesioner, wawancara mendalam (depth interview), Focus Group Discussion
(FGD) dan pengamatan lapangan (observasi). Adapun data sekunder dalam
penelitian ini adalah data laporan kegiatan PHBM, dokumen perjanjian kerjasama
Perhutani dengan LMDH, peta wilayah KPH Bandung Utara, peraturan
perundangan terkait sistem PHBM, dan laporan tahunan LMDH. Analisis data
menggunakan metode analisis deskritif kualitatif, analisis stakeholder, analisis

struktur pendapatan rumah tangga MDH, analisis persepsi dan analisis Importance
Permormance Analysis (IPA).
Analisis prasyarat kelembagaan PHBM menunjukkan bahwa dari 59 LMDH
yang berada di KPH Bandung Utara 47 LMDH termasuk pada kategori aktif, 12
LMDH dorman dan tidak terdapat LMDH yang tergolong collapse. Berdasarkan
penelitian ini dapat diketahui bahwa sistem PHBM di KPH Bandung Utara
terbentuk berdasarkan kebutuhan pengelolaan hutan yang lestari dan
berkelanjutan namun juga tetap dapat menunjang ekonomi rumahtangga
masyarakat desa hutan. Sistem PHBM dilaksanakan semenjak perubahan status
kawasan hutan KPH Bandung Utara dari hutan produksi menjadi hutan lindung.
Adapun aktor yang terlibat dalam pembentukan PHBM adalah Perum Perhutani,
Masyarakat dan stakeholder. Analisis stakeholder dilakukan terhadap 15
stakehoder yang terdiri dari kelompok pemerintah, investor, lembaga eksternal

dan masyarakat. Pemetaan dilakukan untuk mengetahui peran masing-masing
stakeholder dalam sistem PHBM di KPH Bandung Utara. Posisi kuadran A
(subject) ditempati oleh perguruan tinggi. Posisi kuadran B (player) ditempati
oleh Perum Perhutani, Pemerintah LMDH, LSM, Masyarakat, Pengurus LMDH,
Tokoh Masyarakat, RPH, Mandor, dan Investor. Posisi kuadran C (by stander)
ditempati oleh Dinas Kehutanan, BP3K, dan BKSDA. Posisi kuadran D (actor)

ditempati oleh Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kecamatan. Analisis
efektivitas kelembagaan PHBM dilihat dengan beberapa indikator prasyarat
kelembagaan yaitu struktur organisasi, pembagian kerja, peraturan, tujuan
organisasi, program kerja, transparasi dan akuntabilitas, partisipasi dan
pengambilan keputusan, pengawasan, sanksi, skema evaluasi serta mekanisme
petanggungjawaban. Selain terdapat aturan formal, dalam LMDH juga terdapat
boundary rule. Pembubaran LMDH hanya dapat dilaksanakan oleh musyawarah
anggota.
PHBM berkontribusi positif terhadap pendapatan rumah tangga petani
masyarakat desa hutan dan terhadap ekologi hutan di KPH Bandung Utara.
Kegiatan PHBM menyumbang pendapatan masyarakat berkisar antara 52%
hingga 85% dari total pendapatan masyarakat desa hutan. Adapun dampak
ekologi dari pelaksanaan PHBM yaitu bertambahnya tutupan lahan, semakin
baiknya kondisi hidrologi, berkurangnya gangguan hutan, serta bertambahnya
jumlah pohon pada kawasan hutan. Hasil analisis IPA menunjukkan bahwa
pengaruh sistem PHBM bagi masyarakat telah memenuhi indikator kepuasan
masyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh pemetaan tingkat ketersediaan sumberdaya
hutan dan tingkat kepentingan sumberdaya hutan bagi masyarakat seluruhnya
berada pada Kuadran II, yaitu memiliki tingkat ketersediaan dan kepentingan yang
tinggi. Kesimpulan dari penelitian ini diantaranya adalah kelembagaan PHBM di

KPH Bandung Utara sudah cukup efektif dalam mencapai tujuannya, PHBM
berkontribusi positif terhadap pendapatan rumah tangga masyarakat desa hutan,
dampak ekologi dari pelaksanaan PHBM adalah bertambahnya tutupan lahan,
semakin baiknya kondisi hidrologi, berkurangnya gangguan hutan, serta
bertambahnya jumlah pohon pada kawasan hutan, kelembagaan LMDH dapat
direplikasi pada kawasan hutan lindung lainnya dengan payung hukum yang jelas
dan pelibatan stakeholder yang lebih luas.
Kata kunci : efektivitas kelembagaan, Importance Performance Analysis (IPA),
PHBM

SUMMARY
BAHRUZIN. Institutional Effectiveness Analysis of The Community Based
Forest Management (PHBM) in Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) of North
Bandung, West Java. Supervised by ACENG HIDAYAT and EKA INTAN
KUMALA PUTRI
Determination of Joint Forest Management Program (PHBM) formulated by
Decree Perhutani No 136/KPTS/DIR/2001. PHBM is a system of forest
management is conducted jointly by Perum Perhutani and forest villagers with
interested parties (stakeholders). Influence of forest villagers (MDH) to the social
and economic aspects of West Java is quite significant (Heryawan 2011).

