Pengaruh Fortifikasi Vitamin A Dan Zat Besi Terenkapsulasi Pada Tepung Ubi Kayu Dan Aplikasinya Pada Pembuatan Flakes

PENGARUH FORTIFIKASI VITAMIN A DAN ZAT BESI
TERENKAPSULASI PADA TEPUNG UBI KAYU DAN
APLIKASINYA PADA PEMBUATAN FLAKES

WINDI ASTERINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Fortifikasi
Vitamin A dan Zat Besi Terenkapsulasi Pada Tepung Ubi Kayu dan Aplikasinya
pada Pembuatan Flakes adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, 22 April 2016

Windi Asterini
NIM F251130381

RINGKASAN
WINDI ASTERINI. Pengaruh Fortifikasi Vitamin A dan Zat Besi
Terenkapsulasi pada Tepung Ubi Kayu dan Aplikasinya pada Pembuatan Flakes.
Dibimbing oleh SUGIYONO, HOERUDIN, dan ENDANG PRANGDIMURTI.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami defisiensi zat gizi
mikro, terutama vitamin A dan zat besi. Salah satu cara mengatasi defisiensi zat
gizi mikro adalah dengan melakukan fortifikasi ke dalam bahan pangan. Ubi kayu
merupakan salah satu bahan pangan yang dapat dijadikan pangan pembawa
karena ketersediaannya yang melimpah dan memiliki kandungan karbohidrat yang
tinggi. Salah satu produk olahan yang dapat memakai tepung ubi kayu sebagai
bahan dasar yaitu flakes. Flakes merupakan salah satu produk sereal siap saji yang
banyak disukai oleh anak-anak maupun orang dewasa. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh fortifikasi vitamin A dan zat besi pada tepung ubi
kayu sebagai pangan pembawa serta aplikasinya pada pembuatan produk flakes.

Penelitian ini menggunakan tepung ubi kayu yang difortifikasi vitamin A
(retinil palmitat) terenkapsulasi 5.6 mg/kg secara tunggal dan juga
dikombinasikan dengan zat besi (FeSO4.7H20) terenkapsulasi sebanyak 31 mg/kg
serta tepung ubi kayu tanpa fortifikasi digunakan sebagai kontrol. Pada tepung ubi
kayu dilakukan uji kadar air, derajat putih, vitamin A, dan zat besi pada
penyimpanan hari ke-0 dan hari ke-7. Pengaplikasian tepung ubi kayu
terfortifikasi yaitu flakes dilakukan uji kadar proksimat, kadar vitamin A, kadar
zat besi, bioaksesabilitas, warna, tekstur serta uji hedonik.
Hasil penelitian menunjukkan pada semua perlakuan fortifikasi
menghasilkan kadar air, vitamin A serta zat besi yang tidak berbeda pada
penyimpanan hari ke-0 dan hari ke-7. Penyimpanan tepung terfortifikasi vitamin
A dan zat besi terenkapsulasi selama 7 hari tidak merubah karakteristik kimia dari
tepung terfortifikasi. Penyimpanan tepung selama 7 hari mempengaruhi derajat
putih dari tepung yang difortifikasi dengan vitamin A tunggal maupun yang
ditambahkan dengan zat besi terenkapsulasi. Pada pengaplikasian tepung ubi kayu
terfortifikasi pada flakes menghasilkan kadar vitamin A dan warna yang tidak
berbeda nyata (p>0.05). Berikutnya, kadar zat besi dan vitamin A pada flakes
meningkat, sesuai dengan jumlah fortifikan yang ditambahkan. Flakes dengan
perlakuan kombinasi (vitamin A dan zat besi) mengurangi persentase
bioksesabilitas vitamin A akan tetapi meningkatkan nilai bioaksesabilitas zat besi

secara signifikan. Berdasarkan uji organoleptik, keseluruhan perlakuan masih
dapat diterima (agak disukai) oleh panelis.
Kata kunci : flakes, fortifikasi, tepung ubi kayu, vitamin A, zat besi.

