Analisis Nilai Tambah Cokelat Batangan (Chocolate Bar) di Pipiltin Cocoa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

ANALISIS NILAI TAMBAH COKELAT BATANGAN
(CHOCOLATE BAR) DI PIPILTIN COCOA, KEBAYORAN
BARU, JAKARTA SELATAN

VITALIA PUTRI ASHERI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Nilai
Tambah Cokelat Batangan (Chocolate Bar) di Pipiltin Cocoa, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan,adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi

ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Vitalia Putri Asheri
NRPH34100057

ABSTRAK
VITALIA PUTRI ASHERI. ANALISIS NILAI TAMBAH COKELAT
BATANGAN (CHOCOLATE BAR) DI PIPILTIN COCOA, KEBAYORAN
BARU, JAKARTA SELATAN. Dibimbing oleh AMZUL RIFIN.
Indonesia merupakan produsen biji kakao ketiga didunia.Selama ini
kakao Indonesia hanya diekspor dalam bentuk biji kakao kering.Produsen
produk kakao olahan yaitu cokelat didominasi oleh negara – negara Eropa.
Ironis sekali, biji kakao sebagai bahan baku utama cokelat tidak dihasilkan
di Eropa. Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia mengubah peran dari
sebagai eksportir biji kakao mentah menjadi negara produsen produk –
produk sekunder berbahan bakukakao. Pemerintah mulai mendukung
industri pengolahan biji kakao dengan menerapkan kebijakan pajak ekspor
biji kakao dan hasilnya, volume ekspor biji kakao terlihat menurun serta

terjadi peningkatan kapasitas industri kakao dalam negeri.Namun industri
pengolahan kakao ini masih didominasi oleh perusahaan – perusahaan asing
seperti Nestle, Marz, JB Cocoa Malaysia, dan sebagainya.dibandingkan
usaha kecil menengah. Industri kecil menengah saat ini lebih banyak
menghasilkan produk cokelat turunan (cokelat compound) dengan
penggunaan lemak kakao yang sangat sedikit proporsinya dan produk antara
atau cokelat setengah jadi. Biji kakao diproduksi mayoritas oleh petani
rakyat sehingga penggunaan kakao dalam industri pengolahan yang semakin
besar akan membantu mendorong petani untuk meningkatkan produksinya.
Sedangkan selama ini nilai tambah dari hasil pengolahan biji kakao masih
dinikmati oleh pengusaha – pengusaha asing.Harapan baru muncul dari
industri pengolahan kakao menengah “Pipiltin Cocoa” di daerah Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan.Pipiltin Cocoa menghasilkan produk cokelat utama
(cokelat batangan) asli dengan biji kakao lokal yaitu dari Bali dan
Aceh.Penelitian ini menghitung nilai tambah produk cokelat batangan
Pipiltin Cocoa dengan membandingkan dua metode yaitu metode Hayami
dan Syahza.Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai tambah cokelat
batangan Pipiltin Cocoa adalah sebesar Rp 298 000 per kg penggunaaan biji
kakao.Berdasarkan hasil perhitungan, nilai tambah cokelat batangan Pipiltin
Cocoa yang dianalisis dengan metode Hayami adalah sama dengan analisis

nilai tambah menggunakan metode Syahza.
Kata kunci: Biji kakao, cokelat, industri cokelat, nilai tambah

ABSTRACT
VITALIA PUTRI ASHERI. Added Value Analisys of Chocolate Bar in
Pipiltin Cocoa, Kebayoran Baru, South Jakarta.Supervised by AMZUL
RIFIN.
Indonesia is the third largest world cocoa producer. Previously,
Indonesia is just an exportir of cocoa beans. Producer of processing cocoa

product is dominated by European countries. Although cocoa beans as a
main raw product of chocolate was not produced in Europe. Thus, Indonesia
should change their role from being a cocoa beans exporter to a cocoa
finished product exporter. Indonesian government start to support
manufacturing of cocoa beans by implementing export tax policy. The result
of that policy is cocoa beans export volume decreased and increased in
domestic cocoa industry capacity. Unfortunately, cocoa manufacturing
industry is still more dominated by international companies such as Nestle,
Marz, JB Cocoa Malaysia, and others than domestic small and medium
enterprise. Nowadays, the most of small and medium enterprise produce

compound chocolate and semi finished chocolate. For a long time, added
value of cocoa beans processing was still enjoyed by international
companies. One of small and medium enterprise in producing real chocolate
from local cocoa beans is Pipiltin Cocoa in Kebayoran Baru, South Jakarta.
Pipiltin Cocoa produce main product which is chocolate bar with local
cocoa beans from Aceh and Bali. This research use two methods: Hayami
and Syahza in counting added value. The result of this research showed that
value added of chocolate bar by Pipiltin Cocoa as much as Rp 289 000 per
kg cocoa beans which is used in production. Based on calculation result,
added value of Pipiltin Cocoa’s chocolate bar which was analyzed by
Hayami method is same as the results of added value calculation by using
Syahza method.
Keyword:Cocoa beans, chocolate, chocolate industry, added value

ANALISIS NILAI TAMBAH COKELAT BATANGAN
(CHOCOLATE BAR)
DI PIPILTIN COCOA,KEBAYORAN BARU, JAKARTA
SELATAN

VITALIA PUTRI ASHERI


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

Judul Skripsi

Nama
NRP

:ANALISIS NILAI TAMBAH COKELAT BATANGAN
(CHOCOLATE BAR) DI PIPILTIN
COCOA,

KEBAYORAN BARU, JAKARTA SELATAN
: Vitalia Putri Asheri
: H34100057

Disetujui oleh

Dr Amzul Rifin, SP, M.A
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan.

Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
Desember 2013 ini adalah Analisis Nilai Tambah Cokelat Batangan
(Chocolate Bar)di Pipiltin Cocoa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Penelitian ini berlatarbelakang rendahnya jumlah usaha kecil menengah
dalam mengolah biji kakao menjadi cokelat asli dibanding cokelat turunan
serta industri pengolahan biji kakao asing yang lebih mendominasi.
Pengkajian nilai tambah cokelat batangan di industri pengolahan kakao
lokal “ Pipiltin Cocoa” diharapkan dapat menjadi sumber informasi
besarnya nilai tambah pengolahan kakao menjadi cokelat asli.
Terimakasih tidak terhingga kepada Mamah, Papah, Tante, Paman,
Adik – adik, dan seluruh keluarga atas segala doa dan bimbingannya.
Terima kasih sebesar – besarnya juga penulis ucapkan kepada Dr. Amzul
Rifin, SP, M.A selaku dosen pembimbing dan pihak Pipiltin Cocoa
khususnya Ibu Tissa dan Bapak Ivan yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian di Pipiltin Cocoa. Selain itu, penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada Dr. Dwi Rachmina, Dr. Nunung Kusnadi,
dan Bapak/Ibu dosen lainnya yang turut menyumbangkan saran, kepada Ibu
Yoyoh, Ibu Dian, dan Ibu Ida serta para staf di Departemen Agribisnis yang
turut membantu kelancaran administrasi. Di samping itu, penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada sahabat – sahabat tercinta, Muhjah

Fauziyyah, Novita Permatasari, Aghnia An’umillah, Siti Nurjanah, Resty
Yanuar, Nurlela, Putri Amalia, Putri Anggraeni, Novita Nurul, Rahmi
Yuniarti, keluarga Agribisnis 47, dan keluarga Annaba47, yang telah
membantu dan memberikan motivasi dan doanya serta kepada para pihak
lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam
pengumpulan data.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2014
Vitalia Putri Asheri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii


DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

6


Manfaat Penelitian

6

Ruang Lingkup Penelitian

7

TINJAUAN PUSTAKA
Studi Empiris tentangAnalisis Nilai Tambah Pada Usaha Kecil Menengah
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Nilai Tambah
Kerangka Pemikiran Operasional

7
7
11
11
11

13

METODOLOGI PENELITIAN

16

Lokasi dan Waktu Penelitian

16

Jenis dan Sumber Data

16

Metode Pengumpulan Data

16

Metode Pengolahan dan Analisis Data

16

Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Metode Hayami

17

Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Metode Syahza

17

GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

18

Sejarah dan Perkembangan Perusahaan

18

Lokasi Perusahaan

19

Struktur Organisasi

20

Bahan Baku dan Operasional Perusahaan

20

Peralatan Produksi

21

Proses Produksi Cokelat Batangan

21

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Nilai Tambah Cokelat Batangan Metode Hayami

23
24

Analisis Nilai Tambah Cokelat Batangan Metode Syahza

28

Perbandingan Analisis Nilai Tambah Metode Hayami dan Syahza

29

SIMPULAN DAN SARAN

31

Simpulan

31

Saran

31

DAFTAR PUSTAKA

32

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

38

DAFTAR TABEL
1 Produksi biji kakao dunia
2 Grinding ( Pengolahan) biji kakao (000 Ton)
3 Volume dan nilai ekspor biji kakao sebelum dan sesudah
penetapan Bea Keluar
4 Perbandingan kapasitas produksi kakao sebelum dan sesudah
penetapan
Bea Keluar
5 Prosedur perhitungan nilai tambah pengolahan biji kakao dengan
MetodeHayami
6 Hasil Analisis Nilai Tambah pada Pengolahan Biji Kakao
menjadi cokelat dengan Metode Hayami
7 Perbandingan hasil analisis nilai tambah dengan metode Hayami
dan Syahza
8 Proporsi hasil dan nilai tambah pengolahan biji kakao menjadi
produk antara oleh Dilana ( 2012)

1
2
2

3
17
25
27
29

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka operasional analisis nilai tambah cokelat
2 Proses pengolahan biji kakao

15
23

DAFTAR LAMPIRAN
1 Daftar Industri Kakao dan Cokelat tahun 2013
2 Lokasi Pipiltin Cocoa

35
37

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Cokelat merupakan produk turunan dari industri pengolahan biji
kakao.Penghasil biji kakao terbesar di dunia sampai tahun 2013 adalah negara
Pantai Gading (1480000 ton) dan Ghana (850000 ton), selanjutnya disusul oleh
Indonesia (430000). Saat ini kakao dunia diproduksi oleh Afrika dengan pangsa
produksinya sebesar 73% dari produksi dunia, kemudian diikuti Asia dan Oceania
sebesar 14% dan Amerika sebesar 13% (Cocoa Market Update 2012). Tabel 1
menunjukan perkembangan produksi kakao dunia sampai pada tahun 2013.
Tabel 1 Produksi biji kakao dunia ( 000 ton)
Afrika
Kamerun
Pantai Gading
Ghana
Nigeria
Lainnya
Amerika
Brazil
Ekuador
Lainnya
Asia dan Oceania
Indonesia
Papua New Guinea
Lainnya
Total Dunia

2010/2011
3224
229

2011/2012
2919
207

2012/2013
2876
225

1511
1025
240
220
561
200
161
201

1486
879
235
113
642
220
190
232

1480
850
230
91
595
185
185
225

526
440
48
39
4312

520
450
39
32
4082

515
430
45
40
3986

Sumber : ICCO 2013

Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketigadi dunia setelah
Pantai Gading dan Ghana.Hal yang cukup mengganjal sampai saat ini adalah
penggunaan biji kakao dalam negeri sebagai bahan baku industri pengolahan
produk – produk turunan seperti lemak, bubuk, pasta cokelat, dan cokelat
batangan masih sangat rendah. Pada tabel satu terlihat bahwa produksi biji kakao
Indonesia tahun 2010/2011 sebesar 440 000 ton, namun total grinding
(pengolahan) hanya sebesar 190 000 ton( Tabel 2), sisanya diekspor dalam bentuk
biji mentah ( Kementerian Pertanian 2011). Pada periode tahun 2010/2011 hingga
2012/2013terlihat adanya peningkatan terhadap volume pengolahan biji kakao
Indonesia. Perkiraan oleh ICCO ( International Cocoa Organization 2013), total
pengolahan biji kakao Indonesia tahun 2011/2012 bertambah menjadi 270 000
ton dan sebesar 255 000 ton pada tahun 2012/2013. Statistik data grinding biji
kakao Indonesia dapat dilihat pada tabel 2 berikut,

2

Tabel 2 Grinding ( pengolahan) biji kakao ( 000 Ton)
Eropa
Jerman
Belanda
Lainnya
Afrika
Pantai Gading
Ghana
Lainnya
Amerika
Brazil
Ekuador

Lainnya
Asia dan Oceania
Indonesia
Papua New Guinea
Lainnya
Total Dunia

2010/2011
1624
439

2011/2012*
1521
407

2012/2013*
1575
400

540
646

500
614

530
645

658
361
230

717
431
212

755
460
225

67
861
230
67
221
795
190
305
299
3938

74
845
212
74
216
873
270
297
307
3956

70
878
225
70
225
845
255
293
298
4956

Keterangan:
* Estimasi
Sumber : ICCO 2013

Pada tahun 2010, pemerintah menerapkan kebijakan Bea Keluar (BK)
terhadap ekspor biji kakao. Kebijakan ini diterapkan untuk menurunkan volume
ekspor biji kakao mentah dan terus meningkatkan volume grinding biji kakao
sebagai bahan baku industri dalam negeri.Berdasarkan penelitian Syadullah
(2012), setelah pemberlakuan bea keluar tersebut, ekspor biji kakao menurun dan
jumlah perusahaan pengolahan kakao meningkat. Perubahan signifikan juga
terjadi pada volume ekspor biji kakao dan kakao olahan pada 2011, seperti terlihat
pada tabel dibawah (tabel 3).Ekspor biji kakao pada tahun 2010 menurun sebesar
6 868 ton (2 persen), sedangkan produk olahannya meningkat sebesar 20.516 ton
(25 persen).Berita ini menyimpulkan bahwa kondisi agribisnis kakao dalam negeri
sudah mulai menunjukan upaya peningkatan nilai tambah.
Tabel 3 Volume dan nilai ekspor biji kakao sebelum dan sesudah penetapan Bea
Keluar
Komoditi
Biji kakao
Kakao olahan

Volume (MT)
2009
2010
439, 300 432, 426
82,539
103,055

Keterangan :
2009 sebelum penetapan BK
2010 setelah penetapan BK
*) Prediksi
Sumber :Kementerian Perindustrian 2012

%
-2
25

Nilai (USD)
2009
2010
1,090,000,000
1,190,000,000
295,000,000
406,000,000

%
9
38

3
Dampak penerapan BK lainnya adalah adanya penggeseran penggunaan
biji kakao dalam negeri sebagai bahan baku industri lokal yang terus meningkat
sekaligus tumbuhnya industri – industri baru pengolah kakao.Pada tahun 2006,
industri kakao dan cokelat masih berjumlah 21 unit, sedangkan saat ini terdapat
peningkatan jumlah industri kakao dan cokelat menjadi 39 unit (lampiran
1).Selain
itu, perusahaan pengolah kakao dalam negeri juga terlihat
meningkatkan kapasitas produksinya (tabel 4), bahkan beberapa pabrik cokelat
yang sempat mati suri kembali beroperasi (Kementerian Perindustrian, 2012) .
Tabel4 Perbandingan kapasitas produksi pengolahan kakao sebelum dan sesudah
penetapan bea keluar
Keterangan
Kapasitas
produksi (ton)
Kenaikan

Tahun
2009
125 000

2010
150 000

2011*
280 000

2012*
400 000

20%

87%

43%

Keterangan :
2009 sebelum penetapan BK
2010 – 2011setelah penetapan BK
*) Prediksi
Sumber :Kementerian Perindustrian 2012

Peningkatan jumlah industri kakao bukan parameter kuat terhadap
kemajuan indusri kakao dalam negeri.Kakao dihasilkan mayoritas oleh petani
rakyat, sebesar 89%, disusul oleh swasta 5%, dan perkebunan negara sebesar 6%
(Kementrian Perindustrian 2012).Oleh karena itu perlu diperhatikan apakah
kemajuan indusri pengolahan kakao sudah menjamin dalam pembentukan
kesejahteraan petani sebagai aktor utama penghasil biji kakao.Sebagian besar
petani mampu mengolah kakaonya dalam suatu industri kecil dan
menengah.Sedangkan meningkatnya industri kakao didominasi oleh peran
perusahaan asing atau multinasional.
Perkembangan industri pengolahan kakao dalam negeri belum mempunyai
pengaruh yang signifikan dalam mendorong munculnya industri pengolahan
kakao skala kecil dan menengah.Pada tahun 2011, munculnya pabrik pengolahan
kakao baru di Batam oleh investor asal Malaysia yaitu PT. Asia Cocoa
Indonesia.Sedangkan tahun 2013, pabrik asing lainnya mulai masuk dan
beroperasi di Indonesia seperti JB Cocoa asal Malaysia, Mars dan Cargil asal AS,
dan Nestle asal Swiss (Asosiasi Industri Kakao Indonesia, 2013).PT Nestle
melakukan ekspansi pabrik susu Milo dan Dancow di Pasuruan dan
Karawang.Pabrik – pabrik ini memproduksi produk perantara industri hilir seperti
bubuk cokelat yang kemudian dikirim ke negara asli untuk diolah menjadi
cokelat.Cokelat atau produk turunan cokelat dari negara – negara tersebut
kemudian diekspor kembali ke Indonesia. Sedangkan cokelat yang telah dikenal
didalam negeri seperti Silverqueen, Delfi, Cadburry, merupakan cokelat lisensi
perusahaan luar negeri meskipun proses produksi dilakukan di Indonesia.
Industri kecil dan menengah pengolahan biji kakao masih kalah bersaing
dengan perusahaan asing tersebut. Produk cokelat hasil industri menengah
merupakan cokelat compound yaitu jenis cokelat dengan proporsi penggunaan
lemak cokelat yang sangat rendah (adanya kombinasi antara lemak cokelat dengan

4
lemak sayur). Selain itu, saat ini Indonesia belum mempunyai produk cokelat
unggulan hasil produksi industri kecil dan menengah.Hal ini memberikan
pelajaran besar bahwa kemajuan industri kakao dalam negeri hanya kemajuan
perusahaan asing yang berhasil menanamkan investasinya didalam negeri.
Indonesia masih menggantungkan industri hilir kakaonya kepada perusahaan
asing dan itu artinya nilai tambah hasil olahan kakao masih dirasakan oleh
produsen luar dan Indonesia masih berperan sebagai penyedia bahan baku saja.
Lambatnya pengembangan industri pengolahan pengolahan kakao skala kecil dan
menengah perlu diidentifikasi faktor- faktor penyebabnya. Salah satu faktor yang
dapat dianalisis adalah nilai tambah. Nilai tambah yang besar sebagai ukuran
keutungan kotor produsen menjadi satu faktor pemicu perkembangan Usaha Kecil
Menengah (UKM) pengembangan cokelat.Berdasarkan uraian diatas, menarik
untuk diteliti apakah nilai tambah pengolahan kakao menjadi cokelat oleh UKM
selama ini masih rendah sehingga industri pengolahan kakao menjadi cokelat
masih didominasi oleh perusahaan besar dan asing.
Harapan terhadap majunya industri pengolahan kakao dalam negeri
muncul dari Pipiltin Cocoa.Pipiltin Cocoa merupakan industri menengah
pengolah biji kakao asli Indonesia untuk dihasilkan menjadi cokelat asli (cokelat
converture) dan berbagai produk turunannya.Pemilik Pipiltin adalah warga
domestik yang memahami dengan baik kondisi agribisnis kakao Indonesia.Pipiltin
mengolah biji kakao lokal dari Aceh dan Bali menjadi cokelat asli.Motivasi utama
pemilik adalah mendirikan suatu industri pengolahan kakao lokal menjadi produk
cokelat dengan kualitas tinggi layaknya cokelat – cokelat luar negeri. Dari uraian
ini, menarik untuk diteliti besarnya nilai tambah industri cokelat “ Pipiltin Cocoa”
sebagai bahan informasi bagi seluruh stakeholder agribisnis kakao khususnya
pemerintah dalam mengembangkan industri cokelat.

Perumusan Masalah
Berdasarkan kualitasnya, kelebihan kakao Indonesia di pasar dunia yaitu
bubuk kakao yang dihasilkan memiliki mutu yang baik dan mengandung lemak
cokelat serta mempunyai titik leleh yang tinggi sehingga mudah untuk blending
dan tidak mengandung pestisida dibanding biji kakao Ghana dan Pantai Ghading.
Selain itu, dapat juga dilihat perkembangan harga kakao pada tahun 2012 hingga
tahun 2013 di pasar dunia yang semakin meningkat. Pada tahun 2012, harga
kakao adalah US$ 2410/ton dan meningkat menjadi 2824/ton pada tahun 2013
(ICCO 2013). Peningkatan harga kakao ini akan berpengaruh positif terhadap
harga cokelat. Dari uraian tersebut diatas, sudah saatnya Indonesia lebih fokus
untuk mengembangkan industri pengolahan kakao selain dari pada peningkatan
produksi.
Kecenderungan perdagangan global yang semakin terbuka dan kompetitif
merupakan peluang dan tantangan yang sama besarnya bagi seluruh pelaku bisnis,
termasuk pelaku dalam industri pengolahan kakao. Kebijakan pemerintah untuk
menurunkan volume ekspor telah dilakukan dengan menerapkan bea keluar untuk
ekspor biji kakao. Kebijakan ini telah berhasil menurunkan volume ekspor biji
kakao dan menggeser penggunaannya untuk memasok industri dalam
negeri.Akibatnya, Indonesia pun mulai berhasil mengekspor produk kakao olahan

5
dan meningkatkan kapasitas produksi industri pengolahan kakao di dalam
negeri.Selain itu, beberapa pabrik pengolahan cokelat yang sebelumnya mati suri
dapat kembali beroperasi.Hal ini menunjukan adanya upaya pengembangan
pemberian nilai tambah kakao melalui penciptaan produk turunan.Pengolahan
kakao menjadi produk cokelat yang memiliki nilai tambah menjadi fokus utama
pemerintah yang harus semakin serius digalakkan.Nilai tambah sebagai ukuran
seberapa besar nilai guna cokelat yang telah diproduksi dan sebagai parameter
kesuksesan industri dalam upaya menghadapi persaingan dengan industri cokelat
di luar negeri.
Namun saat ini industri pengolahan kakao di dalam negeri masih kalah
bersaing dengan produk cokelat di negara Swiss, Belgia, dan negara – negara
Eropa lain dimana negara – negara tersebut tidak memiliki bahan baku sendiri.
Kualitas cokelat negara tersebut sudah tidak diragukan lagi sehingga diimpor oleh
berbagai negara pengolah cokelat termasuk Indonesia.Cokelat yang beredar di
pasaran saat ini tidak sedikit yang mengimpor kepingan cokelat atau bubuk kakao
dari luar khususnya dari Belgia. Aspek lainnya yaitu industri cokelat yang tidak
menggunakan bahan baku impor namun mengganti lemak kakaonya dengan
minyak nabati. Suatu keganjalan juga terlihat bahwa produk cokelat yang telah
lama dikenal oleh masyarakat lokal rata – rata bukan dimiliki oleh pengusaha asli
Indonesia, namun perusahaan penghasil cokelat ini masih di bawah manajemen
perusahaan Eropa dimana dalam processingnya harus mendapat ijin lisensi dari
perusahaan tersebut pada setiap kali produksi. Selain itu, mulai tumbuhnya
industri pengolahan kakao di Indonesia saat ini namun baru menghasilkan cocoa
powder atau bubuk kakao sebagai bentuk cokelat setengah jadi atau bahan baku
cokelat. Volume industri kakao ini masih lebih besar dibandingkan industri
cokelat yang menghasilkan produk – produk cokelat batangan dan turunannya.
Tumbuhnya pabrik – pabrik pengolahan kakao di dalam negeri yang
didominasi oleh produk antara disebabkan oleh sebagian besar perusahaan
tersebut adalah milik perusahaan asing. Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI
2012) mengatakan bahwa beberapa pabrik asing yang telah masuk dan beroperasi
di Indonesia pada tahun 2013 lalu adalah JB Cocoa asal Malaysia, Mars dan
Cargil asal AS, dan Nestle asal Swiss. Pabrik – pabrik ini memproduksi produk
perantara industri hilir seperti bubuk cokelat yang kemudian dikirim ke negara asli
untuk diolah menjadi cokelat.Cokelat atau produk turunan cokelat dari negara –
negara tersebut kemudian diekspor kembali ke Indonesia.Keadaan demikian
membuktikan bahwa hasil nilai tambah dari industri pengolahan kakao ini belum
sepenuhnya dinikmati oleh industri lokal.
Kepemilikan perusahaan asing terhadap pabrik pengolahan kakao di dalam
negeri menjadi salah satu faktor penghambat kemajuan industri kakao lokal milik
usaha kecil dan menengah.Banyaknya industri kakao dan cokelat dalam negeri
dengan kepemilikan perusahaan asing membuat para investor tidak tertarik untuk
berinvestasi pada usaha kecil menengah atau industri kecil kakao.Akibatnya,
petani sebagai produsen kakao sulit untuk merubah posisinya sebagai produsen
kakao menjadi pengolah biji kakao. Petani hanya berperan sebagai pemasok bahan
baku cokelat. Nilai tambah dari beragam produk cokelat dan turunannya ini belum
bisa dirasakan manfaatnya secara langsung oleh petani sebagai pemilik industri
kecil pengolahan kakao.Hal ini disebabkan oleh besarnya nilai investasi awal dari
pembangunan industri pengolahan kakao.Piter (Ketua UmumAIKI) mengatakan

6
bahwa perkiraan investasi pabrik olahan cokelat asal Malaysia seperti yang
dijelaskan diatas adalah Rp 435 Milliar.Oleh karena itu, berkembangnya industri
olahan cokelat milik industri besar luar negeri memberikan dampak yang negatif
bagi kemajuan industri kecil di dalam negeri.
Perhitungan nilai tambah pada industri cokelat “Pipiltin Cocoa” ini perlu
dilakukan berkaitan dengan seberapa besar nilai tambah yang dihasilkan oleh
perusahaan lokal dengan pemilik asli Indonesia serta bahan baku lokal. Selain itu,
pentingnya menghitung nilai tambah pada cokelat berbahan baku lokal ini
diharapkan dapat membangkitkan industri kecil untuk termotivasi menghasilkan
produk cokelat dengan loyalitas kualitas tinggi. Dengan demikian, investor pun
tertarik menanamkan investasinya pada industri kecil saat ini.Penelitian ini
berfokus pada produk cokelat batangan sebagai produk utama Pipiltin Cocoa
sekaligus jenis cokelat yang selama ini lebih dikenal masyarakat.
Penelitian mengenai analisis nilai tambah yang telah dilakukan oleh
banyak pihak pada penelitian sebelumnya adalah menggunakan metode Hayami
yang muncul pertama kali pada tahun 1987.Dalam penelitian kali ini, penulis
mencoba memandang pada sisi yang berbeda yakni mengambil dua metode dalam
perhitungan nilai tambah cokelat yaitu metode Syahza yang dicetuskan pada tahun
2000.Selanjutnya, hasil nilai tambah pada masing – masing metode dianalisis
perbedaan maupun kesamannya.
Berdasarkan uraian diatas, secara ringkas, perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Berapa nilai tambah cokelat batangan di Pipiltin Cocoa?
2. Bagaimana perbandingan nilai tambah berdasarkan metode Hayami dengan
Syahza?

Tujuan Penelitian
1. Mengkaji nilai tambah cokelat di Pipiltin Cocoa dengan fokus pada produk
cokelat utama yaitu cokelat batangan (chocolate bar)
2. Membandingkan hasil analisis nilai tambah berdasarkan metode Hayami dan
Syahza

Manfaat Penelitian
1. Bagi Industri: sebagai informasi pengukuran peluang mengembangkan produk
cokelat dan bahan evaluasi untuk terus meningkatkan nilai tambah sehingga
cokelat lokal dapat menembus pasar internasional (sebagai bahan
pertimbangan pengembangan usahanya).
2. Bagi Pemerintah, Pengambil Kebijakan, dan Instansi terkait, diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan untuk semakin fokus berupaya melakukan
ekspansi terhadap industri kakao dan cokelat nasional.
3. Bagi Akademisi dan peneliti khususnya diharapkan dapat menjadi bahan
untuk terus meneliti agribisnis kakao dan pemicu untuk meningkatkan
wawasan dan pengetahuan mengenai kakao dan industri cokelat.

7
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitianini mengkaji pengolahan biji kakao yang menghasilkan produk
cokelat converture (cokelat asli) dengan kualitas tinggi pada industri cokelat
dalam negeri dan menggunakan bahan baku lokal. Dalam penelitian ini, telah
dianalisis mengenai nilai tambah produk olahan biji kakao menjadi cokelat
batangan berkualitas tinggi. Lingkup analisis dalam penelitian ini adalah
perhitungan nilai tambah cokelat tidak hanya menggunakan metode Hayami yang
secara umum digunakan dalam analisis nilai tambah pengolahan komoditas
pertanian, namun juga dibandingkan dengan metode perhitungan nilai tambah lain
yakni metode Syahza.

TINJAUAN PUSTAKA
Studi Empiris Tentang Analisis Nilai Tambah Pada Usaha Kecil Menengah
Penelitian sebelumnya mengenai perhitungan nilai tambah telah dilakukan
oleh Popong Nurhayati (2006) dengan menggunakan metode nilai tambah
Hayami. Nurhayati melakukan perhitungan nilai tambah pada produk olahan hasil
perikanan pada industri pengolahan ikan skala kecil yaitu PHPT Muara Angke
antara lain berupa ikan asin (dari berbagai jenis ikan), ikan asap, ikan pindang,
terasi, hasil penyamakan kulit ikan pari, kerupuk kulit. Produk olahan hasil
industri perikanan tradisional ini didistribusikan kepada sejumlah besar konsumen
di Jakarta maupun konsumen di luar Jakarta.
Berdasarkan perumusan masalahnya, dilihat dari sisi produksi, selain
menggunakan sumberdaya perikanan yang berasal dari laut, kegiatan usaha
pengolahan ikan di PHPT Muara Angke juga didukung oleh berbagai input lain
yang bersumber dari luar industri perikanan. Oleh karena itu, besarnya nilai
tambah produk-produk olahan perikanan pada industri perikanan tradisional
tersebut belum diketahui secara mendetail, termasuk didalamnya nilai marjin,
imbalan tenaga kerja langsung, sumbangan input lain dan keuntungan perusahaan
(pengolah).
Hasil penelitian Popong Nurhayati ini menyatakan bahwa sembilan jenis
olahan produk perikanan memiliki nilai tambah yang berbeda.Jika dilihat dari
bersarnya nilai tambah, nilai marjin, keuntungan perusahaan dan imbalan tenaga
kerja langsung yang diperoleh, maka penyamakan kulit ikan pari merupakan
kegiatan usaha pengolahan produk perikanan yang paling baik.Dengan demikian
penyamakan kulit ikan pari memiliki prospek pemasaran· yang cukup
baik.Pengasinan ikan kakap menghasilkan nilai tambah tertinggi yaitu sebesar Rp
12 854.48.Nilai tambah cukup tinggi terkait dengan aspek.pasar (selera
konsumen) yang secara umum dapat mengkonsumsi jenis ikan ini. Pengasinan
ikan kakap selain memberikan kontribusi kepada pemilik-pemilik faktor produksi
yang mengolah ikan tersebut, juga memberikan nilai tersendiri kepada
konsumen.Ditinjau dari aspek pasar, pengasinan ikan kakap memiliki prospek
yang baik untuk dikembangkan.

8
Penelitian mengenai perhitungan nilai tambah juga telah dilakukan pada
usaha kecil pengolahan biji kakao oleh Dilana (2012) mengenai nilai tambah biji
kakao di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Indra menganalisis nilai tambah produk
olahan kakao menjadi produk antara atau cokelat semi finished yaitu lemak
cokelat, bubuk cokelat, dan pasta cokelat. Ketiga produk ini diproduksi
menggunakan bahan baku dan sumbangan input lain dalam jumlah yang sama.
Namun, terdapat keunikan dalam tahap produksinya yaitu bahan baku biji kakao
yang digunakan akan diproses menjadi pasta cokelat, bubuk cokelat, dan lemak
cokelat secara terpisah proses produksinya dan hanya diproses menjadi lemak dan
bubuk cokelat saja dalam satu kali proses produksi. Penelitian ini dilakukan di
sebuah UKM (Usaha Kecil Menengah) yaitu Putri Willis dengan anggota
penggeraknya adalah kelompok tani.UKM “Putri Willis” merupakan unit usaha
pengolahan biji kakao yang masih tergolong rendah permintaannya sehingga
produksi tidak jarang dilakukan hanya pada saat ada pemesan atau bersifat
insidental. Hal ini mengakibatkan proses pengolahan biji kakao hanya dibentuk
menjadi lemak cokelat dan bubuk cokelat saja.
Dari hasil perhitungan, nilai tambah yang dihasilkan pada UKM yang
mengolah biji kakao menjadi pasta cokelat, lemak cokelat, dan bubuk cokelat
berturut – turut adalah Rp 16 347, Rp 5 847, Rp 2 847 per kg. Setiap hari UKM
Putri Willis ini memproduksi 75 kg pasta cokelat, 45 kg lemak cokelat, dan 30 kg
bubuk cokelat dari penggunaan 100 kg biji kakao. Jika dihitung perbulan, nilai
tambah yang diterima untuk ketiga produk tersebut berturut- turut adalah Rp 36
780 750, Rp 7 893 450, dan Rp 2 562 300. Pengamatan lain berbeda ketika
pengolahan kakao ini sekaligus diproduksi menjadi bubuk dan lemak cokelat.
Dalam pengolahan biji kakao yang dijadikan dua produk sekaligus yaitu 100 kg
biji kakao yang digunakan menghasilkan 45 kg bubuk cokelat dan 30 lemak
cokelat dengan nilai tambah sebesar Rp 29847 per kg per hari. Nilai ini jika
dihitung perbulannya adalah sebesar Rp 67 155 750.
Berdasarkan hasil penelitian, nilai tambah biji kakao yang diproses menjadi
bubuk kakao, lemak cokelat, dan pasta cokelat secara terpisah lebih kecil nilainya
dibandingkan nilai tambah pengolahan biji kakao menjadi lemak cokelat dan
bubuk kakao.Pengolahan biji kakao setiap satu kilogram yang diproses menjadi
pasta cokelat memberikan nilai tambah sebesar Rp 16 347, sedangkan menjadi
bubuk cokelat sebesar Rp 5.847, dan nilai tambah pengolahan biji kakao sebanyak
satu kilogram menjadi lemak cokelat memberikan nilai tambah sebesar Rp 2.847.
Perbedaan nilai tambah ini dapat disimpulkan bahwa dengan bahan yang sama,
pengolahan biji kakao memberikan nilai tambah yang lebih besar pada proses
pengolahan yang menghasilkan produk diversifikasi dibandingkan hanya satu
jenis produk olahan biji kakao saja.
Pengamatan lainnyamengenai usaha kecil pengolahan cokelat juga
dilakukan pada suatu perusahaan cokelat milik gabungan kelompok petani yang
berada di Kabupaten Luwu Utara yaitu Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sibali
Resoe oleh Elly Ishak et al(2000). Pabrik atau perusahaan ini mulai berdiri pada
tahun 2008 yang diberi nama Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sibali Resoe di
Kelurahan Kasimbong, Kecamatan Masamba, Luwu Utara, yang merupakan
binaan dinas koperasi dan perdagangan (koperindag) Luwu Utara.
Produksi cokelat KUB Sibali Resoe adalah cokelat batangan dan cokelat
bubuk. Kemampuan produksi KUB Sibali Resoe ini perhari sekitar 15 – 20 kg

9
atau dalam satu bulan mencapai 450 kg sampai dengan 600 kg. Nama produk
cokelat produksi KBU Sibali Resoe diberi nama Cokelat Sayang dengan produksi
awal 3 cita rasa yaitu, cokelat mente, cokelat kacang dan cokelat kurma. Modal
untuk pendirian perusahaan cokelat adalah berasal dari modal pribadi dan
pemerintah.Modal pribadi digunakan untuk pembelian tanah dan pendirian
bangunan, sedangkan alat dan mesin merupakan sumbangan dari
pemerintah.Dengan adanya potensi produksi kakao yang cukup besar yang
dimiliki oleh Kabupaten. Luwu Utara maka Departemen Perindustrian RI melalui
Direktorat Industri Kecil dan Menengah dan bekerja sama dengan Pemda Luwu
Utara memberikan bantuan mesin atau peralatan pengolahan kakao.
Total investasi pendirian KUB Sibali Resoe mencapai Rp 1. 200.000.000 atau
Rp 1,2 Milliar (tidak termasuk tanah dan bangunan). Tenaga kerja yang bekerja
sebanyak enam orang dengan rata – rata pendidikan akhir SMA dan
SMP.Sedangkan pemilik KUB Sibali Resoe berpendidikan Sarjana.KUB Sibali
Resoe pun tidak jarang mengajak karyawannya untuk mengikuti
pelatihan.Pendapatan yang diterima KUB Sibali Resoe khusus untuk cokelat
batangan adalah sebesar Rp 7 000 000 per bulannya.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa usaha kecil
menengah pengolahan biji kakao masih menghasilkan cokelat - cokelat turunan
yaitu cokelat dengan proporsi penggunaan lemak sayur yang mendominasi
dibandingkan lemak cokelat. Hasil tinjauan pustaka belum berhasil menemukan
penelitian terdahulu berkaitan dengan perhitungan nilai tambah pada usaha kecil
pengolahan biji kakao yang menghasilkan produk cokelat asli (
cokelatconverture). Penelitian Elly Ishak et al (2000) menunjukan bahwa usaha
pengolahan cokelat membutuhkan investasi awal yang besar meskipun
pendapatan yang diterima juga cukup besar.
Penelitian terdahulu mengenai perhitungan nilai tambah juga dilakukan oleh
Nenni (2000) pada industri pengolahan ubi kayu skala kecil di Kecamatan
Bondowoso. Penelitian ini bertujuan membandingkan nilai tambah yang
dihasilkan dari industri pengolahan ubi kayu menjadi produk tape, dodol, dan
suwar – suwir pada tri wulan pertama tahun 2000 dengan menggunakan metode
Hayami dan M. Dawam Rahardjo. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode
M. Dawam Rahardjo, nilai tambah yang dihasilkan dari industri ubi kayu ini
adalah sebesar Rp 305 441 500 untuk tape, Rp 3 862 725 untuk dodol,dan Rp 7
365 350 untuk suwar – suwir. Sedangkan besarnya nilai tambah yang dihitung
dengan metode Hayami pada produk pengolahan ubi kayu ini adalah sebesar Rp
425 351 594 untuk tape, Rp 5276 725 untuk dodol, dan Rp 7 705 250 untuk suwar
– suwir. Berdasarkan kedua metode tersebut, nilai tambah yang dihasilkan dari
memproduksi tape memiliki nilai lebih besar dibandingkan dodol dan suwar –
suwir.
Dengan menggunakan metode perhitungan Hayami, persentase keuntungan
dari nilai tambah pengolahan ubi kayu menjadi tape, dodol, dan suwar – suwir
dapat diketahui nilainya yaitu berturut – turut sebesar 71.8 persen, 73.2 persen,
dan 95.5 persen.Sedangkan penggunaan metode M Dawam Rahardjo, nilai
tambah yang dihasilkan belum dapat memberikan informasi persentase
keuntungan yang diterima oleh produsen.Dengan demikian, penggunaan metode
Hayami lebih disarankan untuk digunakan pada perhitungan nilai tambah
pengolahan komoditas pertanian.

10
Penelitian lain mengenai nilai tambah pada usaha kecil menengah telah
dilakukan oleh Sinaga (2012). Sinaga melakukan penelitian mengenai perhitungan
nilai tambah pada industri tempe skala menengah di Desa Citereup, Kabupaten
Bogor. Desa Citereup merupakan salah satu daerah sentra pengolahan kedelai
menjadi tempe dengan adanya 100 unit usaha tempe. Perhitungan nilai tambah
pengolahan kedelai menjadi tempe ini dilakukan dengan metode perhitungan nilai
tambah Hayami.Perhitungan didasarkan pada satu bahan baku utama yaitu satu
kilogram kedelai.
Hasil perhitungan analisis nilai tambah menunjukkan bahwa nilai faktor
konversi pada industri tempe sebesar 1,6. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap
satu kilogram kedelai yang diolah akan menghasilkan 1,6 kilogram tempe.
Industri pengolahan kedelai menjadi tempe di Desa Citeureup menunjukkan
bahwa industri tersebut mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 2.198,91
per kilogram input kedelai. Rasio nilai tambah yang dimiliki yaitu 21,14 persen.
Nilai koefisien tenaga kerja yang diperoleh yaitu 0,02. Nilai ini dapat
diinterpretasikan sebagai jumlah Hari Orang Kerja yang diperlukan untuk
memproduksi satu kilogram kedelai hingga menjadi tempe adalah 0,02 HOK
(1HOK = 7 jam kerja). Apabila nilai koefisien tenaga kerja tersebut dikali dengan
banyaknya unit usaha tempe di Indonesia maka dapat dilihat banyaknya jumlah
tenaga kerja yang dapat terserap oleh industri tempe.
Perhitungan nilai tambah laiinya juga dilakukan oleh Suherman (2012).
Suherman melakukan penelitian mengenai analisis nilai tambah kayu mahoni
sebagai bahan baku kerajinan boneka Whimsy pada CV Atlas. CV Atlas
merupakan Industri Kecil Menengah yang bergerak di bidang pengolahan kayu di
Kabupaten Tasikmalaya.hasil produksi dari CV Atlas diantaranya adalah
kerajinan kayu seperti Boneka Kayu. Menurut Suherman, perhitungan dan analisis
nilai tambah pengolahan boneka kayu ini diperlukan oleh perusahaan untuk
mengetahui kondisi dan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk meningkatkan
produktivitas pengolahan yang akan meningkatkan keuntungan.Analisis nilai
tambah dilakukan dengan metode Hayami.
Berdasarkan hasil perhitungan metode hayami, nilai tambah yang diperoleh
dari produk boneka Whimsy adalah sebesar Rp 33.702,535 dengan rasio 87,54%.
Suherman mengatakan bahwa nilai tambah pada produk hasil pengolahan kayu
mahoni memiliki nilai tambah, total secara agregat akan menggambarkan nilai
tambah yang hasilkan oleh CV ATLAS. Nilai tambah produk merupakan nilai
tambah yang dihasilkan dari pengolahan bahan baku untuk setiap produk
Whimsy. Nilai tambah boneka Whimsy per unit Rp 33.702,535 dapat
menghasilkan nilai tambah selama satu bulan sebesar Rp 26.962.028.

11

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Nilai Tambah
Nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami
proses pengolahan, pengangkutan, ataupun penyimpanan dalam suatu produksi.
Dalam proses pengolahan nilai tambah dapat didefinisikan sebagai selisih antara
nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk
tenaga kerja (investasi). Sedangkan margin adalah selisih antara nilai produk
dengan harga bahan bakunya saja. Dalam margin ini tercakup komponen faktor
produksi yang digunakan yaitu tenaga kerja, input lainnya, dan balas jasa
pengusaha ( Hayami et al, 1987).
Berdasarkan pengertian tersebut, perubahan nilai bahan baku yang telah
mengalami perlakuan pengolahan besar nilainya dapat diperkirakan. Dengan
demikian, atas dasar nilai tambah yang diperoleh, margin pun dapat dihitung dan
selanjutnya imbalan bagi setiap faktor produksi dapat diketahui.Nilai tambah yang
semakin besar atas produk pertanian dapat berperan bagi peningkatan
pertumbuhan ekonomi.Pertumbuhan ekonomi yang besar tentu saja berdampak
bagi peningkatan lapangan usaha dan pendapatan masyarakat yang akhirnya
adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsep added value merupakan
analisis nilai tambah yang dimulai dari pembelian bahan baku sampai dengan
produk jadi.
Pemikiran lain diungkapkan oleh Azfa (2005) dalam Caska dan Almasdi
Syahza (2007), Azfa mengungkapkanbahwa nilai tambah bukan diukur dari apa
yang sudah dilakukan termasuk segala biaya yang harus dikeluarkan, tetapi dari
persepsi nilai pada konsumen. Oleh karena nilai tambah diukur dengan persepsi
konsumen, maka peran pemasaran termasuk brand menjadi penting. Apabila
persepsi lebih tinggi dapat diberikan melalui value creation dan dilengkapi
dengan aplikasi pemasaran yang benar, maka agroindustry (industri pengolahan
produk pertanian) akan memberikan sumbangan yang lebih besar.
Nilai tambah terjadi ketika peningkatan perbaikan diberikan pada sebuah
produk atau pelayanan oleh sebuah perusahaan sebelum produk tersebut
ditawarkan kepada konsumen akhir. Studi kasus terjadi pada produk lebah, lebah
ini dianggap telah menjadi produk yang bernilai tambah jika produk mentahnya
yaitu madu sudah berubah bentuk atau telah termodifikasi menjadi produk lain
yang memiliki nilai lebih tinggi. Proses modifikasi bahan baku ini akan
menghasilkan suatu produk sekunder yang memiliki manfaat bersih lebih tinggi
sehingga setiap unit produk dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi dan
memberikan tambahan penerimaan (Bradbear2006).
Berikut ini beberapa alasan pengembangan produk dengan nilai tambah yaitu
sebagai berikut,
1. Meningkatkan penjualan melalui penciptaan produk yang beragam
2. Mencapai pendapatan yang stabil meskipun bisnis dalam keadaan buruk
3. Meningkatkan keuntungan
4. Memberikan kesempatan dalam penciptaan pendapatan (peluang lapangan
pekerjaan) kepada suatu kelompok atau sektor lain

12
5. Menciptakan agen – agen pemasaran yang mengoptimalkan kreativitasnya
6. Menciptakan fungsi baru bagi produk yang beragam
Penjelasan lebih mendalam mengenai kekuatan nilai tambah yaitu sebagai berikut,
( Bradbear2006).
1. Peningkatan pendapatan melalui produk yang beragam
Produk bernilai tambah dapat mengakibatkan adanya peningkatan
penjualan melalui keberagaman produk yang dihasilkan serta cenderung akan
meningkatkan dan menstabilkan pendapatan yang diperoleh produsen.
Keberagaman produk ini menawarkan sesuatu yang beda dari yang lain,
memenuhi kebutuhan pada sektor pasar tertentu yang selama ini tidak terjangkau,
dan memiliki differensiasi dalam persaingan. Produk yang bernilai tambah telah
mengalami perubahan pada kemasan atau cara memasarkannya. Bahan baku yang
terkandung dalam produk mengalami perubahan karena adanya proses pengolahan
lanjut sehingga menyebabkan produk akhir berbeda – beda secara fisik. Tujuan
strategi ini adalah membangun sebuah image pada konsumen yang potensial
bahwa produk adalah unik. Jika target pasar dari seorang produsen berbeda dari
pesaingnya, maka produsen akan lebih fleksibel dalam membangun bauran
pemasaran. Kesuksesan strategi produk dengan differensiasi ini akan
memposisikan produk tersebut sebagai sebuah produk yang berdaya saing
berdasarkan harganya serta faktor non harga seperti karakteristik produk, strategi
distribusi, dan variable – variable pemasaran ( promosi, pelayanan) yang
dilakukan oleh produsen.
2. Menciptakan produk yang layak di jual ke pasar internasional
Produk bernilai tambah ini memunculkan peluang penciptaan pasar di luar
negeri atau para tourist.Para wisatawan dari luar negeri yang berkunjung ke
Indonesia merasa kurang nyaman jika harus membawa oleh – oleh yang cukup
banyak dalam kemasan yang besar.Produk yang telah diproses dengan kemasan
menarik dan bentuk yang fleksibel dengan tidak menghilangkan cita rasa asli lebih
dibutuhkan oleh konsumen tersebut.Para wisatawan ini tidak memandang harga,
mereka mencari suatu produk yang unik dan portable.Oleh karena itu, produk
bernilai tambah yang memberikan kepuasan tertentu memiliki potensi besar untuk
masuk pada pasar – pasar internasional.
3. Penciptaan Lapangan Pekerjaan
Kreativitas dan inovasi produsen untuk menciptakan produk bernilai
tambah melibatkan pihak – pihak baru. Keterkaitan ke belakang yang disebut
backward linkage dan keterkaitan ke depan yang disebut forward linkage terjadi
pada proses pengolahan bahan baku menjadi produk akhir yang bernilai tambah.
Keadaan demikian secara tidak langsung membutuhkan sumberdaya dalam setiap
tahapan prosesnya.Misalnya, proses pengolahan suatu komoditas membutuhkan
suatu teknologi atau mesin tertentu, dengan demikian mendorong penciptaan
sumber daya manusia baru yang mampu menghasilkan teknologi tersebut.
Demikian pula pada bagian proses produksinya, produk bernilai tambah
membutuhkan beberapa pihak dengan keahlian tertentu. Secara ringkas, industri
pengolahan yang menghasilkan produk bernilai tambah menciptakan peluang
kerja baru selain pada sektor primer.Produk bernilai tambah tidak selalu didukung
dengan kemajuan teknologi atau mesin produksi yang digunakan, namun juga
adalah pemikiran kreatif yang menyebabkan produk memiliki nilai tinggi.Dengan

13
demikian industri pengolahan kakao memiliki kesempatan untuk turut
menciptakan peluang lapangan kerja baru bagi sektor jasa.
4. Sebuah cara meningkatkan produksi produk primer
Studi kasus mengenai buah – buahan, berdasarkan pengalaman tidak
jarang ditemukan di lapang buah yang membusuk akibat tidak laku dan akhirnya
menyebabkan petani rugi. Oleh karena itu, buah – buahan ini perlu diolah menjadi
produk lain yang memiliki nilai tambah. Konsumen pada zaman sekarang lebih
memilik produk – produk yang siap dikonsumsi dibanding mereka harus
mengolahnya, tidak terkecuali buah – buahan.Supermarket saat ini lebih memilih
menjual makanan atau minuman kemasan dengan kandungan buah tertentu
dibanding menjual buah – buahan langsung.Dengan demikian, produk bernilai
tambah ini membantu produsen primer untuk mengurangi tingkat kerugiannya
selain memberi keuntungan pada pihak industri.Petani termotivasi menciptakan
buah – buahan yang berkualitas untuk memenuhi permintaan industri dengan
meningkatkan produktivitasnya. Hal ini memberikan pengaruh pada stabilitas
pendapatan dan proses usaha petani melalui peningkatan produksi.
5. Penentu harga bagi produk bernilai tambah
Berdasarkan pengamatan dan analisis pasar, produk yang bernilai tambah
akan membangun sebuah pandangan lain yakni adanya manfaat baru. Informasi
ini merupakan kekuatan bagi produsen dalam menentukan harga.Produk bernilai
tambah menciptakan pasar baru dengan konsumen yang lebih luas.Kelebihan ini
memudahkan produk tersebut memasuki supermarket – supermarket dengan pasar
konsumen menengah atas. Dengan demikian kekuatan harga akan dapat
dikendalikan oleh produsen.
Nilai tambah merupakan salah satu komponen dalam membentuk nilai
produk. Nilai produk merupakan nilai yang dimiliki sebuah produk dan terdiri dari
nilai tambah pengolahan, nilai bahan baku, dan nilai input lainnya. Nilai tambah
pelaku usaha merupakan nilai tambah yang diperoleh dan diciptakan atas
usahanya dalam mengatur pemakaian input dan menghasilkan output (Dilana,
2012). Dalam analisis nilai tambah ini akan diketahui keuntungan dan margin
yang diterima perusahaan. Keuntungan merupakan bagian yang diterima
perusahaan karena menanggung risiko. Sedangkan margin menunjukan kontribusi
pemilik faktor – faktor produksi selain bahan baku yang terlibat dalam faktor
produksi.
Kerangka Pemikiran Operasional
Indonesia merupakan produsen kakao ketiga didunia.Ironisnya, total
pengolahan biji kakao menjadi berbagai produk sekunder masih rendah.Pada
tahun 2010, pemerintah telah menerapkan tarif bea keluar terhadap ekspor bii
kakao. Menurut Rifin (2012) berdasarkan hasil penelitiannya, tarif bea keluar
kakao tersebut tidak akan meningkatkan harga kakao internasional karena harga
kakao internasional dipengaruhi oleh harga petani. Dengan demikian, kenaikan
tarif ekspor akan menurunkan harga biji kakao lokal dan menurunkan tingkat
ekspor. Biji kakao lokal yang semakin bertambah akan digunakan sebagai
pasokan industri dalam negeri.
Penerapan bea keluar ekspor biji kakao mentah tahun 2010 berhasil
meningkatkan volume produk olahan kakao dalam negeri. Namun kepemilikan

14
industri kakao masih didominasi oleh perusahaan asing.Industri kecil dan
menengah pengolahan biji kakao masih kalah saing dengan perusahaan asing.
Produk cokelat hasil industri menengah merupakan cokelat compound (cokelat
turunan) dimana proporsi penggunaan lemak cokelat yang sangat rendah. Selain
itu, saat ini Indonesia belum mempunyai produk cokelat unggulan hasil produksi
industri kecil dan menengah.Hal ini memberikan pelajaran besar bahwa kemajuan
industri kakao dalam negeri hanya kemajuan perusahaan asing yang berhasil
menanamkan investasinya didalam negeri. Indonesia masih menggantungkan
industri hilir kakaonya kepada perusahaan asing dan itu artinya nilai tambah hasil
olahan kakao masih dirasakan oleh produsen luar dan Indonesia masih berperan
sebagai penyedia bahan baku saja.
Peningkatan jumlah industri kakao didominasi oleh peran perusahaan
asing atau multinasional.Pada tahun 2011, munculnya pabrik pengolahan kakao
baru di Batam oleh investor asal Malaysia dengan kapasitas terpasang sebesar 65
000 ton yaitu PT. Asia Cocoa Indonesia.Sedangkan tahun 2013, pabrik asing
lainnya mulai masuk dan beroperasi di Indonesia seperti JB Cocoa asal Malaysia,
Mars dan Cargil asal AS, dan Nestle asal Swiss (Asosiasi Industri Kakao
Indonesia 2012).PT Nestle juga melakukan ekspansi pabrik susu Milo dan
Dancow di Pasuruan dan Karawang.Pabrik – pabrik ini memproduksi produk
perantara industri hilir seperti bubuk cokelat yang kemudian dikirim ke negara asli
untuk diolah menjadi cokelat.Cokelat atau produk turunan cokelat dari negara –
negara tersebut kemudian diekspor kembali ke Indonesia.Sedangkan cokelat –
cokelat yang cukup dikenal didalam negeri seperti Silverqueen, Delfi, Cadburry,
merupakan cokelat lisensi perusahaan luar negeri meskipun proses produksi
dilakukan di Indonesia.
Peningkatan produksi kakao di dunia tidak lepas dari pengaruh semakin tinggi
tingkat permintaan kakao.Hal ini dikarenakan selain semakin bertambahnya
populasi dunia, minat masyarakat dunia mengkonsumsi cokelat semakin besar.
Pada 2010-2011 permintaan kakao dunia tercatat sebesar 3,77 juta ton dan bahkan
hingga 2015-2016 diprediksi terus meningkat hingga 4,3 juta ton. Selain itu,
industri kakao di Indonesia semakin berpeluang dikembangkan (Outlook Industri
2012) karena mempunyai alasan sebagai berikut:
a. Indonesia produsen biji kakao nomor tiga di dunia Setelah Pantai Gading dan
Ghana.
b. Tingkat konsumsi kakao per kapita
di Indonesia masih sekitar 0,2
kg/kapita/tahun padahal jumlah penduduk Indonesia telah mencapai sekitar
240 juta jiwa dengan income per kapita mencapai + US$ 3.000.
c. Keunggulan melting point cocoa butter tinggi dan FFA rendah.
d. Pasar terbuka l