Panjang Puting dan Periode Laktasi sebagai Faktor Predisposisi Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung

PANJANG PUTING DAN PERIODE LAKTASI SEBAGAI FAKTOR
PREDISPOSISI MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI
KPSBU LEMBANG KABUPATEN BANDUNG

YETI NEFIA SEPTIANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Panjang Puting dan
Periode Laktasi sebagai Faktor Predisposisi Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di
Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang Kabupaten Bandung
adalah benar karya Saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini Saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis Saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Yeti Nefia Septiani
NIM B04080083

ABSTRAK
YETI NEFIA SEPTIANI. 2013. Panjang Puting dan Periode Laktasi sebagai
Faktor Predisposisi Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di KPSBU Lembang
Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh HERWIN PISESTYANI dan RP AGUS
LELANA.
Dalam rangka meningkatkan pendekatan praktis diagnostik klinik mastitis
subklinis, 72 ekor sapi perah di KPBSU Lembang Kabupaten Bandung digunakan
untuk penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari
hubungan panjang puting dan periode laktasi terhadap profil mastitis subklinis.
Data periode laktasi dikumpulkan dari wawancara peternak. Pengujian Mastitis
subklinis dengan pereaksi IPB-1 Mastitis Test dan panjang puting diukur
menggunakan pita ukur (cm). Data dianalisis menggunakan uji Duncan dan
regresi logistik. Korelasi tertinggi mastitis subklinis terjadi pada sapi perah
dengan rata-rata panjang puting 7.5 cm serta telah berada pada periode laktasi

ketiga dan keempat. Hasil ini menunjukkan bahwa panjang puting dan periode
laktasi sapi perah merupakan faktor predisposisi mastitis subklinis. Temuan ini
penting untuk meningkatkan manajemen pemerahan serta cara klinis untuk
mendiagnosis mastitis subklinis.
Kata kunci: mastitis subklinis, panjang puting, periode laktasi.

ABSTRACT
YETI NEFIA SEPTIANI. 2013. Teat Length and Lactation Period Factors as
Subclinical Mastitis Predisposition of Dairy Cattle at KPSBU Lembang Bandung
District. Supervised by HERWIN PISESTYANI and RP AGUS LELANA.
In order to enhance practical approach on clinical diagnostic of subclinical
mastitis, 72 dairy cattle at KPBSU Lembang Bandung District were addressed for
this research. The objective of this research was to study the correlation of teat
formation within several lactation periods to subclinical mastitis profile. The data
of lactation period was collected from the farmer interview. Subclinical mastitis
was tested using IPB-1 Mastitis Test and the length of teat was measured using
measuring tape (cm). The data were taken then analyzed by Duncan test and
Logistic regression. The highest correlation of subclinical mastitis, which also the
most severe cased, was happened to dairy cattle with average teat length of 7.5 cm
within the third and fourth lactation periods This result was accentuated that the

teat length of dairy cattle in certain lactation period was subclinical mastitis
predisposition. This finding was important for improving the milking management
as well as clinical diagnosing of mastitis.
Keywords: subclinical mastitis, teat length, lactation period.

PANJANG PUTING DAN PERIODE LAKTASI SEBAGAI FAKTOR
PREDISPOSISI MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI
KPSBU LEMBANG KABUPATEN BANDUNG

YETI NEFIA SEPTIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Judul Skripsi

Nama
NIM

Panjang Puting dan Periode Laktasi sebagai Faktor Predisposisi
Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di KPSBU Lembang
Kabupaten Bandung
Yeti Nefia Septiani
B04080083

Disetujui oleh

I

am MSi

Tanggal Lulus: '2 1


AUG 2013

---....

Dr Drh RP Agus Lelana, SpMP MSi
Pembimbing II

Judul Skripsi

Nama
NIM

: Panjang Puting dan Periode Laktasi sebagai Faktor Predisposisi
Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di KPSBU Lembang
Kabupaten Bandung
: Yeti Nefia Septiani
: B04080083

Disetujui oleh


Drh Herwin Pisestyani, MSi
Pembimbing I

Dr Drh RP Agus Lelana, SpMP MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli-Desember 2012 ini adalah Panjang
Puting dan Periode Laktasi sebagai Faktor Predisposisi Mastitis Subklinis pada
Sapi Perah di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung.

Terima kasih Penulis ucapkan kepada Ibu Drh Herwin Pisestyani MSi dan
Bapak Dr Drh RP Agus Lelana SpMP Msi selaku Pembimbing yang telah banyak
memberi saran dan bimbingan selama penyelesaian skripsi serta Dr Drh Sri
Murtini Msi selaku Dosen Pembimbing akademik yang selalu membimbing dan
mengarahkan dalam pembelajaran akademik. Penghargaan dan rasa terima kasih
Penulis sampaikan kepada Bapak Drh Pammusureng yang telah membimbing
selama pelaksanaan penelitian di lapangan. Penghargaan dan terima kasih Penulis
sampaikan kepada Bapak Drh Supratikno MS APVet yang telah berkenan menjadi
Dosen Penguji dan menelaah skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Bapak Sunarko dan Ibu AD Yekti Ningsih, seluruh keluarga, atas segala
doa dan kasih sayangnya serta teman-teman Avenzoar FKH 45 dan Geochelone
FKH 46.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013
Yeti Nefia Septiani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Sapi Perah Friesian Holstein
Skoring Ambing
Kesehatan Ambing
Periode Laktasi
Mastitis Subklinis
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Metode
Penentuan Besaran dan Penarikan Sampel
Pengukuran Panjang Puting
Pengujian Mastitis Subklinis
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Panjang Puting terhadap Derajat Keparahan Mastitis Subklinis
Pengaruh Periode Laktasi terhadap Derajat Keparahan Mastitis Subklinis
Hubungan antara Panjang Puting dan Periode Laktasi dengan Tingkat
Kejadian Mastitis Subklinis
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
vii
vii
1
2
2
2
3
3

4
4
5
5
5
6
6
6
6
7
9
11
12
12
12
14
16

DAFTAR TABEL
1 Rataan panjang puting pada setiap periode laktasi sapi perah di KPSBU

Lembang Kabupaten Bandung
2 Pengaruh panjang puting terhadap derajat keparahan mastitis subklinis
sapi perah di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung

7
8

DAFTAR GAMBAR
1 Panjang puting sapi perah
2 Pengaruh periode laktasi terhadap derajat keparahan mastitis subklinis
sapi perah di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung
3 Hubungan antara panjang puting dan periode laktasi dengan tingkat
kejadian mastitis subklinis sapi perah di KPSBU Lembang Kabupaten
Bandung

3
9

11

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data Wawancara Peternak
2 Hasil Wawancara dan Pengujian Mastitis Subklinis

14
14

PENDAHULUAN
Mastitis subklinis merupakan penyakit pada peternakan sapi perah yang
sampai saat ini belum dapat diatasi dengan baik. Mastitis subklinis adalah
peradangan pada jaringan interna ambing (Sudarwanto 1999). Kerugian yang
diakibatkan oleh mastitis subklinis adalah penurunan produksi susu, penurunan
kualitas susu, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal, pengafkiran ternak
lebih awal serta pembelian sapi perah baru (Subronto 2003). Ancaman ini
dihadapi oleh 127 211 kepala keluarga peternak sapi perah Indonesia yang
populasi ternaknya mencapai 475 ribu ekor dengan produksi susu 19 juta liter
(DSSP 2009). Indonesia akan sulit mencapai swasembada susu jika tidak
memerhatikan ancaman tersebut. Saat ini Indonesia baru mampu memenuhi 2030% kebutuhan dalam negeri (Luthan 2011).
Salah satu dari masalah yang dihadapi dalam penanganan mastitis subklinis
terletak pada kemampuan diagnosa di lapangan dan keterjangkauan peternak
untuk mendapatkan kit diagnosa mastitis subklinis. Kondisi ini juga dialami oleh
peternakan sapi perah rakyat di Jawa Barat dengan skala usaha 5.8 ekor per unit
usaha dan kemampuan produksi sekitar 11.6 liter/ekor/hari (DSSP 2008). Oleh
karena itu diperlukan alternatif pemecahan yang lebih praktis, misalnya dengan
mempelajari faktor-faktor predisposisi yang dapat dijadikan indikator terjadinya
mastitis subklinis.
Upaya untuk mengetahui faktor predisposisi mastitis subklinis diantaranya
dengan menilai kesehatan ambing. Menurut Blakely dan Bade (1991), kesehatan
ambing sapi perah dalam kaitannya dengan produksi susu dipengaruhi oleh
kondisi fisik sapi, kebiasaan memerah, nilai kondisi badan (Body Condition
Score/BCS) dan skoring ambing. Skoring ambing ini meliputi panjang puting,
letak puting depan, pertautan ambing depan, kedalaman ambing, tinggi ambing
belakang, ligamentum tengah dan letak puting belakang (Blakely dan Bade 1991).
Saragih (2000) menyatakan bahwa selain faktor anatomi ambing, kesehatan
ambing juga dipengaruhi oleh kebersihan lantai, permukaan lantai, dan pemerahan
ambing yang higienis. Kesehatan ambing dapat dicapai dengan menjaga higiene
personal, higiene pemerahan, manajemen perkandangan yang baik, manajemen
pemerahan yang baik, program vaksinasi dan pemberian antibiotik secara berkala
(Alluwaimi 2004).
Standar panjang puting dari sapi perah Frisian Holstein (FH) menurut Beef
Improvement Federation (BIF 2011) yaitu puting depan memiliki panjang 6 cm
dan 2.9 cm untuk diameter, sedangkan pada puting belakang memiliki panjang 5
cm dan 2.6 cm untuk diameter. Prihadi (1997) menyatakan bahwa sapi FH
Indonesia berbeda dari asalnya, mempunyai kemampuan produksi rata-rata 10
liter per hari dengan calving interval 12-15 bulan dan lama laktasi kurang lebih 10
bulan atau produksi susu rata-rata 2 500-3 000 liter per laktasi. Rataan umur sapi
perah pertama beranak adalah 2-2.5 tahun dan ini merupakan periode laktasi
pertama (Sudono 1999). Menurut Subronto (2003) masa laktasi adalah masa sapi
menghasilkan susu antara waktu beranak dengan masa kering kandang, sehingga
lama laktasi berkisar antara 8-10 bulan.
Kajian mengenai faktor predisposisi dari mastitis subklinis pada sapi perah
belum banyak dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ini untuk

2
mengetahui panjang puting dan periode laktasi sebagai salah satu faktor
predisposisi dari mastitis subklinis di sapi perah. Penelitian ini dilakukan di
peternakan rakyat KPSBU Lembang Kabupaten Bandung, untuk mewakili profil
peternakan sapi perah di Jawa Barat.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor predisposisi dari
panjang puting dan periode laktasi terhadap tingkat kejadian mastitis subklinis.

Manfaat Penelitian
Diperoleh informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi tingkat
kejadian mastitis subklinis di peternakan sapi perah sehingga tindakan pencegahan
dapat dilakukan lebih awal.

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Sapi Perah Friesian Holstein
Sapi perah termasuk ke dalam famili Bovidae, sub famili Bovinae, genus
Bos. Sapi perah yang dikembangkan di berbagai belahan dunia adalah jenis Bos
taurus (sapi Eropa) yang berasal dari daerah subtropis dan Bos indicus yang
berasal dari daerah tropis, serta hasil persilangan keturunan Bos taurus dan Bos
indicus (Blakely dan Bade 1991).
Bangsa sapi FH murni memiliki warna bulu Black White dan Red Holstein
dengan batas-batas warna yang jelas, seperti pada dahi umumnya terdapat warna
putih berbentuk segitiga dan bulu kipas ekor, bagian perut serta kaki dari teracak
sampai lutut (knee atau hock) berwarna putih, memiliki tanduk yang pendek dan
mengarah kedepan, sifatnya jinak, tidak tahan panas tetapi mudah menyesuaikan
diri dengan keadaan lingkungan dan lambat dewasa (Blakely dan Bade 1991).
Karakteristik sapi FH adalah memiliki berat induk rata-rata 675 kg, warna
bulu hitam dan putih, temperamen tenang, kemampuan merumputnya sedang,
kadar lemak susu 3.5-3.7% dengan warna lemak kuning membentuk butiranbutiran (globula), bahan kering tanpa lemak 8.5%, rata-rata produksi susu per
tahun 5 750-6 250 kg dan berat lahir anak 42 kg (Blakely dan Bade 1991). Sapi
FH murni yang ada di Indonesia rata-rata produksi susunya sekitar 10 liter per hari
dengan calving interval 12-15 bulan dan lama laktasi kurang lebih 10 bulan atau
produksi susu rata-rata 2 500-3 000 liter per laktasi (Prihadi 1997).

3
Skoring Ambing
Ambing memiliki beberapa sistem yang mendukung dalam strukturnya,
antara lain sistem peredaran darah, limfe, saraf, dan sistem saluran yang berperan
dalam penyimpanan dan sekresi susu ke dalam sel epitel yang disebut juga dengan
alveoli. Produksi susu pada sapi tergantung pada aktifitas alveoli (Foley dan
Richard 1972).
Penilaian ambing sapi perah terkait produksi susu dipengaruhi kondisi fisik
sapi, kebiasaan memerah, nilai kondisi badan (BCS) dan skoring ambing (Blakely
dan Bade 1991). Skoring ambing meliputi panjang puting, letak puting depan,
pertautan ambing depan, kedalaman ambing, tinggi ambing belakang, ligamentum
tengah dan letak puting belakang (Blakely dan Bade 1991). Panjang puting adalah
jarak antara sphincter puting sampai otot melingkar ambing yang disebut kisterna
puting dan berbatasan dengan kisterna ambing. Pertautan ambing depan adalah
pertautan antara ligamentum suspensorium dengan bagian belakang abdomen sapi.
Kedalaman ambing adalah panjang ambing sampai puting dari persendian tarsus
pada kaki belakang sapi (Hock). Tinggi ambing belakang adalah jarak antara
vulva dengan bagian atas ambing. Standar panjang puting dari sapi perah (FH)
menurut BIF (2011) yaitu puting depan memiliki panjang 6 cm dan 2.9 cm untuk
diameter, sedangkan pada puting belakang memiliki panjang 5 cm dan 2.6 cm
untuk diameter.

a

b

c

Gambar 1 Panjang puting sapi perah; a) panjang = 3 cm, b) panjang = 6 cm, dan
c) panjang = 9 cm (BIF 2011).
Puting bagian depan memiliki ukuran lebih panjang dibandingkan dengan
bagian belakang (Farmer dan Chrestman 2006). Puting yang memiliki ukuran
sangat panjang akan memudahkan masuknya mikroorganisme secara ascendens
ke dalam ambing dan berkembang dalam jaringan ambing. Hal ini dapat
menimbulkan reaksi peradangan dalam jaringan interna ambing. Puting yang
memiliki ukuran sangat pendek akan menyebabkan pemerahan terganggu dan
pengosongan ambing tidak sempurna, serta alveoli tidak mampu melakukan daya
selektif sehingga memicu terjadinya peradangan (Lukman et al. 2009).

4
Kesehatan Ambing
Menurut Saragih (2000) faktor yang menentukan keberhasilan suatu usaha
peternakan adalah kesehatan ambing. Kesehatan ambing sangat dipengaruhi oleh
kebersihan lantai, permukaan lantai, dan pemerahan ambing yang higienis. Faktor
ini memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga stabilitas produksi dan
meningkatkan produksi susu selain faktor anatomi ambing.
Kesehatan ambing dapat dijaga melalui tindakan pencegahan dengan
menjaga higiene personal, higiene pemerahan, manajemen perkandangan yang
baik, manajemen pemerahan yang baik, program vaksinasi dan pemberian
antibiotik secara berkala. Semua hal ini dapat menjaga kesehatan ambing
(Alluwaimi 2004).
Ambing dikatakan sehat jika perkembangan jaringan kelenjar susu cepat dan
dalam siklus estrus saat folikel berkembang menjadi corpus luteum labula alveolar
ambing harus ikut berkembang (Frandson 1996) serta tidak ada reaksi peradangan
seperti merah, bengkak, panas, dan sakit (Foley dan Richard 1972). Ambing yang
tidak dijaga kebersihannya akan menyebabkan masalah bagi kesehatan ambing
(Falvey dan Chantalakhana 1999).

Periode Laktasi
Sapi perah bangsa FH beranak pertama kali pada umur 2-2.5 tahun,
kemudian kondisi ini dinyatakan sebagai laktasi pertama (Sudono 1999). Subronto
(2003) menyatakan kondisi laktasi adalah masa sapi menghasilkan susu antara
waktu beranak dengan masa kering, sehingga lama laktasi berkisar antara 8-10
bulan. Produksi susu per hari menurun setelah laktasi 2 bulan, demikian pula
kadar lemak susu setelah 1-2 bulan tetapi mulai konstan dan naik sedikit demi
sedikit setelah 2-3 bulan masa laktasi. Kondisi laktasi adalah masa sapi
memroduksi susu, dibagi dalam masa awal laktasi (pada saat partus sampai akhir
bulan ke-2), masa laktasi normal (3-5 bulan), dan akhir laktasi (memasuki bulan
ke 6-7). Masa kering kandang (awal bulan ke-8 sampai bulan ke-9 kebuntingan)
adalah masa persiapan ambing untuk produksi susu berikutnya dan memperbaiki
kondisi ambing (Lukman et al. 2009).
Siregar (1995) yang menyatakan bahwa kejadian mastitis subklinis akan
bertambah sampai kira-kira sapi berumur delapan tahun dan terus meningkat dari
periode laktasi pertama hingga mencapai puncak yaitu pada periode laktasi ketiga
dan keempat yang selanjutnya akan menurun sesuai dengan periode laktasi
berikutnya. Penurunan produksi susu pada sapi tua disebabkan oleh aktivitas
kelenjar ambing sapi yang sudah berkurang (Frandson 1996). Komposisi susu
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah bangsa, periode laktasi,
interval pemerahan, pakan, dan suhu (Saleh 2004).

Mastitis Subklinis
Mastitis merupakan infeksi atau peradangan pada jaringan interna ambing
yang dapat ditandai dengan perubahan kualitas maupun penurunan produksi susu

5
(Tyler dan Ensminger 1993). Mastitis merupakan reaksi peradangan pada jaringan
ambing terhadap infeksi bakteri, kimia, panas, ataupun karena perlukaan (Schmidt
et al. 1988). Respon peradangan ditandai dengan peningkatan protein darah dan
sel darah putih pada jaringan ambing dan susu. Tujuan dari peradangan adalah
untuk netralisasi terhadap penyebab iritasi, perbaikan jaringan yang rusak, dan
pengembalian fungsi normal ambing (Foley dan Richard 1972).
Susu pada sapi yang menderita mastitis akan mengalami perubahan secara
fisik dan kimia. Perubahan secara fisik antara lain terjadi perubahan warna, bau,
rasa, dan konsistensi (Subronto 2003). Mastitis terbagi menjadi tiga, yaitu mastitis
klinis, mastitis subklinis dan mastitis non-spesifik. Mastitis klinis dapat ditandai
dengan terjadinya perubahan kualitas susu dan ditemukan reaksi peradangan pada
ambing berupa panas, merah, bengkak, fungsi abnormal, dan timbul rasa sakit jika
dipalpasi. Keadaan ini berbeda dengan keadaan mastitis subklinis yang tanpa
adanya perubahan secara fisik pada eksternal ambing. Perubahan yang terjadi
hanya dapat ditemukan pada jaringan interna ambing. Susu mengalami perubahan
kualitas dan kuantitas serta ditemukannya kuman patogen dalam susu. Mastitis
non-spesifik merupakan kejadian mastitis akibat trauma oleh ambing.
Kejadian terbesar dari kasus mastitis adalah mastitis subklinis, karena pada
kejadian mastitis subklinis tidak ditandai dengan perubahan fisik ambing sehingga
menyulitkan dalam deteksi. Kejadian mastitis dapat disebabkan karena kausa
infeksius dan non-infeksius. Kausa infeksius disebabkan oleh mikroorganisme
patogen masuk melalui saluran puting susu ke dalam kelenjar ambing. Kausa noninfeksius berkaitan dengan kondisi hewan/ternak dan kondisi lingkungan.
Kerugian ekonomi yang diakibatkan mastitis antara lain: terjadinya penurunan
produksi susu per kuartir per hari antara 9-45.5%, penurunan kualitas susu yang
mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40% dan penurunan kualitas hasil
olahan susu, peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran
ternak lebih awal (Sudarwanto & Sudarnika 2008). Prevalensi kejadian mastitis
subklinis di Indonesia sampai tahun 2008 mencapai mencapai 85% (Rahayu 2009)
sedangkan di daerah Kabupaten Bogor mencapai 87.10% (Ananto 1995).

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Desember 2012, di peternakan sapi
perah rakyat yang tergabung dalam KPSBU Lembang di Kelurahan Sukajaya,
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah paddle, pita ukur (cm), lap
kain, dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah pereaksi IPB-1 Mastitis Test
dan sampel susu kuartir.

6
Metode
Penelitian ini merupakan kajian lapang kasus mastitis subklinis. Data
diperoleh dengan observasi dan wawancara. Wawancara dilakukan untuk
memeroleh informasi tentang peternak dan sapi pada kondisi laktasi normal.
Informasi peternak meliputi: nama peternak, desa, dan jumlah sapi dalam
kandang. Informasi sapi meliputi: nomor sapi, umur dan periode laktasi, dan
jumlah produksi susu per hari.
Pengujian Jumlah Sel Somatis (JSS) dilakukan dengan metode tidak
langsung. Metode tidak langsung yang digunakan adalah diagnosis mastitis
subklinis menggunakan pereaksi IPB-1 Mastitis Test. Pengukuran panjang puting
dilakukan menggunakan pita ukur dan dinyatakan dalam satuan sentimeter (cm).

Penentuan Besaran dan Penarikan Sampel
Penentuan besaran sampel diawali dengan mendata jumlah sapi perah di
Kelurahan Sukajaya berdasarkan pada persyaratan pengujian kesehatan ambing,
yaitu sapi berada pada kondisi laktasi normal. Besaran sampel yang diuji adalah
72 ekor sapi perah.

Pengukuran Panjang Puting
Panjang puting diukur dengan menggunakan pita ukur (cm). Pengukuran
dilakukan pada setiap kuartir setelah sapi dimandikan.

Pengujian Mastitis Subklinis
Pengujian mastitis subklinis, dilakukan dengan metode tidak langsung
menggunakan pereaksi IPB-1 Mastitis Test (Sudarwanto 1998). Paddle diisi 2 ml
susu dari sapi yang telah dimandikan sebelumnya, ambing sapi dibersihkan,
kemudian susu dikeluarkan dari puting sapi. Pancaran pertama dan kedua
dibuang, dan pancaran berikutnya ditampung dalam paddle. Pereaksi IPB-1
Mastitis Test ditambahkan dalam sampel dengan perbandingan 1:1. Sampel dan
pereaksi dihomogenkan secara horizontal selama 15-30 detik. Prinsip uji dari IPB1 Mastitis Test adalah pereaksi akan berikatan dengan DNA dari inti sel somatik
membentuk massa kental seperti gelatin. Massa yang semakin kental
menunjukkan semakin banyak jumlah DNA inti sel somatik yang berikatan
dengan pereaksi IPB-1 Mastitis Test.
Pembacaan hasil. Reaksi yang terjadi diamati berdasarkan Sudarwanto
(1999), jika reaksi negatif susu dan pereaksi tetap homogen, positif satu terbentuk
lendir tipis, positif dua terbentuk lendir lebih kental, positif tiga lendir sangat
kental seperti massa gelatin.

7
Analisis Data
Data dianalis secara deskriptif, uji Gamma dan analisis regresi logistik.
Analisis deskriptif dan uji Gamma digunakan untuk melihat adanya hubungan
atau korelasi antara peubah-peubah dalam penelitian dan untuk mengetahui
asosiasi antara peubah-peubah yang bersifat ordinal (Agresti dan Finlay 2009).
Data juga dianalisis menggunakan Microsoft Office Excel 2007 dan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Panjang Puting terhadap Derajat Keparahan Mastitis Subklinis
Ambing atau kelenjar susu sapi terdiri dari empat bagian terpisah. Bagian
kiri dan kanan dipisahkan oleh sulcus yang berjalan longitudinal yang disebut
sulcus intermamaria. Aspek yang harus dilihat dari bagian ambing berupa ukuran,
kapasitas produksi, ketinggian ambing dari permukaan lantai saat sapi berdiri, dan
kesimetrisan ambing (Farmer dan Chrestman 2006).
Pembatas dari tiap kuartir ambing berupa Ligamentum suspensorium.
Ligamentum ini berfungsi sebagai pondasi ambing dan sebagai sekat antar kuartir.
Ligamentum pada sisi luar adalah Ligamentum lateralis (Falvey dan
Chantalakhana 1999). Ligamentum ini berfungsi sebagai penyangga dan pemberi
bentuk ambing. Umur ternak dapat memengaruhi kekuatan dari ligamentum yang
memisahkan tiap kuartir pada ambing. Periode laktasi yang semakin tinggi
menunjukkan umur sapi yang semakin tua. Rata-rata panjang puting pada setiap
periode laktasi sapi perah di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung disajikan
pada Tabel 1.

Tabel 1 Rata-rata panjang puting pada setiap periode laktasi sapi perah di KPSBU
Lembang Kabupaten Bandung.
Panjang puting (cm)
Laktasi kerata-rata
min
max
1 (n=12)
4.75
3.75
5.0
2 (n=12)
5.6
5.0
6.2
3 (n=12)
6.5
6.0
6.9
4 (n=12)
7.5
7.1
7.5
5 (n=12)
7.6
7.2
7.8
6 (n=12)
8
7.5
8.3

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa panjang puting setiap periode
laktasi mengalami peningkatan. Pada periode laktasi pertama panjang puting 4.75
cm, laktasi kedua 5.6 cm, laktasi ketiga 6.5 cm, laktasi keempat 7.5 cm, laktasi
kelima 7.6 cm, dan laktasi keenam 8 cm. Puting yang semakin panjang

8
dipengaruhi oleh cara pemerahan yang salah dan kelemahan ligamentum (Falvey
dan Chantalakhana 1999).
Pemerahan dengan cara tradisional menggunakan dua jari (Strip Methode)
akan mempengaruhi bentuk anatomi ambing. Pemerahan dua jari adalah
pemerahan dengan ibu jari dan telunjuk digeser dari pangkal puting ke bawah
sambil memijat, dikendorkan dan tekan ke atas. Kelemahan pemerahan dengan
cara ini adalah ambing dan puting selalu basah, mudah terjadi perlukaan pada
ambing, dan dapat merubah bentuk anatomi puting secara lambat menjadi
semakin panjang (Lukman et al. 2009). Pemerahan dengan metode ini masih
diterapkan pada peternakan di KPSBU Lembang. Ambing dengan ligamentum
lemah akan memperlihatkan bentuk ambing yang jatuh menggantung. Lemahnya
Ligamentum suspensorium akan menyebabkan ambing kehilangan bentuk dan
menghilangnya lipatan antar kuartir. Kelemahan ligamentum ini juga akan
menyebabkan puting sapi lebih menonjol dan panjang (Falvey dan Chantalakhana
1999). Penelitian ini juga memperlihatkan adanya pengaruh panjang puting
terhadap derajat keparahan mastitis subklinis dari peternakan sapi perah KPSBU
Lembang yang disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Pengaruh panjang puting terhadap derajat keparahan mastitis subklinis di
KPSBU Lembang Kabupaten Bandung
Panjang puting (cm)
Derajat Keparahan
MSK*
rata-rata
min
max
4.75ª
3.75
5.5
+
5.75ª
5.5
6
b
++
6.5
6
7
c
+++
7.5
7
8.3
Keterangan:*Mastitis Subklinis; Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama yang
diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji p