Komunikasi Inovasi Padi Toleran Rendaman Untuk Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Dan Ketahanan Pangan Keluarga Petani

KOMUNIKASI INOVASI PADI TOLERAN RENDAMAN
UNTUK ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
DAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA PETANI

RITA NUR SUHAETI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Komunikasi Inovasi
Padi Toleran Rendaman untuk Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan Ketahanan
Pangan Keluarga Petani” adalah benar karya saya denganarahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Febuari 2016
Rita Nur Suhaeti
NIM I362100021

RINGKASAN
RITA NUR SUHAETI. Komunikasi Inovasi Padi Toleran Rendaman untuk
Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan Keluarga Petani.
Dibimbing oleh AIDA VITAYALA S. HUBEIS, TRI PRANADJI, MA’MUN
SARMA dan AMIRUDDIN SALEH.
Tantangan peningkatan produksi padi antara lain: (1) alih fungsi lahan; (2)
kehilangan hasil saat panen dan pascapanen; dan (3) dampak negatif perubahan
iklim. Hasil Litbang tentang padi diadopsi dalam waktu yang lama, misalnya
Varietas Ciherang dilepas tahun 2001 baru diadopsi secara massal sejak tahun
2007. Penurunan sifat-sifat unggul Varietas Ciherang dikhawatirkan akan
menurunkan produksi padi nasional. Salah satu varietas yang menjanjikan dan
dapat ditanam di lahan rawan banjir atau tergenang adalah Varietas Padi Toleran
Rendaman (PTR).
Tujuan penelitian: (1) mengidentifikasi unsur-unsur komunikasi (SMCR)
inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat; (2) menganalisis

tingkat difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat; (3)
menganalisis faktor eksternal yang berpengaruh terhadap tingkat difusi inovasi
PTR keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat; (4) menganalisis pengaruh
tingkat difusi inovasi PTR terhadap adaptasi perubahan iklim dan ketahanan
pangan keluarga petani di Provinsi Jawa Barat; dan (5) merumuskan strategi
peningkatan difusi inovasi PTR untuk adaptasi pada perubahan iklim dan
ketahanan pangan keluarga petani di Provinsi Jawa Barat.
Kebaruan penelitian: (1) Sistem difusi inovasi PTR yang tidak terintegrasi
dengan mekanisme pasar dan distribusi benih, memerlukan adanya “affirmative
action”; (β) Komunikasi inovasi PTR tidak akan berhasil tanpa dukungan
ketersediaan benih dan daya serap pasar; (3) Perempuan petani berperan lebih
aktif dari lelaki petani dalam menyampaikan informasi inovasi PTR dan
implementasinya; dan (4) Status sosial ekonomi petani berperan signifikan
sebagai penghela difusi inovasi PTR, adaptasi petani pada perubahan iklim dan
ketahanan pangan.
Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan survei yang
bersifat deskriptif eksplanatori, terutama untuk menganalisis peubah komunikasi
dalam proses difusi inovasi PTR untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan
ketahanan pangan keluarga petani. Lokasi penelitian adalah di tiga kabupaten
sentra-produksi padi yang rawan banjir/genangan yaitu Kabupaten Indramayu,

Subang dan Karawang. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan, yaitu Mei-Juni
2015. Populasi penelitian adalah keluarga petani yang lahan sawahnya berada di
wilayah rawan banjir di Kabupaten Indramayu, Subang dan Karawang Provinsi
Jawa Barat, dan pada periode 2007-2009 mendapat bagian benih PTR. Dari 119
orang populasi penelitian, diambil sampel secara sengaja (purposive sampling)
sebanyak 58 orang, yaitu keluarga petani yang dapat ditemui dan bersedia menjadi
responden penelitian, selebihnya keluarga penerima pembagian benih PTR
tersebut dalam kondisi sakit parah, meninggal dan pindah.
Hasil penelitian antara lain menunjukkan bahwa (1) Analisis unsur-unsur
komunikasi: (a) penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang memiliki kompetensi
tentang PTR dan dipercaya oleh petani walaupun menyampaikannya dengan

komunikasi satu arah; (b) kualitas hasil PTR menjadi pendorong adopsi inovasi di
tingkat petani, walaupun ketersediaan dan penggunaannya menjadi faktor
penghambat; (c) media komunikasi dominan diakses oleh petani adalah media
elektronik seperti TV dan HP, namun belum dimanfaatkan dengan baik untuk
menyampaikan informasi tentang PTR kepada petani; (d) profil keluarga petani
PTR umumnya ukuran keluarga berukuran kecil, berpenghasilan rendah, luas
penguasaan lahannya sempit, memiliki dua macam media, berstatus sosial rendah
dan keterlibatan dalam organisasi petani tinggi; (e) Perempuan petani lebih aktif

dalam menyampaikan informasi inovasi PTR dan melakukan pertukaran benih;
(2) difusi inovasi PTR petani dicirikan dengan tingkat pengetahuan rendah,
sedangkan tingkat persuasi dan keputusan menanam PTR ada pada kategori
sedang; (3) faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap difusi inovasi
adalah daya serap produksi PTR di pasaran dan kebijakan pemerintah tentang
PTR; (4) Difusi inovasi PTR pada tingkat persuasi dan keputusan petani
berpengaruh sangat nyata terhadap adaptasi perubahan iklim dan ketahanan
pangan, namun pada tingkat pengetahuan petani berpengaruh nyata negatif
terhadap adaptasi perubahan iklim dan tidak nyata terhadap ketahanan pangan; (5)
perempuan petani lebih aktif menyampaikan informasi PTR secara informal; (6)
strategi komunikasi inovasi untuk meningkatkan difusi inovasi PTR dalam
konteks adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan adalah dengan
memperbaiki semua jenis komunikator di semua tingkat, baik dalam hal
kompetensi maupun kepercayaan dari petani; membentuk pesan/inovasi sesuai
kebutuhan nyata petani; menyelenggarakan media komunikasi yang cocok
(Demplot) sehingga dapat produksi tinggi dan laku di pasaran dan tentunya
dengan membenahi sistem perbenihan yang merupakan “affirmative action”
dalam produksi dan distribusi benih PTR; (7) sebaik apa pun unsur-unsur
komunikasi inovasi PTR, jika tidak didukung dengan kebijakan pemerintah dan
daya serap pasar, maka tidak akan terjadi adopsi dan difusi inovasi PTR seperti

yang diharapkan.
Kata kunci: Ketahanan pangan, komunikasi inovasi, perubahan iklim, varietas
padi toleran rendaman

