Produksi Susu Sapi Fh Pada Musim Hujan Dan Kemarau Di Sekitar Garis Lintang 0o Dataran Rendah Kampar

PRODUKSI SUSU SAPI FH PADA MUSIM HUJAN DAN
KEMARAU DI SEKITAR GARIS LINTANG 0o
DATARAN RENDAH KAMPAR

DAPOT TUA PASARIBU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi Susu Sapi FH
pada Musim Hujan dan Kemarau di Sekitar Garis Lintang 0o Dataran Rendah
Kampar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Dapot Tua Pasaribu
NRP D151120101

RINGKASAN
DAPOT TUA PASARIBU. Produksi Susu Sapi FH pada Musim Hujan dan
Kemarau di Sekitar Garis Lintang 0o Dataran Rendah Kampar. Dibimbing oleh
BAGUS PRIYO PURWANTO dan AFTON ATABANY.
Perbedaan musim menyebabkan cuaca pada musim hujan dan musim
kemarau menjadi berbeda, salah satunya yaitu perbedaan suhu dan kelembaban
yang dapat mempengaruhi ketersediaan pakan dan produktivitas sapi FH. Tujuan
penelitian adalah untuk menganalisis performa produksi susu dan reproduksi sapi
FH musim hujan dan musim kemarau. Penelitian ini menggunakan data sekunder
tahun 2011-2013 dengan tambahan data primer yang diambil pada bulan MeiAgustus 2014. Lokasi penelitian di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak
Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Peubah yang diamati pada
penelitian ini yaitu curah hujan musim hujan dan musim kemarau, Temperature
Humidity Index (THI), kualitas pakan ternak dan produksi susu sapi FH.
Unsur iklim dan nilai THI di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak
Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau pada musim hujan lebih baik

dibanding musim kemarau walaupun secara keseluruhan sapi FH yang dipelihara
di UPT mengalami cekaman atau stress panas. Kualitas hijauan makanan ternak
pada musim hujan lebih baik dibandingkan musim kemarau. Persentase laktasi
lebih baik di musim hujan sedangkan di musim kemarau berkemungkinan
terjadinya gangguan reproduksi yang dapat menyebabkan penurunan produksi susu
akibat dari kondisi iklim dan Temperature Humidity Index (THI) yang kurang baik
bagi sapi FH. Produksi susu pada musim hujan tidak berbeda nyata dibandingkan
musim kemarau.
Kata kunci: musim, hijauan, sapi FH, reproduksi, produksi susu

SUMMARY
DAPOT TUA PASARIBU. Milk Production of Friesian Holstein Cows during
Rainy and Dry Season at Lowland 0o Latitude Kampar. Supervised by BAGUS
PRIYO PURWANTO and AFTON ATABANY.
The difference in season caused different in weather condition between rainy
and dry season. One of the differences is temperature and humidity that may affect
availability of forage and productivity of FH cows. The purpose of study was to
determine milk production and reproduction performance of FH cows during rainy
and dry seasons which were collected from 2011-2014. The location of study was
in UPT of Ruminant Breeding and Training in Kampar Riau. Parameter observed

in this study was rainfall of rainy and dry season, Temperature Humidity Index
(THI), forage quality and milk production of FH cows.
Climatic conditions and the value of THI in UPT of Ruminant Breeding and
Training in Kampar Regency Riau Province during rainy season was better than
that of dry season although FH cows those were reared in UPT suffered from heat
stress. Forage quality during rainy season was better than that of the dry season.
Percentage of lactation was better in the rainy season, while in the dry season was
likely occurrence of reproductive problems as a result of climatic conditions and
Temperature Humidity Index (THI) were unfavorable for the cows. Milk
production in rainy season was not significantly different compare with dry season.
Keyword: season, forage, FH cows, reproduction, milk production.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


PRODUKSI SUSU SAPI FH PADA MUSIM HUJAN DAN
KEMARAU DI SEKITAR GARIS LINTANG 0o
DATARAN RENDAH KAMPAR

DAPOT TUA PASARIBU

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Salundik MSi


Judul Tesis : Produksi Susu Sapi FH pada Musim Hujan dan Kemarau di Sekitar
Garis Lintang 0o Dataran Rendah Kampar
Nama
: Dapot Tua Pasaribu
NRP
: D151120101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Bagus P Purwanto MScAgr
Ketua

Dr Ir Afton Atabany MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Salundik MSi

Dr Ir Dahrul Syah MScAgr

Tanggal Ujian: 11 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah yang penulis kenal dalam
nama Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia dan penyertaan-Nya sehingga karya
ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian telah dilaksanakan sejak bulan Mei
sampai dengan bulan Agustus 2014 dengan judul Produksi Susu Sapi FH pada
Musim Hujan dan Kemarau di Sekitar Garis Lintang 0o Dataran Rendah Kampar.
Hasil penelitian telah dipublikasi di jurnal internasional Applied Research Journal
Vol. 1, Issue 4, pp.222-228, June 2015 dengan judul Milk Production and
Reproduction Performance of Friesian Holstein (FH) on Rainy and Dry Season

Around 0o Latitude Kampar Regency.
Terimakasih penulis ucapkan kepada bapak Dr Ir Bagus Priyo Purwanto MSc
Agr dan bapak Dr Ir Afton Atabany MSi selaku pembimbing yang telah banyak
memberi bimbingan, saran, waktu dan tenaga sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Terimakasih juga disampaikan kepada kedua orang tua penulis bapak Rajimin
Pasaribu dan ibu Lasih Sianipar yang tidak henti-hentinya mendoakan dan
memberikan dukungan kepada penulis, menjadi penyemangat dan pendengar yang
setia. Terimakasih kepada adik-adik penulis Andri Pasaribu dan Yohana Magdalena
atas segala doa dan semangat yang diberikan kepada penulis dan juga kepada
keluarga besar Pasaribu, Sianipar dan keluarga besar mbah Talip. Terimakasih juga
disampaikan kepada Supiani karena telah banyak membantu penulis dalam
menjalani setiap proses pada penelitian ini serta menjadi penyemangat. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada bapak Dr Ir Salundik MSi dan ibu Dr Ir Niken
Ulupi MS sebagai ketua dan sekretaris program studi Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan Sekolah Pascasarjana IPB, kepada ibu Ade dan teh Okta yang telah
banyak membantu dalam bidang akademik. Kepada seluruh dosen Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan. Terimakasih kepada abang Ismail dan kak Tia yang
telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi, berbagi ilmu, nasehat dan saran serta
masukannya demi tesis ini. Terimakasih kepada UPT Balai Pembibitan dan
Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar dan Badan Meteorologi

Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Pekanbaru yang telah bersedia
memberikan data kepada penulis untuk keperluan penelitian ini. Terimakasih juga
kepada program beasiswa BU DIKTI 2012 atas bantuan biaya pendidikan yang
diberikan kepada penulis.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada teman-teman seperjuangan
ITP 2012 dan seluruh teman-teman ITP 2012 yang masuk semester genap,
terimakasih atas semangat dan kebersamaannya. Terimakasih juga penulis ucapkan
atas segala bantuan dari semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kita semua dan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
Bogor, Agustus 2015
Dapot Tua Pasaribu

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
2

MATERI DAN METODE
Waktu dan Lokasi
Materi
Prosedur

3

3
3
3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Profil Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Udara
Kualitas Pakan Ternak
Persentase Laktasi
Produksi Susu

5
5
5
14
17
21

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

Saran

25
25
25

DAFTAR PUSTAKA

25

RIWAYAT HIDUP

30

DAFTAR TABEL
1. Curah hujan bulanan dan rataan tahun 2011-2013
2. Suhu udara per bulan dan rataan suhu udara pada musim hujan dan musim
kemarau tahun 2011-2013
3. Kelembaban udara per bulan dan rataan kelembaban udara pada musim
hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013
4. Temperature Humidity Index (THI) per bulan dan rataan THI pada musim
hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013
5. Rataan nilai THI, suhu dan kelembaban udara setiap bulan selama tiga
tahun (2011-2013)
6. Kualitas hijauan makanan ternak (HMT) pada musim hujan dan kemarau
serta konsentrat ampas tahu
7. Persentase laktasi per bulan dan rataan pada musim hujan dan musim
kemarau tahun 2011-2013
8. Rataan produksi susu per bulan, jumlah sapi laktasi dan rataan produksi
sapi FH per hari pada musim hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013
9. Perbandingan produksi susu sapi FH pada musim hujan dan musim
kemarau tahun 2011-2013

5
7
7
11
12
14
17
21
24

DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian
2 Pola curah hujan di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak
Ruminansia Kabupaten Kampar
3 Fluktuasi curah hujan, suhu dan kelembaban udara per bulan dan rataannya
tahun 2011-2013
4 Fluktuasi nilai THI per bulan dan rataan nilai THI tahun 2011-2013
5 Fluktuasi persentase laktasi per bulan dan rataan tahun 2011-2013
6 Grafik fluktuasi produksi susu sapi FH per bulan dan grafik fluktuasi
produksi susu sapi FH per ekor tahun 2011-2013

5
6
8
11
18
22

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Musim adalah salah satu pembagian utama tahun berdasarkan bentuk cuaca
yang luas. Indonesia merupakan daerah yang beriklim tropis sehingga musim dibagi
menjadi dua yaitu musim hujan dan musim kemarau. Klasifikasi ilkim yang umum
dipakai di Indonesia untuk keperluan pertanian adalah klasifikasi iklim Oldeman
yang membagi bulan berdasarkan bulan basah dan bulan kering, kedua bulan ini
berhubungan dengan kebutuhan tanaman padi dan palawija terhadap air dengan
bulan basah atau musim hujan memiliki curah hujan lebih dari 200 mm per bulan
(Kertasapoetra 2004).
Perbedaan musim menyebabkan iklim pada musim hujan dan musim kemarau
menjadi berbeda, salah satunya yaitu perbedaan suhu dan kelembaban yang dapat
mempengaruhi produktivitas sapi FH. Suhu dan kelembaban udara merupakan dua
faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan
perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air,
keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Esmay 1982). Sapi
perah memerlukan suhu lingkungan dan kelembaban udara yang optimal untuk
kehidupan dan berproduksi. Faktor lingkungan eksternal seperti curah hujan, suhu
dan kelembaban dilaporkan mempengaruhi performa produksi susu dan faktor‐
faktor tersebut seringkali berkaitan satu sama lain dalam menimbulkan keragaman
produksi susu (Swalve 2000). Sapi FH menunjukkan penampilan produksi terbaik
pada suhu 18.3 ºC dengan kelembaban 55% (Yani dan Purwanto 2006), sedangkan
di Indonesia suhu udara dapat mencapai 24-34 ºC dan kelembaban 60%-90% (Yani
et al. 2007). Tingginya suhu dan kelembaban mengakibatkan proses penguapan dari
tubuh sapi FH akan terhambat dan mengalami cekaman panas. Pengaruh yang
timbul pada sapi FH akibat cekaman panas adalah: 1) penurunan nafsu makan;
2) peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan metabolisme dan peningkatan
katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5) penurunan
konsentrasi hormon dalam darah; 6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan
denyut jantung dan 7) perubahan tingkah laku yaitu meningkatnya intensitas
berteduh (Armstrong 1994; Ingram dan Dauncey 1985; McDowell 1972; Rejeb et
al. 2012).
Interaksi suhu dan kelembaban udara dapat diukur melalui Temperature
Humidity Index (THI) sebagai indikator lingkungan untuk kenyamanan hidup
ternak. Sapi perah Friesian Holstein (FH) akan nyaman apabila dipelihara pada nilai
THI dibawah 72. Interaksi tersebut melebihi batas ambang ideal hidup ternak dapat
menyebabkan terjadinya cekaman/stres panas (Dobson et al. 2003). Penelitian
Berman (2005) melaporkan pengaruh langsung stres panas terhadap produksi
disebabkan meningkatnya kebutuhan maintenance sebagai upaya menghilangkan
kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolis dan konsumsi pakan,
mengakibatkan keseimbangan energi negatif yang berdampak pada penurunan
produktivitas ternak tersebut.
Subandriyo (1994) menyatakan pengaruh musim di Indonesia berhubungan
dengan ketersediaan pakan hijauan, dimana pada musim kemarau pakan hijauan
sulit didapatkan sehingga akan mempengaruhi produksi susu. Musim
mempengaruhi kualitas hijauan makanan ternak (HMT). Williamson dan Payne

2
(1993) menyatakan hijauan yang tumbuh di daerah bercurah hujan tinggi
mengandung kadar air yang lebih tinggi pula, sehingga dapat menurunkan kadar
intake bahan kering oleh ternak. Menurut Weiss et al. (2002) meskipun kondisi
kering atau keterbatasan air (musim kemarau) dapat menurunkan produksi hijauan
tetapi justru dapat meningkatkan nilai nutrisinya. Panjang hari dan temperatur
mempengaruhi kualitas hijauan, umumnya hari yang panjang dan temperatur yang
hangat akan memacu pertumbuhan tanaman dan meningkatkan laju pembentukan
serat sehingga nilai nutrisinya menjadi berkurang. Sudono et al. (2003)
menyarankan pemberian pakan pada sapi yang sedang berproduksi atau sedang
laktasi harus memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi susu, jika jumlah dan
mutu yang diberikan kurang, hasil produksi susu tidak akan maksimal. Peningkatan
produksi susu dapat dicapai jika terjadi peningkatan kualitas ransum, sesuai
pendapat Susanti dan Marhaeniyanto (2007) bahwa produksi susu yang tinggi erat
kaitannya dengan kualitas pakan yang dikonsumsi.
Faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas sapi FH antara lain pakan
dan iklim. Pakan dan iklim pada setiap musim diduga memberikan pengaruh
terhadap produksi susu dan reproduksi sapi perah. Informasi pengaruh musim
khususnya pada lintang 0o terhadap produksi susu dan reproduksi masih sangat
terbatas, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang performa produksi susu
dan reproduksi sapi FH di musim hujan dan musim kemarau.
Perumusan Masalah
Perbedaan musim menyebabkan iklim pada musim hujan dan musim kemarau
berbeda pula, salah satunya yaitu perbedaan suhu, kelembaban, interaksi suhu dan
kelembaban udara atau Temperature Humidity Index (THI), serta perbedaan
kuantitas dan kualitas pakan yang dapat mempengaruhi kenyamanan hidup dan
produktivitas sapi Friesian Holstein (FH) baik itu produksi susu maupun
reproduksinya. Data mengenai performa produktivitas sapi perah pada lintang 0o
terhadap musim hujan dan kemarau masih sangat terbatas, oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian tentang performa produksi susu dan reproduksi sapi FH di
musim hujan dan musim kemarau.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis produksi susu sapi FH pada
musim hujan dan musim kemarau.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah memberikan informasi atau referensi tentang
performa produksi susu dan reproduksi sapi FH pada musim hujan dan kemarau
sehingga upaya peningkatan dalam pemeliharaan dan produktivitas sapi perah di
setiap musim dapat dilakukan dengan lebih baik.

3
MATERI DAN METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai Agustus 2014. Lokasi
penelitian di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten
Kampar Provinsi Riau.
Materi
Materi yang digunakan yaitu catatan curah hujan, suhu dan kelembaban udara
dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Materi lain yang
digunakan adalah catatan produksi susu, laporan perkembangan ternak dan analisis
hijauan rumput gajah di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia
Kabupaten Kampar Provinsi Riau dari tahun 2011-2013.
Prosedur
Penelitian menggunakan data sekunder produksi susu, laporan perkembangan
ternak dan analisis hijauan pakan ternak berupa rumput gajah di UPT Balai
Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Data sekunder lain yang dibutuhkan adalah catatan curah hujan, suhu dan
kelembaban udara dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
untuk daerah Kabupaten Kampar dari tahun 2011-2013.
Prosedur yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah:
1. Mengumpulkan data curah hujan, suhu dan kelembaban udara dari Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dari tahun 2011-2013,
2. Menghitung rataan curah hujan untuk menentukan musim hujan dan musim
kemarau,
3. Menghitung Temperature Humidity Index (THI) berdasarkan suhu dan
kelembaban udara,
4. Mengumpulkan data produksi susu dan laporan perkembangan ternak dari UPT
Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar
Provinsi Riau dari tahun 2011-2013,
5. Menganalisis hijauan pakan ternak di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan
Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau,
6. Mengelompokkan produksi susu sapi FH berdasarkan musim hujan dan musim
kemarau dan selanjutnya
7. Membandingkan rataan produksi susu sapi perah berdasarkan musim hujan dan
musim kemarau.
Peubah
Peubah yang diamati pada penelitian ini yaitu:
1. Curah hujan musim hujan dan musim kemarau,
2. Temperature Humidity Index (THI),
3. Kualitas pakan ternak, dan
4. Produksi susu sapi FH

4
Musim Hujan dan Musim Kemarau
Penentuan musim hujan dan musim kemarau pada penelitian ini berdasarkan
rataan curah hujan per bulan dari tahun 2011-2013. Musim hujan ditetapkan dengan
curah hujan lebih dari 200 mm sedangkan musim kemarau memiliki curah hujan
kurang dari 200 mm.
Temperature Humidity Index (THI)
THI dalam penelitian ini di hitung berdasarkan suhu dan kelembaban udara
di lingkungan kabupaten Kampar setiap musim sepanjang tahun 2011-2013 untuk
melihat tingkat kenyamanan ternak sapi FH yang dipelihara di UPT Balai
Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Kualitas Pakan Ternak
Kualitas pakan ternak pada penelitian ini dilihat dari segi hijauan makanan
ternak yang diambil pada musim hujan dan musim kemarau dan konsentrat berupa
ampas tahu pada tahun 2014 yang akan digunakan sebagai pembanding karena
penelitian ini menggunakan data 2011-2013 di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan
Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Persentase Laktasi
Persentase laktasi dalam penelitian ini digunakan untuk menduga performa
reproduksi dan tingkat ekonomis pemeliharaan sapi FH setiap musim selama 20112013 di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten
Kampar Provinsi Riau.
Produksi Susu
Produksi susu yang diamati dalam penelitian adalah produksi susu bulanan
pada musim hujan dan musim kemarau sepanjang tahun 2011-2013. Tujuannya
untuk mengetahui performa produksi susu sapi FH setiap musim di UPT Balai
Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Analisis Data
Data curah hujan dianalisis untuk menentukan musim. Deskripsi data
meliputi rataan curah hujan, suhu dan kelembaban udara pada musim hujan dan
kemarau tahun 2011-2013.
Data Temperature Humidity Index (THI) dihitung berdasarkan data suhu
dan kelembaban udara di kabupaten Kampar dengan rumus (Tucker et al. 2007):
THI= (1.8×T+32) - ((0.55-0.0055×RH) x (1.8×T-26))
Keterangan:
T = Suhu Udara (oC)
RH = Kelembaban Udara (%).
Data persentase laktasi dihitung dengan cara membagi angka satuan ternak
laktasi dengan jumlah keseluruhan satuan ternak. Data produksi susu dianalisis
berdasarkan rataan produksi susu pada musim hujan dan musim kemarau
menggunakan Uji-T dengan menggunakan software statistik MINITAB 16.

5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten
Kampar merupakan balai pembibitan yang berdiri sejak tahun 2006 terletak di Desa
Sungai Pinang Kecamatan Tambang. Luas lahan UPT mencapai 8 ha dan untuk
Hijauan Makanan Ternak (HMT) seluas 6 ha ditanami oleh rumput gajah
(Pennisetum purpureum) yang didukung dengan sarana gedung serta empat unit
kandang dan di kelilingi pagar yang dibangun pada tahun 2012. Kondisi letak
geografis UPT terletak pada garis 0o27’00’’ lintang selatan, beriklim tropis dan
merupakan dataran rendah.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Sumber:
http://ppsp.nawasis.info/dokumen/profil/profil_kota/kab.kampar/PETA%20KAB.%20KAMPAR.jpg

Profil Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Udara
Curah Hujan
Curah hujan per bulan dan rataan curah hujan tahun 2011-2013 di UPT Balai
Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Curah hujan bulanan dan rataan tahun 2011-2013
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember

2011
227.00
88.10
116.00
328.10
100.50
65.20
26.10
228.70
304.90
255.30
317.10
335.30

Curah Hujan (mm)
2012
2013
66.70
110.90
247.60
335.00
324.60
339.00
215.30
172.10
182.60
129.20
140.60
56.00
269.70
133.90
97.00
186.20
185.80
150.50
228.90
469.40
439.50
380.90
245.00
613.70

Rataan
134.87
223.57
259.87
238.50
137.43
87.27
143.23
170.63
213.73
317.87
379.17
398.00

6
Rataan curah hujan secara keseluruhan di UPT Balai Pembibitan dan
Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar tergolong cukup tinggi yaitu
225.34±95.05 mm per bulan, curah hujan terendah 87.27 mm pada bulan Juni dan
tertinggi 398.00 mm pada bulan Desember dengan jumlah curah hujan lebih dari
2.000 mm tiap tahun. Berdasarkan curah hujan di UPT diketahui bahwa musim
hujan terjadi selama delapan bulan (September-April) sedangkan musim kemarau
hanya ada empat bulan (Mei-Agustus).
Menurut Tjasyono (2004) pola curah hujan ekuatorial yang terdapat pada
daerah ekuator memiliki distribusi curah hujan sepanjang tahun sangat dipengaruhi
oleh insolasi pada saat ekinoks (kedudukan matahari tepat berada di atas ekuator).
Ekinoks terjadi dua kali dalam satu tahun maka distribusi curah hujan bulanannya
memiliki dua maksimum atau dua puncak curah hujan. Curah hujan di UPT
termasuk kedalam pola ekuatorial karena letak UPT yang berada pada garis lintang
0o dengan puncak secara rataan terdapat pada bulan Maret dan Desember
(Gambar 2).

Gambar 2 Pola curah hujan di UPT Balai Pembibitan dan
Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar
Curah hujan di lingkungan UPT sangat mendukung untuk pertumbuhan
Hijauan Makanan Ternak (HMT) yang membutuhkan banyak air seperti rumput
gajah, apabila terjadi penurunan kuantitas pakan hal tersebut bukan dikarenakan
oleh faktor kekurangan air melainkan disebabkan oleh manajemen pengelolaan
seperti pemupukan, pengolahan tanah, peremajaan dan lain sebagainya. Hal ini
sesuai dengan Mannetje dan Jones (2000) bahwa di Asia Tenggara rumput gajah
tumbuh alami di daerah yang bercurah hujan tidak kurang dari 1.000 mm per tahun
atau sekitar 83 mm per bulan dan tidak memiliki musim panas yang panjang.
Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu dan kelembaban udara per bulan dan rataan suhu dan kelembaban udara
pada musim hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013 di UPT Balai Pembibitan
dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau disajikan
secara berturut-turut pada Tabel 2 dan 3.

7
Tabel 2 Suhu udara per bulan dan rataan suhu udara pada musim hujan dan
musim kemarau tahun 2011-2013
Musim/Bulan
Hujan :
Januari
Februari
Maret
April
September
Oktober
Nopember
Desember
Kemarau :
Mei
Juni
Juli
Agustus

2011

Suhu Udara (oC)
2012
2013

Rataan

25.87
27.24
26.99
27.08
26.86
26.80
27.09
26.23

27.33
26.61
27.27
27.33
27.26
26.86
27.26
26.72

27.44
26.67
27.81
28.13
26.81
26.62
26.53
26.25

26.88
26.84
27.36
27.51
26.98
26.76
26.96
26.40

27.93
27.77
27.80
27.18

27.59
28.06
27.28
27.22

28.29
28.24
27.28
27.21

27.94
28.03
27.45
27.20

Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Pekanbaru Riau

Tabel 3 Kelembaban udara per bulan dan rataan kelembaban udara pada musim
hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013
Musim/Bulan
Hujan:
Januari
Februari
Maret
April
September
Oktober
Nopember
Desember
Kemarau:
Mei
Juni
Juli
Agustus

2011

Kelembaban Udara (%)
2012
2013

Rataan

78.30
70.00
72.32
75.08
76.11
77.16
76.78
80.81

69.29
77.59
73.72
75.72
76.33
75.31
77.74
79.63

78.26
81.89
79.61
77.83
79.33
81.84
82.93
83.90

75.28
76.49
75.22
76.21
77.26
78.10
79.15
81.45

72.09
73.78
69.06
72.74

75.51
71.14
74.29
75.31

78.94
71.67
78.26
77.23

75.51
72.20
73.87
75.09

Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Pekanbaru Riau

Rataan suhu udara secara keseluruhan di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan
Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar yaitu 27.19±0.48 ºC. Suhu udara terendah
26.40 ºC pada bulan Desember dan tertinggi 28.03 ºC pada bulan Juni. Rataan
kelembaban udara secara keseluruhan di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan
Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar yaitu 76.32%±2.45% dengan kelembaban
udara terendah 72.20% pada bulan Juni dan tertinggi 81.45% pada bulan Desember.
Fluktuasi curah hujan, suhu dan kelembaban udara per bulan dan rataannya tahun
2011-2013 disajikan pada Gambar 3.

8

Gambar 3 Fluktuasi curah hujan, suhu dan kelembaban udara per
bulan dan rataannya tahun 2011-2013
Secara keseluruhan fluktuasi curah hujan berbanding terbalik terhadap suhu,
tetapi linier dengan kelembaban, sedangkan fluktuasi suhu berbanding terbalik
dengan kelembaban. Berdasarkan musim diketahui bahwa fluktuasi suhu
mengalami peningkatan saat memasuki musim kemarau (Mei-Agustus) dan
menurun saat memasuki musim hujan (Januari-April dan September-Desember)
namun sebaliknya fluktuasi kelembaban mengalami peningkatan saat memasuki
musim hujan dan menurun saat memasuki musim kemarau.
Zona termonetral untuk sapi FH berkisar antara 13-25 oC (Yani dan Purwanto
2006), 13-18 oC (McDowell 1972), 4-25 oC (Yousef 1985), 5-25 oC (Jones dan
Stallings 1999). Hadisusanto (2008) menyatakan suhu kritis untuk ternak sapi FH
adalah 27 ºC sedangkan suhu di lingkungan UPT rata-rata 25-28 oC pada musim
hujan dan 27-28 oC pada musim kemarau sehingga menyebabkan sapi FH yang
dipelihara mengalami cekaman atau stress panas. Soetarno (2003) menyebutkan
bahwa kelembaban ideal bagi sapi perah adalah antara 60%-80%, sehingga
kelembaban di lingkungan UPT masih termasuk kedalam kelembaban yang ideal
untuk sapi perah, namun Gwatibaya et al. (2007) menjelaskan bahwa kelembaban
udara yang tinggi dengan sedikit pergerakan udara akan menjadi salah satu faktor
penyebab timbulnya stres panas pada sapi perah.
Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi
produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas
dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan tingkah laku
ternak (Esmay 1982). Sapi perah memerlukan suhu lingkungan dan kelembaban
udara yang optimal untuk kehidupan dan berproduksi. Faktor lingkungan eksternal
seperti curah hujan, suhu dan kelembaban dilaporkan mempengaruhi performa
produksi susu dan faktor‐faktor tersebut seringkali berkaitan satu sama lain dalam
menimbulkan keragaman produksi susu (Swalve 2000). Sapi FH mereview

9
penampilan produksi terbaik di Indonesia pada suhu 18.3 ºC dengan kelembaban
55% (Yani dan Purwanto 2006), sedangkan secara umum suhu udara di Indonesia
dapat mencapai 24-34 ºC dengan kelembaban 60%-90% (Yani et al. 2007) sehingga
pada suhu dan kelembaban tersebut proses pelepasan panas dari tubuh sapi FH akan
terhambat sehingga mengalami cekaman panas. Pengaruh yang timbul pada sapi
FH akibat cekaman panas adalah: 1) penurunan nafsu makan; 2) peningkatan
konsumsi minum; 3) penurunan metabolisme dan peningkatan katabolisme; 4)
peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormon
dalam darah; 6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung; dan 7)
perubahan tingkah laku, meningkatnya intensitas berteduh sapi (Armstrong 1994;
Ingram dan Dauncey 1985; McDowell 1972; Rejeb et al. 2012).
Dampak langsung dari lingkungan tropis akan menyebabkan sulitnya proses
pelepasan panas dari tubuh sapi (body heat dissipation) sebagai akibat tingginya
temperatur lingkungan dan kelembaban udara, sehingga sapi mengalami stres panas
(heat stress). Dampak stress panas menyebabkan turunnya konsumsi bahan kering
(BK) dan tingginya konsumsi air sebagai akibat dehidrasi, sehingga berdampak
rendahnya konsumsi nutrien untuk menjaga produktivitas ternak. Pada kondisi
ekstrim sapi cenderung mengurangi konsumsi BK, bahkan berhenti sama sekali
mengkonsumsi pakan. Berhentinya mengkonsumsi pakan salah satu upaya ternak
untuk mengurangi body heat load (beban panas tubuh) untuk menurunkan produksi
panas hasil proses metabolisme pakan (Yani dan Purwanto 2006). Churng (2003)
merinci tentang beberapa upaya pengurangan panas yang dapat dilakukan oleh sapi
perah antara lain berteduh, mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak minum,
peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan produksi saliva dan keringat, serta
mengeluarkan urine. Perubahan suhu berpengaruh terhadap energi kinetik yang
dimiliki setiap molekul sehingga dapat meningkatkan laju reaksi di dalam sel
(Isnaeni 2006).
Kenaikan suhu udara mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut jantung
dan pernafasannya setiap menitnya. Peningkatan produksi panas selalu diikuti
dengan peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan dan denyut jantung (Yani dan
Purwanto 2006). Peningkatan frekuensi pernafasan diharapkan dapat membantu
hewan meningkatkan pelepasan panas melalui pernafasan. Peningkatan denyut
jantung dapat membantu transportasi oksigen dan zat makanan ke seluruh tubuh,
selain itu peningkatan denyut jantung juga membantu transportasi panas
metabolisme ke seluruh tubuh yang dapat meningkatkan suhu permukaan tubuh
(Gatenby dan Martawidjaya 1986).
Menurut Sugeng (1998), suhu udara yang tinggi tidak menguntungkan
terhadap kehidupan ternak sapi. Pengaruh yang kurang menguntungkan ini dalam
hal konsumsi pakan, air minum dan tingkah laku. Ternak sapi yang tertimpa suhu
tinggi akan mengalami stres berat dan gagal dalam mengatur panas tubuh.
Akibatnya ternak yang bersangkutan akan banyak minum tetapi nafsu makan
berkurang dan makanan yang dikonsumsi rendah. Kelembaban adalah jumlah uap
air dalam udara. Kelembaban udara penting, karena mempengaruhi kecepatan
kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi
kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan. Pada saat kelembaban tinggi,
evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian
mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Yani dan Purwanto 2006).
Kelembaban mempengaruhi pada pernafasan dan peluh hewan. Udara yang sangat

10
kering menyebabkan ketidaknyamanan pada hewan. Kelembaban rendah, angin
dan suhu tinggi menyebabkan meningkatnya kebutuhan air untuk hewan (Tjasyono
2004). Kelembaban tinggi dapat berakibat langsung terhadap penurunan jumlah
panas yang hilang akibat penguapan. Pada kelembaban tinggi, penguapan tertahan
yang berarti akan meningkatkan panas pada sapi (Sugeng 1998).
Calderon et al. (2005) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata
antara penampilan produksi ternak di dataran rendah (daerah panas) dengan di
dataran tinggi (daerah dingin), ditambahkan oleh Bayong (2004) bahwa keadaan
iklim suatu daerah berhubungan erat dengan ketinggian tempat yang merupakan
faktor penentu ciri khas dan pola hidup ternak. Setiap kenaikan ketinggian tempat
di atas permukaan laut memperlihatkan terjadinya penurunan suhu, curah hujan
tinggi disertai peningkatan kelembaban udara. Suhu dan kelembaban udara di
dataran rendah melebihi kondisi kenyamanan yang dibutuhkan untuk penampilan
hidup dan produksi ternak, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya cekaman atau
stres panas pada tubuh ternak (Kadzere et al. 2002).
UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar
termasuk dataran rendah dengan ketinggian 200-300 mdpl memiliki suhu minimum
26.40 oC maksimum 28.03 oC dengan rataan 27.19±0.48 ºC dan kelembaban
minimum 72.20% maksimum 81.45% dengan rataan 76.32%±2.45%, sebagai
perbandingan dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Nugroho et al.
(2010) melaporkan bahwa pada dataran rendah (Grati) dengan ketinggian 100 mdpl
memiliki suhu udara minimum 23±0.55 ºC dengan kelembaban 84.93%±3.02%,
suhu udara maksimum 29.21±0.58 ºC dengan kelembaban 81.64%±1.78%, ratarata suhu udara di dataran rendah 25.93±3.12 ºC dengan kelembaban udara
83.26%±1.64% dapat menghasilkan susu rata-rata sebesar 10.17±2.57 liter.
Penelitian lainnya yang juga di dataran rendah dilakukan oleh Siregar (2001) sapi
FH mampu memproduksi susu sebesar 12.7 sampai dengan 15.7 liter/ekor/hari.
Diteruskan oleh Siregar dan Kusnadi (2004) di Cirebon dengan ketinggian 0-300
mdpl memiliki suhu 24-33 oC dengan rata-rata 28 oC memiliki kemampuan untuk
memproduksi susu sebesar 4 sampai 8 liter/ekor/hari dengan rata-rata
5.8 liter/ekor/hari.
Temperature Humidity Index (THI)
Nilai THI digunakan untuk menduga tingkat kenyamanan ternak sapi FH
yang dipelihara di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia
Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Nilai THI dalam penelitian ini di hitung
berdasarkan suhu dan kelembaban udara di lingkungan Kabupaten Kampar setiap
musim sepanjang tahun 2011-2013.
Nilai THI per bulan dan rataan THI pada musim hujan dan musim kemarau
tahun 2011-2013 di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia
Kabupaten Kampar Provinsi Riau disajikan Tabel 4.

11
Tabel 4 Temperature Humidity Index (THI) per bulan dan rataan THI pada musim
hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013
Temperature Humidity Index (THI)
Musim/Bulan

2011

2012
Musim Hujan

2013

Rataan

Januari
Februari
Maret
April
September
Oktober
Nopember
Desember

76.06
77.19
77.09
77.59
77.35
77.41
77.81
76.92

77.26
77.16
77.68
78.04
78.02
77.29
78.22
77.58

78.57
77.75
79.32
79.58
77.66
77.70
77.70
77.34

77.30
77.37
78.03
78.41
77.67
77.47
77.91
77.28

Mei
Juni
Juli
Agustus

78.49
78.50
77.93
77.43

79.98
78.92
78.29
78.06

78.97
78.67
78.00
77.78

Musim Kemarau

78.43
78.59
77.79
77.84

Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Pekanbaru Riau

Nilai THI terendah 76.06 pada bulan Januari 2011 dan tertinggi 79.98 pada
bulan Mei 2013 di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia
Kabupaten Kampar. Secara rataan bulan ternyaman terjadi pada bulan Desember
dengan nilai THI 77.28, sedangkan bulan paling tidak nyaman dengan nilai THI
yang tinggi terjadi bulan Mei awal musim kemarau dengan nilai THI 78.97
(Gambar 4).

Gambar 4

Fluktuasi nilai THI per bulan dan rataan nilai
THI tahun 2011-2013

Fluktuasi nilai THI setiap tahunnya mengalami peningkatan dengan nilai THI
terendah (bulan ternyaman) setiap tahunnya terdapat pada bulan Januari, Februari
dan Desember musim hujan, sedangkan nilai THI tertinggi (bulan tidak nyaman)

12
setiap tahunnya ada pada bulan Mei musim kemarau. Nilai THI terhadap suhu dan
kelembaban udara per bulan pada tahun 2011-2013 disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5

Rataan nilai THI, suhu dan kelembaban udara setiap bulan selama tiga
tahun (2011-2013)

Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember

THI

77.30
77.37
78.03
78.41
78.97
78.67
78.00
77.78
77.67
77.47
77.91
77.28

Suhu Udara
(ºC)
26.88
26.84
27.36
27.51
27.94
28.03
27.45
27.20
26.98
26.76
26.96
26.40

Kelembaban Udara
(%)
75.28
76.49
75.22
76.21
75.51
72.20
73.87
75.09
77.26
78.10
79.15
81.45

Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Pekanbaru Riau

Berdasarkan rataan selama 2011-2013 per bulannya nilai THI terendah atau
bulan ternyaman yaitu Desember musim hujan (nilai THI 77.28, suhu 26.84 oC dan
kelembaban udara 76.49%) sedangkan nilai THI tertinggi atau bulan tidak nyaman
yaitu Mei musim kemarau (nilai THI 78.97, suhu 27.94 oC dan kelembaban udara
75.51%).
Sapi FH dapat menghasilkan susu secara maksimal apabila lingkungan
hidupnya berada pada kisaran nilai THI antara 35-72 dan setiap peningkatan satu
angka THI memiliki pengaruh terhadap penurunan 0.26 kg produksi susu,
penurunan 0.23 kg konsumsi hay dan peningkatan 0.12 ºC suhu rektal (Johnson
1984). Pennington dan VanDevender (2004) melakukan klasifikasi tersebut dengan
tabel modifikasi Wierama menjadi tiga katagori, yaitu stress ringan (nilai THI= 7279), stress sedang (nilai THI= 80-89) dan stress berat (nilai THI= 90-98).
Ditambahkan oleh Chase (2006) bahwa nilai THI kurang dari 72 merupakan batas
normal (kondisi nyaman) dan sapi FH akan mengalami cekaman/stress panas jika
melewati angka 72 (Amir 2010; Armstrong 1994; Dobson et al. 2003; Moran 2005;
Neil 2008; Yani et al. 2007; Rejeb et al. 2012).
Tanda stress umum yang tampak pada sapi perah dengan suhu sekitar 26.60
hingga 32.2 ºC dan kelembaban udara berkisar antara 50% hingga 90%, yaitu laju
respirasi yang cepat, banyak berkeringat dan penurunan kira-kira 10% pada
produksi susu dan konsumsi pakan. Menurut Esmay (1982) kelembaban relatif yang
sesuai untuk lingkungan sapi perah adalah 50%. Sapi mudah terpengaruh oleh
kondisi lingkungan yang ekstrim dan perubahan lingkungan yang cepat pada
lingkungan ekstrim (Mader 2003).
Penelitian Berman (2005) melaporkan pengaruh langsung stress panas
terhadap produksi disebabkan meningkatnya kebutuhan maintenance sebagai
upaya menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolis dan
konsumsi pakan, sehingga mengakibatkan keseimbangan energi negatif yang

13
berdampak pada penurunan produktivitas ternak tersebut. Menurut West (2003)
stres panas yang dialami ternak dapat menyebabkan penurunan asupan energi yang
tersedia untuk fungsi produktif, peningkatan kehilangan natrium dan kalium. Hal
ini terkait dengan peningkatan laju respirasi, sehingga mempengaruhi
keseimbangan asam basa dan mengakibatkan metabolik alkalosis serta dapat
mengakibatkan penurunan efisiensi pemanfaatan nutrisi.
Churng (2003) merinci tentang beberapa upaya pengurangan panas yang
dapat dilakukan oleh sapi perah antara lain berteduh, mengurangi konsumsi pakan,
memperbanyak minum, peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan produksi
saliva dan keringat, serta mengeluarkan urine. Bath et al. (1985) menegaskan
apabila temperatur udara di atas 23.9 oC dan kelembaban tinggi maka akan terjadi
efek negatif terhadap produksi susu, baik secara kuantitas maupun kualitas. Selain
itu, penurunan produksi susu pada sapi perah yang menderita stres panas terjadi
karena adanya pengurangan pertumbuhan kelenjar mammae (Anderson et al. 1985).
Penelitian Nugroho et al. (2010) menyatakan bahwa nilai THI di dataran
rendah sebesar 76.71±4.91 produksi susu rata-rata di daerah dataran rendah sebesar
10.17±2.57 liter. Rendahnya konsumsi pakan ternak di daerah dataran rendah dapat
disebabkan pengaruh cekaman panas yang diderita ternak sehingga untuk
mengatasi beban panas dan mempertahankan suhu tubuhnya maka secara fisiologis
ternak akan menurunkan konsumsi pakan dan meningkatkan konsumsi minum.
Data rataan secara keseluruhan yang didapat di lingkungan UPT yaitu nilai
THI 76-79 (stress ringan), suhu 26.40-28.03 ºC (stress panas) dan kelembaban
udara 72.20%-81.45%. Musim hujan dengan nilai THI 76.06-79.58, suhu 26.4027.51 ºC dan kelembaban udara 75.22%-81.45% sedangkan pada musim kemarau
nilai THI 77.43-79.98, suhu 27.20-28.03 ºC, kelembaban udara 72.70%-75.51%.
Bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Rejeb et al. (2012) di daerah
beriklim sedang dengan fluktuasi suhu 20.12-37.35 oC, kelembaban 31.25%57.70% dan THI 65.62-83.27 diketahui bahwa fluktuasi suhu, kelembaban dan THI
di UPT tidak terlalu ekstrim.
Tingkat kenyamanan ternak di UPT mengalami stress ringan berdasarkan
nilai THI dan stress panas berdasarkan suhu. Kondisi ternyaman terjadi pada musim
hujan dengan nilai THI 76.06-79.58 dibandingkan musim kemarau 77.43-79.98.
Suhu di UPT ternak mengalami stress panas, namun suhu terdingin 26.40-27.51 ºC
terjadi di musim hujan dibandingkan musim kemarau 27.20-28.03 ºC. Kelembaban
udara di UPT juga membuat ternak mengalami stress, kelembaban tertinggi terjadi
di musim hujan 75.22%-81.45% dibandingkan musim kemarau 72.70%-75.51%.
Data iklim berupa suhu dan kelembaban udara serta interaksi suhu dan
kelembaban udara atau Temperature Humidity Index (THI) secara keseluruhan
diketahui bahwa sapi FH yang dipelihara di UPT mengalami stress panas
berdasarkan suhu dan berdasarkan nilai Temperature Humidity Index (THI)
mengalami stress ringan. Lingkungan UPT kurang mendukung untuk pemeliharaan
sapi FH tanpa ada perlakuan khusus untuk mengurangi suhu dan kelembaban di
lingkungan UPT. Musim yang baik untuk sapi FH di UPT agar dapat berproduksi
maksimal terjadi pada musim hujan.

14
Kualitas Pakan Ternak
Kualitas pakan ternak pada penelitian ini dilihat dari segi hijauan makanan
ternak pada musim hujan dan musim kemarau pada tahun 2014 yang akan
digunakan sebagai pembanding karena penelitian ini menggunakan data 2011-2013
di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar
Provinsi Riau. Kualitas hijauan makanan ternak pada musim hujan dan musim
kemarau serta pakan konsentrat ampas tahu di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan
Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau disajikan Tabel 6.
Tabel 6 Kualitas hijauan makanan ternak (HMT) pada musim hujan dan kemarau
serta konsentrat ampas tahu
Rumput Gajah
Ampas Tahu
Musim Hujan
Musim Kemarau
Bahan Kering (%)
35.08
27.40
9.89
Protein Kasar (%)
6.30
6.96
18.60
Lemak Kasar (%)
0.50
3.75
5.67
Serat Kasar (%)
33.00
25.00
18.63
Abu (%)
5.00
11.20
2.77
BETN (%)
55.20
53.09
54.33
Keterangan: Hasil analisis proksimat rumput gajah di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau

Rumput gajah musim hujan diambil pada bulan April yang merupakan
puncak musim hujan pertama dengan curah hujan 200-300 mm. Rumput gajah
musim kemarau diambil pada bulan Agustus yang merupakan bulan terakhir di
musim kemarau dengan curah hujan 151-200 mm pada tahun 2014. Perbandingan
kualitas hijauan makanan ternak berupa rumput gajah pada musim hujan dan musim
kemarau diketahui bahwa protein kasar lebih tinggi di musim kemarau, lemak kasar
lebih tinggi di musim kemarau, serat kasar lebih tinggi di musim hujan, abu lebih
tinggi di musim kemarau dan BETN lebih tinggi di musim hujan.
Perbedaan kualitas hijauan makanan ternak tersebut dipengaruhi oleh curah
hujan yang berbeda pada tiap musim. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan
rumput gajah sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Pada saat musim basah/hujan
rumput gajah mengalami laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan saat
musim kering/kemarau. Perbedaan kualitas ini mungkin saja terjadi karena rata-rata
rumput gajah yang tumbuh di musim hujan dan musim kemarau dipanen dengan
umur panen yang sama sehingga mengakibatkan nilai nutrisi rumput gajah pada
musim hujan mengalami penurunan kualitas atau nilai nutrisinya dan menyebabkan
meningkatnya serat kasar pada musim hujan. Sesuai dengan Moran (2005) bahwa
pertumbuhan rumput gajah sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Pada saat musim
basah rumput ini mengalami laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan saat
musim kering. Oleh karena itu, umur panen rumput gajah yang tumbuh di musim
hujan harus diatur sebaik mungkin agar tidak cepat mengalami penurunan kualitas
atau nilai nutrisi. Penurunan nilai nutrisi yang disebabkan oleh semakin
bertambahnya persentase serat kasar dan kecernaannya yang semakin rendah ini
dapat berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.
Williamson dan Payne (1993) menuliskan bahwa hijauan yang tumbuh di
daerah yang curah hujannya lebih tinggi umumnya akan mengandung kadar air

15
yang lebih tinggi pula sehingga dapat menurunkan intake bahan kering oleh ternak.
Hal ini tidak sesuai dengan hijauan yang ada di UPT karena bahan kering hijauan
pada musim hujan lebih tinggi dibanding pada musim kemarau. Menurut Weiss et
al. (2002) meskipun kondisi kekeringan atau keterbatasan air dapat menurunkan
produksi hijauan tetapi umumnya justru dapat meningkatkan nilai nutrisi nya.
Kekeringan menghambat pertumbuhan tanaman sehingga membatasi produksi
serat oleh tanaman. Oleh sebab itu, hijauan yang tumbuh pada kondisi kering
umumnya memiliki kadar serat yang lebih rendah serta mengandung protein kasar
dan energi yang lebih tinggi dibandingkan hijauan yang tumbuh pada kondisi
normal atau berlebih air. Sesuai dengan hijauan yang ada di UPT pada musim
kemarau diketahui bahwa serat kasar lebih rendah dan protein kasar lebih tinggi
dibandingkan musim hujan, hal ini disebabkan karena pada musim hujan
pertumbuhan hijauan lebih cepat dibandingkan musim kemarau. Seperti yang telah
diuraikan di atas mungkin terjadi penyamaan umur panen hijauan sehingga umur
panen perlu diperhatikan demi menjaga kualitas hijauan pada musim hujan yang
pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan musim kemarau.
Konsentrat di UPT diketahui bahwa nilai protein kasarnya sebesar 18.6%,
serat kasar 18.63% dan BETN 54.33%. Siregar (1996) menyatakan persyaratan
teknis minimal pakan ruminansia berupa konsentrat sapi perah laktasi adalah
dengan kandungan protein kasar minimal 18%, sehingga konsentrat di UPT dapat
dikatakan baik karena memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan persyaratan
teknisnya. Sudjatmogo (2010) bahwa imbangan hijauan dengan konsentrat yang
diberikan kepada sapi laktasi adalah berkisar 55%-70% (hijauan): 45%-30%
(konsentrat). Menurut Siregar (2001) seekor sapi laktasi membutuhkan 30 kg
hijauan dan 5.3 kg konsentrat untuk memproduksi susu sebanyak 8 liter/hari.
Pendapat tersebut berkaitan dengan kurangnya nilai protein pada hijauan makanan
ternak, sesuai dengan nilai protein kasar hijauan di UPT yang hanya 6.96 sehingga
sangat dibutuhkan penambahan konsentrat untuk memenuhi kebutuhan sapi FH
akan protein kasar agar dapat menghasilkan susu dengan baik.
Subandriyo (1994) menyatakan bahwa pengaruh musim di Indonesia
berhubungan dengan ketersediaan pakan hijauan, dimana pada musim kemarau
pakan hijauan sulit didapatkan sehingga akan mempengaruhi produksi susu. Namun
jika dilihat berdasarkan curah hujan di lingkungan UPT sangat mendukung untuk
pertumbuhan Hijauan Makanan Ternak (HMT) yang membutuhkan banyak air
seperti rumput gajah, apabila terjadi penurunan kuantitas pakan hal tersebut bukan
dikarenakan oleh faktor kekurangan air melainkan disebabkan oleh manajemen
pengelolaan seperti pemupukan, pengolahan tanah, peremajaan dan lain sebagainya.
Hal ini sesuai dengan Moran (2005); Mannetje dan Jones (2000) bahwa di Asia
Tenggara rumput gajah tumbuh alami di daerah yang bercurah hujan tidak kurang
dari 1.000 mm per tahun atau sekitar 83 mm per bulan dan tidak memiliki musim
panas yang panjang, sehingga secara kuantitas hijauan makanan ternak di UPT
dapat dikatakan mencukupi untuk kebutuhan pemeliharaan sapi perah.
Faktor lingkungan terutama pakan memegang peranan penting terhadap
proses fisiologis dalam tubuh sapi perah sehingga pada gilirannya mempengaruhi
produksi susu (Damron 2003; Johansson 1961). Peningkatan produksi susu terjadi
karena protein dalam ransum diubah oleh tubuh sapi perah menjadi produksi susu.
Di samping itu, kadar lemak susu berasal dari serat kasar yang dicerna di rumen.
Hal ini sejalan dengan pendapat Bath et al. (1985); Damron (2003); NRC (2001)

16
bahwa nutrisi terutama protein diperlukan untuk kesehatan dan produksi susu sapi
perah. Menurut pendapat Alim et al. (2002); Damron (2003) bahwa nutrisi
diperlukan untuk kesehatan dan produksi susu sapi perah.
Seekor sapi perah yang daya produksi susunya tinggi, bila tidak mendapat
pakan yang cukup baik secara kuantitas dan kualitas, maka tidak akan
menghasilkan susu yang sesuai dengan kemampuannya (Soeharsono dan Makin
1996). Ditambahkan oleh McDowell (1974), pengaruh pakan sangat besar sekali
terhadap kuantitas dan kualitas susu. Pemberian ransum yang tidak memadai
menyebabkan hasil susu yang rendah, karena pemberian ransum pakan tidak hanya
untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya tetapi juga membantu produksi susunya.
Pemberian pakan dengan memenuhi kebutuhan protein sapi merupakan hal yang
sangat penting dilakukan dalam usaha sapi perah. Induk sapi perah memerlukan
protein pakan sebagai pemenuhan konsumsi pakan selama masa laktasi, yang
digunakan untuk produksi susu. Sudono et al. (2003) menyarankan pemberian
pakan pada sapi yang sedang berproduksi atau sedang laktasi harus memenuhi
kebutuhan hidup pokok dan produksi susu, jika jumlah dan mutu yang diberikan
kurang, hasil produksi susu tidak akan maksimal.
Berdasarkan kualitas hijauan di UPT diketahui bahwa protein kasar (PK) pada
musim kemarau yaitu 6.96% lebih tinggi daripada musim hujan 6.30% walaupun
perbedaannya tidak terlalu besar, namun apabila pemanenan hijauan pada musim
hujan dilakukan lebih lama lagi tentu akan menyebabkan kualitas hijauan di musim
hujan semakin tidak baik. Menurut Ali (2006) faktor yang mempengaruhi produksi
adalah tingkat laktasi dan kondisi sapi waktu beranak, diteruskan Eniza (2004),
yaitu banyaknya ransum dan nutrisi terkandung dalam pakan yang diberikan pada
ternak yang sedang laktasi, besarnya hewan, birahi, hereditas, saat kawin, tukang
perah dan jadwal pemerahan. Peningkatan produksi susu diduga karena adanya
peningkatan kualitas ransum, terutama protein. Hal ini sesuai dengan pendapat
Susanti dan Marhaeniyanto (2007), bahwa produksi susu yang tinggi terkait erat
dengan kualitas pakan yang dikonsumsi terutama protein. Kung (2000) menyatakan
bahwa potensi genetik akan muncul secara optimal yang disebabkan oleh
peningkatan konsentrasi PK pakan untuk memenuhi kebutuhan mikroba rumen
dalam mencapai produksi susu maksimal. Kandungan PK ransum yang tinggi
berhubungan positif dengan degradasi protein dalam rumen (menin