The purpose of this study was to analyze the process of formation of PHBM
institutions and stakeholders involved; Analyzing the PHBM institutional
effectiveness in achieving its objectives; Analyzing the impact of PHBM on
aspects of the economy and ecology of the forest villagers. The study was
conducted in KPH of North Bandung. Study sampled villages are located in the
upper village forest (Cipada Village and Kertawangi Village) and downstream
villages in the forest (Cikole Village and Cihideung Village). Determination of the
villages surveyed by purposive sampling. Respondents in this study were 15
stakeholder respondents 420 key persons and farmers. Respondent selection
technique stakeholders and MDH conducted through snowball sampling
technique.
Type of data that collected in this study consists of two types of data are
primary data and secondary data (Sugiyono 2008). Primary data, is data obtained
directly in the field to know the process of institutional formation PHBM, PHBM
institutional effectiveness and its impact on economy and ecology. The data
obtained through questionnaires, in-depth interviews, Focus Group Discussion
(FGD) and field observations. The secondary data in this research is the data
report PHBM activities, document collaboration agreement with LMDH
Perhutani, maps areas of North Bandung, legislation related to PHBM systems,
and annual reports LMDH. Data analysis using descriptive qualitative analysis,

stakeholder analysis, structural analysis MDH household income, the analysis of
perception and Importance Permormance Analysis (IPA).
Analysis shows that the PHBM institutional prerequisites of 59 LMDH
located in KPH of North Bandung, 47 LMDH including the active category, 12
LMDH dormant and there are no classified LMDH collapse. Based on this study it
can be seen that the PHBM systems in KPH of North Bandung formed based on
the needs of sustainable forest management but also still be able to support the
household economy of forest villagers. PHBM systems implemented since the
change in the status of the forest area of the North Bandung from production
forest to protected forests. As for the actors involved in the formation of PHBM is
Perum Perhutani, Community and stakeholders. Stakeholder analysis conducted
on 15 stakeholder group consisting of government, investors, external agencies
and the public. Mapping was conducted to determine the role of each stakeholder
in the system PHBM in KPH of North Bandung. A quadrant position (subject) is
occupied by the college. Position B quadrant (player) is occupied by Perum
Perhutani, LMDH Government, LSM, Society, LMDH Board, Community

Leaders, RPH, foreman, and Investors. Position quadrant C (by stander) occupied
by the Forest Service BP3K, and BKSDA. Position quadrant D ( actor ) is
occupied by the district and sub-district government. Analysis of PHBM

institutional effectiveness seen with several indicators of institutional prerequisites
that organizational structure, division of labor, regulatory, organizational goals,
work programs, transparency and accountability, participation and decisionmaking, supervision, sanctions, and evaluation schemes petanggungjawaban
mechanism. In addition there are formal rules, in LMDH also a boundary rule.
LMDH dissolution can only be carried out by members of deliberation.
Activities PHBM contributed income household villagers forest range
between 52 % to 85 % of total revenue villagers the forest. The ecological impact
of the implementation of PHBM is increasing land cover, the good hydrological
conditions, reduced forest disturbance, and increased the number of trees in the
forest. IPA analysis results indicate that the effect of PHBM systems for the
community has met the public satisfaction indicators. This is demonstrated by
mapping the level of availability of forest resources and the importance of forest
resources for the community as a whole are in quadrant II, which has a level of
high availability and interests. Quadrant II is an achievement defend quadrant,
where the indicator is located in this quadrant are considered important and its
availability in accordance with the expectations of society. The conclusion of this
study include institutional PHBM in KPH of North Bandung has been quite
effective in achieving its objectives, the ecological impact of the implementation
of PHBM is increasing land cover, the good hydrological conditions, reduced
forest disturbance, and increased the number of trees in the forest area,

institutional LMDH can be replicated in other protected forest areas with a clear
legal framework and broader stakeholder involvement .
Advice can be given in this study is the role of communities in forest
resource management can be optimized through coaching and empowerment
LMDH, both in terms of capital, human resources and institutional. PHBM
development must be done in an integrated, comprehensive, continuous and
gradual and should be based on the needs, potentials and capabilities of the
PHBM through appropriate development strategy on the basis of mutually
beneficial cooperation.
Key Word : Importance Performance Analysis (IPA), Institutional Effectiveness,
PHBM

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM)
DI KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN (KPH) BANDUNG UTARA
JAWA BARAT

BAHRUZIN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS


Judul Tesis : Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) Di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)
Bandung Utara Jawa Barat
Nama
: Bahruzin
NIM
: H351100124

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Aceng Hidayat, MT
Ketua

Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, Msi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ekonomi
Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 23 April 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah
kelembagaan, dengan judul “Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)
Bandung Utara Jawa Barat”. Penelitian ini membahas mengenai proses
pembentukan kelembagaan PHBM, stakeholder yang terlibat, dan efektivitas
kelembagaan PHBM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 59 LMDH yang
berada di KPH Bandung Utara 47 LMDH termasuk pada kategori aktif, 12
LMDH dorman dan tidak terdapat LMDH yang tergolong collapse. Sistem
PHBM terbentuk berdasarkan kebutuhan pengelolaan hutan yang lestari dan
berkelanjutan, adapun aktor yang terlibat dalam pembentukan PHBM adalah
Perum Perhutani, Masyarakat dan stakeholder. Penerapan sistem PHBM di KPH
Bandung Utara berdampak terhadap peningkatan kondisi ekonomi rumahtangga.
Adapun dampak ekologi dari pelaksanaan PHBM yaitu bertambahnya tutupan
lahan, semakin baiknya kondisi hidrologi, berkurangnya gangguan hutan, serta
bertambahnya jumlah pohon pada kawasan hutan. Untuk selanjutnya dapat dibaca
dalam isi tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberi bantuan dan dukungan selama proses penyusunan tesis ini,
terutama kepada Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc, sebagai Ketua Program Studi
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf.
Dr Ir Aceng Hidayat, MT, dan Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MSi, sebagai Komisi
Pembimbing yang banyak memberikan masukan, arahan, saran ilmiah dan
bimbingan serta dorongan bagi penulis untuk terus maju dan mengatasi berbagai
kendala yang muncul dalam menyelesaikan tesis ini. Secara khusus penulis juga
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada DR (HC) H Ahmad
Heryawan, Lc, yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menimba
ilmu di Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Sekolah
Pascasarjana IPB, Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat dan Balai Tahura Dago,
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, KPH Bandung Utara beserta
jajarannya, ketua LMDH, KTH dan Masyarakat Desa Hutan di Desa Cipada,
Kertawangi, Cihideung dan Cikole yang telah membantu penulis dalam
melaksanakan penelitian ini. Semoga para pembaca dapat mengambil manfaat
dari karya ilmiah ini.