SUMMARY
RITA NUR SUHAETI. Communication Innovation of Submergence Tolerant
Rice on Adaptation to Climate Change and Family Farmer’s Food Security.
Under supervision of AIDA VITAYALA S. HUBEIS, TRI PRANADJI,
MA'MUN SARMA and AMIRUDDIN SALEH.
The challenges to increase rice production were among others: (1) fertile
land conversion; (2) losses during harvest and post-harvest; and (3) negative
impact of climate change. The Indonesian Agency for Agricultural R&D’s
research results on rice development was usually adopted in a long period of time.
Ciherang Variety was released in 2001 but adopted massively since 2007, for
instnaceThe decline in superior traits of Ciherang Variety would threaten national
rice production. One of the promising varieties and can be cultivated on proneflood land Submergence-tolerant rice varieties (STRV).
The objectives of the research were to (a) identify communication
elements (SMCR) of STRV innovation in rice farmer’s family of West Java
Province; (2) analyze the level of STRV innovation diffusion in rice farmer’s
family of West Java Province; (3) analyze influencing external factors on the rate

of diffusion of STRV innovation in rice farmer’s family rice farmers of West Java
Province; (4) analyze effect of diffusion of STRV innovation rate on rice farmer’s
family adaptation to climate change and rice farmer’s family food security in
West Java Province; and (5) formulate a strategy to improve the diffusion of
STRV innovation to strengthen the adaption to family farmer’s adaptation on
climate change and food security in West Java Province.
Novelty of the research: (1) diffusion of STRV innovation, which was not
integrated with market mechanism and seeds distribution needed badly an
“affirmative action”; (β) STRV innovation communication would not get succeed
without any seeds availability dan market absorption; (3) Farmer ladies were more
active in delivering information on STRV and the seeds exchange; and (4)
Farmer’s socio-economic status significantly played roles as a diffusion of STRV
innovation, adaptation to climate change dan farmer family’s food security.
A quantitative approach was designed on the research by using descriptive
explanatory survey method, especially to analyze the communication variables in
the process of STRV innovations diffusion of rice farmer’s family adaptation to
climate change and its food security. The research location was three flood-prone
rice production centers districts, namely Indramayu, Subang and Karawang
Distritcs. The research was conducted during May and June 2015. The population
in this study were family farmers who cultivated rice in flood-prone lowland of

Indramayu, Subang and Karawang Districts, West Java, and during the period of
2007-2009 got STRV seeds allotment. Only 58 persons taken as the research
population out of 193 persons.
The first result was the analysys of communication elements, which were
as the followings: (a) field extension worker/PPL has competence on STRV
knowledge and trusted by farmers though still dominantly applied communication
in one-way manner; (b) The quality of the STRV become a driver of innovation
adoption at farm level, despite its seeds limited availability as obstructing factor to
diffusion of STRV innovation; (c) dominant media communication media and

most accessible to farmers was electronic media such as TV and cell-phones, the
thing was that those media were just not sufficient to convey information on
STRV; (d) profile STRV farming family in general was small family size, low
income, very small size land holding, consisted of two kinds of media, low social
status and high participation in farmer’s organization and (e) woman farmers were
more active to deliver STRV innovation information in an informal way as
compared to the man farmers; the second was that the STRV innovation diffusion
rate was characterized by low level of knowledge, with medium level persuasion
and planting the STRV decision making; thirdly, the most influencing external
factors on the diffusion of STRV innovation wesre market absorption and

government policy on STRV innovation; the fourth was that diffusion of STRV
innovation at persuasion level significantly affected on farmers’ adaptation to
climate change and food security, however the farmers’ knowledge level gave a
negative significant effect on adaptation to climate change and food security; the
fifth was that woman farmers are more active exchange information on STRV in
an informal way; the sixth was that innovation communication strategy to icrease
diffusion of STRV innovation in the context of adaptation to climate change and
food security was to improve all types of communicators, both in their
competences and trust of the farmer’s; creating innovations as really needed as
possible by farmers; held suitable demonstration plots/displays so that the yield
could be absorbed by existing market and also improved seeds availabity system
by applying an affirmative action on STRV seeds production and distribution; and
finally, the seventh was that although there were the best communication elements
of STRV innovation, there will no adoption and diffusion of STRV innovations as
expected if it is not supported by government policy and market absorption.
Keywords:

Climate change, communication
submergence tolerant rice varieties


innovation,

food

security,

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KOMUNIKASI INOVASI PADITOLERAN RENDAMAN
UNTUK ADAPTASI TERHADAPPERUBAHAN IKLIM
DANKETAHANAN PANGAN KELUARGA PETANI


RITA NUR SUHAETI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof (Ris) Dr Djoko Susanto, SKM
(Dosen Komunikasi Pembangunan Pertanian
dan Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, IPB)
2. Dr Ir Sumaryanto, MS
(Peneliti pada Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian,
Kementerian Pertanian, Republik Indonesia)

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof (Ris) Dr Ir Djoko Said Damardjati, MS
(Peneliti Senior pada Badan Litbang Pertanian,
Kementerian Pertanian, Republik Indonesia)
2. Prof (Ris) Dr Djoko Susanto, SKM
(Dosen Komunikasi Pembangunan Pertanian
dan Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, IPB)

PRAKATA
Puji dan syukur yang tiada terhingga penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT, karena hanya dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan disertasi penelitian ini. Judul penelitian ini adalah: Komunikasi
Inovasi Padi Toleran Rendaman untuk Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan
Ketahanan Pangan Keluarga Petani.
Ungkapan rasa terima kasih yang dalam penulis haturkan kepada Ibu
Prof Dr Ir Aida Vitayala S. Hubeis, Bapak Dr Ir Tri Pranadji, MS., APU, Bapak
Dr Ir Ma’mun Sarma, MEc., dan Bapak Dr Ir Amiruddin Saleh, MS selaku
Komisi Pembimbing yang selalu dengan sabar dan tiada lelah memberikan
bimbingan dan berbagai saran perbaikan. Rasa terima kasih juga disampaikan
kepada para dosen dan staf administrasi pada Program Studi Komunikasi
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan serta kepada keluarga dan teman-teman
yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk mendukung dan membantu
sampai disertasi ini dapat diselesaikan.