SUMMARY
WINDI ASTERINI. Effects of Encapsulated Vitamin A and Iron Fortifications on
Cassava Flour and the Aplication of the Flour in Flakes Production. Supervised by
SUGIYONO, HOERUDIN, and ENDANG PRANGDIMURTI.
Deficiency in micronutrients especially vitamin A and iron has remained a
great challenge in Indonesia. Food fortification is considered as promising effort
to deal with micronutrient deficiency. Cassava flour is selected as carrier for
several reasons including high availability and source of carbohydrate. Flakes is
made of cassava flour, and it is preferred by children and adults due to instantly
prepared. This research aims to investigate the effect of vitamin A and iron
addition on cassava flour and its application in flakes.
Cassava flour was fortified with 5.6 mg/kg of encapsulated vitamin A
(retinyl palmitate) for single treatment, and also combined with 31 mg/kg of
encapsulated iron (FeSO4.7H20) and non-fortified cassava flour was used as
control. Water content, degree of whiteness, vitamin A and iron content were
observed in cassava flour at 0 and 7 days of storage. Flakes was prepared using

fortified cassava flour, and its proximate, vitamin A, iron, bioaccessibility, hue,
texture, hedonic test were performed.
Results showed no significant differences in water content, vitamin A, and
iron at 0 and 7 days of storage in all fortification treatments. Flours with single
and combined fortification that were stored for 7 days had no changes in chemical
characteristics, but showed alteration in degree of whiteness. Application of
fotified cassava flour in flakes demonstrated insignificant different of vitamin A
and hue (p>0.05). Furthermore, level of iron and vitamin A in flakes increased
with increasing fortificant concentration. Combined fortification (vitamin A and
iron) reduced bioaccessibility of vitamin A, but significantly improved
bioaccessibility of iron. Based on organoleptic study, all treatments were
acceptable (rather preferred).
Keywords: cassava flour, flakes, fortification, iron, vitamin A.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

1

PENGARUH FORTIFIKASI VITAMIN A DAN ZAT BESI
TERENKAPSULASI PADA TEPUNG UBI KAYU DAN
APLIKASINYA PADA PEMBUATAN FLAKES

WINDI ASTERINI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MS

Judul Tesis : Pengaruh Fortifikasi Vitamin A dan Zat Besi Terenkapsulasi pada
Tepung Ubi Kayu dan Aplikasinya pada Pembuatan Flakes.
Nama
: Windi Asterini
NIM
: F251130381

Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sugiyono, M App Sc
Ketua

Hoerudin, SP M Food ST Ph D
Anggota


Dr Ir Endang Prangdimurti, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Maret 2016

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subḥānahu Wa Ta'Ala atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Shalawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam. Penulis tak lupa berterimakasih yang sebesarnya kepada para
pembimbing dan penguji. Kepada ketua komisi pembimbing yaitu Prof Dr Ir
Sugiyono, M App Sc yang di waktu kesibukannya menyediakan waktu untuk
penulis dalam menyelesaikan studi. Kepada anggota pembimbing 2 yaitu
Hoerudin, SP M Food ST Ph D, yang telah mengikutsertakan penulis pada proyek
penelitian serta telah menyediakan waktunya kepada penulis selama bimbingan,
kepada pembimbing 3 yaitu Dr Ir Endang Prangdimurti, MSi yang juga telah
membantu penulis dalam penyelesaian studinya. Kepada penguji sidang tesis yaitu
Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MS yang telah bersedia menguji dan membantu penulis
dalam menyelesaikan studinya hingga akhirnya penulis bisa mendapatkan gelar
master sains. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr.Sri Yuliani,
Juniawati, S.TP, M.Si, Widianingrum, S.TP, M.Si, serta para teknisi dan analis
laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
atas bimbingan teknis selama penelitian. Penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesarnya kepada kedua Orangtua, Bapak Ir Anis Mansyur dan Ibu Tuti Zamriati
yang telah mendidik dan tak hentinya mendoakan kesuksesan penulis sehingga
bisa sampai pada tahap ini. Kepada para sahabat, teman, kakak, adik, dan kerabat

yang telah memberikan suport dan bantuannya kepada penulis.
Akhir kata, penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan tesis ini.

Bogor, 22 April 2016
Windi Asterini

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

vi
vi
vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

Hipotesis
Manfaat Penelitian

Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Fortifikasi
Vitamin A
Zat Besi
Enkapsulasi
Ubi Kayu
Flakes
Bioaksesabilitas

Galat! Markah Buku tidak didefinisi.

Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Tahapan Penelitian
Prosedur Analisis

Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Karakteristik Fortifikan Vitamin A dan Zat Besi
Galat! Markah Buku
tidak didefinisi.
Karakteristik Tepung Ubi Kayu Terfortifikasi Galat! Markah Buku tidak
didefinisi.
Karakteristik Flakes dari Tepung Ubi Kayu Terfortifikasi Galat! Markah
Buku tidak didefinisi.
Komposisi Kimia Flakes Ubi Kayu Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Sifat Fisik Flakes
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Skor Hedonik Flakes
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.

DAFTAR PUSTAKA

Galat! Markah Buku tidak didefinisi.

LAMPIRAN

45

RIWAYAT HIDUP

49

DAFTAR TABEL
1. Penelitian fortifikasi vitamin A dan FeGalat! Markah Buku tidak didefinisi.
2. Aplikasi fortifikasi vitamin A
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
3. Senyawa zat besi yang digunakan sebagai fortifikan.Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
4. Beberapa penelitian yang menggunakan teknik enkapsulasiGalat! Markah Buku tidak didefinisi.
5. Syarat mutu tepung ubi kayu SNI 01-2997-1992Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
6. Syarat mutu susu sereal SNI 01-4270-1996Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
7. Kualitas fortifikan vitamin A dan zat besi terenkapsulasi.Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
8. Kadar air, derajat putih, vitamin A dan zat besi tepung ubi kayu
30
9. Komposisi kimia flakes ubi kayu
31
10. Kadar vitamin A, zat besi, bioaksesabilitas vitamin A dan
bioaksesabilitas zat besi flakes ubi kayuGalat! Markah Buku tidak didefinisi.
11. Nilai warna dan kekerasan flakes
12. Skor rata-rata hedonik flakes
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Skema mekanisme pembentukan nanoemulsiGalat! Markah Buku tidak didefinisi.
Skema definisi bioavailibilitas, bioaksesabilitas, dan bioaktivitasGalat! Markah Buku tidak didefini
Proses pembuatan ferosulfat tetrahidrat terenkapsulasiGalat! Markah Buku tidak didefinisi.
Proses pembuatan nanoemulsi retinil palmitat terenkapsulasiGalat! Markah Buku tidak didefinisi.
Proses pembuatan flakes
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
Penampakan nanoemulsi vitamin A menggunakan TEM, fase polar (a),
fase non polar (b).
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
7. Penampakan vitamin A terenkapsulasi (a) dan Fe terenkapsulasi (b)
menggunakan SEM.
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.

DAFTAR LAMPIRAN
1. Kuesioner uji organoleptik tepung ubi kayuGalat! Markah Buku tidak didefinisi.
2. Dokumentasi Penelitian
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.
3. Lampiran Data
Galat! Markah Buku tidak didefinisi.

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia termasuk salah satu negara yang sedang berkembang dan
memiliki masalah kekurangan zat gizi mikro seperti yodium, zat besi, vitamin A,
dan seng (Riskesdas 2013). Hal ini mengakibatkan banyak masyarakat yang
mengalami gizi buruk. Zat gizi mikro dibutuhkan dalam jumlah sedikit di dalam
tubuh, akan tetapi memiliki peranan yang sangat penting dalam proses
metabolisme. Kekurangan asupan dan absorbsi zat gizi mikro dapat
mengakibatkan gangguan pada kesehatan, pertumbuhan, mental, dan fungsi
lainnya di dalam tubuh (Darlan 2012). Satu dari sepuluh angka kematian di
negara-negara yang sedang berkembang disebabkan karena kekurangan zat besi
dan vitamin A (WHO 2006). Menurut data dari WHO (2006) sebanyak 1.7 % dari
12.760 masyarakat Indonesia mengidap seroftalmia karena kekurangan vitamin A.
Depkes (2012) menyatakan bahwa sebesar 0.13 % balita di 10 kota pada 10
provinsi di Indonesia mengalami seroftalmia. Masalah kekurangan vitamin A
mencapai 14.3 % (Nadimin et al. 2008) dan angka kejadian anemia gizi besi
(AGB) pada anak balita sekitar 40-45 % di Indonesia (Windiastuti 2012).
Menurut WHO (2001) dan BPOM (2004) defisiensi zat gizi mikro dapat
ditanggulangi dengan melakukan fortifikasi zat gizi mikro tersebut ke dalam
produk pangan. Fortifikasi bertujuan untuk mencegah defisiensi suatu senyawa
pada populasi tertentu (WHO 2006). Tidak semua senyawa dapat menjadi
fortifikan. WHO (2006) menyatakan syarat suatu senyawa dapat dijadikan
fortifikan selain dapat diserap tubuh dengan baik, senyawa tersebut tidak beracun
dan tidak mengubah aroma, tekstur maupun rasa dari produk akhir.
Fortifikan vitamin A yang umum digunakan adalah retinil palmitat karena
lebih stabil dalam pemanasan (Allen et al. 2006), sedangkan fortifikan zat besi
yaitu fero sulfat yang larut air, ekonomis, serta memiliki bioavailibilitas yang
tinggi di dalam tubuh (WHO, 2001; Akhtar et al. 2011). Permasalahan yang
muncul pada fortifikan adalah adanya dampak negatif antara fortifikan terhadap
karakteristik bahan pangan (Layrisse et al. 2000; Nieves et al. 2003). Dampak
negatif tersebut seperti vitamin A yang mempunyai sifat mudah teroksidasi dan
mudah rusak pada pemanasan suhu tinggi dan cahaya, serta zat besi yang dapat
mengubah warna maupun rasa dari bahan pangan. Salah satu cara untuk
mencegah masalah tersebut adalah dengan menggunakan teknologi enkapsulasi
(Gonnet et al. 2010; Mao et al. 2010; Silva et al. 2012). Teknologi enkapsulasi
merupakan teknik yang digunakan untuk melindungi zat gizi maupun senyawasenyawa yang mudah rusak akibat pengolahan, interaksi dengan senyawa lain,
kehilangan selama penyimpanan, dan kehilangan karena proses penyerapan oleh
tubuh. Bahan yang digunakan untuk menyalut suatu senyawa harus memiliki
karakteristik yang baik, dapat melindungi suatu senyawa, murah, mudah didapat,
dan tidak bereaksi (Nedovic et al. 2011). Bahan penyalut yang umum digunakan
adalah whey protein dan maltodekstrin dengan perbandingan 60:40 (Nedovic et
al. 2011) dengan menggunakan teknik pengeringan semprot. Teknik pengeringan
semprot menghasilkan fortifikan dalam bentuk serbuk yang memudahkan
fortifikasi pada beberapa jenis pangan (Nedovic et al. 2011).

2

WHO (2001) menyatakan bahwa fortifikasi dapat dilakukan dengan
menambahkan vitamin A dan zat besi ke dalam pangan pembawa misalnya saja
tepung, minyak goreng atau snack. Fortifikan terenkapsulasi berbentuk serbuk dan
menggunakan tepung sebagai bahan pembawa (Lynch 2004). Pada penelitian ini
dilakukan pembuatan flakes dari tepung ubi kayu. Ubi kayu merupakan bahan
pangan lokal yang dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti beras karena
mempunyai kandungan karbohidrat yang cukup tinggi yakni 34.70 g/100 g bahan
(Muchtadi et al. 2010). Akan tetapi ubi kayu merupakan jenis umbi-umbian yang
memiliki banyak kekurangan mikronutrien seperti vitamin dan mineral (Julie et
al. 2009), sehingga produk olahannya juga mengalami kekurangan mikronutrien
dan perlu dilakukan tindakan fortifikasi vitamin A dan zat besi. Salah satu jenis
pangan olahan yang berbahan dasar tepung dan disukai oleh masyarakat terutama
anak-anak adalah flakes. Flakes merupakan salah satu bentuk modifikasi produk
snack ekstrudat yang banyak beredar di pasaran (Karwe 2009). Flakes merupakan
makanan ringan siap saji yang dapat memberikan kemudahan dalam memenuhi
kebutuhan kalori dalam waktu yang relatif singkat, karena dapat dikonsumsi
bersama susu atau dikonsumsi langsung.

Perumusan Masalah
Vitamin A mempunyai sifat mudah teroksidasi dan sangat mudah rusak
pada pemanasan suhu tinggi dan terkena cahaya. Sebaliknya zat besi mempunyai
sifat yang mudah mengoksidasi dan dapat mengubah warna maupun rasa dari
bahan pangan. Enkapsulasi senyawa dapat melindungi suatu senyawa dari faktor
luar yang dapat merusak senyawa tersebut. Kajian mengenai pengaruh fortifikasi
vitamin A dan zat besi terenkapsulasi perlu dilakukan untuk melihat pengaruh
pencampuran keduanya maupun masing-masing senyawa di dalam tepung ubi
kayu dan aplikasinya pada flakes. Dengan demikian masalah dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Apakah ada perubahan karakteristik fisik dan kimia terhadap tepung ubi kayu
yang difortifikasi dengan vitamin A (retinil palmitat) dan Fe (fero sulfat)
terenkapsulasi setelah penyimpanan?
2. Adakah pengaruh fisik, kimia, bioaksesabilitas, dan organoleptik yang
ditimbulkan oleh vitamin A (retinil palmitat) serta Fe (fero sulfat)
terenkapsulasi yang telah difortifikasi ke dalam tepung ubi kayu terhadap
penggunaannya pada produk flakes.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh fortifikasi retinil palmitat terenkapsulasi dan fero sulfat
terenkapsulasi terhadap karakteristik fisik dan kimia tepung ubi secara fisik
dan kimia tepung ubi kayu setelah penyimpanan hari ke-0 dan hari ke-7.

3

2. Mengetahui pengaruh penggunaan tepung ubi kayu terfortifikasi terhadap
karakteristik fisik, kimia, bioaksesabilitas, dan organoleptik pada produk
flakes.

Hipotesis
Fortifikasi vitamin A dan zat besi terenkapsulasi di dalam tepung ubi kayu
tidak mempengaruhi karakteristik fisik, kimia, tingkat bioaksesabilitas, dan
organoleptik tepung ubi kayu maupun flakes sebagai produk olahannya.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif fortifikan dan
produk fortifikasi vitamin A dan zat besi untuk menanggulangi masalah defisiensi
zat gizi mikro khususnya vitamin A dan zat besi yang terjadi di masyarakat.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Fortifikasi
Fortifikasi merupakan penambahan zat gizi mikro tertentu ke dalam bahan
pangan secara sengaja untuk meningkatkan kualitas bahan pangan yang
bermanfaat bagi kesehatan dengan risiko yang seminimal mungkin (WHO 2006).
Fortifikasi pangan umumnya digunakan untuk mengatasi masalah gizi mikro pada
jangka menengah dan panjang. Tujuan utama fortifikasi adalah meningkatkan
tingkat konsumsi pangan yang ditambahkan dengan zat gizi untuk meningkatkan
status gizi populasi (Baghwat et al. 2014). FAO menganggap istilah fortifikasi
paling tepat untuk menggambarkan proses penambahan zat gizi mikro ke dalam
pangan yang dikonsumsi secara umum. Istilah fortifikasi ganda dan multiple
fortification digunakan apabila dua atau lebih zat gizi ditambahkan ke dalam
pangan atau campuran pangan. Pangan pembawa zat gizi yang ditambahkan
disebut “vehicle”, sementara zat gizi yang ditambahkan disebut ”fortifikan”
(WHO 2006). FAO (2015) menyarankan pemerintah di negara-negara dengan
tingkat kekurangan zat gizi mikro yang tinggi mempertimbangkan untuk
menambahkan makanan dengan yodium, zat besi, dan vitamin A serta mengatur
fortifikasinya di dalam pangan. Codex Alimentarius Commission menetapkan
standar internasional untuk program fortifikasi yaitu:
a. Fortifikasi dilakukan tepat sasaran pada masyarakat yang kekurangan gizi.
b. Pemilihan pangan pembawa (seperti tepung atau minyak nabati) yang akan
dikonsumsi oleh masyarakat yang mengalami kekurangan gizi dan jumlah
pengkonsumsiannya.
c. Batas fortifikasi minimum dan maksimum.
Di negara-negara industri, program fortifikasi telah banyak dilakukan dengan
menggunakan makanan olahan yang banyak dikonsumsi. Dengan sistem distribusi
yang efisien, fortifikasi berhasil dalam pencegahan dan pengendalian beberapa
kekurangan vitamin dan mineral (Allen et al. 2006). Fortifikasi dapat dilakukan
dengan menambahkan vitamin A dan zat besi ke dalam pangan pembawa
misalnya saja tepung, minyak goring, atau snack (WHO 2001). Sekitar 95 %
penduduk di negara berkembang mengkonsumsi terigu sebagai makanan pokok
yang dianggap sebagai bahan pangan pembawa yang cocok untuk fortifikasi
mikronutrien sebagai pencegah defisiensi senyawa mikro. Tidak semua senyawa
dapat menjadi fortifikan. WHO (2006) menyatakan syarat suatu senyawa dapat
dijadikan fortifikan adalah dapat diserap tubuh dengan baik, tidak beracun, dan
tidak mengubah aroma, tekstur maupun rasa dari produk akhir. Beberapa
penelitian mengenai fortifikasi terhadap vitamin A dan zat besi disajikan pada
Tabel 1.
Di Indonesia, komitmen terhadap pelaksanaan fortifikasi tertuang dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi
Pangan. Peraturan ini memberikan jaminan berupa pangan yang aman, bermutu
dan bergizi yang berperan bagi pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan
derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat. Dalam hal
kekurangan atau penurunan status gizi masyarakat perlu dilakukan upaya

5

perbaikan gizi melalui pengayaan atau fortifikasi pada pangan tertentu yang
beredar di masyarakat.
Tabel 1 Penelitian fortifikasi vitamin A dan Fe
Judul

Sumber

Penelitian

Efek vitamin A dan β
karoten terhadap
penyerapan zat besi pada
manusia : efek dari fitat
dan polifenol sebagai
penghambat penyerapan
zat besi

Layrisse et
al. 2000

Efek penyerapan zat besi:
Fortifikasi zat besi pada
flake jagung Peran dari
Vitamin A dan C1-3

Nieves et
al. 2003

Efek dari Vitamin A
terhadap penyerapan zat
besi pada manusia

Walczyk et
al. 2003

 Vitamin A dapat meningkatkan
penyerapan zat besi sampai lebih dari
3x pada beras, 2.4x pada gandum, dan
1.8x pada jagung.
 Vitamin A membantu zat besi untuk
larut pada saluran pencernaan serta
mencegah fitat menghambat penyerapan
zat besi.
 Penambahan vitamin A dan C ke dalam
flakes meningkatkan 3.6x penyerapan
zat besi.

 Vitamin A tidak mempengaruhi
penyerapan
zat
besi
walaupun
dikonsumsi bersamaan dengan senyawa
penghambat zat besi.

Di Indonesia terdapat beberapa acuan produk fortifikasi yang telah diatur
oleh pemerintah. Diantaranya adalah fortifikasi yodium pada garam (sejak tahun
1994), zat besi dan zink pada tepung terigu (sejak tahun 2001), dan fortifikasi
vitamin A pada minyak goreng (sejak tahun 2013) (Dijkhuizen et al. 2013).
Keberhasilan program fortifikasi dapat dilihat dari tingkat penyerapan
mikronutrien tersebut di dalam tubuh. Untuk mendukung hal tersebut maka
fortifiikasi dilakukan dengan berbagai teknik. Pada banyak penelitian disimpulkan
bahwa teknik mikroenkapsulasi merupakan teknik fortifikasi yang banyak
digunakan untuk melindungi senyawa fortifikan dan membantu penyerapan
senyawa tersebut di dalam tubuh. Teknik mikroenkapsulasi yang paling banyak
digunakan adalah dengan menggunakan teknik pengeringan semprot atau spray
drying.

Vitamin A
Vitamin A dapat ditemukan dalam makanan, baik sebagai vitamin A dalam
hewan atau sebagai provitamin A (karotenoid) dalam tanaman. Karoten disintesis
oleh tanaman di alam, sehingga dapat ditemukan secara alami dalam buah-buahan
dan sayuran (Simpson et al. 2011). Vitamin A sangat penting untuk fungsi
penglihatan, pertumbuhan, sistem reproduksi, jaringan kulit, integritas epitel, dan
sistem kekebalan tubuh. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kerusakan
visual atau okular, serta mengurangi respon kekebalan tubuh. Di negara
berkembang, anak-anak di bawah usia lima tahun memiliki persentase kekurangan
vitamin A yang cukup besar. Sekitar 1 juta anak meninggal setiap tahun karena
kekurangan vitamin A (WHO 2011). Kasus kekurangan vitamin A (KVA) pada

6

anak-anak menyebabkan seroftalmia, diare, campak, malaria, dan infeksi.
Menurut Semba dan Bloem (2008) 10 % dari 5 juta kasus seroftalmia pada balita
dianggap berpotensi membutakan. Pada ibu hamil, kekurangan vitamin A dapat
menyebabkan morbiditas dan kematian ibu.
Fortifikasi vitamin A biasanya menjadi jalan keluar dari masalah
kekurangan vitamin A. Bentuk vitamin A untuk fortifikasi yang umum digunakan
adalah retinil palmitat, retinil asetat, dan β-karoten baik dalam bentuk minyak
maupun kering (bubuk). Retinil asetat dan retinil palmitat merupakan fortifikan
yang direkomendasikan oleh WHO sebagai fortifikan (Allen et al. 2006). WHO
merekomendasikan retinil palmitat sebagai bahan untuk fortifikasi minyak
goreng. Hal ini dapat dilihat pada program fortifikasi di Afrika Barat yang
menggunakan retinil palmitat karena mempunyai bioavailabilitas yang baik,
stabil, dan harga yang lebih murah dibandingkan dengan β-karoten (Stuijvenberg
dan Benade 2000). Retinil palmitat dapat digunakan sebagai suplemen maupun
fortifikasi pada berbagai makanan, termasuk minyak sayur (Semba dan Bloem
2008), monosodium glutamat (Muhilal et al. 1988), tepung sereal (Solon et al.
2000), dan gula (Arroyave et al. 1981). Menurut Souganidis et al. (2014) minyak
kedelai yang diperkaya dengan retinil palmitat dapat dipertahankan sebanyak
99%. dengan penyimpanan pada suhu 23 oC selama 9 bulan. Retinil palmitat akan
hilang sampai 90% jika dipanaskan dengan tekanan dan suhu tinggi.
Penggorengan dengan berulang kali dan penyimpanan dapat dipastikan
mengakibatkan hilangnya vitamin A. Dalam penelitian Simmone et al. (1998),
retinil palmitat dapat dipertahankan pada perlakuan penggorengan selama 30 jam
pada suhu 185 °C dengan bahan pembawa minyak jagung, minyak sawit, dan
minyak kedelai. Bentuk vitamin A yang biasa digunakan sebagai fortifikan dan
stabilitasnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Aplikasi fortifikasi vitamin A
Fortifikan
Aplikasi
Retinil asetat (minyak)
Olahan lemak seperti margarin dan produk
olahan susu
Retinil palmitat (minyak)
Olahan lemak seperti margarin dan produk
olahan susu
Retinil asetat (minyak) atau retinil
Olahan lemak seperti margarin dan produk
palmitat (minyak) di tambah
olahan susu dimana penambahan vitamin
vitamin D3
diperbolehkan
Retinil palmitat (kering) atau retinil
asetat (kering)

Produk kering seperti tepung, bubuk, dan
produk pangan berbasis air

Retinil palmitat (kering) atau retinil
asetat (kering) dengan penambahan
vitamin D3

Produk kering seperti tepung, bubuk, dan
produk pangan berbasis air

Sumber : WHO 2006
Retinil palmitat yang berbentuk minyak dapat diubah menjadi bentuk
nanoemulsi yang lebih stabil. Bentuk nanoemulsi dipilih karena mempunyai sifat

7

ketahanan panas yang baik serta lebih stabil dan dapat dengan mudah terserap
oleh tubuh (Meleson et al. 2004). Vitamin A dalam bentuk emulsi lebih mudah
diformulasikan dalam produk pangan (Ariviani et al. 2015). Pembentukan
nanoemulsi memanfaatkan gaya gesek dan tegangan permukaan dari masingmasing emulsi dengan teknik pengadukan menggunakan kecepatan tinggi
sehingga membentuk droplet (Gambar 1) (Husein et al. 2013) .

a

b

c

d

Gambar 1 Skema mekanisme pembentukan nanoemulsi, pencampuran surfaktan
+ minyak dan air (a), perbedaan fase emulsi (b), pergerakan surfaktan
dari fase organik ke fase air (c), droplet emulsi (d) (Husein et al.
2013).
Nanoteknologi merupakan sebuah teknologi yang mengubah material atau
struktur ke dalam ukuran 1-100 nm (Huang et al. 2010; Luykx et al. 2008). Dalam
bidang pangan, nanoteknologi dapat digunakan untuk memodifikasi karakteristik
seperti tekstur, rasa, dan yang mempengaruhi sensori. Nanoteknologi juga dapat
meningkatkan kelarutan air, stabilitas panas, dan bioavailabilitas oral senyawa
fungsional (Huang et al. 2010; McClements et al. 2007, 2009).

Zat Besi
Zat besi termasuk golongan mineral dan logam utama yang jumlahnya
melimpah. Unsur zat besi terdiri dari fero (Fe2+) atau feri (Fe3+) (British Nutrition
Foundation 1995). Zat besi memiliki peran penting dalam metabolisme energi sel.
Zat besi juga berperan dalam proses redoks untuk mengikat oksigen (British
Nutrition Foundation 1995). Zat besi (Fe) merupakan mikroelemen yang esensial
bagi tubuh. Zat besi diperlukan untuk hematopoiesis (pembentukan darah) yaitu
dalam sintesa haemoglobin (Hb) (Fairweather et al. 2001). Seorang ibu yang
dalam masa kehamilannya menderita kekurangan zat besi tidak dapat memberi
cadangan zat besi kepada bayinya dalam jumlah yang cukup pada saat kelahiran.
Meskipun bayi itu mendapat air susu dari ibunya, tetapi susu bukanlah bahan
makanan yang banyak mengandung zat besi karena itu diperlukan zat besi sejak
masa kehamilan untuk mencegah anak menderita anemia (Roe dan Fairweather
1999). Ada dua bentuk utama dari zat besi yang ada dalam makanan yaitu (i) zat
besi heme yang kebanyakan ditemukan dalam daging sebagai hemoglobin atau
mioglobin dan (ii) zat besi non-heme yang ditemukan dalam sereal, sayuran, dan
makanan lainnya. Setiap jenis zat besi diserap secara berbeda dengan derajat
efisiensi yang berbeda. Sekitar 20-30% dari besi heme diserap dan dimasukkan ke

8

dalam sel-sel darah merah, sedangkan zat besi non heme sekitar 1-3 % (Akhtar et
al. 2010).
Fortifikasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan penyerapan zat
besi. Di negara berkembang, fortifikasi zat besi pada makanan dilakukan pada
garam, kecap, cokelat/kakao, tepung terigu, tepung jagung, serealia, kecap ikan,
kecap, susu (bubuk dan cair), gula, minuman ringan, dan makanan sarapan.
Program fortifikasi makanan yang berhasil dengan menggunakan zat besi larut air
seperti fero sulfat dengan menggunakan penambahan asam askorbat sebagai
enhancer penyerapan atau penggunaan NaFeEDTA untuk mencegah efek negatif
dari asam fitat (Akhtar et al. 2010; Hurrell 2002). Program fortifikasi telah
berhasil dan menyebabkan penurunan 20 % angka kematian ibu di negara-negara
berkembang. Dalam pemilihan senyawa fortifikan zat besi yang akan digunakan
harus melihat dari bioavailibilitas senyawa tersebut di dalam tubuh. Bentuk
senyawa zat besi yang digunakan sebagai fortifikan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Senyawa zat besi yang digunakan sebagai fortifikan.
Jumlah Zat Besi
Kemampuan Bioavailibitas
Fortifikan
(%)
(%)
Larut air
- Fero sulfat 7H2O
20
100
- Fero sulfat, dried
33
100
- Fero glukonat
12
89
- Fero laktat
19
67
- Feri amonium sitrat
17
51
Sedikit larut air, larut di larutan asam
- Fero fumarat
33
100
- Fero suksinat
33
92
- Feri sakarat
10
74
Tidak larut air, susah larut di larutan asam
- Feri ortopospat
29
25-32
- Feri pirofosfat
25
21-74
Bentuk enkapsulat
- Fero sulfat
100
100
- Fero fumarat
100
100
Sumber : Allen et al. 2006
Fero sulfat memiliki ketersediaan dan bioavailibitas yang tinggi serta harga
yang cukup murah bila dibandingkan dengan senyawa zat besi yang lainnya.
Selain itu fero sulfat juga mempunyai sifat larut air, sehingga memudahkan untuk
dienkapsulasi. Fero sulfat merupakan fortifikan yang sering digunakan untuk
fortifikasi roti dan tepung terigu. Senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya
perubahan warna sebagai hasil reaksi dengan senyawa-senyawa yang terkandung
dalam bahan pembawanya dan dapat mengkatalisis reaksi oksidatif sehingga
menghasilkan bau dan aroma yang kurang disukai (Roe dan Fairweather 1999).

9

Enkapsulasi
Enkapsulasi didefinisikan sebagai proses untuk melindungi suatu senyawa
(khususnya senyawa bioaktif) dengan memakai senyawa lainnya sebagai
pelindung (Nedovic et al. 2011; Poshadri dan Aparna. 2010; Gharsallaoui et al.
2007). Polimer pada kapsul berperan sebagai lapisan pelindung dan menghambat
paparan yang dapat merusak senyawa yang dilindungi seperti proses pengolahan,
interaksi dengan cahaya, udara maupun panas (Nedovic et al. 2011). Disamping
untuk melindungi dari paparan, teknik enkapsulasi juga berfungsi sebagai
pengontrol sistem pelepasan suatu senyawa kimia pada titik tertentu misalnya saja
pada senyawa volatil (Margarida dan Ivone 2011). Secara umum, berdasarkan
ukurannya kapsul dibagi menjadi ukuran makro (>5.000 µm), ukuran mikro (0.2
sampai 5.000 µm), dan nano (