Bogor, Juni 2014

Bahruzin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung
Hak Kepemilikan Hutan (Property Right)
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
Pelestarian Hutan dan Lingkungan
Teori Efektivitas Kelembagaan
Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder)
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Sample
Metode Pengolahan dan Analisis Data
4 GAMBARAN UMUM
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Pengelolaan Hutan di KPH Bandung Utara
Kelembagaan PHBM di KPH Bandung Utara
Pelibatan Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program PHBM
Proses Pembentukan Kelembagaan PHBM
Karakteristik Responden
5 ANALISIS EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PHBM
Stakeholder dalam Kelembagaan PHBM
Indikator Prasyarat Kelembagaan PHBM
Dampak PHBM terhadap Ekonomi Rumah Tangga Masyarakat
Desa Hutan
Dampak PHBM terhadap Ekologi Hutan
Deskripsi Implementasi Program PHBM
Deskripsi Efektivitas Kelembagaan PHBM
Implikasi Kebijakan PHBM
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

x
xi
xii
1
1
4
6
6
6
7
7
8
10
12
16
17
19
21
25
25
25
27
27
34
34
37
38
39
41
43
44
44
49
53
59
65
69
71
73
73
73
74
77
86

DAFTAR TABEL
1 Luas hutan Jawa Barat Tahun 2011
2 Luas hutan KPH Bandung Utara Jawa Barat Tahun 2011
3 Jenis ganggungan dan kerusakan hutan di Propinsi Jawa Barat
Tahun 2007-2011
4 Jumlah, sebaran dan kegiatan usaha LMDH di KPH Bandung Utara
Tahun 2011
5 Penelitian terdahulu
6 Matrik metode penelitian
7 Skala indikator untuk analisis presepsi
8 Skor persentase indikator pada analisis presepsi
9 Analisis stakeholder pada kelembagaan PHBM
10 Metode dan analisis proses dan peran aktor dalam pembentukan PHBM
11 Metode dan analisis efektivitas kelembagaan PHBM
12 Metode dan analisis dampak PHBM terhadap ekonomi dan ekologi
13 Jenis kegiatan dan tahun berdiri LMDH di LMDH penelitian
14 Data hasil hutan bukan kayu (HHBK) KPH Bandung Utara
Tahun 2011-2012
15 Identifikasi terbentuknya PHBM di KPH Bandung Utara
16 Karakteristik responden pada masing-masing LMDH di lokasi
penelitian
17 Identifikasi nilai kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder
pada sistem PHBM di KPH Bandung Utara
18 Tingkat keterlibatan masing-masing stakeholder pada sistem PHBM di
KPH Bandung Utara
19 Tahapan kegiatan pelaksanaan PHBM
20 Aturan internal LMDH
21 Rata-rata penerimaan on farm, off farm dan non farm (Rp/tahun)
di LMDH Cipada
22 Rata-rata penerimaan on farm, off farm dan non farm (Rp/tahun)
di LMDH Kertawangi
23 Rata-rata penerimaan on farm, off farm dan non farm (Rp/tahun)
di LMDH Cikole
24 Rata-rata penerimaan on farm, off farm dan non farm (Rp/tahun)
di LMDH Cihideung
25 Kontribusi PHBM terhadap penerimaan masyarakat desa hutan
26 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekonomi di LMDH
Cipada
27 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekologi di LMDH
Cipada
28 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekonomi di LMDH
Kertawangi
29 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekologi di LMDH
Kertawangi
30 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekonomi di LMDH
Cihideung

2
2
2
4
21
27
28
28
29
30
31
33
37
38
41
43
44
46
50
52
55
56
57
58
59
60
61
61
62
63

31 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekologi di LMDH
Cihideung
32 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekonomi di LMDH
Cikole
33 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekologi di LMDH
Cikole

63
65
65

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Kerangka pemikiran penelitian
Peta lokasi penelitian
Tingkat dan pengaruh stakeholder
Kuadran Importance-Performance Analysis
Pemetaan masing-masing stakeholder sistem PHBM
di KPH Bandung Utara
6 Keterkaitan antara stakeholder
7 Grafik kartesius IPA persepsi masyarakat terhadap sumberdaya hutan
dan dampak ekonomi bagi masyarakat desa hutan
8 Grafik kartesius IPA persepsi masyarakat terhadap sumberdaya hutan
dan dampak ekologi hutan

24
25
30
33
45
47
66
67

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Data LMDH di KPH Bandung Utara tahun 2013
Status kelembagaan LMDH di KPH Bandung Utara
Aspek penghambat LMDH di KPH Bandung Utara
Alternatif kegiatan dalam pengembangan PHBM di Jawa Barat

77
80
81
82

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan
alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Sedangkan kawasan hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan Menteri
Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan
status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap. Untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan
dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor
pertimbangan fisik, hidrologi dan ekosistem, maka luas wilayah yang minimal
harus dipertahankan sebagai kawasan hutan adalah 30% dari luas daratan.
Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan
pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun
2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2). Fungsi
hutan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 dimaksud adalah
sebagai hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi.
Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara
kesuburan tanah. Menurut Direktorat Bina Program Kehutanan (1981), hutan
lindung didefinisikan sebagai kawasan hutan yang karena keadaan dan sifat fisik
wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan
vegetasi secara tetap untuk kepentingan hidrologi (mengatur tata air, mencegah
banjir dan erosi, serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah) baik dalam
kawasan hutan yang bersangkutan maupun di luar kawasan hutan yang di
pengaruhinya. Apabila hutan lindung diganggu, maka hutan tersebut akan
kehilangan fungsinya sebagai pelindung, bahkan akan menimbulkan bencana
alam, seperti banjir, erosi, maupun tanah longsor.
Permasalahan pengelolaan hutan lindung, diantaranya, adalah penebangan
liar atau illegal logging merupakan permasalahan nasional yang menyebabkan
kerusakan dan turunnya nilai hutan. Penebangan liar ini tidak hanya terjadi pada
kawasan hutan produksi saja, melainkan telah menjarah kawasan cagar alam,
taman nasional, maupun hutan lindung. Permasalahan illegal logging berawal dari
faktor sosial dan ekonomi. Penebang liar merupakan individu yang produktif
tetapi tidak memiliki peluang kerja. Disisi lain permintaan terhadap kayu dan
dukungan para pemodal tinggi. Keadaan ini menjadi penyebab terjadinya
penebangan hutan. Kebakaran hutan adalah faktor penyebab yang sering terjadi
dan mampu merusak hutan dengan jumlah luas dan tingkat kerusakan yang tinggi.
Hutan Indonesia berdasarkan Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2011
seluas 137,09 juta Ha. Sementara, luas hutan di Jawa Barat adalah 820.147,46 Ha.

2
Apabila dibandingkan dengan keseluruhan wilayah di Jawa Barat yang mencapai
3.711.516,50 Ha, maka luas hutan wilayah Provinsi Jawa Barat mencakup
22,01%. Data luasan hutan di Jawa Barat pada tahun 2011 tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Luas hutan Jawa Barat Tahun 2011
No

Fungsi Kawasan Hutan

1
2
3
4

Hutan Konservasi
Hutan Lindung
Hutan Produksi Tetap
Hutan Produksi Terbatas
Jumlah
Areal Penggunaan Lainnya
Jumlah Total

5

Luas Kawasan Hutan
(Ha)
147.714,89
271.161,19
209.547,70
191.723,68
820.147,46
2.891.369,04
3.711.516,50

Persentase
(%)
3,98
7,31
5,65
5,16
22,10
77,90
100,00

Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2012

Hutan yang terdapat di KPH Bandung Utara terdiri dari hutan produksi,
hutan produksi terbatas, dan hutan lindung. Hutan lindung mendominasi fungsi
hutan sebesar 78,60%, fungsi hutan produksi tetap 14,94 % dan hutan produksi
terbatas 6,46%. Data luas hutan KPH Bandung Utara pada tahun 2011 tersaji
pada Tabel 2.
Tabel 2 Luas hutan KPH Bandung Utara Jawa Barat Tahun 2011
No
1
2
3

Fungsi Kawasan Hutan
Hutan Produksi Tetap
Hutan Produksi Terbatas
Hutan Lindung
Jumlah

Luas Kawasan Hutan
(Ha)
3.071,80
1.328,38
16.160,18
20.560,36

Persentase
(%)
14,94
6,46
78,60
100,00

Sumber : Data Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2012

Data perkembangan jenis gangguan dan kerusakan hutan di Jawa Barat pada
tahun 2007-2011 secara umum menunjukan penurunan. Data jenis gangguan dan
kerusakan hutan di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007-2011 dapat dilihat pada
Tabel 3 (Perum Perhutani Unit III, BBKSDA Jawa Barat 2011).
Tabel 3 Jenis gangguan dan kerusakan hutan di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2011
Jenis
Satuan
Tahun 2007
Tahun 2008
Gangguan
1
Pemukiman
KK
3.595,00
3.516,00
Liar
Ha
7.566,97
7.566,97
2
Perambahan
Ha
1.363,58
1.453,08
Garapan
3
Perladangan
Ha
Liar
4
Pencurian
Btg
9.426,00
6.712,00
Kayu
M3
2,16
5
Bencana
Ha
60.69
31,97
Pohon
474.928,00
263.335,00
Alam
6
Perburuan
Kasus/Ekor
45,00
21,00
Liar
7
Penggembalaan
Ha
50,00
538,00
Liar
8
Kebakaran
Ha
9.322,55
1.413,34
Hutan
9
Pengrusakan
Pohon
7.445,00
Tanaman
Sumber: Perum Perhutani Unit III, BBKSDA Jawa Barat 2012
No

Tahun 2009

Tahun 2010

3.499,00
7.568,98

143,00
1,60

2,00
2,30

1.440,11

15.863,04

7.699,47

5,05

463,90

880,91

2.776,00
4,36
46,04
-

183,36
-

2.792,00
1.200,67
26,70
6.988,00

136,00

119,00

30,00

5,00

-

6,00

2.182,50

-

2.224,12

6.159,00

2.881,00

Tahun 2011

618,00

12.194

3
Upaya Pemerintah maupun Perum Perhutani untuk melibatkan masyarakat
kawasan sekitar hutan dalam sistem Pengelolaan sumberdaya Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) berdasarkan SK Direksi Perum Perhutani No.
136/Kpts/Dir/2001 tahun 2001 maupun Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah
Propinsi Jawa Barat No. 10 Tahun 2011 adalah suatu usaha untuk menyelamatkan
sumberdaya hutan dan lingkungan yang sekaligus meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar hutan. Keberadaan PHBM di KPH Bandung Utara merupakan
solusi terhadap berkurangnya akses masyarakat terhadap hutan sebagai
konsekuensi terbitnya SK Menteri Kehutanan No. 195 tahun 2003 tentang Rescoring Kawasan Hutan. SK Menteri Kehutanan No. 195 tahun 2003 berakibat
luas hutan yang berfungsi sebagai hutan produksi di KPH Bandung Utara menjadi
berkurang. Awalnya 70% hutan di KPH Bandung Utara adalah hutan produksi.
Berdasarkan re-scoring berubah hutan produksi menjadi 30% dan 70%nya adalah
hutan lindung.
Penetapan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
dirumuskan melalui Surat Keputusan (SK) Direksi Perhutani No.
136/KPTS/DIR/2001. PHBM adalah suatu sistem pengelolaan yang dilakukan
bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang
berkepentingan (stakeholder). Sistem pengelolaan PHBM menempatkan
kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat
sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Lebih dari
itu PHBM merupakan solusi terhadap lemahnya akses masyarakat desa hutan
dalam pemanfaatan sumber daya hutan. Secara khusus sistem pengelolaan PHBM
di KPH Bandung Utara menjadi solusi terhadap berkurangnya lahan hutan
produksi sebagai konsekuensi terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan
No. 195/Kpts-II/2003.
Pengaruh masyarakat desa hutan (MDH) terhadap aspek sosial dan ekonomi
masyarakat Jawa Barat cukup signifikan. Hal itu disebabkan oleh jumlah desa
hutan di Jawa Barat meliputi seperempat dari jumlah desa (1.370 desa) dengan
jumlah penduduk mencapai 7.826.914 jiwa. Menanggapi keadaan tersebut,
Pemerintah Provinsi Jawa Barat menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 10
Tahun 2011 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan.
Penerbitan peraturan tersebut diharapkan menjadi solusi terhadap hambatan akses
masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat
dimaksudkan untuk mengoptimalkan fungsi hutan melalui lembaga pengelolaan
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan secara berkeadilan,
dengan tetap menjaga kelestarian hutan (Heryawan 2011).
Pelaksanaan sistem PHBM di KPH Bandung Utara menggunakan
kelembagaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sebagai jembatan antara
Perhutani dengan masyarakat desa hutan (MDH). LMDH di KPH Bandung Utara
berjumlah 59 LMDH, di 17 kecamatan dan 4 kabupaten dengan anggota 8.943
orang. Data mengenai LMDH di KPH Bandung Utara terlampir pada Lampiran 1.
Kegiatan/usaha LMDH di KPH Bandung Utara, diantaranya adalah kegiatan/
usaha dibidang Hijauan Makanan Ternak (HMT), Multy Purpose Tree System
(MPTS), pemanfaatan air, wisata dan kegiatan/usaha dibidang lainnya. Data
jumlah, sebaran dan kegiatan/usaha LMDH di KPH Bandung Utara pada tahun
2011 tersaji pada Tabel 4.

