Study of Rice Distribution in Regional Jakarta through Cipinang Rice Market Center

KAJIAN DISTRIBUSI BERAS DI WILAYAH DKI JAKARTA
MELALUI PASAR INDUK BERAS CIPINANG

TATIEK KARTIKA SWARA MAHARDIKA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Distribusi Beras di
Wilayah DKI Jakarta Melalui Pasar Induk Beras Cipinang adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2013
Tatiek Kartika Swara Mahardika
NIM 156110324

RINGKASAN
TATIEK KARTIKA SWARA MAHARDIKA. Kajian Distribusi Beras di
Wilayah DKI Jakarta Melalui Pasar Induk Beras Cipinang. Dibimbing oleh
KUKUH MURTILAKSONO dan KHURSATUL MUNIBAH.
DKI Jakarta merupakan wilayah konsumen karena defisit produksi padi di
wilayah tersebut dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada, sehingga
ketergantungan DKI Jakarta terhadap wilayah lain akan pangan khususnya beras
sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi dalam hal
penyaluran/distribusi beras antara Jakarta dan wilayah sekitarnya. Penyaluran dan
distribusi beras di DKI Jakarta telah diatur oleh Pemerintah Daerah dengan
menugaskan Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) yang dikelola oleh PT. Food
Station Tjipinang Jaya sebagai badan usaha milik daerah yang menjaga ketahanan
pangan dalam hal ini beras di wilayah DKI Jakarta. Sebagai pasar utama penyalur
beras di wilayah DKI Jakarta, PIBC menjadi pengendali dalam stabilitas harga
beras di wilayah ini dan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi
harga beras di wilayah lain. Fluktuasi harga cenderung sering terjadi dan bersifat

musiman akibat tekanan permintaan dan penawaran pada periode-periode tertentu.
Bahkan karena inefisiensinya saluran distribusi beras, sering terjadi rentang harga
yang sangat jauh antara harga beras di tingkat produsen di wilayah sentra produksi
dengan harga beras di tingkat konsumen.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis distribusi beras di DKI
Jakarta melalui PIBC, 2) Menganalisis interaksi spasial distribusi beras dari
daerah pemasok beras ke DKI Jakarta dan mengidentifikasi daerah pemasok
utama dengan daya dorong tertinggi, 3) Menganalisis daya dukung lahan daerah
pemasok utama beras ke wilayah Jakarta, 4) Menganalisis pola harga beras di
PIBC dan daerah pemasok utama, marjin pemasaran, dan tingkat sebaran
penerimaan yang diterima petani di daerah pemasok utama, dan 5) Merumuskan
arahan kebijakan pembangunan sektor pertanian dan distribusi beras di DKI
Jakarta.
Pemetaan distribusi beras dibuat berdasarkan data pemasukan dan
pengeluaran beras di PIBC sepanjang tahun 2011 dan 2012 dan diolah dengan
analisis spasial menggunakan aplikasi sistem informasi geografis, sedangkan
saluran pemasaran dan kelembagaan yang terlibat diperoleh dari hasil wawancara
dengan pelaku usaha di PIBC dan studi literatur. Analisis interaksi antar wilayah
menggunakan analisis model gravitasi. Hasil analisis interaksi antar wilayah akan
memperlihatkan wilayah hinterland mana yang mempunyai daya dorong besar

untuk mengirimkan hasil produksi berasnya ke wilayah DKI Jakarta. Berdasarkan
hasil tersebut, dilakukan analisis daya dukung lahan dari wilayah hinterland
Jakarta yang merupakan sentra produksi beras untuk mengetahui kemampuannya
dalam mensuplai kebutuhan beras Jakarta apakah bisa berlanjut atau tidak.
Analisis pola harga dilakukan untuk mengetahui fluktuasi harga yang terjadi dan
tingkat perbedaan harga antara yang diterima petani dengan harga yang
dibayarkan konsumen. Analisis marjin pemasaran dan farmer’s share digunakan
untuk mengetahui efisiensi pemasaran beras dari produsen ke konsumen.

Hasil analisis menunjukkan bahwa alur pemasaran/distribusi beras di DKI
Jakarta yang melalui PIBC melibatkan berbagai lembaga pemasaran mulai
pedagang daerah sebagai pemasok ke PIBC, agen di dalam wilayah Jakarta, dan
pengecer yang terdiri atas pengecer di supermarket, perumahan, dan pasar
tradisional di Jakarta. Pasokan beras ke PIBC terutama berasal dari wilayah Jawa
Barat seperti Karawang, Bandung, Cianjur, Cirebon dan Serang Banten.
Penyaluran beras dari PIBC ke dalam wilayah Jakarta dari total pengeluaran beras
oleh PIBC mencapai 49 persen pada tahun 2012 dengan jumlah penyebaran
tertinggi di wilayah Jakarta Timur, diikuti oleh Jakarta Barat, Jakarta Selatan,
Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Kepulauan Seribu.
Interaksi antar wilayah menunjukkan bahwa pemasaran beras di PIBC

sangat dipengaruhi oleh daya dorong dari wilayah asal berupa produksi beras dan
jumlah petani di wilayah asal. Populasi penduduk di wilayah tujuan juga menjadi
daya tarik namun tidak secara nyata dalam pemasaran beras ke PIBC, sedangkan
jarak mengurangi interaksi pemasaran antar wilayah. Wilayah asal yang memiliki
daya dorong tertinggi dalam hal pengiriman beras ke PIBC Jakarta adalah
Karawang, yaitu sebesar 0.56.
Fluktuasi harga beras di PIBC untuk beras medium terjadi pada periode
Februari-April, walaupun secara umum trend harga beras di PIBC untuk kualitas
medium cenderung meningkat. Selama periode Januari 2008 sampai Agustus
2012, harga beras kualitas medium (IR-64 II) di PIBC rata-rata meningkat sekitar
0.66 persen per bulan. Perbandingan harga konsumen dengan harga yang diterima
petani rata-rata memiliki nilai share masih rendah, yaitu hanya sekitar 47.04
persen dari semua saluran pemasaran yang ada. Hasil kajian menunjukkan bahwa
saluran 8 merupakan saluran terpendek melalui pasar tradisional dengan nilai
marjin terendah (Rp 1 306) dan nilai farmer’s share tertinggi, yaitu 50.43%.
Secara keseluruhan, saluran pemasaran melalui PIBC memiliki marjin lebih
rendah dibanding melalui agen di luar PIBC.
Analisis daya dukung lahan wilayah sentra produsen menunjukkan terdapat
11 kecamatan di wilayah Kabupaten Karawang yang memiliki nilai daya dukung
lahan surplus, yaitu Kecamatan Pangkalan, Tegalwaru, Talagasari, Rawamerta,

Tempuran, Kutawaluya, Cilebar, Cibuaya, Tirtajaya, Batujaya, dan Pakisjaya,
sedangkan 19 kecamatan lainnya memiliki nilai defisit. Secara keseluruhan
Karawang memiliki nilai daya dukung lahan defisit (0.63). Namun, dihitung dari
daya dukung lahan khusus beras diperoleh status surplus (3.78).
Wilayah pertanian di Jakarta berada di beberapa kecamatan yang ada di kota
Jakarta Utara (Cilincing, Marunda, Kamal dan Kamal Muara), Jakarta Barat
(Pegadungan) dan Jakarta Timur (Pasar Rebo, Ciracas, dan Cipayung). Sebaiknya
wilayah tersebut dapat dipertahankan keberadaannya, mengingat fungsi dari lahan
pertanian di Jakarta sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH), serta mata pencahariaan
sebagian penduduk dan sumber pemenuhan kebutuhan beras di wilayah tersebut.
Kepemilikan lahannya harus dipertimbangkan karena umumnya petani di Jakarta
merupakan petani penggarap.