Bogor, Februari 2016
Rita Nur Suhaeti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaruan

1
1
7
7
8
8

2 TINJAUAN PUSTAKA
Proses Komunikasi
Pengertian Kesadaran
Pengertian Preferensi
Difusi Inovasi
Profil Keluarga Petani
Inovasi Padi Toleran Rendaman
Adopsi Inovasi
Adaptasi Petani
Faktor Eksternal
Kerangka Pikir
Hipotesis Penelitian

9
9
11
12
12
19
20
21
22
24
25
25

3 METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel Penelitian
Definisi Operasional
Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi
Pengumpulan Data
Analisis Data
Structural Equation Modeling dengan SMARTPLS

27
27
27
27
29
29
31
31
32

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Karakteristik Responden
Komunikasi Inovasi PTR pada Keluarga Petani Padi
Difusi Inovasi PTR pada Keluarga Petani Padi
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Difusi Inovasi PTR Keluarga Petani
Padi

35
35
38
46
51
56

Hubungan Profil Keluarga dengan Adaptasi pada Perubahan Iklim dan
Ketahanan Pangan Keluarga Petani
Pengaruh Difusi Inovasi PTR terhadap Adaptasi pada Perubahan Iklim
dan Penguatan Ketahanan Pangan
Strategi Komunikasi dalam Meningkatkan Difusi Inovasi PTR
untuk Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan
Penguatan Ketahanan Pangan

62
65
77
77
77

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

92
92
92

DAFTAR PUSTAKA

93

LAMPIRAN

101

RIWAYAT HIDUP

136

DAFTAR TABEL
1
2

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Jumlah penggunaan benih padi menurut varietas di Jawa Barat 2015
Kerangka populasi penelitian komunikasi inovasi benih PTR untuk
adaptasi terhadap perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan
keluarga petani di Jawa Barat, 2015
Hasil perhitungan uji reliabilitas (reliability statistics)
Profil karakteristik petani PTR dan non-PTR, 2015
Kondisi sawah petani PTR yang terendam pada musim hujan
2014/2015
Kepemilikan dan pemanfaatan media komunikasi petani PTR dan nonPTR
Rata-rata penguasaan lahan petani, 2015
Pendapatan petani PTR, 2015
Analisis gender pelaku pekerjaan dalam usahatani
Pola pengambilan keputusan dalam usahatani padi, 2015
Sumber informasi utama tentang PTR menurut jenis kelamin, 2015
Sumber informasi tentang pertukaran informasi tentang PTR, 2015
Penerima informasi tentang PTR menurut jenis kelamin, 2015
Persepsi petani tentang komunikator PTR pada keluarga petani padi,
2015
Persepsi petani tentang inovasi PTR pada keluarga petani padi, 2015
Persepsi petani tentang media komunikasi PTR pada keluarga petani
padi, 2015
Difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi, 2015
Persepsi petani tentang faktor eksternal pada difusi inovasi PTR
keluarga petani padi, 2015
Pengaruh faktor komunikasi dan faktor eksternal terhadap difusi inovasi
PTR keluarga petani padi, 2015
Kecocokan model struktural pengaruh faktor komunikasi dan faktor
eksternal terhadap difusi inovasi PTR keluarga petani padi, 2015
Kecocokan model struktural pengaruh profil keluarga terhadap adaptasi
pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan
Adaptasi petani pada perubahan iklim, 2015
Deskripsi ketahanan pangan, 2015
Pengaruh difusi inovasi PTR terhadap adaptasi perubahan iklim dan
penguatan ketahanan pangan, 2015
Loading faktor indikator
Kecocokan model struktural pengaruh difusi inovasi PTR terhadap
adaptasi perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan, 2015
Uji validitas indikator pada model SEM 1
Kecocokan model struktural pengaruh difusi inovasi terhadap adaptasi
pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan, 2015

3

28
31
38
38
41
42
42
43
44
44
45
46
47
49
50
52
54
56
59
62
65
66
68
70
70
76
76

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

17
18
19
20

Percobaan tanaman PTR yang masih bertahan hidup setelah direndam
14 hari (Nugraha et al. 2015)
Universal komunikasi antarmanusia (DeVito 2011)
Fungsi komunikasi dalam proses difusi inovasi
Kerangka pikir penelitian mekanisme komunikasi inovasi PTR
Lokasi penelitian komunikasi inovasi PTR untuk adaptasi terhadap
perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani
Pendidikan formal kepala keluarga petani PTR, 2015
Histogram sumber informasi petani tentang PTR, 2015
Standardized loading factor model
Nilai t-hitung
Standardized loading factor model hubungan profil keluarga terhadap
adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan
Nilai t-hitung model hubungan profil keluarga terhadap adaptasi pada
perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan
Standardized loading factor dari model keseluruhan (full model)
Nilai t-hitung dari model keseluruhan (full model)
Standardized loading factor setelah sebagian indikator dibuang
Nilai t-hitung model 1
Standardized loading factor model pengaruh difusi inovasi PTR pada
adaptasi keluarga petani terhadap perubahan iklim dan ketahanan
pangan
Nilai t-hitung pada uji pengaruh difusi inovasi PTR pada adaptasi
keluarga petani terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan
Alur produksi dan distribusi benih tanaman pangan padi
Alur produksi benih padi Inbrida untuk kelas benih penjenis sampai
dengan benih sebar
Diagram jalur pengaruh faktor komunikasi dan faktor eksternal
terhadap difusi inovasi PTR untuk adaptasi pada perubahan iklim dan
penguatan ketahanan pangan

5
10
15
22
37
40
48
57
58
63
64
69
71
72
73

74
75
81
82

91

DAFTAR LAMPIRAN
1

2
3
4
5
6
7

Definisi operasional pada penelitian komunikasi Inovasi PTR untuk
ketahanan pangan keluarga petani dan adaptasi terhadap perubahan
iklim
Persepsi petani tentang faktor eksternal pada difusi inovasi PTR
keluarga petani padi 2015
Difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi 2015
Penguasaaan lahan responden
Pendapatan responden PTR
Pendapatan usahatani padi/tahun responden non-PTR
Jawaban pertanyaan responden untuk variabel komunikator

101
106
108
111
112
112
113

8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Deskripsi variabel inovasi PTR
Deskripsi variabel media komunikasi
Deskripsi kebijakan pemerintah
Deskripsi ketersediaan input produksi
Deskripsi daya serap pasar hasil produksi
Deskripsi budaya dalam kaitannya dengan PTR
Deskripsi persepsi inovasi
Deskripsi diskusi
Deskripsi evaluasi input
Deskripsi evaluasi output
Deskripsi pengambilan keputusan
Deskripsi perubahan iklim
Deskripsi variabel ketahanan pangan
Manuskrip catatan lapang sebagai data penunjang
(wawancara dengan non-petani)
22 Daftar Istilah

116
117
118
119
120
121
122
122
123
124
124
124
125
penelitian
126
134

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemenuhan kebutuhan beras, sebagai bahan pangan pokok sebagian besar
rakyat Indonesia masih menjadi permasalahan besar bagi pemerintah Indonesia.
Indonesia memiliki angka paling tinggi dalam konsumsi beras dibanding negara
lain yang juga mengkonsumsi beras (Suswono 2013). Menurut Wiryawan (2012),
kebutuhan beras per kapita Indonesia adalah 139 kg/tahun, jauh lebih tinggi dari
negara-negara yang rakyatnya mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan
pokok,misalnya Jepang: 60 kg/tahun, China: 70 kg/tahun, Thailand: 79 kg/tahun.
Selain merupakan makanan pokok untuk lebih dari 95 persen rakyat Indonesia,
usahatani padi menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 20 juta rumah tangga
petani di pedesaan (Puslitbang TP 2013).
Produksi padi dapat berasal dari lahan sawah irigasi (irrigated lowland),
lahan kering (upland, rainfed), dan lahan basah (wetland). Lahan basah terdiri dari
rawa pasang surut (tidal swamp), rawa lebak (lowland swamp) dan lahan
tergenang lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan beras tersebut di atas, produksi
beras dalam negeri dituntut untuk terus-menerus meningkat. Namun untuk dapat
meningkatkan produksi banyak menghadapi tantangan, antara lain: (1) alih fungsi
lahan subur yang memiliki produktivitas tinggi, (2) kehilangan saat panen dan
pascapanen yang belum dapat diatasi secara baik dan benar, dan (3) dampak
negatif perubahan iklim.
Alih fungsi lahan pertanian (terutama sawah) menjadi lahan non-pertanian
(bangunan, jalan, dan keperluan industri) tidak dapat dihindari karena land rent
ratio dari sektor pertanian lebih kecil dari pada sektor industri dan jasa. Padahal
sebagian besar alih fungsi lahan terjadi di lahan subur yaitu di Pulau Jawa,
sehingga memperburuk pertumbuhan produksi beras. Luas baku sawah di Pulau
Jawa masih sekitar 3,448 juta hektar (ha). Namun, tahun 1992 menurun menjadi
3,425 juta ha atau pengurangan 250 000 ha (0,67 persen). Lalu, tahun 1997
menciut lagi menjadi 3,33 juta ha atau penurunan 950 00 ha atau 2,77 persen dari
posisi 1992. Penciutan baku sawah ini tentu saja berdampak pada luas panen dan
gilirannya pada produksi padi. Data BPS menunjukkan bahwa antara tahun 1995
hingga 1999, luas tanaman padi di Jawa berkurang rata-rata 28 750 ha pertahun.
Penurunan areal panen terbesar terjadi tahun 1997 yakni untuk Jawa 689 000 ha
dan luar Jawa 1,535 juta ha. Tampak dari uraian di atas bahwa antara tahun 1987
hingga 1997, total penciutan baku sawah (umumnya sawah irigasi teknis dan
andalan produksi) di Pulau Jawa saja mencapai 118 000 ha atau rata-rata
11 800 ha per tahun. Ini berarti, bahwa kehilangan sumber produksi permanen
dalam skala besar di Pulau Jawa yang selama ini masih andalan nasional dengan
dua kontribusi sekitar 60 persen (Hafsah 2002). Selain itu, kehilangan atau susut
selama pengolahan padi menjadi beras juga memberikan kontribusi dalam
menghambat laju pertumbuhan produksi beras.
Sistem produksi pangan dalam dekade mendatang perlu beradaptasi, tidak
hanya untuk meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan karena laju
pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi dan perubahan penggunaan lahan, air
dan nutrisi yang berkurang, tetapi juga untuk mengurangi produksi karbon yang

2
mengakibatkan perubahan suhu hangat dan pola curah hujan akibat perubahan
iklim (Matthews et al. 2013). Perubahan iklim yang sudah terjadi sampai saat ini
(GHF 2009), selain dapat mengubah kondisi lingkungan untuk pertumbuhan
tanaman dan membutuhkan penyesuaian dalam praktik manajemen dalam skala
lapangan (Lehmann et al. 2013) juga lebih sering menimbulkan dampak negatif
(Mishra & Prakash 2013), seperti bencana banjir terutama pada wilayah-wilayah
pesisir dan rawan tergenang, misalnya rawa lebak atau rawa pasang surut, atau
lahan yang terkena banjir.
Perubahan iklim banyak memicu curah hujan tinggi dan badai, sehingga
kemungkinan terjadi banjir atau genangan semakin tinggi dan mengancam
keamanan pangan (Sari et al. 2007). Wang (2010) menyatakan bahwa untuk
konteks China akhir-akhir ini, perubahan iklim juga berpengaruh sangat nyata
pada ketahanan pangan. Penelitian Chen et al. (2010) juga di China menunjukkan
bahwa faktor utama yang berpengaruh terhadap adaptasi petani pada perubahan
iklim adalah siklus kehidupan rumahtangga, tekanan yang dihadapi, kelembagaan,
serta ketersediaan sumberdaya dan teknologi. Adaptasi petani dalam jangka
pendek adalah melakukan perubahan on farm dan off farm, sedangkan dalam
jangka panjang tampaknya harus memerlukan dukungan eksternal dan
peningkatan investasi termasuk sistem asuransi pertanian informasi di tingkat desa
dan mekanisme diseminasi teknologi. O’Brien et al. (2004), menyatakan bahwa
sudah terjadi peningkatan kesadaran bahwa faktor dimensi manusia harus
dipertimbangkan dalam riset dan kajian tentang perubahan iklim, walaupun
demikian belum ada metodologi yang sistematis dalam meneliti kerawanan
perubahan iklim dalam konteks multi-tekanan.
Kejadian banjir membuat petani mengalami kerugian bahkan terancam puso
karena tidak mampu menyediakan modal pengganti biaya usahatani. Makarim et
al. (2011) menjelaskan daerah rawan banjir di Indonesia semakin meluas dengan
frekuensi kejadian yang lebih sering menyebabkan kerusakan pertanaman (puso)
atau penurunan hasil. Daerah-daerah tersebut umumnya memiliki pertanaman padi
yang cukup luas, karena sejak lama daerah ini cukup air dan datar sehingga
digolongkan ke sangat sesuai dalam sistem klasifikasi kesesuaian lahan untuk padi
sawah. Di Delta Sungai Tana, Kenya, Afrika, petani beradaptasi sesuai dengan
dinamika pola banjir yang terjadi (Leauthaud et al. 2011).
Data tahun 2009 menunjukkan lebih 300 000 ha lahan sawah terkena banjir
dan 80 000 ha di antaranya mengalami puso. Luas baku sawah di Pulau Jawa
adalah 3 448 juta ha). Namun, tahun 1992 menurun menjadi 3,425 juta ha atau
pengurangan 250 000 ha (0,67%). Lalu, tahun 1997 menciut lagi menjadi 3,33
juta ha atau penurunan 95 000 ha atau 2,77 persen dari posisi 1992. Penciutan
baku sawah ini tentu saja berdampak pada luas panen dan gilirannya pada
produksi padi. Data BPS menunjukkan bahwa antara tahun 1995 hingga 1999,
luas tanaman padi di Jawa berkurang rata-rata 28 750 ha per tahun (Hafsah 2002).
Varietas Ciherang dilepas tahun 2001 baru diadopsi secara masif sejak tahun
2007. Penurunan sifat-sifat unggul Varietas Ciherang dikhawatirkan akan
menurunkan produksi padi nasional. Salah satu varietas yang menjanjikan dan
dapat ditanam di lahan rawan banjir atau tergenang adalah Varietas Padi Toleran
Rendaman (PTR). Jumlah penggunaan benih padi menurut varietas di Jawa Barat
disajikan pada Tabel 1.