4
Tabel 4 Jumlah, sebaran dan kegiatan LMDH di KPH Bandung Utara Tahun 2011
3

9

6

7

-

4

1

-

7

31

6.608

12

19

2

13

7

8

3

Bandung
Bandung
Barat
Subang

Jumlah
Anggota
(jiwa)
836

3

3

1.214

-

16

2

-

1

2

4

Purwakarta

4

16

285

-

3

-

-

-

-

59

8.943

18

45

4

17

9

10

No
1
2

Kabupaten

Jumlah
Kecamatan

JUMLAH
17
Sumber: Perum Perhutani Unit III, 2012

Jumlah
LMDH

Kegiatan/Usaha
HMT

MPTS

Kayu

Air

Wisata

Lainnya

Selama kurun waktu 5 tahun PHBM di KPH Bandung Utara memiliki peran
signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat desa hutan. Keberadaannya mampu
membuka lapangan kerja dan usaha bagi MDH. Kondisi ini berdampak positif
terhadap kesejahteraan masyarakat desa hutan. Peranan PHBM di KPH Bandung
Utara diperkirakan akan semakin meningkat pada masa yang akan datang.
Memperhatikan peran signifikan PHBM bagi masyarakat desa hutan di KPH
Bandung Utara maka peneliti memandang perlunya dilakukan penelitian terhadap
efektivitas kelembagaan PHBM. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan
rekomendasi dalam peningkatan efektivitas kelembagaan LMDH dalam rangka
peningkatan peran kelembagaan PHBM bagi masyarakat desa hutan di KPH
Bandung Utara dan hutan lindung lainnya. Judul yang diajukan pada penelitian
ini, yaitu: ”Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) di KPH Bandung Utara”.

Perumusan Masalah
Keterbatasan akses masyarakat desa hutan terhadap sumber daya hutan
terutama di hutan lindung berakibat tidak adanya kesempatan bagi penduduk
untuk memanfaatkan keberadaan hutan, yang secara ekonomi dapat dimanfaatkan
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan. KPH Bandung Utara
menduduki posisi yang penting dalam pengembangan masyarakat desa hutan. Hal
ini karena KPH Bandung Utara memliki peran yang vital untuk menjaga
ekosistem cekungan Bandung dan memiliki sumberdaya hutan yang dapat
dimanfaatkan dalam peningkatan kesejahteraan hidup. Keterlibatan masyarakat
desa hutan dalam pemanfaatan sumber daya hutan menjadi penting karena dapat
menjaga kelestarian hutan.
Keberadaan PHBM di KPH Bandung Utara merupakan solusi terhadap
berkurangnya akses masyarakat terhadap hutan sebagai konsekuensi terbitnya SK
Menteri Kehutanan No. 195 tahun 2003 tentang Re-scoring Kawasan Hutan. SK
Menteri Kehutanan No. 195 tahun 2003 berakibat luas hutan yang berfungsi
sebagai hutan produksi berkurang karena berubah menjadi hutan lindung,
akibatnya akses masyarakat desa hutan terhadap sumber daya hutan berkurang.
Hal ini berdampak terhadap penurunan kesejahteraan masyarakat desa hutan.
Keadaan ini berdampak pula terhadap keterjaminan kelestarian ekologi hutan.
Salah satu upaya untuk membuka akses masyarakat desa hutan, khususnya
di kawasan hutan KPH Bandung Utara dalam pemanfaatan sumberdaya hutan
dikembangkan dilakukan Perum Perhutani melalui pengembangan program
PHBM di KPH Bandung Utara. Penetapan Program Pengelolaan Hutan Bersama