Kata kunci: distribusi beras, interaksi wilayah, pasar induk beras cipinang,
wilayah produsen-konsumen.

SUMMARY
TATIEK KARTIKA SWARA MAHARDIKA. Study of Rice Distribution in
Regional Jakarta through Cipinang Rice Market Center. Supervised by KUKUH
MURTILAKSONO and KHURSATUL MUNIBAH.

DKI Jakarta is classified as rice consumer area based on its deficiency in
rice production as compared to the number of population. Therefore, its
dependency to other food producer area, particularly rice producer area, is
relatively high. This condition leads to a mutual interaction in food/rice
distribution between DKI Jakarta and its surrounding areas. Government of DKI
Jakarta has appointed Pasar Induk Beras Cipinang/Cipinang Rice Market (PIBC)
as the rice distributor in Jakarta Area. PIBC is managed by a local-owned
enterprise, PT. Food Station Tjipinang Jaya, that maintains food security (rice) in
Jakarta Area. As a main rice market in Jakarta Area, PIBC controls rice price
stability in Jakarta and it will influence the price directly or indirectly in other
areas. Price fluctuations often occur and tend to be seasonal due to supply and
demand pressures during certain period. Because of inefficiency in rice
distribution channels, there is a large disparity between producers and consumers
prices.
This study aims to: 1) analyze the rice distribution in Jakarta area through
PIBC, 2) analyze the spatial interaction of rice distribution between regions, that is
from the hinterland to PIBC in Jakarta, to identify the producer area that having
the highest driving force, 3) analyze the land carrying capacity in the producer
area, 4) analyze the patterns of price data and the level of revenue distribution
obtained by farmer in the highest driving force areas, and 5) formulate the policy

direction of agricultural sector and rice distribution in DKI Jakarta.
Rice distribution mapping was made based on income and expenditure data
of PIBC in 2011 and 2012 and treated with spatial analysis using geographic
information system applications, while marketing flow and the involved
institutions were obtained from interviews with entrepreneurs in PIBC and
literature study. Analysis of interaction between regions is carried out using
gravity model analysis. The information on the area that has the highest driving
force to send its rice production to Jakarta was obtained from the analysis of
interaction between regions. Based on these results, an analysis of the land
carrying capacity in the rice production area was conducted to determine its ability
to further supply the rice to Jakarta. The analysis of price data patterns was
performed to reveal the price fluctuations and the price disparity between farmer
and consumers prices. The analysis of marketing margins and the farmer's share
was used to determine the efficiency of the rice marketing from producers to
consumers.
The analysis result shows that the marketing flow/rice distribution in Jakarta
through PIBC involving various marketing institutions such as local merchants as
supplier to PIBC, an agent in the Jakarta area, and retailers consisting of retailers
in the supermarket, housing, and traditional markets in Jakarta. The rice supply to
the PIBC comes mainly from West Java namely Karawang, Bandung, Cianjur,

Cirebon, and Serang-Banten. The rice distribution from PIBC to Jakarta area

reached 49 percent of PIBC total expenditures in 2012 with the highest spread in
East Jakarta, followed by West Jakarta, South Jakarta, North Jakarta, Central
Jakarta and the Thousand Islands respectively.
Based on spatial interaction analysis, the rice marketing in PIBC is strongly
influenced by rice production and the number of farmers in producer areas.
Although population in destination area could be one of the tractions for rice
marketing, but its influence is not significant. On the other hand, the distance
reduces the marketing interaction between regions. Karawang, as one of the rice
producer areas, has the highest interaction value of 0.56. The value indicated that
Karawang has the highest driving force for sending its rice production to PIBC
Jakarta.
Although the price trend in PIBC for medium quality rice tends to increase,
price fluctuations of medium rice often occur in the period of February to April. In
the period of January 2008 until August 2012, the price of medium quality rice
(IR-64 II) in PIBC increased approximately 0.66 percent per month. However,
from all existing marketing channels, the comparison between the price paid by
consumer and received by farmer has relatively low share, which is about 47.04
percent. From the results, it was shown that channel 8, which is the line via

traditional market is the shortest line, has the lowest margins of Rp 1 306 and the
highest farmer's share of 50.43%. In general, it can be concluded the PIBC‟s
marketing channel has a lower margin than other marketing channels via agents
outside the PIBC.
The analysis of the land capacity in producer areas showed that 11 subdistricts in Karawang Regency have surplus land carrying capacity. It is
Pangkalan, Tegalwaru, Talagasari, Rawamerta, Tempuran, Kutawaluya, Cilebar,
Cibuaya, Tirtajaya, Batujaya, and Pakisjaya, while the other 19 sub-districts have
deficit land carrying capacity. In general, Karawang Regency has deficit land
carrying capacity (0.63). Especially, for rice land carrying capacity Karawang,
however has surplus 3.78 points.
Agricultural areas in Jakarta lies on several sub-districts i.e North Jakarta
(Cilincing, Marunda, Kamal and Kamal Muara), West Jakarta (Pegadungan), and
East Jakarta (PasarRebo, Cakung, Ciracas, and Cipayung). The area should be
able to be protected, given the function of agricultural land in Jakarta as a green
open space (RTH), as well as livelihood, and source of the availability of rice for
most of the population in that area. Property right of the land should be considered
due to the most farmers are sharecroppers in Jakarta.

Keywords: rice distribution, interaction of regions, Cipinang rice market,
producers-consumers area.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN DISTRIBUSI BERAS DI WILAYAH DKI JAKARTA
MELALUI PASAR INDUK BERAS CIPINANG

TATIEK KARTIKA SWARA MAHARDIKA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Suwarto, M.Si

Judul Tesis : Kajian Distribusi Beras di Wilayah DKI Jakarta Melalui Pasar
Induk Beras Cipinang
Nama
: Tatiek Kartika Swara Mahardika
NIM
: A156110324

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS
Ketua

Dr. Khursatul Munibah, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus

Dr. Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 09 Maret 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT
bahwa atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga rangkaian karya ilmiah ini,
mulai dari penyusunan proposal, penelitian hingga penulisan tesis berjudul Kajian
Distribusi Beras di Wilayah DKI Jakarta Melalui Pasar Induk Beras Cipinang
dapat diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS selaku ketua komisi pembimbing atas
arahan dan bimbingannya selama ini.
2. Dr. Khursatul Munibah, MSc selaku anggota komisi pembimbing atas
dukungan, arahan, dan bimbingannya dari awal hingga penyelesaian tesis ini.
3. Dr. Ir. Suwarto, M.Si yang berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian
tesis ini.
4. Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah IPB beserta seluruh staf pengajar dan staf manajemen Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah IPB atas dorongan, bimbingan dan kerjasamanya.
5. Didit Pribadi, SP. M.Si atas saran dan diskusi jarak jauhnya kepada penulis.
6. Pusbindiklatren Bappenas atas beasiswa yang diberikan dan Badan Ketahanan
Pangan Kementerian Pertanian yang memberikan izin tugas belajar.
7. Pelaku pemasaran dan manajemen di Pasar Induk Beras Cipinang, Pemerintah
Daerah DKI Jakarta dan Karawang beserta Instansi sektor terkait yang
memberikan kesempatan penulis untuk penelitian di wilayahnya.
8. Orangtua tercinta Bapak Aning Soeripno (alm) dan Mama Endang Sulistiawati,
Keluarga besar Bapak Tojibun (alm) dan Ibu Sastiyah, serta motivator utamaku
suami tersayang Hery Eddy Purwanto dan ananda Danish Aulia, beserta semua
anggota keluarga yang dengan sabar memberikan dorongan serta segala
doanya.
9. Rekan-rekan sekalian baik yang di kampus maupun di tempat kerja, serta
pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam membantu
penyelesaian tesis ini.
Semoga semua kebaikan dibalas oleh Allah SWT dan karya ilmiah ini
bermanfaat bagi semua pembaca.
Bogor, April 2013
Tatiek Kartika Swara Mahardika

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010
telah mencapai angka 237.6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1.49 per
tahun atau 3.4% penduduk dunia, Indonesia menempati peringkat keempat setelah
Cina, India, dan Amerika Serikat dan berpotensi menjadi tiga besar sedunia
setelah China dan India jika laju pertumbuhannya tidak dapat ditekan secara
signifikan. Meskipun laju pertumbuhan penduduk Indonesia masih tergolong
rendah, tapi tetap menimbulkan berbagai konsekuensi logis yang semakin
kompleks. Salah satu permasalahan yang muncul adalah pemenuhan kebutuhan
pangan masyarakat yang tentunya secara linier mengikuti pertumbuhan penduduk.
Jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah tersebut secara otomatis akan
meningkatkan permintaan akan pangan, sementara lahan-lahan pertanian banyak
mengalami perubahan fungsi.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2010a), selama rentang tahun
2009 – 2010 banyak terjadi pengurangan luas panen padi sebesar 44 286 ha. Di
Jawa terjadi pengurangan sebesar 60 652 ha, sementara di luar jawa terjadi
penambahan 16 366 ha. Masalahnya adalah di Jawa tidak ada lagi potensi
perluasan sawah, sementara alih fungsi lahan di pulau ini tidak dapat
dikendalikan, padahal tingkat produktivitas lahan sawah di Jawa melebihi
produktivitas lahan sawah di pulau-pulau lain, yaitu sekitar satu setengah kali
lipatnya. Semakin menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan
ekonomi di beberapa negara berkembang menjadikan sektor tersebut dianggap
tidak terlalu penting sehingga banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian untuk
kegiatan lain yang lebih menguntungkan secara ekonomis (Timmer 1998).
Sistem ketahanan pangan merupakan persoalan tentang penyediaan bahan
pangan pokok dalam dimensi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu bagi seluruh
masyarakat. Secara ekonomi masalah ketahanan pangan menyangkut persoalan
ekonomi produksi, distribusi dan konsumsi. Beras merupakan bahan pangan
pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia. Ketersediaan beras dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu luas areal panen (usaha tani), produksi beras atau gabah,
jumlah penduduk, dan distribusinya.
Salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan baik di tingkat
nasional dan wilayah adalah kelancaran distribusi pangan dari produsen ke
konsumen. Distribusi pangan yang baik diharapkan menjadikan pangan dapat
tersedia dalam jumlah yang cukup bagi masyarakat baik dari segi jumlah, mutu,
dan keragamannya sepanjang waktu. Kecukupan pangan juga meliputi
ketersediaan pangan secara terus menerus, merata disetiap daerah, dan terjangkau
oleh daya beli masyarakat (BKP-Kementan 2010).
Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar musim
merupakan tantangan dalam menjamin distribusi pangan agar tetap lancar sampai
ke seluruh wilayah konsumen sepanjang waktu. Pada banyak daerah kepedulian
dan kemampuan mengelola kelancaran distribusi masih terbatas, sehingga sering
terjadi ketidakstabilan pasokan dan harga pangan, yang berdampak pada
gangguan ketahanan pangan di wilayah bersangkutan. Masalah dan tantangan

2

dalam subsistem distribusi pangan mencakup terbatasnya prasarana dan sarana
perhubungan untuk menjangkau seluruh wilayah terutama daerah terpencil,
keterbatasan sarana dan kelembagaan pasar, banyaknya pungutan resmi dan tidak
resmi, tingginya biaya angkutan dibandingkan negara lain, gangguan keamanan
serta pengaturan dan kebijakan (BKP-Kementan 2010).
Ketahanan pangan sesuai Peraturan Pemerintah RI Nomor 68 tahun 2002
(Kementan 2002) tentang Ketahanan Pangan perlu terus dimantapkan karena
peranannya sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk
membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera. Saat ini,
peluang untuk pengembangan sistem pangan daerah mendapatkan momen yang
tepat seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang bergulir sejak tahun 1999
yang kemudian di revisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah (Kemendagri 2004), dimana setiap daerah otonom diberikan
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kebutuhan pangan masyarakatnya
sesuai dengan kemampuan wilayah. Berkaitan dengan hal tersebut maka sangat
penting bagi setiap daerah (provinsi, kabupaten, kota) untuk menyusun
perencanaan pangan yang memenuhi prinsip kuantitas maupun kualitas yang
didasarkan pada potensi lokal.
Salah satu kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan ke daerah
adalah kewenangan dalam pembangunan pangan. Namun demikian, tidak semua
daerah dapat dengan mudah mewujudkan keterpaduan sistem ketahanan pangan
sebagaimana disyaratkan oleh pemerintah pusat, terutama untuk daerah perkotaan
seperti DKI Jakarta yang tidak memiliki lahan pertanian yang signifikan untuk
penanaman tanaman pangan. Sebagai konsekuensinya adalah rendahnya produksi
pangan setempat.
Produksi padi sawah di DKI Jakarta selama kurun waktu 5 tahun terakhir
sejak 2006 sampai 2010 bergerak naik sedikit demi sedikit dengan rata-rata laju
peningkatan sebesar 17 persen dan produksi pada tahun 2010 mencapai 11 164
ton atau menghasilkan sekitar 7 004 ton beras dengan asumsi konversi padi ke
beras sekitar 62.74 persen. Namun dengan total jumlah penduduk (saat malam) di
DKI Jakarta yang mencapai 9 607 787 jiwa berdasarkan hasil sensus penduduk
tahun 2010, maka sudah dipastikan DKI Jakarta mengalami defisit yang cukup
besar dalam hal pemenuhan pangan pokok beras di wilayahnya.
Kekurangan/defisit beras di Jakarta tersebut akan dipenuhi dari impor
(wilayah lain atau luar negeri). Pemenuhan kebutuhan beras di DKI Jakarta
sebagian besar berasal dari PIBC (462 950 ton) dan sebagian berasal dari
pengadaan dan penyaluran oleh Bulog untuk TNI/PNS/Operasi Pasar/RT miskin
(159 359 ton), serta sisanya melalui pasar-pasar lain di luar PIBC dan Bulog (BPS
2011).
Kegiatan ekonomi yang terpusat di Jakarta berdampak pula pada
wilayah/daerah penyangganya di Jawa Barat dan Banten, dimana banyak terjadi
migrasi dan urbanisasi ke daerah tersebut, sehingga bertumbuhan pemukimanpemukiman baru yang jaraknya relatif dekat dengan pusat kegiatan. Hal ini
mengakibatkan banyak terjadinya konversi lahan pertanian ke fungsi lain di
wilayah hinterland Jakarta. Padahal di sisi lain, DKI Jakarta juga sangat
bergantung pada wilayah sekitarnya dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan
pokok (beras), dimana berdasarkan data pemasukan beras di PIBC, daerah asal
beras yang masuk sebagian besar berasal dari wilayah Jawa Barat (Pantura dan

3

sekitarnya) seperti: Cianjur, Cirebon, Bandung, Karawang, dan Serang (BPS
2011). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara Jakarta dan wilayahwilayah sekitarnya, termasuk dalam hal penyaluran/distribusi beras.

Perumusan Masalah
Ketahanan pangan umumnya diasosiasikan dengan pemenuhan kebutuhan
makanan masyarakat, terutama berkaitan dengan kebutuhan pokok makanan
(pemenuhan karbohidrat). DKI Jakarta membutuhkan sekitar 876 912 ton beras
untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya pada tahun 2010 dan sudah
dipastikan DKI Jakarta hanya mampu memenuhi sekitar kurang dari 1 persen dari
kebutuhan berasnya karena mengalami defisit yang cukup besar dan sisanya
diperoleh dari wilayah lain.
Penduduk DKI Jakarta relatif mampu mengakses pangan jika dilihat dari
sisi aksesibilitas (daya beli masyarakat), namun jika ketersediaannya terganggu
akan mengakibatkan fluktuasi harga, sehingga dapat mengganggu daya beli
masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan tersebut. Fluktuasi harga
cenderung sering terjadi karena Jakarta merupakan pintu gerbang perdagangan
nasional serta akibat ketergantungan yang besar terhadap produk dari daerah
sekitar. Fluktuasi tersebut juga bersifat musiman akibat tekanan permintaan dan
penawaran pada periode-periode tertentu, bahkan karena inefisiensinya saluran
distribusi beras, sering terjadi rentang harga yang sangat jauh antara harga beras di
tingkat produsen di wilayah sentra produksi dengan harga beras di tingkat
konsumen.
Distribusi merupakan salah satu subsistem dalam ketahanan pangan yang
sangat penting dan berfungsi untuk menyalurkan bahan pangan dari produsen
hingga ke tangan konsumen. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDKI
Jakarta Nomor Eb. 12/2/8/72 tanggal 23 Juni 1972 tentang penunjukan PT. Food
Station Tjipinang Jaya (Setda 1972) sebagai badan usaha yang diberi wewenang
mengurus, membina dan mengembangkan PIBC, sehingga PIBC berfungsi
sebagai pasar utama di Jakarta dalam pendistribusian beras sebagai bahan pangan
pokok. Menurut Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta dan PIBC,
hingga saat ini belum ada informasi tentang penyaluran beras dari PIBC ke dalam
wilayah DKI Jakarta.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah:
1) Belum teridentifikasi penyaluran beras untuk pemenuhan kebutuhan beras
DKI Jakarta melalui PIBC dan bagaimana saluran pemasarannya.
2) Belum teridentifikasi seberapa besar interaksi spasial antara wilayah DKI
Jakarta dan wilayah pemasok beras di sekitarnya (wilayah hinterland) dalam
pendistribusian beras melalui PIBC dan wilayah mana yang memiliki daya
dorong terbesar sebagai pemasok utama beras ke PIBC.
3) Belum teridentifikasi daya dukung dan kemampuan wilayah pemasok utama
beras ke DKI Jakarta tersebut dalam memenuhi kebutuhan beras di Jakarta.
4) Terjadinya fluktuasi harga beras di Jakarta belum tentu memberikan nilai
tambah bagi petani beras di wilayah pemasok utama beras.

4

5)

Belum ada analisis tentang kebijakan pertanian dan distribusi beras di
wilayah penelitian.

Kerangka Pemikiran
DKI Jakarta sebagai wilayah konsumen memiliki nilai produksi padi yang
relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah penduduknya, sehingga
wilayah ini mengalami defisit beras setiap tahunnya (BPS 2011). PIBC sebagai
pasar utama dalam pendistribusian beras di Jakarta menjadi sarana utama dalam
mendistribusikan beras dari daerah pemasok beras PIBC ke dalam wilayah
Jakarta. Di sisi lain, daerah pemasok beras ke PIBC merupakan wilayah
hinterland Jakarta, padahal di wilayah tersebut banyak terjadi penurunan luas
panen karena konversi lahan sawah ke kegiatan non pertanian (Kementan 2010a).
Interaksi antara Jakarta selaku wilayah konsumen dengan daerah pemasok
beras selaku wilayah produsen menjadi menarik untuk dilihat berdasarkan konsep
interaksi wilayah diantara keduanya. Aspek yang akan dilihat terkait dengan aspek
pasokan, harga, dan pemasaran beras dari wilayah produsen ke wilayah
konsumen.
Aspek pasokan melihat kondisi aktual dan eksisting pemetaan distribusi
beras yang masuk dan keluar PIBC, interaksi spasial antara daerah pemasok
dengan Jakarta sehingga diperoleh informasi wilayah mana yang merupakan
daerah pemasok dengan daya dorong tertinggi. Interaksi tersebut juga digunakan
untuk melihat bagaimana daya dukung lahan wilayah hinterland khususnya
daerah pemasok utama yang memiliki daya dorong tertinggi dalam interaksinya
dengan Jakarta terhadap penyediaan beras untuk pemenuhan mereka sendiri
ataupun untuk pemenuhan kebutuhan beras Jakarta dilihat dari daya dukung lahan
yang dimiliki daerah pemasok utama beras tersebut.
Kondisi harga beras di setiap tingkat pemasaran, yaitu di tingkat produsen,
konsumen, PIBC dan pelaku pemasaran lainnya juga menjadi hal menarik untuk
dianalisis, karena adanya kesenjangan yang cukup tinggi diantara keduanya. Hal
ini menarik untuk diketahui seberapa besar marjin pemasaran yang ada pada
pemasaran beras dan bagaimana tingkat penerimaan petani di wilayah produsen.
Aspek pemasaran melihat kondisi aktual saluran pemasaran beras di Jakarta
melalui PIBC, bagaimana beras bisa sampai ke tangan konsumen dan dilihat
pelaku distribusi yang terlibat di dalam saluran tersebut serta regulasi terkait
dengan pendistribusian beras di Jakarta.
Hasil analisis dari ketiga aspek tersebut akan dipadukan dengan
perencanaan tata ruang wilayah DKI Jakarta terkait dengan sektor pertanian dan
pendistribusian beras di Jakarta, sehingga dapat dihasilkan suatu rumusan dan
arahan kebijakan pengembangan sektor pertanian dan distribusi beras di wilayah
Jakarta. Berdasarkan hal tersebut penulis mencoba membangun kerangka
konseptual dalam penelitian ini seperti yang disajikan pada Gambar 1.

5

Daerah Pemasok Beras ke Pasar
Induk Beras Cipinang (PIBC):

DKI Jakarta:

- Produksi padi  Jumlah penduduk
(defisit beras 5 tahun terakhir, BPS 2011)
- Pemenuhan kebutuhan pangan pokok
(beras)  ketergantungan dari wilayah
lain melalui PIBC
- Fluktuasi harga beras daya beli
masyarakat
- Belum teridentifikasinya pendistribusian
beras dari PIBC ke pasar pengecer di
wilayah Jakarta (PIBC, Dinas Pertanian
dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, dan
BKP-Kementan)

P
I
B
C

- Wilayah hinterland Jakarta (Provinsi Banten
dan Jawa Barat), Jawa Tengah, Jawa Timur,
antar pulau (PIBC 2011)
- Terjadinya penurunan luas panen  konversi
lahan sawah ke kegiatan non pertanian
(Kementan 2010a)
- Belum teridentifikasi tingkat penerimaan petani
padi dan daya dukung lahan pertanian dalam
hal kemampuan menyediakan beras untuk
wilayahnya dan wilayah lain.

Konsep interaksi wilayah
antara daerah pemasok dengan DKI Jakarta
(PIBC)

Aspek pasokan:
- Kondisi aktual pemetaan
distribusi beras yang
masuk-keluar PIBC
- Interaksi spasial antara
daerah pemasok dengan
DKI Jakarta (PIBC)
- Daya dukung lahan di
daerah pemasok

Aspek harga:
-

Harga produsen
Harga konsumen
Harga di PIBC
Harga di setiap pelaku
usaha
- Marjin pemasaran
- Tingkat penerimaan
petani

Aspek pemasaran:
- Kondisi aktual saluran
pemasaran beras di
Jakarta melalui PIBC
- Peraturan dan
perundangan tentang
distribusi beras di Jakarta

RTRW DKI Jakarta
Rumusan dan arahan kebijakan distribusi beras di DKI Jakarta
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

6

Ruang Lingkup Penelitian

1.

2.

3.

4.

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada:
Interaksi spasial antara DKI Jakarta dengan daerah pemasok utama dengan
pasokan lebih dari 1000 ton per tahun berdasarkan data penyaluran beras di
PIBC.
Komoditas beras digunakan jumlah seluruh beras yang diproduksi dan
didistribusikan berdasarkan data yang tersedia di PIBC, tidak dipisahkan
menurut kualitas dan jenisnya.
Konsumsi beras merupakan kebutuhan konsumsi masyarakat per kapita per
tahun sesuai Data Susenas Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian
Tahun 2002 – 2011.
Harga beras yang digunakan adalah data harga jenis beras IR, jenis dan
kualitas lain (Cianjur, Ciherang, Setra, Muncul, Saigon, dll) tidak dianalisis
pada penelitian ini.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian dan latar belakang serta perumusan masalah di atas,
maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk:
1) Menganalisis distribusi beras di DKI Jakarta melalui PIBC.
2) Menganalisis interaksi spasial distribusi beras dari daerah pemasok beras ke
DKI Jakarta dan mengidentifikasi daerah pemasok utama dengan daya
dorong tertinggi.
3) Menganalisis daya dukung lahan daerah pemasok utama beras ke wilayah
Jakarta.
4) Menganalisis pola harga beras di PIBC Jakarta dan daerah pemasok utama,
marjin pemasaran dan tingkat sebaran penerimaan yang diterima petani di
daerah pemasok utama.
5) Merumuskan arahan kebijakan pembangunan sektor pertanian dan distribusi
beras di DKI Jakarta.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna dan menjadi bahan masukan bagi
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota DKI Jakarta
serta instansi terkait dalam hal kebijakan distribusi beras dan untuk meningkatkan
awareness Pemerintah Pusat dan Daerah terkait kesejahteraan petani dan
kemampuan aksesibilitas konsumen akan beras di wilayahnya.

7

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Ketahanan Pangan dan Distribusi Pangan
Menurut Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
(Kementan 2013), ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya
pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi,
merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan
budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan. Kondisi ketahanan pangan dapat diwujudkan melalui pemanfaatan
sumberdaya pangan, kelembagaan dan budaya lokal. Hal ini berarti kebutuhan
pangan penduduk dapat dipenuhi dari kemampuan produksi atau perdagangan
antar wilayah, melalui hasil kerja suatu sistem ekonomi. Pangan yang terdiri atas
subsistem ketersediaan (availability); subsistem keterjangkauan (accessibility)
baik secara fisik maupun ekonomi serta subsistem stabilitas ketersediaan dan
keterjangkauan. Aspek penting dalam perwujudan ketahanan pangan adalah
pengembangan agribisnis pangan dan pengembangan kelembagaan pangan yang
dapat menjamin keanekaragaman produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan
penduduk.
Keberhasilan pembangunan ketahanan pangan tidak hanya bergantung pada
keberhasilan meningkatkan produksi, tetapi perlu ditakar secara komprehensif
berdasarkan tiga pilar utama, yakni produksi yang cukup, distribusi yang lancar
dan merata, serta konsumsi pangan yang aman dan berkecukupan gizi bagi
seluruh individu masyarakat. Distribusi memegang peranan penting dalam
membawa suatu produk dari produsen hingga dapat diterima oleh konsumen akhir
sebagai pengguna produk tersebut (Dewan Ketahanan Pangan 2006).
Distribusi pangan berkaitan erat dengan situasi kecukupan pangan, yaitu
stabilitas kecukupan pangan dari waktu ke waktu (distribusi temporal) dan tingkat
pemerataan pangan di setiap wilayah (distribusi spasial). Keberadaan subsistem
distribusi pangan yang berfungsi untuk mewujudkan sistem distribusi yang efektif
dan efisien akan memungkinkan masyarakat di seluruh pelosok mampu
mengakses pangan secara fisik dan ekonomi sehingga seluruh rumah tangga dapat
memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu.
Kinerja subsistem distribusi dipengaruhi oleh kondisi prasarana dan sarana,
kelembagaan dan peraturan perundangan yang berlaku di masing-masing wilayah.
Berdasarkan hasil studi kasus di Bangladesh, Khan dan Jamal (1998)
menyimpulkan bahwa di beberapa negara berkembang sistem distribusi
pangannya sangat tidak efisien dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi, selain
itu sistem tersebut tidak dapat melindungi petani dari fluktuasi harga musiman, di
sisi lain sistem gagal untuk melindungi penduduk miskin dari kerawanan pangan.
Kegiatan distribusi pangan dapat dikatakan sebagai suatu proses akan
mengalirkan pangan dari produsen yang disertai dengan perpindahan hak milik
dan penciptaan guna, waktu, tempat dan bentuk yang dilakukan oleh lembaga
distribusi atau pemasaran dengan melaksanakan satu atau lebih dari fungsi
pemasaran. Distribusi juga mengandung pengertian suatu proses yang membawa
produk dari tempat dimana produk tersebut diproduksi ke suatu tempat yang

8

terdekat dengan konsumen akhir. Sistem distribusi yang efisien menjadi prasyarat
untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam
jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu, dengan harga yang terjangkau.

Kondisi Ketahanan Pangan DKI Jakarta
Data Susenas Tahun 2002 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi
penduduk perkotaan (1 954.25 kkal/kap/hari atau sekitar 89.7 kg beras/kap/tahun)
relatif lebih rendah dibandingkan penduduk pedesaan (2 013.43 kkal/kap/hari atau
setara 109.6 kg beras/kap/tahun), Jakarta diasumsikan sebagai wilayah perkotaan
dengan konsumsi beras per kapita per tahun rata-rata sekitar 92 kg (Kementan
2010b). Berdasarkan perhitungan asumsi tersebut, maka kebutuhan pangan
wilayah DKI Jakarta dalam kurun waktu 5 tahun ke belakang berdasarkan data
produksi dan perhitungan ketersediaan padi (BPS 2011) dapat dilihat pada Tabel
1.

Tahun

2006
2007
2008
2009
2010

Tabel 1 Data produksi dan kebutuhan beras di DKI Jakarta
Produksi Ketersediaan
Jumlah
Kebutuhan
Defisit
GKG (ton) Beras (ton)
Penduduk Beras (ton)
(Jiwa)
6 197
3 888
8 961 680
824 475 (820 587)
8 002
5 020
7 554 461
695 010 (689 990)
8 352
5 240
7 616 838
700 749 (695 509)
11 013
6 910
8 523 157
784 130 (777 221)
11 164
7 004
9 607 787
883 916 (876 912)

Sumber: diolah dari BPS Provinsi DKI Jakarta (2011)

DKI Jakarta memenuhi kebutuhan pangannya dari hasil produksi daerah
sekitarnya seperti Bogor, Serang, Karawang, Cianjur, Subang, dan sentra padi di
Pulau Jawa lainnya serta dari luar pulau dan bahkan luar negeri melalui PIBC.
Berdasarkan data di PIBC sebagai pasar utama dalam pendistribusian beras di
Jakarta, jumlah beras yang masuk dan disalurkan ke wilayah DKI Jakarta dari
PIBC adalah sekitar 462 950 ton beras. Tingkat kebergantungan pasokan beras
yang sangat tinggi pada wilayah lain tersebut sangat beresiko terhadap kondisi
ketahanan pangan DKI Jakarta, walaupun secara daya beli masyarakatnya mampu
membeli beras, namun secara ketersediaan harus juga diperhatikan
aksesibilitasnya. Kondisi ini diperbesar lagi dengan semakin banyaknya alih
fungsi lahan pertanian di wilayah sentra produksi yang menjadi andalan dalam
pemasukan beras ke DKI Jakarta (Surjasa 2011).
Berdasarkan hasil analisis peta kerawanan pangan di DKI Jakarta tahun
2011 menunjukkan bahwa secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi
kerentanan terhadap kerawanan pangan di provinsi DKI Jakarta adalah masih
besarnya rumah tangga miskin, angka perempuan buta huruf, ibu rumah tangga
yang tidak tamat lulusan SD, kebakaran yang sering terjadi, angka pengangguran
dan masih besarnya pekerja di sektor informal. Indikator yang dipilih dalam
analisis peta kerawanan pangan DKI Jakarta ini berkaitan dengan tiga pilar

9

ketahanan pangan, yaitu: (i) ketersediaan pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan
(iii) pemanfaatan pangan (Tabel 2).
Tabel 2 Indikator peta ketahanan dan kerentanan pangan Provinsi DKI Jakarta
tahun 2011
No

Aspek

Indikator

1

Ketersediaan pangan

1.

Prasarana penyedia pangan

2

Akses pangan

2.
3.
4.
5.
6.

Persentase penduduk miskin
Angka pengangguran
Jumlah rumah tangga miskin – penduduk miskin
(RTM-PM)
Jumlah beras yang disalurkan (kg)
Persentase pekerja sektor informal
Berat badan balita di bawah standar (underweight):
Persentase perempuan buta huruf
Tingkat kepadatan penduduk
IRT tidak tamat SD

3

Pemanfaatan pangan

7.
8.
9.
10.

4

Transien

11. Data kejadian kebakaran
12. Data kejadian kriminalitas

Sumber: Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) Provinsi DKI Jakarta (DKP dan WFP 2012)

Peta ketahanan dan kerentanan pangan DKI Jakarta tahun 2011
menunjukkan dari total 44 kecamatan, terdapat 7 (15.90%) kecamatan Prioritas 1,
5 (11.36%) kecamatan Prioritas 2, 15 (34.09%) kecamatan Prioritas 3, 6 (13.64%)
kecamatan Prioritas 4, 9 (20.45%) kecamatan Prioritas 5 dan 2 (4.55%) kecamatan
Prioritas 6 (Gambar 2).
Peta komposit menjelaskan kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan
suatu kecamatan yang disebabkan oleh kombinasi dari berbagai dimensi
kerawanan pangan. Berdasarkan hasil PCA dan Cluster Analysis, kecamatankecamatan dikelompokkan ke dalam 6 prioritas: Prioritas 1 ( ), Prioritas 2 ( ),
Prioritas 3 ( ), Prioritas 4 ( ), Prioritas 5 ( ), dan Prioritas 6 ( ). Prioritas 1
merupakan prioritas utama yang menggambarkan tingkat kerentanan yang paling
tinggi, sedangkan prioritas 6 merupakan prioritas yang relatif lebih tahan pangan.
Hal ini berarti kecamatan prioritas 1 memiliki tingkat resiko kerawanan pangan
yang lebih besar dibandingkan wilayah kecamatan prioritas lainnya sehingga
memerlukan perhatian segera. Meskipun demikian, kecamatan yang berada pada
prioritas 1 tidak berarti semua penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan,
juga sebaliknya kecamatan pada prioritas 6 tidak berarti bahwa semua
penduduknya tahan pangan. Prioritas 1 terdiri atas 7 kecamatan, yaitu 2
kecamatan di Jakarta Barat dan 5 kecamatan di Jakarta Utara. Kecamatan yang
rentan terhadap kerawanan pangan di Jakarta Barat adalah Kecamatan
Cengkareng dan Kalideres, sedangkan di Jakarta Utara yaitu Kecamatan
Cilincing, Tanjung Priok, Koja, Penjaringan, dan Pademangan (DKP dan WFP
2012).

10

PETA KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN
PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2011

Sumber: Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) Provinsi DKI Jakarta (DKP dan WFP 2012)

Gambar 2 Kondisi ketahanan pangan di DKI Jakarta

Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) dan Keterkaitan Antar Wilayah DKI
Jakarta dengan Daerah Sentra Produksi Padi di sekitarnya
PIBC didirikan sebagai upaya realisasi dari Pola Induk Pengadaan dan
Penyaluran Bahan Pangan untuk DKI Jakarta tahun 1965 – 1985 yang merupakan
bagian dari Rencana Induk DKI Jakarta tahun 1965 – 1985. Perusahaan yang
ditunjuk sebagai pengelola dan pembina PIBC adalah PT. Food Station Tjipinang
Jaya (FSTJ) yang didirikan dengan Akte Notaris Soeleman Ardjasasmita SH,
Nomor 46 tanggal 28 April 1972, TBNRI Nomor 39 tanggal 16 Mei 1975 dan
diperbarui dengan Akte Notaris Rachmad Umar, SH Nomor 25 tanggal 30 Maret
2000 serta terakhir diperbaharui dengan Akte Notaris Rachmad Umar SH, Nomor
3 tanggal 22 November 2007 tentang pendirian PT. Food Station Tjipinang Jaya.
Secara operasional PT. Food Station Tjipinang Jaya didukung juga oleh beberapa
surat keputusan lainnya seperti Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor
Eb. 12/2/8/72 tanggal 23 Juni 1972 tentang penunjukan PT. Food Station
Tjipinang Jaya sebagai badan usaha yang diberi wewenang mengurus, membina
dan mengembangkan PIBC.
PIBC merupakan satu area pergudangan dan transaksi perberasan yang
merupakan pusat pemasaran beras terbesar di Indonesia dibandingkan dengan
pasar induk beras yang berada di daerah lainnya. Selain FSTJ, Pemerintah Daerah
DKI Jakarta juga memiliki dua badan usaha lainnya untuk menangani masalah
pangan, yaitu PD. Pasar Jaya yang mengelola sayuran dan palawija yang
jumlahnya sebanyak 152 pasar di DKI Jakarta serta PD. Dharma Jaya yang
mengelola rumah pemotongan hewan (RPH) Cakung yang menangani
pemotongan sapi dan unggas. PIBC yang menampung sekitar 700 pengusaha

11

beras, telah bekerja sama dengan para pemasok beras dari berbagai daerah sentra
produksi beras dari berbagai provinsi di Indonesia. PIBC merupakan pusat
perdagangan beras terbesar di Indonesia yang memperdagangkan komoditas beras
mencapai 900 000 ton per tahun, oleh karena itu PIBC melakukan monitoring data
pasokan, distribusi dan harga beras sehingga berguna sebagai pedoman para
pengusaha dan pedagang beras serta para pembuat kebijakan di instansi
pemerintah, baik pemerintah pusat/departemen, pemerintah daerah maupun
lembaga riset serta bahan berita di media masa nasional dan internet.
Menurut Sukidi dalam Surjasa (2011), PIBC adalah pasar beras di Provinsi
DKI Jakarta yang dapat menyerap semua jenis beras untuk diperdagangkan
sehingga peluang perdagangan komoditas beras masih terbuka luas. Konsumen
atau ritel dari FSTJ terdiri atas pasar tradisional (Pasar Jaya) yang jumlahnya 152
pasar di wilayah DKI Jakarta, pasar modern seperti carrefour atau giant, restoran,
rumah sakit, instansi negeri maupun swasta, katering dan industri (pabrik). Saham
FSTJ merupakan saham gabungan antara pihak Pemda DKI Jakarta, pihak swasta,
perorangan dan koperasi.
Jumlah permintaan beras umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor,
seperti perbedaan pendapatan masyarakat, jumlah penduduk dan konsumsi per
kapita di suatu wilayah. Perbedaan pendapatan masyarakat akan berpengaruh pada
kualitas beras yang diminta, pada akhirnya hal ini akan berpengaruh pada sistem
penyaluran beras. Penyaluran beras bagi konsumen di Jakarta dilakukan oleh
Dolog DKI Jakarta dan PIBC seperti ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Penyaluran beras di DKI Jakarta oleh Dolog dan PIBC
Dolog DKI
PIBC
% penyaluran
Total
(ton)
Tahun
Penyaluran
Penyaluran
Pemasukan
Penyaluran
(ton)
Dolog
PIBC
(ton)
(ton)
(ton)
2005
26 267
771 863
750 091
776 358
3
97
2006
22 922
719 403
723 622
746 544
3
97
2007
65 593
594 742
596 197
661 790
10
90
2008
337 137
691 732
697 825
1 034 962
33
67
2009
58 862
789 230
784 067
842 929
7
93
2010
159 359
820 600
817 662
977 021
16
84
Sumber: Perum Bulog Divisi Regional Provinsi DKI Jakarta dan PT. Food Station Cipinang
Jaya dalam BPS (2011)

Persediaan beras di PIBC pada dasarnya berasal dari pembelian dalam
negeri dan pembelian dari luar negeri (impor). Pengadaan dalam negeri dilakukan
pada saat panen raya, sedangkan impor dilakukan jika persediaan di PIBC tidak
mencukupi. Ini menunjukkan permintaan lebih besar dari penawaran beras di
pasaran. Pengadaan dimaksudkan untuk menahan naiknya harga eceran beras di
PIBC yang akan berakibat naiknya harga beras di pasar-pasar wilayah DKI
Jakarta (Andrida 1993).
Berdasarkan hasil penelitian Andrida (1993) tentang keterpaduan pasar,
PIBC berfungsi sebagai pusat penyebaran beras ke pasar-pasar di wilayah DKI
Jakarta, juga berfungsi sebagai indikator pengendalian harga bagi Bulog/Dolog
Jaya. Daerah sentra produksi yang menjadi sumber pengadaan beras di PIBC
adalah Karawang, Cirebon, Bandung, Cianjur, Subang, Serang, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur seperti terlihat pada Tabel 4. Penyaluran beras dari PIBC sebagian

12

besar dipasarkan untuk wilayah DKI Jakarta (di atas 70 persen), sisanya untuk
disalurkan ke luar Jakarta. Tangerang merupakan kota terbesar yang menyerap
beras dari PIBC untuk penyerapan di luar wilayah Jakarta, disusul oleh Bogor,
Bekasi, dan kota-kota di Irian. Penyaluran ini menunjukkan adanya keterkaitan
antara Jakarta dengan wilayah sekitarnya dalam hal pendistribusian beras.
Tabel 4 Rekapitulasi pemasukan beras dari daerah sentra produksi tahun 1983 –
1992 di PIBC (ton)
Asal
Karawang
Cirebon
Bandung
Cianjur
Jateng
Jatim
Ex-Dolog
Subang
Bekasi
Serang
Pamanukan
Lain-lain
Jumlah

1983
130 606
101 714
56 137
33 721
22 076
5 521
9 102
132
359 039

1984
132 854
96 494
64 141
38 699
17 919
4 932
6 402
63
361 144

1985
190 854
111 202
81 341
13 195
16 061
121
1 562
811
415 147

1986
208 932
98 678
73 385
29 712
14 466
11 062
2 441
566
439 242

Tahun
1987
1988
228 256
256 656
138 490
136 931
67 467
85 487
25 982
23 301
17 056
78 847
6 139
18 507
6 345
17 832
794
998
2 014
490 748
571 369

1989
202 849
135 835
86 543
21 982
46 319
24 326
3 841
1 065
1 484
524 235

1990
187 638
121 801
57 196
22 599
37 853
11 846
6 871
5 040
3 823
454 672

1991
154 653
136 778
64 113
23 601
46 835
14 843
5 736
20 079
5 324
1 392
473 471

1992
192 735
146 992
94 299
34 206
84 524
19 469
12 170
7 270
591 664

Sumber: PT. Food Station Tjipinang Jaya dalam Andrida (1993)

Hasil penelitian Mansyur (2006) juga menunjukkan bahwa PIBC
merupakan pusat perdagangan beras di Jakarta. Lebih dari 60 persen kebutuhan
beras penduduk DKI Jakarta masuk ke Jakarta melalui PIBC. Pemasok beras ke
pasar ini berasal dari berbagai daerah produsen beras di Pulau Jawa seperti
Karawang, Cianjur, Cirebon, Bandung, Solo, dan sentra produksi beras lainnya di
Jawa Tengah dan Jawa Timur (Tabel 5).
Tabel 5 Pemasukan beras ke PIBC berdasarkan daerah asal (2002-2006)
Ex dolog

Tahun
2002
2003
2004
2005
2006

Ton
1 390
-

%
0.22
-

Karawang, Cirebon,
Pantura, dsk
Ton
341 586
353 794
465 839
464 465
220 593

%
53.07
52.19
63.06
58.26
66.36

Bandung, Cianjur, dsk
Ton
877 732
84 430
103 299
108 503
40 023

%
13.63
12.22
13.98
13.61
12.04

Surabaya,
Lumajang, Kediri,
dsk
Ton
%
5 685
0.88
6 035
0.87
10 538
1.43
64 815
8.13
7 081
2.13

Tabel 5 (Lanjutan)
Solo, Demak, Pati, dsk
Antar Pulau
Ton
%
Ton
%
2002
105 272
16.36
713
0.70
2003
112 428
16.27
4 237
3.25
2004
135 227
18.31
12 824
0.02
2005
143 103
17.95
16 343
2.05
2006
60 301
18.14
4 421
1.33
Sumber: PT. Food Station Tjipinang Jaya dalam Mansyur (2006)
Tahun

Ex-Impor
Ton
%
101 224 15.73
130 205 18.84
11 002
1.49
-

Jumlah
Ton
643 602
691 129
738 729
797 229
332 419

13

Penelitian Sebelumnya
Aspek pasokan/ketersediaan beras dan aspek harga merupakan 2 aspek
penting dalam pendistribusian beras di DKI Jakarta. Terkait dengan aspek
pasokan beras, Provinsi DKI Jakarta memiliki Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC)
yang dikelola oleh PT. Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ). FSTJ/PIBC sebagai
pasar utama pemasaran beras diharapkan dapat menjadi pihak yang dapat
mengatur dan mengendalikan ketahanan pangan, khususnya untuk komoditas
beras di wilayah DKI Jakarta (Surjasa et al. 2011). Menurut Andrida dalam
penelitiannya tentang keterpaduan pasar (1993), wilayah sekitar DKI Jakarta yang
menjadi pemasok utama ke PIBC adalah Karawang, Subang, Cianjur, dan Serang.
Wilayah penerima utamanya selain wilayah Jakarta sendiri adalah wilayah
hinterland-nya yaitu Tangerang, Bogor, Serang, dan Bekasi. Berdasarkan alasan
tersebut PIBC perlu mengelola pasokan beras baik yang masuk ke PIBC maupun
pasokan beras yang ke luar dari PIBC guna menjaga ketersediaan beras.
Gandhi (2008) dalam penelitiannya di Kabupaten Cianjur menunjukkan
bahwa pola tataniaga beras dari tingkat petani hingga konsumen akhir melibatkan
berbagai lembaga tataniaga dalam satu saluran tataniaga. Akibatnya, terjadi
perbedaan harga produk yang cukup besar/signifikan antara harga produk yang
diterima oleh petani dan harga produk yang dibayarkan oleh konsumen akhir, atau
dengan kata lain nilai marjin pemasaran komoditas beras masih tinggi. PIBC
sebagai sentra/indikator pemasaran beras perlu mengantisipasi harga beras yang
berfluktuasi guna menjaga harga yang dapat terjangkau warga DKI Jakarta. Selain
itu, Pemerintah baik Pusat ataupun Daerah juga perlu memastikan kesejahteraan
petani dengan memperhatikan harga jual yang diterima oleh petani.
Menurut Amadou dan Sanogo (2010), kebijakan stabilisasi harga di Nepal
terkait dengan defisit pangan dan ketergantungan negara tersebut terhadap impor,
tidak akan berdampak apapun terhadap harga pangan kecuali ada usaha lebih
lanjut meningkatk