3
Tabel 1 Jumlah penggunaan benih padi menurut varietas di Jawa Barat 2015
Jenis Varietas Padi
Jumlah Setara Luasan (Ha)
Persentase (%)
IR64
46 212
6,19
Way Apo Buru
15 312
2,05
Ciherang
344 676
46,15
Sarinah
12 818
1,72
Lokal
7 183
0,96
Situ Bagendit
2 549
0,34
Mekongga
117 921
15,79
Hibrida
3 697
0,49
Lain-lain (termasuk PTR)
198 552
26,32
Jumlah
746 921
100,00
Sumber: BPTPH 2015

Kerugian petani padi dapat dikurangi dengan mengganti varietas padi yang
ditanam dengan varietas toleranrendaman/genangan (submergence tolerant), biasa
disebut benih Sub-1. Varietas padi ini dapat bertahan terendam air (banjir) sampai
14 hari (Adnyana et al. 2009). Kenyataan ini didukung oleh Peñalba dan Elazegui
(2013) yang menyimpulkan bahwa petani di Laos yang lahannya rentan terhadap
banjir dan tanah longsor memerlukan varietas padi toleran rendaman (PTR).
Rata-rata kehilangan hasil akibat bencana banjir di Jawa Barat adalah
1 005 kg/ha, sedangkan kehilangan hasil akibat kekeringan adalah 273 kg/ha
(Adnyana et al. 2009). Di Sumatera Selatan, kerugian tersebut mencapai
570 kg/ha jika terendam kurang dari tujuh hari, sedangkan jika terendam lebih
dari tujuh hari maka kehilangan hasil dapat mencapai 1 606 kg/ha. Penggunaan
varietas toleran rendaman diharapkan dapat mengurangi kerugian petani. Namun
ketersediaan benih PTR dan kemauan serta kesadaran petani untuk
menggunakannya masih banyak dipertanyakan. Misalnya, di Sulawesi Tengah
petani di lahan rawa masih tetap menggunakan varietas padi lahan sawah irigasi
yang produktivitasnya rendah (1,27 ton/ha). Padahal jika menggunakan benih
PTR, potensi produktivitasnya lebih tinggi yaitu 7,5-10,17 ton/ha (Basrum et al.
2012). Menurut Pannel (1999) dalam penelitiannya, terdapat empat kondisi yang
diperlukan seorang petani untuk mengadopsi inovasi sistem usahatani, yaitu: (1)
kesadaran tentang inovasi, (2) persepsi bahwa inovasi tersebut layak dicoba, (3)
persepsi bahwa inovasi tersebut bernilai dan (4) persepsi bahwa inovasi tersebut
dapat meningkatkan pencapaian tujuan petani.
Makarim et al. (2009) menyebutkan bahwa area genangan di Indonesia
diperkirakan seluas 13,3 juta ha, terdiri atas 4,2 juta ha genangan dangkal; 6,1 juta
ha genangan sedang dan 3 juta ha genangan dalam. Potensi produksi padi/beras
dari lahan rawan genangan dan banjir seluas 13,3 juta ha jika diusahakan dengan
PTR, maka potensi produksi yang akan diperoleh adalah 99,75-135,26 juta ton
gabah kering panen (GKP)/musim. Konversi GKP menjadi gabah kering giling
(GKG) adalah 86,02 persen, sehingga akan diperoleh GKG sebesar 85,81-116,35
juta ton musim-1. Angka konversi GKG menjadi beras adalah 62,74 persen,
sehingga jumlah GKG tersebut di atas setara dengan 53,84-73,00 juta ton beras.
Namun potensi tersebut akan jauh berkurang dengan ketidaktersediaan berbagai
faktor (enabling factors) termasuk infrastruktur pertanian sehingga produksinya
akan jauh berkurang. Jika kebutuhan beras Indonesia sekitar 35 juta ton tahun

