Kajian Pengendalian Mastitis Subklinis melalui Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang di KPSBU Lembang, Jawa Barat
KAJIAN PENGENDALIAN MASTITIS SUBKLINIS
MELALUI PEMBERIAN ANTIBIOTIK PADA SAAT KERING
KANDANG DI KPSBU LEMBANG JAWA BARAT
IMAS SRI NURHAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Pengendalian
Mastitis Subklinis Melalui Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang di
KPSBU Lembang, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Imas Sri Nurhayati
NIM B251100051
RINGKASAN
IMAS SRI NURHAYATI. Kajian Pengendalian Mastitis Subklinis melalui
Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang di KPSBU Lembang Jawa Barat.
Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan ABDUL ZAHID ILYAS.
Mastitis merupakan masalah utama dalam tatalaksana usaha peternakan sapi
perah karena dapat menurunkan produksi susu dalam jumlah besar. Salah satu
upaya pengendalian penyakit di lapangan yaitu melalui pemberian antibiotik pada
saat kering kandang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor pendorong
peternak melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang, hubungan
pemberian antibiotik terhadap tingkat kejadian kasus mastitis subklinis dan
pengaruh pemberian antibiotik terhadap peningkatan produksi susu. Sebanyak 110
peternak yang berasal dari lima Tempat Pelayanan Koperasi, KPSBU, Lembang
dipilih secara acak. Penelitian dilakukan melalui wawancara terhadap responden
dan pengujian mastitis subklinis dengan menggunakan pereaksi IPB-1. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik peternak di wilayah KPSBU
Lembang pada umumnya tua (47.28%), memiliki tingkat pendidikan tidak lulus
SD-tidak lulus SMA (87.27%), pekerjaan utama beternak (72.7%), milik sendiri
(95.5%), mempunyai pengalaman beternak lama (59.09%), aktif dalam pertemuan
kelompok (78.2%) dan memiliki sapi laktasi kurang dari lima ekor (85.5%). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor
yang mendorong peternak
melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang adalah tingkat
keaktifan peternak (OR = 4.05; SK = 1.36 - 12.04) dan jumlah sapi laktasi yang
dimiliki (OR = 5.3; SK = 1.43 - 19.58). Pemberian antibiotik pada saat kering
kandang dapat meningkatkan produksi susu sebesar 620.5 (76.3 - 1164.7)
liter/ekor/tahun.
Kata kunci: mastitis subklinis, pengobatan kering kandang, produksi susu
SUMMARY
IMAS SRI NURHAYATI. Study of The Dry Cow Therapy Application for
Controling Sub Clinical Mastitis at KPSBU Lembang West Java. Supervised by
ETIH SUDARNIKA and ABDUL ZAHID ILYAS.
Mastitis is main problem in dairy farming because of decrease of
production milk. Dry cow therapy is one of treatment for controlling subclinical
mastitis. This study was conducted to identify the variables which supported the
dairy farmers to apply dry cow therapy for controling sub clinical mastitis and the
treatment impact to milk production. Total of 110 respondens was sampled
randomly. The study was conducted by interviewing using questionnaires and
testing subclinical mastitis using IPB-1 reagen. This study showed that the
caracteristics of farmers old (47.28%), elementry until junior high school (95.5%),
farming is main of business (72.7%), have long experience (95.5%), active in
farmers meetings (78.2%) and productive cow < 5 head (85.5%). This study
showed that variables which supported the dairy farmers to apply dry cow
therapy were the attending of farmers in meeting (OR = 4.05; CI =1.36 - 12.04)
and number of productive dairy (OR =5.3; CI =1.43 - 19.58). Dry cow therapy
was able to improve milk production by 620.5 (76.3 - 1164.7) litre per cow per
year.
Key words: dry cow therapy, milk production, sub clinical mastitis
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
i
KAJIAN PENGENDALIAN MASTITIS SUBKLINIS
MELALUI PEMBERIAN ANTIBIOTIK PADA SAAT KERING
KANDANG DI KPSBU LEMBANG, JAWA BARAT
IMAS SRI NURHAYATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Drh Mirnawati B. Sudarwanto
iii
Judul Tesis : Kajian Pengendalian Mastitis Subklinis melalui Pemberian
Antibiotik pada Saat Kering Kandang di KPSBU Lembang, Jawa
Barat
Nama
: Imas Sri Nurhayati
NIM
: B251100051
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Etih Sudarnika MSi
Ketua
Drh Abdul Zahid Ilyas MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman MSi
Dr Ir Dahrul Syah MSc Agr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
iv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penulis menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dan kelemahan. Selama pengerjaan tesis ini, penulis
mendapatkan banyak saran dan masukan yang membangun dari berbagai pihak
demi penyempurnaan tulisan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Etih Sudarnika MSi dan
Bapak Drh Abdul Zahid Ilyas MSi atas segala waktu selama pembimbingan, saran,
dan arahannya dalam penyelesaian tesis dan seluruh staf pengajar beserta tenaga
kependidikan PS KMV SPs IPB. Terima kasih kepada Bapak Drh Ramdan yang
telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan Drh Fatul
beserta staf Keswan KPSBU Lembang
yang telah membantu selama
pengumpulan data. Terima kasih pula kepada seluruh rekan-rekan PS KMV
Reguler tahun 2010/2011 (KMV SRIWERS) yang selalu memberikan dukungan
dalam proses penyelesaian tesis. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada keluarga tercinta atas kasih sayang, perhatian, dan dukungannya kepada
penulis.
Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, penulis ucapkan syukur
semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.
Semoga tesis ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi
semua pihak.
Bogor, Juni 2014
Imas Sri Nurhayati
v
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
Agen Penyebab dan Mekanisme Terjadinya Mastitis
Subklinis
Epidemiologi Penyakit
Pengendalian dan Dampak Pengendalian Mastitis Subklinis
Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat Partisipasi
Masyarakat
3
METODE
Rancangan Penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan Data
Definisi Operasional
Analisis data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil dan Karakteristik KPSBU Lembang
Profil Responden
Tindakan Pengendalian Mastitis melalui Pemberian
Antibiotik pada Saat Kering Kandang di KPSBU Lembang
Faktor Pendorong Peternak Melakukan Tindakan Pemberian
Antibiotik pada Saat Kering Kandang
Hubungan Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang
terhadap Tingkat Kejadian Kasus Mastitis Subklinis
Hubungan Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang
terhadap Produksi Susu
Analisis Ekonomi Pemberian Antibiotik pada Saat Kering
Kandang
5
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vi
vi
vi
1
2
2
2
2
2
2
4
5
6
7
7
8
8
9
9
10
10
11
12
13
15
16
17
18
18
19
20
25
vi
DAFTAR TABEL
1
Jumlah responden dan sampel ternak untuk pengujian mastitis
subklinis pada masing-masing TPK
8
2
Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian
9
3
Profil dan karakteristik KPSBU Lembang
10
4
Profil dan karakteristik usaha peternakan sapi perah di
wilayah KPSBU Lembang
11
5
Karakteristik peternak responden di KPSBU Lembang dan
asosiasinya terhadap kesediaan peternak melakukan tindakan
pemberian antibiotik pada saat kering kandang
12
6
Faktor pendorong pemberian antibiotik pada saat kering
kandang
13
7
Hasil pengujian mastitis subklinis dengan IPB-1
15
8
Analisis ekonomi melalui Partial Budgeting terhadap
tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang
18
DAFTAR GAMBAR
1
Fenomena gunung es kasus mastitis subklinis
4
2
Sistem pertahanan mamae
5
3
Kerangka konsep penelitian
8
4
Jumlah peternak yang melakukan DCT di KPSBU Lembang
13
DAFTAR LAMPIRAN
1
Kuesioner peternak
25
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mastitis merupakan masalah utama dalam tatalaksana usaha peternakan sapi
perah karena dapat menurunkan produksi susu dalam jumlah besar. Tindakan
pencegahan dan pengendalian penyakit sangat diperlukan sebagai salah satu upaya
pengendalian penyakit di lapangan. Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan
deteksi dini terutama untuk penyakit mastitis sub klinis yaitu mastitis yang tidak
disertai gejala klinis pada ambing dan perubahan fisik pada susu yang
dihasilkannya.
Mastitis adalah peradangan jaringan internal kelenjar susu atau ambing
dengan berbagai penyebab dengan derajat keparahan, lama penyakit dan akibat
penyakit yang sangat beragam. Mastitis terbagi atas mastitis klinis dan mastitis
subklinis. Mastitis klinis senantiasa diikuti tanda klinis baik berupa
pembengkakan, pengerasan ambing, rasa sakit, panas serta kemerahan bahkan
sampai terjadi penurunan fungsi ambing. Mastitis subklinis adalah mastitis yang
tidak menampakkan perubahan yang nyata pada ambing dan susu yang
dihasilkannya namun menyebabkan penurunan produksi dan kualitas susu. Proses
terjadinya mastitis merupakan interaksi antara sapi, agen penyebab dan
lingkungan.
Pengendalian mastitis klinis pada umumnya segera dilakukan karena gejala
klinis yang muncul sangat jelas, namun pengendalian mastitis subklinis pada
umumnya sering terlambat dilakukan karena penyakit tidak menunjukkan gejala
klinis yang jelas, sehingga dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar.
Prevalensi mastitis subklinis di Indonesia sampai tahun 2008 mencapai 85% dan
dapat menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp 10 000 000/ekor/tahun (Rahayu
2009). Berdasarkan studi yang dilakukan di pulau Jawa, dilaporkan bahwa
prevalensi mastitis subklinis berkisar antara 37-67%, sedangkan mastitis klinis
antara 5-30% yang menyebabkan kerugian Rp 8.5 M per tahun apabila tanpa
tindakan pengendalian yang intensif (Supar 1997). Kerugian ekonomi yang
diakibatkan mastitis adalah: a) penurunan produksi susu per kwartir per hari
antara 9-45.5%, b) penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu
mencapai 30-40% (Sudarwanto 1999), penurunan kualitas hasil olahan susu, dan
c) peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih
awal.
Tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang merupakan salah
satu alternatif dalam upaya pengendalian penyakit di lapangan karena memiliki
tingkat keberhasilan yang lebih tinggi (80-90%) jika dibandingkan dengan
tindakan yang dilakukan pada saat laktasi (30-40%) (Waldner 2014). Namun
keberhasilan program pengendalian penyakit mastitis subklinis ini dipengaruhi
oleh partisipasi peternak. Partisipasi peternak dalam suatu program dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor-faktor sosial ekonomi.
2
Perumusan Masalah
Untuk mengurangi kerugian akibat mastitis subklinis yang semakin besar,
diperlukan tindakan pengendalian yang tepat. Pengobatan mastitis subklinis pada
saat kering kandang merupakan salah satu alternatif dalam upaya pengendalian
penyakit di lapangan, namun keberhasilan dari upaya pengendalian penyakit perlu
didukung oleh partisipasi yang baik dari peternak.
Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengetahui a) faktor pendorong peternak
melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang, b) hubungan
pemberian antibiotik pada saat kering kandang terhadap tingkat kejadian kasus
mastitis subklinis dan c) pengaruh pemberian antibiotik pada saat kering kandang
terhadap peningkatan produksi susu.
Manfaat Penelitian
Hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan
ilmiah bagi pemerintah dan para pemangku kebijakan terkait dalam upaya
pengendalian penyakit mastitis subklinis pada sapi perah di lapangan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Agen Penyebab dan Mekanisme Mastitis Subklinis
Proses terjadinya mastitis subklinis merupakan interaksi antara sapi, agen
penyebab dan lingkungan. Mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan
mastitis subklinis adalah bakteri (80%). Bakteri penyebab mastitis subklinis antara
lain
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus
dysgalactiae, Streptococcus agalactiae dan Streptococcus uberis serta bakteri
Coliform terutama Escherichia coli dan Klebsiella (Sharif et al. 2009). Menurut
Hameed et al. (2006) mastitis subklinis disebabkan oleh Streptococcus
dysgalactiae, Escherichia coli dan bakteri penyebab mastitis lainnya.
Staphylococcus epidermidis mendominasi sebesar 91.5% sedangkan
Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis, coliform dan lain-lain sebesar
8.5% (Supar dan Ariyanti 2008).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang paling banyak
menyebabkan mastitis subklinis. Bakteri ini dapat berpindah antar kuartir selama
proses pemerahan sehingga terjadi penularan (Marogna et al. 2010). Menurut Fox
dan Gay yang dikutip Sharif (2009) agen penyebab yang berada dalam kuartir
ditularkan dari sapi ke sapi yang lain selama proses pemerahan.
Agen patogen penting penyebab mastitis subklinis yang berasal dari
lingkungan adalah bakteri gram negatif yaitu Escherichia coli, Klebsiella spp, dan
3
Streptococcus spp seperti Streptococcus uberis, dan Streptococcus dysgalactiae
(Sharif et al. 2009). Escherichia coli merupakan agen patogen yang berasal dari
lingkungan yang terdapat pada tangan pemerah atau ambing yang masuk ke dalam
saluran kelenjar ketika sapi mengalami kontak dengan lingkungan yang
terkontaminasi. Sumber penularan antara lain berupa lingkungan kandang dan alas
tidur. Agen patogen secara normal ditemukan pada feses, alas tidur dan pakan.
Kejadian mastitis yang disebabkan oleh bakteri yang berasal dari lingkungan
dapat terjadi kapan saja dengan sumber infeksi berupa lingkungan sekitar sapi
(Hillerton dan Berry 2005). Tingkat kejadian penyakit yang disebabkan oleh agen
yang berada dalam kuartir lebih tinggi jika dibandingkan dengan mastitis
subklinis yang disebabkan oleh agen penyakit yang berasal dari lingkungan (Sori
et al. 2005).
Infeksi pada umumnya terjadi pada saat kering kandang terutama dua
minggu setelah penghentian pemerahan dan dua minggu menjelang waktu beranak.
Infeksi terjadi pada periode tersebut dan terus berlangsung selama masa laktasi.
Mamae sangat peka terhadap kemungkinan infeksi menjelang waktu beranak dan
awal masa laktasi (Hillerton dan Berry 2005; Schrick et al. 2001). Kejadian
mastitis subklinis yang terjadi pada masa kering kandang mencapai 63% (Pantoja
et al. 2009).
Faktor predisposisi mastitis subklinis pada hewan adalah ambing itu sendiri.
Ambing yang sangat menggantung atau ambing dengan lubang puting yang besar
mudah terinfeksi penyakit (Akers et al. 2006). Kasus mastitis pada ambing yang
menggantung lebih tinggi jika dibandingkan dengan kasus mastitis pada ambing
yang tidak menggantung (Sori et al. 2005). Hal ini terjadi karena pada ambing
yang menggantung, kemungkinan eksposure agen patogen lebih tinggi sehingga
agen patogen lebih mudah melekat dan memudahkan masuk ke dalam ambing.
Umur hewan juga turut menentukan mudah tidaknya seekor hewan
terinfeksi mastitis subklinis. Semakin tua umur sapi, terutama sapi dengan
produksi susu yang tinggi maka semakin kendur pula sphincter putingnya,
sehingga sapi semakin mudah terinfeksi karena kemampuan sphincter menahan
masuknya kuman berkurang. Semakin tinggi produksi susu, maka makin lama
waktu yang dibutuhkan oleh sphincter untuk menutup dengan sempurna
(Subronto 2003).
Penyebaran bakteri dapat terjadi dari ambing yang terinfeksi ke ambing
yang sehat selama proses pemerahan melalui tangan dan lap yang digunakan
untuk mencuci atau mengeringkan ambing atau dapat juga ditularkan oleh lalat.
Ternak yang menderita mastitis subklinis dapat berpotensi sebagai sumber infeksi
terhadap ambing yang sehat (Tomita dan Hart 2001).
Proses infeksi dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar
melalui lubang puting yang terbuka setelah proses pemerahan. Mikroorganisme
berkembang dalam puting dan menyebar ke alveoli dan menyebabkan kerusakan
pada susu yang dihasilkan. Mikroorganisme yang masuk ke dalam ambing dapat
merusak sel dalam ambing akibat reaksi peradangan dan invasi mikroorganisme.
Infeksi akut dapat merangsang pembentukan jaringan ikat pada ambing (Holtenius
et al. 2004).
4
Epidemiologi Penyakit
Manifestasi penyakit mastitis pada sapi perah dibedakan menjadi dua
macam yaitu mastitis klinis dan mastitis subklinis. Pada umumnya peternak sudah
mengenal mastitis klinis, namun belum begitu paham dan mengenal mastitis
subklinis, karena tidak tampak gejala-gejala klinis. Menurut Hameed dan Sender
(2006) kejadian mastitis subklinis bisa mencapai 50 kali dibandingkan dengan
mastitis klinis. Populasi ternak yang menderita mastitis subklinis jauh lebih
banyak dari ternak yang menderita mastitis klinis sehingga jumlah kasus mastitis
subklinis di lapangan seperti fenomena gunung es (Gambar 1).
Gambar 1 Fenomena gunung es kasus mastitis subklinis (McGill University 2012)
Mastitis subklinis mempunyai dampak ekonomi karena menyebabkan
penurunan produksi susu per kuartir per hari antara 9-45.5%, penurunan kualitas
susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40% (Sudarwanto 1999)
dan penurunan kualitas hasil olahan susu, peningkatan biaya perawatan dan
pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal. Gambaran kerugian ekonomi
mastitis subklinis dari kajian yang dilakukan di Kabupaten Boyolali telah
menyebabkan penurunan produksi susu 19% per hari dan pada mastitis subklinis
berat penurunan produksi mencapai 36%. Lebih lanjut, studi mastitis subklinis
dilakukan di pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur) dan
dilaporkan bahwa prevalensi mastitis subklinis antara 37-67% dan mastitis klinis
antara 5-30% dapat menyebabkan kerugian ekonomi mencapai 8.5 M rupiah per
tahun bila tanpa pengendalian yang intensif (Supar 1997).
Jumlah kasus mastitis subklinis di Indonesia sampai akhir tahun 2006
tercatat sekitar 75-83% (Sudarwanto et al. 2006). Prevalensi kejadian mastitis
subklinis di Indonesia sampai tahun 2008 mencapai 85% dan menyebabkan
penurunan produksi susu mencapai 15%. Kerugian lain disebabkan oleh
peningkatan biaya produksi untuk pengobatan, terkadang sapi yang terkena
mastitis subklinis juga harus dikeluarkan dari peternakan lebih awal karena biaya
pemeliharaan yang lebih tinggi dari biaya produksinya. Kerugian ekonomi yang
disebabkan mastitis subklinis sangat besar dapat mencapai Rp 10 000
000/ekor/tahun (Rahayu 2009). Di negara berkembang lainnya, mastitis subklinis
5
masih merupakan masalah dalam tatalaksana usaha sapi perah, sebagai contoh
tingkat kejadian mastitis subklinis di India dan Pakistan berkisar antara 17-93%
pada sapi dan 4-48% pada kerbau (Allore 1993).
Pengendalian dan Dampak Pengendalian Mastitis Subklinis
Prinsip dasar pengendalian mastitis adalah menurunkan kemungkinan
eksposure agen patogen terhadap puting atau melalui peningkatan daya tahan
ternak terhadap kemungkinan terjadinya infeksi. Pada dasarnya, mamae sudah
dilengkapi dengan perangkat pertahanan, sehingga air susu dipertahankan dalam
keadaan steril, dan tidak tercemar oleh bakteri patogen. Perangkat pertahanan
yang dimiliki oleh mamae, antara lain: perangkat pertahanan mekanis, seluler, dan
perangkat pertahanan nonspesifik.
Gambar 2 Sistem pertahanan mamae (McGill University 2012)
Tingkat pertahanan mamae mencapai titik terendah pada saat-saat sesudah
dilakukan pemerahan, karena spinchter puting saat itu masih terbuka sekitar 2-3
jam, sel darah putih sangat minim jumlahnya dan antibodi serta enzim juga habis
ikut terperah (Sharif et al. 2009). Hal ini menjadi alasan agar ternak diupayakan
agar tetap berdiri setelah proses pemerahan dengan menyediakan pakan dan
minuman setelah proses pemerahan. Selain itu, kandang harus diupayakan agar
tetap bersih ketika ternak berbaring.
Pemberian antibiotik pada saat kering kandang merupakan salah satu upaya
pengendalian mastitis, karena pada saat kering kandang mamae sangat mudah
terkena infeksi baru, baik saat awal maupun menjelang akhir waktu kering
kandang hal ini berkaitan dengan perubahan fisiologis mamae. Menurut Smith dan
Hogan dalam Sharif (2009), pengobatan dengan menggunakan antibiotik yang
tepat pada semua kuartir pada saat kering kandang dapat membantu
mengendalikan infeksi oleh Streptococcus spp. Sedangkan menurut Smith et al.
yang dikutif oleh Sharif (2009) menyatakan bahwa tindakan pemberian antibiotik
pada saat kering kandang dapat menurunkan terjadinya infeksi baru sekitar 82%
dan menurut Halasa et al. (2010), intervensi pada saat kering kandang merupakan
tindakan pengendalian yang sangat spesifik terhadap infeksi intramamary untuk
6
menghindari terjadinya kerugian ekonomi yang semakin besar. Jumlah kasus pada
kelompok ternak yang dilakukan tindakan pemberian antibiotik pada saat kering
kandang lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok yang diberikan teatsealant (Bhutto 2011).
Tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang yang dilakukan
pada kambing menyebabkan penurunan jumlah bakteri dari 60% menjadi 20%,
penurunan jumlah sel somatik dari 2500×103 menjadi 1000×103 sel/ml dan secara
bersamaan terjadi peningkatan produksi susu 395 sampai 487 liter per ekor per
tahun (Shwimmer et al. 2008). Pengendalian mastitis subklinis dengan pemberian
antibiotik pada saat kering kandang dapat meningkatkan produksi susu, selama
90 hari masa produksi terjadi peningkatan produksi susu sebanyak 295 liter
(Supar dan Ariyanti 2008).
Tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang memiliki beberapa
keuntungan yaitu a) tingkat keberhasilan pengobatan jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tindakan yang dilakukan pada saat laktasi seperti halnya
yang dikemukan Waldner (2014) yaitu pemberian antibiotik pada saat kering
kandang mempunyai tingkat keberhasilan dalam pengobatan mastitis subklinis
sebesar 80-90% jika dibandingkan dengan pemberian antibiotik pada saat laktasi
dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah sekitar 30-40%; b) selain itu dosis
yang digunakan dalam tindakan pengobatan dapat lebih tinggi dan aman, karena
waktu retensi obat di dalam ambing menjadi lebih lama, serta c) risiko
kontaminasi antibiotik ke dalam susu dapat dihindari karena susu tidak diperah
dan d) merupakan cara terbaik untuk mengobati mastitis subklinis dan mastitis
kronis yang sulit dilakukan pada masa laktasi.
Namun tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang memiliki
kelemahan diantaranya a) dapat membunuh flora normal yang ada pada saluran
dan ujung ambing; b) resistensi antibiotik pada penggunaan antibiotik skala luas;
c) iritasi pada ujung ambing; d) tindakan yang tidak perlu pada kuartir ambing
yang sehat merupakan biaya tambahan yang mahal dan e) susu serta daging
terbuang jika dilakukan pemotongan pada waktu withdrawal time obat atau terjadi
kelahiran prematur (Sandholm dan Pyorala 1995). Tindakan harus dilakukan pada
semua kuartir ambing sehingga obat yang digunakan relatif lebih banyak sehingga
biaya yang dikeluarkan relatif menjadi lebih besar. Pengobatan menggunakan
antibiotik tidak efektif untuk mengendalikan patogen lingkungan khususnya
bakteri Coliform. Pengafkiran merupakan salah satu alternatif pengendalian untuk
kasus yang kronis namun metode ini membutuhkan biaya untuk penggantian
ternak (Tomita dan Hart 2001).
Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat Partisipasi Masyarakat
Partisipasi peternak dalam suatu kegiatan merupakan salah satu faktor
keberhasilan dalam suatu program. Partisipasi peternak dalam suatu program
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor pendidikan, status
sosial ekonomi, dan keterbukaan berkomunikasi (Rusmana 2013). Semakin tinggi
tingkat pendidikan, semakin tinggi status sosial ekonomi dan semakin terbuka
berkomunikasi maka semakin tinggi tingkat kesadaran mereka dalam menerima
suatu program (Rusmana 2013). Menurut Listiana (2010), partisipasi dalam
7
keberhasilan suatu program dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor pendorong dapat berupa kesadaran masyarakat terhadap manfaat suatu
program sehingga rela mengorbankan waktu, biaya dan tenaga, adanya bantuan
dana dari pemerintah serta budaya masyarakat yang mulai menerima perubahan
(Nuanti 2009). Aktif dalam organisasi masyarakat (kelompok tani) dan status
sosial yang tinggi merupakan faktor pendorong masyarakat untuk berpartisipasi
dalam suatu program (Sadono 2012).
Faktor internal yang menjadi pendorong bagi peternak agar berpartisipasi
dalam program salah satunya adalah pengetahuan atau informasi yang memadai.
Pengetahuan mengenai suatu obyek akan menumbuhkan sikap positif terhadap
obyek tersebut apabila pengetahuan tersebut disertai dengan kesiapan untuk
bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap obyek tersebut (Gerungan 1996).
Sikap akan sangat menentukan tindakan atau praktik (behavior) dari seseorang.
Seseorang yang memiliki sikap positif terhadap suatu obyek, maka besar
kemungkinan juga untuk bertindak positif terhadap obyek tersebut. Adanya sikap
positif tersebut didasari oleh adanya pemikiran dan pengetahuan terhadap obyek
tersebut (Sujarwo 2004).
Faktor penghambat baik secara individu maupun kelompok dapat
disebabkan oleh keterbatasan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan sosial.
Masyarakat seringkali berada pada kondisi situasional yang dapat membatasi
tindakannya dalam mencapai tujuan. Faktor yang dapat menjadi penghambat
masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu program diantaranya keterbatasan
ekonomi (faktor internal masyarakat) dan terbatasnya informasi yang diterima
(faktor eksternal) (Nuanti 2009), masyarakat dengan tingkat pendidikan dan
berpenghasilan rendah (Sadono 2012).
3 METODE
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain kajian kasus-kontrol dengan
perbandingan kasus dan kontrol adalah 1:1. Definisi di dalam penelitian ini, kasus
adalah peternak yang melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang,
adapun kontrol adalah peternak yang tidak melakukan pemberian antibiotik pada
saat kering kandang. Penetapan peternak kelompok kasus dan kontrol adalah
berdasarkan daftar peternak yang melakukan pemberian antibiotik pada saat
kering kandang di KPSBU Lembang. Kerangka konsep penelitian yang dilakukan
dapat dilihat pada Gambar 3.
8
Faktor
pendorong
dan
penghambat
peternak
melakukan
pemberian
antibiotik
pada saat
kering
kandang
Kelompok peternak dengan
pemberian antibiotik pada
saat kering kandang:
- Prevalensi mastitis
subklinis
- Tingkat produksi susu
Kelompok peternak tanpa
pengobatan kering kandang:
- Prevalensi mastitis
subklinis
- Tingkat produksi susu
Kajian tindakan
pengendalian
mastitis
Rekomendasi
strategi
pengendalian
Gambar 3 Kerangka konsep penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan Maret 2013.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung Barat sebagai salah satu wilayah
padat populasi sapi perah di Jawa Barat.
Pengambilan Data
Jumlah responden sebanyak 110 peternak, yaitu 55 peternak yang
melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang (dry cow therapy,
DCT) sebagai kelompok kasus dan 55 peternak yang tidak melakukan pemberian
antibiotik pada saat kering kandang (non-DCT sebagai kelompok kontrol (Tabel
1). Pengujian mastitis subklinis dilakukan pada dua ekor sapi laktasi untuk setiap
peternak pada masing-masing kelompok. Responden dipilih secara acak di 5
Tempat Pelayanan Koperasi (TPK). Pemilihan 5 dari 23 TPK dilakukan secara
acak.
Tabel 1
Jumlah responden dan sampel ternak untuk pengujian mastitis subklinis
pada masing-masing TPK
Responden
Sampel ternak
TPK
DCT
Non-DCT
(peternak)
(ekor)
Cibodas
11
11
22
44
Manoko
11
11
22
42
Pencut
11
11
22
44
Cibogo
11
11
22
44
Barunagri
11
11
22
44
55
55
110
218
9
Data karakteristik dan manajemen peternakan sapi perah diperoleh melalui
wawancara terhadap responden dengan menggunakan kuesioner terstruktur, serta
status mastitis subklinis diperoleh melalui pengujian dengan menggunakan reagen
IPB1.
Definisi Operasional
Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ditampilkan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian
Variabel
Umur
Definisi operasional
Usia peternak pada
saat dilakukan
wawancara
Tingkat
Tingkat pendidikan
pendidikan peternak
Pengukuran
Wawancara
Pekerjaan
utama
Pengalama
n beternak
Sumber penghasilan
utama keluarga
Lama beternak
Wawancara
Pemilikan
usaha
Pemilikan usaha yang
dilakukan peternak
Wawancara
Tingkat
keaktifan
peternak
Status keaktifan
peternak dalam
kegiatan kelompok
peternak
Jumlah sapi yang
diperah
Wawancara
Wawancara
1 = < 5 ekor
2 = > 5 ekor
Nominal
Hasil pengujian
mastitis subklinis
menggunakan
pereaksi IPB-1
Tindakan
pengendalian peternak
dalam upaya
pengendalian mastitis
subklinis dengan
pemberian antibiotik
pada saat kering
kandang
Produksi susu per
ekor per tahun
Pengujian
dengan IPB1
0 = Negatif
1 = Positif
Nominal
Wawancara
0 = Ya
1 = Tidak
Nominal
Wawancara
Jumlah produksi
susu selama satu
periode produksi
Jumlah
sapi
laktasi
Hasil
pengujian
mastitis
subklinis
Pemberian
antibiotik
pada saat
kering
kandang
Produksi
susu
Wawancara
Wawancara
Kategori
< 31 th
31 - 41 th
> 41 th
Tidak lulus SD tidak lulus SMA
SMA - PT
1 = Peternak
2 = Bukan peternak
< 6 th
6-10 th
> 10 th
1 = Milik sendiri
2 = Bagi hasil
3 = Lain-lain
0 = Pasif
1 = Aktif
Skala
Ordinal
Ordinal
Nominal
Ordinal
Nominal
Nominal
Rasio
10
Analisis Data
Data produksi susu rata-rata per ekor per tahun dianalisis dengan
menggunakan uji T untuk menduga peningkatan produksi susu akibat pemberian
antibiotik pada saat kering kandang. Untuk mengetahui asosiasi antara variabel
seperti umur, tingkat pendidikan, pekerjaan utama, pengalaman beternak,
pemilikan usaha, tingkat keaktifan peternak dan jumlah sapi laktasi yang dimiliki
dianalisis dengan khi-kuadrat dan dilanjutkan dengan model regresi logistik
berganda untuk menduga nilai odds ratio variabel tersebut (Giuseppe et al. 2008).
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil dan Karakteristik KPSBU Lembang
KPSBU Lembang merupakan koperasi yang besar tercermin dari jumlah
anggota aktif hampir mencapai 5 ribu peternak dan produksi susu yang dihasilkan
di atas 40 ribu kg/hari (Yusdja 2005). Disamping itu KPSBU juga telah
mengembangkan usahanya ke pengolahan susu pasteurisasi dan yogurt (Tabel 3).
Upaya ini juga ditujukan untuk menciptakan pasar baru agar dapat meningkatkan
harga susu di tingkat peternak. KPSBU juga mempunyai pabrik pakan yang
menyediakan konsentrat bagi para peternak anggotanya. Upaya ini dilakukan agar
pakan yang diberikan kepada ternak terjamin kualitas dan kontinuitasnya sehingga
dapat menghasilkan susu dengan kualitas tinggi.
Tabel 3 Profil dan karakteristik KPSBU Lembang
Aspek
Uraian
Jumlah anggota aktif (orang)
4 359
Populasi sapi perah (ekor)
15 000
Produksi susu saat ini (kg/hari)
114 850
Unit pengelola susu
Yogurt dan susu pasteurisasi
Unit pengelola makanan ternak
Ada/konsentrat
Sumber: KPSBU (2013)
Gambaran umum peternakan sapi perah di KPSBU Lembang tidak berbeda
dengan koperasi susu di wilayah lain, sebagian besar usaha ternak dengan skala
kepemilikan induk laktasi di bawah 5 ekor (85.5%). Hanya beberapa peternak
yang masuk kategori skala usaha besar dengan kepemilikan sapi laktasi di atas 5
ekor (14.5%). Rendahnya skala kepemilikan tersebut disebabkan oleh
keterbatasan dana dan tenaga kerja keluarga dan sumber pakan hijauan. Sistem
usaha lebih mengutamakan tenaga kerja keluarga dan sumber pakan hijauan dari
luar wilayah karena terbatasnya lahan yang dikuasai. Mulyadi et al. (2005)
menyatakan bahwa sistem produksi sapi perah yang masih bersifat subsistem
ditandai dengan dominasi tenaga kerja keluarga serta keteladanan peternak yang
semakin menurun pada pemilikan sapi laktasi di atas 2 ekor. Yusdja (2005)
menyatakan pula bahwa semakin besar skala usaha, manajemen semakin lemah,
11
produktivitas semakin menurun dan teknologi bibit unggul sapi perah tidak
memperlihatkan kemampuan optimal. Hal tersebut disebabkan oleh kesulitan
dalam mendapatkan pakan hijauan dan konsentrat karena lahan bebas semakin
sempit dan rendahnya daya beli.
Tabel 4
Profil dan karakteristik usaha peternakan sapi perah di wilayah KPSBU
Lembang
Aspek
Uraian
Rataan kepemilikan sapi perah (ekor/peternak)
4
Rataan jumlah sapi laktasi (ekor/peternak)
3
Rataan produksi susu (liter/ekor/hari)
14.9
Harga susu tertinggi di tingkat peternak (Rp/liter)
3 600
Rataan harga susu di peternak (Rp/liter)
3 407
Rataan harga konsentrat (Rp/kg)
2 000
Rataan potongan biaya untuk IB dan keswan (handling
560.32
cost) (Rp/liter)
Dalam upaya optimalisasi pelayanan koperasi terhadap anggotanya, setiap
peternak dikenakan biaya handling cost sebesar Rp 560.32/liter susu yang
diperuntukkan untuk biaya manajemen dan pelayanan kesehatan ternak. Namun
masih banyak peternak yang masih belum memanfaatkan fasilitas ini dengan baik.
Misalnya saja peternak masih banyak yang tidak melapor apabila ternaknya sudah
waktunya mendapatkan tindakan post partus dengan alasan mereka tidak memiliki
uang untuk insentif bagi petugas keswan. Padahal pelayanan kesehatan
merupakan salah satu paket pelayanan yang diberikan pihak pengelola KPSBU
Lembang yang dibiayai dari handling cost yang dipotong langsung dari setoran
susu setiap harinya.
Profil Responden
Penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas peternak berusia dewasa
sampai tua (90%), memiliki tingkat pendidikan yang rendah (87.27%), pada
umumnya memiliki pengalaman beternak dalam waktu yang lama (59.09%),
beternak sebagai pekerjaan utama (72.7%), dengan pemilikan usaha milik sendiri
(95.5%), aktif dalam kelompok (78.2%) dan memiliki sapi laktasi kurang dari
lima ekor (85.5%). Gambaran rinci tentang karakteristik utama peternak disajikan
pada Tabel 5.
12
Tabel 5
Karakteristik peternak responden di KPSBU Lembang dan asosiasinya
terhadap kesediaan peternak melakukan tindakan pemberian antibiotik
pada saat kering kandang
Jumlah
Persentase
χ2
Nilai P
responden
Variabel
(%)
(orang)
Umur
- < 31 tahun
- 31-41 tahun
- >41 tahun
Tingkat pendidikan
- Tidak lulus SD-tidak lulus
SMA
- SMA-PerguruanTinggi
Pekerjaan utama
- Peternak
- Bukan Peternak
Pengalaman beternak
- 10 tahun
Pemilikan usaha
- Milik sendiri
- Bagi hasil
Tingkat keaktifan peternak
- Pasif
- Aktif
Jumlah sapi laktasi yang
dimiliki
- ≤ lima ekor
- > lima ekor
11
47
52
10
42.72
47.28
0.797
0.671
96
87.27
2.694
0.101
14
12.73
80
30
72.7
27.3
2.933
0.087
22.006
0.635
17
28
65
15.45
25.45
59.09
0.210
0.647
105
5
95.5
4.5
7.674
0.006
4.681
0.031
24
86
94
16
21.8
78.2
85.5
14.5
Tindakan Pengendalian Mastitis melalui Pemberian Antibiotik pada Saat
Kering Kandang di KPSBU Lembang
Pemberian antibiotik pada saat kering kandang (dry cow therapy, DCT)
sudah lama diperkenalkan di wilayah KPSBU Lembang, namun jumlah peternak
yang melakukan tindakan pengendalian dari tahun ke tahun masih bersifat
fluktuatif (Gambar 4). Pada periode tahun 2009-2012 peternak yang
melaksanakan DCT berturut-turut adalah 2 159, 2 812, 2 455, 2 025 dari anggota
aktif sebanyak 4 359 peternak. Peternak yang melaksanakan tindakan pemberian
antibiotik pada saat kering kandang pada umumnya merupakan peternak yang
sama untuk setiap tahunnya. Dengan demikian dalam upaya peningkatan
partisipasi peternak dalam pengendalian mastitis subklinis perlu diketahui faktorfaktor pendorong peternak sehingga peternak mau melakukan tindakan pemberian
antibiotik pada saat kering kandang.
13
Jumlah pengguna (orang)
3000
2500
2000
DCT
Non DCT
1500
1000
500
0
2009
2010
2011
2012
Tahun penggunaan
Gambar 4 Jumlah peternak yang melakukan DCT di KPSBU Lembang
Kebijakan penggunaan antibiotik pada saat kering kandang sudah lama
dilakukan di wilayah KPSBU Lembang, namun pihak pengelola KPSBU belum
pernah melakukan kajian terhadap kebijakan ini. Dengan demikian, hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak pengelola KPSBU dalam
upaya peningkatan pelayanan terhadap anggotanya.
Faktor Pendorong Peternak Melakukan Tindakan Pemberian
Antibiotik pada Saat Kering Kandang
Berdasarkan hasil analisis khi-kuadrat seperti yang tertera pada Tabel 5,
diperoleh empat variabel yang merupakan kandidat (nilai P
MELALUI PEMBERIAN ANTIBIOTIK PADA SAAT KERING
KANDANG DI KPSBU LEMBANG JAWA BARAT
IMAS SRI NURHAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Pengendalian
Mastitis Subklinis Melalui Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang di
KPSBU Lembang, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Imas Sri Nurhayati
NIM B251100051
RINGKASAN
IMAS SRI NURHAYATI. Kajian Pengendalian Mastitis Subklinis melalui
Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang di KPSBU Lembang Jawa Barat.
Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan ABDUL ZAHID ILYAS.
Mastitis merupakan masalah utama dalam tatalaksana usaha peternakan sapi
perah karena dapat menurunkan produksi susu dalam jumlah besar. Salah satu
upaya pengendalian penyakit di lapangan yaitu melalui pemberian antibiotik pada
saat kering kandang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor pendorong
peternak melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang, hubungan
pemberian antibiotik terhadap tingkat kejadian kasus mastitis subklinis dan
pengaruh pemberian antibiotik terhadap peningkatan produksi susu. Sebanyak 110
peternak yang berasal dari lima Tempat Pelayanan Koperasi, KPSBU, Lembang
dipilih secara acak. Penelitian dilakukan melalui wawancara terhadap responden
dan pengujian mastitis subklinis dengan menggunakan pereaksi IPB-1. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik peternak di wilayah KPSBU
Lembang pada umumnya tua (47.28%), memiliki tingkat pendidikan tidak lulus
SD-tidak lulus SMA (87.27%), pekerjaan utama beternak (72.7%), milik sendiri
(95.5%), mempunyai pengalaman beternak lama (59.09%), aktif dalam pertemuan
kelompok (78.2%) dan memiliki sapi laktasi kurang dari lima ekor (85.5%). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor
yang mendorong peternak
melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang adalah tingkat
keaktifan peternak (OR = 4.05; SK = 1.36 - 12.04) dan jumlah sapi laktasi yang
dimiliki (OR = 5.3; SK = 1.43 - 19.58). Pemberian antibiotik pada saat kering
kandang dapat meningkatkan produksi susu sebesar 620.5 (76.3 - 1164.7)
liter/ekor/tahun.
Kata kunci: mastitis subklinis, pengobatan kering kandang, produksi susu
SUMMARY
IMAS SRI NURHAYATI. Study of The Dry Cow Therapy Application for
Controling Sub Clinical Mastitis at KPSBU Lembang West Java. Supervised by
ETIH SUDARNIKA and ABDUL ZAHID ILYAS.
Mastitis is main problem in dairy farming because of decrease of
production milk. Dry cow therapy is one of treatment for controlling subclinical
mastitis. This study was conducted to identify the variables which supported the
dairy farmers to apply dry cow therapy for controling sub clinical mastitis and the
treatment impact to milk production. Total of 110 respondens was sampled
randomly. The study was conducted by interviewing using questionnaires and
testing subclinical mastitis using IPB-1 reagen. This study showed that the
caracteristics of farmers old (47.28%), elementry until junior high school (95.5%),
farming is main of business (72.7%), have long experience (95.5%), active in
farmers meetings (78.2%) and productive cow < 5 head (85.5%). This study
showed that variables which supported the dairy farmers to apply dry cow
therapy were the attending of farmers in meeting (OR = 4.05; CI =1.36 - 12.04)
and number of productive dairy (OR =5.3; CI =1.43 - 19.58). Dry cow therapy
was able to improve milk production by 620.5 (76.3 - 1164.7) litre per cow per
year.
Key words: dry cow therapy, milk production, sub clinical mastitis
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
i
KAJIAN PENGENDALIAN MASTITIS SUBKLINIS
MELALUI PEMBERIAN ANTIBIOTIK PADA SAAT KERING
KANDANG DI KPSBU LEMBANG, JAWA BARAT
IMAS SRI NURHAYATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Drh Mirnawati B. Sudarwanto
iii
Judul Tesis : Kajian Pengendalian Mastitis Subklinis melalui Pemberian
Antibiotik pada Saat Kering Kandang di KPSBU Lembang, Jawa
Barat
Nama
: Imas Sri Nurhayati
NIM
: B251100051
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Etih Sudarnika MSi
Ketua
Drh Abdul Zahid Ilyas MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman MSi
Dr Ir Dahrul Syah MSc Agr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
iv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penulis menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dan kelemahan. Selama pengerjaan tesis ini, penulis
mendapatkan banyak saran dan masukan yang membangun dari berbagai pihak
demi penyempurnaan tulisan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Etih Sudarnika MSi dan
Bapak Drh Abdul Zahid Ilyas MSi atas segala waktu selama pembimbingan, saran,
dan arahannya dalam penyelesaian tesis dan seluruh staf pengajar beserta tenaga
kependidikan PS KMV SPs IPB. Terima kasih kepada Bapak Drh Ramdan yang
telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan Drh Fatul
beserta staf Keswan KPSBU Lembang
yang telah membantu selama
pengumpulan data. Terima kasih pula kepada seluruh rekan-rekan PS KMV
Reguler tahun 2010/2011 (KMV SRIWERS) yang selalu memberikan dukungan
dalam proses penyelesaian tesis. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada keluarga tercinta atas kasih sayang, perhatian, dan dukungannya kepada
penulis.
Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, penulis ucapkan syukur
semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.
Semoga tesis ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi
semua pihak.
Bogor, Juni 2014
Imas Sri Nurhayati
v
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
Agen Penyebab dan Mekanisme Terjadinya Mastitis
Subklinis
Epidemiologi Penyakit
Pengendalian dan Dampak Pengendalian Mastitis Subklinis
Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat Partisipasi
Masyarakat
3
METODE
Rancangan Penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan Data
Definisi Operasional
Analisis data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil dan Karakteristik KPSBU Lembang
Profil Responden
Tindakan Pengendalian Mastitis melalui Pemberian
Antibiotik pada Saat Kering Kandang di KPSBU Lembang
Faktor Pendorong Peternak Melakukan Tindakan Pemberian
Antibiotik pada Saat Kering Kandang
Hubungan Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang
terhadap Tingkat Kejadian Kasus Mastitis Subklinis
Hubungan Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang
terhadap Produksi Susu
Analisis Ekonomi Pemberian Antibiotik pada Saat Kering
Kandang
5
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vi
vi
vi
1
2
2
2
2
2
2
4
5
6
7
7
8
8
9
9
10
10
11
12
13
15
16
17
18
18
19
20
25
vi
DAFTAR TABEL
1
Jumlah responden dan sampel ternak untuk pengujian mastitis
subklinis pada masing-masing TPK
8
2
Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian
9
3
Profil dan karakteristik KPSBU Lembang
10
4
Profil dan karakteristik usaha peternakan sapi perah di
wilayah KPSBU Lembang
11
5
Karakteristik peternak responden di KPSBU Lembang dan
asosiasinya terhadap kesediaan peternak melakukan tindakan
pemberian antibiotik pada saat kering kandang
12
6
Faktor pendorong pemberian antibiotik pada saat kering
kandang
13
7
Hasil pengujian mastitis subklinis dengan IPB-1
15
8
Analisis ekonomi melalui Partial Budgeting terhadap
tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang
18
DAFTAR GAMBAR
1
Fenomena gunung es kasus mastitis subklinis
4
2
Sistem pertahanan mamae
5
3
Kerangka konsep penelitian
8
4
Jumlah peternak yang melakukan DCT di KPSBU Lembang
13
DAFTAR LAMPIRAN
1
Kuesioner peternak
25
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mastitis merupakan masalah utama dalam tatalaksana usaha peternakan sapi
perah karena dapat menurunkan produksi susu dalam jumlah besar. Tindakan
pencegahan dan pengendalian penyakit sangat diperlukan sebagai salah satu upaya
pengendalian penyakit di lapangan. Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan
deteksi dini terutama untuk penyakit mastitis sub klinis yaitu mastitis yang tidak
disertai gejala klinis pada ambing dan perubahan fisik pada susu yang
dihasilkannya.
Mastitis adalah peradangan jaringan internal kelenjar susu atau ambing
dengan berbagai penyebab dengan derajat keparahan, lama penyakit dan akibat
penyakit yang sangat beragam. Mastitis terbagi atas mastitis klinis dan mastitis
subklinis. Mastitis klinis senantiasa diikuti tanda klinis baik berupa
pembengkakan, pengerasan ambing, rasa sakit, panas serta kemerahan bahkan
sampai terjadi penurunan fungsi ambing. Mastitis subklinis adalah mastitis yang
tidak menampakkan perubahan yang nyata pada ambing dan susu yang
dihasilkannya namun menyebabkan penurunan produksi dan kualitas susu. Proses
terjadinya mastitis merupakan interaksi antara sapi, agen penyebab dan
lingkungan.
Pengendalian mastitis klinis pada umumnya segera dilakukan karena gejala
klinis yang muncul sangat jelas, namun pengendalian mastitis subklinis pada
umumnya sering terlambat dilakukan karena penyakit tidak menunjukkan gejala
klinis yang jelas, sehingga dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar.
Prevalensi mastitis subklinis di Indonesia sampai tahun 2008 mencapai 85% dan
dapat menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp 10 000 000/ekor/tahun (Rahayu
2009). Berdasarkan studi yang dilakukan di pulau Jawa, dilaporkan bahwa
prevalensi mastitis subklinis berkisar antara 37-67%, sedangkan mastitis klinis
antara 5-30% yang menyebabkan kerugian Rp 8.5 M per tahun apabila tanpa
tindakan pengendalian yang intensif (Supar 1997). Kerugian ekonomi yang
diakibatkan mastitis adalah: a) penurunan produksi susu per kwartir per hari
antara 9-45.5%, b) penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu
mencapai 30-40% (Sudarwanto 1999), penurunan kualitas hasil olahan susu, dan
c) peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih
awal.
Tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang merupakan salah
satu alternatif dalam upaya pengendalian penyakit di lapangan karena memiliki
tingkat keberhasilan yang lebih tinggi (80-90%) jika dibandingkan dengan
tindakan yang dilakukan pada saat laktasi (30-40%) (Waldner 2014). Namun
keberhasilan program pengendalian penyakit mastitis subklinis ini dipengaruhi
oleh partisipasi peternak. Partisipasi peternak dalam suatu program dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor-faktor sosial ekonomi.
2
Perumusan Masalah
Untuk mengurangi kerugian akibat mastitis subklinis yang semakin besar,
diperlukan tindakan pengendalian yang tepat. Pengobatan mastitis subklinis pada
saat kering kandang merupakan salah satu alternatif dalam upaya pengendalian
penyakit di lapangan, namun keberhasilan dari upaya pengendalian penyakit perlu
didukung oleh partisipasi yang baik dari peternak.
Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengetahui a) faktor pendorong peternak
melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang, b) hubungan
pemberian antibiotik pada saat kering kandang terhadap tingkat kejadian kasus
mastitis subklinis dan c) pengaruh pemberian antibiotik pada saat kering kandang
terhadap peningkatan produksi susu.
Manfaat Penelitian
Hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan
ilmiah bagi pemerintah dan para pemangku kebijakan terkait dalam upaya
pengendalian penyakit mastitis subklinis pada sapi perah di lapangan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Agen Penyebab dan Mekanisme Mastitis Subklinis
Proses terjadinya mastitis subklinis merupakan interaksi antara sapi, agen
penyebab dan lingkungan. Mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan
mastitis subklinis adalah bakteri (80%). Bakteri penyebab mastitis subklinis antara
lain
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus
dysgalactiae, Streptococcus agalactiae dan Streptococcus uberis serta bakteri
Coliform terutama Escherichia coli dan Klebsiella (Sharif et al. 2009). Menurut
Hameed et al. (2006) mastitis subklinis disebabkan oleh Streptococcus
dysgalactiae, Escherichia coli dan bakteri penyebab mastitis lainnya.
Staphylococcus epidermidis mendominasi sebesar 91.5% sedangkan
Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis, coliform dan lain-lain sebesar
8.5% (Supar dan Ariyanti 2008).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang paling banyak
menyebabkan mastitis subklinis. Bakteri ini dapat berpindah antar kuartir selama
proses pemerahan sehingga terjadi penularan (Marogna et al. 2010). Menurut Fox
dan Gay yang dikutip Sharif (2009) agen penyebab yang berada dalam kuartir
ditularkan dari sapi ke sapi yang lain selama proses pemerahan.
Agen patogen penting penyebab mastitis subklinis yang berasal dari
lingkungan adalah bakteri gram negatif yaitu Escherichia coli, Klebsiella spp, dan
3
Streptococcus spp seperti Streptococcus uberis, dan Streptococcus dysgalactiae
(Sharif et al. 2009). Escherichia coli merupakan agen patogen yang berasal dari
lingkungan yang terdapat pada tangan pemerah atau ambing yang masuk ke dalam
saluran kelenjar ketika sapi mengalami kontak dengan lingkungan yang
terkontaminasi. Sumber penularan antara lain berupa lingkungan kandang dan alas
tidur. Agen patogen secara normal ditemukan pada feses, alas tidur dan pakan.
Kejadian mastitis yang disebabkan oleh bakteri yang berasal dari lingkungan
dapat terjadi kapan saja dengan sumber infeksi berupa lingkungan sekitar sapi
(Hillerton dan Berry 2005). Tingkat kejadian penyakit yang disebabkan oleh agen
yang berada dalam kuartir lebih tinggi jika dibandingkan dengan mastitis
subklinis yang disebabkan oleh agen penyakit yang berasal dari lingkungan (Sori
et al. 2005).
Infeksi pada umumnya terjadi pada saat kering kandang terutama dua
minggu setelah penghentian pemerahan dan dua minggu menjelang waktu beranak.
Infeksi terjadi pada periode tersebut dan terus berlangsung selama masa laktasi.
Mamae sangat peka terhadap kemungkinan infeksi menjelang waktu beranak dan
awal masa laktasi (Hillerton dan Berry 2005; Schrick et al. 2001). Kejadian
mastitis subklinis yang terjadi pada masa kering kandang mencapai 63% (Pantoja
et al. 2009).
Faktor predisposisi mastitis subklinis pada hewan adalah ambing itu sendiri.
Ambing yang sangat menggantung atau ambing dengan lubang puting yang besar
mudah terinfeksi penyakit (Akers et al. 2006). Kasus mastitis pada ambing yang
menggantung lebih tinggi jika dibandingkan dengan kasus mastitis pada ambing
yang tidak menggantung (Sori et al. 2005). Hal ini terjadi karena pada ambing
yang menggantung, kemungkinan eksposure agen patogen lebih tinggi sehingga
agen patogen lebih mudah melekat dan memudahkan masuk ke dalam ambing.
Umur hewan juga turut menentukan mudah tidaknya seekor hewan
terinfeksi mastitis subklinis. Semakin tua umur sapi, terutama sapi dengan
produksi susu yang tinggi maka semakin kendur pula sphincter putingnya,
sehingga sapi semakin mudah terinfeksi karena kemampuan sphincter menahan
masuknya kuman berkurang. Semakin tinggi produksi susu, maka makin lama
waktu yang dibutuhkan oleh sphincter untuk menutup dengan sempurna
(Subronto 2003).
Penyebaran bakteri dapat terjadi dari ambing yang terinfeksi ke ambing
yang sehat selama proses pemerahan melalui tangan dan lap yang digunakan
untuk mencuci atau mengeringkan ambing atau dapat juga ditularkan oleh lalat.
Ternak yang menderita mastitis subklinis dapat berpotensi sebagai sumber infeksi
terhadap ambing yang sehat (Tomita dan Hart 2001).
Proses infeksi dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar
melalui lubang puting yang terbuka setelah proses pemerahan. Mikroorganisme
berkembang dalam puting dan menyebar ke alveoli dan menyebabkan kerusakan
pada susu yang dihasilkan. Mikroorganisme yang masuk ke dalam ambing dapat
merusak sel dalam ambing akibat reaksi peradangan dan invasi mikroorganisme.
Infeksi akut dapat merangsang pembentukan jaringan ikat pada ambing (Holtenius
et al. 2004).
4
Epidemiologi Penyakit
Manifestasi penyakit mastitis pada sapi perah dibedakan menjadi dua
macam yaitu mastitis klinis dan mastitis subklinis. Pada umumnya peternak sudah
mengenal mastitis klinis, namun belum begitu paham dan mengenal mastitis
subklinis, karena tidak tampak gejala-gejala klinis. Menurut Hameed dan Sender
(2006) kejadian mastitis subklinis bisa mencapai 50 kali dibandingkan dengan
mastitis klinis. Populasi ternak yang menderita mastitis subklinis jauh lebih
banyak dari ternak yang menderita mastitis klinis sehingga jumlah kasus mastitis
subklinis di lapangan seperti fenomena gunung es (Gambar 1).
Gambar 1 Fenomena gunung es kasus mastitis subklinis (McGill University 2012)
Mastitis subklinis mempunyai dampak ekonomi karena menyebabkan
penurunan produksi susu per kuartir per hari antara 9-45.5%, penurunan kualitas
susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40% (Sudarwanto 1999)
dan penurunan kualitas hasil olahan susu, peningkatan biaya perawatan dan
pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal. Gambaran kerugian ekonomi
mastitis subklinis dari kajian yang dilakukan di Kabupaten Boyolali telah
menyebabkan penurunan produksi susu 19% per hari dan pada mastitis subklinis
berat penurunan produksi mencapai 36%. Lebih lanjut, studi mastitis subklinis
dilakukan di pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur) dan
dilaporkan bahwa prevalensi mastitis subklinis antara 37-67% dan mastitis klinis
antara 5-30% dapat menyebabkan kerugian ekonomi mencapai 8.5 M rupiah per
tahun bila tanpa pengendalian yang intensif (Supar 1997).
Jumlah kasus mastitis subklinis di Indonesia sampai akhir tahun 2006
tercatat sekitar 75-83% (Sudarwanto et al. 2006). Prevalensi kejadian mastitis
subklinis di Indonesia sampai tahun 2008 mencapai 85% dan menyebabkan
penurunan produksi susu mencapai 15%. Kerugian lain disebabkan oleh
peningkatan biaya produksi untuk pengobatan, terkadang sapi yang terkena
mastitis subklinis juga harus dikeluarkan dari peternakan lebih awal karena biaya
pemeliharaan yang lebih tinggi dari biaya produksinya. Kerugian ekonomi yang
disebabkan mastitis subklinis sangat besar dapat mencapai Rp 10 000
000/ekor/tahun (Rahayu 2009). Di negara berkembang lainnya, mastitis subklinis
5
masih merupakan masalah dalam tatalaksana usaha sapi perah, sebagai contoh
tingkat kejadian mastitis subklinis di India dan Pakistan berkisar antara 17-93%
pada sapi dan 4-48% pada kerbau (Allore 1993).
Pengendalian dan Dampak Pengendalian Mastitis Subklinis
Prinsip dasar pengendalian mastitis adalah menurunkan kemungkinan
eksposure agen patogen terhadap puting atau melalui peningkatan daya tahan
ternak terhadap kemungkinan terjadinya infeksi. Pada dasarnya, mamae sudah
dilengkapi dengan perangkat pertahanan, sehingga air susu dipertahankan dalam
keadaan steril, dan tidak tercemar oleh bakteri patogen. Perangkat pertahanan
yang dimiliki oleh mamae, antara lain: perangkat pertahanan mekanis, seluler, dan
perangkat pertahanan nonspesifik.
Gambar 2 Sistem pertahanan mamae (McGill University 2012)
Tingkat pertahanan mamae mencapai titik terendah pada saat-saat sesudah
dilakukan pemerahan, karena spinchter puting saat itu masih terbuka sekitar 2-3
jam, sel darah putih sangat minim jumlahnya dan antibodi serta enzim juga habis
ikut terperah (Sharif et al. 2009). Hal ini menjadi alasan agar ternak diupayakan
agar tetap berdiri setelah proses pemerahan dengan menyediakan pakan dan
minuman setelah proses pemerahan. Selain itu, kandang harus diupayakan agar
tetap bersih ketika ternak berbaring.
Pemberian antibiotik pada saat kering kandang merupakan salah satu upaya
pengendalian mastitis, karena pada saat kering kandang mamae sangat mudah
terkena infeksi baru, baik saat awal maupun menjelang akhir waktu kering
kandang hal ini berkaitan dengan perubahan fisiologis mamae. Menurut Smith dan
Hogan dalam Sharif (2009), pengobatan dengan menggunakan antibiotik yang
tepat pada semua kuartir pada saat kering kandang dapat membantu
mengendalikan infeksi oleh Streptococcus spp. Sedangkan menurut Smith et al.
yang dikutif oleh Sharif (2009) menyatakan bahwa tindakan pemberian antibiotik
pada saat kering kandang dapat menurunkan terjadinya infeksi baru sekitar 82%
dan menurut Halasa et al. (2010), intervensi pada saat kering kandang merupakan
tindakan pengendalian yang sangat spesifik terhadap infeksi intramamary untuk
6
menghindari terjadinya kerugian ekonomi yang semakin besar. Jumlah kasus pada
kelompok ternak yang dilakukan tindakan pemberian antibiotik pada saat kering
kandang lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok yang diberikan teatsealant (Bhutto 2011).
Tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang yang dilakukan
pada kambing menyebabkan penurunan jumlah bakteri dari 60% menjadi 20%,
penurunan jumlah sel somatik dari 2500×103 menjadi 1000×103 sel/ml dan secara
bersamaan terjadi peningkatan produksi susu 395 sampai 487 liter per ekor per
tahun (Shwimmer et al. 2008). Pengendalian mastitis subklinis dengan pemberian
antibiotik pada saat kering kandang dapat meningkatkan produksi susu, selama
90 hari masa produksi terjadi peningkatan produksi susu sebanyak 295 liter
(Supar dan Ariyanti 2008).
Tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang memiliki beberapa
keuntungan yaitu a) tingkat keberhasilan pengobatan jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tindakan yang dilakukan pada saat laktasi seperti halnya
yang dikemukan Waldner (2014) yaitu pemberian antibiotik pada saat kering
kandang mempunyai tingkat keberhasilan dalam pengobatan mastitis subklinis
sebesar 80-90% jika dibandingkan dengan pemberian antibiotik pada saat laktasi
dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah sekitar 30-40%; b) selain itu dosis
yang digunakan dalam tindakan pengobatan dapat lebih tinggi dan aman, karena
waktu retensi obat di dalam ambing menjadi lebih lama, serta c) risiko
kontaminasi antibiotik ke dalam susu dapat dihindari karena susu tidak diperah
dan d) merupakan cara terbaik untuk mengobati mastitis subklinis dan mastitis
kronis yang sulit dilakukan pada masa laktasi.
Namun tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang memiliki
kelemahan diantaranya a) dapat membunuh flora normal yang ada pada saluran
dan ujung ambing; b) resistensi antibiotik pada penggunaan antibiotik skala luas;
c) iritasi pada ujung ambing; d) tindakan yang tidak perlu pada kuartir ambing
yang sehat merupakan biaya tambahan yang mahal dan e) susu serta daging
terbuang jika dilakukan pemotongan pada waktu withdrawal time obat atau terjadi
kelahiran prematur (Sandholm dan Pyorala 1995). Tindakan harus dilakukan pada
semua kuartir ambing sehingga obat yang digunakan relatif lebih banyak sehingga
biaya yang dikeluarkan relatif menjadi lebih besar. Pengobatan menggunakan
antibiotik tidak efektif untuk mengendalikan patogen lingkungan khususnya
bakteri Coliform. Pengafkiran merupakan salah satu alternatif pengendalian untuk
kasus yang kronis namun metode ini membutuhkan biaya untuk penggantian
ternak (Tomita dan Hart 2001).
Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat Partisipasi Masyarakat
Partisipasi peternak dalam suatu kegiatan merupakan salah satu faktor
keberhasilan dalam suatu program. Partisipasi peternak dalam suatu program
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor pendidikan, status
sosial ekonomi, dan keterbukaan berkomunikasi (Rusmana 2013). Semakin tinggi
tingkat pendidikan, semakin tinggi status sosial ekonomi dan semakin terbuka
berkomunikasi maka semakin tinggi tingkat kesadaran mereka dalam menerima
suatu program (Rusmana 2013). Menurut Listiana (2010), partisipasi dalam
7
keberhasilan suatu program dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor pendorong dapat berupa kesadaran masyarakat terhadap manfaat suatu
program sehingga rela mengorbankan waktu, biaya dan tenaga, adanya bantuan
dana dari pemerintah serta budaya masyarakat yang mulai menerima perubahan
(Nuanti 2009). Aktif dalam organisasi masyarakat (kelompok tani) dan status
sosial yang tinggi merupakan faktor pendorong masyarakat untuk berpartisipasi
dalam suatu program (Sadono 2012).
Faktor internal yang menjadi pendorong bagi peternak agar berpartisipasi
dalam program salah satunya adalah pengetahuan atau informasi yang memadai.
Pengetahuan mengenai suatu obyek akan menumbuhkan sikap positif terhadap
obyek tersebut apabila pengetahuan tersebut disertai dengan kesiapan untuk
bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap obyek tersebut (Gerungan 1996).
Sikap akan sangat menentukan tindakan atau praktik (behavior) dari seseorang.
Seseorang yang memiliki sikap positif terhadap suatu obyek, maka besar
kemungkinan juga untuk bertindak positif terhadap obyek tersebut. Adanya sikap
positif tersebut didasari oleh adanya pemikiran dan pengetahuan terhadap obyek
tersebut (Sujarwo 2004).
Faktor penghambat baik secara individu maupun kelompok dapat
disebabkan oleh keterbatasan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan sosial.
Masyarakat seringkali berada pada kondisi situasional yang dapat membatasi
tindakannya dalam mencapai tujuan. Faktor yang dapat menjadi penghambat
masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu program diantaranya keterbatasan
ekonomi (faktor internal masyarakat) dan terbatasnya informasi yang diterima
(faktor eksternal) (Nuanti 2009), masyarakat dengan tingkat pendidikan dan
berpenghasilan rendah (Sadono 2012).
3 METODE
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain kajian kasus-kontrol dengan
perbandingan kasus dan kontrol adalah 1:1. Definisi di dalam penelitian ini, kasus
adalah peternak yang melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang,
adapun kontrol adalah peternak yang tidak melakukan pemberian antibiotik pada
saat kering kandang. Penetapan peternak kelompok kasus dan kontrol adalah
berdasarkan daftar peternak yang melakukan pemberian antibiotik pada saat
kering kandang di KPSBU Lembang. Kerangka konsep penelitian yang dilakukan
dapat dilihat pada Gambar 3.
8
Faktor
pendorong
dan
penghambat
peternak
melakukan
pemberian
antibiotik
pada saat
kering
kandang
Kelompok peternak dengan
pemberian antibiotik pada
saat kering kandang:
- Prevalensi mastitis
subklinis
- Tingkat produksi susu
Kelompok peternak tanpa
pengobatan kering kandang:
- Prevalensi mastitis
subklinis
- Tingkat produksi susu
Kajian tindakan
pengendalian
mastitis
Rekomendasi
strategi
pengendalian
Gambar 3 Kerangka konsep penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan Maret 2013.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung Barat sebagai salah satu wilayah
padat populasi sapi perah di Jawa Barat.
Pengambilan Data
Jumlah responden sebanyak 110 peternak, yaitu 55 peternak yang
melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang (dry cow therapy,
DCT) sebagai kelompok kasus dan 55 peternak yang tidak melakukan pemberian
antibiotik pada saat kering kandang (non-DCT sebagai kelompok kontrol (Tabel
1). Pengujian mastitis subklinis dilakukan pada dua ekor sapi laktasi untuk setiap
peternak pada masing-masing kelompok. Responden dipilih secara acak di 5
Tempat Pelayanan Koperasi (TPK). Pemilihan 5 dari 23 TPK dilakukan secara
acak.
Tabel 1
Jumlah responden dan sampel ternak untuk pengujian mastitis subklinis
pada masing-masing TPK
Responden
Sampel ternak
TPK
DCT
Non-DCT
(peternak)
(ekor)
Cibodas
11
11
22
44
Manoko
11
11
22
42
Pencut
11
11
22
44
Cibogo
11
11
22
44
Barunagri
11
11
22
44
55
55
110
218
9
Data karakteristik dan manajemen peternakan sapi perah diperoleh melalui
wawancara terhadap responden dengan menggunakan kuesioner terstruktur, serta
status mastitis subklinis diperoleh melalui pengujian dengan menggunakan reagen
IPB1.
Definisi Operasional
Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ditampilkan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian
Variabel
Umur
Definisi operasional
Usia peternak pada
saat dilakukan
wawancara
Tingkat
Tingkat pendidikan
pendidikan peternak
Pengukuran
Wawancara
Pekerjaan
utama
Pengalama
n beternak
Sumber penghasilan
utama keluarga
Lama beternak
Wawancara
Pemilikan
usaha
Pemilikan usaha yang
dilakukan peternak
Wawancara
Tingkat
keaktifan
peternak
Status keaktifan
peternak dalam
kegiatan kelompok
peternak
Jumlah sapi yang
diperah
Wawancara
Wawancara
1 = < 5 ekor
2 = > 5 ekor
Nominal
Hasil pengujian
mastitis subklinis
menggunakan
pereaksi IPB-1
Tindakan
pengendalian peternak
dalam upaya
pengendalian mastitis
subklinis dengan
pemberian antibiotik
pada saat kering
kandang
Produksi susu per
ekor per tahun
Pengujian
dengan IPB1
0 = Negatif
1 = Positif
Nominal
Wawancara
0 = Ya
1 = Tidak
Nominal
Wawancara
Jumlah produksi
susu selama satu
periode produksi
Jumlah
sapi
laktasi
Hasil
pengujian
mastitis
subklinis
Pemberian
antibiotik
pada saat
kering
kandang
Produksi
susu
Wawancara
Wawancara
Kategori
< 31 th
31 - 41 th
> 41 th
Tidak lulus SD tidak lulus SMA
SMA - PT
1 = Peternak
2 = Bukan peternak
< 6 th
6-10 th
> 10 th
1 = Milik sendiri
2 = Bagi hasil
3 = Lain-lain
0 = Pasif
1 = Aktif
Skala
Ordinal
Ordinal
Nominal
Ordinal
Nominal
Nominal
Rasio
10
Analisis Data
Data produksi susu rata-rata per ekor per tahun dianalisis dengan
menggunakan uji T untuk menduga peningkatan produksi susu akibat pemberian
antibiotik pada saat kering kandang. Untuk mengetahui asosiasi antara variabel
seperti umur, tingkat pendidikan, pekerjaan utama, pengalaman beternak,
pemilikan usaha, tingkat keaktifan peternak dan jumlah sapi laktasi yang dimiliki
dianalisis dengan khi-kuadrat dan dilanjutkan dengan model regresi logistik
berganda untuk menduga nilai odds ratio variabel tersebut (Giuseppe et al. 2008).
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil dan Karakteristik KPSBU Lembang
KPSBU Lembang merupakan koperasi yang besar tercermin dari jumlah
anggota aktif hampir mencapai 5 ribu peternak dan produksi susu yang dihasilkan
di atas 40 ribu kg/hari (Yusdja 2005). Disamping itu KPSBU juga telah
mengembangkan usahanya ke pengolahan susu pasteurisasi dan yogurt (Tabel 3).
Upaya ini juga ditujukan untuk menciptakan pasar baru agar dapat meningkatkan
harga susu di tingkat peternak. KPSBU juga mempunyai pabrik pakan yang
menyediakan konsentrat bagi para peternak anggotanya. Upaya ini dilakukan agar
pakan yang diberikan kepada ternak terjamin kualitas dan kontinuitasnya sehingga
dapat menghasilkan susu dengan kualitas tinggi.
Tabel 3 Profil dan karakteristik KPSBU Lembang
Aspek
Uraian
Jumlah anggota aktif (orang)
4 359
Populasi sapi perah (ekor)
15 000
Produksi susu saat ini (kg/hari)
114 850
Unit pengelola susu
Yogurt dan susu pasteurisasi
Unit pengelola makanan ternak
Ada/konsentrat
Sumber: KPSBU (2013)
Gambaran umum peternakan sapi perah di KPSBU Lembang tidak berbeda
dengan koperasi susu di wilayah lain, sebagian besar usaha ternak dengan skala
kepemilikan induk laktasi di bawah 5 ekor (85.5%). Hanya beberapa peternak
yang masuk kategori skala usaha besar dengan kepemilikan sapi laktasi di atas 5
ekor (14.5%). Rendahnya skala kepemilikan tersebut disebabkan oleh
keterbatasan dana dan tenaga kerja keluarga dan sumber pakan hijauan. Sistem
usaha lebih mengutamakan tenaga kerja keluarga dan sumber pakan hijauan dari
luar wilayah karena terbatasnya lahan yang dikuasai. Mulyadi et al. (2005)
menyatakan bahwa sistem produksi sapi perah yang masih bersifat subsistem
ditandai dengan dominasi tenaga kerja keluarga serta keteladanan peternak yang
semakin menurun pada pemilikan sapi laktasi di atas 2 ekor. Yusdja (2005)
menyatakan pula bahwa semakin besar skala usaha, manajemen semakin lemah,
11
produktivitas semakin menurun dan teknologi bibit unggul sapi perah tidak
memperlihatkan kemampuan optimal. Hal tersebut disebabkan oleh kesulitan
dalam mendapatkan pakan hijauan dan konsentrat karena lahan bebas semakin
sempit dan rendahnya daya beli.
Tabel 4
Profil dan karakteristik usaha peternakan sapi perah di wilayah KPSBU
Lembang
Aspek
Uraian
Rataan kepemilikan sapi perah (ekor/peternak)
4
Rataan jumlah sapi laktasi (ekor/peternak)
3
Rataan produksi susu (liter/ekor/hari)
14.9
Harga susu tertinggi di tingkat peternak (Rp/liter)
3 600
Rataan harga susu di peternak (Rp/liter)
3 407
Rataan harga konsentrat (Rp/kg)
2 000
Rataan potongan biaya untuk IB dan keswan (handling
560.32
cost) (Rp/liter)
Dalam upaya optimalisasi pelayanan koperasi terhadap anggotanya, setiap
peternak dikenakan biaya handling cost sebesar Rp 560.32/liter susu yang
diperuntukkan untuk biaya manajemen dan pelayanan kesehatan ternak. Namun
masih banyak peternak yang masih belum memanfaatkan fasilitas ini dengan baik.
Misalnya saja peternak masih banyak yang tidak melapor apabila ternaknya sudah
waktunya mendapatkan tindakan post partus dengan alasan mereka tidak memiliki
uang untuk insentif bagi petugas keswan. Padahal pelayanan kesehatan
merupakan salah satu paket pelayanan yang diberikan pihak pengelola KPSBU
Lembang yang dibiayai dari handling cost yang dipotong langsung dari setoran
susu setiap harinya.
Profil Responden
Penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas peternak berusia dewasa
sampai tua (90%), memiliki tingkat pendidikan yang rendah (87.27%), pada
umumnya memiliki pengalaman beternak dalam waktu yang lama (59.09%),
beternak sebagai pekerjaan utama (72.7%), dengan pemilikan usaha milik sendiri
(95.5%), aktif dalam kelompok (78.2%) dan memiliki sapi laktasi kurang dari
lima ekor (85.5%). Gambaran rinci tentang karakteristik utama peternak disajikan
pada Tabel 5.
12
Tabel 5
Karakteristik peternak responden di KPSBU Lembang dan asosiasinya
terhadap kesediaan peternak melakukan tindakan pemberian antibiotik
pada saat kering kandang
Jumlah
Persentase
χ2
Nilai P
responden
Variabel
(%)
(orang)
Umur
- < 31 tahun
- 31-41 tahun
- >41 tahun
Tingkat pendidikan
- Tidak lulus SD-tidak lulus
SMA
- SMA-PerguruanTinggi
Pekerjaan utama
- Peternak
- Bukan Peternak
Pengalaman beternak
- 10 tahun
Pemilikan usaha
- Milik sendiri
- Bagi hasil
Tingkat keaktifan peternak
- Pasif
- Aktif
Jumlah sapi laktasi yang
dimiliki
- ≤ lima ekor
- > lima ekor
11
47
52
10
42.72
47.28
0.797
0.671
96
87.27
2.694
0.101
14
12.73
80
30
72.7
27.3
2.933
0.087
22.006
0.635
17
28
65
15.45
25.45
59.09
0.210
0.647
105
5
95.5
4.5
7.674
0.006
4.681
0.031
24
86
94
16
21.8
78.2
85.5
14.5
Tindakan Pengendalian Mastitis melalui Pemberian Antibiotik pada Saat
Kering Kandang di KPSBU Lembang
Pemberian antibiotik pada saat kering kandang (dry cow therapy, DCT)
sudah lama diperkenalkan di wilayah KPSBU Lembang, namun jumlah peternak
yang melakukan tindakan pengendalian dari tahun ke tahun masih bersifat
fluktuatif (Gambar 4). Pada periode tahun 2009-2012 peternak yang
melaksanakan DCT berturut-turut adalah 2 159, 2 812, 2 455, 2 025 dari anggota
aktif sebanyak 4 359 peternak. Peternak yang melaksanakan tindakan pemberian
antibiotik pada saat kering kandang pada umumnya merupakan peternak yang
sama untuk setiap tahunnya. Dengan demikian dalam upaya peningkatan
partisipasi peternak dalam pengendalian mastitis subklinis perlu diketahui faktorfaktor pendorong peternak sehingga peternak mau melakukan tindakan pemberian
antibiotik pada saat kering kandang.
13
Jumlah pengguna (orang)
3000
2500
2000
DCT
Non DCT
1500
1000
500
0
2009
2010
2011
2012
Tahun penggunaan
Gambar 4 Jumlah peternak yang melakukan DCT di KPSBU Lembang
Kebijakan penggunaan antibiotik pada saat kering kandang sudah lama
dilakukan di wilayah KPSBU Lembang, namun pihak pengelola KPSBU belum
pernah melakukan kajian terhadap kebijakan ini. Dengan demikian, hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak pengelola KPSBU dalam
upaya peningkatan pelayanan terhadap anggotanya.
Faktor Pendorong Peternak Melakukan Tindakan Pemberian
Antibiotik pada Saat Kering Kandang
Berdasarkan hasil analisis khi-kuadrat seperti yang tertera pada Tabel 5,
diperoleh empat variabel yang merupakan kandidat (nilai P