5
Masyarakat (PHBM) dirumuskan melalui Surat Keputusan (SK) Direksi Perhutani
No. 136/KPTS/DIR/2001. PHBM adalah suatu sistem pengelolaan yang dilakukan
bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang
berkepentingan (stakeholder). Melalui program PHBM ini diharapkan masyarakat
masih tetap dapat memanfaatkan hutan kesejahteraannya. Sementara bagi Perum
Perhutani keberadaan program PHBM diharapkan dapat mengembangkan
partisipasi masyarakat dalam pelerstarian hutan sehingga ekologi hutan tidak
terganggu.
PHBM di KPH Bandung Utara berpengaruh signifikan terhadap
kesejahteraan masyarakat desa hutan. Keberadaannya mampu membuka lapangan
kerja dan usaha bagi masyarakat desa hutan. Kondisi ini berdampak positif
terhadap kesejahteraan masyarakat desa hutan. Peranan PHBM di KPH Bandung
Utara diperkirakan akan semakin meningkat pada masa yang akan datang.
Memperhatikan peran signifikan PHBM bagi masyarakat desa hutan di KPH
Bandung Utara maka peneliti memandang perlunya dilakukan penelitian terhadap
efektivitas kelembagaan PHBM. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan
rekomendasi atau pengembangan kelembagaan LMDH dalam rangka peningkatan
fungsi dan peran kelembagaan PHBM bagi masyarakat desa hutan di KPH
Bandung Utara dan hutan lindung lainnya.
Saat ini pengembangan PHBM di KPH Bandung Utara masih terkendala
dalam lima aspek kelembagaan, yaitu: organisasi, administrasi, permodalan, usaha
produktif dan akseptasi. Kendala pada aspek organisasi diantaranya adalah
keterbatasan sumberdaya manusia yang mampu tidak berfungsinya struktur
organisasi. Kendala adminstrasi pada LMDH diantaranya adalah tidak adanya
pengarsipan baik untuk surat-menyurat maupun pelaporan, pencatatan
keanggotaan ataupun sarana adminstrasi lainnya. Kendala permodalan adalah
susahnya kelembagaan mengakses lembaga keuangan karena bentuk kelembagaan
yang tidak sesuai dengan skema pembiayaan/bantuan yang ada. Sedangkan
kendala usaha produktif adalah belum banyaknya kegiatan yang menghasilkan
secara ekonomi, keterbatasan pengetahuan budidaya dan teknologi dalam kegiatan
usaha, dan juga lemahnya akses dan informasi pasar. Sementara itu kendala
akseptasi adalah tidak semuanya masyarakat desa hutan menerima kelembagaan
PHBM. Kelima aspek tersebut menjadi permasalahan utama dalam
pengembangan PHBM di KPH Bandung Utara yang menjadi penyebab tidak
optimalnya perkembangan PHBM.
Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui permasalahan dan peran
kelembagaan PHBM dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan dan
pelestarian hutan (ekologi) di KPH Bandung Utara. Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis efektivitas kelembagaan PHBM dalam mencapai tujuannya.
Berdasarkan uraian diatas maka disusun beberapa rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana proses terbentuknya kelembagaan PHBM dan siapa sajakah
stakeholder yang terlibat?
2. Bagaimana efektivitas kelembagaan PHBM dalam mencapai tujuannya?
3. Berapa besar dampak keberadaan PHBM terhadap pendapatan rumah tangga
petani anggota PHBM?
4. Berapa besar dampak keberadaan PHBM terhadap ekologi hutan?.

6
Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk menganalisis efektivitas kebijakan
PHBM di hutan lindung KPH Bandung utara. Adapun secara khusus penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Menganalisis proses terbentuknya kelembagaan PHBM dan stakeholder yang
terlibat.
2. Menganalisis efektivitas kelembagaan PHBM dalam mencapai tujuannya.
3. Menganalisis kontribusi PHBM terhadap pendapatan rumah tangga petani
anggota PHBM.
4. Menganalisis dampak PHBM terhadap ekologi hutan.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat desa
hutan, Perhutani, pemerintah daerah, dan mahasiswa. Adapun manfaatnya adalah
sebagai berikut :
1. Bagi Masyarakat
Masyarakat sekitar hutan memahami hak dan kewajiban dalam pemanfaatan
sumber daya hutan untuk pencapaian kesejahteraan.
2. Bagi Perhutani
Perhutani mengetahui tingkat keberhasilan pengelolaan hutan melalui pola
PHBM yang selanjutnya akan dijadikan bahan masukan dalam penentuan
kebijakan dan pengembangan model pengelolaan hutan berbasis masyarakat
yang sesuai dengan kebutuhan.
3. Bagi Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah mengetahui manfaat PHBM bagi kesejahteraan masyarakat
desa hutan dan menjadi bahan masukan dalam penyusunan kebijakan terkait
pemanfaatan hutan bagi masyarakat.
4. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian
sejenis selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian
Untuk membatasi cakupan penelitian maka ruang lingkup penelitian
dilakukan pada PHBM di LMDH yang berada pada jarak terdekat dan terjauh
dengan hutan di KPH Bandung Utara. Secara substansi penelitian ini fokus pada
upaya untuk menjawab rumusan permasalahan dengan pendekatan/metodologi
deskriptif dan eksplanatif.

7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah (UU RI
No 41 tahun 1999). Menurut Direktorat Bina Program Kehutanan (1981), hutan
lindung didefinisikan sebagai kawasan hutan yang karena keadaan dan sifat fisik
wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan
vegetasi secara tetap untuk kepentingan hidrologi (mengatur tata air, mencegah
banjir dan erosi, serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah) baik dalam
kawasan hutan yang bersangkutan maupun di luar kawasan hutan yang di
pengaruhinya. Apabila hutan lindung di ganggu, maka hutan tersebut akan
kehilangan fungsinya sebagai pelindung, bahkan akan menimbulkan bencana
alam, seperti banjir, erosi, maupun tanah longsor. Fungsi dan tujuan pengelolaan
hutan lindung: sebagai pengatur tata air, pencegah bencana banjir dan erosi,
memelihara kesuburan tanah dan sebagai kawasan perlindungan system
penyangga kehidupan, sedangkan tujuan pengelolaannya adalah terjaminnya
keutuhan kawasan hutan lindung dan tercapainya pendayagunaan fungsi dan
peranan hutan lindung dengan terkendalinya tata air dan terwujudnya system
penyangga kehidupan yang berkualitas.
Prinsip dasar pengelolaan kawasan hutan lindung. Pendayagunaan potensi
hutan lindung untuk kegiatan pemanfaatan air, pemuliaan, pengkayaan dan
penangkaran, wisata alam, penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penyediaan
plasma nutfah untuk budidaya oleh masyarakat setempat, diupayakan tidak
merubah luas dan fungsi kawasan. Dalam kawasan hutan lindung diperkenankan
adanya kegiatan pemanfaatan tradisional berupa hasil hutan non kayu dan jasa
lingkungan. Sesuai fungsinya, dalam kawasan hutan lindung dapat di tempatkan
alat-alat pengukur klimatologi, misalnya penakar hujan dan stasiun pengamat
aliran sungai (SPAS). Dalam hutan lindung di bangun sarana dan prasarana
pengelolaan, penelitian dan wisata alam terbatas. Jika dijumpai adanya kerusakan
vegetasi dan penurunan populasi satwa yang dilindungi undang-undang, dapat
dilakukan kegiatan :Pembinaan habitat dan pembinaan kawasan untuk
kepentingan peningkatan fungsi lindung, Rehabilitasi kawasan dengan jenis
tunbuhan yang cocok dengan kondisi dan tipe tanah dan Pengurangan atau
penambahan jumlah populasi suatu jenis, baik asli atau bukan asli kedalam
kawasan hutan lindung.
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 maupun PP No. 25 Tahun 2000
menegaskan “Kewenangan Daerah Atas Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung.
Pada Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Pasal 10 dapat disimpulkan, bahwa
daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya
dan bertanggungjawab untuk memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; Keputusan Presiden RI No 32/1990
tentang “Pengelolaan Kawasan Lindung” dapat disimpulkan bahwa untuk
pemahaman fungsi dan manfaat kawasan lindung perlu diupayakan kesadaran
masyarakat akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan kawasan lindung, yang

8
pelaksanaannya dilakukan oleh Pemda Propinsi yang mengumumkan kawasankawasan tertentu sebagai kawasan lindung. Berdasarkan pada Peraturan
Pemerintah No. 25/2000 menyatakan bahwa untuk pengelolaan kawasan hutan
lindung yang terletak di pemerintahan kabupaten/kotamadya, Pemda Kabupaten
atau Kotamadya dapat segera membuat Perda ataupun untuk sementara SK
Kepala Daerah.
Penebangan liar atau illegal logging merupakan permasalahan nasional yang
menyebabkan kerusakan dan turunnya nilai hutan. Penebangan liar ini tidak hanya
terjadi pada kawasan hutan produksi saja, melainkan telah menjarah kawasan
cagar alam, taman nasional maupun hutan lindung Gambut. Permasalahan illegal
logging ini berawal dari suatu faktor penyebab sosial dan ekonomi. Sebagian para
penebang liar merupakan orang yang produktif dan tidak memiliki peluang kerja.
Sehingga salah satu cara yang paling cepat dan memungkinkan dilakukan mereka
adalah dengan masuk ke hutan dan mengambil kayu sebagai penebang liar.
Sementara itu, permintaan kayu di pasaran relatif tinggi yang menyebabkan
pemasaran kayu hasil penebangan liar menjadi mudah. Di lain pihak, tidak ada
syarat yang berat untuk menjadi seorang penebang liar. Banyak sekali para Toke
(pemodal) yang bersedia memberikan modal, sarana, dan prasarana untuk
kegiatan penebangan liar ini.
Pengelolaan sumberdaya hayati di kawasan alami yang dilindungi meliputi
seluruh proses yang berjalan dalam ekosistem. Ini memerlukan pemahaman
prinsip ekologi, suatu apresiasi terhadap proses ekologi yang berjalan dalam
kawasan yang di lindungi dan penerimaan konsep bahwa pengelolaan kawasan
yang dilindungi merupakan suatu bentuk pengelolaan tanah. Pengelolaan
ditentukan oleh tujuan yang ditetapkan bagi kawasan tertentu. Unsur-unsur yang
ingin di lestarikan oleh para pengelola dalam kawasan yang di lindungi dapat
hilang dengan mudah tanpa adanya pengelolaan. Jelas bahwa sejumlah
pengelolaan aktif diperlukan untuk memelihara kualitas yang ingin di awetkan
dalam kawasan yang dilindungi. Tetapi perlu di tekankan bahwa campur tangan
terhadap proses alam penuh dengan resiko. Pengelolaan yang keliru dapat
berakibat lebih buruk dibandingkan tanpa pengelolaan.

Hak Kepemilkan Hutan (Property Right)
Hutan merupakan salah satu sumberdaya yang bersifat common pool
resources (CPRs) yang sering menimbulkan konflik pemanfaatan (Schlager dan
Ostrom, 2005). Persoalan kelembagaan tersebut menyebabkan biaya ekslusi yang
tinggi. Ostrom (2008) menjelaskan bahwa pengelolaan hutan yang dilaksanakan
oleh Negara banyak yang berhasil akan tetapi menghadapi banyak tantang konflik
dengan masyarakat dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Menurut North
(1990) hak relatif mudah ditegakkan apabila aliran manfaat dapat diketahui dan
konstan, atau aliran manfaat bervariasi tetapi dapat diprediksi. Hak tidak mudah
ditegakkan (biaya penegakan mahal) apabila aliran manfaat dengan mudah dapat
dinikmati pihak lain dan aliran manfaat bervariasi dan tidak dapat diprediksi.
Agar hak dapat ditegakkan maka diperlukan persyaratan‐persyaratan
tertentu, yaitu: (a) Adanya pengakuan atas hak dan kewajiban atas sumberdaya;
(b) Memperoleh perlindungan komunitas dan Negara; (c) Hak kepemilikan

9
memerlukan biaya penegakan dan biaya eksklusi; dan (d) Karakteristik manfaat
sumberdaya menentukan tingkat kesulitan penegakannya. Rejim hak kepemilikan
(property regime/institutional arrangement) terdiri dari : (a) hak milik pribadi
(private property), (b) milik Negara (state property), (c) hak milik
bersama/komunal/adat/ulayat (communal property), (d) milik umum (public
property), (e) hak atas manfaat (user rights), dan (f) tidak berpemilik (open access
property or no‐property right). Syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah (a)
dapat diperjual belikan (tradable), (b) dapat dipindah tangankan (transferable);
(c) dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable) dan (d) dapat
ditegakkan hak‐haknya (enforceable). Semakin banyak syarat terpenuhi, semakin
sempurna hak kepemilikannya, sehingga semakin dapat diharapkan efisiensi
alokasinya dan kelestarian pengelolaannya.
Hak property bukan bermakna sempit sebagai hak kepemilikan (ownership)
saja, yang sering sekali menjadi isu yang sensitif ketika kita membicarakannya
dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Hak property
mencakup pengertian yang luas dan tidak sekedar hak, tetapi juga kewajiban dan
aturan (Ostrom, 2008). Untuk mendapat legitimasi, klaim atas sumberdaya
tersebut harus diakui secara kolektif oleh masyarakat. Konflik akan muncul ketika
terdapat klaim yang berbeda atas sumberdaya tertentu yang ditopang oleh sumber
legitimasi yang berbeda.
Menurut Irimie and Essmann (2009), property right tidak statis tetapi selalu
berubah berdasarkan perode ekonomi, politik dan perubahan sosial. Transformasi
property right hutan dari common property menjadi state property dan akhirnya
dituntut kembali oleh masyarakat menjadi private property namun ada aturan
secara komunal di dalamnya. Menurut Battacharya and Lueck, (2009) regim
property right akan berubah sepanjang waktu dari yang kurang efisien menjadi
lebih efisien. Jauh sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan, masyarakat etnis
Da‟a dan etnis kulawi sudah berinteraksi dengan hutan di daerah tersebut dengan
mengambil damar rotan dan hasil hutan lainnya. Pemberian izin konsesi HPH
pada tahun 1970-an pada awalnya memang memberi peningkatan pendapatan
kepada masyarakat lokal, tetapi tanpa disadari telah menggeser nilai-nilai lokal
masyarakat. Akses masyarakat tersebut setelah ditetapkan sebagai hutan lindung
menjadi semakin terbatas.
Kebijakan yang menyerahkan sumberdaya dari status traditional common
property yang dimiliki oleh komunal lokal menjadi property pemerintahan negara
telah terbukti menjadi predesen yang buruk bagi keberlanjutan sumberdaya alam.
Di berbagai tempat, pemerintah yang diberi kewenangan sering sekali tidak
memiliki personil di level bawah yang cukup terlatih untuk mengawasi
sumberdaya. Masalah yang muncul adalah terjadinya biaya yang cukup tinggi
untuk membatasi dan mencegah akses pengguna potensial ( Rustiadi et.al., 2009).
Pemindahan hak milik (penguasaan) kadang-kadang mengganggu
keberlanjutan ketersediaan sumberdaya di mana sumberdaya yang sebelumnya
dilindungi dengan baik menjadi sumberdaya yang dieksploitasi.
Proses
transformasi penguasaan sumberdaya dari sumberdaya yang dikelola oleh
masyarakat adat atau lokal menjadi sumberdaya milik negara di berbagai negara
telah mengarahkan pada: a). penghilangan kelembagaan kearifan lokal, b).
terjadinya situasi di mana kapasitas monitoring institusi negara menjadi lemah,
terutama pada sumberdaya yang berskala luas dan kompleks yang diklaim sebagai

10
kekuasaan negara dan c). pemanfaatan sumberdaya terjebak pada kondisi deface
open akses dan kecenderungannnya para pihak berlomba untuk memanfaatkan
sumberdaya sebesar-besarnya untuk kepentingan masing-masing.
Hutan merupakan salah satu wujud common pool resources (CPRs).
Karakteristik khusus bagi CPRs dan penggunanya akan mempengaruhi institusi
dalam mengatur penggunaan sumberdaya tersebut. Semakin seragam, sederhana
dan semakin kecil skala sumberdaya dan ukuran kelompok, maka semakin mudah
merancang institusi (Simpson et.al., 2012). Menurut Rustiadi et.al., (2009)
karakteristik yang kondusif bagi keberhasilan penatalaksanaan meliputi:
berukuran kecil, memiliki batas sumberdaya yang jelas, memiliki eksternalitas
negatif yang kecil, kemampuan pengguna untuk memonitor cadangan dan aliran
sumberdaya, tingkat penggunaan yang moderat (tidak berlebihan) sumberdaya
tidak digunakan melebihi kemampuan dalam mencegahnya dari kerusakan, dan
dinamika sumberdaya alam dipahami dengan baik oleh pengguna
Gibson and Koontz (1998) meyakini masyarakat mampu menciptakan
tatanan agar tidak terjadi over eksploitasi. Mereka mengatakan bahwa banyak
bukti‐bukti empiris menunjukkan bahwa para pemanfaat CPRs sering
menciptakan tatanan kelembagaan yang dapat melindungi sumberdaya CPRs yang
dimilikinya dan mengatur alokasi pemanfaatan hasil-hasilnya secara efisien dan
lestari melalui aksi‐aksi kolektif yang mereka bangun (Nugroho dan
Kartodihardjo 2009)

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu program
pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan bersama dengan jiwa berbagi
antara Perhutani, masyarakat desa hutan, dan pihak yang berkepentingan untuk
mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan. Menurut
Suharjito, et.al., (2004), pengertian PHBM adalah pengelolaan hutan bersama
masyarakat yang berarti masyarakat menjadi pelaku utama pengelolaan hutan.
Masyarakat yang dimaksud adalah kelompok masyarakat yang bertempat tinggal
di desa hutan dan bergantung kepada hutan untuk memenuhi kehidupannya
(ekonomi, politik, religius, dan lainnya). Kata kunci bersama menunjuk pada
peran atau partisipasi masyarakat sebagai satu kesatuan yang membangun institusi
dan pola hubungan sosial sehingga pengelolaan hutan berjalan menuju pada
pencapaian kelestarian hutan, keadilan sosial, dan kemakmuran ekonomi.
Dasar Hukum Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
Menurut Undang-undang No. 5 tahun 1967 tentang ketentuan pokok
kehutanan disebutkan bahwa berdasarkan fungsinya hutan (negara) dibedakan
menjadi 1) hutan lindung, yaitu kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya
diperuntukan guna pengaturan tata air, pencegahan banjir, dan erosi serta
pemeliharaan kesuburan tanah; 2) hutan produksi, yaitu kawasan hutan yang
diperuntukan untuk produksi hasil hutan dalam rangka memenuhi keperluan
masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan industri dan
ekspor; dan 3) hutan suaka alam, yaitu kawasan hutan karena sifatnya yang khas
diperuntukan secara khusus untuk perlindungan alam hayati.

11
Penetapan PHBM dirumuskan melalui SK Direksi Perhutani