4
(Puslitbang TP 2013), maka potensi produksi ini dapat mendukung pemenuhan
kebutuhan beras Indonesia. Perlu diingat bahwa angka tersebut baru dalam jangka
waktu satu musim. Jika Indeks Pertanaman (IP) dapat ditingkatkan, potensi
produksi bisa lebih tinggi. Penggunaan asumsi pola tanam padi dua kali setahun
dan produktivitas 4,7 ton/ha dan luas tanam hanya lima persen lahan tergenang,
maka dalam setahun akan tersedia 2 x 1,69 juta ton beras = 3,38 juta ton beras atau
sekitar 10 persen dari kebutuhan beras Indonesia. Andai kata beras tersebut tidak
laku di pasaran sebagai beras konsumsi, maka beras tersebut dapat dijadikan bahan
baku untuk industri berbasis beras, misalnya bihun dan kerupuk. Produksi tersebut
diharapkan dapat memicu perkembangan industri pangan kreatif di kalangan
masyarakat pedesaan.
Menurut Ingemarson dan Thunander (2012), keperluan peningkatan
produksi pangan, pakan, serat dan energi (food, feed, fibre and fuel/4F)
merupakan tantangan kita di abad ke-21. Dalam memproduksi 4F tersebut
tentunya akan terjadi persaingan untuk sumber daya lahan dan air yang terbatas,
sehingga diperlukan: (a) perbaikan pengelolaan lahan dan air, (b) adaptasi
kebijakan lintas sektoral dan lembaga, (c) penggunaan sumber daya yang ada
harus lebih efisien, dan (d) peningkatan pengetahuan dan peningkatan kapasitas.
Hasil penelitian di Brazil oleh Simoes et al. (2015) menunjukkan bahwa
peningkatan kapasitas petani kecil dan keluarganya merupakan langkah pertama
dalam pengembangan metodologi yang komprehensif untuk membantu petani
miskin beradaptasi terhadap perubahan iklim. Penelitian Simoes juga menekankan
bahwa ada integrasi antara pembangunan, kemampuan beradaptasi dan strategi
beradaptasi. Penelitian Biagini et al. (2014) mendukungnya dengan kesimpulan
bahwa keberhasilan adaptasi global di masa depan tergantung kepada opsi
campuran teknis dengan manajemen dan melaksanakan evaluasi keberhasilan
tindakan yang sudah dilaksanakan. Kepentingan berbagai kajian kerawanan dan
pengalaman nyata penduduk lokal harus ditekankan agar pengembangan strategi
beradaptasi dapat mengurangi kemiskinan dan meminimalkan dampak perubahan
iklim untuk petani kecil. Osbahr et al. (2008) dengan penelitiannya
menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah dapat melindungi kondisi petani jika
terjadi keadaan darurat akibat perubahan iklim. Analisis Asesmen Masyarakat
(AAM) dapat membantu mengatasi dampak negatif perubahan iklim secara
bottom up karena dapat melibatkan masyarakat dalam mengurangi dampak
tersebut. Perubahan iklim juga dapat diinkorporasikan secara eksplisit pada AAM
untuk melakukan asesmen tentang berbagai kecenderungan sikap terhadap risiko
yang berubah (van Aalst 2007).
Kegiatan pra-panen terutama pengolahan lahan sampai penanaman benih
padi dalam usahatani padi sawah, mengambil proporsi biaya yang cukup tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS 2008) menyatakan bahwa secara nasional biaya
usahatani dengan imputasi (sewa lahan dan tenaga kerja keluarga dihitung sebagai
pengeluaran), besarannya dapat mencapai lebih dari Rp 10 juta/ha, dan jika tidak
diperhitungkan biayanya mencapai sekitar 50 persen. Proporsi biaya untuk benih
dan pengolahan lahan sampai siap tanam adalah sepertiganya yaitu sekitar 30-35
persen, baik dengan imputasi atau pun tanpa imputasi (BPS 2008). Apabila benih
padi yang dipakai bukan yang tahan genangan maka jika terjadi genangan/banjir,
petani harus menyediakan ulang biaya benih, pupuk dan pestisida dan pengolahan
lahan sampai siap tanam. Jika tidak diganti maka dapat dipastikan petani akan

5
mengalami puso. Gambar 1 menunjukkan bahwa pada eksperimen di BB Padi
Sukamandi, tanaman PTR tidak mati setelah direndam selama 14 hari, sedangkan
tanaman padi non-PTR mati (Nugraha et al. 2015), seperti disajikan pada Gambar
1.
Periode tahun 2007 sampai dengan 2009, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbang TP 2013) bekerja sama dengan
International Rice Research Institute (IRRI) dan dukungan Pemerintah Jepang
telah menyebarkan varietas PTR kepada para petani di berbagai wilayah rawan
banjir dan daerah rawa/pasang surut di Indonesia, seperti Pantai Utara Jawa, rawa
pasang surut di Kalimantan Selatan dan rawa lebak di Sumatera Bagian Selatan.
Varietas PTR tersebut adalah Inpari 29 dan Inpari 30, Inpara 3, Inpara 4 dan
Inpara 5. Penyebaran varietas toleran rendaman ini sudah mencapai seluruh
Indonesia, namun pemanfaatannya sangat rendah (Basrum et al. 2012).
Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan Ikhwani (Desember 2013),
preferensi petani terhadap varietas baru toleran rendaman memang rendah karena
petani lebih menyukai varietas yang lama (Ciherang), selain itu beras dari PTR
kurang laku dijual di pasaran, atau dibeli dengan harganya lebih rendah dari beras
jenis lain, dan digunakan untuk dicampur dengan beras dari varietas padi lainnya.

PTR

PTR
Non-PTR

Sebelum rendaman

Selama rendaman

PTR
PTR
PTR
Non-PTR

Non-PTR
Non-PTR

PTR
PTR
PTR

Setelah rendaman

Pemulihan 1 minggu

Gambar 1 Percobaan tanaman PTR yang masih bertahan hidup setelah direndam
14 hari (Nugraha et al. 2015)

6
Sayaka et al. (2006) menyatakan bahwa sistem penyediaan benih tradisional
(tidak melalui sistem formal) masih banyak dilakukan petani. Hal ini sesuai
dengan penelitian Tatlonghari et al. (2012) bahwa keputusan adopsi varietas padi
baru sangat dipengaruhi oleh keluarga/kerabat dan teman sesama petani. Selain itu,
Tatlonghari et al. (2012) juga menyimpulkan bahwa meneliti jaringan sosial
berbasis gender untuk melihat bagaimana ketidaksetaraan gender mempengaruhi
keefektifan modal sosial melalui jaringan sosial. Selanjutnya, hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa informasi peluang pria dan wanita bervariasi dalam hal
paparan dan kontrol informasi. Perbedaan ini terutama dipengaruhi oleh setting
sosial dan budaya dalam sistem pertanian padi dan masyarakat. Perbedaan gender
harus diperhitungkan saat menyelidiki faktor-faktor penentu jaringan sosial.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jaringan sosial berbeda berdasarkan jenis
kelamin. Misalnya, laki-laki yang telah berusia lanjut cenderung memiliki
jaringan sosial yang lebih besar, sedangkan perempuan dari keluarga petani kaya
cenderung memiliki jaringan sosial yang lebih besar.
Unsur komunikasi terdiri dari sumber, pesan, saluran dan penerima (Berlo
1960). Sumber komunikasi dapat dibedakan dari jenisnya misalnya penyuluh,
pedagang saprotan, peneliti dan petani maju yang telah menggunakan varietas
PTR. Selain itu dapat dilihat dari sifatnya, tingkatannya (level), kompetensinya
dan apakah dapat dipercaya. Pesan di dalam penelitian ini merupakan inovasi
teknologi benih PTR, yang adopsinya merupakan cerminan dari kesadaran tentang
perubahan iklim dan hasilnya teridentifikasi pada adanya ketahanan pangan
keluarga tani atau lebih jauh lagi adanya supply untuk industri berbasis beras.
Saluran komunikasi ada dua yaitu langsung (interpersonal) dan bermedia (cetak
dan/atau elektronik). Penerima pada penelitian ini adalah tentunya tidak dapat
diabaikan, karena berbagai karakteristik atau profil keluarga yang bervariasi
menentukan proses difusi inovasi yang terjadi. Profil keluarga petani antara lain:
(1) ukuran keluarga atau jumlah anggota keluarga; (2) ekonomi keluarga; (3)
penguasaan lahan; (4) pemilikan media komunikasi, (5) status sosial, dan (6)
keterlibatan dalam organisasi petani. Selain itu, terdapat berbagai faktor eksternal
yang harus dipertimbangkan karena mempengaruhi proses difusi inovasi yaitu
antara lain: (1) kebijakan pemerintah; (2) ketersediaan input produksi; (3) daya
serap pasar hasil produksi; dan (4) aspek sosial budaya. Menurut Doss (2006),
kajian-kajian pada tingkat mikro jarang dapat memasukkan peubah kebijakan
seperti peran kebijakan, kelembagaan, dan infrastruktur dalam adopsi teknologi
introduksi dan dampaknya terhadap produktivitas dan kesejahteraan. Saran
perbaikan dalam kajian mikro mengambil contoh yg representatif untuk mewakili
populasi agar dapat menggeneralisasi pada tingkat agregasi yang lebih tinggi,
sesuai dengan kaidah-kaidah standar kajian mikro yang sudah ditetapkan, dan
menerapkan berbagai asumsi yang menjadi dasar kajian-kajian tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian Tatlonghari et al. (2012), dalam penyediaan
benih secara informal di tingkat petani, sering terjadi pertukaran benih dan peran
perempuan dalam hal ini cukup signifikan. Jika petani sudah menerapkan dengan
baik berbagai teknologi yang diintroduksikan dengan kata lain proses adopsi
inovasi sudah berjalan baik, diharapkan terjadi peningkatan pendapatan dan
sekaligus akan meningkatkan ketahanan pangan keluarganya. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Wu et al. (2010) bahwa inovasi pada usahatani padi gogo
selalu meningkatkan kesejahteraan petani walaupun terjadi penurunan sehingga

7
terus diperlukan berbagai inovasi baru untuk mempertahakan kesejahteraan petani
tersebut. Untuk itu, diperlukan penelitian tentang komunikasi inovasi PTR untuk
ketahanan pangan keluarga petani dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Sampai saat ini varietas Ciherang masih menjadi varietas yang disukai
petani Jawa Barat dan menduduki peringkat pertama dari segi jumlah yang
diusahakan petani di Jawa Barat. Varietas Ciherang ini dilepas tahun 2001 dan
baru diadopsi besar-besaran mulai tahun 2007. Namun sekarang sifat-sifat unggul
genetik Varietas Ciherang telah menurun, baik dari aspek produktivitas maupun
dari ketahanannya terhadap OPT. Terdapat varietas yang sudah diciptakan para
pemulia padi yang dapat menggantikan varietas Ciherang ini yaitu PTR (Inpari 29
dan 30 untuk lahan irigasi dan Inpara 3, Inpara 4, dan Inpara 5 untuk lahan rawa).
Pelepasan PTR baru seperti Inpari 30 telah dilakukan pada tahun 2012, namun
baru pada awal 2015 varietas ini mulai dikenal petani. Diduga kerja diseminasi
masih belum optimal, terutama dalam mengajak petani sebagai sasaran
pembangunan menjadi paham dan mau menerapkan hasil-hasil penelitian,
termasuk berbagai hasil penelitian yang berkaitan dengan varietas PTR.

Perumusan Masalah
Mencermati dan terkait dengan situasi dan kondisi di atas, perumusan
masalah yang ada dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Bagaimana komunikasi (komunikator, inovasi PTR, media komunikasi dan
profil keluarga petani PTR) inovasi PTR pada keluarga petani padi di
Provinsi Jawa Barat?
2. Bagaimana tingkat difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi
Jawa Barat?
3. Faktor eksternal apa saja yang berpengaruh terhadap difusi inovasi PTR
keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat?
4. Bagaimana pengaruh difusi inovasi PTR terhadap adaptasi pada perubahan
iklim dan penguatan ketahanan pangan petani padi di Provinsi Jawa Barat?
5. Bagaimana strategi peningkatan difusi inovasi PTR untuk adaptasi pada
perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara spesifik tujuan
penelitian komunikasi inovasi padi toleran rendaman untuk adaptasi terhadap
perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani, adalah untuk:
1. Mengidentifikasi unsur-unsur komunikasi (SMCR) inovasi PTR pada
keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat.
2. Menganalisis tingkat difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi
Jawa Barat.
3. Menganalisis faktor eksternal yang berpengaruh terhadap tingkat difusi
inovasi PTR keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat.

8
4.

5.

Menganalisis pengaruh tingkat difusi inovasi PTR terhadap adaptasi
perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani di Provinsi Jawa
Barat.
Merumuskan strategi peningkatan difusi inovasi PTR untuk adaptasi pada
perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan keluarga petani di Provinsi
Jawa Barat.

Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat menjelaskan komunikasi inovasi PTR untuk
adaptasi terhadap perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan keluarga
petani yang relatif masih sedikit. Beberapa kegunaan yang diharapkan dapat
diperoleh dari penelitian antara lain adalah:
1. Bagi para peneliti dan akademisi, penelitian ini dapat memberikan inspirasi
pengembangan penelitian tentang komunikasi inovasi PTR, untuk adaptasi
perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan keluarga petani.
2. Bagi perancang dan perumus kebijakan tentang peningkatan produksi padi,
hasil penelitian ini bisa menjadi masukan berharga bahwa komunikasi inovasi
PTR, untuk adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani
perlu dimasukkan sebagai salah satu komponen penting rancangan kebijakan
tersebut di atas.
3. Bagi pemerintah daerah, terutama di wilayah rawan rendaman, penelitian ini
memberikan semacam pemahaman dalam memenuhi kebutuhan padi dapat
memanfaatkan varietas PTR, untuk adaptasi perubahan iklim dan ketahanan
pangan keluarga petani.
4. Bagi kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kegiatan
utamanya melakukan pemberdayaan masyarakat pedesaan, terutama di
wilayah rawan rendaman, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
bahan masukan, terutama dalam memanfaatkan varietas PTR.

Kebaruan
1.
2.
3.
4.

Kebaruan penelitian adalah sebagai berikut:
Sistem difusi inovasi PTR yang tidak terintegrasi dengan mekanisme pasar
dan distribusi benih, memerlukan adanya affirmative action.
Komunikasi inovasi PTR tidak akan berhasil tanpa dukungan ketersediaan
benih dan daya serap pasar.
Perempuan petani berperan lebih aktif dari lelaki petani dalam menyampaikan
informasi inovasi PTR dan implementasinya.
Status sosial ekonomi petani berperan signifikan sebagai penghela difusi
inovasi PTR, adaptasi petani terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Proses Komunikasi
Berlo (1960) memusatkan perhatian pada proses komunikasi. Berlo
menyatakan bahwa pemaknaan ada pada manusia bukan kata-kata. Dengan kata
lain pemaknaan dari sebuah pesan ada pada gerak tubuh para komunikan bukan
pada pesan itu sendiri. Konsep sumber dan penerima diperluas. Berlo adalah yang
pertama yang menempatkan pancaindera sebagai bagian dari komunikasi. Dalam
model komunikasi Berlo, diketahui bahwa komunikasi terdiri dari empat Proses
Utama yaitu Source, Message, Channel, dan Receiver (SMCR) lalu ditambah tiga
Proses Sekunder, yaitu Feedback, Efek, dan Lingkungan.
Source (sumber): sumber adalah seseorang yang memberikan pesan atau
dalam komunikasi dapat disebut sebagai komunikator. Walaupun sumber biasanya
melibatkan individu, namun dalam hal ini sumber juga melibatkan banyak
individu. Misalnya, dalam organisasi, partai, atau lembaga tertentu. Sumber juga
sering dikatakan sebagai source, sender, atau encoder. Menurut Berlo (1960),
source dan receiver dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: keterampilan
berkomunikasi, tindakan yang diambil, luasnya pengetahuan, sistem sosial, dan
kebudayaan lingkungan sekitar.
Message (pesan): pesan adalah isi dari komunikasi yang memiliki nilai dan
disampaikan oleh seseorang (komunikator). Pesan bersifat menghibur, informatif,
edukatif, persuasif, dan juga bisa bersifat propaganda. Pesan disampaikan melalui
dua cara, yaitu verbal dan nonverbal yang bisa disampaikan melalui tatap muka
atau melalui sebuah media komunikasi. Pesan bisa dikatakan sebagai Message,
Content, atau Information. Pesan yang diutarakan dikembangkan sesuai dengan
elemen, struktur, isi, perlakuan, dan kode. Kemudian channel yang akan
digunakan berhubungan langsung dengan panca indera, yaitu dengan melihat,
mendengar, menyentuh, mencium bau-bauan, dan mencicipi.
Channel (saluran komunikasi): sebuah saluran komunikasi terdiri atas tiga
bagian yaitu lisan, tertulis, dan elektronik. Media di sini adalah sebuah alat untuk
mengirimkan pesan tersebut. Misal secara personal (komunikasi interpersonal),
maka media komunikasi yang digunakan adalah panca indra atau bisa memakai
media telepon, telegram, handphone, yang bersifat pribadi. Adapun komunikasi
yang bersifat massa (komunikasi massa), dapat menggunakan media cetak (koran,
suratkabar, dan majalah), dan media elektornik (televisi, radio). Untuk Internet,
termasuk media yang fleksibel, karena bisa bersifat pribadi dan bisa bersifat
massa karena internet mencakup segalanya, sehingga dikelompokkan sebagai
media hibrid.
Receiver (penerima pesan): penerima adalah orang yang mendapatkan
pesan dari komunikator melalui media. Penerima adalah elemen yang penting
dalam menjalankan sebuah proses komunikasi, karena, penerima menjadi sasaran
dari komunikasi tersebut. Penerima dapat juga disebut sebagai komunikan,
audiens, publik, khalayak, dan masyarakat. Receiver meliputi aspek keterampilan
dalam berkomunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial, kebudayaan.
Elemen tambahan yang terdiri dari: (1) Feedback (umpan balik): adalah
suatu respons yang diberikan oleh penerima. Penerima di sini bukan dimaksudkan

10
kepada penerima sasaran (khalayak), namun juga bisa didapatkan dari media itu
sendiri; (2) Effect: Sebuah komunikasi dapat menyebabkan efek tertentu. Efek
komunikasi adalah sebuah respons pada diri sendiri yang bisa dirasakan ketika
kita mengalami perubahan (baik itu negatif atau positif) setelah menerima pesan.
Efek ini adalah sebuah pengaruh yang dapat mengubah pengetahuan, perasaan,
dan tindakan (kognitif, afektif, dan konatif); dan (3) Lingkungan: adalah sebuah
situasi yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu komunikasi.
DeVito (2011) menjelaskan bahwa komunikasi mengacu pada tindakan oleh
satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh
gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh
tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Lingkungan
(konteks) komunikasi setidak-tidaknya memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi fisik,
dimensi sosial-psikologis, dan dimensi temporal. Lingkungan merupakan tempat
terjadi komunikasi disebut sebagai lingkungan fisik atau lingkungan nyata;
Dimensi sosial psikologis meliputi antara lain tata hubungan status yang terlibat di
dalam komunikasi, peran yang dijalankan, serta aturan budaya dimana mereka
berkomunikasi. Termasuk didalam konteks ini adalah rasa persahabatan atau
permusuhan, formalitas atau informalitas, serius atau senda gurau; Dimensi
temporal (waktu) merupakan waktu pada saat komunikasi berlangsung. Secara
grafis model komunikasi DeVito dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber

Sumber
Gangguan

Penerima

Penerima

Gambar 2 Universal komunikasi antarmanusia (DeVito 2011)
Selanjutnya DeVito (2011) mengatakan bahwa tujuan manusia
berkomunikasi adalah untuk penemuan diri, berhubungan, baik dengan keluarga,
tetangga maupun teman kantor, untuk meyakinkan, dan untuk bermain.
Komunikasi tersebut dilakukan secara langsung maupun melalui media. Littlejohn
(2009) mengemukakan bahwa dalam komunikasi dikenal adanya berbagai
komunikasi yaitu komunikasi intrapribadi, komunikasi antarpribadi, komunikasi
kelompok, komunikasi organisasi dan komunikasi massa. Komunikasi
intrapribadi (intrapersonal communication) adalah komunikasi yang terjadi dalam
diri seseorang. Komunikasi intrapribadi menekankan bagaimana jalannya proses
pengolahan informasi yang dialami seseorang melalui sistem syaraf dan

11
inderanya; komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah
komunikasi antarperorangan dan bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung
(face to face) maupun melalui media (misalnya telepon atau surat); komunikasi
kelompok (group communication) memfokuskan pembahasannya pada interaksi
di antara orang-orang dalam kelompok kecil; komunikasi organisasi (organization
communication) mengarah pada pola dan bentuk komunikasi yang terjadi dalam
konteks dan jaringan organisasi; komunikasi massa (mass communication) adalah
komunikasi melalui media massa yang ditujukan pada sejumlah khalayak yang
besar.
Lasswell dalam Saleh (2006) menyatakan tentang fungsi komunikasi, yaitu
untuk pengamatan terhadap lingkungan; penghubung bagian-bagian yang ada di
dalam masyarakat agar masyarakat dapat memberi respons terhadap lingkungan
tersebut; dan pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke