Komunikasi Petani Pada Pelatihan Adaptasi Perubahan Iklim (Cdccaa) Di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon

KOMUNIKASI PETANI PADA PELATIHAN ADAPTASI
PERUBAHAN IKLIM (CDCCAA) DI KECAMATAN
PANGURAGAN KABUPATEN CIREBON

AFNIDA SHOFFATI NOORFAJRIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Petani pada
Pelatihan Adaptasi Perubahan Iklim (CDCCAA) di Kecamatan Panguragan
Kabupaten Cirebon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016

Afnida Shoffati Noorfajria
NIM I352130091

RINGKASAN

AFNIDA SHOFFATI NOORFAJRIA. Komunikasi Petani pada Pelatihan
Adaptasi Perubahan Iklim (CDCCAA) di Kecamatan Panguragan Kabupaten
Cirebon. Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS dan RESFA FITRI
Perubahan iklim merupakan permasalahan global yang terjadi saat ini, dan
salah satu dari banyaknya permasalahan yang diakibatkan perubahan iklim adalah
masalah pertanian. Petani memiliki kearifan lokal yang diwariskan dari generasi
ke generasi sebagai panduan dalam kegiatan pertanian. Namun, adanya perubahan
iklim membuat mereka harus mampu beradaptasi dengan pola pertanian baru.
Mereka diwajibkan untuk mengetahui terlebih dahulu musim tanam yang tepat
untuk menghindari gagal panen nanti. Petani juga harus mampu melaksanakan
kegiatan mitigasi dan adaptasi agar dapat menangani dampak perubahan iklim

pada lahan pertaniannya. Meskipun demikian, para petani yang paling rentan
terhadap masalah ini justru tidak memiliki pengetahuan terhadap perubahan iklim,
padahal, petani sangat membutuhkan pengetahuan tersebut agar dapat berdaptasi
dan terus melakukan usaha taninya meskipun pada musim kemarau.
Untuk alasan tersebut Kementerian Pertanian bekerja sama dengan JICA
(Japan International Cooperation Agency) membuat program pelatihan yang
ditujukan untuk meningkatkan adaptasi petani dalam menghadapi perubahan iklim
bernama CDCCAA (Capacity Development for Climate Change Adaptation in
Agriculture and Other Relevant Sectors). Akan tetapi, suatu program tidak akan
berjalan dengan baik jika tidak ada komunikasi yang baik juga. Petani harus
mengerti betapa pentingnya kegiatan mitigasi dan adaptasi, dan seberapa
bahayanya perubahan iklim pada sektor pertanian, sehingga, jika petani sudah
memiliki pengetahuan tersebut, diharapkan dapat merubah persepsi dan sikap
petani terhadap perubahan iklim, sehingga petani ikut serta dalam kegiatan
adaptasi. Selain hal tersebut, untuk meningkatkan kapasitas adaptasi petani,
penyuluh juga harus tahu apa kebutuhan petani lokal, dan apa permasalahan ilkim
pada daerah tersebut, sehingga selain meningkatkan kapasitas adaptif, petani
diharapkan menjadi berdaya dan mandiri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku komunikasi pada program yang diindikasikan oleh

pengetahuan petani tentang perubahan iklim, sikap petani menghadapi perubahan
iklim dan kecenderungan petani untuk bertindak setelah pelatihan. Berdasarkan
survei dari 50 peserta pelatihan di Kabupaten Cirebon Kecamatan Panguragan,
dan analisis SEM diketahui bahwa karakteristik individu berpengaruh signifikan
terhadap proses komunikasi program pelatihan CDCCAA, dan faktor
kosmopolitas berpengaruh signifikan juga pada perilaku petani terhadap risiko
iklim perubahan. Selain itu, proses komunikasi tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap perilaku risiko perubahan iklim, dan penilaian dari pelatihan
program tidak berpengaruh secara signifikan juga terhadap proses komunikasi.
Kata kunci: adaptasi, perilaku komunikasi, perubahan iklim

SUMMARY

AFNIDA SHOFFATI NOORFAJRIA. Communication of Farmers Training
Adaptation to Climate Change (CDCCAA) in District Panguragan Cirebon.
Supervised by DJUARA P. LUBIS and RESFA FITRI
Climate change is a global problem that occurs at this time, and one of the
many problems caused by climate change is the problem of agriculture. Farmers
have local wisdom passed down from generation to generation as a guide in
farming activities. However, the existence of climate change makes them must be

able to adapt to new agricultural patterns. They are required to know in advance
the appropriate planting season in order to avoid crop failure later. Farmers also
need to be able to implement the mitigation and adaptation activities to could
handle the impact of climate change on agricultural land. Nonetheless, the farmers
who are figure most susceptible to this problem are precisely not to have such
knowledge, actually, farmers really need this knowledge to be able to adapt and
continue to do his farming business although in the dry season.
For these reasons the Ministry of Agriculture in collaboration with JICA
(Japan International Cooperation Agency) create a training program that is
devoted to improving the adaptability of farmers in the face of climate change
named CDCCAA (Capacity Development for Climate Change Adaptation in
Agriculture and Other Relevant Sectors). However, a program will not run
properly if there is not good communication as well. Farmers should understand
the importance of mitigation and adaptation activities, and how dangerous climate
change in the agricultural sector, so that, if farmers already have such knowledge,
is expected to change the perception and attitude of farmers to climate change, so
that the farmers participating in the activities of adaptation. In addition, to
increase the adaptive capacity of farmers, agricultural extension must also know
what the needs of local farmers, and what climate problems in those area, so that
besides to increasing the adaptive capacity, farmers are expected to become

empowered and independent.
The present study was aimed to evaluate the factors that influence of the
communications programs that are indicated by the farmers' knowledge about
climate change, the attitude of farmers facing climate change and the farmers
tendency to act after the training. Based on the survey of 50 trainees in the
Panguragan Subdistrict Cirebon Regency, and SEM analysis it is known that the
individual characteristics significantly influence the communication process
CDCCAA training program, and cosmopolity factors have also significant
influence on the behavior of farmers against the risk of climate change. In
addition, the communication process not significantly influence with attitudes to
climate change risk, and assessment of training rogram not significantly influence
with communication process also.
Keywords: adaptation, behavior of communication, climate change

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KOMUNIKASI PETANI PADA PELATIHAN ADAPTASI
PERUBAHAN IKLIM (CDCCAA) DI KECAMATAN
PANGURAGAN KABUPATEN CIREBON

AFNIDA SHOFFATI NOORFAJRIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi

Judul Tesis

: Komunkasi Petani pada Pelatiban Adaptasi Perubaban km

Nama

: Anida�Sbofati�Noorajria

NIM

: 1352130091 '

(CDCCAA) di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon

Disetujui oleb
Komisi Pembimbin-


;,

sfa Firi Pl St
Anggota

'

"

Dketahui

o leh

Ketua Proram Studi
Komunkasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan

Tnggal Ujian: 5 Januri 2016

Tanggal Lulus:


'1 5 FEB 20 I 5

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga laporan penelitian ini berhasil diselesaikan.
Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2015 sampai dengan Mei 2015 berjudul
Komunikasi Pada Pelatihan Petani Terhadap Adaptasi Kerentanan Perubahan
Iklim (Program CDCCAA di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon).
Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis ucapkan kepada Ibu, adik,
serta segenap keluarga atas do‟a dan kasih sayangnya. Terima kasih penulis
ucapkan kepada Dr Ir Djuara P Lubis,MS dan Dr Ir Resfa Fitri,MPl ST selaku
pembimbing tugas akhir, serta Dr Ir Ninuk Purnaningsih,MSi yang telah
memberikan saran kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
staf pengajar, serta rekan-rekan Pasca Sarjana Program Studi Komunikasi
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB. Rasa hormat, penulis sampaikan
kepada para petani Desa Panguragan, Desa Kalianyar, serta para penyuluh di
BP3K Panguragan yang telah memberikan rasa kekeluargaan dan kepercayaan
kepada penulis untuk bersama-sama berdiskusi mengenai permasalahan
perubahan iklim pada sektor pertanian, dan bantuannya dalam proses penelitian.

Terima kasih juga kepada JICA dan Direktorat Pengelolaan Air dan Irigasi,
Kementerian Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan penelitian pada programnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2016
Afnida Shoffati Noorfajria

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Fakta Mengenai Perubahan Iklim dan Penyebabnya
Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian di Indonesia
Perubahan Iklim dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial
Kerentanan Terhadap Perubahan Iklim
Pengembangan Masyarakat
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Terhadap Perubahan Iklim
Komunikasi risiko adaptasi kerentanan perubahan iklim
Pelatihan Program Capacity Development for Climate Change
Adaptation in Agriculture and other Relevants Sectors (CDCCAA)
Kerangka Berpikir dan Hipotesis
Definisi Operasional
3 METODE
Lokasi dan Waktu
Populasi Penelitian
Rancangan Penelitian
Data dan Instrumentasi
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Pengumpulan Data
Analisis Data
4 DESKRIPSI UMUM
Deskripsi Desa Kalianyar dan Desa Panguragan
Deskripsi Pelatihan CDCCAA
Deskripsi Responden
5 PERILAKU KOMUNIKASI SAAT PELATIHAN PROGRAM
CDCCAA DAN HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI
Perilaku Komunikasi Saat Pelatihan Program CDCCAA
Perilaku Komunikasi Saat Pelatihan Program CDCCAA dan
Hubungannya Dengan Karakteristik Individu
Perilaku Komunikasi Saat Pelatihan Program CDCCAA dan
Hubungannya Dengan Penilaian Terhadap Pelatihan Program
6 PERILAKU TERHADAP RISIKO PERUBAHAN IKLIM
PELATIHAN PROGRAM CDCCAA DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG BERHUBUNGAN

1
1
5
5
6
6
6
6
7
8
10
12
13
15
21
22
24
29
29
29
30
30
31
32
33
33
33
35
40
43

43
44
45
48

Perilaku Terhadap Risiko Perubahan Iklim Pelatihan Program
CDCCAA
Perilaku Terhadap Risiko Perubahan Iklim Pelatihan Program
CDCCAA dan Hubungannya Dengan Kekosmopolitan
Perilaku Terhadap Risiko Perubahan Iklim Pelatihan Program
CDCCAA dan Hubungannya Dengan Perilaku Komunikasi Saat
Pelatihan Program
7 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

48
51
54

61
61
62
63
67
74

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Komunikasi risiko dan adaptasi perubahan iklim
Komunikasi perubahan iklim yang efektif
Definisi operasional variabel perilaku terhadap risiko perubahan iklim
pelatihan program CDCCAA
Definisi operasional variabel perilaku komunikasi petani pelatihan
program CDCCAA
Definisi operasional variabel karakteristik individu
Definisi operasional variabel penilaian terhadap pelatihan program
CDCCAA
Definisi operasional variabel kekosmopolitan
Deskripsi Desa Kalianyar dan Desa Panguragan tahun 2015
Karakteristik individu responden program pelatihan CDCCAA di
Kecamatan Panguragan tahun 2015
Jumlah dalam persen responden menurut perilaku komunikasi pada
pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015
Nilai outer loading variabel X1 (karakteristik individu)
Penilaian terhadap pembicara menurut peserta saat pelatihan CDCCAA
di Kecamatan Panguragan tahun 2015
Penilaian terhadap fasilitas menurut peserta saat pelatihan CDCCAA di
Kecamatan Panguragan tahun 2015
Nilai outer loading variabel X2 (penilaian terhadap program)
Sebaran jawaban kognitif responden program pelatihan CDCCAA di
Kecamatan Panguragan tahun 2015
Prosentase skor afektif dan kecenderungan bertindak responden
program pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015
Kekosmopolitan responden program pelatihan CDCCAA di
Kecamatan Panguragan tahun 2015
Nilai outer loading variabel X3 (kekosmopolitan)
Nilai outer loading variabel Y1 (perilaku komunikasi saat pelatihan)
Nilai outer loading variabel Y2 (perilaku terhadap risiko perubahan
iklim)
Nilai koefisien, nilai t hitung, keputusan signifikansi antar variabel

17
18
25
25
26
27
28
34
40
43
44
45
46
47
48
49
51
54
55
56
59

DAFTAR GAMBAR
1

2
3

Kerangka berpikir komunikasi petani pada pelatihan adaptasi
perubahan iklim (CDCCAA) di Kecamatan Panguragan Kabupaten
Cirebon.
Model PLS komunikasi petani pada pelatihan adaptasi perubahan iklim
(CDCCAA) di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon.
Model bootsrap komunikasi petani pada pelatihan adaptasi perubahan
iklim (CDCCAA) di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon.

23

57
59

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Uji Validitas dan Reliabilitas
Analisa SEM dengan menggunakan software statistik SMART PLS
Dokumentasi Penelitian

66
67
70

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi alam yang sangat
luar biasa. Dengan iklimnya yang tropis, kondisi Indonesia berpotensi untuk
memiliki sumber daya pertanian yang baik, dan hal tersebutlah yang menjadi
keunggulan di Indonesia sebagai negara agraris. Akan tetapi, teknologi serta
pembangunan yang semakin banyak justru menjadi bumerang bagi pelakunya, hal
tersebut disebabkan karena pengembangan teknologi dan pembangunan tersebut
tidak disertai dengan penjagaan alam dan penanggulangan dampak yang benar.
Adanya campur tangan pihak asing, dan terjadi modernisasi tanpa pemeliharaan
yang baik pada alam serta ditambah juga pertambahan penduduk yang juga berarti
bertambahnya keinginginan manusia, maka terjadilah kerusakan lingkungan yang
berakibat pula pada perubahan iklim.
Menurut Bjorkman (2007), perubahan iklim terjadi karena banyaknya
kerusakan di muka bumi. Kerusakannya terutama terjadi melalui produksi gas
rumah kaca, yaitu gas yang memiliki efek yang sama dengan atap sebuah rumah
kaca. Gas-gas itu memungkinkan sinar matahari menembus atmosfer bumi
sehingga menghangatkan bumi, tetapi gas-gas ini mencegah pemantulan kembali
sebagian udara panas ke ruang angkasa. Akibatnya, bumi dan atmosfer, perlahanlahan memanas. Gas rumah kaca utama yang terus meningkat adalah karbon
dioksida. Gas ini adalah salah satu gas yang secara alamiah keluar ketika manusia
menghembuskan napas, juga dihasilkan dari pembakaran batu bara, atau kayu,
atau dari penggunaan kendaraan berbahan bakar bensin dan solar. Sebagian dari
karbon dioksida ini dapat diserap kembali, antara lain melalui proses fotosintesis
yang merupakan bagian dari proses pertumbuhan tanaman atau pohon. Namun,
kini kebanyakan negara memproduksi karbon dioksida secara jauh lebih cepat
ketimbang kecepatan penyerapannya oleh tanaman atau pohon, sehingga
konsentrasinya di atmosfer meningkat secara bertahap.
Berubahnya iklim dapat dilihat pada Laporan Keempat dari
Intergovernmental Panel on Climate Change Assessment Report 4/AR4 IPCC
akhir tahun 2007 . Laporan ini menyebutkan perubahan suhu akhir-akhir ini telah
berdampak kepada banyak sistem fisik dan biologis alam. Laporan kelompok
kerja yang bertanggung jawab atas pengetahuan dan teknologi (Scientific &
Technology) bahkan memperkirakan akhir abad 21, suhu bumi akan naik sebesar
1.8–4ºC, sedangkan permukaan air laut akan naik setinggi 28 – 43 cm. Dalam data
IPCC pada tahun sebelumnya, yaitu 2001 disebutkan bahwa dari tahun 18501899, 2001-2005 peningkatan suhu sebesar 0,76°C dan peningkatan air laut
diperkirakan sebesar 1.8 mm pada periode 1961 sampai 2003 (Mochamad 2013).
Perubahan iklim bukan saja merusak keseimbangan alam, dan berakibat
pada bencana alam, erosi, kekeringan lahan dan sungai ataupun banjir yang
semakin sering, perubahan iklim juga merupakan penyebab bertambahnya
kemiskinan di Indonesia. Perubahan iklim telah merubah segala sektor, terutama

2

pertanian, terjadinya penguapan yang semakin banyak membuat curah hujan juga
semakin meningkat yang dapat mengakibatkan banjir dan sekaligus menyebabkan
kekeringan di tempat lain, hal tersebut pula yang merubah pola tanam serta
keberhasilan panen para petani. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut dan
kondisi alam semakin terpuruk, maka Indonesia akan mengalami rawan pangan
(Lal 2013).
Perubahan iklim ini juga sudah menjadi permasalahan lintas negara. Pada
pertemuan negara-negara anggota PBB di Kyoto, Jepang pada Desember 1997,
dan menghasilkan Protokol Kyoto. Protokol tersebut berisi bahwa negara-negara
yang telah meratifikasinya bersepakat untuk mengurangi emisi gas karbon
dioksida dan gas rumah kaca (GKR). Indonesia sendiri menandatangani ratifikasi
Protokol Kyoto pada tahun 2004 dan Indonesia akan mendapatkan dana untuk
melakukan proyek yang dapat mengurangi gas rumah kaca yang telah banyak
disumbangkan oleh negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, Jepang, setra
negara-negara di Eropa (Wardhana 2010), padahal perubahan iklim tidak
disebabkan oleh Indonesia saja, dan dengan meratifikasi protokol tersebut,
Indonesia mejadi negara yang harus menanggung penaggulangan risiko perubahan
iklim, padahal permasalahan perubahan iklim merupakan permasalahan global,
dan sudah seharusnya semua negara bekerja sama untuk menaggulanginya, tidak
hanya dibebankan pada negara yang memiliki hutan yang luas saja.
Kerusakan alam dan perubahan iklim akan berdampak paling tinggi pada
komunitas masyarakat yang paling miskin dan justru tidak memiliki sumbangsih
terhadap perubahan iklim tersebut. Hal ini dikarenakan mereka tidak dapat
melakukan upaya untuk mencegah adanya dampak dari perubahan iklim karena
tidak ada kemampuan. Para buruh tani, penduduk atau suku yang asli pada suatu
daerah, penduduk yang tinggal di tepi pantai, merupakan beberapa contoh para
komunitas yang sangat rentan pada perubahan iklim. Mereka hanya bisa
beradaptasi untuk menghadapinya. Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan
suatu proses yang masyarakat memiliki kemampuan dari dalam dirinya sendiri
dalam menghadapi ketidak pastian (iklim) dimasa datang (Word Bank, 2008
dalam Handoko, Sugiarto dan Syaukat, 2008). Menurut Mochamad (2013), apa
yang terjadi pada dunia saat ini adalah akibat dari perubahan iklim yang tentunya
bagi negara-negara yang rentan menjadikan dirinya dalam situasi dan kondisi
yang sama dalam menempatkan adaptasi sebagai aspek yang penting dan
mendesak (priority and urgent). Dalam hal ini masyarakat mampu
mengembangkan cara-cara tertentu yang dapat mengurangi dampak negatif dari
perubahan iklim dengan melakukan penyesuaian dan perubahan secara tepat pada
aktivitas mereka. Hal ini dapat berupa penyesuaian teknologi hingga perubahan
tingkah laku individual, seperti perubahan jenis tanaman ketika ketersediaan air
mulai menipis (Handoko et al. 2008).
Setiap individu dituntut untuk dapat beradaptasi dan mempersiapkan diri
untuk menghadapi bencana alam akibat perubahan iklim. Namun, penelitian
terbaru menunjukkan bahwa orang hanya akan mengubah sikap mereka terhadap
hal yang ilmiah seperti perubahan iklim ketika pemahaman ilmiah dan informasi
sudah secara luas dikomunikasikan (Boon 2013). Hal tersebut sangat relevan
dengan progam pemerintah, yaitu program CDCCAA (Capacity Development for

3

Climate Change Adaptation in Agriculture and Other Relevant Sectors) yang
ditujukan untuk mengkomunikasikan dampak perubahan iklim serta peningkatan
kapasitas adaptif terutama pada sektor irigasi pada petani dan merubah persepsi
petani terhadap perub iklim, karena dari beberapa dampak perubahan iklim,
masalah pengairan pada lahan pertanian harus segera diatasi, dan Kabupaten
Cirebon merupakan salah satu daerah lumbung padi di Jawa Barat, sehingga
program tersebut merupakan kegiatan prioritas di Kabupaten Cirebon.
Akan tetapi, kegiatan atau program tersebut tidak akan berjalan dengan baik
jika tidak ada komunikasi yang baik juga. Petani harus mengerti betapa
pentingnya kegiatan mitigasi dan adaptasi, dan seberapa bahayanya perubahan
iklim pada sektor pertanian, sehingga, jika petani sudah memiliki pengetahuan
tersebut, diharapkan dapat merubah persepsi dan sikap petani terhadap perubahan
iklim, sehingga ikut serta dalam kegiatan adaptasi. Selain hal tersebut, untuk
meningkatkan kapasitas adaptasi petani, penyuluh juga harus tahu apa kebutuhan
petani lokal, dan apa permasalahan ilkim pada daerah tersebut, sehingga selain
meningkatkan kapasitas adaptif, petani diharapkan menjadi berdaya dan mandiri.
Namun tidaklah mudah untuk mengkomunikasikan risiko dari perubahan iklim,
karena informasi perubahan iklim adalah informasi yang tidak menentu, dalam
artian, dapat terjadi kapan saja, bisa sangat cepat, maupun sangat lambat, sehingga
dibutuhkan strategi komunikasi yang baik dalam menyampaikan pesannya.
Peneliti, yang lebih mengerti secara teknis mengenai perubahan iklim dan
bagaimana cara beradaptasi harus merubah terminologi dan strategi komunikasi
untuk kejasama yang lebih baik (baik petani maupun non petani), serta
meyakinkan bahwa penduduk mengerti mengenai isu perubahan iklim, dimana
peneliti mengembangkan tingat ketahanan dari adanya perubahan cuaca
berdasarkan strategi mitigasi dan adaptasi (Buys et al. 2011) dan penyuluh
sebagai penyampai pesan langsung ke petani tidak hanya menyampaikan
informasi mengenai risiko perubahan iklim saja kepada petani, namun juga harus
bisa menginspirasi petani untuk berbuat sesuatu terhadap masalah tersebut.
Menurut Bray et al. (2011) faktor yang mempengaruhi bagaimana risiko
ditafsirkan, mencakup karakteristik individu serta persepsi seseorang dan cara
mengkomunikasikannya akan memberikan pengaruh terhadap pemahaman yang
sistematis tentang kerentanan pada individu, dengan demikian karakteristik yang
dimiliki setiap orang akan mempengaruhi persepsi, sikap, pengetahuan serta
tindakan yang berbeda ketika diberikan informasi dari penyuluh.
Hal tersebut juga didukung oleh Lieske et al. (2013) yang menyatakan
bahwa persepsi terhadap perubahan iklim juga dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah latar belakang sosial, orientasi budaya, watak dan perilaku,
dimana faktor-faktor tersebut menyulitkan dalam penyusunan bahan penyampaian
komunikasi risiko (Slovic 1987; Cole, 2005 dalam Lieske et al. 2013). Setiap
orang juga merespon secara berbeda terhadap penyajian informasi yang berbeda,
dibedakan oleh pendidikan, jenis kelamin, dan lain-lain, namun pada praktiknya,
komunikator risiko sering terlalu bergantung pada teknis pendapat ahli tentang
apa yang harus dikomunikasikan daripada langsung menilai persepsi khalayak
yang mereka tuju. Dengan alasan tersebut dibutuhkan penilaian petani terhadap
program yang akan mereka terima, dan sejauh mana penilaian tersebut
berpengaruh pada komunikasi pada saat pelatihan berlangsung.

4

Penelitian Pittman et al. (2011) menyatakan bahwa ketidakmampuan untuk
mengatur dan bekerja sama dapat menjadi hambatan besar untuk adaptasi.
Beradaptasi dengan kondisi ekonomi, iklim dan sosial masih cukup menantang
dan sulit tercapai dalam kasus-kasus tertentu, irigasi telah secara signifikan
mengurangi eksposur terhadap kekeringan dan variabilitas curah hujan namun
dikarenakan faktor ekonomi, kelembagaan dan kondisi sosial, dan nilai-nilai lokal,
mengakibatkan pertanian irigasi belum dikembangkan secara maksimal. Sulitnya
beradaptasi membuat persepsi petani memandang perubahan iklim sebagai
sesuatu yang tidak penting untuk ditanggulagi.
Perilaku petani juga merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk melihat
bagaimana komunikasi perubahan iklim dilakukan. Menurut Hallam, Bowden dan
Kasprzyk (2012), dalam menjalani hidup sehari-hari, petani umumnya akan
melakukan apa yang mereka selalu lakukan, apa impuls yang memberitahu untuk
mereka lakukan, atau mengikuti apa yang petani lain lakukan, bahkan ketika hal
tersebut mungkin bukan pilihan yang paling menguntungkan bagi mereka, petani
tidak melakukan analisis biaya manfaat yang rumit ketika dihadapkan dengan
pilihan. Prendergast et al (2008) dalam Hallam, Bowden dan Kasprzyk (2012)
berfokus pada tiga pendorong utama perilaku yaitu faktor eksternal (keuangan dan
biaya usaha), faktor internal (kebiasaan dan proses kognitif) dan faktor sosial
(perilaku yang dipelajari, nilai-nilai pribadi dan sosial, dinamika kelompok, dan
komitmen sosial). Beberapa perbedaan faktor penentu perilaku tersebut,
seharusnya menentukan pula bagaimana pesan dan kebijakan perubahan iklim
disampaikan, karena tidak semua petani memiliki pola pikir dan status ekonomi
yang sama sehingga dapat langsung mempraktikan teori yang telah disampaikan
(OECD 2012).
Masalah-masalah yang terjadi tersebut, diduga merupakan perbedaan
persepsi mengenai perubahan iklim, sehingga pelatihan merupakan salah satu
inisiasi cara untuk menanggulangi risiko dari perubahan iklim, dibutuhkan juga
analisis komunikasi program pelatihan, untuk melihat seberapa jauh pengetahuan,
sikap petani, serta perubahan perilaku petani, serta tindakan apa yang dilakukan
setelah mengikuti pelatihan dari materi yang sudah diberikan oleh penyuluh, dan
seperti apa penyuluh mengemas pesan,untuk membentuk persepsi petani
mengenai perubahan iklim, karena menurut Somerville dan Hassol (2011),
komunikasi perubahan iklim yang efektif tidak harus berupa ceramah ataupun
perkuliahan, namun sebuah percakapan dimana seseorang benar-benar meningkat
rasa kepeduliannya. Wirth, et al. (2014) juga menyatakan bahwa komunikasi yang
efektif pada perubahan iklim ditandai dengan meningkatnya kesadaran,
meningkatnya pengetahuan, memotivasi untuk melakukan tindakan.
Diduga, pelatihan tidak diset sebelumnya untuk merubah perilaku dan
persepsi mengenai perubahan iklim dari masyarakat petani, sehingga dibutuhkan
penelitian untuk melihat bagaimana perilaku komunikasi saat pelatihan dan
adakah hubungannya dengan karakteristik individu dari petani. Penelitian ini juga
akan menganalisis evaluasi dari program pelatihan dengan melihat penilaian
petani terhadap pembicara dan fasilitas yang ada pada pelatihan, apakah penilaian
tersebut berhubungan dengan karakteristik individu dan perilaku komunikasi saat
pelatihan serta adakah hubungan tingkat kekosmopolitan terhadap perilaku

5

komunikasi pada saat pelatihan tersebut, dan bagaimana faktor-faktor tersebut
berpengaruh pada perilaku terhadap risiko perubahan iklim yang dilihat dari
tindakan yang akan dilakukan petani bersama pemerintah setelah adanya pelatihan
tersebut untuk upaya meningkatkan hasil pertanian serta memperbaiki sistem
irigasi meskipun terdapat ancaman bahaya dari perubahan iklim.
Perumusan Masalah
Informasi mengenai perubahan iklim merupakan informasi yang tidak pasti
(bersifat prediksi), sehingga sulit untuk mengkomunikasikannya. Selama ini
perubahan iklim juga hanya dikomunikasikan pada kalangan akademisi, padahal
petani di Indonesia membutuhkan informasi mengenai perubahan iklim,
permasalahan utama dari penelitian ini adalah bagaimana mengkomunikasikan
informasi dari risko perubahan iklim kepada petani, dimana informasi perubahan
iklim merupakan informasi yang sulit dipahami oleh petani. Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini diharapkan dapat
menjawab permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana perilaku komunikasi saat pelatihan program CDCCAA pada
petani?
b. Apakah karakteristik individu berhubungan dengan perilaku komunikasi saat
pelatihan program CDCCAA?
c. Apakah perilaku komunikasi saat pelatihan program CDCCAA berhubungan
dengan karakteristik individu dan penilaian pelatihan program?
d. Apakah perilaku terhadap risiko perubahan iklim pada pelatihan berhubungan
dengan perilaku komunikasi saat pelatihan program dan tingkat
kekosmopolitan?
Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana
komunikasi pelatihan adaptasi perubahan iklim pada petani dapat berkontribusi
dalam mengatasi dampak perubahan iklim terhadap pertanian dengan membentuk
persepsi perubahan iklim pada petani. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini
adalah:
a. Mendeskripsikan perilaku komunikasi saat pelatihan program CDCCAA pada
petani.
b. Menganalisis hubungan karakteristik individu dengan perilaku komunikasi saat
pelatihan program CDCCAA.
c. Menganalisis hubungan perilaku komunikasi saat pelatihan program CDCCAA
dengan penilaian pelatihan program.
d. Menganalisis hubungan perilaku terhadap risiko perubahan iklim pada
pelatihan dengan perilaku komunikasi saat pelatihan program dan tingkat
kekosmopolitan.

6

Manfaat Penelitian
a. Mengetahui tingkat pemahaman petani tentang dampak perubahan iklim.
b. Mengetahui bagaimana petani beradaptasi terhadap perubahan iklim.
c. Mengetahui evaluasi program sehingga dapat digunakan instansi terkait untuk
mengembangkan strategi komunikasi perubahan iklim yang lebih efektif.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup wilayah kajian penelitian yang dilakukan meliputi petani di
Desa Kalianyar dan Desa Panguragan, Kabupaten Cirebon yang yang mengikuti
pelatihan program CDCCAA. Ruang lingkup peubah yang dibahas terbatas pada
peubah bebas yang merupakan karakteristik individu (umur, pendidikan formal,
pengalaman bertani, pengalaman memakai irigasi, jarak domisili petani dengan
tempat pelatihan, luas lahan garapan, pekerjaan utama, pekerjaan tambahan) dan
penilaian petani terhadap pelatihan program CDCCAA (kapabilitas sumber
kesesuaian materi program dengan kebutuhan petani, ketepatan waktu
penyampaian materi, fasilitas pelatihan).
Pada peubah terikat yaitu perilaku komunikasi petani saat pelatihan program
CDCCAA (frekuensi bertanya pada saat pelatihan berlangsung, frekuensi petani
mencari informasi mengenai program CDCCAA, frekuensi petani menghadiri
pelatihan program CDCCAA, keinginan petani berpartisipasi pada program
CDCCAA) dan perilaku terhadap risiko perubahan iklim pada pelatihan program
CDCCAA (kognitif, afektif, kecenderungan bertindak setelah pelatihan, dimana
variabel-variabel tersebut merupakan persepsi petani terhadap perubahan iklim).

2 TINJAUAN PUSTAKA

Fakta Mengenai Perubahan Iklim dan Penyebabnya
Perubahan iklim merupakan permasalahan di dunia saat ini. Mochamad
(2013) menyatakan beberapa fakta mengenai perubahan iklim. Laporan terbaru
yang dikeluarkan IPCC, Assessment Report ke lima yang dirilis 2013,
menyebutkan di akhir abad 21 peningkatan suhu permukaan global diproyeksikan
melebihi 1.5-2°C relatif terhadap tahun 1850-1900 pada sebagian besar scenario.
Peningkatan suhu akan terus terjadi bahkan setelah tahun 2100. Peningkatan GRK
(Gas Rumah Kaca) juga menyebabkan kawasan belahan bumi utara pada periode
1983 – 2012 menjadi periode 30 tahunan terhangat dalam periode 1400 tahun
terakhir. Laju peningkatan tinggi muka air laut terus meningkat sejak pertengahan
abad ke-19. Tinggi muka air laut global telah meningkat 0.19 meter dalam rentang
periode 1901-2010. Selama abad ke-21 mendatang laju peningkatan tinggi muka
air laut akan terus meningkat melewati hasil observasi antara tahun 1971-2010
sebagai dampak pemanasan lautan dan mencairnya glasier serta lapisan es di
permukaan bumi.

7

Tahun 1998, 1997 dan 1995 merupakan tahun terpanas dalam dekade dan
abad terpanas. Berdasarkan data iklim yang disampaikan oleh Pusat Data Iklim
Nasional Amerika Serikat, pada akhir abad ke 20 ini bumi mengalami pemanasan
sebesar 0.25°C setiap tahun (Pearce 2003 dalam Mochamad 2013 ). Data yang
dimuat dalam OFDA/CRED International Disaster Database (2007, dalam
Mochamad 2013), menyebut bahwa tahun 1990-an merupakan periode dimana
terdapat sepuluh bencana terbesar di Indonesia sepanjang periode tahun 1907 dan
2007. Sebagian besar bencana tersebut sangat terkait dengan iklim, seperti banjir,
kekeringan, kebakaran hutan dan ledakan penyakit. Total kerugian ekonomi
mencapai kurang lebih 26 milyar dimana 70% dikontribusikan oleh iklim
(Mochamad 2013).
Penelitian Lal (2013) juga menyebutkan bahwa, salah satu tantangan
keamanan pangan adalah pada perubahan iklim, karena perubahan iklim mebuat
tanah terdegradasi oleh erosi dan ketidak seimbangan unsur tanah. Ketersedian air
juga menurun, belum lagi jika penduduk bertambah banyak serta adanya
persaingan lahan untuk bidang non pertanian, dengan alasan tersebut, maka
dibutuhkan kebijakan dari pemerintah agar perubahan iklim tidak menimbulkan
krisis pangan.
Khusus mengenai Indonesia, disebutkan bahwa kawasan Selatan akan
mengalami penurunan curah hujan dan sebaliknya kawasan Utara akan mengalami
peningkatan curah hujan. Ancaman kekeringan akibat gejala El-Nino tentunya
pula akan menjadi faktor pendorong kebakaran hutan yang selama ini telah
menghilangkan jutaan hektar lahan hutan. Menurut Irawan (2006), frekuensi
kejadian El-Nino cenderung meningkat dengan durasi yang semakin panjang,
tingkat anomali iklim yang semakin besar, dan siklus kejadian yang semakin
pendek. Anomali iklim tersebut menyebabkan penurunan curah hujan dan
ketersediaan air irigasi yang selanjutnya berimplikasi para penurunan produksi
pangan sebesar 3.06% untuk setiap kejadian El-Nino
Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian di Indonesia
Perubahan iklim merupakan hal yang dapat berdampak besar pada bidang
pertanian. Menurut Banlitbang Pertanian (2011) secara umum, perubahan iklim
akan berdampak terhadap penciutan dan degradasi (penurunan fungsi)
sumberdaya lahan, air dan infrastruktur terutama irigasi, yang menyebabkan
terjadinya ancaman kekeringan atau banjir. Salah satu contohnya adalah tingkat
kerusakan jaringan irigasi yang cukup tinggi. Diperkirakan saat ini jaringan irigasi
yang tidak berfungsi dengan baik mencapai 70%,sehingga mengurangi efisiensi
penggunaan air (Ditjen PLA 2007 dalam Banlitbang Pertanian 2011). Perubahan
pola curah hujan juga menyebabkan penurunan ketersediaan air pada waduk,
terutama di Jawa. Sebagai contoh, selama 10 tahun rata-rata volume aliran air dari
DAS Citarum yang masuk ke waduk menurun dari 5.7 milyar m3 menjadi 4.9
milyar m3 per tahun (Bappenas 2009 dalam Banlitbang Pertanian 2011). Kondisi
tersebut berimplikasi terhadap turunnya kemampuan waduk Jatiluhur mengairi
sawah di Pantura Jawa. Kondisi yang sama ditemui pada waduk lain di Jawa,
seperti Gajahmungkur dan Kedung Ombo. Data menunjukkan, tingkat kerentanan
lahan pertanian terhadap kekeringan cukup bervariasi antar-wilayah, terutama

8

lahan sawah di beberapa wilayah di Sumatera dan Jawa. Dari 5.14 juta ha lahan
sawah yang dievaluasi, 74 ribu ha di antaranya sangat rentan dan sekitar satu juta
ha rentan terhadap kekeringan. Kekeringan yang lebih luas terjadi pada tahuntahun El Nino, dimana rata-rata luas wilayah pertanaman padi yang mengalami
kekeringan pada periode 1989-2006 lebih dari 2.000 ha per kabupaten, antara lain
di Pantai Utara Jawa Barat, terutama Kabupaten Indramayu, sebagian Pantai Utara
Nanggroe Aceh Darusalam, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat,
Kalimantan Selatan, dan Lombok.
Selain kekeringan, di tempat lain, dampak perubahan iklim juga berpotensi
menimbulkan banjir pada lahan pertanian, serta longsor pada daerah pertanian di
dataran tinggi. Hal ini diakibatkan oleh pola curah hujan yang berubah. Imbasnya
adalah pada tanaman pangan yang sifatnya sangat peka terhadap air (tidak boleh
terlalu banyak maupun terlalu sedikit), hal tersebut dapat berdampak pada
berkurangnya produksi saat panen, bahkan kegagalan panen maupun kerusakan
lahan pertanian. Menurut Banlitbang Pertanian (2011) pergeseran pola hujan
mempengaruhi sumberdaya dan infrastruktur pertanian yang menyebabkan
bergesernya waktu tanam, musim, dan pola tanam, serta degradasi lahan. Adanya
kecenderungan pemendekan musim hujan dan peningkatan curah hujan di Bagian
Selatan Jawa dan Bali mengakibatkan perubahan awal dan durasi musim tanam,
sehingga mempengaruhi indeks penanaman (IP), luas areal tanam, awal waktu
tanam dan pola tanam. Mundurnya awal musim hujan selama 30 hari dapat
menurunkan produksi padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah sebanyak 6.5% dan di
Bali mencapai 11% dari kondisi normal. Sebaliknya, di Bagian Utara Sumatera
dan Kalimantan ada kecenderungan perpanjangan musim hujan dengan intensitas
yang lebih rendah, yang mengakibatkan pemanjangan musim tanam dan
peningkatan IP. Namun produktivitas lahan di Sumatera dan Kalimantan tidak
sebaik di Jawa.
Selain permasalahan-permasalahan tersebut, terdapat dampak perubahan
iklim yang berimbas pada menurunnya produktifitas ternak, meskipun belum
dilakukan lebih lanjut, namun kekeringan dapat mengurangi pakan alami pada
ternak. Selain itu, kelembaban udara yang berubah juga membuat hama dan virus
pada tanaman berkembang dengan baik.
Perubahan Iklim dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial
Berbagai hasil penelitian di bidang perubahan iklim, mengindikasikan
bahwa perubahan iklim dan dampaknya sedang terjadi di Indonesia, indikasi
tersebut terlihat dengan adanya kenaikan temperatur permukaan air laut,
perubahan pola musim hujan, kenaikan muka air laut dan semakin tingginya
frekuensi kejadian perubahan iklim yang bersifat ekstrim. Selain itu, perubahan
iklim juga memberikan dampak yang nyata dengan makin tingginya angka
bencana alam, perubahan pola penyebaran beberapa penyakit, perubahan pola
tanam dan pola panen yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Peristiwa
tersebut menunjukkan bahwa Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang
sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kerentanan tersebut telah mulai
mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat yang jika tidak segera
diantisipasi, dikhawatirkan akan mengganggu pencapaian tujuan pembangunan.

9

Hal ini mendorong kita untuk beradaptasi secara bijaksana terhadap perubahan
iklim, sehingga kita dapat menyesuaikan diri dan memperkuat ketahanan dalam
mengamankan tujuan-tujuan pembangunan nasional.
Bjorkman (2007) menyatakan kenaikan muka air laut yang dapat
menggenangi ratusan pulau dan menenggelamkan batas wilayah negara Indonesia.
Musim tanam dan panen yang tidak menentu diselingi oleh kemarau panjang yang
menyengsarakan. Banjir melanda sebagian besar jalan raya di berbagai kota besar
di pesisir. Air laut menyusup ke delta sungai, menghancurkan sumber nafkah
pengusaha ikan. Anak-anak menderita kurang gizi akut. Itu bukan berita
perubahan iklim kita yang biasa. Umumnya berita perubahan iklim di Indonesia
berkisar pada soal penggundulan hutan secara besar-besaran, kebakaran hutan,
kerusakan lahan rawa, serta hilangnya serapan karbondioksida, yang
menempatkan Indonesia sebagai penyumbang utama pemanasan global. Bangsa
Indonesia juga akan menjadi korban utama perubahan iklim, dan bila kita tidak
segera belajar beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini, jutaan rakyat akan
menanggung akibat buruknya. Perubahan iklim mengancam berbagai upaya
Indonesia untuk memerangi kemiskinan. Dampaknya dapat memperparah
berbagai risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh rakyat miskin, serta menambah
beban persoalan yang sudah di luar kemampuan mereka untuk menghadapinya.
Dengan demikian, perubahan iklim menghambat upaya orang miskin untuk
membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri dan keluarga mereka.
Dalam laporannya, Bjorkman (2007) mengutarakan beberapa ancaman
utama perubahan iklim terhadap rakyat miskin, antara lain:
1. Sumber nafkah - Pengaruh perubahan iklim lebih berat menimpa masyarakat
paling miskin. Banyak di antara mereka mencari nafkah di bidang pertanian atau
perikanan sehingga sumber-sumber pendapatan mereka sangat dipengaruhi oleh
iklim. Apakah itu di perkotaan ataukah di pedesaan mereka pun umumnya tinggal
di daerah pinggiran yang rentan terhadap kemarau panjang, misalnya, atau
terhadap banjir dan longsor. Terlalu banyak atau terlalu sedikit air merupakan
ancaman utama perubahan iklim. Dan ketika bencana melanda mereka nyaris
tidak memiliki apapun untuk menghadapinya.
2. Kesehatan - Curah hujan lebat dan banjir dapat memperburuk sistem sanitasi
yang belum memadai di banyak wilayah kumuh di berbagai daerah dan kota,
sehingga dapat membuat masyarakat rawan terkena penyakit-penyakit yang
menular lewat air seperti diare dan kolera. Suhu tinggi dan kelembapan tinggi
yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan kelelahan akibat kepanasan
terutama di kalangan masyarakat miskin kota dan para lansia. Dan suhu yang
lebih tinggi juga memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah baru menimbulkan ancaman malaria dan demam berdarah dengue.
3. Ketahanan pangan - Wilayah-wilayah termiskin juga cenderung mengalami
rawan pangan. Beberapa wilayah sudah amat rentan terhadap berubah-ubahnya
iklim. Kemarau panjang diikuti oleh gagal panen di Nusa Tenggara Timur,
misalnya,sudah menimbulkan akibat yang parah dan kasus kurang gizi akut
tersebar di berbagai daerah di seluruh provinsi ini.

10

4. Air - Pola curah hujan yang berubah-ubah juga mengurangi ketersediaan air
untuk irigasi dan sumber air bersih. Di wilayah pesisir, kesulitan air tanah disertai
kenaikan muka air laut juga akan memungkinkan air laut menyusup ke sumbersumber air bersih.
Sejauh ini, perhatian terhadap perubahan iklim terutama difokuskan pada
„mitigasi‟ dan utamanya pada upaya-upaya untuk menurunkan karbon dioksida.
Semua tindakan ini penting, tetapi bagi masyarakat termiskin, yang hanya punya
andil kecil saja terhadap emisi gas tersebut, prioritas yang paling mendesak adalah
menemukan berbagai cara untuk mengatasi kondisi lingkungan hidup yang baru
ini yaitu beradaptasi. Meski mereka tidak menyebutnya dengan istilah „adaptasi‟,
banyak yang telah berpengalaman dalam „adaptasi‟ ini. Orang-orang yang tinggal
di daerah yang rawan banjir, misalnya, sejak dulu sudah membangun rumah
panggung. Para petani di wilayah yang sering mengalami kemarau panjang sudah
belajar untuk melakukan diversifikasi pada sumber pendapatan mereka, misalnya
dengan menanam tanaman pangan yang lebih tahan kekeringan dan dengan
mengoptimalkan penggunaan air yang sulit didapat, atau bahkan berimigrasi
sementara untuk mencari kerja di tempat lain. Yang masih perlu dilakukan
sekarang ini adalah mengevaluasi dan membangun di atas kearifan tradisional
yang sudah ada itu untuk membantu rakyat melindungi dan mengurangi
kerentanan sumber-sumber nafkah mereka (Bjorkman, 2007).
Kerentanan Terhadap Perubahan Iklim
Dalam literatur perubahan iklim, kerentanan dianggap fungsi paparan,
sensitivitas, dan kapasitas adaptif dari sistem (Yohe dan Tol 2002; Smit dan
Pilifosova 2003; Turner et al. 2003; Ford dan Smit 2004; Luers 2005; Smit dan
Wandel 2006; Muda et al. 2010 dalam Spence dan Pidgeon 2009). Paparan
mengacu pada sifat stimulus dan sejauh mana sistem ini tidak dilindungi dari efek
stimulus ini, yang merupakan refleksi dari karakteristik hunian, atau sensitivitas,
sistem (Downing 2003; Smit dan Pilifosova 2003; Smit dan Wandel 2006 dalam
Spence dan Pidgeon 2009). Karakteristik hunian dilihat dari sosial, politik,
ekonomi, budaya, kelembagaan dan kondisi lingkungan yang menentukan
sensitivitas atau kemampuan sistem untuk merespon stimulus (Smit dan Wandel
2006 dalam Spence dan Pidgeon 2009).
Sedangkan menurut Daze, et al. (2009) kerentanan terhadap perubahan
iklim didefinisikan sebagai derajat yang mana sistem rentan terhadap, atau tidak
bisa menghadapi, berbagai dampak buruk perubahan iklim, termasuk
keberagaman iklim dan iklim ekstrim. Kerentanan adalah sebuah fungsi karakter,
ukuran kekuatan, dan laju keberagaman iklim yang mana sistem terpapar,
sensitivitasnya, dan kemampuan adapatifnya. Untuk memastikan program
pembangunan bisa mengurangi kerentanan manusia terhadap perubahan iklim,
kita harus memahami siapa yang rentan terhadap dampak perubahan iklim
tersebut dan mengapa. Kemudian, kita harus menerapkan informasi ini dengan
merancang, mengimplementasikan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan.
Mochamad (2013) menyampaikan bahwa tentang kerentanan itu sendiri,
faktor-faktor yang mempengaruhinya tidaklah semata faktor iklim, namun juga
pengaruh faktor non iklim lainnya sangat besar, seperti tingkat kesehatan,

11

pendidikan, sosial ekonomi dan lingkungan yang kesemuanya dibentuk oleh
proses politik dan ekonomi (Kelly and Adger 2000; O‟Brien et al. 2004 dalam
Mochamad 2013). Apa yang menjadi penekanan terhadap faktor-faktor non iklim,
mencerminkan betapa urgensinya aspek sosial dan lingkungan dimana ekonomi
yang berkembang dapat tumbuh secara berkelanjutan. Terganggunya
keseimbangan ini sangat berpengaruh terhadap kuat atau rendahnya kehidupan
sosial, lingkungan dan ekonomi dari ancaman dan dampak perubahan iklim. Pada
dimensi sosial dan fisik, respon antisipasi perubahan iklim harus mencakup
keduanya. Antisipasi melalui adaptasi bertujuan untuk meningkatkan atau
memperkuat pembangunan manusianya. Tujuan ini lebih ditekankan pada aspek
ketahanan ekonomi dari masyarakatnya. Tujuan berikutnya adalah membangun
kapasitas atau kemampuan untuk merespon melalui kegiatan membangun
ketahanan dan mengelola risiko bencana akibat iklim. Terakhir, menekan dampak
yang ditimbulkan (OECD 2009 dalam Mochamad 2013). Secara struktural dan
kelembagaan, kapasitas menghadapi perubahan iklim mengakui pandangan
struktural yang menjelaskan struktur sosial, ekonomi dan politik serta institusi
yang berperan dalam pembuatan keputusan (Pelling 1997; Adger 1999 dalam
Mochamad 2013). Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Hinkel (2010) yang
menyatakan bahwa kerentanan merupakan hal yang harus diperhatikan dalam hal
kebijakan dan penelitian mengenai perubahan iklim.
Perubahan iklim akan berimbas kepada komunitas masyarakat yang
termiskin, mereka tidak dapat merubah keadaan dan mengurangi dampak
perubahan iklim, namun mereka dapat beradaptasi untuk dapat bertahan dalam
kondisi yang telah berubah. Menurut Rivera dan Wamsler (2014), adaptasi serta
pendidikan perubahan iklim telah menjadi hal yang mendesak dalam mengatasi
meningkatnya risiko perubahan iklim. Pernyataan tersebut didukung oleh
Mochamad (2013) yang menyatakan bahwa untuk menanggulangi risiko
perubahan iklim, maka dibutuhkan adanya pemahaman yang utuh antara adaptasi
perubahan iklim dan prosedur serta system penanggulangan bencana melalui
kemampuan untuk mengidentifikasi praktek pengurangan risiko dan dampak
bencana dalam bingkai adaptasi perubahan iklim. Dengan demikian proyek
adaptasi sepatutnya turut dalam memberikan pemikiran dan konsepnya mengenai
penanggulangan bencana dalam bingkai adaptasi perubahan iklim dan menyusun
strategi kampanye dan pendidikan mengenai perubahan iklim dan
penanggulangan bencana di daerah masing-masing.
Adaptasi dengan cakupan dan skala yang luas sudah jelas di luar
jangkauan apa yang selama ini kita anggap sebagai masalah-masalah lingkungan.
Seluruh departemen dalam pemerintahan dan perencanaan nasional perlu
mempertimbangkan perubahan iklim di dalam semua program mereka, berkenaan
persoalan-persoalan besar seperti ketahanan pangan, pemeliharaan jalan raya,
pengendalian penyakit, dan perencanaan tata kota. Namun, ini bukanlah tugas
pemerintah pusat belaka, tetapi harus menjadi upaya nasional yang melibatkan
pemerintah daerah, masyarakat, dan lembaga-lembaga non-pemerintah, serta
pihak swasta. Indonesia juga harus mampu mengandalkan bantuan internasional,
bukan saja untuk mitigasi tetapi juga pada berbagai tindakan yang akan
dibutuhkan untuk membantu masyarakat termiskin menghadapi akibat dari
berbagai kondisi cuaca yang makin tidak menentu dan makin ekstrem. Pemanasan

12

global merupakan tanggung jawab global. Namun, bagaimanapun, satu-satunya
cara bagi kita semua untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim adalah dengan
beralih ke bentuk-bentuk pembangunan yang lebih berkelanjutan, belajar untuk
hidup dengan cara-cara yang menghargai dan serasi dengan lingkungan hidup
kita. Mulai dari desa yang paling terpencil hingga ke perkotaan yang paling
modern kita semua merupakan satu kesatuan sistem alam yang kompleks, dan
rentan terhadap berbagai kekuatan alam. Begitu iklim berubah, manusia harus
berubah pula dengan cepat (Bjorkman 2007).
Pengembangan Masyarakat
Program pelatihan CDCCAA merupakan program pemberdayaan
masyarakat pada tingkat akar rumput, yaitu pada masyarakat petani, dimana
petani diharapkan dapat meningkatkan kapasitas adaptifnya untuk menghadapi
perubahan iklim. Menurut Ife dan Tesoriero (2006) pengembangan masyarakat
seharusnya mempertimbangkan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat,
karena anggota masyarakat memiliki pengalaman dari masyarakat tersebut tentang
kebutuhan akan masalah-masalahnya, kekuatan dan kelebihannya, dan ciri-ciri
khasnya. Pada dasarnya, masyarakat lokallah sebenarnya menjadi “ahli”, karena
masyarakat lokal memiliki pengetahuan, kearifan dan keahlian, dan peran pekerja
masyarakat adalah untuk mendengar dan belajar dari masyarakat akan kebutuhan
mereka.
Pemahaman tentang pemberdayaan petani merupakan suatu strategi yang
menitikberatkan pada bagaimana memberikan peran yang proporsional agar
petani dapat berperan secara aktif dalam aktivitas sosial kemasyarakatan. Untuk
upaya tersebut diperlukan proses pendidikan untuk mengubah sikap petani, dan
untuk membangkitkan kegairahan dan hasrat serta kepercayaan akan kemampuan
sendiri, dapat meningkatkan kemampuan swadaya (self help) perorangan dan
kelompok untuk memperbaiki nasib sendiri. Petani hendaknya berpartisipasi
dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan program pembanguna